Sebagai ilmuwan sosial yang sudah berpengalaman menggelar riset psikologi tentang seks dan gender selama hampir 50 tahun, saya setuju bahwa bawaan biologis antar jenis kelamin mungkin merupakan sebagian alasan mengapa jumlah pekerja perempuan di bidang teknologi di Silicon Valley lebih sedikit dibanding laki-laki.
Namun, jalan yang menghubungkan bawaan biologis dan pekerjaan itu panjang dan berliku, sehingga relevansi dari penyebab non-biologis tidak bisa dikesampingkan. Berikut ini adalah apa yang diungkap oleh berbagai riset tentang ini.
Benarkah Perempuan Kurang Cocok Menggeluti Bidang Teknologi?
Tidak ada bukti sebab akibat langsung yang menunjukkan bawaan biologis menyebabkan kurangnya perempuan dalam pekerjaan teknologi. Namun banyak, bahkan sebagian besar psikolog, mempercayai gagasan umum bahwa tingkat hormon pada masa sebelum kelahiran dan awal pascakelahiran seperti testosteron dan androgen (keduanya terkait dengan jenis kelamin laki-laki) mempengaruhi psikologi manusia.
Pembatasan etis jelas menghalangi eksperimen pada janin manusia dan bayi untuk memahami efek dari paparan laki-laki yang lebih besar terhadap testosteron. Sebagai gantinya, peneliti mempelajari individu yang terpapar lingkungan hormonal yang abnormal karena kondisi genetik yang tidak biasa atau obat aktif hormonal yang diresepkan untuk perempuan hamil.
Studi-studi mengenai ini menunjukkan bahwa paparan hormon androgen di masa pembentukan memang memiliki efek maskulin terhadap preferensi dan perilaku bermain remaja putri, agresi, orientasi seksual dan identitas gender, kemungkinan juga pada kemampuan spasial serta tingkat respons terhadap informasi perilaku tertentu yang menurut budaya adalah sifat perempuan.
Studi lain menjawab pertanyaan bawaan alamiah versus pengasuhan dengan membandingkan perilaku anak laki-laki dan perempuan usia dini yang masih belum terpengaruh oleh tatanan sosial.
Tanda-tanda perbedaan berdasar jenis kelamin muncul di awal, terutama pada dimensi temperamen. Salah satu dimensi tersebut adalah apa yang oleh psikolog disebut “surgency”. Ini lebih kelihatan di anak laki-laki dan bermanifestasi dalam aktivitas motorik, sikap impulsif, dan kecenderungan mencari kesenangan dari aktivitas dengan intensitas tinggi.
Dimensi lainnya adalah dalam apa yang kita sebut “effortful control” atau kendali penuh upaya, yang lebih tampak di anak perempuan dan muncul dalam bentuk kemampuan mengatur diri, kemampuan konsentrasi yang lebih lama, juga kemampuan untuk fokus dan bergeser fokus, serta menahan diri dari hal-hal yang merugikan diri sendiri. Aspek temperamen ini juga mencakup kepekaan dan pengalaman persepsi yang lebih baik dari melakukan aktivitas berintensitas rendah.
Penelitian tentang temperamen ini menunjukkan bahwa alam menanamkan beberapa perbedaan jenis kelamin secara psikologis. Namun, para ilmuwan tidak sepenuhnya memahami jalur dari aspek temperamen anak menuju kepribadian dan kemampuan orang dewasa.
Adakah Perbedaan Gender Terkait Sifat-sifat yang Menyangkut Teknologi?
Pendekatan lain berkait isu perempuan di bidang teknologi melibatkan perbandingan jenis kelamin dengan sifat-sifat yang dianggap paling relevan dengan partisipasi di bidang teknologi. Dalam kasus ini, tidak masalah apakah sifat-sifat ini bawaan atau terbentuk dari pengasuhan. Yang paling lazim disebut termasuk kemampuan matematis dan spasial.
Di Amerika Serikat, dahulu kemampuan matematis rata-rata anak laki-laki cenderung lebih tinggi, tapi sekarang tidak lagi. Dahulu juga jumlah anak laki-laki lebih banyak dalam hal meraih skor tertinggi di tes matematika yang sulit, tetapi jumlah ini telah menurun.
Namun, laki-laki cenderung memperoleh nilai lebih tinggi pada sebagian besar tes kemampuan spasial, terutama tes yang secara mental memutar objek tiga dimensi, dan keterampilan ini tampaknya penting di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika).
