dampak buruk overworked

Kenali Dampak Buruk ‘Overworked’ dan Cara Mengatasinya

Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, banyak orang merasa perlu bekerja lebih keras dan lebih lama untuk mencapai kesuksesan. Namun, bekerja berlebihan atau overworked dapat membawa dampak buruk yang serius. Mengapa topik ini penting? Karena kesehatan dan kesejahteraan kita tidak sebanding dengan pencapaian profesional jika kita harus mengorbankan keseimbangan hidup. Lantas, apa yang bisa dilakukan?

Apa Itu Overworked?

Overworked adalah kondisi di mana seseorang bekerja melebihi batas wajar yang dapat ditoleransi oleh tubuh dan pikiran. Ini tidak hanya berarti bekerja lembur, tetapi juga merasa tertekan untuk selalu produktif tanpa ada waktu istirahat yang cukup.

Menurut World Health Organization (WHO), Burn-out anmoccupational phenomenon: International Classification of Diseases, overworked diidentifikasi sebagai kondisi kerja yang berlebihan dan berkepanjangan yang menyebabkan kelelahan fisik dan mental yang serius .

Faktor Penyebab Overworked

Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang mengalami overworked. Berikut beberapa di antaranya:

  • Tuntutan Pekerjaan yang Tinggi: Banyak pekerjaan saat ini menuntut karyawan untuk mencapai target yang tinggi dalam waktu singkat. Tekanan ini sering membuat karyawan merasa harus bekerja lebih lama dan lebih keras untuk memenuhi ekspektasi tersebut.
  • Lingkungan Kerja yang Kompetitif: Dalam beberapa industri, persaingan yang ketat antara karyawan dapat menyebabkan mereka bekerja berlebihan untuk menonjol di mata atasan atau untuk mendapatkan promosi.
  • Kurangnya Manajemen Waktu yang Efektif: Beberapa individu mungkin tidak memiliki keterampilan manajemen waktu yang baik, sehingga mereka tidak bisa menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang ditentukan dan akhirnya harus bekerja lebih lama.
  • Budaya Kerja yang Tidak Sehat: Di beberapa perusahaan, ada budaya yang menganggap bekerja lembur sebagai tanda dedikasi dan loyalitas, sehingga karyawan merasa terdorong untuk bekerja lebih lama dari jam kerja normal.
  • Tekanan Ekonomi: Situasi ekonomi yang sulit juga bisa memaksa seseorang untuk bekerja lebih keras dan lebih lama demi memenuhi kebutuhan finansial.
  • Teknologi dan Ketersediaan 24/7: Dengan adanya teknologi yang memungkinkan komunikasi terus-menerus, banyak karyawan merasa harus selalu siap sedia dan merespons pekerjaan bahkan di luar jam kerja normal.

Baca Juga: Beban Pekerja Perempuan GenerasiSandwichBerlapis

Konsekuensi dari Overworked

Overworked tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik dan mental, tetapi juga dapat mengurangi produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Dikutip dari American Psychological Association (APA), Stress in America: Paying With Our Health, karyawan yang overworked cenderung lebih sering sakit, mengalami kelelahan, dan memiliki tingkat stres yang tinggi. Selain itu, mereka juga mungkin mengalami gangguan tidur, masalah pencernaan, dan penurunan fungsi kognitif .

Mengatasi masalah overworked memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk kebijakan perusahaan yang mendukung keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi, serta upaya individu untuk mengelola waktu dan stres dengan lebih baik.

Tanda-Tanda Overworked

Tanda-tanda overworked dapat muncul dalam berbagai bentuk, baik fisik, mental, maupun emosional. Mengenali tanda-tanda ini sangat penting agar kita bisa segera mengambil langkah pencegahan dan perbaikan.

Fisik

  • Kelelahan Kronis

Kelelahan yang tidak hilang meskipun sudah beristirahat cukup adalah tanda umum overworked. Kelelahan ini bisa mengurangi produktivitas kerja dan kualitas hidup. Masih menurut American Psychological Association (APA), kelelahan kronis adalah salah satu gejala utama stres kerja yang berlebihan.

  • Gangguan Tidur

Orang yang overworked sering mengalami gangguan tidur, seperti insomnia atau tidur yang tidak nyenyak. Hal ini disebabkan oleh pikiran yang terus menerus aktif memikirkan pekerjaan, sehingga sulit untuk benar-benar beristirahat.

  • Masalah Kesehatan Fisik

Overworked dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan fisik, termasuk sakit kepala, nyeri otot, dan gangguan pencernaan. National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), Stress at Work, menyebutkan bahwa stres kerja dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti penyakit jantung dan tekanan darah tinggi.

Mental

  • Stres Berkepanjangan

Stres yang berkepanjangan adalah tanda mental yang umum dari overworked. Ini bisa menyebabkan berbagai masalah psikologis, termasuk kecemasan dan depresi.

  • Sulit Berkonsentrasi

Orang yang overworked sering mengalami kesulitan berkonsentrasi dan mengingat informasi. Ini bisa menghambat produktivitas dan kinerja kerja.

  • Kehilangan Motivasi

Kehilangan motivasi untuk bekerja atau melakukan aktivitas sehari-hari lainnya adalah tanda bahwa seseorang mungkin mengalami overworked. Rasa lelah dan tekanan terus menerus membuat kamu merasa tidak bersemangat.

Emosional

  • Burnout

Burnout adalah kondisi kelelahan emosional, mental, dan fisik yang disebabkan oleh stres berlebihan dan berkepanjangan. Ini membuat seseorang merasa tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari. Menurut Mayo Clinic, Job burnout: How to spot it and take action, burnout dapat menyebabkan seseorang merasa putus asa dan kehilangan minat pada pekerjaan yang sebelumnya disukai.

  • Perubahan Suasana Hati

Orang yang overworked sering mengalami perubahan suasana hati yang drastis, seperti mudah marah atau merasa frustasi tanpa alasan yang jelas. Emoasi yang tidak stabil ini bisa mempengaruhi hubungan dengan orang lain.

  • Perasaan Terisolasi

Perasaan terisolasi atau kesepian adalah tanda emosional lain dari overworked. Seseorang mungkin merasa tidak ada yang mengerti atau mendukung mereka, sehingga merasa sendirian dalam menghadapi tekanan kerja.

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas

Cara Mengatasi Overworked

Mengatasi overworked memerlukan pendekatan yang holistik, mencakup manajemen waktu, dukungan dari lingkungan kerja, serta kebiasaan hidup sehat. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi overworked:

Mengatur Waktu Kerja

  • Membuat Jadwal Kerja yang Realistis

Membuat jadwal kerja yang realistis dan tetap berpegang pada jadwal tersebut sangat penting. Pastikan ada waktu untuk istirahat dan kegiatan pribadi di luar pekerjaan. Menurut American Psychological Association (APA), manajemen waktu yang efektif dapat mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas.

  • Menerapkan Batasan Waktu

Tentukan batasan waktu untuk pekerjaan dan istirahat. Misalnya, jangan membawa pekerjaan pulang atau bekerja di luar jam kerja yang telah ditentukan. Ini membantu menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Mengambil Istirahat yang Cukup

  • Istirahat Sejenak di Tengah Hari

Ambil istirahat singkat setiap beberapa jam untuk merilekskan pikiran dan tubuh. Ini bisa berupa berjalan-jalan sebentar, melakukan peregangan, atau hanya duduk santai tanpa melakukan apa-apa. Menurut penelitian dari National Institutes of Health (NIH), istirahat sejenak dapat meningkatkan fokus dan produktivitas.

  • Cuti dan Liburan

Jangan ragu untuk mengambil cuti atau liburan ketika diperlukan. Cuti tidak hanya memberi kesempatan untuk beristirahat, tetapi juga membantu menyegarkan pikiran dan mengurangi risiko burnout.

Baca Juga: Kerja, Kerja, Burnout: Dilema Perempuan Karier

Mengembangkan Keterampilan Manajemen Stres

  • Pelatihan Manajemen Stres

Mengikuti pelatihan atau workshop manajemen stres dapat membantu mengembangkan keterampilan untuk mengelola stres dengan lebih baik. Ini termasuk teknik untuk mengidentifikasi pemicu stres dan cara-cara untuk menghadapinya.

  • Mencari Dukungan Profesional

Jika diperlukan, jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional seperti psikolog atau konselor. Mereka dapat memberikan dukungan dan strategi untuk mengelola stres dan overworked.

Mengembangkan Kebiasaan Hidup Sehat

  • Olahraga Teratur

Olahraga secara teratur dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Menurut Mayo Clinic, olahraga dapat meningkatkan produksi endorfin, yang membantu merasa lebih baik dan lebih rileks.

  • Pola Makan Sehat

Makan makanan yang sehat dan seimbang juga penting untuk menjaga energi dan kesehatan. Hindari makanan yang tinggi gula dan lemak, dan perbanyak konsumsi buah, sayur, dan protein sehat.

  • Tidur yang Cukup

Pastikan kamu mendapatkan tidur yang cukup setiap malam. Tidur yang berkualitas penting untuk pemulihan fisik dan mental, serta membantu menjaga energi dan fokus sepanjang hari.

Mengelola Ekspektasi dan Komunikasi dengan Atasan

  • Bicarakan Kebutuhan Kamu

Jangan ragu untuk berbicara dengan atasan tentang kebutuhan kamu akan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Komunikasi yang baik dapat membantu mengurangi tekanan dan mengatur ekspektasi yang realistis.

  • Delegasi Tugas

Jika memungkinkan, delegasikan tugas kepada rekan kerja. Ini membantu mengurangi beban kerja dan memungkinkan fokus pada tugas-tugas yang paling penting.

