Petani Perempuan di Garda Depan Industri Kopi

Urusan kopi, mulai dari penikmat, pebisnis, hingga petani, kerap dicap maskulin karena didominasi para lelaki. Bahkan, keterlibatan petani kopi perempuan tak otomatis membuat industri ini menjadi lebih setara. Pasalnya, mayoritas penentu keputusan, dari menentukan harga kopi sampai transaksi jual beli, masih dikontrol oleh laki-laki.

Untuk menggeser kesan maskulin di industri kopi, yang dibutuhkan adalah melibatkan perempuan lebih banyak serta menciptakan sistem yang adil untuk mereka. Dalam sebuah diskusi daring, peneliti dan spesialis gender World Agroforestry (ICRAF), Elok Mulyoutami menuturkan, kesetaraan gender dapat dihasilkan dalam sistem agroforestri kopi.

Sistem ini telah diterapkan dalam skala nasional dan internasional, dengan menanam pohon atau tanaman pelindung sesuai dengan jarak tanam yang diatur sedemikian rupa. Tujuannya untuk menggenjot produksi kopi sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim.

Mengapa sistem agroforestri ini perlu diimplementasikan pada kopi? Karena para petani kopi hanya menikmati hasil panen sebanyak satu kali dalam setahun. Karenanya, tanaman yang digunakan sebagai alternatif pun bersifat komersial, seperti rempah-rempah, buah, dan sayur.

Dari situlah, kata Elok, diharapkan ada pembagian relasi yang adil antara lelaki dan perempuan.

“Misalnya dalam pembagian tugas dalam berkebun kopi, pembagian pendapatan, akses terhadap kehidupan rumah tangga, manajemen waktu, keuangan, pengambilan keputusan rumah tangga, serta akses untuk mendapatkan pembangunan kapasitas,” ujarnya.

Baca Juga: Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan

Intervensi Gender Mendesak dalam Pertanian Kopi

Berdasarkan data Lota Bertulfo dalam “The Conference Board of Canada” terkait peranan gender di industri kopi, sebagian besar tugas dalam produksi kopi masih dilakukan oleh petani laki-laki. Jika diperinci, kelompok ini mengerjakan sembilan rangkaian kerja, dari persiapan lahan, pembenihan, hingga penyimpanan. Sementara, tugas petani perempuan terbagi menjadi lima bagian, dari penanaman hingga pemilihan.

Dari pembagian itu saja sudah tampak ada perbedaan peran, di mana laki-laki lebih difokuskan untuk mengurus lahan. Intervensi gender di sini diperlukan sebagai salah satu langkah untuk menjembatani ketimpangan peran itu. 

ICRAF meneliti 125 responden pada September hingga Oktober 2020 di Kecamatan Dempo Tengah dan Dempo Utara dan terbukti, intervensi gender dalam sistem agroforestri kopi tidak berdampak negatif pada kualitas rumah tangga. Suami istri petani kopi justru jadi saling mendukung dan melengkapi. Namun, masih ada risiko ketidakseimbangan hubungan, mengingat lelaki masih dianggap sebagai kepala rumah tangga yang memegang kunci terakhir pengambilan keputusan.

Merespons ini, Do Ngoc Sy, Sustainability Manager Jacobs Douwe Egberts (JDE) menjelaskan, peran perempuan harus selalu ada dalam sistem rantai nilai kopi. 

“Jika diabaikan, maka kita akan kehilangan potensi peningkatan produktivitas dan kesejahteraan bagi keluarga petani secara keseluruhan,” ujarnya.

Baca Juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Keterlibatan Petani Perempuan dalam Agroforestri Kopi

Berikutnya, kerja sama antara perempuan dan laki-laki dinilai mampu mengembangkan produktivitas usaha kopi. Hubungan ini didukung oleh S&D SUCDEN COFFEE sebagai green coffee merchant berskala global.

“S&D SUCDEN COFFEE telah bekerja sama dengan beberapa mitra dalam program peningkatan kapasitas praktik pertanian yang baik, bagi para petani, khususnya petani perempuan agar dapat membuka peluang bagi mereka dalam meningkatkan kapasitasnya,” ujar Veronika Semelkova, Sustainability Manager S&D SUCDEN COFFEE.

Sayangnya, sejauh ini keterlibatan perempuan dalam agroforestri kopi tergolong masih minim. Sartika Monalisa, Robusta Master Trainer Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) berujar, di Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, hanya terdapat 20 persen kelompok petani perempuan dengan perwakilan tiga kelompok per desa. Padahal, petani perempuan memiliki pengaruh dalam kemajuan perekonomian keluarga. Mereka bisa melakukan sembilan pekerjaan laki-laki di kebun saat sedang dibutuhkan, sehingga produksi jalan terus dan pendapatan keluarga tetap stabil.

Lalu apa solusinya?

Dengan menyelenggarakan pelatihan yang tepat, kepercayaan diri, kemampuan, dan keterampilan perempuan cenderung mudah ditingkatkan. Mereka juga bisa memiliki kesadaran tentang kapabilitas diri agar terbentuk keinginan untuk terlibat.

Baca Juga: Seabad Lebih Setelah Kartini Gagas Emansipasi Perempuan, Kesetaraan Gender Masih Jadi PR

“Ada stigma di masyarakat kalau perempuan enggak perlu ikut pelatihan, lebih baik di rumah saja, sehingga mereka merasa tidak berhak mendapatkan kesempatan tersebut,” tutur Elok

Dengan memberikan ruang kontribusi lebih besar bagi perempuan, cakupan yang dibantu tak hanya sebatas perekonomian keluarga. Perempuan juga memiliki kemampuan lebih baik untuk berbagai pengetahuan secara detil kepada orang lain.

“Sudah saatnya perempuan diberikan kesempatan untuk berperan optimal sebagai aktor utama dalam menciptakan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan,” pungkas Elok.

Read More
pengusaha perempuan

Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Banyak orang menekuni profesi yang berbeda jauh dari latar belakang pendidikan formalnya, tak terkecuali seniman daur ulang Intan Anggita Pratiwie. Ia adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, yang kemudian meraih gelar master di bidang seni pertunjukan dari Institut Musik Daya Indonesia. Dunia daur ulang yang ditekuninya saat ini adalah passion sejak lama yang dipengaruhi oleh kegiatan kedua orang tuanya. 

brand setali indonesia

“Bapak saya refurbished mobil lama seperti baru lagi. Ibu saya melakukan vermak baju,” kata Intan melalui e-mail kepada Magdalene

Ketertarikannya terhadap isu pengurangan sampah fashion selalu didukung oleh sang suami, Aria Anggadwipa. Bersama Aria, Intan pernah mengadvokasi berbagai isu di Indonesia Timur, yang didokumentasikan di laman menujutimur.com (kini tidak aktif lagi). Untuk membiayai kegiatan tersebut, Intan mendirikan merek pakaian daur ulang Sight From The East, yang saat ini telah berubah nama menjadi Sight From The Earth.    

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

“Pada 2012, istilah sustainable fashion di Indonesia belum populer. Saat itu yang kami lakukan adalah mendaur ulang denim dan tenun,” ujar perempuan berusia 35 tahun ini.  

Salah satu kegiatan advokasi yang dilakukan Intan adalah mendampingi Papa Jo, seorang pegiat bank sampah dari Labuan Bajo, yang pada 2013 diundang oleh badan PBB untuk urusan lingkungan (UNEP) ke Workshop on Marine Litter di Okinawa, Jepang. 

Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Pada acara tersebut, Intan semakin memperluas wawasannya di isu keberlanjutan setelah berkenalan dengan aktivis pengelolaan sampah dari seluruh dunia. Lima tahun kemudian, dia berkontribusi dalam mendirikan Setali, sebuah yayasan yang bergerak di isu fashion berkelanjutan.  

“Saya diajak (penyanyi) Andien yang (saat itu) telah terlebih dahulu memiliki Salur Indonesia. Ada kemacetan bottle neck dalam mengelola barang donasi di Salur. Berhubung saya hobi mendaur ulang, akhirnya limbah fashion tersebut dikelola dan diperpanjang menjadi barang baru,” ujar Intan.  

“Kami akhirnya sepakat untuk mengubah misi menjadi lebih fokus di sustainable fashion dan mengganti nama menjadi Setali Indonesia,” ia menambahkan. 

Pada Oktober mendatang, Intan akan memamerkan karyanya di Paris Fashion Week. Kesuksesannya menembus salah satu pekan mode terbesar ini diraih setelah mendaftar di Fashion Division, melewati tahapan wawancara dan lainnya hingga kemudian terpilih.

