Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Guru Bahasa Jepang saya waktu SMA adalah sosok yang mengagumkan: Ia pintar mengajar, cerdas, dan tegas, disegani murid yang paling nakal sekalipun. Suatu hari, ia bercerita di depan kelas bagaimana ia pernah ditawari kuliah S2 di Jepang, namun ia menolaknya karena bagaimanapun perempuan akan kembali ke rumah mengurus keluarga.

Saya terperangah mendengar hal itu terucap dari guru yang paling saya kagumi. Saat itu saya bahkan sempat berpikir, guru saya yang sangat pintar dan terlihat fearless saja enggak mengambil S2, apalagi saya yang banyak ketakutan dan enggak pintar-pintar amat. Dan teman-teman perempuan saya yang lain juga berpikir hal yang sama.

Sebagai anak daerah, saya merasakan dan mengamati betul betapa rapuhnya kepercayaan diri perempuan, dan bukan karena kesalahan mereka. Sebelum masuk kuliah beberapa tahun silam, salah satu saudara saya memilih tidak kuliah karena ketiadaan biaya. Ketika saya tanya, kenapa tidak coba mendaftar beasiswa dari pemerintah, ia mengatakan kalau perempuan paling pintar di kelasnya saja tidak mendaftar, jadi ia merasa malu dan tahu diri untuk tidak mencobanya.

Sejak SD sampai universitas, teman-teman saya yang paling berprestasi selalu perempuan, tapi sedikit sekali dari mereka sekarang ini menjadi pemimpin atau ada di posisi puncak dalam pekerjaan mereka. Hal ini tercermin dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 yang menunjukkan, 30,63 persen perempuan yang menduduki jabatan manajer, sementara laki-laki mencapai lebih dari dua kali lipatnya yaitu 69,37 persen.

Jika konsep glass ceiling dan sticky floor effect membahas tentang kendala-kendala perempuan di tempat kerja, sebetulnya jauh sebelum itu sudah ada hambatan-hambatan dalam diri perempuan yang dibentuk oleh lingkungan dan budaya.

Hasil penelitian Katherine B. Coffman dari Harvard Business School, yang bertajuk How Gender Steoreotypes Kill a Woman’s Self Confidence menunjukkan bahwa stereotip perempuan bisa mematikan kepercayaan diri perempuan, yang berakibat pada kemunduran perempuan di tempat kerja. Lebih parahnya lagi, stereotip gender juga bisa membuat perempuan terus mempertanyakan kemampuannya dalam melakukan pekerjaan. Hal tersebut, terutama banyak ditemukan dalam bidang pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki seperti bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Menurut Coffman, kepercayaan diri merupakan faktor penting karena berpengaruh pada semua keputusan-keputusan besar dalam hidup. Misalnya saat kita menentukan mau masuk jurusan apa, karier semacam apa yang ingin dijalani dan apakah kita hanya ingin berkontribusi memberikan ide ketika bekerja, atau mencoba bersaing untuk mendapatkan promosi ke top posisi. Hal-hal tersebut berawal dari kepercayaan diri yang dimiliki perempuan.

Lean in dan hambatan perempuan

Istilah Lean In atau bisa diartikan secara aktif menerima tantangan untuk menaikkan karier menjadi perbincangan sejak buku laris karya Sheryl Sandberg, Lean In: Women, Work, and the Will to Lead, diluncurkan pada 2013 lalu. Buku itu didasari pada pengalaman Chief Operating Officer Facebook itu setelah bekerja di perusahaan-perusahaan besar, termasuk Google.

Buku ini pada intinya mendorong perempuan untuk lebih proaktif di tempat kerja. Disebut juga sebagai aliran feminisme pemberdayaan mandiri, Lean In bahkan kemudian menjadi fenomena budaya dan sebuah gerakan.  

Menurut Sandberg, perdebatan antara hambatan perempuan dari eksternal dan internal ini seperti perdebatan ayam dan telur, mana dulu yang harus diselesaikan masih menjadi misteri. Ia melihat jika selama ini orang selalu fokus pada hambatan-hambatan di luar diri perempuan. Padahal stereotip gender tidak hanya memengaruhi bagaimana perempuan diperlakukan di tempat kerja, tapi juga membentuk pola pikir perempuan saat ia kecil, yang berimplikasi pada aktualisasi kepercayaan diri di tempat kerja.

“Banyak pesan-pesan yang kita internalisasi, yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh terlalu tegas bersuara, agresif, atau lebih kuat dari laki-laki. Kita menjadi menurunkan ekspektasi kita terhadap sesuatu yang bisa kita capai,” tulis Sandberg.

Sebagai seorang ibu, Sandberg juga menggarisbawahi tuntutan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan atau mengurus keluarga saat menikah. Norma gender yang disematkan kepada perempuan dari kecil tersebut secara tidak langsung membuat banyak perempuan berpikir lama atau menolak saat ditawari promosi naik jabatan.

“Makanya saya katakan, don’t leave before you leave, jangan mundur sebelum kamu memang harus mundur,” kata Sandberg.

Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak

Dalam bukunya Sandberg juga menyinggung perihal self doubt dan impostor syndrome yang cenderung dimiliki serta rentan terjadi pada perempuan. Self doubt merupakan keadaan di mana kita acap kali meragukan kemampuan kita, menghakimi pemikiran-pemikiran optimistik dan secara berkala menganggap diri akan gagal melakukan segala sesuatu. Sedangkan impostor syndrome bisa diartikan sebagai sindrom penipu atau kondisi di mana kita merasa pencapaian yang telah kita raih itu tidak berimplikasi pada kapasitas diri kita dan itu terjadi hanya sebatas keberuntungan semata, lalu ada perasaan takut bahwa orang akan menemukan hal itu.

Dalam artikel yang dimuat BBC, bertajuk Why imposter syndrome hits women and women of colour harder, disebutkan bahwa sindrom ini cenderung lebih banyak menimpa perempuan, serta kelompok minoritas dan marginal lainnya. Ketiadaan panutan di tempat kerja, kurangnya representasi serta kondisi sosial yang terus menempatkan mereka menjadi kelompok nomor dua dan terpinggirkan membuat kepercayaan terhadap diri lebih sulit dibangun.

Meski begitu, Sandberg bukannya tanpa kritik. Connie Schultz dalam artikelnya di The Washington Post, mengatakan buku Sandberg penuh dengan kontradiksi karena hanya mengangkat permasalahan dari scope mereka yang bekerja di perusahaan besar. Pesan-pesan Sandberg di buku itu pun dianggap hanya berkutat agar perempuan lebih berpikir seperti stereotip laki-laki, yaitu berani mengambil keputusan, tegas dan mengesampingkan ketakutannya agar bisa naik ke posisi atas.

Dorongan untuk ‘lean in’ juga akan menjadi sulit karena lagi-lagi hanya menekankan pada tanggung jawab perempuan secara individual untuk menjadi lebih asertif. Padahal hambatan yang dialami perempuan adalah bersifat struktural.

Gerakan lean in ini praktis jatuh pada 2018, saat Facebook dilanda banyak skandal, di mana Sandberg pun bertanggung jawab di dalamnya.

Membantu perempuan untuk lebih percaya pada dirinya

Adriana Amalia, Psikolog dan co-founder Asa Berdaya, perusahaan sosial yang fokus membangun mentalitas sumber daya manusia (SDM), mengatakan, ada yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk lebih menghargai diri sendiri dan mengatasi hambatan dalam segala situasi baik internal maupun eksternal bisa dihadapi.

“Bagaimana kita mau menghadapi hambatan yang muncul dari sana sini, dari berbagai sisi kalau kita itu enggak menghargai diri sendiri, enggak menghargai apa yang sudah kita lakukan,” ujar Adriana kepada Magdalene.

Baca juga: Standar Ganda dalam Masyarakat: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

Ia mengatakan dirinya sering mengalami berbagai hal yang cukup menguji mentalnya. Saat masih duduk di bangku kuliah dulu misalnya, ia sempat menjadi ketua kepengurusan yang tergolong sukses. Setelah turun jabatan ia mendengar kabar atau berita-berita tidak enak yang menyebutnya tidak begitu meyakinkan di awal jabatan, ia kerap diremehkan.

“Memang jadi harus ada semacam pembuktian terlebih dahulu kalau perempuan itu mampu dan punya kapasitas. Tapi yang terpenting itu pembuktian buat diri sendiri sih. Keberhasilan itu bisa jadi bahan bakar buat kita ke depannya lebih percaya diri buat membuktikan kalau kita ini bisa,” ujarnya.

Di dunia profesional, situasi yang meremehkan perempuan itu terus berlangsung. Saat mendirikan perusahaannya, sebagai ketua proyek, Adriana mengatakan kerap kali diremehkan, apalagi jika harus berhadapan dengan klienlaki-laki senior. Ketika mengetahui dirinya akan pemimpin proyek, biasanya diiringi dengan gestur tidak percaya atau kaget.

“Mungkin mereka berpikir karena saya perempuan bisa gampang dinegosiasi padahal itu keliru. Hal-hal kayak begitu biasanya yang bikin enggak percaya diri. Tapi jangan diambil secara personal. Kalau sudah merasa down, sebaiknya cari bantuan atau komunitas yang bisa mendongkrakrasa percaya diri kita lagi,” kata Adriana.

Dalam hasil penelitiannya, Katherine B. Coffman dari Harvard juga menambahkan harus ada dorongan aktif yang bisa membuat perempuan mau bersuara di forum-forum kecil atau pun besar. Penting bagi mereka untuk merasa didengarkan. Selain itu, para manajer atau pemimpin tim lain dalam perusahaan sudah seharusnya sadar dengan ketimpangan kepercayaan diri karena stereotip perempuan. Adanya pengakuan dan pelibatan perempuan bisa meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk terlibat dalam pembuatan keputusan besar di perusahaan.

“Saya mendorong agar para pemimpin perusahaan lebih berpikir tentang masalah kepercayaan diri ini bisa berpengaruh pada perusahaannya. Kalau melihat perempuan bertalenta, pastikan mereka merasa didukung, dan diakui,” tulis Coffman.

Read More

Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Di tengah beragam kendala yang mengadang perempuan di tempat kerja untuk melangkah ke posisi atas, menjadi generasi sandwich menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Selain harus mengemban tugas domestik yang sering dilekatkan masyarakat kepadanya, seperti mengurus rumah dan anak, perempuan generasi sandwich mesti mengurus orang tua atau anggota keluarga lainnya. Hal ini tidak hanya membebani secara finansial, tetapi juga mendatangkan beban mental dan kelelahan fisik yang berat saat ia mesti mengurusi kedua pihak keluarganya.

Sebuah hasil riset yang dimuat di The New York Times menunjukkan bahwa responden yang dikategorikan generasi sandwich mengalami penurunan pemasukan lantaran terpaksa mengurangi jam kerja, atau bahkan mengundurkan diri karena harus memenuhi tanggung jawab mengurus keluarganya. Sistem kerja yang mengharuskan karyawan datang ke kantor berkontribusi juga dalam pengambilan keputusan mereka untuk mengundurkan diri dan menjadi beban pekerja perempuan.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga dan orang tuanya, perempuan generasi sandwich juga sering kali harus mengambil beberapa pekerjaan tambahan. Selain berkonsekuensi buruk terhadap kesehatannya, hal ini juga berpotensi membuat performa kerjanya kurang optimal. Dampaknya merembet ke berkurangnya kesempatan untuk bisa mendapatkan promosi atau mengemban tanggung jawab lebih, sebagai perempuan pemimpin misalnya.

