strategi career cushioning

Memahami ‘Career Cushioning’: Strategi Aman di Tengah Ketidakpastian Kerja

Belakangan ini, ramai media yang memberitakan tentang tantangan besar di dunia kerja Indonesia. Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bermunculan dan jadi momok bagi para profesional yang sedang meniti karier. 

Menurut Gigih Prihantono, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga yang dikutip dari detikJatim, tantangan ini enggak cuma dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah yang perlu ditingkatkan, tapi juga soal bagaimana kita sebagai pekerja bisa terus mengembangkan diri. Di era digital yang serba cepat dan dinamis, kita harus bisa terus naik level. 

Gigih menekankan pentingnya punya kombinasi lengkap antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) yang positif. Selain itu, kemampuan digital juga enggak bisa diabaikan, ini sudah jadi syarat penting buat tetap relevan di dunia kerja masa kini. 

Situasi yang enggak menentu ini jadi pengingat buat kita semua: jangan cuma pasrah, tapi mulai ambil langkah antisipasi. Salah satu strategi yang sekarang lagi banyak dibahas adalah career cushioning. Apa sih sebenarnya maksud dari strategi ini? 

Baca Juga: Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba 

Apa Itu Career Cushioning? 

Dikutip dari Forbes, Stability In A Time Of Change: How Career Cushioning Can Help, career cushioning adalah strategi buat jaga-jaga karier. Ibaratnya, kamu lagi menyiapkan “payung” sebelum hujan turun, alias menyiapkan rencana cadangan sebelum hal-hal enggak enak terjadi di tempat kerja. Jadi, kalau sewaktu-waktu ada badai kayak PHK atau situasi kantor yang tidak kondusif, kamu sudah punya langkah antisipasi. 

Istilah ini awalnya populer di dunia percintaan, dikenal sebagai relationship cushioning. Intinya, seseorang jaga-jaga punya “backup” hubungan kalau hubungan utamanya kandas. Nah, konsep yang sama kini dipakai di dunia kerja, terutama buat menghadapi situasi kayak karier yang mandek, ancaman pemutusan kerja, atau perubahan lingkungan kerja yang bikin enggak nyaman. 

Contoh Gampangnya Career Cushioning 

Bayangkan kamu kerja di sebuah startup. Akhir-akhir ini, perusahaan mulai nge-cut anggaran dan kabar soal PHK mulai muncul. Bukannya panik, kamu ambil langkah cerdas: update profil LinkedIn, ikut kursus online biar skill makin tajam, gabung webinar buat nambah networking, dan mulai ambil proyek freelance kecil di waktu luang. 

Bukan berarti kamu langsung mau cabut dari kantor sekarang juga, tapi kamu sudah siap dengan plan B kalau suatu saat keadaan makin enggak bersahabat. 

Baca Juga: ‘Career Detox’: Saatnya Istirahat dari Kerja yang Bikin Lelah Mental 

Career Cushioning vs Job Hopping: Apa Bedanya? 

Sekilas keduanya kelihatan mirip, sama-sama soal pergerakan karier. Tapi sebenarnya, career cushioning dan job hopping punya perbedaan mendasar, mulai dari niat, cara, sampai waktunya. 

  1. Tujuan dan Niat di Baliknya 

Career cushioning itu lebih ke strategi “jaga-jaga”. Biasanya dilakukan kalau kamu merasa posisi sekarang rawan, entah karena ancaman PHK, karier yang mandek, atau lingkungan kerja yang mulai toksik. Intinya, kamu tetap stay di tempat sekarang, tapi sudah punya rencana cadangan kalau-kalau keadaan makin enggak bersahabat. 

Sementara job hopping cenderung lebih agresif. Ini adalah keputusan aktif buat pindah kerja demi peluang yang lebih baik, entah karena gaji, jabatan, atau suasana kerja. Orang yang job hopping biasanya memang udah niat resign dan cari tempat baru yang lebih menjanjikan. 

  1. Apa Saja yang Dilakukan? 

Kalau kamu lagi career cushioning, biasanya aktivitasnya berupa: ikut kursus, nambah skill, update profil LinkedIn, jaga relasi sama orang-orang penting di industri, atau bangun side hustle. Semuanya dilakukan sambil tetap kerja di tempat lama. 

Kalau job hopping, kamu sudah mulai kirim-kirim lamaran, ikut interview, dan dalam waktu dekat bisa saja langsung pindah kerja. Fokus utamanya: dapat kerja baru secepat mungkin. 

  1. Soal Waktu dan Intensitas 

Career cushioning itu main jangka panjang. Kamu mungkin butuh waktu berbulan-bulan buat menyiapkan semuanya. Seperti menyiapkan “plan B” tanpa buru-buru keluar dari pekerjaan yang sekarang. 