Intan Membumikan Isu Sampah Fashion 

Intan Membumikan Isu Sampah Fashion

Industri mode adalah salah satu polutan terbesar di dunia. Menurut sebuah penelitian berjudul The environmental price of fast fashion yang diterbitkan oleh nature.com pada tahun 2020, industri ini menghasilkan 8-10 persen emisi karbondioksida global  (4-5 miliar ton per tahun). 

Industri ini juga menghabiskan banyak air (79 triliun liter per tahun), bertanggung jawab hampir 20 persen dari polusi air limbah seluruh industri setiap tahunnya, menyumbang 35 persen (190.000 ton per tahun) dari polusi mikroplastik di laut, dan menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah sangat besar (92 juta ton per tahun). 

Melihat begitu besarnya dampak sampah mode, Setali juga menerima sumbangan pakaian bekas, yang kemudian diperpanjang usianya dengan cara didaur ulang untuk dijadikan produk baru yang bernilai jual. 

Masyarakat yang ingin menyumbang harus menaati syarat-syarat yang telah ditetapkan. Misalnya, jika seseorang ingin mendonasikan kain atau pakaian tidak layak pakai, dia harus mengguntingnya untuk dijadikan perca agar lebih mudah didaur ulang. Kendati demikian, ada kalanya penyumbang melanggar ketentuan tersebut. 

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

“Banyak pula yang membuang sampah seperti boneka yang sudah tidak berbentuk lagi. Lalu, (untuk mengatasi hal ini), kami minta orang-orang mengirim foto terlebih dahulu, tapi tetap saja cara itu tidak efektif. Akhirnya, kami menjadikan (layanan ini) langganan berbayar supaya dapat mengelolanya lebih baik dan berkelanjutan,” ujar pebisnis perempuan ini.  

Mengurangi limbah fashion adalah kerja kolektif yang memerlukan kontribusi banyak pihak. Selain mengolah sampah pakaian hasil sumbangan ke Setali bersama rekan-rekannya sesama seniman daur ulang, Intan juga menjalin kerja sama dengan pihak lainnya untuk memfasilitasi agar masyarakat dapat menaruh pakaian bekas di kotak-kotak yang disediakan di tempat-tempat tertentu. 

Pebisnis Perempuan Intan Anggita Pratiwie

“Kami sempat bekerja sama dengan Carsome (tempat jual beli mobil bekas), Kirei Wash and Beyond (laundry ramah lingkungan), dan Ease (sebuah merek lokal yang menerapkan prinsip sustainable fashion) cabang Plaza Indonesia, tetapi ini hanya proyek sementara. Sekarang dropbox hanya ada di Subo Jakarta, tempat workshop upcycle kami, dan terbatas untuk pelanggan Subo saja,” tutur Intan. 

Intan mengakui bahwa hal paling sulit dari kegiatannya adalah mengedukasi masyarakat dalam memilah-milah dan memanfaatkan kembali pakaian bekas. Meskipun demikian, dia juga berpendapat bahwa kesadaran masyarakat sudah terbentuk. Untuk itu, komunitasnya tak pernah lelah memberikan edukasi mengenai apa pun yang bisa dilakukan untuk mengurangi limbah dan memperpanjang usia pakaian. 

“Kami menyebarkan (informasi) melalui media sosial, meminta tolong influencer untuk terlibat, dan membuat acara workshop yang menarik. Anak-anak muda lebih tertarik dengan sesuatu yang menyenangkan, berbeda, dan kreatif. Kami juga mengajak masyarakat untuk bisa mendaur ulang secara mandiri dengan memberikan kelas dasar upcycling melalui workshop,” tuturnya. 

Baca Juga: Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Limbah fashion berdampak serius pada lingkungan sehingga pemerintah perlu menaruh perhatian secara sungguh-sungguh. Intan berpendapat, hal yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan penanganan secara lebih holistik. 

“Pemerintah perlu menjadikan ini sebagai suatu kebijakan, yaitu melarang  masyarakat membuang limbah fashion. Berikan mereka pilihan dengan mempercayakan pengelolaan sampah kepada lembaga seperti kami, menjual kembali ke e-commerce atau menyalurkan kepada yang membutuhkan,” katanya. 

Read More
jam kerja dan kesetaraan gender

Pangkas Jam Kerja Panjang untuk Hasil Lebih Optimal, Dorong Kesetaraan Gender

Work smart, not work hard”. 

Lebih dari 10 tahun lalu, pengusaha Tim Ferris merilis buku The 4-Hour Workweek yang mengangkat gagasan idealnya bekerja dengan jam kerja lebih pendek tapi lebih efektif dan membawa hasil kerja yang lebih optimal dibandingkan bekerja dengan jam panjang. 

Gagasan Ferris sendiri tidak lepas dari prinsip Pareto atau yang dikenal 80-20 rule. Dilansir Investopedia, prinsip ini menegakkan aksioma bahwa seseorang bisa membuahkan 80 persen hasil dari 20 persen energi yang dihabiskan untuk bekerja. Tidak hanya di dunia bisnis atau urusan kantor, prinsip ini bisa ditegakkan pula di ranah lain mulai dari pengelolaan keuangan pribadi sampai masalah relasi personal.

Syaratnya seperti yang disinggung tadi: Bekerjalah dengan cerdik. Identifikasi di mana letak kekuatan atau hal yang harus diinvestasikan demi mendapat keuntungan lebih banyak ketimbang bekerja lama-lama setiap harinya.

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Pro Kontra Jam Kerja Pendek

Tanggapan atas buku Ferris itu terbelah dua. Kubu pertama merasa gagasan Ferris tersebut cocok dengan pengalaman hidup mereka. Mereka berpikir, berlama-lama di depan laptop atau nyaris menginap di kantor demi memenuhi target kerja tidak menghasilkan output lebih banyak dan lebih baik. Yang ada, pekerja menjadi penat, kekurangan ide kreatif, hingga efek dominonya membuat diri dan perusahaannya kurang produktif.

Argumen kubu pro ini didukung temuan riset-riset terdahulu. Dalam tulisan Sarah Carmichael yang dimuat di Harvard Business Review, dinyatakan bahwa berdasarkan riset, bekerja berlebihan atau lembur tidak serta merta membuahkan hasil lebih baik dan banyak. Bisa saja seorang  karyawan menghabiskan lebih banyak waktu di kantor tetapi hasil kerjanya sama saja atau bahkan lebih buruk dibanding kolega mereka yang kelihatan bekerja dengan durasi pendek. Dalam sebuah riset bahkan dikatakan bahwa mereka yang bekerja berlebihan akan lebih rentan stres dan mengalami masalah kesehatan. 

Sementara itu, masih banyak yang percaya waktu adalah uang, dan bekerja dengan jam kerja pendek artinya menyia-nyiakan kesempatan atau penghasilan. Selain itu, ada pula yang mengungkapkan argumen kontranya terhadap buku Ferrris karena penulis itu ada di posisi berprivilese: laki-laki kulit putih. 

Sistem jam kerja pendek juga tidak bisa diterapkan di berbagai jenis pekerjaan. Mereka yang bertugas sebagai tenaga kesehatan misalnya, harus siap dipanggil kapan saja bila dibutuhkan, termasuk bertugas dengan durasi panjang. Para spesialis dan orang-orang yang bekerja di unit gawat darurat tidak bisa menawar pada atasannya untuk punya jam kerja pendek. 

Selain di dunia medis, pekerja rumah tangga (PRT) pun hampir mustahil menerapkan gagasan Ferris. Kondisi mereka begitu senjang dengan Ferris karena mereka mayoritas perempuan dan berkulit berwarna. Jangankan di Amerika Serikat sana, di sini, PRT yang satu ras dengan majikannya pun masih sulit mendapat posisi tawar bekerja dengan durasi pendek. 

Hal serupa juga kerap terdengar dari mereka yang bekerja di bidang kreatif seperti agensi atau rumah produksi. Manalah mungkin mereka menerapkan prinsip 80-20 itu kalau tuntutan kerja terus mengejar? Selama jadi buruh dan bukan pemilik modal, bagi banyak orang menerapkan jam kerja pendek semacam utopia saja.   