Jika perempuan mendapat tawaran promosi kerja dan menuntutnya untuk pindah domisili, atau harus mengikuti pelatihan cukup lama dari kantor, ia dapat mengalami dilema karena tidak bisa meninggalkan keluarganya. Alhasil, peluangnya untuk menduduki posisi lebih tinggi pun melayang dan kariernya cenderung jalan di tempat.

Minim Infrastruktur Menjadi Beban Pekerja Perempuan

Tidak hanya perkara budaya patriarkal saja yang menghambat laju karier perempuan, terbatasnya infrastruktur pendukung pekerja yang memiliki anak kecil, seperti tempat penitipan anak (daycare), menjadi kepelikan lain. Tempat penitipan anak tidak tersedia secara luas dan biayanya bisa mahal, mulai Rp3 juta-Rp10 juta. Sementara opsi menitipkan anak kepada orang tua atau pihak lain tidak selalu tersedia.

Sebuah riset tahun 2018 di Amerika Serikat menemukan bahwa tingginya biaya daycare menyebabkan sekitar 13 persen penurunan jumlah ibu bekerja yang memiliki anak balita.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Hal ini dialami pula oleh Vivin, 31, ibu dari seorang balita yang memutuskan keluar dari pekerjaannya setelah punya anak karena menyewa pengasuh atau menitipkan anak terlalu tinggi biayanya. Kisaran biaya tempat penitipan anak adalah sekitar Rp3 juta-Rp10 juta per bulan, sementara pengasuh mulai dari Rp1 juta-Rp1,5 juta.

“Gaji saya di kantor lama enggak seberapa. Kalau saya lanjut kerja pun, uang akan lebih banyak keluar buat bayar pembantu atau daycare aja. Belum lagi mesti keluar uang buat transpor dan makan,” katanya.

Dalam riset Leila Schochet, analis kebijakan untuk anak usia dini, yang dipublikasikan di American Progress, disebutkan bahwa pada Maret 2019, hampir 2.000 ibu bekerja di Amazon menuntut perusahaan tersebut memberikan fasilitas daycare. Pasalnya, ketiadaan daycare di sana menghambat karyawati bertalenta untuk menjajaki tangga karier lebih tinggi. Tidak hanya itu, kolega-kolega mereka juga banyak yang keluar lantaran tidak bisa menitipkan anaknya yang masih kecil.

Mobilitas dan Keamanan Perempuan

Selain ketersediaan daycare, masalah jarak rumah-kantor dan ketersediaan transportasi menjadi isu lain yang menyandung perempuan bekerja. Tingginya harga properti di pusat kota membuat banyak keluarga muda yang membeli rumah di daerah pinggir atau luar kota. Ini berimbas pada panjangnya perjalanan yang mesti ditempuh seorang pekerja kantoran, sehingga menyita banyak waktu dan tenaga mereka.

“Transportasi menjadi faktor yang mendorong perempuan untuk berhenti bekerja. Kalau harus melakukan perjalanan 1,5 jam sekali jalan, dia kehilangan tiga jam setiap hari dengan keluarganya,” kata Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, lembaga yang berfokus pada pemenuhan hak anak dan kesetaraan anak perempuan.

Tidak hanya soal hilangnya kesempatan bersama keluarga lebih lama, masalah mobilitas ke kantor juga menyangkut keamanan diri perempuan pekerja. Pada siang hari saja, ancaman terhadap keamanan perempuan di moda transportasi cukup tinggi seiring maraknya kasus pelecehan dan tindak kriminal lainnya. Situasi menjadi kian rentan bagi perempuan ketika pekerjaannya menuntut dia untuk pulang larut malam, ketika potensi terjadinya tindak kriminal meningkat.

“Saat perempuan ditempatkan kerja di lokasi yang jauh dari keluarga, keluarganya juga akan berpikir, apa aman bila anak perempuan atau pasangannya bekerja di sana?” kata Dini.

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Para Perempuan Memilih Melepas Pekerjaan

Tidak jarang ekspektasi masyarakat terhadap peran perempuan secara tradisional memukul mundur perempuan dalam perjalanan kariernya. Jikapun ia tetap tampil prima di kantor, orang-orang kerap bertanya, “Bagaimana caramu mengatur waktu kerja dan mengurus rumah tangga?”, sementara hal serupa tidak ditanyakan kepada laki-laki. Atau bila rumah tangganya kandas atau anaknya kurang terurus, ia mesti siap berhadapan dengan penghakiman sekitarnya yang menyalahkan keputusan dia untuk bekerja.  

Situasi kian tak menguntungkan bagi perempuan bekerja saat ia berada di kantor yang tidak memberikan kelonggaran atau sistem kerja fleksibel dan aneka fasilitas penunjang bagi karyawati yang sudah memiliki anak. Dengan adanya beban kerja yang menyita waktu dan energi, sebagian perempuan pada akhirnya memilih keluar dari pekerjaannya dan mengambil satu peran: Di ranah domestik saja. 

Perkara menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kantor menjadi lebih pelik bagi karyawati muda yang berkeluarga. Riset Eunike Krissetyanti terhadap sejumlah pegawai negeri sipil perempuan di Yogyakarta menemukan, perempuan di posisi eselon rendah umumnya baru menikah dan punya anak sehingga anaknya membutuhkan perhatian lebih dibanding anak-anak perempuan di posisi eselon menengah dan atas. Tuntutan peran domestik perempuan ini membuat pegawai negeri muda lebih mengesampingkan kariernya dibanding keluarga.

Untuk menyiasati kondisi yang menyandung perempuan dalam berkarier ini, Dini merekomendasikan kantor-kantor mulai mengubah sistem kerja yang tadinya “kaku” dan menuntut semua karyawan datang ke kantor, menjadi lebih fleksibel agar menguntungkan perempuan yang menjalani peran ganda.

“Sistem kerja fleksibel bisa menjadi efektif. Dengan adanya sistem itu, perempuan bisa mengatur antara tanggung jawab sebagai pekerja dan ibu rumah tangga,” ujar Dini.

Seiring dengan pergeseran sistem kerja ini, Dini menyarankan agar pembagian peran dalam keluarga perempuan pekerja diperbaiki. Baik laki-laki maupun perempuan idealnya sama-sama berpartisipasi dalam mengurus rumah. Selama perubahan lingkungan kerja tidak diiringi dengan perubahan di lingkungan keluarganya, perempuan masih akan kesulitan menapaki jenjang karier lebih tinggi di kantornya.

Read More

Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

Ditulis oleh Ika Krismantari dkk.

Ketekunan Adi Utarini, seorang ilmuwan perempuan Indonesia dan Guru Besar Bidang Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam meneliti sejak 2011 membuahkan hasil manis. Ia berfokus pada pembasmian demam berdarah di Indonesia dan hasil penelitiannya tersebut telah berhasil menurunkan 77 persen kasus demam berdarah di area Yogyakarta pada Agustus lalu.

Penelitian Prof Uut, panggilannya, mampu merekayasa dan membiakkan nyamuk penyebar virus demam berdarah, Aedes aegypti, yang mengandung bakteri Wolbachia. Bakteri ini terbukti membuat nyamuk tidak bisa mentransfer virus demam berdarah ke manusia.

“Jadi kita sudah berawal dari telur yang sudah ber-wolbachia, yang kemudian ini kita ternakkan dan kembangkan dengan nyamuk lokal sedemikian rupa, sehingga secara fisik dan genetik, ini memang match nyamuk lokal dan kemudian, they fall in love to each other,” tutur Prof Uut disusul tawa kecilnya.

Berkat keberhasilan proyek penelitian kesehatan ini, Prof Uut dianugerahi Habibie Awards, sebuah penghargaan yang diberikan kepada ilmuwan yang aktif dan berjasa dalam penemuan, pengembangan, dan penyebarluasan inovasi pada tahun 2019.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Kata menyesal tidak pernah tersirat dalam pikiran Prof Uut dalam setiap perjalanan hidupnya. Suka duka penelitian demam berdarah hingga pengalaman harus menjadi pasien COVID-19 yang akhirnya merenggut nyawa suaminya, Guru Besar UGM Iwan Dwiprahasto, mengajarkannya tentang hal itu.

Mengingat kembali peristiwa itu, terasa berat bagi Prof Uut untuk bisa menerima keadaan dan juga harus memberi penjelasan kepada keluarga dan lingkungan sekitar. Ia harus melakukan berbagai cara untuk bisa menghadapi dan menerima cobaan tersebut secara tulus. Menulis jurnal adalah salah satu hiburan dalam kesehariannya di ruang isolasi ketika menjadi pasien COVID-19.

Lewat ujian ini, ia pun semakin menyadari betapa pentingnya setiap dukungan, termasuk relasi yang lebih intens kepada Sang Pencipta.

“Yang tadinya tidak terlalu ‘padat’ hubungannya dengan Tuhan, sekarang jadi lebih macetmungkin”, tuturnya.

Selama menjalani isolasi, Prof Uut menyadari pentingnya dukungan dari orang-orang sekitar seperti teman, keluarga, kolega, dan bahkan tenaga kesehatan dalam kesembuhan pasien COVID-19. Pengalamannya itu menginspirasi dia untuk menulis dan menerbitkan artikel ilmiah tentang pelayanan kesehatan pada pasien COVID-19 yang berpusat pada orang-orang terdekat.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Setelah sembuh dari COVID-19, banyak yang berubah dalam diri Prof Uut. Salah satunya adalah muncul kebiasaan baru untuk mengikuti senam bersama dengan tetangga sekitar.

“Saya sangat berterima kasih ke ibu-ibu tetangga saya yang selama pandemi mempunyai kebiasaan senam di luar, di jalan saban hari, saban hari, lho!” ujarnya.

Profesor Adi Utarini Merupakan Ilmuwan Perintis

Prof Uut menjelaskan bahwa dia tertarik menjadi dokter karena ingin jalan-jalan ke daerah terpencil di Indonesia.

“Awalnya sih pengen jadi dokter seperti biasa, itu kan artinya bekerja di klinik ya, bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan gitu. Nah, saat itu saya pengin banget kerja di Puskesmas. Asyik aja, bisa pergi agak jauh kemudian bisa bergaul dengan masyarakat,” ujar Profesor Adi Utarini.

Namun, kenyataan bahwa dia adalah putri paling kecil di keluarga membuatnya harus berpikir ulang. Akhirnya, berkat inspirasi dari mendiang ayahnya, Muhammad Ramlan, yang juga merupakan guru besar di Fakultas Sastra UGM, Prof Uut menjadi dosen dan akhirnya memutuskan terjun di bidang kesehatan masyarakat.

Selama perjalanannya menempuh pendidikan ini, ia punya berbagai kenangan manis. Salah satunya ketika dia melakukan perjalanan ke daerah pelosok di Sumatra Barat.