Read More
tips jam kerja efektif

Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres

Mengelola jam kerja dengan efektif relatif penting buat para pekerja. Alasannya, bekerja berlebihan dengan jam kerja berantakan, rentan meningkatkan risiko penyakit mental. Bahkan juga berpeluang membuat kamu sakit fisik. 

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa menghindari stres atau meminimalisasi risikonya saat bekerja? Magdalene merangkumkan tipsnya buatmu. 

Apa itu Jam Kerja yang Efektif? 

Jam kerja yang efektif adalah pengaturan waktu kerja yang memungkinkan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara optimal tanpa merasa terbebani atau tertekan. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan durasi jam kerja, tetapi juga cara pengelolaan waktu, pembagian tugas, dan strategi untuk meningkatkan produktivitas kerja

Jam kerja yang efektif memerlukan pendekatan yang terstruktur dan disiplin dalam menyelesaikan tugas, serta kemampuan untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan istirahat yang cukup. 

Menurut studi University of California, The Cost of Interrupted Work: More Speed and Stress, seseorang dapat memaksimalkan produktivitasnya dengan cara membatasi gangguan dan fokus pada satu tugas pada satu waktu. Studi ini menemukan bahwa gangguan sering kali membuat seseorang membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali ke tingkat fokus sebelumnya . 

Baca Juga: Pangkas Jam Kerja Panjang untuk Hasil Lebih Optimal, Dorong Kesetaraan Gender 

Manfaat Jam Kerja yang Efektif 

Mengatur jam kerja secara efektif membawa berbagai manfaat, tidak hanya bagi produktivitas kerja tetapi juga bagi kesehatan mental dan fisik. Berikut beberapa manfaat dari jam kerja yang efektif: 

  • Peningkatan Produktivitas: Dengan pengelolaan waktu yang baik, pekerja dapat menyelesaikan lebih banyak tugas dalam waktu yang lebih singkat. Hal ini juga memungkinkan mereka untuk memberikan kualitas kerja yang lebih baik karena fokus yang lebih tinggi. 
  • Pengurangan Stres: Stres kerja sering kali muncul akibat beban kerja yang tidak teratur dan kurangnya waktu istirahat. Jam kerja yang efektif membantu mengurangi stres dengan menyediakan waktu yang cukup untuk istirahat dan relaksasi. 
  • Keseimbangan Hidup dan Kerja: Mengatur jam kerja dengan baik memungkinkan pekerja untuk memiliki waktu yang cukup untuk kehidupan pribadi mereka, termasuk berinteraksi dengan keluarga dan teman, serta mengejar hobi dan minat pribadi. 
  • Kesehatan Mental dan Fisik yang Lebih Baik: Pekerjaan yang teratur dan terstruktur dapat membantu mengurangi kelelahan mental dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti insomnia, gangguan pencernaan, dan penyakit kardiovaskular . 
  • Peningkatan Kepuasan Kerja: Pekerja yang mampu mengelola waktu dengan baik cenderung merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka karena merasa lebih produktif dan tidak terlalu terbebani dengan beban kerja yang menumpuk. 

Mengenali Sumber Stres di Tempat Kerja 

Mengelola stres di tempat kerja dimulai dengan mengenali sumber-sumber utama yang menyebabkan stres tersebut. Berikut adalah beberapa sumber stres yang umum di tempat kerja dan cara untuk mengidentifikasinya: 

Beban Kerja yang Berlebihan 

Salah satu penyebab utama stres di tempat kerja adalah beban kerja yang terlalu banyak. Ketika seseorang diberikan tugas yang berlebihan dalam waktu yang singkat, hal ini dapat menyebabkan tekanan dan kelelahan. Menurut International Journal of Environmental Research and Public Health, Impact of Workplace Environment on Productivity and Stress, 46 persen pekerja melaporkan, beban kerja yang berlebihan adalah penyebab utama stres mereka di tempat kerja. 

Baca Juga: Tips Manajemen Stres di Tempat Kerja yang Efektif 

Deadline yang Ketat 

Deadline yang sangat ketat sering kali menyebabkan pekerja harus bekerja di bawah tekanan tinggi. Ini dapat mengurangi kualitas kerja dan meningkatkan risiko kesalahan. Dikutip dari University of Cambridge, Managing Workplace Stress, menunjukkan bahwa tenggat waktu yang tidak realistis adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan stres di tempat kerja

Konflik dengan Rekan Kerja 

Konflik interpersonal dengan rekan kerja atau atasan dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman dan penuh tekanan. Menurut American Psychological Association, Stress in the Workplace, konflik di tempat kerja adalah salah satu penyebab utama stres yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan produktivitas pekerja . 

Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif 

Faktor lingkungan seperti pencahayaan yang buruk, kebisingan berlebih, dan ventilasi yang buruk dapat memengaruhi kenyamanan dan konsentrasi kerja. Penelitian dari International Journal of Environmental Research and Public Health menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang tidak mendukung dapat meningkatkan tingkat stres dan mengurangi produktivitas. 

Strategi Mengelola Waktu dengan Baik 

Mengelola waktu dengan baik merupakan kunci untuk mencapai jam kerja yang efektif dan mengurangi stres di tempat kerja. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mengelola waktu dengan lebih baik: 

Prioritas Tugas 

Menetapkan prioritas adalah langkah pertama yang penting dalam mengelola waktu. Tidak semua tugas memiliki tingkat urgensi atau penting yang sama. Oleh karena itu, kita perlu mengidentifikasi tugas-tugas yang harus diselesaikan segera dan yang dapat ditunda. 

Menurut Stephen Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, penting untuk membedakan antara tugas yang penting dan yang mendesak. Mengutamakan tugas yang penting namun tidak mendesak dapat membantu mengurangi stres jangka panjang . 

Baca Juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana? 

Menggunakan Teknologi untuk Mengatur Waktu 

Teknologi dapat menjadi alat yang sangat berguna dalam mengelola waktu. Aplikasi manajemen waktu seperti Todoist, Trello, atau Asana dapat membantu kita mengatur jadwal, menetapkan prioritas, dan mengingatkan kita tentang tenggat waktu yang akan datang. 

Manfaat Menggunakan Aplikasi Manajemen Waktu: 

  • Organisasi: Memungkinkan kita untuk mengorganisasi tugas dan proyek dengan lebih baik. 
  • Pengingat: Memberikan pengingat otomatis untuk tenggat waktu yang akan datang. 
  • Kolaborasi: Memudahkan kerja tim dengan fitur kolaborasi dan penugasan tugas. 

Menurut artikel di Harvard Business Review, How to Spend Way Less Time on Email Every Day, penggunaan aplikasi manajemen waktu dapat meningkatkan produktivitas hingga 20% karena membantu pengguna tetap fokus dan terorganisir . 

Menghindari Prokrastinasi 

Prokrastinasi adalah kebiasaan menunda-nunda pekerjaan yang sering kali menjadi penyebab utama stres di tempat kerja. Mengatasi prokrastinasi memerlukan disiplin dan strategi khusus untuk tetap fokus pada tugas yang ada. 

Strategi Mengatasi Prokrastinasi: 

  • Membuat Daftar Tugas: Buat daftar tugas harian yang jelas dan realistis. 
  • Mengatur Waktu Kerja: Gunakan teknik manajemen waktu seperti Teknik Pomodoro untuk bekerja dalam interval yang teratur dan beristirahat sejenak. 
  • Menghargai Diri Sendiri: Beri diri sendiri penghargaan kecil setelah menyelesaikan tugas yang sulit. 

Menurut American Psychological Association, The Effects of Procrastination on Productivity, prokrastinasi dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan peningkatan stres. Mengatasi kebiasaan ini memerlukan pendekatan yang sistematis dan berfokus pada pengembangan kebiasaan kerja yang lebih baik . 

Read More
Fakta claudia sheinbaum presiden prempuan meksiko

Presiden Perempuan Pertama Meksiko Claudia Sheinbaum: Saintis yang Feminis

Pertama kali dalam sejarah, Meksiko punya presiden perempuan yang menang dalam Pemilu 2024. Adalah Claudia Sheinbaum yang meraup suara 58 persen dan berhasil membungkam rivalnya, Xochiti Galvez dan Jorge Alvarwez Maynez. 
 
Kemenangan bekas Wali Kota Mexico City itu diwarnai tantangan berat. Terlebih saat ini Meksiko punya rentetan kasus kriminal dan kejahatan berbasis gender. Meski tak mudah, tapi rekam jejaknya yang baik, membuat rakyat Meksiko layak optimis. 

Latar Belakang Claudia Sheinbaum 

Perempuan bernama lengkap Claudia Sheinbaum Pardo itu. Dikutip dari Britannica, Claudia Sheinbaum president-elect of Mexico, ia lahir pada 24 Juni 1962 di Meksiko. Ia berasal dari keluarga Yahudi Ashkenazi yang bermigrasi ke Meksiko dari Eropa Timur. Ayahnya, Carlos Sheinbaum, adalah insinyur elektro yang memiliki karier gemilang di bidang energi. Sementara ibunya, Annie Pardo, adalah ahli Biologi yang sangat dihormati. Keluarga Claudia sangat menghargai pendidikan dan kerja keras, nilai-nilai yang kemudian membentuk perjalanan hidupnya. 

Baca Juga: Sonia Sotomayor Hakim Agung Perempuan dalam Pelantikan Presiden Amerika Joe Biden dan Kamala Harris 

Pendidikan 

Claudia tumbuh dalam lingkungan yang mendukung dan mendorong pendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Claudia kuliah di National Autonomous University of Mexico (UNAM), salah satu universitas paling bergengsi di Meksiko. Di sana, ia menekuni Fisika lalu meraih gelar doktor di bidang Teknik Energi. 