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Jam Kerja Panjang Kian Parah Selama Pandemi

Di era digital seperti sekarang, bekerja dengan durasi panjang bertambah subur karena banyaknya alat dan cara yang mempermudah seseorang untuk kembali berkacamata kuda, terus memikirkan pekerjaannya. Hal ini bertambah parah ketika pandemi berlangsung dan sistem work from home (WFH). 

Memang benar karyawan jadi punya lebih banyak waktu di rumah. Tetapi efek buruknya, jumlah jam kerja banyak orang kian panjang seiring notifikasi e-mail dan chat dari klien atau orang kantor yang tidak kenal waktu di berbagai industri.

Kebiasaan bekerja dengan jam kerja panjang, baik WFH atau di kantor, tidak lepas dari paparan pandangan keliru yang diterima mayoritas masyarakat soal kerja keras. Ada yang menganggap seseorang miskin karena ia malas atau “terlalu lembek” pada diri sendiri. Ini pada akhirnya mendorong orang untuk lebih banyak mengambil pekerjaan atau menambah waktu kerja, padahal masalah kemiskinannya tidak semata karena kurang upaya. 

Budaya jam kerja panjang bahkan diwajarkan dan dikukuhkan lewat Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan kita, yang menyatakan bahwa jam kerja yang berlaku adalah 7 jam dalam sehari bagi mereka yang bekerja enam hari seminggu, dan 8 jam sehari bagi mereka yang bekerja lima hari seminggu. Sudah diatur seperti ini saja, masih banyak kantor yang menuntut tenaga dan waktu lebih dari karyawannya. Sebagian berbayar, lainnya tidak, dan lagi-lagi mayoritas karyawan memilih manut saja daripada dipecat.  

Apa Pentingnya Menyetop Jam Kerja Panjang?

Secara psikis, Carmichael mengatakan bahwa kita menghabiskan banyak waktu untuk bekerja karena adanya rasa bersalah kalau tidak tampak banyak bekerja, bercampur dengan ambisi untuk mencapai standar kesuksesan arus utama, kecemasan, serta gengsi dengan orang di sekitar tempat kerja. 

Pernyataan sesederhana “Kalau aku/dia bisa, kamu juga mestinya bisa, dong” bisa jadi mempersulit keadaan seseorang, terlebih perempuan pekerja, yang juga punya banyak tanggung jawab di luar kantor. Bak pisau bermata dua, kalimat seperti itu ada kalanya memotivasi orang, ada kalanya justru membuat si pekerja kian tertekan hingga burn-out karena pekerjaan kantor

Kondisi karyawan burn-out ini merugikan diri mereka secara individu dan perusahaan. Ini menjadi alasan pertama mengapa perusahaan perlu mempertimbangkan jam kerja pendek, namun tetap berorientasi pada hasil berkualitas. 

Bekerja dengan durasi lebih pendek juga dapat meningkatkan fokus karyawan, memperbaiki manajemen waktu dalam bekerja, dan kepuasan mereka secara keseluruhan, demikian argumen Medy Navani dalam Entrepreneur Middle East. Dengan begitu, perusahaan pun akan menikmati buah keuntungan lebih besar. 

Dalam infografik yang dirilis di situs Ohio University dinyatakan bahwa menurut studi di Swedia, bekerja 6 jam sehari (alih-alih 8 jam), bisa memompa produktivitas karyawan dan mengurangi potensi absensi mereka. Karyawan pun cenderung lebih sehat dan produktif dengan adanya pengurangan jam kerja. Dalam konteks responden studi adalah perawat, ditemukan bahwa para perawat dengan durasi kerja enam jam 20 persen lebih bahagia dan 64 persen lebih  produktif. 

Negara-negara Skandinavia bisa dibilang paling progresif soal aturan jam kerja ini. Perdana menteri Finlandia yang tengah menjabat, Sanna Marin, sempat menggagas enam jam kerja fleksibel dan empat hari kerja dalam sebuah diskusi panel sebelum ia menduduki posisinya sekarang.

“Saya percaya orang-orang layak menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya, orang-orang tersayangnya, atau melakukan hobi dan aspek lain dalam hidup. Ini bisa menjadi langkah maju bagi kita dalam kehidupan karier,” kata Marin sebagaimana dikutip Forbes.

Di Inggris, tuntutan untuk bekerja dengan durasi lebih pendek juga disuarakan oleh Partai Buruh. Di sana, ada kebijakan empat hari kerja dalam seminggu tanpa pengurangan gaji. Efeknya tidak hanya dirasakan karyawan, tetapi lebih makro lagi, yakni mengurangi emisi karbon yang muncul akibat mobilisasi karyawan. 

Waktu Kerja dan Kaitannya dengan Kesetaraan Gender

Bagi perempuan, bisa mendapat durasi kerja pendek atau sistem jam kerja fleksibel dari kantor adalah suatu keistimewaan, terlebih bagi yang sudah berkeluarga. Di tengah budaya patriarkal, perempuan masih diharapkan memegang peran dominan dalam mengurus rumah tangga dan anak. Ini berekor pada beban ganda yang mesti mereka emban jika memilih tetap berkarier.

Namun, jam kerja pendek tidak seharusnya diberikan kepada perempuan saja. Laki-laki pun patut melakukan hal ini agar ia bisa mengimbangi perempuan terkait peran di luar kantornya. 

Banyak studi mengatakan, keterlibatan laki-laki di ranah domestik, terlebih dalam hal mengurus anak, berdampak positif terhadap perkembangan anaknya tersebut. Dalam sebuah laporan yang dimuat di The Guardian dikatakan, laki-laki yang turut berperan dalam urusan rumah tangga mendorong anak lebih bahagia dan teredukasi dengan baik. Sementara bagi dirinya sendiri, hal tersebut memberi manfaat bagi kesehatan mental dan fisiknya.

Sementara dari laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) berjudul “Decent Working Time” (2007) disebutkan bahwa “waktu kerja yang layak” mendukung kesetaraan gender. Tidak jarang kita temukan karyawan lebih banyak menghabiskan waktu kerja dibanding karyawati karena adanya “kewajiban” rumah tangga berbasis peran gender tradisional. Ini pada akhirnya menciptakan segregasi gender di tempat kerja, di mana perempuan menghadapi lebih banyak hambatan untuk memasuki dunia kerja dan promosi karier.

“Untuk mempromosikan kesetaraan gender, kebijakan jam kerja harus dibuat sedemikian rupa untuk mendorong  perempuan pekerja berada setara dengan laki-laki (misalnya dalam hal level posisi, perkembangan karier, dan sebagainya)…Pertama, dengan menutup kesenjangan gender dalam hal jam kerja untuk laki-laki dan perempuan. Ini bisa dilakukan dengan cara membatasi jam kerja berlebihan bagi para pekerja purnawaktu…” demikian petikan laporan ILO tersebut.

Read More
sebelum jadi anak magang

5 Hak Anak Magang yang Perlu Dipahami Sebelum Tanda Tangan Kontrak

Tak sedikit pengalaman buruk yang dibagi para mahasiswa yang melakukan praktik kerja magang. Ada yang melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang dideskripsikan pada awal rekrutmen, bekerja di luar jam kantor, tidak menerima upah, hingga melakukan pekerjaan karyawan lainnya yang tidak menjadi kewajibannya.

Cerita serupa yang datang dari start-up Ruangguru meramaikan Twitter di pertengahan Maret lalu. Sebagian warganet menuding perusahaan tersebut dengan sengaja mempekerjakan karyawan magang karena upahnya lebih rendah.

Kejadian-kejadian tersebut membuktikan bahwa tampaknya perusahaan masih abai dalam penerapan hak dan kewajiban karyawan magang. Tentunya kita dapat belajar dari pengalaman mereka sehingga tidak perlu mengalaminya, serta bersikap lebih kritis dan selektif dalam membaca hak dan kewajiban yang diberikan oleh perusahaan.

Karenanya, kita perlu memahami lima hak anak magang berikut ini sebelum memulai praktik kerja magang. Hak-hak ini penting untuk dipahami sebelum menandatangani kontrak, agar dapat menghindar dari eksploitasi pekerjaan, yakni dipekerjakan dengan upah rendah atau tidak sama sekali, dan beban kerja yang terlalu berat untuk seorang anak magang.

Baca Juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

1. Menerima Uang Saku atau Uang Transpor

Meskipun bukan karyawan tetap, karyawan magang juga memiliki hak untuk menerima uang saku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Sering kali hak yang satu ini berada di ranah abu-abu dan anak magang pun hanya pasrah dan diam saat perusahaan tidak dapat memberikan upah. Hal ini karena mereka lebih mengutamakan pengalaman bekerja sebagai modal yang dicantumkan dalam CV-nya nanti. Memang sih, anak magang akan mendapatkan pengalaman berharga yang akan mempersiapkan mereka sebelum masuk ke dunia kerja. Tapi apa iya, dibayar dengan pengalaman itu sudah cukup?

2. Memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang dimaksud jaminan sosial di sini adalah jaminan kecelakaan kerja dan kematian.

Dicantumkannya hak ini dalam UU merepresentasikan pentingnya jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya jaminan sosial, anak magang tak perlu khawatir apabila risiko yang tidak diinginkan terjadi karena tidak mendapat pertanggungjawaban dari perusahaan. Jaminan sosial juga menjadi kebutuhan mendasar yang layak diterima.

3. Mendapatkan Bimbingan dari Supervisor Magang

Anak magang tentunya membutuhkan peran seorang supervisor dalam melaksanakan pekerjaannya. Peran ini dibutuhkan untuk memberikan arahan terkait sistem dan rangkaian pekerjaan yang harus dilakukan, menyampaikan ilmu terkait bidang pekerjaan dan realitas dalam dunia kerja, serta mengevaluasi kinerja agar dapat dikembangkan. Supervisor juga yang akan memastikan kalau praktik kerja magang yang dilakukan berjalan dengan lancar.

Apabila tidak ada keterlibatan seorang supervisor, anak magang akan kehilangan ilmu yang seharusnya bisa mereka peroleh. Meskipun mereka dapat bertanya dan belajar dari karyawan lainnya, komunikasi utama yang harus dibangun dalam lingkungan kerja tersebut ialah dengan supervisor-nya.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

4. Anak Magang harus Mendapatkan Jobdesk atau Pekerjaan yang Jelas

Di sebagian tempat kerja, karyawan magang kerap dianggap sebagai sosok yang gampang disuruh-suruh. Padahal, sebagaimana karyawan tetap, mereka juga butuh kejelasan dalam hal deskripsi kerja dan kewajiban utamanya. Karyawan tetap sering kali menyuruh anak magang melakukan ini itu demi meringankan kerja mereka sendiri, tapi tidak memikirkan beban kerja si karyawan magang.

Maka itu, penting bagi karyawan magang untuk memahami dan memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukannya masuk ke dalam cakupan deskripsi pekerjaan secara tertulis yang dijelaskan sebelum periode magang dimulai.

Bila masih tetap disuruh mengerjakan hal-hal di luar deskripsi kerjanya, sebaiknya anak magang mengomunikasikannya kepada pembimbing magang agar kejadian tersebut tidak terulang dan karyawan lain pun berhenti untuk berperilaku sesukanya.

4. Anak Magang Berhak Mendapatkan sertifikat magang

Berdasarkan hak dan kewajiban anak magang yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 22 Ayat (2), seorang anak magang juga berhak untuk mendapatkan sertifikat magang apabila lulus pada akhir program.Tentunya sertifikat ini berguna sebagai bukti bahwa mereka telah memiliki pengalaman kerja secara resmi di sebuah perusahaan. Kinerja karyawan magang juga dapat dilihat dalam sertifikat tersebut, yang kemudian akan jadi pertimbangan bagi perusahaan tempat mereka melamar pekerjaan berikutnya.

Read More

Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Akhir Mei lalu, seorang pengusaha meramaikan jagat Twitter dengan sebuah video yang diunggahnya di TikTok. Ia mengatakan bahwa karyawan yang kebanyakan izin sakit sebenarnya hanya ingin menyabotase perusahaan. Menurutnya, apabila seseorang masih bisa bangun, jalan, makan, dan naik motor, artinya bisa ke kantor. Ini mengindikasikan bagaimana kesehatan mental karyawan belum dianggap penting oleh pengusaha tersebut. 

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah tertera dengan jelas bahwa dalam mempekerjakan tenaga kerja, pemberi kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Sayangnya, UU tersebut belum diimplementasikan oleh banyak perusahaan dalam konteks kesehatan mental. 

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Mental Karyawan

Sejatinya, bekerja memiliki dampak positif untuk kesehatan mental seseorang. Alasannya, dengan bekerja, kita bisa mengaktualisasi diri selain mendapat upah untuk menunjang hidup. Bekerja juga membentuk struktur dan tujuan hidup seseorang yang membuat orang-orang termotivasi untuk melanjutkan hidup karena ada yang dikejar. Di samping itu, bekerja juga membuka kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain dan menjalin pertemanan, serta sebagai sarana untuk meningkatkan harga diri seseorang dengan dihargai oleh orang lain.

Namun, dalam situasi tertentu seperti lingkungan kerja yang toksik, terus bekerja justru menimbulkan tekanan hingga memicu gangguan kecemasan, dan depresi.

Di berbagai kasus, ada bos-bos menilai beban kerja seorang karyawan tak begitu banyak sehingga tidak akan ada risiko kesehatan apa pun yang akan muncul. Tapi,  masih ada faktor lain yang menyebabkan karyawan tidak bekerja sebagaimana biasanya, yang luput dari perhatian. Lingkungan kerja toksik yang mencakup interaksi dengan kolega yang buruk di kantor, budaya kantor yang minim apresiasi, tidak memperhatikan kebutuhan khusus karyawan per individu secara psikologis bisa menjadi faktor-faktor lain pemicu masalah kesehatan mental karyawan.

Kita ambil contoh, jika seorang pekerja menerima pelecehan atau dirundung oleh rekan-rekan kerjanya hingga ia merasa tak nyaman, sangat mungkin dia mengalami penurunan performa kerja. 

Masalah jam kerja juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental karyawan. Sebagian perusahaan memberlakukan jam kerja yang fleksibel. Hal ini jadi dua sisi mata uang. Di satu titik, jam kerja fleksibel memungkinkan karyawan memenuhi target kerjanya, terlebih bagi perempuan pekerja yang sudah berkeluarga dan punya anak. Adanya kebijakan jam kerja ini membuat mereka bisa mengatur kapan harus berhadapan dengan laptop atau ponsel untuk bekerja, dan kapan harus mengurus anak dan rumah. 

Tapi di titik lain, khususnya selama pandemi ini, jam kerja fleksibel juga berarti kita mesti siap dipanggil, rapat, atau mengumpulkan tugas kantor kapan pun. Sebagian orang masih mengisi waktu istirahat malamnya atau mengorbankan waktu main dengan anaknya karena perusahaan masih berorientasi pada hasil. Ujungnya,work-life balance karyawan pun jadi berantakan, dan ini berisiko pada penurunan kesehatan mentalnya. 

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Kenapa Perusahaan Perlu Sadari Pentingnya Kesehatan Mental Karyawan?

Masih banyak pihak, termasuk perusahaan, yang perlu disadarkan bahwa kesehatan manusia tidak hanya dilihat dari fisik saja, tetapi juga mental. Kantor menjadi salah satu tempat yang memengaruhi kesehatan mental seseorang karena adanya beban kerja berlebih yang diemban para pekerja.

Saya sering menemukan sebuah kalimat yang sepertinya dijadikan pengingat oleh para pengguna Twitter, “kerja sewajarnya karena kalau sakit, mati, keluarga yang sedih. Kantor mah tinggal cari karyawan lagi.”

Terkadang, beban kerja memang sering membuat kita lupa dengan kesehatan. Mengerjakan sesuatu sesuai deadline seperti dianggap sebagai keutamaan, tak peduli alarm burnout si karyawan sudah berbunyi. 

Alih-alih terus melanggengkan kondisi memprihatinkan seperti ini, perusahaan punya peran penting dalam membuat kebijakan yang mendukung pemenuhan kesehatan mental karyawannya. Jika tidak, ujung-ujungnya perusahaan juga merugi. 

Selain performa karyawan tak optimal lagi sehingga kurang produktif, reputasi perusahaan yang tak peduli masalah kesehatan mental juga tercoreng. Belum lagi perusahaan mesti mencari karyawan baru bila karyawan lamanya tidak tahan lagi mengemban beban kerjanya dan memutuskan resign

Perusahaan juga dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mental karyawan dengan menyosialisasikan cara mengelola stres serta cara berinteraksi dengan orang lain sebelum membuat keputusan terkait kerja.Komunikasi terbuka soal masalah mental pekerja dan inklusi menjadi kunci kesuksesan perusahaan, khususnya yang melibatkan kerja tim yang tinggi. 