“Perjalanan setengah hari nonstop dan melewati sungai, batu-batuan, dan sebagainya untuk bisa sampai ke Puskesmas yang paling pinggir. Nah, itu kayak gitu tuh, haduh, sangat seru!” kata Prof Uut.

Baca juga: Bias Kelas dalam Diskursus Pemerintah soal COVID-19

Dengan jiwa petualangnya yang tidak pernah mati, ibu dari satu anak ini juga menekuni kebiasaan barunya yakni bersepeda. Perlahan dari 3-10 menit, 15 menit, hingga bisa menempuh jarak paling jauh yakni dari Yogyakarta ke Madiun, Jawa Timur, sejauh 180 kilometer.

Bersepeda membuat Prof Uut lebih memaknai filosofi kehidupan untuk terus maju dan mengayuh meski ada suatu tantangan atau kendala.

“Kadang-kadang hidup ada tanjakan, ada turunan, but it’s everything will be okay as long kita mencoba keep rolling,” kata dia.

Setelah sembuh dari COVID-19, Profesor Adi Utarini pun kembali menata mimpi-mimpinya yang lain. Ia kini punya tekad untuk bisa naik haji, menulis, dan fokus pada keluarga. Ia juga ingin memperluas proyek Wolbachia ke berbagai daerah.

“Ya kita merencanakan yang terbaik, tapi nanti Tuhan yang menentukan.”

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ika Krismantari adalah Deputi Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Prodita Sabarini adalah Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Wiliam Reynold adalah Editor, The Conversation Indonesia.

Read More
Perempuan Bekerja di Kantor

Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Perempuan di dunia kerja masih menghadapi kasus pelecehan seksual sampai adanya langit-langit kaca atau glass ceiling yang menghambat perempuan, perusahaan masih jadi salah satu faktor yang menghalangi kemajuan karier perempuan. Masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak memberikan akses bagi pekerja perempuan untuk mengembangkan karier sebagaimana pekerja laki-laki.

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita mengatakan, kebanyakan perusahaan cenderung menganggap pemberian akses lebih bagi perempuan di tempat kerja adalah biaya,alih-alih investasi, padahal itu justru akan memberi perusahaan lebih banyak keuntungan.

“Memberikan cuti melahirkan enam bulan, misalnya. Waduh, [mereka pikir] itu nanti cost-nya gimana? Padahal, kalau mereka bikin regression analysis aja, enggak semua perempuan dalam perusahaan itu akan melahirkan lagi. Dan belum tentu ada yang  berencana mau melahirkan, atau enggak juga dalam waktu yang bersamaan semuanya cuti melahirkan,” kata Maya kepada Magdalene dalam acara BiSiK Kamis di Instagram bertema “Women on Top: Tantangan dan Peluang“ (1/10).

“Paling yang ngambil enggak sampai 10 persen. Saya pernah melakukan regression analysis untuk mengetahui berapa biaya melahirkan yang ditanggung organisasi. Di tahun itu yang melahirkan hanya enam orang. Dari yang kita budget-in aja itu enggak habis,” ia menambahkan.

Menurut Maya, kecenderungan itu memang tidak terlepas dari berbagai stigma dan anggapan mengenai sosok perempuan itu sendiri. Misalnya, kultur masyarakat Indonesia yang menuntut perempuan untuk bisa ber-multitasking dan terampil melakukan banyak hal, ujarnya.

Baca juga: Standar Ganda dalam Masyarakat: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

“Padahal, berapa sih dari kita yang bisa multitasking? Gue aja enggak bisa. Sambil menelepon bisa sambil, ‘Eh, itu anak jangan naik ke meja!’,” kata Maya.

“Kemudian multitasking ini kan jadi pedang bermata dua bagi perempuan. Dianggap bisa semuanya, padahal belum tentu seperti itu. Ini membuat kita menjadi perfeksionis karena kita selalu diberikan standar yang lebih tinggi dari kita kecil. Kalau si laki-laki itu bisa capai dua, kita harus empat,” ujarnya.

Berikut adalah obrolan Maya Juwita dengan Magdalene dalam acara di akun Instagram Magdalene.

Magdalene: Mbak Maya berkarir di bidang business law dan human resources (HR). Apa hal yang menarik dari menekuni dua bidang ini?

Maya Juwita:Saya sekolah hukum itu setelah saya jadi HR. HR di Indonesia ini kan harus mumpuni banget soal hukum. Walaupun human interaction jadi key-nya, tapi dasarnya adalah hukum, gimana penerjemahan hukum ini dimengerti perusahaan-perusahaan asing. Dulu, salah satu alasan saya karena saya punya atasan kebanyakan orang asing. Mereka mengeluh, gimana cara nyari HR yang ngerti hukum Indonesia dan bisa kasih tahu why-nya? Kenapa saya tertarik untuk belajar hukum bisnis ini adalah untuk mengetahui kenapa sih undang-undangnya harus seperti itu.

Maya Juwita
IBCWE
Women in Business
Perempuan Karier
Business Women
Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE)

Banyak undang-undang di Indonesia yang sebenarnya merupakan safety net buat para pekerja. Tapi kalau UU Cipta Kerja nih, yang lagi banyak diperbincangkan, itu kita masih mempelajari gender perspective-nya  yang kemudian akan mengancam pekerja perempuan ada di mana. Itu require legal skill untuk bisa membaca itu, walaupun sudah lama banget saya enggak baca undang-undang (sambil tertawa).

Sebenarnya, IBCWE itu apa sih? Kenapa ada dan apa yang dilakukan?

Isinya memang perusahaan-perusahaan yang punya komitmen untuk mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan, terutama dari sektor swasta yang bicara perempuan di dunia kerja, gimana perempuan bisa jadi pendorong ekonomi dari sektor formal. Yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini adalah mentransformasi diri mereka sendiri dengan menggunakan perspektif gender yang dibantu IBCWE.

Mereka menjadi role model, niatnya, buat perusahaan-perusahaan lain karena kekosongan undang-undang (yang mengatur soal perempuan di dunia kerja). Selama ini kan inisiatifnya jalan sendiri-sendiri. Misalnya, perusahaan A sudah melakukan ini nih sukses, tantangannya ini nih. Nah, nanti perusahaan B bisa melakukan itu dengan modifikasi-modifikasi.

Harapannya kesetaraan gender di dunia kerja bisa dipraktikkan rame-rame yang leading-nya nanti adalah kalau ada inisiatif dari private sector, pemerintah bisa ngikutin. Selama ini kan posisinya ada undang-undang dulu, baru perusahaan ngikutin. Tapi sesuai perkembangan zaman, banyak inisiatif yang dilakukan private sector kemudian diadopsi pemerintah.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Member-nya dari industri apa saja?

Macam-macam. Ada dari mining juga, yang tadinya kita pikir, it’s going to be an uphill battle. Mining gitu. Tapi ada dua perusahaan mining yang mau ikutan karena mereka terekspos dengan nilai-nilai dari luar mengenai bagaimana mempekerjakan pekerja perempuan di sektor tambang dan di front-liner loh, ya, bukan di back office, itu meningkatkan performance bisnis mereka, me-reduce biaya, memperkecil sengketa dengan warga di sekeliling. Mereka ingin, bisa enggak sih itu diadopsi di Indonesia? Anggota IBCWE memang beragam, ada dari sektor transportasi, manufacturing paling banyak, consumer goods.

Mengenai Perempuan Di Dunia Kerja, Apa Saja yang Menjadi Indikator Sebuah Perusahaan Menerapkan Policy yang Gender-Friendly?

Keberpihakan terhadap gender yang minoritas. Unfortunately, itu perempuan. Saya tidak mengatakan itu salah perusahaan. Tapi memang situasinya di Indonesia kalau bicara kesetaraan gender masih soal emansipasi. Padahal, gila lo, itu bahasa dari zaman kita SD kali (tertawa). Sebenarnya emansipasi itu kan mendapatkan hak yang sama.Perempuan Indonesia sudah punya hak yang sama dengan laki-laki jauh sebelum kita merdeka. Tapi yang jadi masalah, kesempatannya sama enggak? Kalau kesempatannya sama, caranya sama enggak? Kalau dikasih aksesnya beda ya sama saja hak itu enggak bisa di-exercise juga kan?

Misalnya, begini. Ya, perempuan punya hak pilih. Tapi kemudian dalam beberapa culture, perempuan enggak boleh ke luar rumah. Lu gimana bisa exercise your right kalau kayak gitu caranya?

Perusahaan yang gender friendly itu gimana sih? Paling gampang dulu. Punya ruang laktasi enggak? Perempuannya ada yang harus pumping di toilet perempuan. Padahal itu makanan. [Di toilet itu] bakterinya luar biasa. Atau pumping di ruang kerja, itu kan terbuka banget. Kemudian cuti melahirkannya seperti apa? Banyak perusahaan yang sudah mature, mereka tahu perempuan bisa jadi hidden talent dan ngasih maternity leave-nya enam bulan. Yang berbayar tiga bulan, yang cuma 75 persen dua bulan, sisanya unpaid. It’s okay, but its providing choices.

Kemudian memastikan kalaupun perempuan mengambil cuti melahirkan, kariernya tidak terganggu. Misalnya kalau mau promosi minimal 36 bulan di posisi yang sama. Kalau perempuan cuti melahirkan tiga bulan saja, artinya kan mereka enggak eligible untuk promosi. Padahal, belum tentu performance mereka lebih rendah dari yang full 36 bulan kerja. 

Isu Spesifik Perempuan Di Dunia Kerja Itu Apa Sih, Terutama Kalau Kita Ngomongin Perempuan yang Berusaha Untuk Naik Di Dalam Karirnya?

Tantangannya, satu, glass ceiling di Indonesia, di mana perempuan enggak bisa lagi breaking the class ceiling, cuma bisa sampai di level tertentu. Kemarin ada salah satu hasil penelitian dari perusahaan internasional yang mengatakan jumlah perempuan di high level management di Indonesia tinggi, ketiga tertinggi di Asia atau apa gitu. Nomor satunya kalau enggak salah Filipina. Tapi enggak dilihat ada di mana perempuan-perempuan itu. Biasanya di support function. HR, finance, legal. Tapi coba lihat posisi-posisi yang punya key decision maker atau bisa punya hak veto di dalam perusahaan. Ada di situ enggak? Itu sedikit sekali.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Kemudian double bind syndrome. Eh, ini dibahas loh sama Magdalene di tulisan tentang Athena Doctrine. Saya pertama kali tahu Athena Doctrine itu dari Mbak Alissa Wahid. Kalau perempuan jadi leader, karena ada mixed messages mengenai leadership ini, akhirnya perempuan terkena double bind. Leadership dikaitkan dengan masculinity, tapi si perempuan sendiri sebagai individu dinilai secara feminin.

Jadi kalau dia mengadopsi nilai-nilai yang maskulin atau treat yang maskulin untuk functioning leadership-nya, dia dianggap enggak pantas melakukan itu. Itu disebut double bind. Paling gampang begini kali, ya. Kalau laki-laki, misalnya dalam satu meeting marah, dia dibilang tegas. Kalau perempuan dibilang bitchy dan emosional. Padahal isunya sama. Tone-nya berbeda. Atau hormonal. Ih, paling benci deh gue sama kata itu. Enggak ada hubungannya.

