Manel masih sering terjadi sekarang in

Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati mendorong perusahaan tempat kerja agar memastikan kesetaraan gender di berbagai ranah, termasuk di ranah pemangku kepentingan.

Karyawan perempuan merupakan aset yang berharga, ujarnya, karena bisa memberikan keuntungan besar bagi perusahaan, dalam hal reputasi, citra, sampai peningkatan keuntungan.

“Walaupun saat ini kita sudah mencapai berbagai kemajuan dalam kesetaraan, gender, tapi perjuangan kita masih jauh dari kata selesai. Perjuangan kesetaraan gender ini hanya dapat kita menangkan bila kita sudah berhasil membangun kesadaran dalam benak semua pihak tentang pentingnya memberdayakan perempuan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ‘Women in Action: Unleashing The Power Within in Challenging Times’ yang diselenggarakan oleh Citi Indonesia Women’s Network (18/3).

“Pemberdayaan perempuan bukan hanya kepentingan perempuan saja, tetapi juga kepentingan semua pihak,” ia menambahkan.

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Legal Counsel Citi Indonesia serta Co-Chairwoman Citi Indonesia Women’s Network (IWN), Vera Sihombing, mengatakan bahwa salah satu kunci agar perusahaan bisa tetap beradaptasi pada masa pandemi yang menantang ini adalah dengan mewujudkan berbagai kegiatan dan kebijakan yang meningkatkan profesionalitas para karyawan perempuan.

Selain soal kompetensi di kantor, hal lain yang juga tak boleh luput dari perhatian perusahaan adalah kualitas kerja dan kenyamanan para karyawan perempuan, ujarnya.

“Perempuan merupakan pilar kemajuan perusahaan. Jadi perusahaan harus memberikan mereka kesempatan aktualisasi dii untuk mencapai pencapaian yang maksimal di kantor,” ujar Vera.

“Hal-hal seperti menyediakan fasilitas ruang laktasi serta inisiatif pendampingan atau mentoring bagi perempuan itu penting untuk meningkatkan kualitas kerja karyawan perempuan. Apalagi, lebih dari 50 peren karyawan di Citi Indonesia adalah perempuan, termasuk di jajaran direksi,” ia menambahkan.

Vera juga mengatakan, salah satu hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk membangun iklim kerja yang ramah perempuan adalah dengan memberikan para karyawan perempuannya kesempatan besar untuk meningkatkan jenjang karier dan mengembangkan potensi diri.

Representasi juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kualitas kerja perempuan di perusahaan. Oleh karena itu, penting bagi setiap perusahaan untuk mengedepankan diversitas dan inklusivitas, baik dari segi karyawannya, maupun sistem kerjanya.

Baca juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Inklusivitas Perusahaan Berdampak pada Kesempatan Kerja Perempuan

CEO Citigroup Jane mengatakan, ia bisa menjadi perempuan pertama yang menduduki pucuk pimpinan dari sebuah bank global, selain karena mengembangkan talenta diri dengan maksimal, juga karena perusahaannya selalu menargetkan inklusivitas sebagai salah satu kunci keberhasilan perusahaan, terutama dukungan pada para karyawan perempuannya.

Merasakan besarnya dampak baik tersebut pada perkembangan diri dan kariernya, Fraser mengatakan, ia pun selalu berkomitmen menciptakan kebijakan dan iklim perusahaan yang ramah pada perempuan.

“Kami menargetkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan pada level manajer dan direktur di Citi sebesar 40 persen secara global pada akhir tahun 2021,” ujarnya.

Selain meningkatkan kenyamanan kerja, menurut Chief Public Policy and Government Relations Gojek Group, Dyan Shinto Nugroho, inklusivitas dalam perusahaan yang ramah perempuan memberikan sumbangan besar untuk memperkaya ide dan pengambilan keputusan perusahaan. Hal ini berperan penting sebagai langkah adaptasi perusahaan di masa-masa menantang seperti ini.

“Ini mendukung budaya perusahaan yang kolaboratif dan mendorong terciptanya lebih banyak solusi yang inovatif,” ujarnya.

Menteri KPPPA Bintang mendorong perempuan agar berani mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan.

“Jangan ragu lakukan apa yang kita anggap benar. Percayalah, perempuan boleh bermimpi untuk dirinya dan meraih mimpinya,” Ujarnya.

Baca juga: February Ini Alasan Kenapa Karyawan Bisa Alami ‘Burnout’ dan Cara Atasinya

Anggota Dewan Direksi Indonesia Investment Authority (INA), Marita Alisjahbana mengatakan, menjadi diri sendiri adalah hal penting yang harus dilakukan perempuan dalam bekerja maupun dalam keseharian.

“Lakukan segala sesuatu sebaik-baiknya. Jangan pernah memberikan sesuatu kurang dari apa yang terbaik yang kita bisa berikan. Itu prinsip saya menjalani kehidupan di dunia profesional,” ujarnya.

Read More
Anne Patricia Sutanto

Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Sudah satu tahun dunia menghadapi situasi yang sangat berbeda akibat dari pandemi COVID-19. Banyak aspek kehidupan manusia yang berubah mulai dari mobilitas yang dibatasi, termasuk kehidupan para pekerja. Ketika Covid-19 merebak di seluruh dunia, tentu saja salah satu sektor paling terdampak oleh virus ini adalah sektor bisnis. 

Di Indonesia sendiri, pada tahun lalu Presiden Joko Widodo sempat menyampaikan pertumbuhan ekonomi I dan kuartal II 2020 berada di angka minus 5,32 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memperkirakan ekonomi nasional berada di kisaran nol persen sampai minus 2 persen pada kuartal III. 

Baca Juga: Pebisnis Perempuan Grace Tahir dan Passion di Bidang Kesehatan

Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tentu bisnis di Indonesia ketar-ketir, namun, ada salah satu perusahaan dari sektor garmen yang bertahan dan berhasil beradaptasi dalam situasi pandemi yaitu, PT Pan Brothers Tbk .

Di saat pandemi, perusahaan garmen ini justru mencatatkan penjualan sebesar US$326 juta sepanjang semester I 2020, naik 15 persen dari US$284 juta pada semester I tahun 2019. 

Salah satu tokoh yang berperan penting dalam berkembangnya perusahaan Pan Brothers ini kala pandemi adalah Anne Patricia Sutanto, Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk. Dalam wawancara bersama podcast How Women Lead, Anne menceritakan salah satu keberhasilan Pan Brothers dalam menghadapi pandemi ini adalah kemampuan beradaptasi dan juga fleksibilitas perusahaan. Kedua sifat ini merupakan bagian dari ciri sifat kepemimpinan feminin yang juga sudah dijelaskan dalam episode podcast How Women Lead The Athena Doctrine.

Adaptasi Menjadi Modalitas PT. Pan Brothers Hadapi Pandemi

Perjalanan Anne selama malang melintang di dunia bisnis memang penuh dengan adaptasi, pelajaran yang ia ambil untuk bertahan dalam pandemi. Berbeda dari sektor lain yang memang mungkin bisa menerapkan kebijakan work from home, pabrik agak sulit menerapkan hal itu secara penuh.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

“Tidak semua bagian bisa melakukan work from home. Kita tetap meyakini bahwa kerja kita semua tetap sehat dan melalui protokol COVID-19 dan pencegahannya, itu yang kita jalani saat ini,” kata Anne. 

Ketika COVID-19 merebak di Cina, Anne sudah mengantisipasi bahwa hal ini pasti akan berdampak pada sektor bisnis, namun Anne tidak menyangka bahwa skalanya akan sebesar itu. Saat itu, perusahaan langsung berinisiatif untuk menerapkan protokol kesehatan dengan mengukur temperatur dan mewajibkan pemakaian masker walaupun di luar pabrik belum ada kewajiban itu. 

“Karena kita ini perusahaan garmen, kita mulailah dengan membuat masker untuk orang-orang kita sendiri untuk diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang kita. Ya untuk proteksi kerjalah. Itu di awal Maret. Eh, tiba-tiba banyak teman-teman yang minta dibuatkan,” kata Anne.

Dari situ perusahaan itu melihat ini sebagai peluang karena permintaan yang tinggi. Mereka pun mulai memasok ke bagian retail Pan Brothers, tidak hanya masker untuk dewasa tapi juga masker untuk anak-anak. 

Profil Anne Patricia Sutanto 

Anne Patricia Sutanto tidak berniat untuk bergelut dalam dunia bisnis. Saat remaja, ia lebih tertarik dalam bidang hukum dan bertekad masuk sekolah hukum di Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada. Namun, sang ayah menyarankan Anne untuk sekolah ke Amerika Serikat. 

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

“Saya berpikir ingin jadi bio-technologist karena ayah saya itu founder dari PT Kayu Lapis Indonesia. Ternyata paling cocok untuk jadi  bio-technologist itu, S1-nya either harus teknik kimia, kimia atau biologi. Dari situ saya memutuskan untuk mengambil teknik kimia,” ujar Anne pada How Women Lead.  

Di Amerika, ia bersekolah di University of Southern Californiia (USC) di tahun 1990. Ketika menginjak semester 2, ayahnya mengalami stroke. Akibatnya, perusahaan harus dijalankan oleh anak-anaknya, namun saat itu kakak Anne tidak bersedia.

