Akses perempuan untuk dapat kebebasan finasial masih sering terkenda faktor sosial, budaya, dan aturan ekonomi-politik yang bias gender. Apa yang bisa dilakukan?
Punya atasan toksik di kantor? Jangan buru-buru resign. Bisa coba beberapa cara ini untuk hadapi bos ‘red flag’ agar kesehatan mental dan kariermu tetap terjaga.
Kenapa fresh graduate sering sulit dapat kerja? Faktornya banyak, bisa jadi bukan cuma karena kesalahan individual. Tapi, kamu bisa coba meningkatkan kesempatan dengan beberapa tips berikut.
Saat menjadi pembawa acara penghargaan film Golden Globes 2014, komedian Tina Fey menyindir diskriminasi usia atau ageisme yang marak di industri film Hollywood dalam monolog pembuka perhelatan tersebut.
“Meryl Streep brilian banget di film August: Osage County. Membuktikan bahwa masih ada peran-peran dahsyat di Hollywood untuk Meryl Streep setelah berusia 60 tahun,” ujarnya disambut gelak tawa hadirin.
Pernyataan itu akurat menggambarkan ageism atau diskriminasi usia terhadap perempuan di industri film tersebut. Aktris yang telah berumur biasanya lebih sulit mendapatkan pekerjaan, digantikan oleh wajah-wajah baru yang jauh lebih muda yang secara fisik dianggap lebih menarik. Hanya ada satu-dua pengecualian, seperti pada aktris peraih Oscar, Meryl Streep.
Di dunia kerja secara umum, diskriminasi usia terhadap perempuan juga marak. Perempuan yang berada di usia reproduksi aktif sering kali dihadapkan dengan stereotip tentang status mereka sebagai seorang istri dan ibu sehingga dianggap tidak dapat melakukan beban kerja sebanyak pria. Sementara perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun cenderung dikategorikan sebagai pekerja dengan performa yang kurang baik.
Meskipun sebagian di antaranya disampaikan secara tersirat, empat film ini telah menyuarakan isu ageisme terhadap perempuan di tempat kerja. Melalui karakter dan alur ceritanya, kita dapat mempelajari cara memperjuangkan hak untuk tetap bekerja jika suatu saat harus berhenti dipekerjakan karena alasan ageisme.
1. What Men Want (2019)
Kredit: IMDb
Film tentang ageisme pertama yang saya bahas adalah What Men Want. What Men Want menceritakan tentang Ali Davis (Taraji P. Henson), seorang agen atlet yang sukses, yang merasa dikucilkan oleh rekan-rekan kerjanya yang sebagian besar adalah laki-laki. Ia tidak pernah mendapatkan promosi jabatan karena sang atasan menganggapnya kurang mampu berhubungan baik dengan laki-laki.
Davis kemudian memutuskan untuk pergi ke paranormal agar ia dapat mengetahui isi pikiran pria. Tak disangka, kemampuan itu ia miliki setelah mengalami kecelakaan sepulang dari rumah sang paranormal.
Film ini menampilkan stereotip bagaimana perempuan cenderung suka hal-hal “mistis”. Namun, film ini menggambarkan bagaimana perempuan hanya perlu memprioritaskan dan memahami perasaan dan isi kepalanya sendiri, tanpa harus berupaya keras memahami isi pikiran pria, karena keberadaan mansplainingsudah sangat menjelaskan perspektif mereka.
2. The Intern (2015)
kredit: IMDb
Selain karakter Ben Whittaker (Robert De Niro) yang mengalami ageisme sebagai seorang lansia, Jules Ostin (Anne Hathaway) selaku founder dan CEO sebuah perusahaan rintisan tempat Ben magang pun merasakan hal yang sama. Ia diminta untuk memberikan jabatannya ke orang lain lantaran para investor menganggap dirinya yang perempuan dan seorang ibu sudah tidak dapat mengatasi beban kerja.
Padahal, Ostin telah mengembangkan startup itu menjadi sebuah perusahaan besar hanya dalam 18 bulan. Ia pun mempertimbangkan untuk melepaskan jabatan tersebut demi menyelamatkan pernikahannya
3.Film Tentang Ageisme Terhadap Perempuan Pekerja: The Devil Wears Prada (2006)
Kredit: IMDb
Posisi Miranda Priestly (Meryl Streep) selaku pemimpin redaksi Runway Magazine nyaris digantikan karena jajaran direksi menganggap perannya perlu dipegang oleh sosok perempuan yang lebih muda, yakni Jacqueline Follet (Stephanie Szostak).
Meskipun harus mengorbankan seorang rekan kerja demi menyelamatkan posisinya, Priestly dapat mengatasinya dengan memberikan opsi bagi Follet untuk mengisi bangku Creative Director bersama seorang desainer. Alhasil ia tetap menggerakkan Runway.
Memang terkesan licik, tapi karakter Priestly mencerminkan perempuan yang harus memperjuangkan haknya apalagi jika ia sudah berumur. Ia membuktikan bahwa usia bukan batasan bagi seorang perempuan untuk berhenti berkarya.
4. Duty Free (2021)
Kredit: IMDb
Mencari pekerjaan di usia lanjut merupakan salah satu kesulitan yang akan dihadapi seseorang karena dianggap optimalisasi dalam melakukan pekerjaan yang jauh berkurang. Hal ini terbukti melalui Duty Free, sebuah film dokumenter dengan karakter utama Rebecca Danigelis, yang dipecat dari profesinya sebagai seorang housekeeping supervisor di sebuah hotel.
Kehilangan pekerjaan membuatnya merasakan sesuatu yang kurang dalam dirinya, sedangkan ia merasa tidak dapat berbuat apa pun, sesederhana menyusun daftar riwayat hidup untuk kembali mencari pekerjaan. Hati kita akan dibuat pilu akibat harus menyaksikan seorang perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat ageism, saat ia hanya ingin memiliki sumber penghidupan agar merasa aman di lingkungan sosial. Untunglah anak sulungnya menghibur sang ibu dengan mengajaknya berkeliling ke dua benua.
Dian Eka Purnama Sari adalah perempuan pengusaha berusia muda yang kini sedang sibuk mengembangkan sebuah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) miliknya, yang sebelumnya masih dikelola oleh kedua orang tuanya.
Alih-alih memilih banyaknya alternatif pekerjaan yang ditawarkan kota-kota besar bagi lulusan universitas seperti dia, perempuan 23 tahun itu malah mengambil jalan berliku penuh tantangan di lingkaran ekonomi dengan spektrum lokal, yakni di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam semangat yang dibawanya, Dian ingin memulai terobosan digital dari pelaku UMKM, yang menurutnya tidak banyak dilakoni oleh pengusaha Lombok.
Ketergantungan para pelaku UMKM pada acara-acara kerajinan yang diselenggarakan pemerintah–dan kini agak sepi karena pandemi–membuat banyak UMKM perlu memutar otak dalam bertahan di situasi penuh kemungkinan ini. Tak jarang, Dian harus terjebak dalam perdebatan dengan orang tuanya yang masih menganggap pasar digital belum hal yang sekarang mesti disentuh.
Pengusaha Perempuan Di Balik Brand Ketak Nusantara
Dian adalah sosok yang pengusaha muda yang kritis meski terkadang cenderung “gegabah.” Ia pun akhirnya tetap memasuki pasar digital dengan Ketak Nusantara, sebuah brand UMKM yang mengembangkan karya-karya fashion dan berbagai furniture dengan bahan dasar rumput alam bernama Ketak. Berbeda dengan rotan–meski keduanya masuk dalam kategori tanaman paku-pakuan, ketak lebih kuat dan tahan lama. Bila rotan akan mudah lapuk setelah terkena air, ketak justru sebaliknya—akan semakin kuat dan antik seiring perjalanan usianya.
Dalam semangatnya, Dian tak sekadar ingin karyanya dibeli. Lebih daripada itu, ia ingin memosisikan karyanya sebagai simbol perjuangan, terutama bagi para korban perundungan dan terkhusus para perempuan yang sering kali berada pada level terancam.
“Saya tidak ingin sekadar karya saya dibeli, lantas sudah, apa lagi? Ada hal yang ingin saya kampanyekan, yakni betapa pentingnya mental yang sehat, dan betapa pentingnya perempuan yang independen,” ujar Dian, yang lulus dari Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung jurusan Tenaga Penyuluh Lapangan itu.
Menurut Dian, nasib karya-karya UMKM dan posisi perempuan memiliki kesamaan. Selama ini, setidaknya dalam ukuran pengalamannya, karya-karya UMKM sering kali dipandang sebagai karya-karya yang kolot, serta sulit berinovasi dan beradaptasi dengan modernitas. Sekadar kerajinan yang tak memuat unsur estetik. Semacam ada aturan tak tertulis di lingkungan konsumen industri kreatif modern bahwa karya UMKM jauh dari kebutuhan zaman. Hal ini mengakibatkan UMKM bergerak di tempat yang “itu-itu melulu”.