Jadi perempuan kan bingung harus bersikap gimana. Sementara, di dunia banyak perempuan yang mengadopsi sisi-sisi masculinity ini because they have to bertahan di boys club ini. Akhirnya membuat mereka menjadi pemimpin yang dibenci.

Read More

Perempuan Indonesia Pascakemerdekaan: Perjuangkan Kesetaraan dalam Pernikahan

Pada tahun 1950-an, beberapa tahun setelah Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi yang menandai kemerdekaan Indonesia, Indonesia memasuki babak baru dalam mendefinisikan jati diri dan identitas bangsanya dan seharusnya untuk perempuan Indonesia juga. Berbagai pergolakan sosial dan politik yang melibatkan berbagai golongan mencuat dari hari ke hari. Masalah-masalah sosial yang timbul atau terpendam akibat penjajahan perlahan muncul ke permukaan.

Para pejuang semakin berani unjuk gigi dan memberitahukan semua orang bahwa masalah itu penting dan harus segera diselesaikan. Tentu saja perjuangan itu melibatkan peran besar para pejuang perempuan. Kepemimpinan perempuan Indonesia pada awal kemerdekaan banyak berfokus pada perjuangan mewujudkan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan di dalam pernikahan, sebuah perjuangan yang sebenarnya sudah dirintis sejak zaman penjajahan.

Pada periode tersebut, posisi tawar perempuan Indonesia dalam pernikahan sangat tidak pasti. Seperti dikisahkan Elizabeth Martyn dalam bukunya The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia: Gender and nation in a new democracy (2005), sebagian besar perempuan Indonesia tidak memiliki perlindungan dari perkawinan anak atau perkawinan paksa. Mereka juga harus menghadapi kenyataan pahit dipoligami serta diceraikan secara sepihak tanpa alasan jelas oleh suaminya. Praktik poligami dan perkawinan paksa ini banyak dilakukan dengan mengatasnamakan ajaran adat serta agama Islam, kata Martyn.

“Banyak laki-laki yang dapat promosi untuk naik jabatan di pemerintahan/birokrasi kemudian menginginkan istri-istri yang lebih muda dan menarik. Perceraian atau poligami adalah pilihan mereka, yang tiba-tiba melihat istrinya jadi ‘ketinggalan zaman’ dan tidak sesuai dengan ‘standar yang baru’,” kata Salyo, aktivis organisasi Pemuda Puteri Indonesia (PPI) yang dikutip dalam penelitian Martyn.

Dari sinilah organisasi-organisasi perempuan bergerak. Mereka mempercayai bahwa pernikahan harus berjalan secara adil dan setara bagi perempuan, bukan hanya mengakomodasi hak-hak istimewa pada laki-laki.

Organisasi perempuan di Indonesia pascakemerdekaan dikategorisasi berdasarkan identitas diri yang mereka bawa dalam keanggotaannya, seperti para istri, kelompok agama Islam, Kristen, sosialisme, nasionalisme, atau profesi. Dari kategorisasi itu, kemudian pembagian gerakan-gerakan perempuan dipersempit dan melahirkan aliran sekuler, pejuang hak perempuan, sosialis, dan Islamis.

Baca juga: Poligami: Ketika Nafsu Menunggangi Agama

Meski memiliki ideologi yang berbeda, organisasi-organisasi perempuan pada masa ini melakukan pendekatan dan model perjuangannya sendiri yang berkontribusi terhadap lahirnya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974. Dua organisasi yang menonjol dalam perjuangan hukum pernikahan di era ini adalah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Perwari yang memilih pendekatan liberal-feminis misalnya, memfokuskan perjuangan mereka untuk mendorong terciptanya regulasi yang mengatur keadilan bagi perempuan di dalam pernikahan. Poin yang mereka fokuskan untuk hadir di dalam regulasi itu adalah ketentuan monogami, usia minimal pernikahan, kesetaraan ketentuan dalam perceraian, hak milik dan warisan, serta hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan.

Perwari percaya bahwa hukum dan regulasi adalah strategi terbaik untuk meningkatkan status perempuan dan menegakkan hak-hak mereka. Di bawah pimpinan Sri Mangunsarkoro, ketua pertamanya, Perwari gencar melakukan forum publik, petisi, demonstrasi di jalanan, dan delegasi dengan pemerintah untuk melancarkan agenda mereka.

Menjadi pemimpin dan penggagas gerakan perempuan memang bukan lagi hal baru bagi Sri Mangunsarkoro, yang sebelum menikah dikenal dengan panggilan Ni Wulandari. Berbagai gerakan dan organisasi yang dipimpinnya memang konsisten menjadi corong suara perempuan untuk mencapai kesetaraan, dimulai dari menjadi pemimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga, lalu menjadi ketua Keputrian Jong Java pada 1920, menjadi ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta, Ketua Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta pada tahun 1935, sampai ketua Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI).

Sejalan dengan Perwari, perjuangan Gerwani juga menuntut pada poin-poin kesetaraan yang sama. Ketidaksetujuan mereka terhadap poligami bahkan membuat mereka tak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan anggota yang bersedia dijadikan istri kedua. Yang membedakan perjuangan Perwari dan Gerwani adalah perspektif pemikiran mereka. Menurut perspektif sosialis-feminis Gerwani, akar permasalahan dari ketidaksetaraan yang menimpa perempuan di dalam pernikahan adalah ketidaksetaraan di dalam masyarakat secara umum. Mereka percaya bahwa keadilan bagi perempuan dalam pernikahan hanya bisa dicapai bila struktur masyarakat dirombak.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

“Selama masyarakat ini belum terbebas dari eksploitasi, perempuan akan selalu dieksploitasi di dalam pernikahan,” kata salah seorang pendiri dan anggota Gerwani, S. K. Trimurti, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Praeadvies Soal Perkawinan” (1952).

Selain menentang poligami, kawin paksa, dan kawin anak, Gerwani juga kerap mengampanyekan pemberantasan tindak kekerasan seksual. Kampanye itu berhasil menjadikan Gerwani organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang diklaim anggotanya mencapai 1,5 juta orang. Salah satu kasus yang gencar dibela Gerwani adalah kisah Maisuri, gadis remaja yang dipaksa menikahi seorang kiai yang sudah punya tiga orang istri dan 12 orang anak, seperti disebut Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010).

Bersama berbagai organ milik Partai Komunis Indonesia (PKI), kelompok yang memiliki hubungan dekat dengan Gerwani, Gerwani gencar melaksanakan aktivismenya lewat tulisan-tulisan di surat kabar dan majalah. Kedekatan keduanya memang kerap mengundang kontroversi. Tapi dalam agenda perjuangan kesetaraan gender yang Gerwani usung, hubungan itu sedikit banyak sudah mennguntungkan Gerwani. Misalnya, Harian Rakjat milik PKI terus mewartakan kasus Maisuri lewat artikel-artikel panjang, juga mengecam kecaman keras terhadap pernikahan paksa.

Perjuangan lewat kegiatan jurnalistik memang jadi salah satu strategi yang banyak dilakukan organisasi perempuan di masa ini, termasuk Perwari yang gencar menuliskan kritiknya lewat Suara Perwari, sebagaimana Gerwani mempunyai Api Kartini.  Strategi perjuangan pena yang dipilih keduanya ini, di samping pidato dan menghadiri berbagai konferensi, terbukti berhasil menyentil banyak pihak. Ketika tulisan-tulisan kritis itu tersebar dan dibaca banyak orang, semakin banyak perempuan Indonesia yang matanya terbuka hingga memutuskan untuk ikut terjun ke perjuangan perempuan.

Read More

Jejak Perempuan Pemimpin Kerajaan Nusantara

Dalam sebuah catatan Dinasti Tang dari Tiongkok pada abad ke-6 Masehi, diceritakan tentang keberadaan Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga yang berlokasi di sekitar Jepara, Jawa Tengah. Sebagai seorang pemimpin perempuan, ia dikenal tegas dan jujur. Ketegasannya itu membuat rakyatnya selalu berpaku pada kebenaran dan takut merampas hak orang lain. Tak peduli seberapa berharga suatu barang, selama bukan milik mereka, maka tidak akan diambil.

Ketegasan Ratu Shima dalam menegakkan kejujuran tersebut tersohor ke seantero negeri bahkan sampai ke negeri seberang. Ceritanya itu menarik seorang raja bernama Tha-Shih dari Tiongkok yang menguji kejujuran rakyat yang dipimpin Ratu Shima itu dengan jalan mengirimkan sekantong emas dan menggeletakkannya di jalan begitu saja. Dugaannya benar, tidak ada seorang pun yang berani mengambil kantong berisi emas tersebut, menahun dibiarkan begitu, sampai akhirnya tiba-tiba putra dari Sang Ratu, Pangeran Narayana tidak sengaja menginjak kantong itu.

Ratu Shima marah bukan kepalang mengetahui putranya menyentuh barang yang bukan miliknya. Ingin membuktikan keseriusannya dalam menegakkan kejujuran, sang ratu sampai menjatuhkan hukum mati pada anak semata wayangnya tersebut. Namun ia dicegah oleh para pejabat dan penasihat kerajaan, sehingga putranya hanya dihukum dengan memotong jari jempolnya.

Berkat ketegasan dan kepemimpinan Ratu Shima, Kerajaan Kalingga mencapai puncak periode keemasannya. Kalingga sendiri merupakan kerajaan Hindu yang jejaknya diakui terbesar di Jawa. Sayangnya, tidak banyak catatan atau peninggalan prasasti yang membahas secara rinci masa kepemimpinan Ratu Shima ini, padahal namanya banyak dicatut sebagai contoh pemimpin yang tegas dan mengedepankan kejujuran.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Selain Ratu Shima, pada masa kerajaan tradisional jejak kepemimpinan perempuan punya peran yang penting, banyak di antaranya menjadi pemimpin kerajaan besar. Menariknya, jika masyarakat Jawa pada masa sesudah kemunculan kerajaan Islam berubah menjadi sangat feodal serta patriarkal dan mendomestikasi perempuan dengan istilah kanca winking (dapur, sumur, kasur), pada masa Jawa kuno, posisi perempuan justru setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, dari mulai ekonomi, politik, hukum, sampai menjadi ratu.

Dalam bukunya Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV, arkeolog Titi Surti Nastiti menulis bahwa pada abad ke-8 hingga abad 15, perempuan memiliki peran dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Di bidang politik, jabatan pemerintahan bisa diduduki oleh laki-laki maupun perempuan, itu mulai dari raja/ratu, putra/putri mahkota, pejabat hukum, pejabat keagamaan sampai pejabat desa.

“Di istana, seorang putri mahkota atau putra mahkota itu ditunjuk karena dia lahir dari seorang raja dan permaisuri kemudian akan dilanjutkan menjadi penguasa di masa depan, entah itu laki-laki maupun perempuan, seorang istri bisa saja memiliki gelar kebangsawanan lebih tinggi daripada suaminya,” tulis Titi.