Job hopping sebaliknya. Biasanya dilakukan dalam waktu singkat dan intens. Kadang baru 6 bulan kerja, sudah mulai cari posisi baru lagi. 

  1. Risiko vs Keuntungan 

Career cushioning itu aman tapi butuh konsistensi. Kamu enggak langsung dapat hasil, tapi setidaknya kamu siap kalau sewaktu-waktu harus ganti haluan. 

Job hopping bisa kasih hasil cepat, misalnya kenaikan gaji atau posisi lebih tinggi. Tapi konsekuensinya: kamu bisa kehilangan rasa aman dan rentan dicap “enggak tahan lama” di satu tempat kerja. 

Career Cushioning di Era Digital: Siapkan Plan B Tanpa Ribet 

Di zaman serba online kayak sekarang, strategi career cushioning makin gampang diterapkan. Dengan bantuan internet dan platform digital, kamu bisa mulai menyiapkan “cadangan karier” tanpa harus ribet ke sana kemari. 

Kalau dulu cari kerja tambahan harus lewat kenalan atau kirim lamaran fisik, sekarang cukup duduk manis di rumah, buka laptop atau HP, dan kamu sudah bisa bangun portofolio, mencari proyek tambahan, bahkan nambah penghasilan. Dikutip dari Upwork, Career Cushioning: Basics and Strategies for Financial Security, berikut beberapa cara yang bisa kamu coba. 

Freelance & Remote Work: Kombinasi Pas untuk Career Cushioning 

Teknologi bikin cara kerja jadi jauh lebih fleksibel. Banyak profesi sekarang bisa dilakukan dari mana saja—alias remote—dan sistem freelance juga makin diminati. Ini cocok banget buat kamu yang ingin punya cadangan penghasilan tanpa meninggalkan kerjaan utama. Misalnya: 

  • Punya pekerjaan tetap siang hari, ambil proyek freelance malamnya. 
  • Mengerjakan desain, menulis artikel, sampai bantu laporan keuangan UMKM. 
  • Coba bidang baru yang beda dari kerjaan utama. 

Inilah bentuk career cushioning yang relevan di era digital: kerja sambilan yang fleksibel dan tetap menghasilkan. 

Platform Digital Buat Ngegas Side Hustle-mu 

Mau mulai career cushioning tapi bingung mulai dari mana? Nih beberapa platform yang bisa kamu manfaatkan: 

  • Fiverr & Upwork: Cocok buat kamu yang punya skill desain, menulis, edit video, sampai konsultan bisnis. 
  • Sribulancer & Projects.co.id: Versi lokal yang lebih ramah buat kita yang ada di Indonesia. 
  • LinkedIn: Bukan cuma buat apply kerja, tapi juga bangun personal branding dan menemukan proyek freelance. 
  • Instagram & TikTok: Kalau kamu kreatif dan suka bikin konten, dua platform ini bisa bantu kamu dikenal dan dilirik brand. 

Upgrade Skill Lewat Kursus Online 

Career cushioning bukan cuma soal cari uang tambahan, tapi juga soal menyiapkan dirimu untuk peluang yang lebih baik. Banyak banget kursus online yang bisa bantu kamu upgrade skill, kapan saja dan di mana saja, misalnya kamu bisa coba Udemy.  

Dengan skill yang terus diperbarui, kamu jadi punya nilai tambah di dunia kerja dan ini bisa jadi “tameng” saat kondisi kerja enggak menentu. 

Baca Juga: Lagi Nganggur? Ini Cara Biar Tetap Produktif & Dilirik HRD 

Teknologi: Teman Setia Career Cushioning 

Di tengah ketidakpastian dunia kerja, teknologi bisa jadi penyelamat. Ibarat seatbelt tambahan buat karier kamu. Kamu tetap jalan di jalur pekerjaan utama, tapi di saat yang sama, kamu juga bangun jalan alternatif lewat dunia digital: dari ikut komunitas online, kursus daring, sampai mulai side hustle. 

Kalau kamu mulai merasa enggak yakin sama posisi kerja sekarang, atau sekadar kepingin lebih siap menghadapi masa depan, sekarang waktu yang pas banget buat mulai career cushioning—tanpa harus menunggu situasi darurat dulu. 

Read More
tips produktif saat menunggu panggilan kerja

Lagi Nganggur? Ini Cara Biar Tetap Produktif & Dilirik HRD

Menunggu kabar setelah melamar kerja memang bisa jadi salah satu momen paling bikin deg-degan dalam perjalanan karier siapa pun. Apalagi kalau kamu sudah kirim puluhan lamaran, ikut beberapa interview, tapi hasilnya masih nihil. Enggak heran kalau rasa cemas, insecure, bahkan mulai overthinking datang bertubi-tubi. Mungkin kamu mulai berpikir, “Aku kurang apa, sih? Tenang, kamu enggak sendirian. Banyak pencari kerja juga pernah ada di titik ini, fase gantung yang bikin galau.