Merespons stereotip ini, Dian melakukan riset secara mandiri, demi mengembangkan inovasi dan konsep yang melampaui anggapan-anggapan itu. Bukan sekadar karya yang dibutuhkan zaman, ia pun secara selektif memilih bentuk karya yang akan dianyamnya–begitu juga serta filosofinya. Metode riset yang diterapkan Dian pun terbilang sederhana dan unik. Ia mengajak perempuan-perempuan yang pernah menjadi korban perundungan karena ekspresi fashion-nya dianggap buruk. Perempuan-perempuan itu diberikan ruang untuk berpendapat, dan dari pendapat merekalah, Dian mengembangkan berbagai konsep.
Salah satu karya yang dibuatnya diberi nama Katana, yakni pedang tradisional di Jepang, Dian mengembangkan sebuah konsep pada karyanya yang menghasilkan tas dengan pola melengkung pada sudut-sudutnya. Pedang katana di Jepang merupakan simbol untuk memperjuangkan keadilan, juga digunakan oleh perempuan-perempuan Jepang zaman dulu untuk melindungi dirinya saat sedang terjebak dalam situasi yang berbahaya.
Sosok Dian Eka Purnama Sari yang Peduli Dengan Isu Gender dan Kesehatan Mental
Dian berharap, Katana buatannya dapat memiliki arti filosofi yang sama dengan yang ada di Jepang; menjadi simbol keadilan, terutama bagi perempuan yang sering kali menjadi korban perundungan lingkungan patriarki yang membatasi ekspresi fashion bagi setiap gender. Dian ingin Katana bisa menjadi milik siapa saja, dan berekspresi dengan bagaimana saja.
Selain isu gender, pebisnis perempuan ini pun mengampanyekan persoalan kesehatan mental yang menurutnya tak kalah penting. Menurut Dian, kebanyakan orang yang memiliki gangguan kesehatan mental adalah perempuan.
“Saya mengatakan ini bukan tanpa alasan, saya pernah berada di posisi itu. Saya berhasil lepas karena memang saya merasa sudah lelah, dukungan dari lingkungan yang sehat itu memang penting. Walaupun saat ini banyak yang meremehkan dan menganggap gerakan yang berkutat pada gerakan kesehatan mental atau pun gender sudah seperti polusi,” tegasnya.
Pengusaha perempuan muda ini yang ternyata dulunya pernah menjadi seorang santri di sebuah pondok di Lombok, memahami betul semua situasi yang dihadapinya. Dian, dari apa yang diketahuinya di masa lalu, dan apa yang didapatkannya di masa sekarang, memberikannya semacam modal pengetahuan penting. Ia berhasil memformulasikan bagaimana seharusnya gerakan gender dalam industri fashion dihadirkan. Mengingat selama ini industri fashion dianggap sebagai penyumbang terbesar standar kecantikan.
Dian, di tengah ketabuan posisi perempuan dalam lingkungan ekonomi, kini sedang berhadapan dengan tantangan yang begitu besar. Di satu sisi ia berdiri sebagai pelaku UMKM, di sisi lain ia bergerak sebagai penyemangat bagi korban perundungan dan perempuan-perempuan yang membutuhkan kesetaraan. Dian bukan sekadar perempuan pengusaha, ia adalah orang yang terus bergerak melawan stereotip. Betapa pun sulit membayangkan konskuensinya.
“Sekali dayung, dua-tiga pulau harus dilewati,” pungkasnya.
Meskipun kini perempuan sudah turut melibatkan diri sebagai pemimpin, perjalanan melawan konstruksi budaya belum berakhir. Lingkungan sosial masih beranggapan bahwa kepemimpinan yang baik hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh peran laki-laki.
Data dari Badan PBB untuk perempuan, UN Women, menunjukkan bahwa hanya 22 perempuan yang menjabat sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, sedangkan 119 negara tidak pernah memiliki pemimpin perempuan sama sekali.
Sementara di industri bisnis, menurut laporan Grant Thornton International yang dipublikasikan pada 2019, secara keseluruhan, perempuan memegang 29 persen kepemimpinan senior secara global, angka yang hanya naik 10 persen dalam 15 tahun terakhir. Selain itu, hanya 15 persen bisnis di dunia yang memiliki perempuan CEO. Posisi senior yang paling banyak dijabat perempuan adalah direktur sumber daya manusia, yaitu 43 persen.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan masih tertinggal dalam urusan kepemimpinan. Untuk meningkatkan kepemimpinan perempuan, perlu ada kontribusi laki-laki sebagai pihak yang mendominasi banyak sektor, terutama di masyarakat yang masih patriarkal ini. Kontribusi laki-laki dapat dimulai dari lingkungan keluarga hingga institusi.
Berikut peran laki-laki yang dapat membantu dalam membentuk kepemimpinan perempuan.
1. Ayah Mengambil Peran Laki-laki Di Rumah yang Bisa Mendorong Anak Perempuan jadi Pemimpin
Seorang ayah harus bisa mengambil peran laki-laki yang dapat mendampingi, mengajari dengan kesabaran, dan menanamkan nilai-nilai serta kepercayaan diri penting agar anak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Hal-hal tersebut merefleksikan sifat yang dibutuhkan dalam menjalankan kepemimpinan, yakni kemampuan untuk mengobservasi, berani mengambil keputusan, dan mendengarkan anggota timnya, bukan hanya memberikan evaluasi kinerja tanpa adanya arahan.
Tak hanya itu, peran laki-laki yang dapat memperlakukan pasangannya sebagai mitra yang setara akan menjadi contoh baik kepada anak perempuan soal pentingnya kesetaraan dan itu sesuatu yang harus dituntut dari lingkungannya.
Selain itu, seorang ayah juga perlu membebaskan anak dalam menentukan cita-cita tanpa mengkritisi pilihannya. Hal ini merupakan wujud dukungan sehingga muncul keberanian dan tekad dalam diri anak. Hindari memberikan opini yang seolah menjadi risiko apabila perempuan ingin berperan sebagai seorang pemimpin, seperti sulit menemukan pasangan atau kewajiban perempuan ialah mengurus rumah tangga.
2. Peran Kakak Laki-laki yang Dapat Mengajari Adik Perempuan
Hubungan kakak beradik menjadi salah satu lingkungan pertama anak-anak dalam mempelajari hubungan sosial. Melalui hubungan ini, peran kakak laki-laki dibutuhkan dalam memberikan pemahaman terkait lingkungan sosial. Ia dapat menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara dan sama, adik perempuan bisa main apa saja seperti dirinya, dan perempuan bisa menjadi apa pun yang dia mau, bahkan di bidang studi atau sektor yang didominasi laki-laki.
Kakak laki-laki juga bisa memberikan contoh-contoh pengetahuan tentang perempuan-perempuan inspiratif. Atau menjadi teman berdiskusi yang baik untuk mengajarkan adiknya agar berani berpendapat di lingkungan keluarga maupun sekolah.
3. Teman yang Ada Bagi Sahabat Perempuan
Sebagaimana peran seorang teman, keberadaan atau peran laki-laki dapat mendorong perempuan untuk berani maju dan mengambil risiko dalam melakukan pekerjaan. Dukungan tersebut akan memberikan kenyamanan dan menciptakan mindset positif sehingga perempuan siap untuk melakukan perubahan dalam kariernya, misalnya.
Dalam menjalankan kepemimpinan, tentunya terdapat banyak tuntutan sehingga memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pada situasi ini, dukungan seorang teman tak kalah penting untuk work-life balance. Oleh karena itu, sebaiknya luangkan waktu sejenak dan ajak mereka untuk bersenang-senang, serta berikan ruang untuk saling menceritakan keseharian. Aktivitas ini dapat mengembalikan energi sekaligus memperkuat ikatan interpersonal yang dimiliki.
Kemudian, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pada saat tertentu, seperti merayakan keberhasilan untuk mengapresiasi kinerja dan dampak kepemimpinan yang diciptakan dalam pekerjaannya.
4. Pasangan yang Menjadi Mitra Sejajar
Sebuah studi dari Vannoy dan Philliber pada 1992 menemukan bahwa harapan seorang suami, identitas peran gender, dan dukungan terhadap istri yang bekerja berkaitan dengan kualitas pernikahan.
Suami dapat menunjukkan kontribusinya dalam karier istri, yakni dengan bertukar pikiran untuk mendiskusikan topik atau permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaannya dan bekerja sama dalam menjaga anak. Dukungan emosional pun dapat diwujudkan, seperti berperan sebagai pendengar yang baik, serta memahami dan percaya pada tujuan kariernya. Selain itu, memberi pengakuan atas pekerjaannya pun mampu membuat mereka merasa dihargai karena afirmasi dikategorikan sebagai hal yang penting.