Ratu Pelindung Semua Agama

Periode keemasan kepemimpinan perempuan terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1527) di wilayah Jawa Timur. Kerajaan terbesar di Jawa ini mungkin dianggap mencapai puncak kejayaannya lewat ekspedisi Mahapatih Gadjah Mada dalam menguasai Nusantara, di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Namun selama pemerintahan Hayam Wuruk, wilayah kekuasaan Majapahit banyak dipimpin oleh perempuan.

Sebelum Hayam Wuruk naik takhta ke tapuk kepemimpinan, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh ibundanya, Tribhuwana Wijayatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1351). Ia merupakan putri dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya. Dengan bimbingan sang ibu Gayatri Rajapatni, Tribhuwani memerintah Kerajaan Majapahit selama 22 tahun. Tak hanya boleh menjadi raja, Tribhuwana juga mendapat gelar maharaja dengan nama abhiseka (pelindung semua agama). Sumber-sumber yang menceritakan tentang masa-masa kepemimpinannya banyak ditemukan dalam teks Negarakertagama (puisi Jawa Kuno)dan Pararaton (riwayat para raja).

Pada masa Jawa kuno, posisi perempuan justru setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, dari mulai ekonomi, politik, hukum, sampai menjadi ratu.

Dalam teks tersebut diceritakan bahwa meski keberhasilan ekspedisi Gajah Mada untuk melebarkan kekuasaan Majapahit, membangun sebuah kemaharajaan dan menguasai Nusantara ada pada saat kekuasaan Hayam Wuruk, namun gagasan akan kemaharajaan sebetulnya tercetus pada masa kepemimpinan Tribhuwana.

Selama kekuasaan Tribhuwana, Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di Nusantara. Ia juga dikenal karena berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta pada 1331 M. Menurut sumber prasasti yang ditemukan, Tribhuwana banyak membangun candi bagi Empu Prapanca, pujangga sastra Jawa Kuno yang menulis Negarakertagama. Ia juga membangun Candi Singhasari untuk memperingati Mahabrahman dan bekas patih Singhasasi yang gugur bersama dengan raja Kertanegara.

Walau tapuk kekuasaan kemudian jatuh ke Hayam Wuruk, kepemimpinan perempuan tetap berperan penting dalam memimpin wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Prasasti Waringin Pitu (1369) menunjukkan jika 14 dari 19 pemimpin wilayah kekuasaan kerajaan adalah perempuan, terutama daerah Lasem.

Dalam Nagarakertagama tercatat jika semua penguasa Lasem adalah perempuan. Beberapa diantaranya adalah adik Hayam Wuruk, mereka biasanya diberi gelar Bhre Lasem. Bhre Lasem I adalah adik perempuan Raja Hayam Wuruk, bernama Sri Rajasadhitendudewi, sementara Bhre Lasem II dipimpin oleh putri dari Hayam Wuruk dengan permaisurinya Paduka Sori, bernama Kusumawarddhani. Bhre Lasem III dijabat oleh Nagarwarddhani yang merupakan keponakan Hayam Wuruk.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Pemimpin Perempuan Terakhir di Kerajaan Jawa Kuno

Selan diizinkan untuk memimpin daerah, putra atau putri mahkota pun tidak selalu naik takhta, Kusumawarddhani misalnya, tidak menggantikan ayahnya menjadi ratu Majapahit ketika Hayam Wuruk turun dari tapuk kepemimpinan (1389). Kusumawarddhani memilih memberikan tapuk kepemimpinan tersebut pada suaminya Wikramawarddhana. Hal ini menyebabkan kecemburuan anak selir Hayam Wuruk, Bhre Wirabumi, yang berakibat pada perang saudara Paregreg (1404), yang dimenangkan oleh Wikramawardhana. Setelah wafat pada 1428, tampuk kepemimpinan dikembalikan pada Kusumawarddhani, ia menjadi raja perempuan kedua Majapahit, meski kepemimpinannya tergolong singkat hanya berlangsung tiga tahun saja.

Setelah Kusumawarddhani lengser, Majapahit kembali dipimpin oleh perempuan, yang tak lain adalah putrinya bernama Dyah Suhita, yang sukses memimpin Majapahit selama 18 tahun (1429-1447), dan disebut-sebut sebagai raja perempuan terakhir di Jawa Timur. Selama kepemimpinannya, Dyah Suhita berusaha menghidupkan kearifan lokal yang sempat terabaikan selama masa tegang perang Paregreg. Karena Dyah tidak memiliki keturunan, penguasa Majapahit selanjutnya adalah Kertawijaya, adik bungsu Dyah Suhita.

Tulisan Nagarakertagama maupun kitab Pararaton tidak menggambarkansecara detail bagaimana gaya kepemimpinan para perempuan di masa kerajaan. Namun menurut Titi, dalam teks Kakawin Kresnayana jelas tercatat bahwa seorang perempuan ideal dan seorang ratu tidak hanya persoalan cantik belaka, tetapi juga terpelajar dan mahir memimpin. Salah satu sebabnya adalah karena pada masa itu, pendidikan tidak terbatas pada laki-laki saja. Sehingga para pemimpin perempuan pun jelas bukan hanya karena garis keturunan, tetapi karena mereka juga memiliki kemampuan yang mumpuni.

Read More
pemimpin perempuan islam

Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Salah satu hal yang kerap kali menghambat perempuan menjadi pemimpin adalah narasi interpretasi ajaran agama yang menganggap sebaik-baiknya pemimpin adalah laki-laki. Hasil penelitian Cakra Wikara Indonesia (CWI) yang terbit baru-baru ini menunjukkan, perempuan harus mengeluarkan energi ekstra untuk meyakinkan para tokoh agama ketika ia hendak menjadi pemimpin. Padahal kalau kita melihat sejarahnya, pemimpin perempuan islam sudah ada sejak dulu.

Hal ini sebetulnya merupakan langkah mundur, mengingat kepemimpinan perempuan memiliki andil penting di dalam sejarah perkembangan Islam. Mereka menjadi contoh pemimpin yang menampilkan sisi kemanusiaan di tengah masyarakat zaman kegelapan (Jahiliyah) di jazirah Arab yang berusaha melenyapkan kehadiran perempuan dari muka bumi ini. Para perempuan pemimpin ini punya mental baja karena harus bertahan di tengah lingkungan yang sangat patriarkal dan menempatkan perempuan sebagai manusia hina yang tak bernilai.

Perempuan pemimpin dalam sejarah Islam juga hadir dalam berbagai bidang, mulai dari perekonomian sampai dengan pendidikan. Sayangnya, sekarang ini deretan nama yang bisa menjadi panutan untuk memantik lebih banyak lagi pemimpin perempuan dalam Islam itu direduksi dengan hanya menampilkan segi ketaatannya saja, atau segi kesetiaannya dalam menemani tokoh- tokoh besar laki-laki dalam penyebaran ajaran Islam.

Aktivis gender sekaligus ahli sosiologi dan antropologi agama, Lies Marcoes, dalam bukunya Maqashid Al Islam: Konsep Perlindungan Manusia dalam Perspektif Islam, mengatakan peran pemimpin perempuan seolah lenyap, terkikis oleh narasi yang bernafsu menempatkan perempuan di ranah domestik. Padahal banyak sekali pemimpin perempuan di zaman Rasulullah yang bisa menjadi contoh, tidak hanya bagi perempuan tapi juga laki-laki.

Khadijah Saudagar Kaya

Khadijah Al-Kubra misalnya. Sebelum menjalani biduk rumah tangga dengan Nabi Muhammad, ia adalah perempuan mandiri yang memimpin perusahaan besar peninggalan sang ayah di Makkah. Di saat banyak orang tua memilih membunuh anak perempuan karena dianggap aib, ayah Khadijah, Khuwailid, dan ibunya, Fatima, sudah punya pemikiran lebih maju. Mereka mengajari Khadijah bisnis sejak kecil, tak heran jika ia piawai dalam menjalankan usaha keluarga sepeninggal sang ayah.

Namanya tersohor di kalangan suku mayoritas Quraish dan disegani banyak pihak. Di tangan Khadijah, bisnis sang ayah maju pesat berkat keterampilan, integritas, dan keluhuran budinya. Segala jenis barang ia jual, mulai dari mebel dan tembikar sampai sutra, dan ia merambah ke pusat-pusat perdagangan seperti Suriah dan Yaman. Hebatnya lagi, Khadijah saat memimpin perusahaannya merupakan ibu tunggal yang mengurus dua anaknya Abdullah dan Abu Hallah, karena ia dua kali ditinggalkan suami yang tewas di medan perang.

Meski Khadijah merupakan pengusaha sukses dengan kekayaan berlimpah, namun ia mempunyai jiwa kemanusiaan yang tinggi. Ia dikenal dermawan dan punya rasa empati yang besar terhadap sesama. Dalam buku Yasin T. al-Jibouri bertajuk Khadija: Daughter of Khuwaylid, dikisahkan bahwa Khadijah selalu memerintahkan bawahannya untuk membuka pintu toko agar orang-orang yang kelaparan bisa masuk dan meminta makan. Semua pekerja pun ia perlakukan dengan baik, termasuk Muhammad, yang sering kali diutusnya berdagang ke Suriah.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Dari sini terlihat kepemimpinan Khadijah yang selalu mengedepankan empati dan memperlakukan semua orang dengan setara terlepas dari latar belakang mereka apa. Mereka yang tidak punya rumah, fakir miskin yang kelaparan datang dengan perut kosong lalu pulang membawa makanan dengan perut terisi. Atas kebaikannya tersebut Khadijah mendapat julukan Ameerat Quraysh atau putri Quraish, dan Al Tahira yang berarti ketulusan.

Saat ia memutuskan melamar Muhammad yang merupakan pegawainya sendiri dan lebih muda 15 tahun dari dirinya yang berusia 40 tahun, Khadijah membangun rumah tangga yang setara dan saling menghormati satu sama lain. Di awal Muhammad menerima wahyu kenabiannya dan bertugas menyebarkan agama Islam, bukan tidak mungkin ia justru yang lebih banyak belajar dari Khadijah perihal kepemimpinan, mengingat Khadijah sudah mengalami asam garam kepemimpinan sejak usia muda. Khadijah pun diketahui banyak menyokong suaminya secara finansial di tengah penyebaran agama Islam.

Sekarang ini, Khadijah banyak dijadikan sebagai simbol kemajuan perempuan muslim yang ingin menjadi pengusaha. Namanya banyak dipakai oleh lembaga kemanusiaan sebagai wujud penghormatan atas dedikasinya dalam membongkar stereotip terhadap perempuan pada saat itu, dan peran besarnya dalam penyebaran agama Islam.

Aisyah Intelektual Muslimah dan Pemimpin Perempuan Islam

Sebagai istri Muhammad setelah Khadijah wafat, Aisyah punya peran yang  tidak kalah penting dalam perjalanan kepemimpinan perempuan di awal penyebaran Islam. Ia merupakan orang yang paling dipercaya Nabi, berwawasan luas, berotak brilian, kritis, dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Setelah Nabi, Muhammad wafat Aisyah menjadi orang yang dipercaya memimpin komunitas Muslim di jazirah Arab. Dari Aisyah pula banyak tercetak intelektual-intelektual yang berpengaruh besar dalam Islam. Ia punya dedikasi besar menyebarkan Islam yang inklusif.