“Saya ngomong ke Ayah, saya akan coba untuk melanjutkan (bisnis), tetapi saya mau lulus terlebih dahulu. Setelah itu, saya langsung ketemu rektor saya dan menyampaikan kalau saya ingin cepat lulus. Saya akhirnya dibuatkan program khusus dengan syarat GPA saya harus di atas 3,” ujar Anne.

Pada tahun 1992 Anne lulus kuliah dan sesuai dengan janjinya pada sang ayah, ia pun langsung bekerja di Kayu Lapis. Ia langsung menghadapi tantangan karena dianggap tidak memiliki latar belakang bisnis. 

“Saat itu om saya kurang menerima (keterlibatan saya) karena sebab itu. Ditambah lagi ia menganggap, saya ini perempuan, tahu apa soal bisnis laki-laki. Padahal saat itu saya menikmati pekerjaan saya yang harus ke lapangan seperti ke Kalimantan, Papua,” ujarnya.

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

Dari situ Anne berpikir mungkin memang ilmunya memang masih minim dan ia memutuskan untuk mengambil program MBA di bidang finance di AS selama satu tahun. Setelah lulus ia kembali ke Kayu Lapis, namun ternyata pamannya tetap tidak menerima Anne. Ia pun didepak keluar di pertengahan 1996, dan ia pindah ke tempat lain.

“Saat itu saat saya mau dipanggil interview, paman saya dari pihak Ibu, yang memiliki PT Batik Keris, Pak Handirman, bilang ‘kamu bantu saya saja untuk mengakuisisi PT Pan Brothers’,” kenang Anne. 

Awalnya Anne memang sedikit enggan sebab tidak ingin menghadapi situasi kerumitan hubungan keluarga yang sama seperti di Kayu Lapis. Namun, sang paman menjanjikan akan memperlakukan Anne sama dengan pegawainya yang lain, dan ia akan membimbing Anne langsung.

Baca Juga: 11 Pengusaha Perempuan Indonesia Sukses Membangun Bisnis Sendiri

“Dia bilang, satu hal yang enggak boleh saya lakukan adalah mengadu ke ibu saya. Saya memang tidak pernah komplain, tapi jujur selama enam bulan itu, I have to say it’s the most painful experiences karena dari pagi sampai malam, pagi sampai malam, ngikutin dia, detailin due diligence Pan Brothers dan sebagainya,” kata Anne. 

Namun pengalaman itu menempa Anne, mematangkan kemampuannya dalam berbisnis dan beradaptasi dengan segala situasi sampai sekarang.

Read More

Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Biarpun sekarang ini memang sudah lebih modern, diskriminasi gender masih sering ditemui. Tempat yang lumayan sering ada kasus diskriminasi gender adalah di tempat kerja.

diskriminasi gender adalah merupakan bentuk ketidakadilan dengan adanya perbedaan sikap serta perlakuan kepada sesama manusia yang cuma dilihat dari jenis kelamin. Kalau kita membahas diskriminasi gender di tempat kerja akan searah dengan Tema Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pada tahun sebelumnya. Tema HAKTP pada tahun 2019 adalah menghentikan Kekerasan berbasis Gender di Dunia Kerja.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Akan tetapi memang, perempuan punya peran berarti dalam perekonomian dunia. Mereka bisa dibilang merupakan tokoh sentral di dalam keluarga yang menentukan serta mengatur alur finansial rumah tangga. Namun terbebas dari mengatur keuangan dalam keluarga, perempuan masih diperlakukan ‘kurang’ di lingkungan kerja pria di kantor atau dunia kerja. Berikut beberapa isu yang masih sering muncul mengenai diskriminasi gender, yang masih menghantui perempuan di tempat kerja.

1. Gaji Perempuan yang Tidak Sama

gaji perempuan berbeda dengan pria

Data dari Institute for Women’s Policy Research, perempuan mendapatkan 49 sen dibandingkan dengan setiap $ 1 yang pria peroleh. Kalian mungkin masih berfikir kalau ini bisa saja disebabkan karena perempuan di berikan cuti hamil. Tetapi ada hasil penelitian lain, data baru ini memperhitungkan para pekerja paruh waktu serta perempuan yang sudah mengambil cuti dari pekerjaan.

Biarpun sudah memperhitungkan hal-hal tersebut, pendapatan perempuan masih terasa lebih kecil. Untuk mampu mengurangi perbedaan ini, para ahli mengatakan supaya ada kebijakan baru dibuat, termasuk cuti orang tua yang dibayar lebih banyak, support untuk perawatan anak, serta kebijakan lain yang mendukung keluarga.

2. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Masih Sering Didapati

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Halangan yang sering dihadapi banyak perempuan di dunia kerja adalah pelecehan seksual. Memang masih sangat sedikit yang diketahui, mengenai berapa banyak perempuan yang mengalami jenis penindasan semacam ini.

Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Survei pernah dilakukan pada bulan Januari tahun 2018 oleh Stop Street Harassment, yang akhirnya mendapati 38 persen perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, serta 81 persen mengadukan telah mengalami beberapa motif pelecehan seksual dalam hidup mereka, seperti serangan secara verbal dan fisik.

3. Contoh Diskriminasi Gender di Tempat Kerja: Perempuan Lebih Jarang Mendapatkan Promosi Dibanding Pria

Contoh Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Biarpun punya jenjang pendidikan lebih tinggi dibanding pria serta punya pengalaman hampir setengah dari angkatan kerja, perempuan dipromosikan di tempat kerja jauh lebih sedikit daripada laki-laki. 

Kalian mungkin sudah tahu kalau perempuan yang jadi CEO kurang dari 5 persen. Perempuan kulit berwarna bahkan lebih buruk, karena mereka tidak ditemui dalam list Fortune 500.

4. Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja: Rasisme

Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Diambil dari website AsYouSow, ras sepertinya punya peran penting dalam bagaimana perempuan diperlakukan dan diberi bayaran di tempat kerja. Upah yang didapatkan oleh perempuan sangat beragam tergantung dari ras serta etnisnya.

Baca Juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Data yang didapatkan dari Institute for Women’s Policy Research menemukan bahwa perempuan Asia punya penghasilan tahunan rata-rata paling tinggi dan diberi kompensasi sebesar 46.000 USD. Perempuan berkulit putih pendaptan tahunanya sebesar 40.000 USD, sedangkan untuk perempuan asli Amerika serta Hispanik mendapatkan gaji paling kecil, cuma 28.000 USD sampai 31.000 USD rata-rata pertahunnya. Pendapatan juga sangat beragam bila dilihat dari ras jika disandingkan dengan apa yang didapatkan laki-laki.

5. Perempuan Segan Dalam Nego Gaji di Tempat Kerja

perempuan segan nego gaji

Perempuan masih sering takut dengan meminta gaji yang lebih tinggi dalam suatu pekerjaan. Bagi perempuan, perundingan gaji sering dipandang sebagai serakah atau putus asa, yang berujung pada rasa ragu untuk bernegosiasi waktu interview kerja.

Penelitian yang belum lama ini dari Glassdoor menemukan perempuan lebih jarang menegosiasikan gaji mereka dibanding pria. Dan infonya juga dari 70 persen perempuan menerima gaji yang ditawarkan tanpa negosiasi, sementara kalau untuk kaum pria cuma 52 persen yang melakukan hal yang sama.

Cara Mengatasi dan Menangani Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Cara Mengatasi Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Kamu pernah merasa sulit mencapai jenjang karier tinggi meskipun latar belakang pendidikan dan kompetensimu sama mumpuni dibanding pekerja lelaki? Bisa jadi kamu tengah mengalami diskriminasi, yakni sebuah kondisi tak ideal di mana kamu dinomorduakan hanya karena perusahaan tak mempercayaimu. Alasan ketidakpercayaan itu pun beragam, mulai dari perbedaan gender, beban ganda sebagai ibu di rumah, distigma sebagai sosok lemah, dan lainnya.

Ya, sehari-hari perempuan memang masih diperlakukan diskriminatif, termasuk di tempat kerja. Maraknya diskriminasi gender di lingkungan kerja ini, bahkan jadi tema global “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” dua tahun silam.    

Untuk menghindari diskriminasi gender di lingkungan kerja, perusahaan bisa mulai menginisiasi kebijakan yang inklusif dan mendukung perempuan pekerja. Tujuannya agar pekerja perempuan mereka yang berbakat bisa diberdayakan untuk kemajuan kantor. 

Berikut adalah cara-cara lengkap yang bisa diupayakan untuk mengurangi diskriminasi gender di tempat kerja:

Peraturan Perusahaan yang Inklusif

Kebijakan inklusif singkatnya, mampu mengakomodasi dan menghargai keragaman karyawannya, sehingga mereka dapat berkontribusi secara penuh dan tanpa diskriminasi, serta mencapai pengalaman positif dalam pekerjaan. Dalam konteks ini, perbedaan perspektif, kepribadian, dan kemampuan tak jadi soal. Kebijakan yang inklusif ini mesti dikomunikasikan dan dijadikan landasan bersama di antara karyawan. 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, menyusun kebijakan inklusif bisa meningkatkan tingkat kepuasan para pekerja dari pelbagai gender. Imbasnya, jika boleh meminjam logika untung rugi, perusahaan akan mendapatkan keuntungan lebih banyak. Semakin beragam latar belakang pekerja yang ada, semakin banyak juga inovasi yang muncul untuk memajukan perusahaan. 