Dengan demikian, istri akan merasakan keterlibatan suami, baik dalam pengembangan diri maupun pencapaian karier.
5. Atasan yang Menjadi Mentor
Pada 2010, hasil riset Personnel Psychology, sebuah lembaga penelitian yang memusatkan risetnya pada kondisi psikologis orang-orang di tempat kerja, menunjukkan bahwa bimbingan yang diberikan oleh atasan laki-laki mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesuksesan karier perempuan, terutama bagi mereka yang bekerja di industri yang didominasi laki-laki.
Sebagai atasan dalam lingkungan kerja, laki-laki dapat melibatkan dirinya sebagai seorang mentor. Melalui peran tersebut, ia mampu menggunakan otoritasnya dalam memberikan pengembangan profesional guna membekali anggotanya dalam mengembangkan skill kepemimpinan. Kegiatan tersebut akan membantu para perempuan untuk menemukan kapabilitas dalam dirinya.
6. Kolega yang Mendukung Perempuan
Kenyamanan lingkungan kerja menjadi tanggung jawab seluruh anggota tim di mana setiap orang berkeinginan dan perlu dihargai. Oleh karena itu, para kolega pun perlu memberi ruang bagi perempuan untuk menyampaikan aspirasinya dan melibatkan mereka untuk berkontribusi dalam mengambil berbagai keputusan. Dengan demikian, tak ada yang merasa diasingkan atau diperlakukan sebagai minoritas dalam lingkungan kerja.
Untuk mendukung perempuan dalam kepemimpinan, para kolega juga dapat memberikan mereka kesempatan untuk memimpin berbagai project. Dengan memberikan kesempatan, perempuan akan menemukan keunggulannya, hal yang disukai, dan menunjukkan potensi kepemimpinannya. Para atasan perusahaan pun akan memberikan pengakuan dan promosi untuk kariernya.
Itulah beberapa peran laki-laki yang dibutuhkan dalam membentuk kepemimpinan perempuan. Perlu dilakukan kerja sama untuk membuat suatu perubahan dalam menciptakan kesetaraan gender sehingga keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin yang baik.
bias gender dunia kesehatan – Bagi sebagian besar dokter, terus berpraktik sebagai klinisi setelah menempuh studi bertahun-tahun adalah pilihan yang jamak diambil. Bahkan di antara mereka, melanjutkan studi spesialisasi adalah target karier berikutnya setelah sumpah dokter dan berpraktik sebagai dokter umum mereka lakukan.
Namun bagi Putri Widi Saraswati, panggilan untuk terus menjadi klinisi dirasa bukanlah untuknya, dan ia memutuskan untuk berfokus pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) serta isu gender dalam bidang kesehatan. Salah satu pemicunya adalah pertemuan dengan seorang remaja di sebuah daerah terpencil yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Saat itu ia telah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung, dan pendidikan profesi (ko-asisten/koas).
“Waktu itu, angka kehamilan enggak direncanakan memang tinggi di daerah itu. Posisinya aku enggak bisa melakukan apa-apa dan tidak ada akses melakukan apa-apa. Situasinya juga sulit karena laki-laki yang menghamilinya laki-laki dewasa yang sudah menikah,” ujarnya kepada Magdalene baru-baru ini.
“Si remaja putri ini jadi enggak bisa sekolah lagi, entah karena dikeluarin atau secara sosial tidak diterima,” ia menambahkan.
Pengalaman itu terngiang di kepalanya sehingga ia kemudian memutuskan tidak menjadi klinisi, meski sempat praktik di beberapa tempat sebagai dokter umum, termasuk di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat. Putri merasa profesi dokter tidak lebih menarik dibandingkan dengan bidang HKSR yang ia dalami.
Saat ini, perempuan kelahiran 4 Maret 1989 itu tengah menjalani masa studi magister bidang Kesehatan Masyarakat di KIT Royal Tropical Institute, Belanda. Secara khusus, ia menaruh perhatian pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) dan keadilan gender serta kesehatan, dan banyak menulis soal itu.
Dalam wawancara dengan Magdalene, Putri bercerita tentang pengalamannya di bidang kesehatan, termasuk bagaimana dunia kesehatan tidak selalu objektif dan masih adanya bias gender di dalamnya. Berikut rangkuman wawancara tersebut.
Pada pertengahan 2019 lalu, saya ditugaskan oleh seorang dosen untuk meliput upacara pemakaman Presiden RI ke-3, B.J. Habibie, di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Saya hampir meletakkan tripod di antara milik puluhan jurnalis profesional, saat seorang juru kameradari sebuah stasiun televisi bertanya, “mahasiswa ya?”, dengan alis berkerut. Alih-alih mengajak berbagi tempat, dengan mudahnya dia merebut tempat yang seharusnya jadi milik saya tanpa mengatakan apa pun.
Sebagai seorang senior dalam industri ini, bukankah seharusnya dia memberi dukungan kepada calon jurnalis yang juga memiliki hak untuk memperoleh kualitas gambar yang baik? Berstatus sebagai seorang profesional tak seharusnya membuatnya merasa lebih pantas, hanya karena cakupan audiensnya lebih banyak sehingga dianggap lebih penting.
Apa Itu Ageism?
Itu pertama kalinya saya sadar bahwa tidak hanya seksisme, tapi perempuan juga menghadapi ageism alias diskriminasi usia, dalam kehidupan sehari-hari. Saat menjadi pencari kerja, saya juga sering melihat rentang usia yang tertera di lowongan pekerjaan bersama dengan sederet kualifikasi lain. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi usia karena perusahaan menginginkan kinerja maksimal dan menganggap hanya dimiliki oleh usia tertentu.
Siapa pun tidak berhak dikucilkan dan dianggap tidak memiliki performa yang baik hanya karena dilihat dari usia yang jelas tidak mencerminkan kemampuan dalam melakukan pekerjaan.
Tindakan diskriminatif ini menyebabkan individu merasa tidak dihargai, kehilangan kepercayaan diri, dan memengaruhi kinerja di masa depan. Padahal, semua insan memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja.
Di Indonesia, diskriminasi di tempat kerja diatur dalam UU No. 21 Tahun 1999 yang merujuk pada Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan. Dalam konvensi tersebut, disebutkan bahwa istilah diskriminasi meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.
UU tersebut yang dapat digunakan oleh perempuan untuk bernegosiasi dengan perusahaan apabila dikeluarkan karena alasan ageism.
Ageism Merupakan Salah Satu Bentuk Seksisme
Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh David Neumark, Ian Burn, dan Patrick Button di Amerika Serikat, diskriminasi usia pada perempuan salah satunya disebabkan karena pandangan bahwa penampilan fisik perempuan adalah faktor paling penting, dan usia dianggap mengurangi penampilan fisiknya. Para peneliti dari National Bureau of Economic Research Massachusetts itu juga memaparkan bahwa hukum terkait diskriminasi usia kurang ditekankan untuk melindungi perempuan yang usianya lebih tua.
Ketidakadilan ini turut dilanggengkan oleh perusahaan karena laki-laki dianggap lebih kuat dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Sementara saat harus menuntut haknya sebagai seorang pekerja, perempuan merasa tidak cukup kuat untuk menempuh jalur hukum karena waktu dan uang yang dibutuhkan untuk menantang perusahaan besar.
Diskriminasi usia berbasis genderyang dikategorikan sebagai bentuk baru dari seksisme. Nyatanya, perempuan dari usia berapa pun akan menerima diskriminasi usia di lingkungan kerjanya.
Misalnya, perempuan yang berada dalam rentang usia 25-40 tahun atau berada pada usia reproduksi aktif. Mereka menerima stereotip terkait statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Padahal, seorang pria juga berperan sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Perempuan seperti tersudutkan hingga minim menerima promosi jabatan dan terjadi kesenjangan upah yang lebih rendah dari pria.
Andai saja masyarakat di lingkungan sekitar kita hendak melihat dengan saksama dan menyadari bahwa perempuan juga memiliki hak untuk tidak menikah atau menjadi ibu, mungkin mereka dapat lebih menyadari kapabilitas perempuan. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil apabila perempuan yang berkarier juga andal dalam mengurus rumah tangga. Namun, sekalipun seorang perempuan tidak berkeluarga, mereka juga belum tentu dipertimbangkan untuk menerima cuti karena tidak memiliki anak kecil untuk dirawat.
Perempuan yang berusia sekitar 40 tahun pun menghadapi ageism dalam bentuk yang berbeda. Ambisi mereka dianggap memudar dan kurang energetik dalam melakukan pekerjaan, ditambah dengan stereotip yang masih melekat. Jika perempuan muda lebih kental dengan aktivitasnya merawat anak, perempuan di usia ini pun dianggap lebih merawat orang tuanya.