Selama masa studinya, Claudia menunjukkan bakat luar biasa dalam penelitian ilmiah dan teknologi, yang kemudian membuka jalan baginya untuk berkontribusi dalam isu-isu lingkungan dan energi di Meksiko. 

Karier Akademik dan Penelitian 

Setelah meraih gelar doktor, Claudia melanjutkan karier di dunia akademik. Ia menjadi profesor di UNAM, tempat di mana ia tidak hanya mengajar tetapi juga aktif dalam penelitian. 

Claudia memiliki minat khusus dalam isu-isu lingkungan, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim dan energi terbarukan. Ia telah menerbitkan berbagai makalah ilmiah dan berpartisipasi dalam proyek-proyek penelitian yang berfokus pada pengurangan emisi karbon dan peningkatan efisiensi energi. Kontribusi ilmiahnya diakui secara luas, baik di tingkat nasional maupun internasional. 

Pengaruh Keluarga pada Karier Politik 

Latar belakang keluarganya yang kuat dalam ilmu pengetahuan dan dedikasi terhadap pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk pandangan dunia Claudia. Keluarganya selalu mendorongnya untuk berpikir kritis dan berani mengambil risiko, nilai-nilai yang kemudian ia bawa ke dalam karier politiknya. Orang tuanya memberikan teladan tentang pentingnya inovasi dan kerja keras, yang menjadi dasar dalam pendekatan Claudia terhadap politik dan pemerintahan. 

Baca Juga: 4 Cara Mendidik Anak Perempuan Sejak Dini Untuk Jadi Pemimpin 

Masuk ke Dunia Politik 

Masih dikutp dari Britannica, Claudia Sheinbaum memulai karier politiknya pada awal 2000-an, namun minatnya pada politik sudah ada sejak masa muda. Berkat latar belakang keluarganya yang aktif dalam dunia akademik dan sosial, Claudia selalu memiliki ketertarikan terhadap isu-isu publik dan kebijakan. 

Pada 2000, Claudia bergabung dengan Partai Revolusi Demokratik (PRD), sebuah partai politik sayap kiri di Meksiko. Ia terinspirasi oleh visi partai tersebut untuk menciptakan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai seorang akademisi dan peneliti, Claudia melihat politik sebagai jalan untuk mengimplementasikan pengetahuan dan hasil penelitiannya dalam kebijakan publik yang nyata. 

Bergabung dengan Morena 

Pada 2014, Claudia membuat keputusan penting dalam karier politiknya dengan bergabung dengan Movimiento Regeneración Nacional (Morena), partai besutan Andrés Manuel López Obrador. Morena adalah partai politik yang relatif baru pada waktu itu, tetapi dengan cepat mendapatkan popularitas berkat platformnya yang anti-korupsi dan pro-rakyat. Bergabungnya Claudia dengan Morena menunjukkan komitmennya terhadap perubahan sosial dan politik yang lebih luas di Meksiko. 

Kemenangan sebagai Wali Kota 

Pada Juli 2018, Claudia Sheinbaum terpilih sebagai Wali Kota Mexico City, menjadikannya perempuan pertama yang menduduki posisi ini dalam sejarah kota tersebut. Kemenangan ini tidak hanya signifikan untuknya, tetapi juga gerakan politik di Meksiko yang memperjuangkan kesetaraan gender dan representasi perempuan dalam pemerintahan. 

Sebagai Wali Kota, ia segera mulai bekerja dengan mengimplementasikan berbagai kebijakan progresif yang telah ia janjikan selama kampanye. Ia memperkenalkan program perumahan terjangkau, meningkatkan sistem transportasi umum, dan meluncurkan inisiatif lingkungan yang ambisius. 

Ia juga bekerja keras untuk memastikan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, menjadikan pemerintahannya lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan warganya. 

Claudia Sheinbaum Mempromosikan Kesetaraan Gender 

Dikutip dari The Conversation, Mexico elects first female president − but will that improve the lot of country’s women?,sebagai presiden perempuan pertama Meksiko, Sheinbaum sangat berkomitmen untuk mempromosikan kesetaraan gender. Dalam karier, ia selalu berusaha untuk memastikan bahwa perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu langkah awalnya adalah dengan meningkatkan representasi perempuan dalam pemerintahan dan posisi kepemimpinan. 

Claudia berupaya untuk memperkenalkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di berbagai sektor. Ia percaya bahwa kesetaraan gender bukan hanya tentang memberikan hak yang sama, tetapi juga tentang menghapuskan hambatan-hambatan yang menghalangi perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka. Dalam hal ini, Claudia memprioritaskan penciptaan lingkungan yang mendukung partisipasi aktif perempuan di semua tingkatan pemerintahan dan sektor ekonomi. 

Inisiatif Pemberdayaan Perempuan 

Salah satu inisiatif penting yang diusung Claudia adalah program pemberdayaan perempuan. Program ini mencakup pelatihan keterampilan, pendidikan, dan dukungan finansial untuk perempuan yang ingin memulai usaha atau mengembangkan karier mereka. Claudia memahami bahwa pemberdayaan perempuan adalah kunci untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati. Oleh karena itu, ia fokus pada memberikan alat dan sumber daya yang dibutuhkan perempuan untuk sukses. 

Claudia juga mempromosikan program-program yang mendukung perempuan dalam bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika). Ia mendorong perempuan muda untuk mengejar pendidikan dan karier di bidang ini, dengan menyediakan beasiswa dan program magang yang khusus dirancang untuk mereka. Dengan demikian, Claudia berusaha untuk mengurangi kesenjangan gender dalam bidang yang didominasi oleh laki-laki dan membuka peluang baru bagi perempuan. 

Kebijakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan 

Sebagai bagian dari komitmennya terhadap kesetaraan gender, ia juga fokus pada kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Ia memperkenalkan berbagai inisiatif untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. Salah satu kebijakan utamanya adalah pendirian pusat-pusat layanan untuk korban kekerasan, yang menyediakan perlindungan, konseling, dan dukungan hukum. 

Ia juga bekerja sama dengan lembaga penegak hukum untuk meningkatkan penanganan asus kekerasan terhadap perempuan. Ia memastikan bahwa petugas kepolisian dan sistem peradilan dilatih untuk menangani kasus-kasus ini dengan sensitivitas dan keadilan. Selain itu, Shenbaum mendorong kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan pentingnya melaporkan insiden kekerasan. 

Baca Juga: 7 Rekomendasi Drama Korea dan Serial TV Soal Perempuan Pemimpin 

Promosi Kesetaraan dalam Keluarga 

Shenbaum juga percaya kesetaraan gender harus dimulai dari keluarga. Karena itu, ia mendukung inisiatif yang mempromosikan pembagian tugas rumah tangga yang adil dan peran orang tua yang setara. 

Shenbaum mengadvokasi kebijakan cuti orang tua yang lebih fleksibel dan inklusif, yang memungkinkan kedua orang tua untuk berbagi tanggung jawab dalam merawat anak-anak mereka. Dengan cara ini, ia berharap dapat mengubah norma-norma sosial yang tradisional dan menciptakan lingkungan keluarga yang lebih adil dan seimbang. 

Read More
skill manajemen waktu pengertian

‘Skill’ Manajemen Waktu buat Kamu dengan Beban Kerja Bejibun

Dear sobat hustle culture

Kamu pernah enggak merasa kewalahan dengan pekerjaan yang menumpuk? Terkadang bahkan kamu merasa waktu 24 jam sehari pun tidak pernah cukup? Bergulat dengan pekerjaan satu dan lainnya atau kerja tunggal tapi bebannya terlalu banyak. Sementara, menjadi multitasking setiap hari, tentu sangat melelahkan. 

Jika itu yang dirasakan, maka sudah saatnya kamu belajar tentang manajemen waktu. Menguasai skill manajemen waktu tidak cuma membantu kamu bekerja lebih efisien, tetapi bisa menjaga kesehatan mental. 

Lalu bagaimana caranya bisa mengatur waktu dengan baik? 

Apa itu Manajemen Waktu? 

Dikutip dari Mind Tools, What Is Time Management? manajemen waktu adalah proses perencanaan seseorang dalam menghabiskan waktu untuk kegiatan tertentu. Manajemen waktu melibatkan proses menetapkan tujuan, membuat daftar tugas, mengatur jadwal, dan menentukan prioritas. 

Dalam konteks dunia kerja, manajemen waktu adalah kemampuan untuk menggunakan waktu dengan produktif dan efisien guna mencapai tujuan. 

Baca Juga: Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar 

Manfaat dari Manajemen Waktu yang Efektif 

Manfaat manajemen waktu yang efektif sangat beragam. Berikut beberapa di antaranya: 

  • Peningkatan Produktivitas: Dengan manajemen waktu yang baik, kamu jadi bisa menyelesaikan lebih banyak tugas dalam waktu yang lebih singkat. Ini berarti lebih banyak keluaran dalam waktu yang sama. Hal ini tentu bakal dihargai dalam dunia kerja. 
  • Mengurangi Stres: Ketika kamu punya kontrol yang baik atas waktu, kamu bisa menghindari tenggat yang ketat dan pekerjaan menumpuk. Ini membantu mengurangi tingkat stres dan kecemasan terkait pekerjaan. 
  • Keseimbangan Kehidupan Kerja: Manajemen waktu yang baik memungkinkan kamu untuk menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi atau work-life balance. Dengan demikian, kamu dapat menikmati waktu luang tanpa harus terganggu oleh pekerjaan yang belum selesai. 
  • Pencapaian Tujuan Lebih Cepat: Dengan mengelola waktu dengan baik, kamu jadi lebih fokus pada tugas-tugas yang penting, sehingga kamu bisa mencapai tujuan lebih cepat dan efisien. 
  • Peningkatan Kualitas Kerja: Ketika kamu memiliki waktu yang cukup untuk setiap tugas, kamu bisa memastikan pekerjaan dilakukan dengan kualitas yang lebih baik tanpa terburu-buru. 