Baca Juga: Diskriminasi di Tempat Kerja Hantui Orang dengan Gangguan Bipolar

Apa yang Perlu Dilakukan Perusahaan?

Jika seorang pekerja yang mengalami radang sendi langsung berobat ke dokter, mengapa saat dia mengalami burnout, depresi, dan kecemasan lebih memilih untuk menyimpan situasi tersebut pada diri sendiri dan terus memaksakan diri bekerja?

Bisa jadi mereka ragu untuk mengungkapkannya ke perusahaan karena khawatir tidak mendapat toleransi. Bisa jadi pula, masalah kesehatan mental di kantor hanya dikaitkan dengan kurangnya seseorang beribadah, terlalu ‘lembek’ saat diberi pekerjaan menantang, dan berbagai persepsi keliru lainnya.

Untuk mengubah kondisi itu, pihak perusahaan perlu membuat perubahan atau inisiasi kebijakan dalam menyikapi kesehatan mental karyawan. Mereka dapat membentuk ruang dengar untuk menerima keluh kesah pekerjanya dan memberikan fasilitas yang sama dengan kesehatan fisik. Bagi sebagian perusahaan, hal ini hanya membuang-buang anggaraan saja, padahal ditegakkannya kesadaran atas pentingnya kesehatan mental bisa berdampak positif dalam jangka panjang.

Sebuah regulasi dapat ditetapkan untuk mendukung kesehatan mental para pekerja. Misalnya, dengan membentuk Employee Assistance Program (EAP). Menurut sekelompok peneliti dari Illinois, Amerika Serikat, program ini berfungsi sebagai layanan pendampingan untuk membantu para pekerja dalam mengenal dan menyelesaikan permasalahan yang menghambat produktivitas kerja. Permasalahan yang pekerja hadapi sampai mengalami penurunan kesehatan mental bisa disebabkan oleh gangguan emosional, stres, kesehatan fisik, keuangan, keluarga, atau masalah pribadi yang memengaruhi kinerja.

Toleransi Perusahaan pada Karyawan Bermasalah Mental

Meskipun masih terganjal stigma, isu kesehatan mental semakin menjadi kesadaran masyarakat selama beberapa tahun terakhir. Hal ini dialami oleh Agni Larasati (40), yang berprofesi sebagai seorang pekerja media. Beban kerja yang berat di industri media membuatnya seperti tidak memiliki batasan antara kehidupan dan pekerjaan karena dapat dihubungi kapan pun.

Saat ia menyadari bahwa kesehatan mentalnya sedang tidak baik-baik saja, Agni memilih untuk menceritakan situasinya setelah hasil medis keluar karena saat itu, kondisinya tidak semua orang paham tentang kesehatan mental.

“Saya pergi ke psikiater dan melakukan sejumlah tes. Ternyata hasilnya memang buruk sehingga enggak bisa bekerja dengan kompeten untuk sementara waktu. Saya pun mengajukan resign karena kalau cuti tak berbayar, takutnya masih dihubungi kantor untuk urusan pekerjaan dan jadi beban untuk segera pulih,” tuturnya.

Agni mengatakan bahwa perusahaannya sempat memberikan beberapa opsi selain cuti tak berbayar, seperti diizinkan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan si pekerja saat itu. Namun, rehat dari seluruh aktivitasnya saat itu menjadi hal yang paling diperlukan.

Ia pun menyatakan bahwa perusahaannya justru memberikan dukungan untuk memulihkan kesehatan mental. “Dari kantor memang belum ada fasilitas kesehatan mental, tetapi mereka memberikan kelonggaran untuk mengatur jadwal pekerjaan dan ruang bagi pekerjanya untuk mengomunikasikan kondisi diri yang tengah dialami. Selain itu, kami juga bisa me-reimburse biaya konseling,” ceritanya.

Berdasarkan pengalaman Agni, tampaknya langkah baik memang sudah dimulai oleh beberapa perusahaan di Indonesia dengan memfasilitasi layanan EAP untuk para pekerja. Setidaknya hal ini telah dilakukan oleh Allianz, AirNav Indonesia, dan PTPN. Ketiganya menyadari bahwa di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh situasi pandemi, kesehatan pekerjanya semakin perlu diprioritaskan karena mereka adalah aset terpenting bagi perusahaan.

Bukan tanpa sebab, tapi korporasi yang melek dengan kesehatan mental dan berusaha untuk memberikan fasilitas, akan menciptakan pekerja yang sadar akan kesejahteraannya. Lingkungan pekerjaan pun menjadi lebih positif, serta mendorong dan memberdayakan mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja.

Read More

4 Film yang Gambarkan ‘Ageism’ terhadap Perempuan Pekerja

Saat menjadi pembawa acara penghargaan film Golden Globes 2014, komedian Tina Fey menyindir diskriminasi usia atau ageisme yang marak di industri film Hollywood dalam monolog pembuka perhelatan tersebut.

“Meryl Streep brilian banget di film August: Osage County. Membuktikan bahwa masih ada peran-peran dahsyat di Hollywood untuk Meryl Streep setelah berusia 60 tahun,” ujarnya disambut gelak tawa hadirin.

Pernyataan itu akurat menggambarkan ageism atau diskriminasi usia terhadap perempuan di industri film tersebut. Aktris yang telah berumur biasanya lebih sulit mendapatkan pekerjaan, digantikan oleh wajah-wajah baru yang jauh lebih muda yang secara fisik dianggap lebih menarik. Hanya ada satu-dua pengecualian, seperti pada aktris peraih Oscar, Meryl Streep. 

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Di dunia kerja secara umum, diskriminasi usia terhadap perempuan juga marak. Perempuan yang berada di usia reproduksi aktif sering kali dihadapkan dengan stereotip tentang status mereka sebagai seorang istri dan ibu sehingga dianggap tidak dapat melakukan beban kerja sebanyak pria. Sementara perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun cenderung dikategorikan sebagai pekerja dengan performa yang kurang baik.

Meskipun sebagian di antaranya disampaikan secara tersirat, empat film ini telah menyuarakan isu ageisme terhadap perempuan di tempat kerja. Melalui karakter dan alur ceritanya, kita dapat mempelajari cara memperjuangkan hak untuk tetap bekerja jika suatu saat harus berhenti dipekerjakan karena alasan ageisme.

1. What Men Want (2019)

Film tentang ageisme What Men Want (2019)
Kredit: IMDb

Film tentang ageisme pertama yang saya bahas adalah What Men Want. What Men Want menceritakan tentang Ali Davis (Taraji P. Henson), seorang agen atlet yang sukses, yang merasa dikucilkan oleh rekan-rekan kerjanya yang sebagian besar adalah laki-laki. Ia tidak pernah mendapatkan promosi jabatan karena sang atasan menganggapnya kurang mampu berhubungan baik dengan laki-laki.

Davis kemudian memutuskan untuk pergi ke paranormal agar ia dapat mengetahui isi pikiran pria. Tak disangka, kemampuan itu ia miliki setelah mengalami kecelakaan sepulang dari rumah sang paranormal.

Film ini menampilkan stereotip bagaimana perempuan cenderung suka hal-hal “mistis”. Namun, film ini menggambarkan bagaimana perempuan hanya perlu memprioritaskan dan memahami perasaan dan isi kepalanya sendiri, tanpa harus berupaya keras memahami isi pikiran pria, karena keberadaan mansplaining sudah sangat menjelaskan perspektif mereka.

2. The Intern (2015)

Film Ageisme The Intern (2015)
kredit: IMDb

Selain karakter Ben Whittaker (Robert De Niro) yang mengalami ageisme sebagai seorang lansia, Jules Ostin (Anne Hathaway) selaku founder dan CEO sebuah perusahaan rintisan tempat Ben magang pun merasakan hal yang sama. Ia diminta untuk memberikan jabatannya ke orang lain lantaran para investor menganggap dirinya yang perempuan dan seorang ibu sudah tidak dapat mengatasi beban kerja.

Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Padahal, Ostin telah mengembangkan startup itu menjadi sebuah perusahaan besar hanya dalam 18 bulan. Ia pun mempertimbangkan untuk melepaskan jabatan tersebut demi menyelamatkan pernikahannya

3. Film Tentang Ageisme Terhadap Perempuan Pekerja: The Devil Wears Prada (2006)

The Devil Wears Prada (2006)
Kredit: IMDb

Posisi Miranda Priestly (Meryl Streep) selaku pemimpin redaksi Runway Magazine nyaris digantikan karena jajaran direksi menganggap perannya perlu dipegang oleh sosok perempuan yang lebih muda, yakni Jacqueline Follet (Stephanie Szostak). 