Perempuan yang lebih tua juga cenderung tidak mampu dipekerjakan kembali setelah mereka secara paksa keluar dari pekerjaan.
Bagaimana Kita Mencegah Diskriminasi Usia?
Saat perusahaan hingga kini dibutakan oleh usia pekerja perempuan, setidaknya kita perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi diri dan menghindar dari situasi tersebut. Salah satunya adalah merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki dalam diri untuk menyadari kontribusi yang dapat diberikan pada perusahaan. Melalui langkah ini, kita dapat mengomunikasikan pencapaian karier kepada atasan agar mereka mempertimbangkan bahwa keberadaan kita dapat membantu mencapai target perusahaan.
Di sini, cara berpikir dapat memengaruhi perspektif diri dalam melihat kelayakan kita sebagai seorang pekerja. Apakah kita merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu karena usia terlalu muda yang membuat kurangnya pengalaman? Atau merasa sudah bukan saatnya untuk mengambil banyak tanggung jawab karena lebih tua dibandingkan anggota tim lainnya? Pemikiran-pemikiran tersebut yang seharusnya dibuktikan dengan kinerja maksimal sehingga mematahkan persepsi pekerja lainnya.
Jika memang perusahaan tidak memfasilitasi pelatihan, kita perlu memiliki inisiatif untuk mengeksplorasi kemampuan. Dengan langkah ini, perusahaan akan menilai bahwa perempuan memiliki keinginan untuk belajar, berkembang, dan meningkatkan keahlian yang tentunya dapat memajukan perusahaan.
Satu hal yang tak kalah penting dalam melawan diskriminasi usia perempuan adalah adanya kesadaran untuk mendukung sesama perempuan di lingkungan pekerjaan agar mampu menyuarakan aspirasinya terkait ageism. Kita harus mengingatkan perusahaan bahwa kebijakan terkait keragaman dan inklusi itu penting bagi mereka dan para pekerjanya.
Dalam perjalanannya memberikan advokasi dan edukasi pada perempuan tuli mengenai isu-isu gender, aktivis Nissi Taruli Felicia mengatakan, dirinya kerap menemukan hambatan berlapis yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas.
Ia mencontohkan bagaimana ada ketidakadilan dalam sistem pemberian upah yang membuat perempuan tuli buruh pabrik mendapatkan upah yang lebih rendah daripada rekan-rekan kerjanya.
“Saat ditanyai, pihak pabrik tidak mau menjelaskan alasannya. Yang jelas ini berlapis, mungkin berkaitan dengan (bias) gender karena dia perempuan, ditambah lagi dia tuli. Dianggapnya kan orang tuli itu tidak berdaya, bisa dibodoh-bodohi,” kata Nissi, yang merupakan pendiri Feministhemis, sebuah kolektif kesetaraan gender bagi para perempuan tuli, kepada Magdalene (14/6).
Perempuan penyandang disabilitas harus menghadapi hambatan yang sangat berlapis dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pekerjaan, ujarnya.
“Sudah dia perempuan, yang secara stigma dan stereotip gender ada di bawah laki-laki, dia punya disabilitas pula yang dianggap ada di bawah orang-orang non-disabilitas. Rentan menjadi korban kekerasan seksual iya, akses kerjanya minim juga iya,” Nissi menambahkan.
Ia mengatakan banyak sekali perempuan tuli yang belum memiliki pemahaman mengenai hak-hak yang mereka miliki di dunia kerja, seperti cuti haid dan melahirkan.
Nissi dan kolektifnya memiliki niat dan agenda untuk mengedukasi para perempuan tuli mengenai isu dunia kerja, termasuk aksesibilitas dan hak-hak para pekerja. Tapi kemudian masalah lain datang, yaitu sulitnya untuk mendapatkan data jumlah tenaga kerja dan/atau perempuan tuli yang tercatat menjadi pekerja profesional karena tidak ada data yang benar-benar representatif, ujar Nissi. Hal ini kerap kali menghambatnya untuk memetakan kajian dan pendekatan apa yang dibutuhkan para perempuan tuli di dunia kerja.
“Padahal, kondisinya ini sangat memprihatinkan. Dari beberapa kegiatan yang pernah saya lakukan, saya tersadar kalau ternyata masih banyak perempuan tuli yang belum sadar kalau dirinya dilecehkan, belum sadar apa saja bentuk-bentuk pelecehan, belum tau kalau mereka bisa mengajukan cuti,” kata Nissi.
Stigma terhadap Penyandang Disabilitas, Minimnya Kesempatan untuk Terlibat
Aktivis disabilitas Bagja Prawira mengatakan, akar dari minimnya kesempatan kerja bagi disabilitas terletak pada akses keterlibatan penyandang disabilitas itu sendiri. Berbagai instansi swasta hingga pemerintah kerap kali mengadakan diskusi untuk merumuskan serangkaian program dan kebijakan tanpa benar-benar mendengarkan dan melibatkan kelompok disabilitas, ujar Bagja.
Dalam kehidupan sehari-hari, sistem yang diterapkanbelum mengakomodasi kebutuhan dan keadilan bagi kelompok disabilitas. Di sisi lain, menurut Bagja, ada stigma mengakar tentang kelompok disabilitas dan ketidakberdayaannya (ableism), sebuah cara pandang yang penuh ketidakadilan.
Selain itu, ia menambahkan, stigma akan ketidakberdayaan kelompok disabilitas sendiri disebabkan oleh minimnya akses untuk mendapatkan hal-hal fundamental dalam kehidupan yang setara dengan orang-orang non-disabilitas, dari fasilitas publik sampai pendidikan. Bagja mengatakan, sistem pendidikan bagi kelompok disabilitas belum adil dan timpang dengan sistem pendidikan bagi orang-orang non-disabilitas.
“Misalnya, di Sekolah Luar Biasa (SLB), pelajarannya itu lebih ke hal-hal praktik, seperti menjahit, berkebun, dan sebagainya. Murid-muridnya tidak diberikan akses pelajaran tentang critical thinking, design thinking, seperti murid-murid di sekolah biasa. Padahal ini juga dibutuhkan oleh anak-anak dengan disabilitas,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Lalu, kalau anak-anak di sekolah biasa itu sudah terbiasa berorganisasi, tahu caranya rapat formal, berdiskusi dengan orang-orang. Kalau anak-anak dengan disabilitas kan tidak mendapatkan kesempatan seperti ini. Ini kemudian berdampak pada kesempatan mereka di dunia kerja, jadi dianggap terbelakang, tidak berdaya. Padahal masalah aksesnya saja tidak ada.”
Dia juga menyinggung soal minimnya akses kelompok disabilitas terhadap informasi, yang salah satunya karena kebanyakan perusahaan dan lembaga pemerintah belum menyediakan informasi yang aksesibel bagi kelompok disabilitas, misalnya Juru Bahasa Isyarat (JBI). Fasilitas bagi kelompok disabilitas ini sering kali dianggap memakan biaya dan tenaga lebih ketika sebenarnya ini adalah langkah pemenuhan hak yang sudah diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Secara substansi, UU No. 8/2016, menurut Bagja, sudah secara komprehensif mengatur berbagai pemenuhan hak kelompok disabilitas. Namun, implementasi dari undang-undang tersebut masih sangat minim.
Pasal 53 UU tersebut, misalnya, mengatur bahwa instansi pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling penyandang disabilitas dengan jumlah paling sedikit 2 persen dari jumlah pegawai atau pekerja. Sementara itu, jumlah pekerja penyandang disabilitas di perusahaan swasta seharusnya mencapai sedikitnya 1 persen.
Namun, dalam penelitian berjudul “Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam Mendapatkan Pekerjaan di BUMN” (2019), Susiana dan Wardah dari Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa ketentuan dalam UU tersebut belum terpenuhi, paling tidak di Aceh. Dari empat BUMN yang ada di provinsi tersebut, hanya satu BUMN yang sudah mempekerjakan orang dengan disabilitas sebanyak tiga orang.
Hal ini juga diperburuk dengan terbatasnya kesempatan kerja untuk jenis-jenis pekerjaan dan jabatan tertentu, terbatasnya informasi yang tersedia di pasar kerja bagi kelompok disabilitas, lingkungan kerja yang sulit diakses karena fasilitas pendukung yang kurang, stigma masyarakat pada ketidakberdayaan mereka, dan masih banyak lagi.
Untuk memperbaiki situasi ini, menurut Bagja, salah satu kuncinya adalah melibatkan kelompok disabilitas dalam pengambilan keputusan di berbagai kepentingan. Hal ini bisa datang dari kesadaran setiap orang untuk mendengarkan dan menegakkan hak semua kalangan. Agar kesadaran itu bisa timbul, aktivis dan komunitas disabilitas harus solid untuk terus mengedukasi pemerintah dan masyarakat tentang disabilitas itu sendiri, ujar Bagja.