Komponen Time Management yang Efektif 

Untuk mengelola waktu dengan baik, ada beberapa komponen penting yang harus diperhatikan: 

  • Perencanaan: Ini melibatkan membuat jadwal harian atau mingguan, menentukan tugas-tugas yang harus diselesaikan, dan merencanakan cara untuk menyelesaikannya. 
  • Prioritization: Memutuskan tugas mana yang paling penting dan harus diselesaikan terlebih dahulu. Teknik seperti matriks Eisenhower bisa membantu menentukan prioritas berdasarkan urgensi dan kepentingan. 
  • Pengendalian: Mengendalikan gangguan dan menghindari kegiatan yang tidak produktif. Ini bisa melibatkan menonaktifkan notifikasi, menetapkan batasan waktu untuk setiap tugas, dan fokus pada satu tugas pada satu waktu. 
  • Evaluasi: Melakukan penilaian rutin terhadap bagaimana waktu dihabiskan dan mencari cara untuk meningkatkan efisiensi. Evaluasi ini bisa membantu mengidentifikasi kebiasaan yang buruk dan mencari solusi yang lebih baik. 
  • Fleksibilitas: Meskipun penting untuk memiliki rencana, fleksibilitas juga diperlukan untuk menangani kejadian tak terduga dan perubahan prioritas. 

Baca Juga: Pindah Kerja ke Tempat Baru? Perhatikan Tanda-tanda Ini untuk Tahu Atasanmu ‘Toxic’ Atau Enggak 

Skill Manajemen Waktu yang Penting 

Melansir Jobstreet, How to manage your time so it doesn’t manage you, berikut ini contoh skill manajemen waktu yang bisa kamu cantumkan di CV. 

  • Prioritizing Tasks 

Memprioritaskan tugas adalah skill dasar dalam manajemen waktu. Ini berarti menentukan tugas mana yang paling penting dan harus diselesaikan terlebih dahulu. Untuk melakukan ini, kamu bisa menggunakan metode seperti matriks Eisenhower yang membagi tugas berdasarkan urgensi dan kepentingannya. Dengan memprioritaskan tugas, kamu bisa memastikan waktu digunakan untuk hal-hal yang benar-benar penting dan mendesak. 

  • Time Blocking 

Time blocking adalah teknik di mana kamu mengalokasikan waktu tertentu untuk kegiatan atau tugas yang berbeda untuk meningkatkan produktivitas kerja dan mempertahankan fokus. Dengan metode ini, kamu menetapkan waktu yang spesifik di kalender untuk mengerjakan tugas tertentu dan hanya fokus pada tugas itu selama periode tersebut. 

Time blocking membantu mengurangi gangguan dan meningkatkan fokus, sehingga kamu bisa menyelesaikan tugas dengan lebih efisien. Misalnya, kamu bisa menetapkan time blocking dari jam 9 pagi hingga 11 pagi hanya untuk menangani email, sehingga kamu tidak terganggu oleh email sepanjang hari. 

  • Delegating Tasks 

Delegasi adalah keterampilan penting yang melibatkan pendelegasian tugas kepada orang lain. Ini memungkinkan kamu untuk fokus pada tugas yang lebih strategis dan penting, sementara tugas-tugas yang lebih sederhana atau bisa dilakukan oleh orang lain didelegasikan. Untuk mendelegasikan dengan efektif, kamu perlu memahami kemampuan dan beban kerja tim, serta memberikan instruksi yang jelas dan dukungan yang diperlukan. 

  • Goal Setting 

Goal setting adalah kunci untuk mengarahkan upaya kamu ke arah yang tepat. Tujuan yang jelas membantu kamu tetap fokus dan termotivasi. Dalam menetapkan tujuan, pastikan kamu menggunakan prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) agar tujuan kamu jelas dan dapat dicapai dalam waktu yang ditentukan. Menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang juga bisa membantu kamu tetap berada di jalur yang benar dan memonitor kemajuan tersebut. 

Baca Juga: Pulanglah ‘Teng Go’, Terlalu Lama Kerja Bisa Bikin Stroke 

  • Avoiding Procrastination 

Menghindari penundaan adalah keterampilan yang membutuhkan disiplin. Ini berarti menyelesaikan tugas sesuai jadwal tanpa menunda-nunda. Supaya pekerjaan tidak tertunda, kamu bisa menggunakan teknik seperti ‘Pomodoro Technique‘, di mana kamu bekerja selama 25 menit kemudian istirahat selama 5 menit. Teknik ini membantu menjaga fokus dan mencegah kelelahan. Mengidentifikasi alasan di balik penundaan kamu dan mencari cara untuk mengatasi hambatan tersebut juga bisa sangat membantu. 

  • Staying Organized 

Tetap terorganisasi membantu kamu mengatur tugas dan jadwal dengan lebih efisien. Ini termasuk menjaga lingkungan kerja yang rapi dan sistem pengarsipan yang baik. Menggunakan alat bantu seperti to-do list, kalender digital, dan aplikasi manajemen proyek seperti Trello atau Asana bisa membantu kamu untuk tetap terorganisasi. 

Selain itu, kebiasaan seperti merapikan meja kerja setiap hari dan menyortir email masuk juga bisa membuat kamu lebih terstruktur dan siap menghadapi tugas sehari-hari. 

Read More
atasan di tempat kerja toxic

Pindah Kerja ke Tempat Baru? Perhatikan Tanda-tanda Ini untuk Tahu Atasanmu ‘Toxic’ Atau Enggak

Kamu pernah gak merasa cemas menghadapi atasan baru? Memastikan atasanmu tidak toxic adalah langkah penting demi kenyamanan dan produktivitas kerja. Atasan toxic bisa merusak suasana kerja dan berdampak negatif pada kesehatan mental. Jadi, bagaimana cara memastikan atasan di tempat kerja baru kamu tidak toxic?

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Mengidentifikasi Tanda-Tanda Atasan Toxic

Dikutip dari The Muse, 6 Signs of a Toxic Boss and How to Deal With Them, atasan toxic adalah individu yang menciptakan lingkungan kerja tidak sehat melalui perilaku mereka yang merusak. Mereka cenderung menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan dan memanipulasi karyawan, mengakibatkan stres, kecemasan, dan ketidakpuasan di tempat kerja. Berikut ini adalah beberapa tanda-tanda atasan toxic yang harus diwaspadai.

Perilaku Manipulatif

Perilaku manipulatif adalah salah satu ciri khas atasan toxic. Mereka sering kali menggunakan strategi seperti:

  • Gaslighting: Membuat karyawan meragukan diri sendiri atau realitas mereka. Atasan ini mungkin akan menyangkal pernah mengatakan sesuatu atau membuat karyawan merasa salah.
  • Memecah Belah Tim: Atasan toxic mungkin akan memecah belah tim dengan menyebarkan gosip atau informasi yang tidak benar, menciptakan persaingan yang tidak sehat di antara anggota tim.
  • Menggunakan Rasa Takut: Mereka sering kali mengandalkan rasa takut untuk mengendalikan karyawan, misalnya dengan ancaman pemecatan atau pengurangan gaji.

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak?

Komunikasi Buruk

Komunikasi yang buruk dapat mencakup berbagai bentuk, seperti:

  • Tidak Ada Feedback yang Konstruktif: Alih-alih memberikan masukan yang membantu, atasan toxic mungkin memberikan kritik yang tidak membangun atau tidak memberikan feedback sama sekali.
  • Komunikasi Pasif-Agresif: Menggunakan nada atau kata-kata yang secara tersirat merendahkan atau menghina karyawan, tanpa mengungkapkan secara langsung apa yang diinginkan atau yang salah.
  • Kurangnya Transparansi: Tidak memberikan informasi penting atau menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui oleh tim, yang bisa menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian.

Ekspektasi Tidak Realistis

Menetapkan ekspektasi yang tidak masuk akal tanpa mempertimbangkan kapasitas dan sumber daya yang tersedia merupakan tanda lain dari atasan toxic. Beberapa contoh perilaku ini adalah:

  • Deadline yang Tidak Masuk Akal: Meminta pekerjaan diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat tanpa mempertimbangkan beban kerja yang sudah ada.
  • Volume Kerja yang Berlebihan: Memberikan tugas yang jauh melebihi kapasitas kerja normal, menyebabkan karyawan harus bekerja lembur terus-menerus.
  • Ketidakpedulian terhadap Keseimbangan Kerja-Hidup: Tidak menghormati waktu pribadi karyawan, misalnya dengan mengharapkan mereka menjawab email atau panggilan di luar jam kerja.

Kurangnya Pengakuan dan Penghargaan

Atasan yang toxic sering kali tidak mengakui atau menghargai usaha dan pencapaian karyawan. Ini bisa meliputi:

  • Tidak Memberikan Penghargaan: Mengabaikan atau mengklaim hasil kerja karyawan sebagai milik mereka sendiri.
  • Mengabaikan Prestasi: Tidak memberikan pujian atau pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik.
  • Fokus pada Kesalahan: Selalu mencari kesalahan dan mengkritik, tanpa mengakui upaya atau keberhasilan karyawan.