Baca Juga: 5 Film yang Menunjukkan Kompleksitas Perceraian

Meskipun harus mengorbankan seorang rekan kerja demi menyelamatkan posisinya, Priestly dapat mengatasinya dengan memberikan opsi bagi Follet untuk mengisi bangku Creative Director bersama seorang desainer. Alhasil ia tetap menggerakkan Runway.

Memang terkesan licik, tapi karakter Priestly mencerminkan perempuan yang harus memperjuangkan haknya apalagi jika ia sudah berumur. Ia membuktikan bahwa usia bukan batasan bagi seorang perempuan untuk berhenti berkarya.

4. Duty Free (2021)

Duty Free (2021)
Kredit: IMDb

Mencari pekerjaan di usia lanjut merupakan salah satu kesulitan yang akan dihadapi seseorang karena dianggap optimalisasi dalam melakukan pekerjaan yang jauh berkurang. Hal ini terbukti melalui Duty Free, sebuah film dokumenter dengan karakter utama Rebecca Danigelis, yang dipecat dari profesinya sebagai seorang housekeeping supervisor di sebuah hotel. 

Baca Juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor

Kehilangan pekerjaan membuatnya merasakan sesuatu yang kurang dalam dirinya, sedangkan ia merasa tidak dapat berbuat apa pun, sesederhana menyusun daftar riwayat hidup untuk kembali mencari pekerjaan.
Hati kita akan dibuat pilu akibat harus menyaksikan seorang perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat ageism, saat ia hanya ingin memiliki sumber penghidupan agar merasa aman di lingkungan sosial. Untunglah anak sulungnya menghibur sang ibu dengan mengajaknya berkeliling ke dua benua.

Read More
Dian Eka Purnama Sari Pengusaha Perempuan

Dian Eka Purnama Sari: Perempuan Pengusaha yang Lawan Stereotip

Dian Eka Purnama Sari adalah perempuan pengusaha berusia muda yang kini sedang sibuk mengembangkan sebuah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) miliknya, yang sebelumnya masih dikelola oleh kedua orang tuanya.

Alih-alih memilih banyaknya alternatif pekerjaan yang ditawarkan kota-kota besar bagi lulusan universitas seperti dia, perempuan 23 tahun itu malah mengambil jalan berliku penuh tantangan di lingkaran ekonomi dengan spektrum lokal, yakni di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam semangat yang dibawanya, Dian ingin memulai terobosan digital dari pelaku UMKM, yang menurutnya tidak banyak dilakoni oleh pengusaha Lombok. 

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

Ketergantungan para pelaku UMKM pada acara-acara kerajinan yang diselenggarakan pemerintah–dan kini agak sepi karena pandemi–membuat banyak UMKM perlu memutar otak dalam bertahan di situasi penuh kemungkinan ini. Tak jarang, Dian harus terjebak dalam perdebatan dengan orang tuanya yang masih menganggap pasar digital belum hal yang sekarang mesti disentuh.

Pengusaha Perempuan Di Balik Brand Ketak Nusantara

Pengusaha Perempuan Di Balik Brand Ketak Nusantara

Dian adalah sosok yang pengusaha muda yang kritis meski terkadang cenderung “gegabah.” Ia pun akhirnya tetap memasuki pasar digital dengan Ketak Nusantara, sebuah brand UMKM yang mengembangkan karya-karya fashion dan berbagai furniture dengan bahan dasar rumput alam bernama Ketak. Berbeda dengan rotan–meski keduanya masuk dalam kategori tanaman paku-pakuan, ketak lebih kuat dan tahan lama. Bila rotan akan mudah lapuk setelah terkena air, ketak justru sebaliknya—akan semakin kuat dan antik seiring perjalanan usianya.

Dalam semangatnya, Dian tak sekadar ingin karyanya dibeli. Lebih daripada itu, ia ingin memosisikan karyanya sebagai simbol perjuangan, terutama bagi para korban perundungan dan terkhusus para perempuan yang sering kali berada pada level terancam.

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

“Saya tidak ingin sekadar karya saya dibeli, lantas sudah, apa lagi? Ada hal yang ingin saya kampanyekan, yakni betapa pentingnya mental yang sehat, dan betapa pentingnya perempuan yang independen,” ujar Dian, yang lulus dari Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung jurusan Tenaga Penyuluh Lapangan itu.

Menurut Dian, nasib karya-karya UMKM dan posisi perempuan memiliki kesamaan. Selama ini, setidaknya dalam ukuran pengalamannya, karya-karya UMKM sering kali dipandang sebagai karya-karya yang kolot, serta sulit berinovasi dan beradaptasi dengan modernitas. Sekadar kerajinan yang tak memuat unsur estetik. Semacam ada aturan tak tertulis di lingkungan konsumen industri kreatif modern bahwa karya UMKM jauh dari kebutuhan zaman. Hal ini mengakibatkan UMKM bergerak di tempat yang “itu-itu melulu”.

Merespons stereotip ini, Dian melakukan riset secara mandiri, demi mengembangkan inovasi dan konsep yang melampaui anggapan-anggapan itu. Bukan sekadar karya yang dibutuhkan zaman, ia pun secara selektif memilih bentuk karya yang akan dianyamnya–begitu juga serta filosofinya. Metode riset yang diterapkan Dian pun terbilang sederhana dan unik. Ia mengajak perempuan-perempuan yang pernah menjadi korban perundungan karena ekspresi fashion-nya dianggap buruk. Perempuan-perempuan itu diberikan ruang untuk berpendapat, dan dari pendapat merekalah, Dian mengembangkan berbagai konsep.

Salah satu karya yang dibuatnya diberi nama Katana, yakni pedang tradisional di Jepang, Dian mengembangkan sebuah konsep pada karyanya yang menghasilkan tas dengan pola melengkung pada sudut-sudutnya. Pedang katana di Jepang merupakan simbol untuk memperjuangkan keadilan, juga digunakan oleh perempuan-perempuan Jepang zaman dulu untuk melindungi dirinya saat sedang terjebak dalam situasi yang berbahaya.

Sosok Dian Eka Purnama Sari yang Peduli Dengan Isu Gender dan Kesehatan Mental

Dian berharap, Katana buatannya dapat memiliki arti filosofi yang sama dengan yang ada di Jepang; menjadi simbol keadilan, terutama bagi perempuan yang sering kali menjadi korban perundungan lingkungan patriarki yang membatasi ekspresi fashion bagi setiap gender. Dian ingin Katana bisa menjadi milik siapa saja, dan berekspresi dengan bagaimana saja.

Selain isu gender, pebisnis perempuan ini pun mengampanyekan persoalan kesehatan mental yang menurutnya tak kalah penting. Menurut Dian, kebanyakan orang yang memiliki gangguan kesehatan mental adalah perempuan. 

“Saya mengatakan ini bukan tanpa alasan, saya pernah berada di posisi itu. Saya berhasil lepas karena memang saya merasa sudah lelah, dukungan dari lingkungan yang sehat itu memang penting. Walaupun saat ini banyak yang meremehkan dan menganggap gerakan yang berkutat pada gerakan kesehatan mental atau pun gender sudah seperti polusi,” tegasnya.

Baca Juga: GOLD ISMIA Bantu Perempuan Penambang Emas Kurangi Risiko Penggunaan Merkuri

Pengusaha perempuan muda ini yang ternyata dulunya pernah menjadi seorang santri di sebuah pondok di Lombok, memahami betul semua situasi yang dihadapinya. Dian, dari apa yang diketahuinya di masa lalu, dan apa yang didapatkannya di masa sekarang, memberikannya semacam modal pengetahuan penting. Ia berhasil memformulasikan bagaimana seharusnya gerakan gender dalam industri fashion dihadirkan. Mengingat selama ini industri fashion dianggap sebagai penyumbang terbesar standar kecantikan.

Dian, di tengah ketabuan posisi perempuan dalam lingkungan ekonomi, kini sedang berhadapan dengan tantangan yang begitu besar. Di satu sisi ia berdiri sebagai pelaku UMKM, di sisi lain ia bergerak sebagai penyemangat bagi korban perundungan dan perempuan-perempuan yang membutuhkan kesetaraan. Dian bukan sekadar perempuan pengusaha, ia adalah orang yang terus bergerak melawan stereotip. Betapa pun sulit membayangkan konskuensinya. 