Profesor Kajian Islam di Carthage College, AS, Fatih Harpci dalam tulisannya “Aisha Mother of The Faithful: The Prototype of Muslim Women Ulaman menggambarkan Aisyah sebagai Istri seorang Nabi yang bisa berperan dalam tiga dimensi pekerjaan—di ranah domestik, di ranah ilmu pengetahuan, dan jembatan penyampai ajaran Islam yang kritis serta bersumber langsung dari Nabi Muhammad.

Rasa ingin tahu yang dalam serta antusiasmenya terhadap pengetahuan menjadikan Aisyah ditempatkan sebagai salah satu nama teratas intelektual muslim setelah kepergian Muhammad pada saat itu. Ia dijadikan tempat orang-orang belajar tentang berbagai ilmu, tak hanya ilmu agama saja, tapi juga ilmu pengetahuan lain yang mulai berkembang saat itu, seperti ilmu sosial, politik, dan sains.

Aisyah dikenal sebagai orang pertama yang membuka sekolah dari rumahnya pada masa itu. Baik perempuan maupun laki-laki bisa ikut serta, tidak peduli latar belakang mereka. Aisyah juga menyediakan program beasiswa bagi mereka yang mau belajar bersungguh-sungguh. Bahkan tokoh-tokoh besar dalam Islam banyak yang belajar terlebih dahulu dari Aisyah.

Baca juga: Apakah Aisyah Seorang Feminis?

Dalam bukunya Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate,Leila Ahmed mengatakan bahwa dari segi politik, Aisyah juga dijadikan pemimpin dan disegani komunitas muslim. Setelah wafatnya Nabi Muhammad pada 632 M, tumpuan komunitas muslim adalah Aisyah. Saat ada perseteruan terhadap sesuatu atau keputusan besar, Aisyah sering dilibatkan dan ia selalu diminta pendapat tatkala hendak memutuskan sesuatu yang bisa. Aisyah memberi solusi sebagaimana pesan-pesan Muhammad kepadanya.

Di saat ada yang memelintir hadis-hadis tanpa memikirkan relevansi dan konteks, Aisyah hadir sebagai orang yang menyangkal dan membenarkan kekeliruan itu. Ilmu-ilmu yang dikuasai oleh Aisyah mendapat gelar Al-Mukatsirin atau orang yang paling banyak meriwayatkan hadis. Ada hampir 2.210 hadis yang diriwayatkan Aisyah.

Nama Aisyah kerap kali diperdebatkan pada peneliti sejarah Islam kontemporer sebagai tokoh perempuan revolusioner feminis dalam Islam. Hal tersebut mengacu pada beberapa hadisnya Aisyah sering menyerukan pada perempuan agar perannya tidak boleh dipersingkat ke rumah saja, mereka harus memainkan peran aktif dalam kehidupan Islam. Tak heran atas segala keahlian dan dedikasinya, Aisya dianggap sebagai ibu orang-orang beriman. Ia merupakan contoh nyata perempuan dalam sejarah Islam awal yang bisa menggabungkan, agama secara spiritual, aktivisme, pendidikan, dan kepemimpinan.

Fatima Al-Fihri Pendiri Universitas Pertama Di Dunia

Seiring berkembangnya Islam yang mulai menyebar ke berbagai negeri, koridor pendidikan serta pengembangan Islam dalam ranah intelektual tetap dipegang perempuan. Pada abad 8 M, nama Fatima Al-Fihri dikenal sebagai pendiri institusi pendidikan muslim terbesar di Jazirah Arab dan Afrika Utara. Fatima dan keluarganya merupakan imigran yang pindah ke Fez, Maroko, Tunisa, untuk memulai hidup baru. Ayahnya adalah pebisnis andal yang sukses, sehingga Fatima hidup berkecukupan dengan kekayaan berlimpah.

Ketika ayahnya meninggal, Fatima dengan adiknya Mariam menggunakan harta peninggalan sang ayah untuk membangun masjid. Fatima punya pemikiran yang sangat revolusioner, dengan menjadikan masjid yang kemudian diberi nama Al-Qarrawiyyin. Saat mendesain masjid, Fatima sudah memikirkan jika masjid itu kelak akan menjadi tempat bernaung mereka yang ingin memperdalam ilmu agama serta ilmu pengetahuan.

Di bawah kepemimpinannya, Al-Qarrawiyin berkembang pesat hanya dalam beberapa dekade saja. Banyak orang yang berbondong-bondong untuk menimba ilmu ke sana. Masjid Al-Qarrawiyyin pun beralih fungsi menjadi institusi pendidikan, sebagai universitas pertama di Maroko dan pusat pendidikan terutama bagi komunitas muslim, bahkan hingga sekarang masih beroperasi. Sebagai institusi besar, Al-Qarrawiyyin telah mencetak berbagai profesi, mulai sastrawan, astronom, dokter, fisikawan, aktivis kemanusiaan dan masih banyak lagi. Seiring berjalannya waktu, tak hanya terbatas pada muslim, Al-Qarrawiyin juga menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang.

Al-Qurrawiyin pun diakui oleh United Nations Educational Scietific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai universitas pertama dan tertua di dunia. Sejak 2017, Tunisia memberikan penghargaan Fatima Al-Fihri untuk mengapresiasi para perempuan di bidang pendidikan, dan mendorong para perempuan agar lebih berani menggapai cita-citanya.

Read More

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Kayla Pospisil tidak pernah menyangka bahwa mimpinya untuk menjadi seorang pembaca berita akan mengantarkannya menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja. Kala itu, Kayla yang polos datang menghampiri atasannya untuk memperbincangkan kemungkinannya naik jabatan dan menjadi seorang pembawa berita. Sang atasan lalu mengatakan bahwa Kayla bisa menjadi pembawa berita asalkan dia mau “berdiri dan mengangkat ujung roknya lebih tinggi dan lebih tinggi” sampai menampakkan celana dalamnya.

Kisah Kayla dan perempuan-perempuan lain yang mengalami peristiwa serupa diangkat secara apik dalam film Bombshell (2019) yang menunjukkan bagaimana pelecehan seksual di tempat kerja terhadap perempuan sudah dinormalisasi, menyebar, dan menjadi sebuah fenomena struktural.

Di sebuah adegan, sambil menangis dan menyesali apa yang terjadi, Kayla menceritakan bagaimana bosnya melecehkan dia sambil berkata, “Good girl. Be a good soldier. Earn your place.” Kalimat ini mampu merangkum sekaligus menggarisbawahi persoalan yang disoroti, yaitu bagaimana perempuan dianggap dan diperlakukan sebagai objek sekssebagai nilai utama yang melekat pada dirinya.

Nilai-nilai lain seperti kecerdasan atau loyalitas “hanya” menjadi pertimbangan nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya, ketika masyarakat terutama laki-laki memandang sosok perempuan di dunia profesional. Alih-alih dinilai berdasarkan kompetensinya dalam wicara publik, penguasaan masalah, atau pembuatan konten jurnalistik, kelayakan Kayla dalam menjadi pembaca berita dinilai dari apa yang ada di balik pakaiannya serta kesediaan dia untuk memperlihatkan itu pada laki-laki.

Lewat narasi bahwa ada banyak Kayla-Kayla lain di perusahaan itu, film ini menggambarkan bahwa relasi kuasa, merupakan sebuah hal manipulatif yang bisa memvalidasi berbagai perlakuan buruk laki-laki terhadap perempuan. Ini juga mencerminkan bagaimana masih banyak laki-laki yang mengadaptasi nilai dari sistem patriarki ke dalam kehidupannya dengan menilai perempuan sebagai barang murah yang harus menjual seksualitasnya untuk mencapai posisi tertentu. Selain mengecilkan harga diri perempuan sebagai manusia, ini juga menunjukkan bagaimana di masyarakat yang patriarkal ini, perempuan tidak pernah diharapkan untuk menjadi orang-orang yang berada di depan laki-laki. Mereka selalu dipaksa untuk mendiami tempat yang berada di belakang laki-laki.

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Ancaman untuk Menghambat Perempuan

Menurut riset inisiatif sosial yang bertujuan mencegah pelecehan seksual di tempat kerja bernama Never Okay Project bekerja sama dengan Scoop Asia yang berjudul “Kondisi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja” tahun 2018, hanya 4 persen perempuan pekerja yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sebanyak 40 persen responden bahkan pernah mengalami pelecehan seksual fisik di tempat kerjanya. Dan pelaku paling banyak merupakan atasan atau rekan kerja senior.

Di dunia kerja, cerminannya bahkan semakin nyata dalam bentuk ketidakpercayaan pada perempuan yang menjadi pemimpin. Laki-laki pun berusaha mempertahankan posisinya dengan melecehkan rekan atau bawahan perempuannya, sebagai bentuk ancaman yang sengaja dibuat dan dilakukan untuk menghambat perempuan mencapai posisi yang lebih tinggi dan menjanjikan.

Menurut Heather McLaughlin, Christoper Uggen, dan Amy Backstone dalam penelitian berjudul “Sexual Harassment, Workplace Authority, and the Paradox of Power” (2012), pelecehan seksual di tempat kerja merupakan bentuk hukuman yang diberikan laki-laki kepada perempuan yang mereka nilai tidak berperilaku sesuai dengan “kodrat” femininitas yang seharusnya dilakukan perempuan. Bila perempuan itu berasal dari ras atau kelompok minoritas lainnya, maka kerentanannya untuk menjadi sasaran akan meningkat.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Pelecehan yang berbasis seks juga disinyalir muncul karena dorongan laki-laki untuk mempertahankan kekuasaan dan kedudukan yang masyarakat bebankan pada mereka. Yaitu posisi laki-laki sebagai pihak yang dominan, sementara perempuan submisif, dalam hubungan seksual.

Dalam banyak kasus, perempuan yang melaporkan pelecehan seksual yang menimpa dirinya kepada pihak perusahaan malah akan balik disalahkan dengan alasan-alasan klise yang tidak masuk akal. Sebut saja, itu risiko perempuan yang sering bepergian ke luar rumah, sering sendirian di ruang kerja, atau memakai pakaian yang terlalu pendek.

Hal ini membentuk benang-benang merah yang mengantarkan pada simpulan atas fakta bahwa perempuan yang memiliki posisi penting dan memimpin rentan mengalami pelecehan seksual serta diskriminasi di tempat kerja, karena mereka dinilai mengancam dominasi laki-laki.

Absennya Aturan Membuat Terjadinya Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan seksual juga semakin dinormalisasi dengan absennya aturan yang tegas melarang pekerjanya untuk melecehkan satu sama lain sekaligus mengatur sanksi bagi mereka yang melakukannya. Menurut riset yang sama dari Never Okay Project, sebagian besar responden mengaku bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tidak mempunyai mekanisme yang mengatur penanganan pelecehan seksual secara jelas.