Pemimpin Perusahaan Perlu Jadi Contoh Nyata 

Sebagai seorang pemimpin yang ingin menciptakan lingkungan ramah terhadap semua karyawan, terutama perempuan, mulailah dengan memberi contoh di awal. Pemimpin di sini mesti paham betapa pentingnya kesetaraan gender untuk semua orang. Ketika pemimpinnya sudah memberikan contoh yang baik, pekerja pun bakal nyaman bekerja. Bahkan, ketika ada pelanggaran kinerja, mereka jadi cenderung terbuka untuk membicarakan hal ini. 

Baca Juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Rayakan Perbedaan Karyawan

Setelah pemimpin memahami manfaat inklusi dan keragaman tempat kerja, perusahaan bisa mulai mencari ide-ide atau program yang dapat membangun indikator inklusivitas yang dimau. Misal, Kamu bisa membuat perayaan atau penghargaan keragaman dan inklusi di tempat kerja. Undang karyawan dengan latar belakang dan tradisi berbeda untuk unjuk gigi menampilkan keberagaman mereka.

Tak lupa, berikan penghargaan kepada partisipan agar dapat memacu motivasi yang lainnya untuk menerima perbedaan.

Buat Aturan Komprehensif untuk Mencegah Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Salah satu hal yang mendukung agar diskriminasi gender tak muncul di tempat kerja adalah memberi rasa aman bagi semua tanpa kecuali. Rasa aman itu salah satunya diwujudkan dengan membuat pedoman atau peraturan kekerasan seksual di lingkungan kerja.

Hal ini penting untuk dilakukan, agar korban bisa melaporkan kasusnya secara aman tanpa terintimidasi. Peraturan ini juga harus memiliki perspektif yang berpihak terhadap korban. Selain itu, perusahaan juga perlu membuat lembaga independen yang akan mengurus hal-hal ini serta yang paling utama adalah lembaga ini menjaga kerahasiaan identitas korban.

Baca Juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Jangan Menganggap Remeh Masalah Diskriminasi Gender 

Diskriminasi gender bentuknya sangat beragam, bahkan candaan bernada seksual pun juga termasuk dalam diskriminasi dan pelecehan seksual. Hal-hal kecil seperti ini seharusnya tidak lagi dinormalisasi dan karyawan perlu aktif menolong (active bystander) jika ada karyawan lain yang melakukan hal ini. 

Khususnya bagi departemen sumber daya manusia alias HRD, perlu ada itikad baik untuk langsung menyelidiki masalah yang terjadi dan mencari solusi paling tepat untuk mengatasi masalah.

Adakan Pelatihan Tentang Kesetaraan Gender 

Memang masih banyak orang yang belum paham tentang kesetaraan gender, dan tidak tahu kalau mereka sudah melakukan diskriminasi gender pada orang lain. Oleh sebabnya, penting untuk perusahaan untuk mengadakan pelatihan tentang apa itu kesetaraan gender dan mengatasi diskriminasi gender di tempat kerja. 

Read More
Cara menghilangkan jenuh kerja

Kalau Kamu Lelah Bekerja, Ambil Jeda Jangan Berhenti

Kamu mungkin akan memasuki masa-masa ketika pekerjaan terasa membosankan dan begitu-begitu saja. Melakukan kegiatan yang sama hingga kamu jumud, rutinitas pun tak membuatmu tertantang. Di titik itu lah hasrat untuk menyerah dan mengundurkan diri bolak-balik mampir ke kepala.

Apalagi di masa pandemi yang memasuki tahun kedua, rasa jenuh ini berlipat dua karena kita diharuskan tetap bertahan kerja jarak jauh atau bekerja dari rumah (work from home). Jam kerja tanpa batas, beban kerja yang tak habis-habis, juga beban domestik yang sekali-lagi ikut dipikirkan. Semua menambah berat.

Bosan dengan kegiatan monoton memang manusiawi, kita tidak perlu merasa bersalah karena merasakannya. Alih-alih mengeluhkan kondisi tersebut, tarik napas panjang dan beristirahatlah sejenak. Berikut ini beberapa hal lainnya yang bisa kamu lakukan untuk menghilangkan rasa jenuh dalam bekerja.

1. Cara Menghilangkan Jenuh Kerja dengan Istirahat Sejenak

Terlalu serius dan fokus bekerja seringkali membuatmu lupa untuk memberikan jeda atau istirahat pada dirimu. Padahal bekerja tanpa henti mesti badan dan pikiran menolak itu berbahaya buat kesehatan. Beberapa kali kamu mungkin merasa mentok untuk berpikir. Nah, kalau sudah seperti ini jangan dipaksakan ya. Lagipula beristirahat takkan membuatmu terlihat lemah, sebaliknya ini bukti bahwa kamu menyayangi diri sendiri.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Beristirahatlah setidaknya 10-15 menit. Kamu bisa keluar dari ruangan, menonton acara TV kesayangan, mendengar musik, melakukan peregangan, atau mungkin memejamkan mata sejenak.

2. Cari Tahu Penyebab Kamu Jenuh Bekerja

Kamu perlu mencari tahu apa yang bikin kamu jenuh dan lelah dengan pekerjaan. Mungkin dari sisi beban kerja kah? Jadwal yang padat? Atau rekan kerja yang mungkin tidak suportif. Ini wajib kita cari tahu, sebab jika kita sudah tahu apa sebabnya, kita jadi lebih mudah mengatasinya.

3. Selingi dengan Kegiatan yang Menyenangkan

Merasa jenuh dengan aktivitas yang itu-itu saja? Mungkin kamu butuh distraksi di sela-sela istirahat bekerja, loh. Kamu bisa mendengarkan musik yang bikin mood kamu semangat lagi. Kalau mendengarkan musik masih belum nendang, kamu bisa meninggalkan sebentar pekerjaanmu untuk bermain gim di ponsel.

Kamu juga bisa membaca buku favoritmu sebentar untuk mendistraksi otak agar tidak terlalu tegang. Pokoknya, lakukan hal-hal yang membuat kamu rileks.

4. Ubah Suasana Tempat Kerja

Bekerja dari rumah memang membuat sebagian dari kita jenuh bahkan kangen kembali ke kantor. Namun, sebaik-baiknya suasana tempat kerja, di tengah kondisi yang centang perenang ini, lebih aman bekerja dari rumah. Nah, bagi kamu yang kangen suasana kantor, mungkin bisa memulai mendekor ulang meja kerjamu di kamar.

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kamu bisa menambah dekorasi kecil dan menempel foto-foto di dinding. Kamu bisa juga menambah papan pengingat kecil untuk tugas-tugas yang akan kamu kerjakan. Selain membuat meja lebih rapi dan cantik, kamu juga bisa melihat apa saja tugas-tugas yang belum dikerjakan di papan pengingat itu. Apabila tempat kerja kalian sudah rapi dan cantik, pasti mood kalian dalam bekerja akan naik lagi.

5. Ubah Cara Pandangmu Terhadap Pekerjaan

Mengubah cara pandang kita menjadi lebih positif dan hadapi setiap tugas dan pekerjaan kantor dengan santai. Memang, kita tidak bisa membandingkan kesusahan sendiri dengan orang lain, tetapi di sisi lain kita tetap perlu bersyukur karena masih memiliki pekerjaan, apalagi dalam kondisi pandemi sekarang.

Dengan memiliki cara pandang yang agak positif, setidaknya kamu bisa mengurangi bebanmu di dalam hati.

6. Kurangi Lembur Cara Tepat Menghilangkan Jenuh Kerja

Dalam masa pandemi seperti ini, sebagian besar dari kita memiliki jam kerja yang lebih panjang dari yang biasanya. Rutinitas pun sontak berubah. Jika sebelum pandemi, kita harus bersiap-siap untuk bekerja, lalu berangkat ke kantor. Kini jam kerja dimulai lebih awal dan diakhiri lebih petang. Nah, hal ini juga yang membuat kita terkadang sudah berapa lama kita bekerja, dan tidak sadar kalau sudah berkali-kali kita lembur.

Baca Juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Bekerja hingga larut malam memang tidak masalah jika dilakukan sesekali saja. Namun, ketika hal ini sudah memengaruhi pikiran dan fisik kamu sampai membuat lelah, maka jangan terlalu memaksakan diri dan hindari bekerja sampai larut malam. Gunakan libur akhir pekan kalian untuk benar-benar istirahat. Kalian bisa menonton film kesayangan atau mengobrol bersama anggota keluarga lain.

7. Curhat ke Rekan Kerja

Ketika sedang pandemi, kita memang jadi tidak bertemu dengan rekan kerja kita, dan ini membuat kita merasa jenuh. Kalian mungkin bisa ngobrol lewat video call dengan rekan kerja. Kalian bisa berbagi tips dan curhat tentang pekerjaan kalian. Ini sesekali perlu dilakukan, jangan cuma berada di depan layar laptop atau komputer saja.

8. Ingat Tujuan yang ingin Dicapai Saat Bekerja

Terkadang karena sudah lama bekerja kita jadi lupa apa sih tujuan kita untuk bekerja. Ini yang membuat kita jadi merasa jenuh dengan pekerjaan kita. Coba deh ingat-ingat lagi apa yang mau kamu capai. Kalau kamu memang lupa, kamu bisa banget membuat tujuan-tujuan baru yang mau kamu capai. Niscaya, ini bisa memotivasi kamu lagi. 