“Sekali dayung, dua-tiga pulau harus dilewati,” pungkasnya.

Read More
Peran Laki-laki dorong kepemimpinan perempuan

6 Peran Laki-laki dalam Mendorong Kepemimpinan Perempuan

Meskipun kini perempuan sudah turut melibatkan diri sebagai pemimpin, perjalanan melawan konstruksi budaya belum berakhir. Lingkungan sosial masih beranggapan bahwa kepemimpinan yang baik hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh peran laki-laki.

Data dari Badan PBB untuk perempuan, UN Women, menunjukkan bahwa hanya 22 perempuan yang menjabat sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, sedangkan 119 negara tidak pernah memiliki pemimpin perempuan sama sekali. 

Sementara di industri bisnis, menurut laporan Grant Thornton International yang dipublikasikan pada 2019, secara keseluruhan, perempuan memegang 29 persen kepemimpinan senior secara global, angka yang hanya naik 10 persen dalam 15 tahun terakhir. Selain itu, hanya 15 persen bisnis di dunia yang memiliki perempuan CEO. Posisi senior yang paling banyak dijabat perempuan adalah direktur sumber daya manusia, yaitu 43 persen.

Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan masih tertinggal dalam urusan kepemimpinan. Untuk meningkatkan kepemimpinan perempuan, perlu ada kontribusi laki-laki sebagai pihak yang mendominasi banyak sektor, terutama di masyarakat yang masih patriarkal ini. Kontribusi laki-laki dapat dimulai dari lingkungan keluarga hingga institusi. 

Berikut peran laki-laki yang dapat membantu dalam membentuk kepemimpinan perempuan.

1. Ayah Mengambil Peran Laki-laki Di Rumah yang Bisa Mendorong Anak Perempuan jadi Pemimpin

Seorang ayah harus bisa mengambil peran laki-laki yang dapat mendampingi, mengajari dengan kesabaran, dan menanamkan nilai-nilai serta kepercayaan diri penting agar anak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Hal-hal tersebut merefleksikan sifat yang dibutuhkan dalam menjalankan kepemimpinan, yakni kemampuan untuk mengobservasi, berani mengambil keputusan, dan mendengarkan anggota timnya, bukan hanya memberikan evaluasi kinerja tanpa adanya arahan.

Baca Juga: Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan penyelamat Anak-Anak Perempuan Malawi

Tak hanya itu, peran laki-laki yang dapat memperlakukan pasangannya sebagai mitra yang setara akan menjadi contoh baik kepada anak perempuan soal pentingnya kesetaraan dan itu sesuatu yang harus dituntut dari lingkungannya. 

Selain itu, seorang ayah juga perlu membebaskan anak dalam menentukan cita-cita tanpa mengkritisi pilihannya. Hal ini merupakan wujud dukungan sehingga muncul keberanian dan tekad dalam diri anak. Hindari memberikan opini yang seolah menjadi risiko apabila perempuan ingin berperan sebagai seorang pemimpin, seperti sulit menemukan pasangan atau kewajiban perempuan ialah mengurus rumah tangga.

2. Peran Kakak Laki-laki yang Dapat Mengajari Adik Perempuan

Hubungan kakak beradik menjadi salah satu lingkungan pertama anak-anak dalam mempelajari hubungan sosial. Melalui hubungan ini, peran kakak laki-laki dibutuhkan dalam memberikan pemahaman terkait lingkungan sosial. Ia dapat menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara dan sama, adik perempuan bisa main apa saja seperti dirinya, dan perempuan bisa menjadi apa pun yang dia mau, bahkan di bidang studi atau sektor yang didominasi laki-laki. 

Kakak laki-laki juga bisa memberikan contoh-contoh pengetahuan tentang perempuan-perempuan inspiratif. Atau menjadi teman berdiskusi yang baik untuk mengajarkan adiknya agar berani berpendapat di lingkungan keluarga maupun sekolah. 

3. Teman yang Ada Bagi Sahabat Perempuan

Sebagaimana peran seorang teman, keberadaan atau peran laki-laki dapat mendorong perempuan untuk berani maju dan mengambil risiko dalam melakukan pekerjaan. Dukungan tersebut akan memberikan kenyamanan dan menciptakan mindset positif sehingga perempuan siap untuk melakukan perubahan dalam kariernya, misalnya.

Baca Juga: Contoh Pemimpin Idola yang Bisa Dijadikan Panutan

Dalam menjalankan kepemimpinan, tentunya terdapat banyak tuntutan sehingga memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pada situasi ini, dukungan seorang teman tak kalah penting untuk work-life balance. Oleh karena itu, sebaiknya luangkan waktu sejenak dan ajak mereka untuk bersenang-senang, serta berikan ruang untuk saling menceritakan keseharian. Aktivitas ini dapat mengembalikan energi sekaligus memperkuat ikatan interpersonal yang dimiliki.

Kemudian, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pada saat tertentu, seperti merayakan keberhasilan untuk mengapresiasi kinerja dan dampak kepemimpinan yang diciptakan dalam pekerjaannya.

4. Pasangan yang Menjadi Mitra Sejajar

Sebuah studi dari Vannoy dan Philliber pada 1992 menemukan bahwa harapan seorang suami, identitas peran gender, dan dukungan terhadap istri yang bekerja berkaitan dengan kualitas pernikahan.

Suami dapat menunjukkan kontribusinya dalam karier istri, yakni dengan bertukar pikiran untuk mendiskusikan topik atau permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaannya dan bekerja sama dalam menjaga anak. Dukungan emosional pun dapat diwujudkan, seperti berperan sebagai pendengar yang baik, serta memahami dan percaya pada tujuan kariernya. Selain itu, memberi pengakuan atas pekerjaannya pun mampu membuat mereka merasa dihargai karena afirmasi dikategorikan sebagai hal yang penting.

Baca Juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Dengan demikian, istri akan merasakan keterlibatan suami, baik dalam pengembangan diri maupun pencapaian karier.

5. Atasan yang Menjadi Mentor

Pada 2010, hasil riset Personnel Psychology, sebuah lembaga penelitian yang memusatkan risetnya pada kondisi psikologis orang-orang di tempat kerja, menunjukkan bahwa bimbingan yang diberikan oleh atasan laki-laki mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesuksesan karier perempuan, terutama bagi mereka yang bekerja di industri yang didominasi laki-laki.

Sebagai atasan dalam lingkungan kerja, laki-laki dapat melibatkan dirinya sebagai seorang mentor. Melalui peran tersebut, ia mampu menggunakan otoritasnya dalam memberikan pengembangan profesional guna membekali anggotanya dalam mengembangkan skill kepemimpinan. Kegiatan tersebut akan membantu para perempuan untuk menemukan kapabilitas dalam dirinya.

6. Kolega yang Mendukung Perempuan

Kenyamanan lingkungan kerja menjadi tanggung jawab seluruh anggota tim di mana setiap orang berkeinginan dan perlu dihargai. Oleh karena itu, para kolega pun perlu memberi ruang bagi perempuan untuk menyampaikan aspirasinya dan melibatkan mereka untuk berkontribusi dalam mengambil berbagai keputusan. Dengan demikian, tak ada yang merasa diasingkan atau diperlakukan sebagai minoritas dalam lingkungan kerja.

Baca Juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Untuk mendukung perempuan dalam kepemimpinan, para kolega juga dapat memberikan mereka kesempatan untuk memimpin berbagai project. Dengan memberikan kesempatan, perempuan akan menemukan keunggulannya, hal yang disukai, dan menunjukkan potensi kepemimpinannya. Para atasan perusahaan pun akan memberikan pengakuan dan promosi untuk kariernya.

Itulah beberapa peran laki-laki yang dibutuhkan dalam membentuk kepemimpinan perempuan. Perlu dilakukan kerja sama untuk membuat suatu perubahan dalam menciptakan kesetaraan gender sehingga keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin yang baik.

Read More
bias gender di dunia kesehatan

Bias Gender dan Objektivitas di Dunia Kesehatan

bias gender dunia kesehatan – Bagi sebagian besar dokter, terus berpraktik sebagai klinisi setelah menempuh studi bertahun-tahun adalah pilihan yang jamak diambil. Bahkan di antara mereka, melanjutkan studi spesialisasi adalah target karier berikutnya setelah sumpah dokter dan berpraktik sebagai dokter umum mereka lakukan. 