Pelecehan seksual di tempat kerja merupakan bentuk hukuman yang diberikan laki-laki kepada perempuan yang mereka nilai tidak berperilaku sesuai dengan “kodrat” femininitasnya.

Meskipun ini adalah nilai-nilai dasar kemanusiaan yang  seharusnya sudah dipahami dan diamini tanpa terkecuali, kehadiran peraturan itu akan menjamin dan menjaga kedudukan perempuan dari laki-laki yang menyalahgunakan kekuasaan mereka dan melakukan manipulasi untuk menemukan pembenaran untuk melakukan pelecehan seksual. Apalagi ketika pelecehan itu dilakukan seorang atasan laki-laki kepada bawahan perempuannya. Korban akan berada pada posisi terimpit dan terancam sehingga kesulitan untuk melaporkan kejadian yang menimpanya. Lagi-lagi, bias relasi kuasa bermain dan merugikan perempuan pada akhirnya.

Tapi bukan hanya perusahaan yang bersalah atas absennya regulasi ini. Sampai hari ini, Indonesia belum memiliki regulasi yang secara langsung dan jelas mengatur persoalan pelecehan seksual, termasuk prosedur pengaduan yang jelas, sampai sanksi bagi para pelakunya. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) belum menjadi angin segar bagi kasus ini, mengingat drafnya masih saja mandek setelah bertahun-tahun dikaji dan diajukan. Akibatnya, kecacatan sistem hukum terkuak setiap kali penyelesaian hukum kasus pelecehan seksual dilakukan.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Mungkin masih segar di ingatan kita akan putusan Pengadilan Negeri Mataram yang menghukum guru honorer Baiq Nuril atas tuduhan “menyebarkan konten asusila” yang disebut melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal, barang bukti yang dipersalahkan ini adalah rekaman suara atasan Baiq di kantor yang melecehkan dia secara seksual melalui sambungan telepon. Ketika Baiq justru sedang berusaha merekam bukti pelecehan seksual yang menimpa dia, Baiq malah dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Ini adalah bukti bagaimana sistem hukum dan perundangan di Indonesia secara umum tidak satu suara dalam mendefinisikan pelecehan seksual di berbagai spektrum. Tidak ada jeratan hukum yang secara pasti menunjuk kesalahan dan kebiadaban pelecehan seksual. Sampai pada akhirnya, nasib korban masih saja tidak jelas. Sementara para pelaku bisa berkeliaran bebas dan mengancam keselamatan perempuan-perempuan lain.

Menghindari tempat dan posisi yang sebenarnya berpotensi membantu mereka mengembangkan karier kerap kali menjadi pilihan para perempuan yang takut atau merasa terancam. Jelas, hal ini seharusnya tidak dijadikan solusi. Akar masalahnya masih tumbuh semakin subur dan sama sekali tidak terselesaikan. Mengapa yang tidak bersalah yang harus mundur perlahan?

Read More
standar ganda perempuan di tempat kerja

Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Secara kasat mata, mungkin kita melihat dunia profesional hari ini sudah ramah-ramah saja pada perempuan. Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan hak dan perlakuan berdasarkan jenis kelamin. Tapi kenyataannya, masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan bekerja. Ada banyak nilai-nilai seksis sebagai produk budaya patriarki yang mengakar, seperti standar ganda kepada kaum perempuan. Akibatnya, perempuan memiliki lebih banyak hambatan untuk berkarier atau naik ke posisi yang lebih tinggi ketimbang laki-laki.

Hal itu diawali dari segregasi atau pemisahan gender dalam pekerjaan, bagaimana laki-laki bertugas di ranah publik, seperti di pemerintahan, pekerja kasar, dan sebagainya. Sementara itu, perempuan bertugas di ranah privat/domestik dengan tanggung jawab utama untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, termasuk merawat anak dan keluarga. Karena yang menghasilkan uang/alat tukar lainnya adalah pekerjaan di ranah publik, maka laki-laki lagi-lagi mendapatkan lebih banyak kekuasaan dalam kehidupan sosial. Mereka bisa membeli dan membayar banyak hal untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

Hal ini mengakar pada kehidupan sosial masyarakat Yunani kuno.  Keran keterlibatan perempuan dalam urusan publik dan pembuatan keputusan tidak pernah dibuka. Peran perempuan pun semata-mata untuk fungsi reproduksi. Seorang istri harus menerima ketika suaminya memiliki selir atau perempuan lain dari “hadiah perang” dan budak yang selalu diasosiasikan untuk kegiatan seksual.

Pola pikir ini masih terpatri di benak banyak orang sampai hari ini, yang menimbulkan tantangan bagi perempuan bekerja. Akibatnya, jumlah perempuan yang memiliki pekerjaan di sektor formal rendah. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan berjudul “Women at Work” (2015), hanya 1,3 miliar perempuan di dunia yang dipekerjakan, sementara laki-laki sebanyak 2 miliar orang. Rasio perekrutan perempuan hanya mencapai sebesar 46 persen, sementara laki-laki hampir mencapai 72 persen. Belum lagi kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki yang dieprkirakan mencapai angka 23 persen. 

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Standar Ganda dalam Pekerjaan Bersifat Feminin

Tak mendapat dukungan dari suami dan keluarga adalah salah satu tantangan perempuan bekerja. Selain itu, mereka juga harus menghadapi berbagai bentuk diskriminasi di kantornya. Rania Salem dan Kathryn M. Yount dalam penelitian “Structural accommodations of patriarchy: Women and workplace gender segregation in Qatar” (2019) menyatakan, pekerja perempuan kerap ditempatkan di pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya feminin dan/atau berada di tingkatan hierarki dan jabatan yang lebih rendah dari pekerja laki-laki.

Satu alibi yang kerap dipakai perusahaan dengan kebijakan seperti ini adalah karena bobot pekerjaan rumah tangga dan merawat anak bagi perempuan lebih besar. Dalam hal ini, bias agama juga berperan memberikan sumbangan yang memvalidasi subordinasi perempuan atas laki-laki sebagai “pemimpin”.

Di negara-negara Timur Tengah, dengan pengaruh ajaran Islam yang kental, banyak sekali tantangan bagi perempuan bekerja yang sulit mendapatkan promosi di kantornya. Mereka dianggap tidak bisa berinteraksi secara fleksibel dengan kolega laki-lakinya atau pihak-pihak lain di luar kantor. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama di balik tingginya angka perempuan yang menganggur dan sulit mendapat pekerjaan.

Para perempuan pekerja juga harus menghadapi pahitnya standar ganda dan dangkal yang membayang-bayangi penilaian orang terhadap kualitas diri mereka. Misalnya standar mengenai cara bersikap. Di satu sisi, “pekerjaan laki-laki” yang sifatnya maskulin dan dianggap sulit lebih dihargai. Tapi perempuan yang memilih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ini malah menghadapi tantangan baru, yaitu standar ganda yang mengharuskan mereka kapabel dalam pekerjaan tapi juga ramah dan disukai banyak orang. Entah di dunia pekerjaan ataupun di keseharian, perempuan selalu saja dituntut untuk bersikap lemah lembut, tidak terlalu ambisius, dan tidak terlampau menunjukkan emosi agresif seperti laki-laki.

Tentu saja standar ini tidak berlaku buat para pekerja laki-laki, dan ini sangat terlihat menjadi standar ganda dalam perusahaan. Perempuan yang menunjukkan sikap-sikap agresif atau mengarah pada maskulinitas akan mendapatkan banyak kritik atau bahkan dikucilkan perusahaan. Sementara itu, menurut Gorman dalam penelitiannya “Gender Stereotypes, Same-Gender Preferences, and Organizational Variation in the Hiring of Women” (2005), semakin banyak sikap-sikap maskulin yang ditunjukkan seorang calon pekerja laki-laki, maka akan semakin besar kemungkinannya untuk diterima bekerja.

Narasi seksis lowongan pekerjaan

Standar-standar ini juga kerap membuat perusahaan menjebak perempuan melalui narasi lowongan pekerjaan untuk karyawan baru. Banyak sekali kita temui lowongan pekerjaan yang menyertakan kriteria-kriteria tak masuk akal, seperti berat badan maksimal, tinggi badan minimal, belum menikah, atau belum mempunyai anak. Mirisnya, kriteria-kriteria ini banyak diberikan pada para calon pekerja perempuan. Ini merupakan cerminan lain mengenai bagaimana perempuan selalu ada di bawah bayang-bayang standar kecantikan yang semu, bahkan di dunia profesional sekalipun yang mana dihuni oleh orang-orang mayoritas berpendidikan.

Padahal, ILO bahkan sudah menetapkan larangan bagi perusahaan untuk melakukan rekrutmen pekerja dengan melakukan diskriminasi seks. Misalnya dengan membuat spesifikasi yang mengatur tinggi dan berat badan minimal, atau status pernikahan dan kehamilan. Hal itu dituliskan dalam kajiannya yang berjudul “ABC of women workers’ rights and gender equality” (2007).

Pemahaman bahwa penampilan fisik, bentuk tubuh, maupun cara bersikap setiap manusia pasti berbeda-beda dan sama sekali tidak bisa ditakar berdasarkan satu-dua standar yang absolut, seharusnya sudah mereka miliki. Apalagi, kriteria fisik itu sama sekali tidak mempengaruhi performa dan kualitas kerja perempuan. Sedikit banyak ini juga mengindikasikan bagaimana pandangan-pandangan masyarakat kuno mengenai perempuan masih bisa ditemukan di kehidupan hari ini.  Misalnya dengan menganggap perempuan sebagai perhiasan, sehingga mereka harus selalu terlihat cantik sesuai dengan keinginan laki-laki.

Beberapa perusahaan bahkan memberlakukan standar pakaian yang lebih tidak masuk akal dan sangat seksis. Misalnya mengharuskan para pekerja perempuannya untuk mengenakan sepatu hak tinggi atau high heels untuk “menunjang” penampilan tubuh menjadi lebih tinggi, kurus, dan menonjolkan bentuk bokong. Padahal alas kaki yang tidak nyaman untuk dikenakan serta memiliki dampak buruk bagi kesehatan otot dan tulang kaki. Perusahaan seharusnya mempertimbangkan para pekerja yang harus menempuh jarak jauh antara rumah dengan kantornya, harus menaiki kendaraan umum, serta melalui medan perjalanan yang berat.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Salah satu negara yang memberlakukan peraturan ketat terkait busana para pekerja perempuannya adalah Jepang. Menurut riset the Japanese Trade Union Confederation (Rengo), lebih dari 11 persen perusahaan di Jepang memiliki aturan yang mengharuskan pegawai perempuannya untuk mengenakan high heels. Bertahun-tahun menghadapi ini, akhirnya pada tahun 2019, lebih dari 19 ribu orang di Jepang menandatangani petisi untuk menghentikan aturan perusahaan yang mengharuskan perempuan untuk mengenakan high heels di tempat kerja. Kampanye dengan tuntutan serupa juga muncul di Inggris pada tahun 2016 yang diikuti lebih dari 100 ribu orang.