Baca Juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

9. Pekerjaan Jangan Jadi Beban Merupakan Cara menghilangkan Jenuh Kerja yang Efektif

Kadang-kadang kita mungkin kita beranggapan, bekerja itu cuma kewajiban untuk mencari nafkah, maka ujung-ujungnya kalian jadi sedikit tidak nyaman dan berat setiap harinya. Pemikiran seperti ini sebetulnya tidak bagus.

Jika kalian sering berpikiran seperti ini, tentunya ini bakal memengaruhi kinerjamu dan berujung stres sendirian. Bila kamu menjalani pekerjaan dengan santai dan hati ringan, maka rasa bosan juga bisa dikurangi.

10. Tidur yang Cukup

Cara menghilangkan jenuh kerja selanjutnya dengan tidur malam yang cukup. Jangan terlalu sering begadang biarpun itu urusan pekerjaan.

Lantaran begadang itu tidak baik untuk kesehatan. Selain buat pikiran jadi stres, begadang juga dapat membuat badan jadi lemas. Makanya, selalu atur jam tidur kamu dengan baik.

Tidur di malam hari itu bagusnya 6 sampai 8 jam, itu sangat bagus buat pikiran jadi fresh kembali. Yang perlu diingat, tidur jangan terlalu malam! Maksimal jam 10.00 atau 11.00 malam kalian sudah bisa tidur

11. Cari Pekerjaan Sesuai Passion Kalian

Ini memang susah dan jadi dilemma hampir semua orang. Pekerjaan sesuai passion kerap tak menjanjikan banyak cuan, tapi bekerja yang sama sekali di luar minat justru bikin keuangan berlipat. Nah, dengan kondisi kelelahan terus-menerus dan tak bisa lagi diusahakan, mungkin sudah saatnya kalian memikirkan untuk undur diri.

Baca Juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Namun, perlu diperhatikan, saat kamu memutuskan mundur, setidaknya sudah ada rencana cadangan yang dipikirkan.

Sekali lagi, bagaimanapun caramu menghilangkan jenuh dalam bekerja, lakukan demi kebahagiaan.

Read More

Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Dalam bidang jurnalistik, perjalanan untuk mewujudkan kesetaraan gender masih panjang. Hal ini dinyatakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tepat setahun lalu, pada peringatan Hari Perempuan Internasional dalam diskusi bertajuk “Mengevaluasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Apakah Sudah Setara”. Dalam diskusi tersebut, dikatakan bahwa jurnalis perempuan Indonesia hanya sekitar 30 hingga 35 persen dari total jurnalis profesional yang ada.

Dari segi jumlah, jurnalis perempuan memang masih kalah unggul dibanding laki-laki. Akan tetapi, kiprah mereka di dunia jurnalistik tidak bisa dianggap remeh. Dalam catatan sejarah, beberapa jurnalis perempuan telah menunjukkan kontribusinya dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa. Selain itu, ada pula dari mereka yang tidak gentar berpartisipasi dalam kritik terhadap pemerintah selama Orde Baru, dan berdedikasi dalam pekerjaannya hingga menduduki posisi-posisi penting di redaksi.

Berikut ini rekam jejak sejumlah jurnalis perempuan di Indonesia yang perlu kita ketahui untuk memahami seberapa signifikannya peran jurnalis perempuan.

Peran Jurnalis Perempuan Era Pra-Kemerdekaan

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, berbagai surat kabar berbahasa Indonesia telah muncul dan beredar di masyarakat. Surat kabar ternama seperti Bintang Timoer, Bintang Barat, Sinar Matahari, hingga Suara Asia terbit sebagai usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, yang sering luput dari pengetahuan umum adalah keberadaan surat kabar Sunting Melayu yang didirikan oleh Rohana Kudus, salah satu pahlawan nasional Indonesia kita.

Terbit di Padang pada tahun 1912, Sunting Melayu merupakan surat kabar yang memuat tulisan-tulisan perempuan dan yang keseluruhan redaksinya dipegang oleh perempuan. Menurut Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, pergerakan kemajuan kaum perempuan di Indonesia semakin melesat berkat gagasan-gagasan Rohana dan perempuan lainnya dalam surat kabar tersebut.

Aspek yang patut digarisbawahi dari isi Sunting Melayu, menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Seabad Pers Perempuan, adalah ketidakgentaran Rohana dalam menulis berita politik. Di bawah pengawasan pemerintahan kolonial, ia menulis bagaimana perempuan berhak mengikuti gerakan politik bersama para laki-laki dalam melawan penjajah.

Rohana pun turut menyadur tulisan-tulisan di luar Sunting Melayu tentang nasib perempuan di negara lain untuk menunjukkan kondisi dan keadaan mereka kepada seluruh masyarakat Indonesia, laki-laki maupun perempuan.

Apabila kita berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan peran S.K. Trimurti dan Ani Idrus. Berkat rekam jejak mereka, peran jurnalis perempuan terhadap kemajuan bangsa tidak terbantahkan lagi.

S. K. Trimurti, yang pada akhirnya menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan pertama, merupakan seorang guru dan jurnalis yang gencar menggaungkan pesan anti-kolonial dalam pidato, ajaran, dan tulisan-tulisannya. Karya-karyanya mendorong Trimurti berkali-kali dipenjara oleh pemerintah Belanda dan Jepang.

Dalam tulisan Ipong Jazimah di Jurnal Sejarah dan Budaya, terlihat bahwa pada masa itu masih sangat tabu bagi perempuan untuk mengikuti aktivitas politik. Namun, Trimurti bersikeras masuk Partindo pada tahun 1933 demi mempelajari politik, dan tidak lama kemudian ia pun mendirikan Persatuan Marhaeni Indonesia untuk memberikan pembelajaran politik kepada perempuan lainnya.

Sementara itu, pemikiran Ani Idrus mengenai perempuan modern juga sama pentingnya. Tulisan-tulisan Ani Idrus, menurut Suriani dalam Jurnal Humanisma, berisi pernyataan bahwa perempuan tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Ani Idrus banyak membahas norma-norma serta stigma di masyarakat yang membatasi perempuan, seperti yang terlihat dari posisinya sebagai satu-satunya jurnalis perempuan di Pewarta Deli. Menyusul modernitas yang tumbuh dari Politik Etis pemerintah Belanda, Ani Idrus mengingatkan masyarakat Indonesia, terutama para perempuan, untuk menyesuaikan diri dan tidak melepaskan budaya Timur sepenuhnya.

“Kita (perempuan) harus maju, modern, tetapi modern yang tidak merusakkan,” ujarnya.

Di samping ketiga nama ini, masih ada jurnalis-jurnalis perempuan ternama lainnya yang turut membangun kesadaran bangsa, seperti Siti Soendari dan Herawati Diah.

Kiprah Jurnalis Perempuan Pasca-kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan, berkembangnya industri media yang menguntungkan dunia jurnalistik juga disertai dengan ancaman terhadap kebebasan pers, terutama di zaman Orde Baru.

Pada saat itu, S.K. Trimurti masih ada di garda depan dan ikut menandatangani naskah Petisi 50 yang berisi kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Sementara itu, Ani Idrus menjadi penasihat Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia. Adapun Linda Tangdiala menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi yang membawahi setidaknya 30 jurnalis perempuan di Harian Bisnis Indonesia. Selain itu, ada juga peran Yuli Ismartono yang tidak berhenti meliput di wilayah peperangan untuk Tempo sebelum akhirnya rezim Orde Baru membredel majalah tersebut pada tahun 1993.

Baca juga: Perempuan Pembuat Kebijakan di Media Minim, Berita Cenderung Bias dan Seksis

Usaha para jurnalis perempuan di sepanjang sejarah Indonesia pun menjadi acuan bagi perempuan lainnya untuk berkiprah dengan semangat juang yang sama di era reformasi. Rekam jejak jurnalis-jurnalis perempuan Indonesia yang ditorehkan sejak dahulu telah diteruskan dan dapat dilihat pada sosok-sosok seperti Maria Hartiningsih, Fransisca Ria Susanti, dan Hermien Y. Kleden.

Tantangan Jurnalis Perempuan Indonesia

Kini, semakin banyak jurnalis perempuan yang kita temui di media sehari-hari. Namun, tantangan yang mereka hadapi tetap sama. Data yang diperoleh Aliansi Jurnalis Independen dalam pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hak-hak yang seharusnya mereka miliki di ruang kerja belum terpenuhi.

Gaji jurnalis perempuan masih di bawah standar Upah Layak Jurnalis di tiap kota. Masih banyak perusahaan yang belum memberikan cuti haid; bahkan di beberapa daerah, perusahaan tidak memberikan cuti melahirkan. Di samping itu, ruang khusus menyusui juga belum banyak ditemukan.

Terlepas dari meningkatnya rasio perempuan yang menjadi jurnalis, hanya enam persen dari mereka yang dapat menduduki jabatan tinggi atau posisi pengambil keputusan di ruang redaksi. Masalah ini belum berubah dalam riset Stellarosa dan Silaban dalam Perempuan, Media dan Profesi Jurnalis pada tahun 2018, yang menambahkan bahwa isu pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan masih sering diabaikan.

Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Endah Lismartini memberikan pendapat senada dengan hasil riset tersebut. Dalam diskusi yang diselenggarakan AJI tahun lalu, ia mengatakan bahwa salah satu rekan jurnalisnya bahkan dilecehkan oleh aparat negara.

“Saat dia liputan demo, [dia] dikejar-kejar dan dilecehkan,” kata Endah seperti dikutip dari Suara.com.