Tentu saja orang memilih pekerjaan berdasarkan minat dan kemampuan mereka. Jadi, perbedaan jenis kelamin yang besar terkait minat yang berorientasi pada orang versus berorientasi pada benda patut dipertimbangkan.
Penelitian menunjukkan bahwa, secara umum, perempuan lebih tertarik pada orang dibandingkan dengan laki-laki, yang lebih tertarik pada benda. Sepanjang pekerjaan teknologi lebih berkenaan dengan benda ketimbang orang, maka laki-laki rata-rata akan lebih tertarik kepada pekerjaan itu.
Baca juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia
Misalnya, posisi seperti insinyur sistem komputer dan arsitek jaringan dan basis data memerlukan pengetahuan luas tentang elektronik, matematika, prinsip perekayasaan, dan sistem telekomunikasi. Untuk berprestasi dalam pekerjaan semacam itu tidak membutuhkan kualitas seperti kepekaan sosial dan kecerdasan emosional seperti pekerjaan di, misalnya, bidang pendidikan anak usia dini dan pemasaran barang ritel.
Perempuan dan laki-laki juga cenderung berbeda dalam hal tujuan hidup. Perempuan menempatkan prioritas lebih tinggi untuk bekerja dengan dan membantu orang lain. Pekerjaan di STEM pada umumnya dipandang tidak menyediakan banyak kesempatan untuk memuaskan tujuan hidup ini.
Namun, teknologi memang menawarkan spesialisasi yang memprioritaskan tujuan sosial dan komunitas (seperti merancang sistem perawatan kesehatan) atau menghargai keterampilan sosial (misalnya, mengoptimalkan interaksi orang dengan mesin dan informasi). Posisi seperti itu mungkin rata-rata relatif menarik bagi perempuan. Secara umum, perempuan mempunyai kemampuan lebih dalam membaca, menulis, serta keterampilan sosial. Ini akan menguntungkan mereka dalam banyak pekerjaan.
Hampir semua perbedaan jenis kelamin tumpang tindih antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, meski perbedaan jenis kelamin cukup besar dalam hal tinggi badan rata-rata, beberapa perempuan lebih tinggi dari kebanyakan laki-laki dan beberapa laki-laki lebih pendek daripada kebanyakan perempuan.
Meski perbedaan psikologis berdasar jenis kelamin secara statistik lebih kecil daripada perbedaan tinggi ini, beberapa perbedaan yang paling relevan dengan teknologi cukup penting, terutama minat terhadap orang versus minat terhadap benda dan kemampuan spasial dalam hal rotasi mental.
Jika Bukan Biologi, Lalu Apa Penyebabnya?
Mengingat tidak adanya bukti yang jelas bahwa kemampuan dan minat yang berkaitan dengan teknologi terutama berasal dari biologi, ada banyak ruang untuk mempertimbangkan pola pergaulan dan stereotip gender.
Manusia dilahirkan belum berkembang, maka orang tua dan orang lain mengajarkan berbagai kode-kode sosial yang umumnya dimaksudkan untuk membentuk kepribadian dan keterampilan yang mereka pikir akan membantu keturunan mereka menjalani hidup mereka di masa depan.
Pengasuh cenderung mempromosikan kegiatan dan minat khas jenis kelamin tertentu kepada anak-anak—boneka untuk anak perempuan, truk mainan untuk anak laki-laki. Sosialisasi konvensional dapat membuat anak-anak mengambil pilihan karier konvensional.
Bahkan, anak-anak yang masih kecil pun membentuk stereotip gender karena mereka mengamati perempuan dan laki-laki yang memberlakukan pembagian kerja di masyarakat mereka. Mereka secara otomatis belajar tentang gender dari apa yang orang dewasa lakukan di rumah dan di tempat kerja.
Baca juga: Kania Suciati dan Mimpi Inklusivitas Perempuan di Dunia STEM
Akhirnya, untuk menjelaskan perbedaan yang mereka lihat pada apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan dan bagaimana mereka melakukannya, anak-anak menarik kesimpulan bahwa jenis kelamin sampai batas tertentu memiliki sifat dasar yang berbeda. Adanya pembagian kerja mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki atribut yang berbeda.