Micromanaging

Atasan yang terlalu mengendalikan setiap aspek pekerjaan karyawan menunjukkan kurangnya kepercayaan dan bisa sangat memberatkan. Micromanaging bisa meliputi:

  • Kontrol Berlebihan: Mengawasi setiap detail kecil pekerjaan karyawan, tidak memberikan ruang untuk kreativitas atau otonomi.
  • Kurangnya Kebebasan: Tidak mengizinkan karyawan membuat keputusan sendiri atau mengambil inisiatif, yang bisa menghambat pertumbuhan profesional mereka.
  • Selalu Mengawasi Karyawan: Terus-menerus mengecek pekerjaan karyawan, yang bisa mengganggu alur kerja dan menambah stres.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Strategi Menghadapi Atasan yang Toxic

Menghadapi atasan yang toxic bisa menjadi tantangan besar, namun ada beberapa strategi yang dapat kamu terapkan untuk menjaga kesejahteraan dan produktivitasmu. Dikutip dari Forbes, 13 Effective Tactics For Dealing With A Toxic Boss, berikut adalah beberapa langkah yang bisa kamu ambil:

  • Berkomunikasi dengan Efektif

Komunikasi yang jelas dan tegas: Pastikan kamu berkomunikasi secara jelas dan tegas. Jangan biarkan perasaan takut atau tidak nyaman menghalangi kamu untuk menyampaikan pendapat atau masalah yang kamu hadapi. Gunakan bahasa yang sopan namun tegas, dan pastikan untuk mendengarkan respons atasanmu.

Menyampaikan feedback secara konstruktif: Jika ada sesuatu yang mengganggu, coba sampaikan feedback secara konstruktif. Fokuslah pada perilaku dan dampaknya, bukan pada pribadi atasan. Misalnya, “Saya merasa kesulitan ketika arahan tidak jelas, mungkin kita bisa mendiskusikan lebih detail di awal proyek.”

  • Menetapkan Batasan

Kenali batasan pribadimu: Menetapkan batasan adalah kunci untuk melindungi kesehatan mentalmu. Ketahui batasanmu dan pastikan kamu tidak melewatinya demi pekerjaan. Ini termasuk waktu kerja, beban kerja, dan cara atasan berkomunikasi denganmu.

Beri tahu batasanmu secara diplomatis: Jangan ragu untuk mengomunikasikan batasanmu dengan cara yang diplomatis. Misalnya, jika atasan sering menghubungi di luar jam kerja, kamu bisa mengatakan, “Saya akan segera bereskan hal ini saat jam kerja dimulai besok pagi.”

  • Mencari Dukungan

Cari dukungan dari rekan kerja: Kadang-kadang, rekan kerja bisa menjadi sumber dukungan yang kuat. Mereka mungkin menghadapi situasi yang sama dan bisa memberikan saran atau sekadar menjadi teman bicara.

Cari Bantuan ke HRD: Jika perusahaan memiliki departemen HR, tidak ada salahnya untuk meminta bantuan HRD. Mereka ada untuk membantu menyelesaikan masalah seperti ini. Jangan ragu untuk melaporkan perilaku yang tidak pantas dan mencari bantuan mereka untuk mediasi atau solusi.

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

  • Membangun Hubungan Positif di Tempat Kerja

Jalin hubungan baik dengan rekan kerja: Membangun hubungan yang positif dengan rekan kerja bisa menjadi sumber dukungan emosional yang penting. Selain itu, hubungan yang baik bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

Cari mentor: Mentor bisa memberikan bimbingan dan dukungan yang kamu butuhkan. Mereka bisa membantu kamu menghadapi situasi sulit dan memberikan nasihat berdasarkan pengalaman mereka.

  • Fokus pada Pengembangan Diri

Tingkatkan Skill: Alihkan perhatianmu pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan. Mengikuti kursus atau pelatihan bisa memberikanmu kepercayaan diri dan peluang karier yang lebih baik kedepannya.

Tetap positif: Cobalah untuk tetap positif dan fokus pada hal-hal yang bisa kamu kontrol. Menghadapi atasan yangtoxic memang sulit, tetapi menjaga sikap positif bisa membantu kamu bertahan dan mencari solusi yang lebih baik.

Read More
Bekerja Setelah Melahirkan

Dear Mama, Ini Tips untuk Kembali Kerja Setelah Cuti Melahirkan

Kembali bekerja setelah cuti melahirkan bisa jadi tantangan tersendiri buat kebanyakan perempuan karier. Tantangan ini enggak cuma melibatkan aspek profesional tetapi juga personal. Persiapan yang matang sangat penting agar proses transisi ini berjalan dengan lancar. 

Dalam artikel ini, kita bakal kupas tuntas berbagai tips yang dapat membantu perempuan karier mempersiapkan diri kembali bekerja. 

Tips Kembali Bekerja Setelah Melahirkan 

Berikut beberapa tips kembali bekerja setelah melahirkan, sebagaimana dilansir dari beberapa sumber: 

Mengelola Ekspektasi 

Dikutip dari Motherly, How to make going back to work after maternity leave a smooth transition, setelah cuti melahirkan, kamu mungkin akan kembali ke lingkungan kerja yang sedikit berbeda. Tugas dan tanggung jawab mungkin telah dialihkan sementara kepada rekan kerja lain. Mungkin juga ada perubahan dalam tim atau struktur organisasi. Ini adalah hal yang wajar dan perlu dihadapi dengan pikiran terbuka dan fleksibel. 

Salah satu cara untuk mengelola ekspektasi adalah dengan menerima adaptasi sebagai bagian dari proses ini. Kamu mungkin memerlukan waktu untuk kembali menyesuaikan diri dengan ritme dan dinamika pekerjaan. 

Selain itu, kehidupan pribadimu juga pasti berubah. Kehadiran anak membawa rutinitas baru yang memengaruhi waktu dan energi. Dengan dukungan suami, kamu bisa menempa kesabaran dan penerimaan diri. Tak perlu langsung berekspektasi kembali ke performa kerja yang sama seperti sebelum cuti. Berikan diri kamu waktu untuk beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu sekaligus pekerja. Jangan terlalu keras pada dirimu. 

Komunikasi yang terbuka dan jujur dengan atasan dan rekan kerja sangat penting untuk mengelola ekspektasi. Sebelum kembali bekerja, ada baiknya untuk mengatur pertemuan dengan atasan untuk mendiskusikan status proyek yang sedang dikerjakan, serta perubahan yang terjadi selama kamu cuti. Jelaskan kondisi dan kebutuhan kamu, seperti mungkin memerlukan jam kerja fleksibel atau kesempatan untuk bekerja dari rumah sesekali. 

Dengan rekan kerja, penting untuk memperbarui hubungan profesional dan menunjukkan kamu siap untuk kembali berkontribusi. Tanyakan tentang perkembangan proyel yang sedang berjalan dan cari tahu bagaimana kamu bisa membantu. Ini akan menunjukkan inisiatif dan komitmen kamu untuk kembali terlibat sepenuhnya. 

Baca Juga: ‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang 

Merencanakan Kembali ke Rutinitas Kerja 

Ketika kembali bekerja setelah cuti melahirkan, salah satu langkah terpenting adalah membuat jadwal yang fleksibel. Dikutip dari Indeed, 10 Tips for Returning to Work After Parental Leave, fleksibilitas dalam jadwal kerja bisa membantu kamu menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan keluarga. Bicarakan dengan atasan kamu tentang kemungkinan bekerja dari rumah beberapa hari dalam seminggu. Bisa juga mempertimbangkan opsi untuk menyesuaikan jam kerja agar lebih cocok dengan rutinitas baru kamu di rumah. 

Selain itu, perencanaan harian yang baik juga dapat membantu. Buatlah to-do list untuk setiap hari kerja, urutkan berdasarkan prioritas, dan pastikan kamu memiliki waktu istirahat yang cukup. Dengan jadwal yang terstruktur namun fleksibel, kamu dapat mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas kerja

Menentukan prioritas adalah kunci untuk mengelola pekerjaan secara efektif setelah kembali dari cuti melahirkan. Identifikasi tugas-tugas yang paling penting dan mendesak untuk diselesaikan. Fokus pada tugas-tugas tersebut terlebih dahulu sebelum beralih ke pekerjaan lain yang kurang prioritas. 

Membangun Dukungan Keluarga 

Ketika kembali bekerja setelah cuti melahirkan, dukungan dari keluarga menjadi sangat krusial. Mereka adalah fondasi utama yang dapat membantu kamu menjalani transisi ini dengan lebih lancar. 

Diskusikan dengan pasangan tentang bagaimana kalian berdua dapat berbagi tugas rumah tangga dan tanggung jawab pengasuhan anak. Misalnya, siapa yang akan mengurus anak di pagi hari, siapa yang menyiapkan makanan, atau siapa yang akan mengurus pekerjaan rumah tangga tertentu. Kerja sama yang baik dengan pasangan, membagi tugas perawatan, dapat mengurangi beban dan stres yang kamu rasakan. 

Selain pasangan, kamu juga bisa meminta bantuan dari anggota keluarga lainnya seperti orang tua atau saudara. Mereka bisa membantu mengurus anak atau tugas rumah tangga lainnya. Dukungan dari keluarga besar dapat memberikan kamu waktu tambahan untuk beristirahat atau fokus pada pekerjaan. 

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba 

Menjaga Kesehatan Mental 

Kesehatan mental adalah aspek yang sering kali terlupakan ketika seseorang kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Padahal, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Dikutip dari Linkedin, Navigating the Transition: Tips for Maintaining Positive Mental Health When Returning to Work from Maternity Leave, berikut adalah beberapa cara untuk menjaga kesehatan mental kamu selama proses ini: 

Mencari Dukungan Emosional 

Setelah melahirkan, perasaan cemas, stres, bahkan depresi postpartum bisa muncul. Sangat penting untuk mencari dukungan emosional dari orang-orang terdekat seperti pasangan, keluarga, atau teman. Berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang yang kamu percayai bisa membantu mengurangi beban emosional yang kamu rasakan. 