Di samping itu, Endah mengungkapkan pula bahwa jurnalis perempuan yang sudah berkeluarga sering kali dipindahkan ke bagian soft news seperti gaya hidup dan busana alih-alih politik atau hukum. Pasalnya, divisi-divisi yang terakhir disebutkan itu dianggap lebih “berat” bagi mereka.

“[Jurnalis perempuan] dipindahkan bukan karena kapabilitas, tapi karena sudah punya anak,” ujar Endah.

Data di atas merupakan pekerjaan rumah negara; pekerjaan rumah yang belum selesai bertahun-tahun lamanya. Untungnya, organisasi seperti Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) telah terbentuk untuk membantu kebutuhan perempuan di dunia jurnalistik.

Baca juga: Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Masih sulit untuk mengetahui kapan perubahan signifikan akan terjadi. Namun, setidaknya setiap usaha menunjukkan bahwa semangat perjuangan Rohana dan kawan-kawan perempuannya tetap ada dan semakin menguat.

Radhiyya Indra, dengan buku Murakami di tangan, Maya Deren di laptop, Velvet Underground di telinga, dan album K-Pop di rak buku, menghabiskan waktunya dengan menulis hingga sakit kepala.

Read More
Dewi Sartika

Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Lahir di Cicalengka, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884, Raden Dewi Sartika dikenal sebagai tokoh emansipasi dan perintis pendidikan bagi kaum perempuan. Atas jasanya tersebut, pada 1966 (hampir dua dasawarsa setelah mangkatnya pada 1947) ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Ia adalah salah satu dari 15 perempuan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional (sementara di kategori tersebut sudah ada 176 laki-laki yang diakui).

Di dalam berbagai buku teks pelajaran masa kini, kisah hidupnya digariskan sebagai tokoh pendidikan. Memang, ia telah berjasa dengan mendirikan Sekolah Isteri/ Sekolah Kautamaan Isteri di Bandung pada 1904, yang kemudian tersebar di banyak tempat hingga pada 1912 sudah ada sembilan sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dikenal sebagai sekolah Dewi Sartika.

Namun, ada beberapa segi dari pemikiran dan tindakannya yang masih belum banyak kita kenal. Salah satu yang utama adalah pengamatannya tentang buruh perempuan.

Pahlawan Perempuan yang Sadar Isu Ekonomi Politik

Pada 1914, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyusun laporan umum tentang kedudukan perempuan di tanah jajahan. Hal ini adalah bagian dari Politik Etis yang dilancarkan sejak 1901.

Laporan tersebut memuat pendapat dari sembilan perempuan yang dianggap terdidik, yakni Raden Ajoe Soerio Hadikoesoemo (Raden Ajeng Sunarti, adik Kartini), Raden Ajoe Ario Sosrio Soegianto, Oemi Kalsoem (istri Mas Soepardi), Raden Adjeng Karlina, Raden Adjeng Amirati (putri Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI), Raden Adjeng Martini (putri Raden Mas Singowigoeno, Bupati Lumajang), Nyonya Djarisah (seorang bidan di Bandung), Raden Dewi Sartika, dan Raden Ajoe Siti Soendari.  

Baca juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Masalah yang mereka bahas umumnya terkait tentang poligami dan pernikahan anak. Ini membuktikan bahwa kedua masalah tersebut memang sudah lama jadi perhatian dan keprihatinan kaum perempuan (hingga hari ini juga).

Berbeda dari delapan perempuan lainnya, Dewi Sartika tidak hanya membahas kedua masalah tersebut saja. Ia juga menyatakan pendapatnya tentang kondisi buruh perempuan pada masa itu. Dewi Sartika menjadi satu-satunya tokoh yang berani menyuarakan isu buruh perempuan.

Ukuran perempuan terdidik pada masa itu adalah bisa baca-tulis dan menuangkan pikirannya dalam bahasa Belanda (seperti Kartini). Namun, Dewi Sartika melampaui itu: Ia sadar isu ekonomi politik tanah jajahan.

Dewi Sartika tampak mengerti betul perubahan ekonomi politik masa itu. Ia paham ada kekuatan besar yang mendorong perubahan di tanah jajahan. Bukan hanya Politik Etis yang digaung-gaungkan membawa “terang di tanah jajahan”, tetapi juga kekuatan modal yang menggerakkan sendi-sendi kehidupan dari hierarki tertinggi hingga terendah di Hindia Belanda.

Pada dasawarsa pertama abad ke-20, setelah berakhirnya masa tanam paksa, keran ekonomi tanah jajahan dibuka sehingga mulai masuk sistem ekonomi bebas. Modal-modal asing masuk dalam bentuk pabrik dan perkebunan swasta. Mereka membutuhkan banyak buruh.

Baca Juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Berbeda dari sistem tanam paksa yang tidak mengenal pengupahan, dalam sistem ekonomi bebas ini, buruh memperoleh upah. Banyak petani laki-laki yang kehilangan tanahnya mulai bekerja sebagai buruh dengan upah seadanya. Pabrik dan perkebunan membutuhkan banyak buruh sehingga perempuan mulai diperkerjakan sebagai buruh upahan.

Tiga Isu Utama Buruh Perempuan Masa Kolonial

Berdasarkan pemahaman ekonomi politiknya, ada tiga hal utama yang diangkat Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan. Pertama, soal kesenjangan upah. Buruh perempuan tidak memperoleh upah yang sama seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama. Sebagaimana dikatakannya:

Hendaknya janganlah dilupakan perempuan kita dari ‘golongan jelata’ yang tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, dan yang mesti mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai buruh di banyak pabrik dan perkebunan. Sebagai seorang perempuan, hati saya rasanya tersayat, bahwa para perempuan tersebut, meskipun melakukan pekerjaan yang sama seperti buruh laki-laki, yang juga tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, ternyata menerima upah yang lebih sedikit daripada buruh laki-laki.  

Pengamatan Dewi Sartika tentang kesenjangan upah buruh perempuan sungguh jitu. Hal ini baru teratasi lewat hukum setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 100 (1951) tentang Upah Setara, atas desakan Gerwani pada 1958. Meski demikian, sampai sekarang kesenjangan upah masih dialami buruh perempuan di semua sektor lapangan kerja.  

Kedua, soal hak cuti hamil. Buruh perempuan pada masa itu tidak memperoleh hak cuti hamil. Jika sakit, sekalipun karena usai melahirkan, buruh perempuan mesti kembali kerja seperti semula. Menurut Dewi Sartika:

Tampaknya sampai sekarang tidak pernah diperhatikan bahwa sesudah melahirkan diperlukan waktu istirahat, buruh perempuan juga harus hidup, sehingga berdasarkan keadilan adalah wajar ia memperoleh tunjangan keuangan selama waktu istirahat tersebut yang sekurang-kurangnya tiga puluh hari.

Bagi kita yang hidup di abad ke-21 ini, hak cuti hamil sudah dianggap lumrah dan merupakan bagian dari hak-hak reproduksi sebagai perempuan. Kiranya Dewi Sartika adalah orang pertama yang mengangkat wacana tersebut–dan bahkan, menyatakan bahwa buruh perempuan harus tetap “memperoleh tunjangan keuangan” selama cuti hamil, tak terkecuali.  

Baca juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Ketiga, soal perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Pada masa itu, perempuan mengalami perlakuan tidak adil tidak hanya di rumah atau ranah privat, tetapi juga di lapangan kehidupan sosial, terlebih bagi mereka yang bekerja. Dewi Sartika berpendapat,

Sebagai perempuan yang sehat jasmaniah bekerja di pabrik dan perkebunan, mereka menerima upah yang rendah, kemungkinan akan hilang pekerjaannya tersebut karena mengalami sakit alamiah seperti saat melahirkan dan lain sebagainya, dan juga tidak diperlakukan adil seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama – itu semua tidak akan menjadikan mereka tertarik untuk membanting tulang sebagai buruh di pabrik dan perkebunan lebih lanjut.  

Buruh perempuan yang bekerja di pabrik dan perkebunan kerap diperlakukan tidak adil di tempat kerja. Menjadi buruh upahan justru tidak serta-merta membebaskan perempuan seperti yang dijanjikan oleh kaum liberal terdidik Belanda. Malah, buruh perempuan mengorbankan kesehatan jasmaninya.

Karena itu, menurut Dewi Sartika, perempuan perlu mendapatkan pelatihan keterampilan agar bisa berkarya bebas menjadi dirinya sendiri. Inilah dasar mengapa ia mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.  

Dewi Sartika Kritisi Patriarki dan Kapitalisme

Tiga masalah utama yang disebut oleh Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan pada masa itu memang, sayangnya, masih tetap menjadi masalah utama bagi kita yang hidup seratus tahun kemudian. Ini bukti bahwa masalah-masalah tersebut adalah masalah ekonomi politik dalam kapitalisme, baik dalam sistem kolonialisme maupun dalam sistem globalisasi masa kini. Pengamatan Dewi Sartika sudah sangat tajam, dan ini bisa menjadi dasar pengamatan bagi kita juga di masa kini.

Kartini boleh jadi dianggap mewakili suara perempuan yang tertindas budaya patriarki pada masanya, tapi Dewi Sartika lebih mengerti suara perempuan yang tertindas dalam budaya patriarki dan sekaligus kapitalisme dalam sistem kolonialisme pada awal abad ke-20.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Kartini bisa dibilang feminis pertama dari tanah Jawa, tapi Dewi Sartika lebih punya perspektif ekonomi politik soal peran gender perempuan, dan paham masalah-masalah konkret buruh perempuan. Boleh jadi, kiprah Dewi Sartika ini diperkecil dalam sejarah kolonial (dan juga sejarah Orde Baru) karena kesadarannya akan isu ekonomi politik ini, dan sebagian menganggap pemikirannya lebih “berbahaya” daripada pemikiran Kartini.