“Pemerintah juga harus berkontribusi, misalnya lewat sistem pendidikan. Selama sekolah, apakah kita pernah diajarkan bahwa kita harus memperlakukan semua orang setara, termasuk kelompok disabilitas? Saya yakin, banyak dari orang-orang non-disabilitas yang belum pernah berinteraksi dengan orang-orang disabilitas,” ujarnya.
Grup idola Korea Selatan, f(x) dan Red Velvet, selalu memiliki visualisasi konsep album yang khas, unik, dan membuat mereka menonjol dari grup lain. Pink Tape (2013), album kedua f(x), memiliki video konsep berjudul Pink Tape Art Film yang ganjil tapi lucu,dengan filter gambar jadul yang menonjolkan karakteristik eksentrik grup tersebut. Album Red Velvet pada 2018, Perfect Velvet,bertema film horor Amerika tahun 80an dan 90an tapi dibuat ngepop dengan warna mencolok—awal mula ditetapkannya konsep mistis sebagai milik mereka.
Otak di balik kedua konsep kreatif itu adalah Min Hee-jin, yang sekarang menjadi Chief Brand Officer (CBO) HYBE Entertainment atau yang dulu dikenal sebagai BigHit Entertainment, perusahaan yang menaungi boyband nomor satu di dunia, BTS.
Sebelum termasuk dalam jajaran eksekutif di grup perusahaan tersebut, Hee-jin adalah Direktur Kreatif di SM Entertainment, salah satu dari tiga besar perusahaan dalam industri K-pop. Ia mulai bekerja di agensi yang menaungi grup idola Girls Generation itu sejak 2002 sebagai anggota tim kreatif. Namun, butuh waktu tujuh tahun hingga Min Hee-jin diberi keleluasaan kreatif untuk menangani album-album idola SM Entertainment.
Awalnya, ia ditugaskan untuk menggarap visualisasi lagu Sorry Sorry (2009) milik Super Junior dan Gee (2010) dari Girls Generation, yang membuat nama keduanya semakin meledak. Sejak kesuksesan itu, Min Hee-jin diberi tugas-tugas yang lebih banyak, seperti memimpin tim untuk konsep visual album dan promosi untukf(x) SHINEE, EXO, dan Red Velvet.
Selama di agensi itu, Min Hee-jin juga menunjukkan dirinya adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan karena menjadi pionir konsep visual dan visual directing di industri K-pop.
Min Hee-jin Jadi Satu-satunya Perempuan di Antara Eksekutif Laki-laki
Setelah hampir dua dekade bekerja di SM Entertainment, Min Hee-jin, yang kini berusia 42 tahun, dibajak oleh HYBE Entertainment pada 2019. Mengutip media Korea Selatan, Tech M, Min Hee-jin menjadi satu-satunya perempuan di jajaran eksekutif di antara empat agensi hiburan terbesar Korea Selatan, SM, YG, JYP, dan BigHit Entertainment, yang berpenghasilan tinggi.
Dikabarkan penghasilan Min Hee-jin mencapai KRW 527 juta atau sekitar Rp6.7 miliar setahun, alias Rp560 juta perbulan. Jumlah itu juga didasari pertimbangan profesionalisme, kepemimpinan, dan kontribusinya pada perusahaan.
Meskipun begitu, fakta bahwa ia menjadi satu-satunya perempuan yang menduduki jabatan eksekutif mengukuhkan bahwa masih sedikit perempuan di posisi strategis dalam suatu perusahaan.
Media daring Korea JoongAng Daily, yang mengutip studi yang diluncurkan organisasi pekerja, The Federation of Korean Industries, Maret lalu, menulis bahwa memang ada peningkatan perempuan di posisi CEO, dari 2,8 persen pada 2015 menjadi 3,6 persen setahun kemudian.
Meski demikian, jumlah keseluruhan masih sangat kecil dibandingkan laki-laki. Dari total 2.716 CEO di Korea Selatan, hanya ada 75 perempuan pada 2015. Sementara itu, pada 2019 terdapat 115 perempuan CEO di antara 3.187 total CEO secara keseluruhan.
Situasi yang mirip terjadi pada perempuan eksekutif di jabatan tinggi. Di antara 24.628 eksekutif, hanya ada 727 perempuan pada 2015. Sedangkan pada 2019, ada 1.314 eksekutif perempuan di antara 30.000 total eksekutif.
Min Hee-jin memang tidak sendiri menjadi perempuan di jajaran direksi industri K-pop, misalnya Hwang Bo-kyung yang menjadi CEO YG Entertainment pada 2019 dan Kim Sun-hye, CEO dan pendiri Blockberry Creative, agensi grup idola Loona.
Di posisinya yang sekarang, Min Hee-jin juga bertanggung jawab untuk menciptakan grup idola perempuan untuk HYBE Entertainment, yang selama ini baru mencetak boyband dan penyanyi solo perempuan.
Saat masih disebut sebagai BigHit Entertainment, perusahaan itu memang sempat membuat grup idola perempuan, GLAM, pada 2012. Sayangnya grup tersebut tidak berhasil sukses karena rumor anggotanya, Trinity, adalah sasaeng atau penggemar obsesif Leeteuk dari Super Junior. Selain itu, ada juga skandal pemerasan anggota lain bernama Dahee yang melibatkan aktor papan atas Lee Byung Hun.
Pada tahun 2015, grup tersebut bubar mengikuti kabar Dahee yang masuk penjara akibat kasus pemerasan tersebut. Sejak saat itu, BigHit tidak lagi memiliki grup idola perempuan dan hanya grup laki-laki, seperti BTS dan TXT.
Kabar bahwa Min Hee-jin yang bertanggung jawab atas grup baru agensi itu secara umum disambut baik, mengingat kreativitasnya yang tergambar dalam visualisasi konsep grup yang pernah ia pegang.
Misalnya, album 4 Walls (2015) dari f(x) kemudian menjadi salah satu album favorit penggemar K-pop karena membawa nuansa baru untuk girlband itu. Selain itu, Min Hee-jin juga yang mendorong perubahan logo boyband EXO menjadi lebih menarik.
Kehadiran Min Hee-jin di agensi tersebut menawarkan berbagai potensi konsep visual yang artsy. Selain itu, kemampuannya yang sudah diakui semakin mengukuhkan posisinya dan HYBE Entertainment sebagai pemain besar di industri K-pop.
Tahun ini merupakan tahun kedua bagi para fresh graduate melamar pekerjaan di tengah pandemi. Dalam situasi serba tak pasti dan krisis seperti sekarang, anak-anak muda yang baru lulus atau fresh graduate menghadapi tantangan lebih besar.
Ketika fresh graduate melamar kerja, perusahaan akan lebih selektif dan barangkali juga menawarkan upah yang tidak seperti dikehendaki si pencari kerja. Jumlah lowongan kerja pun menurun sampai 75 persen pada April 2020, seperti yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada akhirnya, hal ini bisa berkontribusi negatif pada kesehatan mental orang-orang yang baru di-PHK, pengangguran, termasuk para fresh graduate. Mereka rentan stres, apalagi jika mereka menghadapi kesulitan dan kegagalan dalam proses rekrutmen.
Untuk meningkatkan kesempatan lamaran dibaca oleh perekrut, saat fresh graduate melamar kerja, sebaiknya kamu menerapkan sikap sopan dan etika. Kedua hal tersebut perlu dibangun sejak mengirimkan lamaran untuk membentuk kesan yang baik dan menjadi pertimbangan untuk melanjutkan ke tahap rekrutmen selanjutnya. Perekrutpun dapat melihat cerminan karakter pelamar saat bekerja berdasarkan sikap dan etika yang terbentuk dari awal.
Beberapa tipsberikut ini dapat diterapkan oleh para fresh graduate dalam mencari pekerjaan. Dengan menerapkan strategi yang tepat dalam melamar kerja, kesempatan yang digunakan akan lebih efektif dan bermanfaat.
Do’s
1. Tips Pertama untuk Fresh Graduate:Kenali Tujuan Karier
Setelah lulus dari bangku perkuliahan, seorang fresh graduate sebaiknya mengenali tujuan karier serta strategi yang dapat dilakukan untuk mencapainya. Hal ini akan membantu dalam menentukan tempat kerja yang akan dilamar agar sesuai dengan karakteristik dan diperkirakan akan membantu mencapai tujuan tersebut.
Umumnya, tujuan karier menjadi salah satu pertanyaan dalam wawancara kerja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang fresh graduate memiliki rencana dalam hidupnya yang juga memberikan motivasi dalam bekerja.
2. Fresh Graduate Harus Bisa Menulis Body Email yang Baik
Cara seorang pelamar kerja menuliskan body email dapat menentukan impresi perekrut. Bagian ini akan menunjukkan bagaimana seseorang berusaha membangun interaksi yang baik dengan pihak perekrut.