Berbicara dengan Profesional 

Jika perasaan cemas atau depresi terasa berat dan berkepanjangan, jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog atau psikiater. Mereka bisa memberikan terapi dan dukungan yang tepat untuk membantu kamu mengatasi perasaan tersebut. Banyak perusahaan juga menyediakan program bantuan karyawan yang bisa kamu manfaatkan. 

Baca Juga: Hak Pekerja Perempuan di Indonesia yang Perlu Diketahui 

Melakukan Aktivitas Relaksasi 

Luangkan waktu untuk melakukan aktivitas yang dapat membantu kamu lebih rileks dan meredakan stres. Meditasi, yoga, dan latihan pernapasan dalam adalah beberapa contoh aktivitas yang bisa kamu coba. Aktivitas ini tidak hanya membantu menenangkan pikiran, tetapi juga memberikan waktu untuk diri sendiri di tengah kesibukan sehari-hari. 

Read More

Seperti Apa Rasanya Bekerja di Tahun 2030?

Kita sudah mencicil masa depan hari ini. Tepatnya ketika semakin banyak orang bekerja dari rumah atau dari belahan dunia lain. Kondisi di masa depan takkan jauh berbeda. Terlebih dengan teknologi digital, dunia wirausaha, orang-orang yang memiliki beberapa pekerjaan, pendapatan universal, atau bentuk-bentuk baru dari manajemen dan pemerintahan, bekerja di masa depan jadi kian fleksibel.

Perdebatan-perdebatan di atas yang fokus pada ketenagakerjaan, jenis-jenis pekerjaan, dan penerapan manajemen, memiliki satu manfaat: Memperjelas kemungkinan-kemungkinan pekerjaan di masa depan.

Baca Juga: Merayakan Perempuan Masa Depan

Kondisi Pekerjaan Masa Depan

Dalam penelitian berjudul “The future of work in 2030: four atmospheres?” atau “Masa depan dunia kerja di 2030: empat kondisi?”, lembaga riset internasional RGCS menawarkan beberapa pandangan mengenai pekerjaan di masa depan.

Kami mulai dengan menyajikan beberapa hal yang bertolak belakang yang terjadi dalam dunia kerja. Paradoks-paradoks ini menyoroti ketegangan dan dilema yang menyebabkan perubahan dalam dunia kerja, seperti: mobilitas versus kehidupan yang mapan; kewirausahaan versus ketergantungan; kebebasan versus keamanan; otonomi versus kontrol; digitalisasi versus dunia nyata, dan lain-lain.

Atas dasar ini, kami memperbarui gagasan mengenai kondisi dunia kerja, baik dalam konteks yang sederhana maupun yang bertolak belakang, untuk mendeskripsikan pekerjaan di hari ini dan masa depan.

Kondisi dunia kerja mengacu pada tempat, konteks, suasana hati, juga segala hal yang sulit untuk dijelaskan dalam sebuah lingkup kehidupan atau pekerjaan. Pada waktu yang bersamaan, komponen-komponen yang terlibat sangat konkret, yaitu; gestur, alat, tempat, praktik, sensasi, emosi, dan lain-lain. Namun mereka juga berbentuk “kuasi-materi” dan dapat dirasakan melalui cahaya, kata-kata, suara, dan tekstur yang menjadi perantara hubungan kita dengan pekerjaan. Kondisi di mana kita bekerja sangat menentukan ruang dan waktu saat kita hendak melakukan pekerjaan.

Karena itu, kami kemudian mengembangkan empat skenario, terkait dengan empat kondisi kerja, untuk membayangkan bagaimanakah dunia kerja pada tahun 2030;

  • Freelancing atau bekerja lepas. Bayangkan sebuah masyarakat yang sebagian besar terdiri dari pekerja lepas yang terhubung oleh platform global. Hal lain berupa transaksi. Suasana kerja menjadi lebih cair seperti yang dijelaskan oleh Z. Bauman;
  • Salaried atau bekerja di kantor dengan gaji tetap. Mereka menggambarkan sebuah dunia di mana pekerjaan bergaji tetap menjadi pusat operasi sebuah perusahaan. Kontrak kerja permanen dan dalam jangka waktu tertentu mengalami pengembangan dari sisi hukum, akan tetapi kontrak kerja tetap menjadi kunci dunia kerja dan ketenagakerjaan. Hal lain yang penting adalah kontrak. Kondisi menjadi bersifat teritorial dan mengakar;
  • Hybridisation atau hibridisasi. Hal ini mewakili terobosan yang lebih lanjut dari bentuk pekerjaan saat ini. Berbagai bentuk aktivitas pekerjaan kemudian diakomodasi. Setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda di satu waktu atau sesudahnya menjadi pekerja tetap atau wiraswastawan. Kondisi pekerjaan semacam itu memiliki sensasi yang berbeda-beda. Kebalikannya, hal yang lain yang penting adalah munculnya pribadi yang baru yang memunculkan manajemen pribadi yang bermacam-macam. Untuk beberapa hal, kondisi kerja tipe ini bersifat skizofrenik;
  • Pendapatan universal. Kondisi ini menggambarkan sebuah situasi yang mengutamakan aktivitas dibandingkan kinerja dan status. Bentuk-bentuk dari pekerjaan dengan gaji tetap dan kewirausahaan akan tetap ada, di samping juga ada solidaritas antar pekerja yang menyeluruh. Kondisi pekerjaan semacam ini ditandai dengan tindakan untuk memberi dan menciptakan kembali diri sendiri.

Tentu saja, skenario-skenario dan kondisi kerja yang terkait dapat dikombinasikan. Kita dapat membayangkan penggabungan antara bekerja lepas dan bekerja dengan gaji tetap bersamaan dengan kontrak jangka panjang. Kondisi kerja yang didominasi pekerja lepas dan pendapatan universal pun tampaknya cocok untuk kita. Empat kemungkinan ini memberikan kemungkinan praktis dan emosional yang dapat kita coba terapkan di masa depan.

Untuk menegaskan keyakinan ini, kami percaya bahwa masa depan dari dunia kerja akan penuh dengan kejutan. Dunia kerja di masa depan akan terus berkembang secara kreatif lebih dari telah dibicarakan di atas.

Baca Juga: 8 Pekerjaan yang Cocok untuk Kamu Si Kutu Buku

Dengan Masa Depan–atau Tidak dengan Masa Depan?

Suatu malam di musim panas pada 2025 di Montpellier’s Place de la Comédie, bayangkan ada empat orang yang mewakili empat kondisi pekerjaan di masa depan–Freelancia, Salaria, Hybridia, dan Solidaria, yang mewakili pendapatan universal. Empat karakter tersebut semuanya perempuan. Mereka masing-masing membawa masa depan pekerjaan. Kemiripan dengan orang lain, hidup atau mati, atau peristiwa nyata, bukan kebetulan. Dialog di bawah ini (yang dirinci dalam catatan riset kami) antara keempat individu iyetseniy menggambarkan pilihan-pilihan hidup yang spesifik, terkadang eksklusif, juga proyek sosial yang berkaitan dengan setiap skenario yang ada. Begini contohnya:

Hybridia: “Tiga tahun yang lalu, saya masih menjalani menjadi pekerja lepas. Dan apakah kamu ingat setelah SMA, saya memulai bisnis kecil kolaborasi seni itu? Tapi, saya pikir kamu terlalu resistan terhadap banyak hal, Freelancia! Mengapa tidak menikmati semua yang bisa kamu dapatkkan: waktu yang lebih bebas tapi juga ada jaminan rasa aman?

Freelancia: “Hanya ada 24 jam dalam sehari […]. Dengan adanya aktivitas lain yang saya lakukan, saya merasa berkhianat pada aktivitas saya yang pertama.”

[…]

Solidaria: “Anda tidak mau menghabiskan hidup anda dengan menjual omong kosong! Satu waktu Anda adalah “konsultan”, seorang “katalisator dalam inovasi” dan kini Anda “kepala dari unit bisnis wirausaha”. Apa langkah selanjutnya setelah itu? […] Apakah Anda tidak ingin melakukan sesuatu yang lebih bermakna? Untuk diri sendiri dan juga untuk orang lain?“

Salaria: “Aku tidak dapat hidup hanya makan cinta dan udara segar seperti Anda. Saya mengurus dua anak saya sendirian. Saya tahu berapa besar biaya yang akan saya keluarkan untuk pendidikan mereka. Saya ingin mereka mendapatkan pendidikan terbaik (…) yang akan memberikan mereka pendapatan yang cukup.”

Dialog ini terus berlanjut dengan hal yang lebih spesifik terkait aspek-aspek teknologi di balik skenario ini. Aspek tersebut mendiskusikan hubungan antara kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan bentuk-bentuk pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan biasa. Menggunakan sebuah metafora yang berhubungan dengan Mesir Kuno dan meminjam dari Michel Serres, kami menyarankan untuk mempertimbangkan telepon pintar dan kecerdasan buatan dari pekerja masa depan sebagai “ka”, seorang yang mirip kita tapi bersifat otonom. Kami pun mengangkat berbagai masalah masalah etika.

Sebagai kesimpulan, dengan tidak menggunakan bola kristal atau ramalan, penelitian kami bertujuan untuk menggarisbawahi pilihan-pilihan yang berhubungan dengan kehidupan kita, penggunaan teknologi, bentuk-bentuk pekerjaan (baik lama maupun baru), suara politik dan keterlibatan sipil yang, hingga saat ini, akan membuat skenario-skenario tertentu soal masa depan dunia kerja menjadi mungkin atau malah menghalanginya.