Sudah saatnya kita perlu melihat kiprah Dewi Sartika dalam terang sejarah yang lebih mendalam.  Ia adalah yang pertama dan menjadi pelopor bagi kita untuk lebih kritis menyoroti masalah ekonomi politik yang bersinggungan dengan kehidupan perempuan.

Jafar Suryomenggolo adalah penerima LITRI Translation Grant 2018 atas terjemahan beberapa cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019). Saat ini ia bermukim di Paris, Perancis.

Read More
Herawati Sudoyo Ilmuwan Perempuan

Herawati Sudoyo Bicara Soal Tantangan Menjadi Ilmuwan Perempuan

Salah satu ilmuwan perempuan yang ikut andil dalam penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia adalah Herawati Sudoyo, Wakil Kepala Lembaga Eijkman untuk Bidang Penelitian Fundamental. Sejak awal pandemi, keberadaannya di deretan Tim Pakar Medis Gugus Tugas Penanganan Covid-19 menjadi sangat penting. Namun, dalam mencapai posisinya saat ini, Herawati mengalami banyak tantangan menjadi seorang ilmuwan perempuan. 

Baca Juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19

Berbicara dalam Podcast Indonesia  soal tantangan sebagai Ilmuwan Perempuan 

Dalam sebuah podcast Indonesia How Women Lead, Herawati menceritakan perjalanannya menjadi seorang ilmuwan perempuan dan bagaimana ia berkecimpung dalam keilmuan biologi molekuler yang saat itu terbilang bidang baru.

Sebetulnya, sejak kecil Herawati  Herawati memang menyukai dunia sains, tapi ia sebetulnya lebih menyukai bidang arsitektur dan desain interior. Namun, ia kemudian didorong keluarga untuk lebih memilih bidang medis dan Herawati akhirnya berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Setelah mendapat gelar dokter, Herawati, yang saat itu bekerja di bagian biologi, Fakultas Kedokteran UI, merasa perlu melanjutkan studinya di dunia pendidikan. Ketika ia menempuh studi doktoral di Departemen Biochemistry Monash University pada 1990, untuk pertama kalinya ia jatuh hati dengan cabang ilmu baru yaitu biologi molekuler.

Podcast Indonesia Tentang Tantangan Sebagai Ilmuwan Perempuan

Biologi molekuler adalah cabang ilmu yang mempelajari keunikan makhluk hidup melalui bagian paling kecil, yaitu DNA dan RNA. Saat mempelajari ilmu ini, Herawati merasa benar-benar dibentuk dan berkembang secara optimal, dan ia merasa ini lah jalan untuknya. Namun, ketika menekuni keilmuan baru ini, ada tantangan yang dihadapi oleh Herawati. 

Baca Juga: Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

“Bekerja di bidang yang baru ini membuat saya tidak memiliki panutan. Pada saat itu, orang banyak yang menganggap penelitian itu enggak penting,” ujar Herawati dalam wawancara bersama How Women Lead. 

Ilmuwan Perempuan Herawati Sudoyo Berjasa dalam Identifikasi Tersangka Bom Bunuh Diri Kedubes Australia

Salah satu pencapaian terbesar Herawati adalah ketika ia berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di depan Kedubes Australia pada 2004. Pada saat itu, Kepolisian Republik Indonesia ditantang untuk mengidentifikasi secara cepat siapa pelaku di balik bom bunuh diri ini.

Tragedi itu menewaskan 10 korban dan  melukai lebih dari 180 orang. Pelaku bom bunuh diri tersebut menggunakan mobil boks untuk mengangkut bom. Mobil tersebut hancur total dan tidak ada bagian badan yang memungkinkan untuk diidentifikasi menggunakan metode konvensional seperti sidik jari, gigi, hingga pengenalan wajah. 

Karenanya, identifikasi DNA-lah jawabannya. DNA merupakan singkatan dari deoxyribonucleic acid, sebuah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti berisi tentang informasi-informasi dari orang tua.

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Setelah metode ditentukan, untuk membedakan mana pelaku dan korban, tim identifikasi mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan bagian-bagian kecil dari tubuh dengan basis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi keberadaan pelaku. Pelaku yang pasti dekat dengan bom, serpihan tubuhnya akan terlontar lebih jauh daripada korban.

Teknik yang dikembangkan oleh tim Herawati dengan Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) ternyata terbukti ampuh. Jaringan tubuh dari tempat-tempat jauh memiliki profil yang sama dengan profil DNA keluarga yang dicurigai. Dalam waktu kurang dari dua minggu, tim Eijkman dan Polri berhasil mengidentifikasi pelaku. 

Herawati Sudoyo dan Beban Ganda Perempuan 

Sebagai seorang ilmuwan perempuan, Herawati mengatakan, tantangan lain yang ia hadapi adalah bagaimana ia bekerja dan meraih gelar doktornya sembari tetap mengurus anak. Ketika bersekolah di Australia, ia harus membawa kedua anaknya ke kampus. Saat itu ia mengambil gelar doktor di satu lab yang pada saat itu merupakan salah satu empat lab di dunia yang mengerjakan topik doktoralnya. 

“Saat itu yang saya rasakan benar-benar sangat kompetitif. Kita diminta untuk benar-benar berkonsentrasi pada pekerjaan. Tetapi di saat yang sama saya pun perlu mengurus anak. Kita harus belajar sendiri bagaimana berbagi konsentrasi pada pekerjaan kita. Saya menjalankan itu selama empat tahun,” ujar Herawati

Herawati “Kantor Perlu Dukung Ilmuwan Perempuan untuk Berkarier”

Dari pengalamannya itu, Herawati banyak sekali mendapat pengalaman dan bagaimana ia harus bersikap dalam memimpin anak buahnya. Ia paham bagaimana perjuangan-perjuangan ilmuwan perempuan untuk meraih posisinya dan terus berkarier.

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Ketika pertama kali memulai karier, banyak ilmuwan perempuan yang ia kenal mengundurkan diri dan memilih untuk mengurus keluarga. Hal ini menurutnya dapat diatasi dengan adanya dukungan dari kantor tempat ilmuwan tersebut bekerja.

“Ilmuwan perempuan harus di dukung dari luar serta dari dalam, yaitu keluarganya sendiri. Kalau itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi dia. Sebab di dalam dunia yang masih konservatif ini, walaupun perempuan memiliki karier tinggi ya tetap harus ingat tempatnya. Itu kata-kata yang dipakai untuk saya,” kata Herawati.  

Read More

Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Ketika Nyoman Anjani mencalonkan diri sebagai Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (K3M) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2013, ia adalah calon perempuan satu-satunya. Sejumlah pihak kemudian melancarkan oposisi karena mereka menganggap perempuan tidak seharusnya memimpin.

“Jadi pemilihan umumnya berlangsung cukup sengit persaingannya karena ada beberapa kalangan yang berpandangan seperti itu,” kata Nyoman, yang sekarang menjadi peneliti bidang manufaktur di MIT Indonesia Research Alliance (MIRA).

Meski menghadapi situasi seperti itu, Nyoman mengatakan mahasiswa ITB cenderung berpikiran terbuka sehingga ia terpilih secara adil dan demokratis.

“Untuk calon lainnya, beliau menerima kekalahan dengan lapang dada ketika saya terpilih. Ketika masa pemerintahan Kabinet KM ITB sudah berjalan, para mahasiswa ITB cenderung lebih ​open minded​ dan menjalani masa kepengurusan tersebut bersama-sama,” kata Nyoman.

Ia mengatakan bahwa peran perempuan khususnya pemimpin di organisasi sangat signifikan dalam menyeimbangkan pengambilan keputusan.

“Perempuan akan memberi keseimbangan dalam proses analisis suatu masalah karena memiliki sudut pandang berbeda dari laki-laki,” ujarnya. 

Senada dengan Nyoman, Putri Indy Shafarina, Presiden Girl Up di Universitas Padjadjaran, sebuah gerakan pemberdayaan perempuan di kampus-kampus Indonesia, mengatakan, perempuan pemimpin mampu memperjuangkan kebutuhan perempuan secara maksimal. Misalnya, membuat peraturan anti-kekerasan seksual di tingkat universitas hingga dukungan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). 

“Perempuan dalam posisi d​ecision making​ juga mampu mengambil keputusan dan kebijakan yang lebih inklusif,” ujarnya kepada Magdalene.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Organisasi

Studi berjudul ​Why We Lead: Reflections of Female Student Government Presidents ​(2010) oleh Jennifer M. Miles, akademisi bidang pendidikan di University of Arkansas, AS, menyatakan posisi kepemimpinan dalam organisasi kampus mengasah kemampuan dalam menjadi delegasi atau representatif sebuah institusi.

Sementara itu, hambatan yang dialami mengacu pada kesulitan dalam manajemen waktu, memisahkan hubungan personal serta profesional ketika bekerja dengan teman, dan memenuhi ekspektasi maupun menyelesaikan masalah sesama mahasiswa. 

Shafarina berpendapat, tantangan lain yang dihadapi  perempuan pemimpin berkaitan dengan bias gender.