Ada beberapa hal yang perlu ditulis pada body email. Pertama, sapaan pembuka untuk HRD perusahaan yang namanya dapat ditulis jika memang diketahui.
Kedua, pada paragraf pertama, kita dapat mengutarakan tujuan mengirimkan email tersebut dan dari mana informasi lowongan pekerjaan itu diperoleh.
Ketiga, penjelasan diri terkait relevansi diri dengan perusahaan dan posisi yang dilamar, apa saja yang dapat diberikan ke perusahaan, dan menceritakan kembali pengalaman bekerja yang sesuai, tetapi tidak dijelaskan dalam CV.
Keempat, utarakan antusiasme untuk bergabung dengan perusahaan tersebut, ucapan terima kasih pada penerima email, dan menyertakan kontak yang dapat dihubungi.
3. Menjelaskan Garis Besar Job Description di Pengalaman Kerja Sebelumnya
Dalam menyebutkan pengalaman kerja di CV, tak cukup jika hanya menyebutkan profesi yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, detail dari cakupan pekerjaan yang pernah dilakukan perlu dijelaskan secara singkat agar perekrut dapat memahami pengalaman tersebut.
Format penulisannya dapat ditulis dalam bullet point supaya lebih mudah dibaca dan tidak memakan waktu lama bagi perekrut untuk membacanya.
4. Susun Portofolio di Platform yang Mudah Diakses
Pada pekerjaan tertentu, portofolio dibutuhkan agar perekrut mengetahui kualitas dan kapabilitas pelamar kerjamelalui berbagai proyek yang pernah dikerjakan. Agar terlihat profesional dan memudahkan perekrut mengaksesnya, pelamar kerjadapat memanfaatkan berbagai layanan blog gratis seperti WordPress, Wix, dan lain-lain.
Selain bermanfaat untuk perekrut, menyusun portofolio dalam sebuah platform juga mampu memudahkan pelamar kerjadalam memantau perkembangannya dalam setiap proyek yang dikerjakan.
5. Memeriksa Kesalahan Ketik dan Ejaan
Mungkin terlihat sederhana, tetapi hal ini dapat berpengaruh besar karena mencerminkan ketelitian. Impresi yang dimiliki oleh perekrut akan kurang baik apabila dari penulisan berkas lamaran saja sudah tidak teliti. Kemungkinan mereka akan mempertanyakan kecakapan pelamar dalam melakukan pekerjaan.
Lakukan pengecekan beberapa kali untuk memastikan tidak terdapat kesalahan ketik dan ejaan saat dokumen selesai ditulis dan sebelum dikirimkan.
Don’ts
1. Hanya Mengirimkan CV Tanpa Surat Lamaran dan Portofolio
CV merupakan dokumen yang dapat merepresentasikan perjalanan karier seseorang. Namun, gambaran dari pekerjaan yang pernah dilakukan tidak dapat dipahami dengan baik apabila tidak disertakan dokumen pendukung yang menunjang kelengkapannya.
Portofolio dan surat lamaran merupakan dokumen yang dapat membantu perekrut dalam mengenal kapabilitas dan pengalaman kerja secara lebih detail. Mereka akan lebih mudah menilai apakah pelamar kerja yang bersangkutan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan.
2. Menggunakan Surat Lamaran Template untuk Semua Perusahaan
Setiap perusahaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Tentunya kemampuan yang tertulis pada surat lamaran perlu disesuaikan dengan kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, penting bagi pelamaruntuk menyesuaikan setiap surat lamaran yang dikirim ke beberapa perusahaan.
Selain itu, menggunakan template surat lamaran juga kurang menunjukkan besarnya antusiasme untuk bekerja di perusahaan yang bersangkutan, bukan sekadar melamar demi untuk mendapatkan pekerjaan.
Hindari pula copy paste contoh surat lamaran yang beredar di internet.
3. Fresh Graduate Biasanya Melebih-lebihkan Kemampuan Diri
Penting bagi seorang pelamar kerjauntuk memastikan bahwa yang tertulis dalam dokumen yang dikirimkan sesuai dengan kompetensi dalam diri, kualifikasi pekerjaan yang dilamar, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Di samping itu, kejujuran merupakan sikap yang perlu ditekankan saat melamar kerja. Lebih baik memiliki kemampuan yang terbatas dengan keinginan untuk mengembangkannya dibandingkan melebih-lebihkan, tetapi tidak dapat membuktikan kapabilitas yang sebenarnya.
4. Melamar ke Perusahaan Tanpa Melakukan Background Checking
Melakukan sebuah pekerjaan diharapkan dapat dilakukan dalam jangka panjang. Untuk mengenal budaya dan lingkungannya, pelamar kerja perlu melakukan riset untuk menelusuri latar belakang perusahaan yang ingin dituju. Langkah ini berguna untuk memastikan apakah perusahaan tersebut sesuai dengan kepribadian dan gol mereka dalam dunia karier.
5. Tidak Mengecek/Menyesuaikan Konten Media Sosial Kita
Para perekrut di berbagai perusahaan sudah kerap mengecek profil atau rekam jejak digital pelamar sebagai bahan pertimbangan tambahan untuk merekrut seseorang. Karenanya, jika media sosial kita tidak digembok, tidak ada salahnya melihat lagi apa ada yang perlu dihapus/simpan dalam rangka melamar kerja.
Tidak jarang seseorang punya pencitraan yang jauh berbeda antara di dunia nyata (misal, lewat lamaran kerja) dan di dunia virtual. Misalnya, saat wawancara kita mengaku mendukung keberagaman, tapi ternyata kita menyimpan konten merendahkan komunitas/orang tertentu.
Kita tidak mau kan, memberi kesan buruk saat pertama kali melamar/wawancara kerja? Karenanya, penting memperhatikan aspek media sosial yang sering dianggap remeh banyak pelamar.
Pada usia 30, saya menemukan bahwa saya hamil. Saya telah membayangkan momen ini sepanjang hidup saya, bahwa saya akan menangis gembira. Tetapi yang membuat saya terkejut, saya malah menangis kecewa. Selama kunjungan pertama saya ke dokter kandungan dengan suami saya, saya terus menghela nafas, “Apakah terlalu dini untuk punya anak?”
Respons dari suami saya, yang sebetulnya jarang marah, sungguh tidak terlupakan. “Jangan pernah bilang begitu di depan anakmu!” dia menegaskan dengan nada keras, seolah-olah anak kita yang belum lahir sudah ada di depannya.
Karena selalu ingin bekerja di negara berkembang, saya mengejar karier di bidang kerja sama internasional. Saya terbang keliling Afrika, Timur Tengah, dan Asia, berdamai dengan posisi asisten saya, mempersiapkan kontrak untuk ditandatangani oleh bos laki-laki paruh baya saya. Tetapi ketika saya mendapatkan pengalaman yang cukup setelah tujuh tahun bekerja, kehamilan saya datang sebagai takdir yang tidak terduga.
Saya dulu percaya kesetaraan gender ada di Jepang, sampai saya melahirkan anak pertama saya.
Saya mengambil cuti melahirkan satu tahun penuh, dan menjelang akhir masa cuti, saya disela oleh sebuah panggilan telepon saat sedang berada di studio foto untuk mengambil foto bayi saya. Itu dari manajer bagian yang belum pernah berkomunikasi dengan saya sebelumnya. Dengan nada sangat formal, dia memberi tahu saya bahwa saya akan mulai bekerja di divisi baru mulai minggu depan. Pekerjaan saya di divisi baru ini tidak memerlukan perjalanan bisnis ke luar negeri.
Hati saya langsung mencelos. Saya bertanya mengapa, dia menjawab, “Saya hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah keputusan HRD. Ini adalah rotasi, jadi Anda akan berada di sana selama beberapa tahun ke depan.”
Ibu Pekerja dan Diskriminasi Gender
Setelah saya kembali bekerja, saya terus-menerus mendengar ungkapan, “Karena Yamamoto-san adalah seorang ibu.” Awalnya mungkin terdengar bijaksana, tapi saya kesal dengan pertimbangan yang berlebihan untuk status baru saya yang bahkan tidak pernah saya inginkan sebelumnya. Saya mencoba memberi tahu bos saya beberapa kali, tetapi sepertinya saya berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami oleh laki-laki Jepang.
Saya menunggu dengan sabar dan menahan ketidaknyamanan selama bertahun-tahun, sementara saya menyaksikan rekan laki-laki saya naik jabatan menjadi manajer proyek atau bahkan manajer bagian. Namun, subjek pekerjaan atau promosi di luar negeri terus menghindar dari saya. Ada beberapa perempuan yang dipromosikan ke posisi manajerial, namun semuanya perempuan lajang atau perempuan tanpa anak. Bagi saya, mereka diperlakukan sebagai perempuan yang bisa bekerja seperti laki-laki.