Baca Juga: 9 Pekerjaan Bergaji Tinggi yang Cocok untuk Orang Introvert

Artikel ini berdasarkan pada penelitian “Masa depan pekerjaan di 2030: empat kondisi?”_, yang ditulis oleh Francois-Xavier de Vaunjany (PSL, Paris-Dauphine University), Amelie Bohas (Aix-Marseille), Sabine Carton (Grenoble-Alpes University), Julie Fabbri (sekolah bisnis emlyon), dan Aurelie Leclercq-Vandelannoitte (CNRS, IESEG). Studi ini dilakukan dalam kerangka kerja jaringan penelitian internasional RGCS (Research Group on Collaborative Spaces), yang berfokus pada praktik-praktik kerja di masa depan.

François-Xavier de Vaujany, Professeur en management & théories des organisations, Université Paris Dauphine – PSL; Amélie Bohas, Maître de Conférences en Sciences de Gestion, Aix-Marseille Université (AMU); Aurélie Leclercq-Vandelannoitte, Chercheuse, CNRS, LEM (Lille Economie Management), IÉSEG School of Management; Julie Fabbri, Professeur en stratégie et management de l’innovation, EM Lyon Business School, dan Sabine Carton, Professeur en Management des Systèmes d’Information Grenoble IAE – CERAG, Grenoble IAE Graduate School of Management.

Read More
pengertian quarter life crisis

Pulanglah ‘Teng Go’, Terlalu Lama Kerja Bisa Bikin Stroke

Penelitian membuktikan banyak sekali risiko kesehatan yang mengintai orang yang bekerja terlalu lama. Misalnya, penelitian di Prancis menemukan bahwa bekerja terus-menerus selama sepuluh hari atau lebih dapat meningkatkan risiko terkena stroke.

Penelitian lain juga menemukan, pekerja yang memiliki jam kerja panjang cenderung memiliki kesehatan mental yang buruk dan kualitas tidur yang lebih rendah.

Orang dengan jam kerja yang panjang juga cenderung punya kebiasaan merokok, minum alkohol berlebihan, dan penambahan berat badan.

Baca juga: Tren Kaum Rebahan: Ada Pemberontakan, Ada Kenikmatan

Kerja Terlalu Lama Enggak Baik

Efek dari jam kerja yang panjang sangat beragam bagi kesehatan kita.

Studi dari Prancis yang melibatkan lebih dari 143.000 peserta itu menemukan bahwa mereka yang bekerja sepuluh jam atau lebih per hari selama setidaknya 50 hari dalam satu tahun berisiko terkena stroke 29% lebih tinggi.

Penelitian itu tidak menemukan hasil yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tapi menunjukkan risiko lebih tinggi pada pekerja kantoran di bawah usia 50 tahun.

Riset meta-analisis lain yang melibatkan data lebih dari 600 ribu orang, yang diterbitkan dalam jurnal medis Inggris The Lancet, ternyata menemukan efek yang sama. Karyawan yang bekerja 40 sampai 55 jam per minggu memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan mereka dengan jam kerja yang standar yaitu 35-40 jam per minggu.

bekerja terlalu lama tidak bagus
Jam kerja yang panjang dan risiko terkena stroke lebih tinggi pada pekerja kantoran. Bonneval Sebastien

Jam kerja yang tidak teratur, atau kerja shift, juga ditengarai berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan yang lebih buruk, termasuk gangguan jam biologis (yang menentukan kapan kita terbangun dan kapan kita tertidur), gangguan tidur, tingkat kecelakaan, kesehatan mental, dan risiko terkena serangan jantung.

Gangguan ini bukan pada fisik semata. Bekerja berjam-jam secara terus menerus juga menyebabkan ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang mengarah pada menurunnya kepuasan kerja dan kinerja, serta menurunnya kepuasan kehidupan dan hubungan pribadi.

Mengapa Kita Banyak Kerja?

Meskipun banyak negara telah memberlakukan batasan jumlah jam kerja per minggu, tetapi di seluruh dunia masih ada sekitar 22 persen pekerja yang bekerja lebih dari 48 jam seminggu. Di Jepang, jam kerja yang panjang adalah masalah yang begitu besar sampai-sampai karoshi – “kematian karena bekerja terlalu keras” – adalah penyebab kematian yang diakui secara hukum.

Australia berada di urutan ketiga terbawah dari negara-negara OECD – Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi – dalam hal jam kerja yang panjang, dengan 13% penduduknya memiliki jam kerja di atas 50 jam per minggu dalam pekerjaan berbayar.

Kekhawatiran seputar otomatisasi, pertumbuhan upah yang lambat, dan meningkatnya pengangguran menjadi alasan mengapa orang Australia bekerja lebih panjang. Sebuah studi pada 2018 menunjukkan bahwa orang Australia bekerja lembur tidak dibayar totalnya sekitar 3,2 miliar jam.

Pekerjaan sering tidak berakhir setelah mereka pulang kantor. Mereka melakukan pekerjaan ekstra di rumah, menerima telepon, atau menghadiri pertemuan online setelah jam kerja. Semakin banyak mereka yang tidak melakukan pekerjaan ekstra yang punya pekerjaan sampingan. Banyak orang Australia sekarang melakukan pekerjaan tambahan secara tidak tetap atau freelance.

Baca juga: #MerekaJugaPekerja: Jangan Biarkan Perempuan Kerjakan Semua Sendirian

Pengaruh Kendali Pekerjaan

Otonomi dan “keleluasaan keputusan” di tempat kerja–sejauh mana orang punya kendali dan dapat membuat keputusan atas pekerjaan mereka–adalah faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko masalah kesehatan.

Rendahnya keleluasaan keputusan dan juga kerja shift dikaitkan dengan risiko serangan jantung dan stroke yang lebih tinggi. Kendali individu memainkan peran penting dalam perilaku manusia; sejauh mana kita yakin kita memiliki kendali atas lingkungan kita, sangat mempengaruhi persepsi dan reaksi kita terhadap lingkungan itu.

Penelitian psikologi awal menunjukkan, misalnya, bahwa reaksi seseorang terhadap sengatan listrik sangat dipengaruhi oleh persepsi bahwa ia memiliki kendali atas sengatan itu (bahkan jika ia sebenar tidak punya kendali).

Pekerja yang memiliki sedikit kendali cenderung mengalami masalah kesehatan daripada mereka yang memiliki tingkat kendali yang tinggi. NeONBRAND

Temuan ini juga ada dalam data Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia. Semakin tinggi perbedaan antara jumlah jam kerja yang mereka inginkan dan jumlah jam kerja yang mereka lakukan, maka semakin turun tingkat kepuasan dan kesehatan mental. Hasil ini berlaku baik bagi pekerja yang bekerja berlebihan dan bagi mereka yang menginginkan jam kerja lebih lama.

Baca juga: Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan

Yang Bisa Dilakukan Perusahaan

Komunikasi yang efektif dengan karyawan itu penting. Karyawan bisa jadi tidak dapat menyelesaikan pekerjaan mereka dalam jam normal karena, misalnya, harus menghabiskan banyak waktu dalam rapat.

Perusahaan dapat mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan yang dapat memastikan bahwa jam kerja yang panjang tidak terjadi terus menerus. Di Australia, ada acara tahunan Go Home on Time Day, yaitu pulang ke rumah tepat waktu, untuk mendorong karyawan mencapai keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan. Walau inisiatif ini meningkatkan kesadaran akan jam kerja, orang seharusnya selalu pulang tepat waktu, bukan sekali-sekali.

Meningkatkan masukan karyawan ke dalam jadwal dan jam kerja mereka dapat memiliki dampak positif pada kinerja dan kesejahteraan mereka sendiri.

Merancang tempat kerja yang mengutamakan kesejahteraan juga penting. Penelitian tentang kerja shift menunjukkan bahwa memperbaiki tempat kerja dengan menyediakan makanan, perawatan anak, perawatan kesehatan, transportasi yang mudah diakses, dan fasilitas rekreasi dapat mengurangi efek buruk dari kerja shift.

Dengan meningkatkan kondisi dan fungsi tempat kerja, pengusaha dapat membantu memperbaiki dampak negatif kesehatan dari pekerjaan shift. Asael Peña

Terakhir, menerapkan praktik kerja yang fleksibel sehingga karyawan memiliki kendali atas jadwal mereka untuk mendorong keseimbangan kehidupan kerja terbukti memiliki efek positif pada kesejahteraan mereka.

Inisiatif-inisiatif semacam ini membutuhkan dukungan berkelanjutan. Jepang mengadakan Jumat Premium, yaitu gerakan yang mendorong karyawan untuk pulang jam 3 sore sebulan sekali. Namun, hasil awal menunjukkan bahwa hanya 3,7 persen karyawan yang melaksanakan inisiatif tersebut. Hasil rendah ini dapat dikaitkan jam kerja panjang yang sudah jadi budaya dan pola pikir kelompok: karyawan tidak ingin merepotkan rekan kerja saat mereka mengambil cuti.

Dengan meningkatnya kekhawatiran tentang jaminan pekerjaan, dan budaya yang menganggap jam kerja panjang adalah hal wajar, perubahan mungkin tidak cepat terjadi. Padahal kita semua tahu bahwa jam kerja panjang tidak baik untuk kesehatan.

Libby (Elizabeth) Sander, Assistant Professor of Organisational Behaviour, Bond Business School, Bond University. Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Read More

Office Gossip isn’t Just Idle Chatter. It’s a Valuable but Risky

Gossip flows through the offices and lunchrooms of our workplaces, seemingly filling idle time. But perhaps, through these ubiquitous and intriguing conversations, we are influencing our workplace relationships more than we realise.