“Perempuan dipandang sebelah mata, dipertanyakan kompetensinya, dianggap tidak kompeten (tidak seperti laki-laki) dan dianggap terlalu emosional sehingga tidak tegas dalam mengambil keputusan,” ujar mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi tersebut. 

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Stigma yang dilekatkan pada perempuan tersebut mampu berdampak pada tingkat kepercayaan anggota suatu organisasi. Ia mengatakan, cara untuk menyikapi pandangan negatif tersebut dengan membuktikan bahwa perempuan juga berkompeten, bahkan tidak kalah dari laki-laki dan gender tidak bisa menjadi tolak ukur penilaian kompetensi seseorang menjadi pemimpin. 

Jadi Perempuan Pemimpin di Organisasi Kampus Bantu dalam Karier 

Shafarina mengatakan, karakter kepemimpinan di ranah universitas berbeda dengan yang terjadi di ranah sekolah, seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), karena mahasiswa memiliki pemahaman politik lebih besar. Selain itu, pemahaman mahasiswa perempuan di posisi strategis akan hambatan karena bias gender mampu membantu mereka untuk menjadi lebih kuat ketika mengambil posisi tersebut di ranah kerja, ujarnya.

“Kesempatan untuk jadi perempuan pemimpin adalah hal yang tidak bisa didapatkan semua orang. Adanya kesempatan langka itu mampu membuat seseorang memiliki kepercayaan diri yang meningkat ketika menapaki karier profesional,” jelasnya. 

“Menanamkan dan membantu mahasiswa perempuan mengidentifikasi diri sebagai pemimpin bisa memotivasi mereka untuk mencari posisi pemimpin di ranah kerja maupun masyarakat, sekaligus mengubah persepsi tentang kapabilitas perempuan pemimpin dan demografi pekerjaan perempuan.”

Selaras dengan pendapat tersebut, penelitian bertajuk ​Am I A Leader? Female Students Leadership Identity Development​ (2018) oleh Brenda L. McKenzie, akademisi dari Vanderbilt University, AS, yang berfokus pada isu kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi menyatakan, salah satu upaya yang diinginkan perguruan tinggi adalah membangun mahasiswa untuk mampu menjadi pemimpin. Kemampuan tersebut sangat penting untuk mahasiswa perempuan agar mereka mengetahui tantangan kepemimpinan yang akan dihadapi setelah menapaki jenjang yang lebih jauh dari perguruan tinggi. 

“Menanamkan dan membantu mahasiswa perempuan mengidentifikasi diri sebagai pemimpin mampu memotivasi mereka untuk mencari posisi pemimpin di ranah kerja maupun masyarakat, sekaligus mengubah persepsi tentang kapabilitas perempuan pemimpin dan demografi pekerjaan perempuan,” tulis McKenzie. 

Melengkapi pernyataan tersebut, Miles dari University of Arkansas menuliskan dalam studinya, “Ketika mahasiswa menjadi pemimpin di ranah universitas mereka mempelajari keahlian yang akan membantu kehidupan profesional dan personal mereka. Mahasiswa pemimpin harus belajar berinteraksi dengan orang lain, menjadi representatif, dan berinteraksi atau bekerja sama dengan banyak orang. Pemimpin ini juga bertanggung jawab dalam keberlanjutan organisasi mereka.”

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Mentor untuk Kepemimpinan Perempuan

Judy Nagai, Assistant Vice President of Development di University of The Pacific dalam penelitiannya Maximizing The Effectiveness of Women’s Undergraduate Leadership Programs Through Intentional Outreach menyatakan pendidik memiliki peran penting dalam mendorong perempuan jadi pemimpin. Tanggung jawab menjadi mentor tersebut dapat dilakukan dengan program pengembangan kepemimpinan yang memberikan pemberdayaan untuk perempuan. 

McKenzie juga menyatakan, dalam mengidentifikasi pemimpin, mahasiswa cenderung melihat figur publik seperti presiden, selebriti, atau sosok yang memiliki kharisma, ketegasan, dan dihormati. Dalam ranah pendidikan, sosok pemimpin tersebut dapat berupa sesama teman atau ketua organisasi tertentu dan tokoh pendidik. 

Shafarina mengatakan, jika dosen mendukung dan menyelipkan pesan kesetaraan gender maupun pemberdayaan dalam kurikulum, hal itu bisa menjadi faktor pendorong untuk perempuan mengambil peran strategis di ranah kampus.

“Selain itu, jika universitas memiliki rektor maupun Dekan perempuan, itu menjadi sebuah kemajuan dan bisa mengakomodasi kepentingan sesama perempuan,” ujarnya.

Read More

Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Secara global, dibutuhkan sekitar 99,5 tahun untuk mencapai kesetaraan gender secara optimal. Hal ini dinyatakan World Economic Forum (WEF) berdasarkan data Global Gender Gap Report 2020 yang mereka kumpulkan dari 153 negara.

Perjalanan panjang mewujudkan kesetaraan gender diakibatkan masih besarnya kesenjangan gender di berbagai subindeks. Dalam penelitian WEF, ditemukan bahwa kesenjangan gender paling terlihat pada subindeks Politik dan Ekonomi. Tercatat hanya 24,7 persen kesenjangan gender yang bisa tertutupi pada subindeks ini dengan hanya hanya 25 persen dari 35.127 kursi global ditempati oleh perempuan, dan hanya 21 persen dari 3.343 menteri perempuan. Bahkan di beberapa negara, perempuan tidak terwakili sama sekali.

Kesenjangan gender juga masih terjadi pada subindeks Kesempatan dan Partisipasi Ekonomi Berusaha. Dalam subindeks ini, tercatat hanya 55 persen perempuan yang bekerja di pasar tenaga kerja, dengan hanya 36 persen dari mereka yang menjabat manajer senior sektor swasta dan pejabat sektor publik.  Hal ini diperparah dengan adanya lebih dari 50 persen kesenjangan upah.

Dari indeks secara keseluruhan (Politik, Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan), Indonesia menempati posisi 85. Keterwakilan perempuan di parlemen menurun (17,4 persen turun dari 19,8 persen), begitu juga di kabinet (24 persen, turun dari 26 persen). Di samping itu, partisipasi angkatan kerja perempuan masih cenderung stagnan, yaitu 54 persen dengan hanya 40,1 persen perempuan yang menduduki posisi strategis dan posisi yang membutuhkan tenaga profesional.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Budaya Patriarki, Tantangan Utama Atasi Kesenjangan Gender

Dalam diskusi bertajuk “Pemimpin Perempuan: Mengapa Penting?” yang diselenggarakan oleh Jalastoria Indonesia pada Jumat (26/21), Nur Aini, Ketua Serikat Sindikasi yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa hal yang menjadi tantangan utama dalam merealisasikan kesetaraan gender di Indonesia adalah karena masih mengakarnya budaya patriarki di masyarakat. Hal ini melanggengkan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki.

“Budaya patriarki inilah masalahnya, [lingkungan kerja] masih maskulin, kepemimpinan perempuan masih dipertanyakan,” ujar Nur Aini.

“Pertanyaan bagaimana perempuan membagi waktu ke keluarga, lalu bagaimana jika mereka hamil, bagaimana nanti kalau harus rapat sampai malam, pertanyaan-pertanyaan yang kerap diajukan kepada perempuan ini sebenarnya tidak bersifat substansial dan tidak pernah dipertanyakan kepada laki-laki.”

Menambahkan pendapat Nur Aini, Masruchah, Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan dan Dewan Pengawas Indonesian Feminist Lawyer Club mengatakan bahwa kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan perempuan di ranah domestik masih menjadi tantangan besar yang sulit dikikis.

“Di hadapan publik, masyarakat meyakini bahwa rumah urusan perempuan. Hal ini terlihat dari bagaimana UU Perkawinan juga secara jelas membagi peran gender perempuan dan laki-laki, bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, dan perempuan adalah seorang ibu rumah tangga,” kata Masruchah.

Menurutnya, konstruksi sosial ini memiliki sumbangsih besar pada pemberian beban sepihak dan ekspektasi berlebihan kepada perempuan.

“Dalam pandangan publik, sering kali perempuan itu diharuskan lebih sukses dua kali lipat dari laki-laki. Mereka harus bisa sukses dalam mengurus keluarganya, dan mereka harus bisa sukses juga di ruang publik, dari situ perempuan baru dianggap layak menjadi pemimpin,” imbuh Masruchah.

Hak Pekerja Perempuan Terabaikan

Di samping itu, tantangan lain yang menghambat penurunan kesenjangan gender di Indonesia ialah masih disepelekannya hak-hak perempuan sebagai pekerja

“Hak-hak pekerja perempuan masih banyak yang belum dipenuhi. Misalnya, saya bekerja di Tempo sejak 2008, tapi status saya masih kontrak. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan sudah jelas batasnya [status kerja kontrak] tiga tahun,” papar Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas dalam diskusi tersebut.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

“Posisi sebagai pekerja kontrak, kontributor, atau koresponden membuat pekerja tidak diberikan gaji tetap, dan tidak punya cuti haid atau melahirkan. Ukuran batasan jam kerja juga enggak ada. Mau kamu sedang hamil atau sedang haid, ya kalau kamu enggak kerja, kamu enggak akan dapat gaji,” Ika menambahkan.