Sementara perempuan berfokus pada pengasuhan anak, laki-laki bekerja lembur, sering kali lewat tengah malam, sebagai pejuang korporat yang mendapat manfaat dari pengorbanan perempuan. Masyarakat Jepang beroperasi berdasarkan asumsi bahwa perempuan akan membesarkan anak-anaknya sendirian.
Jepang memberlakukan cuti hamil satu tahun yang dibayar, yang dibandingkan dengan negara-negara kaya lainnya, cukup progresif. Tetapi apakah ini membuat Jepang menjadi negara yang hebat bagi perempuan? Apa yang dilakukan laki-laki sementara perempuan mendedikasikan diri pada pengasuhan anak selama setahun penuh? Cuti ayah pada saat itu hanya mencapai 1 persen, dan kemudian hanya meningkat menjadi 6 persen.
Dengan kata lain, sementara perempuan berfokus pada pengasuhan anak, laki-laki bekerja lembur, sering kali lewat tengah malam, sebagai pejuang korporat yang mendapat manfaat dari pengorbanan perempuan. Masyarakat Jepang beroperasi berdasarkan asumsi bahwa ibu pekerja akan membesarkan anak-anaknya sendirian tanpa bantuan pasangan.
Kata “ikumen” menjadi fenomena di Jepang beberapa waktu lalu. Istilah yang saya sangat benci itu, yang secara harfiah berarti “seorang laki-laki yang membesarkan seorang anak”, digunakan untuk memuji seorang laki-laki yang secara aktif berpartisipasi dalam pengasuhan anak. Perempuan tidak diberi pilihan untuk “berpartisipasi” atau “tidak berpartisipasi” dalam hal mengasuh anak, sedangkan laki-laki dipuji dengan “berpartisipasi” dalam membesarkan anak mereka sendiri. Setiap kali saya mendengar kata ini, saya merinding.
Ketimpangan Gender di Tempat Kerja
Ketika perusahaan memindahkan saya ke divisi yang sama dengan yang beberapa tahun yang lalu tempati untuk kedua kalinya, saya memutuskan bahwa inilah sudah saatnya untuk pergi. Setelah 17 tahun bersama organisasi tersebut, saya merasa sudah cukup. Saya putus asa mencari cara untuk bekerja di luar negeri. Ada posisi penempatan di Kedutaan Jepang di luar negeri, tetapi ketika saya bertanya kepada manajer SDM untuk lowongan apa saja, dia menjawab, “Posisi itu untuk orang yang lebih muda.”
Betapa bodohnya saya untuk percaya bahwa seorang ibu pekerja memiliki kesempatan yang sama di Jepang. Sementara saya terlalu sibuk membesarkan anak-anak saya, rambut acak-acakan dan sebagainya, nilai pasar saya seharusnya berada pada titik tertinggi. Tetapi ketika saya akhirnya kembali ke realitas pada akhir usia tiga puluhan, saya adalah seorang karyawan biasa yang tidak dapat diberikan pekerjaan yang substansial.
Saya berharap seseorang telah memberi tahu saya tentang keberadaan jalur menjadi seorang ibu pekerja yang tak terucapkan, dan memperingatkan saya untuk tidak pernah masuk ke penjara bawah tanah ini ketika saya masih muda dengan semua mimpi ambisius. Saya merasa hancur lebur.
Saya kemudian menemukan lowongan pekerjaan di sebuah organisasi internasional yang berkantor pusat di Jakarta. Suami saya tampak agak bingung pada awalnya. “Apa yang akan saya lakukan di Jakarta? Apa yang akan kita lakukan dengan rumah kita di Tokyo? Apa yang akan terjadi dengan kucing kita?”
Perempuan tidak diberi pilihan untuk “berpartisipasi” atau “tidak berpartisipasi” dalam hal mengasuh anak, sedangkan laki-laki dipuji dengan “berpartisipasi” dalam membesarkan anak mereka sendiri.
Saya terkekeh dan mengatakan kepadanya bahwa saya mungkin tidak akan mendapatkan pekerjaan itu, sambil mengisi formulir aplikasi. Kemudian, saya diberitahu bahwa aplikasi saya lulus penyaringan, dan proses lamaran saya berlanjut ke wawancara video. Setelah pertanyaan-pertanyaan umum, di akhir wawancara, satu-satunya laki-laki Jepang di panel melontarkan pertanyaan yang tidak terduga: “Mengapa Anda ingin berganti pekerjaan di luar negeri sekarang, ketika Anda memiliki anak kecil?”
Jangan ini lagi, pikir saya. Suara saya bergetar karena marah, karena tahu dia tidak akan pernah menanyakan pertanyaan yang sama jika aku laki-laki. “Di Jepang, ada stereotip bahwa perempuan harus bertindak dengan cara tertentu. Saya melamar posisi untuk mendobrak batasan itu agar perempuan yang lebih muda mengikuti jejak saya,” ujar saya.
Saya seharusnya tidak mengatakan itu, saya mungkin terdengar terlalu bersemangat. Tapi ketika saya larut dalam penyesalan, ada panggilan internasional dari Indonesia: “Kami ingin memberi Anda penawaran kerja. Kapan Anda bisa bergabung?”
Ibu Pekerja dan Beban Ganda
Masih tidak percaya, saya segera menjalani prosedur pengunduran diri, menjual rumah saya, dan merencanakan perpindahan besar tiga bulan kemudian. Suami saya, yang tidak mengira saya akan diterima, memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah banyak konflik.
Orang tua saya, yang telah lama tinggal di Amerika Serikat dan Eropa, tanpa ragu memberi selamat kepada saya. ” Jakarta lebih dekat dari Jepang daripada Eropa. Kami berharap dapat berkeliling Asia Tenggara saat kamu berada di sana.”
Tapi ibu mertua saya yang menghalangi kami. Dia lulusan universitas nasional dan menjadi guru sekolah dasar pada tahun 1970-an. Dia terus bekerja sambil membesarkan kedua anaknya hingga pensiun dini di usia 50-an. Saya terlalu optimis untuk berpikir bahwa dia akan mendukung keputusan kami untuk pergi ke Jakarta, jadi reaksinya tidak terduga.
Ibu mertua saya tidak ingin membiarkan putranya, lulusan universitas yang meninggalkan posisi karyawan tetapnya untuk ikut bersama istri dan anak-anaknya. Dia menyebutkan berbagai alasan lain, seperti anak-anak yang kehilangan pendidikan di Jepang dan masalah keamanan di Jakarta, tetapi itu semua bermuara pada reputasi putra sulungnya yang meninggalkan pekerjaannya karena mengikuti istrinya.
Ada ungkapan dalam bahasa Jepang yang menghargai laki-laki dan meremehkan perempuan yang berasal dari kitab Konfusianisme. Meski kami diajari bahwa laki-laki dan perempuan sama selama beberapa dekade, perempuan juga masih memegang keyakinan ini, seperti ibu mertua saya.
Meskipun demikian, suami saya meyakinkan saya bahwa kami sudah dewasa dan penolakan ibunya seharusnya tidak memengaruhi keputusan kami. Kami menulis surat untuk membujuk ibu mertua saya. Bahwa meskipun ia akan meninggalkan pekerjaannya di Jepang, kariernya selama lebih dari sepuluh tahun di bidang penjualan pasti berguna untuk mendapatkan pekerjaan di salah satu dari 1.500 perusahaan Jepang di Jakarta. Usaha kami berakhir sia-sia, karena dia masih tidak setuju. Tetapi setidaknya dia mengerti bahwa keputusan kami tidak akan berubah, jadi dia membalas bahwa dia tidak akan lagi mencoba meyakinkan kami.
Peran Aktif Perempuan di Asia Tenggara
Sudah hampir dua tahun sejak saya datang ke Jakarta. Peran aktif perempuan Asia Tenggara di tempat kerja sangat luar biasa. Selain itu, seorang perempuan tidak perlu membesarkan anak sendirian di sini. Saya sangat berterima kasih kepada pengasuh anak saya yang tinggal bersama kami dan seorang pekerja rumah tangga yang membantu saya dengan perawatan anak dan pekerjaan rumah.
Saya telah berjuang selama ini untuk menangani perawatan anak dan pekerjaan sebagai ibu pekerja, yang tidak mungkin dilakukan di Jepang. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, saya bisa fokus pada pekerjaan saya tanpa merasa bersalah. Saya berterima kasih kepada suami saya, yang menemukan pekerjaan di sebuah perusahaan Jepang setelah menjadi bapak rumah tangga selama hampir satu tahun.
Terkadang saya bertanya-tanya tentang diri saya di dunia paralel: Jika saya memutuskan untuk tinggal di Jepang sebagai seorang ibu pekerja, apakah saya akan menghancurkan diri saya sendiri? Saya hanya bisa mengatakan bahwa perubahan karier pertama saya pada usia 40 tahun adalah lompatan besar yang ternyata tidak terlalu buruk. Nyatanya, saya berusaha untuk tidak merasa terlalu nyaman di sini, atau saya tidak akan pernah bisa bekerja di Jepang lagi.