Is gossiping a route to friendship or a surefire way to make workplace enemies? It turns out the answer hinges on how the recipient of the gossip perceives the intentions of the gossiper.

Workplace gossip – defined as informal and evaluative talk about absent colleagues – is pervasive yet often misunderstood.

Traditionally frowned upon and branded as unproductive or even deviant, recent research paints a more complex picture of gossip.

While some studies imply that gossip leads to friendships between coworkers, others suggest it undermines workplace relationships. Our research indicates these apparently contradictory findings stem from misunderstanding the nuances of how gossip shapes workplace social relations.

We focused on gossip recipients – the listeners – and asked how they perceived these exchanges, and what effect receiving gossip had on their relationships with coworkers.

Also read: ‘The Power of Gossip’: Bisa Membunuh tapi Tak Melulu Buruk

Understanding Workplace Gossip

Researchers use three frameworks or concepts to make sense of workplace gossip.

The “exchange perspective” holds that gossip binds coworkers to one another through a sort of quid pro quo. A colleague may offer informational morsels, with an expectation of social support and inside information in return.

The “reputational information perspective” focuses on how gossip shapes recipients’ views of targets – the people the gossip is about. Vital information might be shared to warn others about toxic personalities or to signal someone as particularly trustworthy.

Finally, the “gossip valence” refers to whether gossip conveys positive or negative information about its target.

The Effect of Hearing Gossip

Our research looks at how gossip affects the recipient’s perception of the person sharing the gossip.

Data was collected from participants using two techniques: written incident reports and follow-up interviews. This approach provided the researchers with detailed descriptions of how workplace gossip incidents affected interpersonal relationships from the recipient’s perspective.

Our findings show that the recipients’ perceptions of these exchanges matter a great deal. In particular, their interpretation of the gossiper’s intentions can set off a chain reaction.

If the recipient judges the gossiper’s intentions as genuine and authentic – a way of opening up about one’s real views of coworkers – gossip can spark a new friendship or rekindle an old one.

When one person says, “I find it so frustrating when Mark talks down to me like that”, for example, the recipient has been trusted with the gossiper’s true feelings about Mark, a problematic colleague. This creates a stronger bond – especially if the recipient agrees with the opinion.

Curiously – and perhaps a little worryingly – we found negative gossip was a stronger way of building friendships than positive gossip, provided intentions were interpreted as genuine.

If the recipient evaluates the intention as prosocial – in other words, sharing accurate and valuable information that benefits people other than the gossiper – trust increases and collegial relationships are strengthened.

As one research participant explained:

I actually noticed that the source is the kind of guy that only really says positive things about people […] That’s why I think I began to trust him because he doesn’t run people down too much.

If the gossiper’s intentions are perceived as self-serving, the recipient’s trust in them goes down and there’s little likelihood of the two becoming friends.

One participant explained:

They said this to damage her reputation and cause drama in the workplace.

While another said:

After listening to him gossiping about another waitress, I felt very uncomfortable. I was afraid of him saying negative things about me if I make mistakes.

Also Read: Gosip, Penyihir, dan Usaha Mencabut Taring Perempuan

Not Just Idle Chatter

Our study supports the idea that gossip isn’t merely idle chatter but a valuable (and risky) social currency.

We often engage in gossip without even thinking about why we’re doing so. But our findings show other people pay a lot of attention to our motivations for gossiping.

Given we have little control over how our intentions are interpreted by others, this study is a timely reminder to think before you share gossip.

Rachel Morrison, Associate Professor, Auckland University of Technology; Helena Cooper Thomas, Professor, Auckland University of Technology, dan James Greenslade-Yeats, Research Fellow in Management, Auckland University of Technology.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More
Cara Mengatasi stres di tempat kerja

Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas

Stres di tempat kerja merupakan masalah umum yang sering dihadapi banyak orang. Ini bisa memengaruhi kesejahteraan mental dan fisik seseorang, serta berdampak pada produktivitas dan kebahagiaan di tempat kerja. Untuk memahami bagaimana mengatasi stres di tempat kerja, pertama-tama kita perlu memahami penyebab utamanya.

Dikutip dari Better Up, What is workplace stress, and what are its effects?, istilah “stres” sendiri mengacu pada respons tubuh terhadap tekanan atau tuntutan yang dialami seseorang di lingkungan kerja. Namun, penting untuk dipahami bahwa tingkat stres yang dialami setiap individu dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk jenis pekerjaan, lingkungan kerja, dan faktor personal.

Pada dasarnya, stres di tempat kerja dapat timbul dari berbagai sumber, mulai dari tuntutan pekerjaan yang berlebihan hingga konflik interpersonal. Misalnya, seorang pekerja mungkin merasa tertekan karena harus menyelesaikan banyak tugas dalam waktu yang singkat atau karena merasa kurang dihargai oleh atasan atau rekan kerja. Selain itu, adanya ketidakpastian dalam pekerjaan atau perubahan yang cepat di tempat kerja juga dapat meningkatkan tingkat stres seseorang.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua stres bersifat negatif. Sejumlah kecil stres dapat membantu meningkatkan performa seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Namun, masalah timbul ketika tingkat stress seseorang menjadi terlalu tinggi atau terus-menerus, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan fisik dan mental seseorang.

Oleh karena itu, pemahaman yang lebih baik tentang penyebab stres di tempat kerja serta cara mengelolanya menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu stres dan mengembangkan strategi untuk mengatasi serta mencegahnya, individu dan organisasi dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan dan keberhasilan bersama.

Baca Juga: Tanda Kamu ‘Workaholic’: Kerja Berlebihan Itu Baik atau Buruk?

Faktor-faktor yang Memicu Stres di Tempat Kerja

Dikutip dari Positive Psychology, 16 Causes of Workplace Stress & How to Prevent Its Effects, stres di tempat kerja bisa timbul dari berbagai faktor yang berbeda, baik yang terkait dengan tugas-tugas pekerjaan maupun dengan interaksi sosial di lingkungan kerja. Memahami faktor-faktor ini adalah langkah pertama dalam mengatasi dan mencegah stres di tempat kerja.

  1. Beban Kerja yang Berlebihan: Salah satu faktor utama yang memicu stres adalah beban kerja yang berlebihan. Ketika seseorang memiliki terlalu banyak tugas yang harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas, ini dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi. Rasa tertekan untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan cepat dan tepat bisa menjadi pemicu stres yang signifikan.
  2. Konflik Interpersonal: Konflik antar rekan kerja atau dengan atasan juga dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi di tempat kerja. Ketidakharmonisan dalam hubungan kerja bisa menciptakan lingkungan yang tidak menyenangkan dan membuat seseorang merasa tegang dan tidak nyaman saat bekerja.
  3. Kurangnya Dukungan dari Atasan: Ketika seorang karyawan merasa bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari atasan mereka, ini bisa menjadi sumber stres yang besar. Rasa tidak dihargai atau tidak didengarkan oleh atasan dapat menghasilkan perasaan ketidakpastian dan kecemasan tentang masa depan pekerjaan mereka.
  4. Tuntutan Deadline yang Ketat: Tuntutan untuk menyelesaikan proyek-proyek dalam waktu yang singkat atau dengan batas waktu yang ketat juga dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi. Ketika seseorang merasa terburu-buru atau tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik, ini dapat menciptakan tekanan tambahan yang sulit diatasi.
  5. Ketidakpastian dalam Pekerjaan: Ketidakpastian tentang masa depan pekerjaan atau perubahan yang cepat di tempat kerja juga bisa menjadi sumber stres. Misalnya, rencana restrukturisasi perusahaan atau pengurangan jumlah karyawan dapat menciptakan ketidakpastian dan kecemasan tentang keamanan pekerjaan seseorang.

Baca Juga: ‘Holiday Stress’: Memahami Stres yang Datang Menjelang Liburan

Strategi Mengatasi Stres di Tempat Kerja

Menghadapi stres di tempat kerja adalah bagian penting dari menjaga kesejahteraan fisik dan mental. Dikutip dari Verywell Mind, 9 Ways to Cope With Work Stress and Avoid Burnout, berikut adalah beberapa strategi yang dapat membantu mengatasi tingkat stres yang tinggi di lingkungan kerja:

  • Menetapkan Batas Waktu dan Prioritas: Penting untuk menetapkan batas waktu yang jelas untuk menyelesaikan tugas-tugas dan menetapkan prioritas dalam pekerjaan. Dengan membuat jadwal yang terorganisir dan realistis, seseorang dapat menghindari kelebihan beban dan merasa lebih teratur dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
  • Membangun Hubungan Kerja yang Sehat: Komunikasi terbuka dan kerja sama tim yang baik dapat membantu mengurangi tingkat stres di tempat kerja. Memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung dan memperkuat rasa keterikatan antar anggota tim.

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

  • Mengambil Istirahat yang Cukup: Penting untuk mengambil istirahat secara teratur selama jam kerja untuk menghindari kelelahan dan kelelahan yang berlebihan. Berjalan-jalan sebentar atau mengambil waktu untuk minum secangkir kopi dapat membantu mengembalikan energi dan memperbarui pikiran.
  • Mengelola Konflik dengan Bijaksana: Konflik interpersonal adalah bagian dari kehidupan di tempat kerja, tetapi cara kita mengelola konflik tersebut dapat membuat perbedaan besar dalam tingkat stres yang kita alami. Belajar untuk menghadapi konflik dengan kepala dingin dan mencari solusi yang baik bagi semua pihak dapat membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan suasana kerja yang positif.
  • Melakukan Teknik Relaksasi: Teknik-teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga dapat membantu mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas-aktivitas ini secara teratur dapat membantu seseorang mengatasi stres dengan lebih efektif.
Read More