Namun bagi Putri Widi Saraswati, panggilan untuk terus menjadi klinisi dirasa bukanlah untuknya, dan ia memutuskan untuk berfokus pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) serta isu gender dalam bidang kesehatan. Salah satu pemicunya adalah pertemuan dengan seorang remaja di sebuah daerah terpencil yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Saat itu ia telah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung, dan pendidikan profesi (ko-asisten/koas).

“Waktu itu, angka kehamilan enggak direncanakan memang tinggi di daerah itu. Posisinya aku enggak bisa melakukan apa-apa dan tidak ada akses melakukan apa-apa. Situasinya juga sulit karena laki-laki yang menghamilinya laki-laki dewasa yang sudah menikah,” ujarnya kepada Magdalene baru-baru ini.

“Si remaja putri ini jadi enggak bisa sekolah lagi, entah karena dikeluarin atau secara sosial tidak diterima,” ia menambahkan.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Pengalaman itu terngiang di kepalanya sehingga ia kemudian memutuskan tidak menjadi klinisi, meski sempat praktik di beberapa tempat sebagai dokter umum, termasuk di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat. Putri merasa profesi dokter tidak lebih menarik dibandingkan dengan bidang HKSR yang ia dalami. 

Saat ini, perempuan kelahiran 4 Maret 1989 itu tengah menjalani masa studi magister bidang Kesehatan Masyarakat di KIT Royal Tropical Institute, Belanda. Secara khusus, ia menaruh perhatian pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) dan keadilan gender serta kesehatan, dan banyak menulis soal itu.

Dalam wawancara dengan Magdalene, Putri bercerita tentang pengalamannya di bidang kesehatan, termasuk bagaimana dunia kesehatan tidak selalu objektif dan masih adanya bias gender di dalamnya. Berikut rangkuman wawancara tersebut. 

Read More
Hubungan Ageism Bagi Perempuan Pekerja

Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja

Pada pertengahan 2019 lalu, saya ditugaskan oleh seorang dosen untuk meliput upacara pemakaman Presiden RI ke-3, B.J. Habibie, di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Saya hampir meletakkan tripod di antara milik puluhan jurnalis profesional, saat seorang juru kamera dari sebuah stasiun televisi bertanya, “mahasiswa ya?”, dengan alis berkerut. Alih-alih mengajak berbagi tempat, dengan mudahnya dia merebut tempat yang seharusnya jadi milik saya tanpa mengatakan apa pun.

Sebagai seorang senior dalam industri ini, bukankah seharusnya dia memberi dukungan kepada calon jurnalis yang juga memiliki hak untuk memperoleh kualitas gambar yang baik? Berstatus sebagai seorang profesional tak seharusnya membuatnya merasa lebih pantas, hanya karena cakupan audiensnya lebih banyak sehingga dianggap lebih penting.

Apa Itu Ageism?

Itu pertama kalinya saya sadar bahwa tidak hanya seksisme, tapi perempuan juga menghadapi ageism alias diskriminasi usia, dalam kehidupan sehari-hari. Saat menjadi pencari kerja, saya juga sering melihat rentang usia yang tertera di lowongan pekerjaan bersama dengan sederet kualifikasi lain. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi usia karena perusahaan menginginkan kinerja maksimal dan menganggap hanya dimiliki oleh usia tertentu.

Diskriminasi usia ini sesungguhnya menghalangi perkembangan karier perempuan

Siapa pun tidak berhak dikucilkan dan dianggap tidak memiliki performa yang baik hanya karena dilihat dari usia yang jelas tidak mencerminkan kemampuan dalam melakukan pekerjaan. 

Tindakan diskriminatif ini menyebabkan individu merasa tidak dihargai, kehilangan kepercayaan diri, dan memengaruhi kinerja di masa depan. Padahal, semua insan memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja.

Baca Juga: Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Di Indonesia, diskriminasi di tempat kerja diatur dalam UU No. 21 Tahun 1999 yang merujuk pada Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan. Dalam konvensi tersebut, disebutkan bahwa istilah diskriminasi meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.

UU tersebut yang dapat digunakan oleh perempuan untuk bernegosiasi dengan perusahaan apabila dikeluarkan karena alasan ageism.

Ageism Merupakan Salah Satu Bentuk Seksisme

Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh David Neumark, Ian Burn, dan Patrick Button di Amerika Serikat, diskriminasi usia pada perempuan salah satunya disebabkan karena pandangan bahwa penampilan fisik perempuan adalah faktor paling penting, dan usia dianggap mengurangi penampilan fisiknya. Para peneliti dari National Bureau of Economic Research Massachusetts itu juga memaparkan bahwa hukum terkait diskriminasi usia kurang ditekankan untuk melindungi perempuan yang usianya lebih tua.

Ketidakadilan ini turut dilanggengkan oleh perusahaan karena laki-laki dianggap lebih kuat dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Sementara saat harus menuntut haknya sebagai seorang pekerja, perempuan merasa tidak cukup kuat untuk menempuh jalur hukum karena waktu dan uang yang dibutuhkan untuk menantang perusahaan besar.

Baca Juga: Min Hee-jin, Eksekutif Perempuan di Balik Konsep Unik Grup K-Pop

Diskriminasi usia berbasis gender yang dikategorikan sebagai bentuk baru dari seksisme. Nyatanya, perempuan dari usia berapa pun akan menerima diskriminasi usia di lingkungan kerjanya.

Misalnya, perempuan yang berada dalam rentang usia 25-40 tahun atau berada pada usia reproduksi aktif. Mereka menerima stereotip terkait statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Padahal, seorang pria juga berperan sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Perempuan seperti tersudutkan hingga minim menerima promosi jabatan dan terjadi kesenjangan upah yang lebih rendah dari pria.

Andai saja masyarakat di lingkungan sekitar kita hendak melihat dengan saksama dan menyadari bahwa perempuan juga memiliki hak untuk tidak menikah atau menjadi ibu, mungkin mereka dapat lebih menyadari kapabilitas perempuan. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil apabila perempuan yang berkarier juga andal dalam mengurus rumah tangga. Namun, sekalipun seorang perempuan tidak berkeluarga, mereka juga belum tentu dipertimbangkan untuk menerima cuti karena tidak memiliki anak kecil untuk dirawat.

Perempuan yang berusia sekitar 40 tahun pun menghadapi ageism dalam bentuk yang berbeda. Ambisi mereka dianggap memudar dan kurang energetik dalam melakukan pekerjaan, ditambah dengan stereotip yang masih melekat. Jika perempuan muda lebih kental dengan aktivitasnya merawat anak, perempuan di usia ini pun dianggap lebih merawat orang tuanya.

Perempuan yang lebih tua juga cenderung tidak mampu dipekerjakan kembali setelah mereka secara paksa keluar dari pekerjaan.

Bagaimana Kita Mencegah Diskriminasi Usia?

Saat perusahaan hingga kini dibutakan oleh usia pekerja perempuan, setidaknya kita perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi diri dan menghindar dari situasi tersebut. Salah satunya adalah merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki dalam diri untuk menyadari kontribusi yang dapat diberikan pada perusahaan. Melalui langkah ini, kita dapat mengomunikasikan pencapaian karier kepada atasan agar mereka mempertimbangkan bahwa keberadaan kita dapat membantu mencapai target perusahaan.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Di sini, cara berpikir dapat memengaruhi perspektif diri dalam melihat kelayakan kita sebagai seorang pekerja. Apakah kita merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu karena usia terlalu muda yang membuat kurangnya pengalaman? Atau merasa sudah bukan saatnya untuk mengambil banyak tanggung jawab karena lebih tua dibandingkan anggota tim lainnya? Pemikiran-pemikiran tersebut yang seharusnya dibuktikan dengan kinerja maksimal sehingga mematahkan persepsi pekerja lainnya.

Jika memang perusahaan tidak memfasilitasi pelatihan, kita perlu memiliki inisiatif untuk mengeksplorasi kemampuan. Dengan langkah ini, perusahaan akan menilai bahwa perempuan memiliki keinginan untuk belajar, berkembang, dan meningkatkan keahlian yang tentunya dapat memajukan perusahaan.

Satu hal yang tak kalah penting dalam melawan diskriminasi usia perempuan adalah adanya kesadaran untuk mendukung sesama perempuan di lingkungan pekerjaan agar mampu menyuarakan aspirasinya terkait ageism. Kita harus mengingatkan perusahaan bahwa kebijakan terkait keragaman dan inklusi itu penting bagi mereka dan para pekerjanya.

Read More