Sedangkan untuk ibu mertua saya, kami memberinya tablet sebagai hadiah perpisahan, alat yang belum pernah dia gunakan sebelumnya dalam hidupnya. Pada awalnya, dia bahkan enggan untuk memulai memakai gawai itu, menyalahkan penglihatannya yang sudah memburuk. Tapi saya terus mengirimkan foto cucunya dan berkomunikasi melalui LINE lebih sering daripada yang pernah kami lakukan di Jepang. Setiap kali dia melihat foto-foto kami menikmati hidup kami di sini, saya bisa merasakan hatinya semakin terbuka.
Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris yang dimuat Magdalene.co.
Haru adalah perempuan Jepang yang lahir di Eropa, dibesarkan di AS dan sekarang bekerja di sebuah organisasi internasional di Jakarta. Dia adalah perempuan yang pendiam, pemalu dan sederhana dengan dua anak perempuan, satu suami dan kekuatan super untuk berbicara dengan kucing.
Seperti perusahaan lainnya, brand produk perawatan tubuh dan kecantikan Martha Tilaar yang sekarang dipimpin oleh Wulan Tilaar juga mengalami masa-masa yang sulit saat menghadapi pandemi COVID-19. Perusahaan kosmetik yang juga memiliki salon kecantikan ini harus memutar otak bagaimana tetap bisa bertahan di tengah masa-masa yang tidak menentu.
Ini bukan kali pertama mereka menghadapi krisis, Martha Tilaar sudah pernah mengalami jatuh bangun dalam menjalankan bisnis selama beberapa dekade. Salah satu krisis terbesar yang pernah dilalui adalah krisis moneter tahun 1997. Semua ini diceritakan oleh Martha dan Wulan Tilaar dalam wawancara bersama podcastHow Women Lead.
Saat krisis finansial menghantam Asia pada tahun 1997 dan membuat rupiah anjlok, Martha sebagai pendiri perusahaan tetap teguh untuk tidak mem-PHK karyawan yang berjumlah ribuan. Sebagai gantinya, perusahaan meluncurkan beragam produk inovatif, seperti lipstik empat warna dengan harga terjangkau. Dari situ, perusahaan mendapatkan keuntungan 400 persen ketika banyak industri manufaktur sedang amburadul. Selain itu, mereka bahkan bisa mengakuisisi sejumlah perusahaan.
Tindakan dan keputusan yang diambil perempuan pengusaha inspiratif itu merupakan salah satu wujud dari bagaimana pemimpin seharusnya bersikap, yakni berempati terhadap para pekerjanya. Ia memiliki kepedulian tinggi yang diimplementasikan di berbagai anak perusahaannya.
Martha pertama kali memulai bisnis kecantikannya sepulang dari mendampingi sang suami yang melanjutkan sekolah di Amerika Serikat. Di sana, ia tidak ingin hanya membantu suami, tapi juga menambah ilmu dan keterampilan dengan berkuliah di sebuah sekolah kecantikan. Saat itu, salah satu tugasnya adalah meneliti budaya kecantikan tradisional.
Martha memilih untuk meneliti tentang budaya kecantikan Jepang. Alih-alih nilai bagus, yang didapat Martha adalah teguran sang dosen karena ia abai terhadap akar budaya negaranya sendiri. Teguran itu menjadi sebuah shocking therapy untuk Martha, karena ia benar-benar tidak tahu apa-apa soal budaya kecantikan Indonesia.
“Saya menangis. Bagaimana, nih, kalau saya enggak lulus. Aku sudah enggak punya uang. Jujur. I don’t know about my culture. Shame on you. Baru saya sadar. Tuhan, kalau aku pulang nanti aku akan lestarikan budayaku dalam bidang kecantikan,” ujar Martha pada tim Magdalene.
Sepulangnya ke Indonesia, bermodal uang saweran kakak-kakaknya dan uangnya sendiri, Martha membuka salon kecantikan berukuran 4×6 meter persegi di garasi rumahnya pada tahun 1972. Karena letaknya yang strategis di daerah Kuningan, Jakarta, ia berhasil menggaet istri-istri diplomat asing yang sangat puas dengan pelayanan salon Martha.
Definisi Cantik Indonesia ala Martha Tilaar dan Wulan Tilaar
Berdekade lamanya Martha menjalani bisnis kecantikan, ia mengamati bagaimana masih banyak orang Indonesia yang lebih berkiblat pada dunia kecantikan luar negeri. Namun semangatnya tidak surut dan malah semakin membara dalam meracik bahan-bahan tradisional asli Indonesia.
“ Saya bingung, kalau di Amerika kan penuh di library. Tetapi ternyata eyang saya, itu 107 tahun umurnya, dia ahli jamu. Jadi dia bilang, ya sudah kamu pergi saja ke dukun-dukun beranak supaya kamu belajar langsung dari mereka. Bagaimana setelah melahirkan, (mengonsumsi) parem, pilis,” kata Martha.
Sayangnya, penelusurannya ke ahli-ahli kearifan lokal ini malah memunculkan gosip bahwa Martha main dukun agar cepat kaya. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh perempuan pekerja, bahkan ketika mereka sudah berada di pucuk kepemimpinan, seperti yang dihadapi oleh Martha.
“Jangan ke salon dia, nanti kamu kena pelet,” ujar Martha, menirukan ucapan-ucapan para penggosip.
“Tapi suami saya, dia adalah guru kehidupanku. (Dia bilang) coba lihat catatanmu (mengenai ramuan tradisional) dan sebagainya. Teruskan, sebab kalau satu dukun meninggal, satu perpustakaan terbakar,” ujarnya, menirukan nasihat mendiang suaminya.
Kegigihan dan rasa empati yang Martha tanamkan juga ia turunkan kepada anak-anaknya, termasuk Wulan Tilaar. Ia merupakan generasi kedua Martha Tilaar Group dan penerus sang ibunda sekaligus ikon brand Martha Tilaar.
“Saya merasa beauty ini bukan pupur dan lipstik saja, dan banyak sekali di luar sana ya memang cuma jualan profit, and lost. Dan itu yang juga saya syukuri. Martha Tilaar itu enggak begitu. We’re not just selling cosmetics,” kata Wulan.
Tips Membangun Bisnis Sukses ala Wulan Tilaar
Pemimpin perempuan inspiratif Wulan Tilaar sudah sejak kecil ia diajari sang ibu mengenai bagaimana menjalankan bisnis ini. Sepulang sekolah, ia selalu pergi ke kantor ibunya, atau ke salon atau sekolah kecantikan Sari Ayu.
“Jadi sudah biasa banget ngeliatnya. Itu saya syukuri sih pengalaman observasi itu. Tapi ternyata itu enggak cukup untuk bisa berkecimpung dan terlibat dalam perusahaan karena harus punya a set of competency,” kata Wulan.
Wulan adalah lulusan Boston University dalam bidang Mass Communication-Advertising. Ia mulai terjun ke bisnis keluarga secara profesional pada tahun 2005. Wulan tidak langsung diberi kepercayaan untuk memegang perusahaan secara penuh, namun mengawali kariernya di departemen seni sebab bagian tersebut masih berkaitan dengan bidang perkuliahannya.
Wulan benar-benar belajar dan tekun dalam menjalankan pekerjaannya. Ia memperhatikan betul dan langsung terjun melihat bagaimana pekerjanya dilatih.
“Saya tahu bagaimana mereka dilatih, alatnya apa saja. Bagaimana ala tersebut berfungsi. Pertama kali ya kaget juga, tetapi sebagai terapis profesional kita enggak bolehkayak begitu. Saya juga belajar tentang macam-macam penyakit kutil. Semua saya ikuti dan saya menghargai prosesnya,”kata Wulan.
Dengan belajar secara detail tersebut, Wulan jadi paham apa saja tantangan yang dihadapi oleh para terapisnya yang sebagian besar adalah perempuan di salon dan spa milik perusahaan Martha Tilaar. Ia tahu betul untuk menghadapi pelanggan butuh banyak upaya.
Selama berkecimpung dalam bisnis keluarganya, Wulan tidak serta-merta memiliki jalan yang mulus sebagai seorang pebisnis perempuan. Ia banyak menghadapi tantangan sebagai ibu pekerja dan juga pemimpin perempuan. “Enggak semudah itu, karena tantangannya beda ya. Saya bukannya mengecilkan challenge ibu saya ya, sebab dia menciptakan sesuatu yang tidak ada jadi ada. Tapi anggapan, ‘Ah generasi kedua mah enak tinggal nerusin. It’s not easy. Sebab kita biar bagaimana pun harus menghidupi jiwa sang founder. Itu yang terus kita pelihara,” Wulan ini.