Itu membuktikan bahwa tempat kerja juga belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, sama seperti tempat-tempat lain di keseharian. Mereka dituntut untuk memenuhi standar agar bisa mencapai posisi tertentu yang lebih baik, entah standar itu cocok atau tidak dengan tiap-tiap individunya. Sementara itu, mereka yang tidak bisa memenuhi standar akan dijadikan objek lelucon atau kritik yang berlebihan dan sering kali menjelma menjadi bentuk pelecehan seksual.

Bentuk yang banyak digunakan adalah lelucon seksis (sexist jokes). Lelucon ini mengakomodasi subordinasi perempuan, kerap mengandung unsur seksual non-konsensual, serta kerap kali sengaja dibuat untuk mempermalukan perempuan.  Menurut penelitian Hemmasi, Graf, dan Russ yang berjudul ‘Gender-Related Jokes in the Workplace: Sexual Humor or Sexual Harassment?’ (1994), meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kemungkinan untuk melontarkan lelucon, tapi lelucon seksual yang seksis lebih banyak dilontarkan laki-laki kepada perempuan di tempat kerja. Dibandingkan perempuan, laki-laki juga menganggap lelucon-lelucon seksis yang mendiskreditkan perempuan ini lebih lucu.

Read More
kepemimpinan perempuan islam

Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Kepemimpinan Perempuan Islam – Suatu hari di tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam diterpa musibah besar. Sultannya, Iskandar Tsani mendadak tewas, diduga karena diracun. Padahal, putra dari Sultan Pahang (salah satu wilayah di Malaysia sekarang) itu baru saja memerintah Aceh selama lima tahun, setelah menggantikan ayah mertuanya, Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh Darussalam yang membawa Aceh ke masa kejayaannya.

Sultan Iskandar Tsani tidak meninggalkan penerus takhta. Mencari kerabat laki-laki Sultan Iskandar Tsani juga tidak memungkinkan karena dia berasal dari luar daerah. Dari sinilah kemudian tercetus wacana Sri Putri Alam, putri Sultan Iskandar Muda yang juga istri Sultan Iskandar Tsani, yang harus naik takhta.

Tentu saja perdebatan mencuat dari sana-sini, yang tidak setuju bila perempuan menjadi pemimpin karena bertentangan dengan ajaran agama Islam, kata mereka. Berbagai pertentangan sampai pemberontakan pun bermunculan. Tapi, setelah dirundingkan, Sri Putri Alam diputuskan tetap akan naik takhta. Dia kemudian mendapatkan gelar Tajul Alam Safiyatuddin.

Dia harus menghadapi berbagai permasalahan dalam pemerintahannya, terutama yang disebabkan oleh menguatnya pengaruh penjajah Belanda yang saat itu telah berhasil merebut Malaka dari Portugis. Tapi, Sultanah Safiyatuddin berhasil membuktikan bahwa jenis kelamin bukanlah penentu kualitas diri juga kemampuan kepemimpinan seseorang.

Akademisi Singapura Sher Banu A. Latiff Khan, dalam penelitiannya yang berjudul ‘Rule Behind The Silk Curtain: The Sultanahs of Aceh 1641-1699’ (2009), menyebut Sultanah Safiatuddin sebagai penguasa yang kuat, dengan keterampilan yang tinggi, dan berhasil beradaptasi dengan kebijakan Belanda yang agresif. Menurutnya, Sultanah juga berhasil mengembalikan integritas dan nama besar Kesultanan Aceh yang sempat turun pasca ayahnya meninggal.

Suatu ketika, utusan Belanda datang ke kerajaan dengan membawa seperangkat perhiasan yang disebut sebagai pesanan mendiang Sutan Iskandar Thani. Belanda juga meminta Kerajaan Aceh membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Tapi Sultanah Safiatuddin menolak untuk membayar penuh dan membuat Belanda ikut membayar bagiannya. Sultanah Safiatuddin memang dikenal sangat memperhatikan dan menjaga kesehatan keuangan kerajaannya. Dia bahkan menghentikan sebuah kebijakan berbahaya yang dibuat oleh suaminya dulu untuk menerima pembayaran lada dengan permata, bukan uang real.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Sepak Terjang Kepemimpinan Perempuan Islam Di Publik

Sepeninggal Sultanah Safiatuddin, Aceh masih dipimpin oleh tiga sultanah hebat secara berturut-turut: Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699). Meski tak semua berhasil mengantarkan Aceh ke masa kejayaannya, tapi empat sultanah ini adalah bukti nyata bagaimana Serambi Mekkah itu memiliki catatan panjang sepak terjang kepemimpinan perempuan islam di ranah publik, khususnya di pemerintahan.

Sejarah di Aceh ini sedikit banyak sudah membuktikan, bagaimana ketangguhan dan kecakapan para perempuan di masa pemerintahan Islam bisa meruntuhkan berbagai stigma dan stereotip, lalu menggantikannya dengan keberhasilan yang berperspektif kemanusiaan.

Ratusan tahun kemudian, semangat perempuan Islam Indonesia untuk menegakkan hak serta memperbaiki nasib kaumnya belum kunjung pudar. Semangat mereka diwujudkan dalam pendirian organisasi ataupun gerakan perempuan yang berfokus mengkaji serta mengadvokasi berbagai isu sosial yang menyangkut kesejahteraan perempuan, tanpa melepaskan kemudinya dari arah dan ajaran agama Islam.

Salah satu organisasi besarnya adalah Aisyiyah, yang semula berada di bawah Muhammadiyah. Berdiri pada tahun 1917, Aisyiyah mengawali perjuangannya di bidang pendidikan dengan membuka akses pembelajaran bagi para perempuan yang sempat terisolasi dari berbagai informasi dan perkembangan di sekitarnya. Menurut Lelly Qodariah dalam penelitian yang berjudul Aisyiyah Organization and Social Change for Women (2016), Aisyiyah merupakan sebuah gerakan reformis urban yang rasional, dengan kegiatan-kegiatannya yang berlandaskan pada semangat dan kepercayaan bahwa perempuan tetap bisa menjadi seorang muslimah yang baik dengan aktif menyuarakan pendapatnya. Bahkan, menurut semangat yang Aisyiyah bawa, perempuan bisa menjadi politisi tanpa harus mengorbankan integritas dan keharmonisan keluarganya.

Berangkat dari kegelisahan yang serupa dengan Aisyiyah adalah Fatayat Nahdlatul Ulama, organisasi perempuan Islam yang gencar mempromosikan kesetaraan gender, namun dengan mengadaptasi nilai-nilai Islam progresif. Dimulai dari sosialisasi dan advokasi keluarga berencana serta kesehatan ibu dan anak pada awal tahun berdirinya (1950-1970), Fatayat NU berhasil menjadi sebuah organisasi perempuan Islam yang berkembang pesat sampai mendapat rekognisi dari dunia internasional.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Pada tahun 1980-an, ketika organisasi itu mulai menunjukkan minat dalam mengembangkan diskusi mengenai isu-isu feminisme di dalam tradisi agama Islam, Fatayat NU berhasil membangun kerja sama dengan Badan PBB untuk Dana Anak-anak, UNICEF. Dari situlah Fatayat NU berhasil mendapatkan sejumlah dana untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kegiatan-kegiatannya. Satu topik yang kerap dijadikan fokus kegiatan organisasi ini adalah advokasi dan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi bagi perempuan dan keluarga, sebagai reaksi terhadap program keluarga berencana milik pemerintah Orde Baru yang tidak cukup untuk mendidik perempuan mengenai penggunaan kontrasepsi.

Pada akhir tahun 1990-an, Fatayat NU mulai secara eksplisit menggunakan pendekatan sensitif gender. Tahun 1997-2000, misalnya, mereka meluncurkan program Penguatan Hak-hak Perempuan (pendahulu program LKP2 atau Lembaga Konsultatif untuk Pemberdayaan Perempuan) yang aktif membantu perempuan korban kekerasan. Para anggota Fatayat NU sadar, banyak sekali perempuan yang menjadi korban karena hasil interpretasi nilai-nilai agama Islam yang mengandung bias gender.

Kongres Ulama Perempuan Pertama Di Dunia

Saat ini, mungkin secara kasat mata kita meyakini bahwa kita sudah jauh sekali dari narasi-narasi patriarkal yang melarang perempuan untuk bekerja atau turun beraktivitas di ranah publik. Tapi sebenarnya, masih ada kepercayaan bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Selain itu banyak sekali stigma yang pada akhirnya menghambat perempuan untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam bekerja atau meraih sebuah pencapaian.

Masalah itu tidak luput dari perhatian para perempuan ulama di berbagai daerah di Indonesia, yang kemudian menginisiasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dilaksanakan pada tahun 2017, bertempat di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Para perempuan ulama ini memfokuskan kajiannya pada tiga bahasan utama dalam pertemuan itu, yaitu kekerasan seksual, perkawinan anak, dan kerusakan alam. KUPI bahkan mulai mengemukakan tentangan terhadap pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape, dengan menyebut bahwa kekerasan seksual dengan atau tanpa perkawinan yang sah itu haram hukumnya, dan segala elemen dalam masyarakat harus berusaha untuk mencegah dan menangani kasus tersebut. Hal ini disebutkan Umma Farida dan  Abdurrohman Kasdi dalam penelitian yang berjudul ‘The 2017 KUPI Congress and Indonesian Female Ulama’ (2018) di Journal of Indonesian Islam.

Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam

Farida dan Kasdi juga menyebut ketiga fatwa yang dijadikan bahan kajian utama itu menunjukkan sensitivitas para perempuan ulama terhadap masalah-masalah nyata yang dihadapi perempuan di tengah masyarakat hari ini. Misalnya, isu kekerasan seksual sebagai hasil anggapan perempuan merupakan kaum kelas kedua yang harus mematuhi laki-laki.

Dari KUPI ini, terkuaklah banyak nama perempuan ulama ataupun kepemimpinan perempuan Islam yang berhasil membawa komunitasnya menjadi komunitas yang humanis dan menyayangi makhluk hidup lain tanpa mengesampingkan nilai dan ajaran agama Islam.  Seperti  Teungku Hanisah (dikenal dengan Ummi Hanisah), seorang perempuan ulama asal Aceh yang aktif mengajar dan memberikan ceramah di majelis ta’lim atau pengajian terkait isu-isu kemanusiaan, juga aktif mengadvokasi para perempuan yang menjadi korban kekerasan. Hanisah menolak praktik pernikahan siri yang marak terjadi di Aceh serta memprotes rencana Bupati Aceh Barat yang melarang perempuan menggunakan celana panjang. Menurutnya, celana panjang adalah pakaian adat perempuan Aceh karena perempuan juga bekerja di ladang dan bertempur seperti laki-laki.

Ada pula Nissa Wargadipura, pemimpin perempuan Islam di pesantren ath-Thaariq di Garut, yang sukses menjadikan pesantrennya sebagai “rumah ekologi”. Berangkat dari kekhawatiran mengenai bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia, terutama banjir yang pernah menerjang Garut di tahun 2016, bersama keluarga dan murid-muridnya, Nissa menjadikan lahan seluas 8.500 meter perseginya menjadi lahan yang subur dan berupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan tanpa bergantung pada makanan-makanan yang diproduksi perusahaan besar.

Read More