Stereotip gender biasanya mencakup keyakinan bahwa perempuan lebih hangat dan perhatian pada orang lain, yang oleh psikolog disebut komunal. Stereotip juga menunjukkan bahwa laki-laki memiliki lebih bersifat tegas dan dominan, yang oleh psikolog disebut agen. Stereotip ini dibagi dalam budaya dan membentuk identitas gender individu serta norma masyarakat tentang perilaku perempuan dan laki-laki yang cocok.
Stereotip gender menyediakan tempat bagi prasangka dan diskriminasi yang ditujukan kepada mereka yang menyimpang dari norma gender. Jika, misalnya, orang menerima stereotip bahwa perempuan bersikap hangat dan emosional namun tidak tangguh dan rasional, perekrut karyawan dapat menutup perempuan dari banyak pekerjaan teknologi dan perekayasaan, bahkan perempuan yang tidak khas jenis kelamin mereka.
Selain itu, perempuan di bidang teknologi yang berbakat mungkin goyah jika mereka sendiri menginternalisasi stereotip masyarakat tentang inferioritas perempuan dalam atribut yang cocok untuk teknologi. Juga, kecemasan perempuan bahwa mereka mengonfirmasi stereotip negatif ini dapat menurunkan kinerja aktual mereka.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa penelitian mengungkap bukti bahwa perempuan umumnya harus memenuhi standar yang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan dan pengakuan di bidang yang berbudaya maskulin dan didominasi laki-laki. Namun, ada beberapa bukti baru-baru ini bahwa perempuan lebih berpeluang direkrut di institusi penelitian bidang STEM di Amerika Serikat.
Perempuan berkualifikasi yang melamar posisi di sana lebih berpeluang untuk diwawancarai dan menerima tawaran daripada kandidat laki-laki. Simulasi eksperimental perekrutan fakultas STEM menghasilkan temuan serupa.
Mengapa Bukan Bawaan dan Pengasuhan?
Banyak pakar membuat kesalahan dengan mengasumsikan bahwa bukti ilmiah yang mendukung penyebab sosial budaya bagi kelangkaan perempuan di bidang teknologi membuat penyebab biologis tidak valid, atau sebaliknya. Asumsi ini terlalu sederhana karena perilaku manusia yang paling kompleks mencerminkan beberapa campuran bakat bawaan dan pengasuhan.
Dan wacana tersebut selanjutnya dikompromikan karena debat menjadi lebih dipolitisasi. Berdebat untuk alasan sosiokultural tampaknya sikap yang lebih progresif dan benar secara politis saat ini. Berdebat untuk penyebab biologis tampak seperti posisi yang lebih konservatif dan reaksioner. Terlibat dalam perang ideologis malah akan mengalihkan perhatian dari memikirkan perubahan apa dalam praktik dan budaya organisasi yang akan mendorong masuknya perempuan di bidang teknologi dan tenaga kerja ilmiah pada umumnya.
Baca juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM
Mempolitisasi perdebatan semacam itu mengancam kemajuan ilmiah dan tidak membantu mengungkap apakah sebuah organisasi adil dan beragam dan bagaimana mendorongnya agar demikian. Sayangnya, maksud baik organisasi untuk mempromosikan keragaman dan inklusi tidak efektif, sering kali karena terlalu memaksakan dan membatasi otonomi manajer.
Bagaimanapun, baik sains yang berorientasi bawaan atau pengasuhan tidak dapat sepenuhnya menjelaskan jumlah perempuan yang lebih sedikit dalam pekerjaan teknologi. Sikap yang koheren dan berpikiran terbuka bisa menerima kemungkinan baik pengaruh biologis maupun sosial terhadap minat dan kompetensi karier.
Terlepas dari apakah bakat atau pengasuhan lebih kuat untuk menjelaskan kurangnya jumlah perempuan di bidang teknologi, orang harus waspada terhadap tindakan berdasarkan asumsi biner gender. Lebih masuk akal untuk memperlakukan individu dari kedua jenis kelamin dengan memosisikan mereka pada rentang kemampuan maskulin dan feminin yang luas dan beragam.
Memperlakukan orang sebagai individu dan bukan sekadar stereotip mereka sebagai laki-laki atau perempuan itu sulit, mengingat penilaian stereotip otomatis muncul di diri kita. Tapi bekerja menuju tujuan ini akan mendorong kesetaraan dan keragaman di bidang teknologi dan sektor ekonomi lainnya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Alice H. Eagly adalah profesor Psikologi, Faculty Fellow Institute for Policy Research dan profesor Manajemen dan Organisasi, Northwestern University.
Read More