Tidak hanya hak khusus perempuan dan status kerja yang tidak pasti saja yang masih menyandung perempuan pekerja. Ika mengatakan bahwa bagi jurnalis perempuan, ketidakadilan dan kekerasan gender yang mereka alami lebih berlapis. Mereka juga rentan mengalami kekerasan seksual dalam meliput atau dalam perjalanan meliput berita. Hambatan-hambatan seperti inilah yang membuat jurnalis perempuan lebih sedikit.

“Kalaupun ada biasanya hanya bertahan sampai lima tahun bekerja. Kalau sudah menikah dan punya anak, mereka pasti akan berhenti sebagai jurnalis,” kata Ika.

Hal ini kemudian berdampak pada miminmya perempuan menjabat di posisi struktural. Posisi perempuan di dalam media pun terlihat seperti piramida, semakin ke atas jumlah mereka semakin sedikit.

Affirmative Action Solusi Kesenjangan Gender

Salah satu jalan mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan gender yang dialami perempuan di ruang publik adalah dengan membuat affirmative action. Hal ini merupakan kebijakan khusus untuk meningkatkan representasi kelompok termarginalkan seperti perempuan.

Menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati, seharusnya affirmative action tatarannya tidak hanya terfokus pada tataran legislatif, tetapi juga di ranah ranah lainnya.

“Butuh ada evaluasi gerakan perempuan dalam affirmative action. Dengan begitu, jika kita berbicara mengenai bagaimana caranya memosisikan perempuan dalam posisi-posisi strategis, kita bisa beralih dari birokrasi ke lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, bahkan private sector,” kata Mike.

Ia berpendapat, upayamembuat affirmative action di luar ranah legislatif juga mampu mendorong penghentian anggapan keliru mengenai keadilan dan kesetaraan gender secara lebih luas. Di tubuh pemerintahan dan badan negara saja, isu gender masih kerap dipandang sebagai persoalan tunggal perempuan semata, bukan kepentingan bersama.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Mendorong Perempuan Menjadi Pemimpin

Nur Aini mengatakan bahwa affirmative action di lintas sektor dapat dimulai dengan hal termudah, yaitu dengan mendorong kepercayaan diri perempuan dan meyakinkan mereka bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin. Hal ini perlu dibarengi  dengan memberikan kesempatan pada perempuan untuk menduduki posisi strategis.

Menurut dosen Ilmu Politik FISIP dan Pascasarjana Kajian Gender UI, Dr. Nur Iman Subono, mendorong kepercayaan diri perempuan ini begitu penting karena perempuan telah mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa mansplaining dalam ruang kerja, atau perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan aspirasi atau ide-idenya.

“Mendorong kepemimpinan perempuan sangat penting, karena sebelum mencapai substantive representation, number representation harus terpenuhi terlebih dahulu untuk membantu tercapainya kesetaraan dan keadilan gender,” kata Nur Iman.

Masruchah memandang, dibandingkan gaya kepemimpinan laki-laki, gaya kepemimpinan perempuan terbukti lebih berorientasi pada kesejahteraan bersama.

“Umumnya, model kepemimpinan perempuan baik di organisasi atau parlemen punya gaya transformasi, mencoba banyak mendengarkan, memberikan ruang baik bagi tim kerja mereka, basis sosialnya untuk mendialogkan. Sementara laki-laki, karena sejak kecil dilihat seorang individu yang super dan berdaya, sering kali ketika dia mempimpin cenderung hierarkis, dengan cara memerintah dan menugaskan seseorang,” papar Masruchah.

Selain itu ia menilai, pemimpin perempuan lebih banyak memberi motivasi pada tim kerjanya karena ia ingin maju bersama.

“Mereka yang biasanya memulai ruang berbagi, ruang mendengar. Laki-laki pada umumnya mau maju sendiri, ‘aku bisa lho’. Kalau perempuan tidak, perempuan bergerak secara perlahan namun pasti, ‘aku bisa melakukan perubahan-perubahan ini bersama-sama’,” ujarnya.

Read More
Titi Anggraini dukung perempuan berkarier

Titi Anggraini: Perempuan Dukung Perempuan untuk Karier yang Lebih Baik

Titi Anggraini percaya bahwa salah satu kunci keberhasilan perempuan dalam kariernya adalah dengan adanya dukungan dari sesama perempuan itu sendiri. Perempuan kelahiran Palembang, 12 Oktober 1979 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia merupakan aktivis dan juga pengamat pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi, yang juga sanga tertarik pada isu perempuan dalam politik. 

Baca Juga: Gelap-Terang Rekam Jejak Aung San Suu Kyi dalam Politik Myanmar

Saat ini Titi Anggraini menjabat sebagai Dewan Pembina Organisasi Perkumpulan Pemilu untuk pemilu dan Demokrasi (Perludem), setelah  10 tahun menjabat sebagai direktur eksekutif dari organisasi tersebut. Sejak di bangku perkuliahan, Titi memang memiliki minat terhadap isu pemilihan umum, dan sejak berkuliah ia sudah banyak terjun dan membantu dalam isu pemilu.  

Wawancara Titi Anggraini bersama How Women Lead Soal Perempuan dalam Politik

Dalam episode 5 podcast How Women Lead, Titi Anggraini banyak bercerita tentang pengalaman selama berkecimpung di dunia pemilu serta politik. Salah satu isu yang ia sorot adalah soal representasi perempuan dalam dunia politik.  Titi memahami bahwa ranah politik memang sangat maskulin dan masih belum ramah terhadap politisi perempuan. Banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh perempuan, saat ia ingin terjun ke dalam ranah politik, mulai dari ongkos politik, pengetahuan soal politik, dan lain-lain. 

Awal Karier Titi Anggraini 

Awal karier Titi memang sudah fokus dalam isu pemilihan umum. Pada tahun 1999 ia menjadi anggota panitia pengawas pemilu tingkat pusat pada 1999, mewakili Universitas Indonesia. Saat itu panas diisi oleh orang-orang berlatar belakang dosen dan mahasiswa. 

Di tahun 2005, bersama dengan para tokoh besar lainnya, Titi Anggraini mendirikan organisasi Perludem yang berfokus pada isu pemilihan umum dan demokrasi. Tokoh lainnya yang berada di balik Perludem adalah Topo Santoso, Prof. Aswanto, Didik Supriyanto, serta Prof. Komarudin Hidayat. Saat itu Titi ditunjuk untuk menjadi sekretaris eksekutif. 

Baca Juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Namun, tentu saja dalam perjalanannya Perludem banyak mengalami hambatan, salah satunya karena orang-orang di balik Perludem memiliki kesibukan juga di luar organisasi. Pada 2008-2010, ketika Titi membantu Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) sebagai koordinator Tim Ahli, ia merasa bawa ia perlu membesarkan Perludem. Akhirnya setelah itu Titi diminta untuk fokus mengurus Perludem.  

Male Panel dan Kurangnya Representasi Perempuan dalam Politik

Semenjak mendalami isu pemilihan umum, Titi memang memberi perhatian pada isu perempuan dalam politik. Di periode 2019-2024 saja, dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya ada 118 anggota perempuan atau 20,52 persen. Memang jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, jumlah ini bisa dibilang meningkat, tetapi tetap saja kuota perempuan yang seharusnya 30 persen atau yang sering kali kita sebut politik afirmasi masih belum terpenuhi. 

Peraturan ini sudah tertera jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat. Sering kali perempuan dilihat hanya sebagai syarat jenis kelamin dan mengabaikan kapasitas, potensi, dan perspektif perempuan. 

Baca Juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Tidak hanya soal kuota 30 persen, dalam podcast How Women Lead, Titi juga bercerita soal keprihatinannya terhadap rekan-rekan yang mengabaikan pentingnya representasi perempuan dalam panel-panel diskusi soal pemilu. Yang paling ia ingat adalah salah satu pengalamannya dengan  Hadar Gumay, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga memiliki perhatian dengan isu inklusivitas ini. Saat itu, pak Hadar menghubungi Titi untuk menjadi narasumber, sebab panel tersebut lebih banyak narasumber laki-laki. 

“Saya sengaja mengundurkan diri agar mbak Titi bisa menjadi narasumber di forum itu,” ucap Hadar pada Titi kala itu. 

Pentingnya Sisterhood untuk Karier Perempuan dalam Politik 

Di dalam lingkup politik, Titi menyadari pentingnya dukungan dari sesama perempuan agar karier perempuan dalam politik tersebut berkembang. Inklusivitas menjadi salah satu hal penting di dalam politik, baik perempuan maupun laki-laki berhak masuk dalam ranah politik. 

Sifat-sifat seperti welas asih dan merawat atau nurture menjadi salah satu hal yang Titi pegang dalam mengembangkan Perludem. Sejak ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Perludem, Titi dikenal sebagai pemimpin perempuan yang berempati, dan peduli terhadap para koleganya. Titi juga selalu memberikan arahan serta mengajak seluruh teman-teman di Perludem untuk sama-sama mengembangkan Perludem. 

Titi merasakan betul bagaimana manfaat sisterhood dalam pengembangan kariernya. Ia mengakui bahwa penguatan di antara sesama perempuan itu sangat penting dalam berorganisasi. 

“Maka dari itu revitalisasi sisterhood itu jadi sangat penting buat saya, dalam arti untuk saling mengingatkan pada konsep integritas,  memberi ruang akses kepada sesama perempuan, tidak saling menjatuhkan, nah ini yang betul-betul harus dihadirkan,” ujar Titi Anggraini. 

Read More