Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja
Pada pertengahan 2019 lalu, saya ditugaskan oleh seorang dosen untuk meliput upacara pemakaman Presiden RI ke-3, B.J. Habibie, di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Saya hampir meletakkan tripod di antara milik puluhan jurnalis profesional, saat seorang juru kamera dari sebuah stasiun televisi bertanya, “mahasiswa ya?”, dengan alis berkerut. Alih-alih mengajak berbagi tempat, dengan mudahnya dia merebut tempat yang seharusnya jadi milik saya tanpa mengatakan apa pun.
Sebagai seorang senior dalam industri ini, bukankah seharusnya dia memberi dukungan kepada calon jurnalis yang juga memiliki hak untuk memperoleh kualitas gambar yang baik? Berstatus sebagai seorang profesional tak seharusnya membuatnya merasa lebih pantas, hanya karena cakupan audiensnya lebih banyak sehingga dianggap lebih penting.
Apa Itu Ageism?
Itu pertama kalinya saya sadar bahwa tidak hanya seksisme, tapi perempuan juga menghadapi ageism alias diskriminasi usia, dalam kehidupan sehari-hari. Saat menjadi pencari kerja, saya juga sering melihat rentang usia yang tertera di lowongan pekerjaan bersama dengan sederet kualifikasi lain. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi usia karena perusahaan menginginkan kinerja maksimal dan menganggap hanya dimiliki oleh usia tertentu.
Diskriminasi usia ini sesungguhnya menghalangi perkembangan karier perempuan.
Siapa pun tidak berhak dikucilkan dan dianggap tidak memiliki performa yang baik hanya karena dilihat dari usia yang jelas tidak mencerminkan kemampuan dalam melakukan pekerjaan.
Tindakan diskriminatif ini menyebabkan individu merasa tidak dihargai, kehilangan kepercayaan diri, dan memengaruhi kinerja di masa depan. Padahal, semua insan memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja.
Baca Juga: Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis
Di Indonesia, diskriminasi di tempat kerja diatur dalam UU No. 21 Tahun 1999 yang merujuk pada Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan. Dalam konvensi tersebut, disebutkan bahwa istilah diskriminasi meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.
UU tersebut yang dapat digunakan oleh perempuan untuk bernegosiasi dengan perusahaan apabila dikeluarkan karena alasan ageism.
Ageism Merupakan Salah Satu Bentuk Seksisme
Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh David Neumark, Ian Burn, dan Patrick Button di Amerika Serikat, diskriminasi usia pada perempuan salah satunya disebabkan karena pandangan bahwa penampilan fisik perempuan adalah faktor paling penting, dan usia dianggap mengurangi penampilan fisiknya. Para peneliti dari National Bureau of Economic Research Massachusetts itu juga memaparkan bahwa hukum terkait diskriminasi usia kurang ditekankan untuk melindungi perempuan yang usianya lebih tua.
Ketidakadilan ini turut dilanggengkan oleh perusahaan karena laki-laki dianggap lebih kuat dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Sementara saat harus menuntut haknya sebagai seorang pekerja, perempuan merasa tidak cukup kuat untuk menempuh jalur hukum karena waktu dan uang yang dibutuhkan untuk menantang perusahaan besar.
Baca Juga: Min Hee-jin, Eksekutif Perempuan di Balik Konsep Unik Grup K-Pop
Diskriminasi usia berbasis gender yang dikategorikan sebagai bentuk baru dari seksisme. Nyatanya, perempuan dari usia berapa pun akan menerima diskriminasi usia di lingkungan kerjanya.
Misalnya, perempuan yang berada dalam rentang usia 25-40 tahun atau berada pada usia reproduksi aktif. Mereka menerima stereotip terkait statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Padahal, seorang pria juga berperan sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Perempuan seperti tersudutkan hingga minim menerima promosi jabatan dan terjadi kesenjangan upah yang lebih rendah dari pria.
Andai saja masyarakat di lingkungan sekitar kita hendak melihat dengan saksama dan menyadari bahwa perempuan juga memiliki hak untuk tidak menikah atau menjadi ibu, mungkin mereka dapat lebih menyadari kapabilitas perempuan. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil apabila perempuan yang berkarier juga andal dalam mengurus rumah tangga. Namun, sekalipun seorang perempuan tidak berkeluarga, mereka juga belum tentu dipertimbangkan untuk menerima cuti karena tidak memiliki anak kecil untuk dirawat.
Perempuan yang berusia sekitar 40 tahun pun menghadapi ageism dalam bentuk yang berbeda. Ambisi mereka dianggap memudar dan kurang energetik dalam melakukan pekerjaan, ditambah dengan stereotip yang masih melekat. Jika perempuan muda lebih kental dengan aktivitasnya merawat anak, perempuan di usia ini pun dianggap lebih merawat orang tuanya.
Perempuan yang lebih tua juga cenderung tidak mampu dipekerjakan kembali setelah mereka secara paksa keluar dari pekerjaan.
Bagaimana Kita Mencegah Diskriminasi Usia?
Saat perusahaan hingga kini dibutakan oleh usia pekerja perempuan, setidaknya kita perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi diri dan menghindar dari situasi tersebut. Salah satunya adalah merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki dalam diri untuk menyadari kontribusi yang dapat diberikan pada perusahaan. Melalui langkah ini, kita dapat mengomunikasikan pencapaian karier kepada atasan agar mereka mempertimbangkan bahwa keberadaan kita dapat membantu mencapai target perusahaan.
Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?
Di sini, cara berpikir dapat memengaruhi perspektif diri dalam melihat kelayakan kita sebagai seorang pekerja. Apakah kita merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu karena usia terlalu muda yang membuat kurangnya pengalaman? Atau merasa sudah bukan saatnya untuk mengambil banyak tanggung jawab karena lebih tua dibandingkan anggota tim lainnya? Pemikiran-pemikiran tersebut yang seharusnya dibuktikan dengan kinerja maksimal sehingga mematahkan persepsi pekerja lainnya.
Jika memang perusahaan tidak memfasilitasi pelatihan, kita perlu memiliki inisiatif untuk mengeksplorasi kemampuan. Dengan langkah ini, perusahaan akan menilai bahwa perempuan memiliki keinginan untuk belajar, berkembang, dan meningkatkan keahlian yang tentunya dapat memajukan perusahaan.
Satu hal yang tak kalah penting dalam melawan diskriminasi usia perempuan adalah adanya kesadaran untuk mendukung sesama perempuan di lingkungan pekerjaan agar mampu menyuarakan aspirasinya terkait ageism. Kita harus mengingatkan perusahaan bahwa kebijakan terkait keragaman dan inklusi itu penting bagi mereka dan para pekerjanya.
Read More