Tapi, penting banget buat diingat: Masa menunggu bukan berarti waktunya berhenti total. Justru ini momen emas buat kamu upgrade diri, recharge mental, dan siap-siap menyambut peluang berikutnya. Daripada bengong menunggu kabar, mending pakai waktu ini buat mengasah skill, bangun portofolio, atau sekadar memperbaiki isi CV.

Nah, dikutip dari The Muse, How to Stay Sane When Waiting to Hear Back About a Job You Really, Really Want, kita akan bahas beberapa hal produktif yang bisa kamu lakukan sambil menunggu panggilan kerja. Mulai dari hal teknis kayak revisi CV dan belajar skill baru. Tujuannya jelas: Biar kamu tetap aktif, positif, dan siap gas begitu ada kesempatan yang datang.

Karena pada akhirnya, keberuntungan sering datang ke mereka yang sudah siap.

Baca Juga: Hai ‘Job Seeker’, Simak 9 Tanda Kamu Sudah Pasti Diterima Kerja

1. Pengembangan Diri: Cara Jitu Manfaatkan Masa Tunggu Panggilan Kerja

Waktu adalah aset paling berharga ketika kamu sedang menunggu kabar dari perusahaan. Daripada cuma diam dan overthinking, kenapa enggak dipakai buat upgrade diri? Enggak harus selalu ikut kursus mahal kok—yang penting kamu terus berkembang, baik secara personal maupun profesional.

Kenapa pengembangan diri penting banget?

Anggap saja kamu ini produk yang lagi ditawarkan ke perusahaan. Produk yang terus di-upgrade pasti lebih menarik, kan? Nah, hal yang sama berlaku buat kamu. HRD pasti lebih tertarik sama kandidat yang kelihatan aktif belajar dan berkembang.

Selain bikin kamu stand out, pengembangan diri juga bantu menaikan rasa percaya diri. Kamu jadi makin tahu apa kekuatanmu, bisa jawab pertanyaan interview dengan yakin, dan siap banget terjun ke dunia kerja.

2. Personal Branding: Agar Enggak Sekadar “Ada” di Dunia Profesional

Zaman sekarang, CV oke dan IPK tinggi doang sudah enggak cukup. Kamu juga perlu dikenal, bukan buat pamer, tapi supaya kamu terlihat sebagai pribadi yang punya nilai, keahlian, dan karakter yang relevan di bidangmu. Nah, di sinilah peran personal branding.

Apa sih personal branding itu?

Simpelnya, ini adalah cara kamu membentuk citra diri di mata publik, terutama rekruter, klien, atau calon atasan. Kalau brand pribadimu kuat, kamu bakal lebih gampang diingat dan dipercaya.

Cara bangun personal branding dari nol:

  • Kenali diri sendiri dulu

Apa sih kelebihanmu? Kamu minat di bidang apa? Nilai hidup dan gaya kerja seperti apa yang kamu pegang? Jawaban-jawaban ini penting buat menentukan arah branding kamu.

  • Pilih platform yang pas

Kamu enggak harus aktif di semua platform. Pilih aja yang paling sesuai:

  • LinkedIn buat kamu yang fokus ke dunia profesional.
  • Instagram/TikTok buat kamu yang di industri kreatif.
  • Twitter/X buat sharing insight dan ikutin tren industri.
  • Blog/Medium kalau kamu suka nulis panjang dan berbagi ide.
  • Optimalkan profilmu

Pakai foto yang proper, tambahkan portofolio, pengalaman organisasi, dan karya yang bisa menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Tampilkan dengan rapi dan profesional, sesuai bidang yang kamu geluti.

Baca Juga: Apa Itu Startup Bubble dan Mengapa Startup Melakukan PHK Besar-besaran?

3. CV dan Surat Lamaran

Banyak yang masih menganggap CV dan surat lamaran itu formalitas belaka. Padahal, ini dua dokumen yang jadi first impression HRD ke kamu. Kalau selama ini kamu masih pakai format lama zaman kuliah, sekarang waktunya rebranding!

Tips upgrade CV dan surat lamaran kamu:

  • Evaluasi isinya

Pastikan semua info relevan dan up-to-date. Jangan cuma tulis “mengelola media sosial”, tapi jelaskan dampaknya, misal: “sukses meningkatkan engagement IG sebesar 45% dalam 3 bulan.”

  • Perbaiki tampilannya

Gunakan desain yang clean dan profesional. Banyak kok template keren misalnya di Canva. Pilih yang sesuai dengan citra kamu: minimalis buat kreatif, formal buat profesional hukum/keuangan.

  • Surat lamaran jangan asal tempel

Gunakan surat lamaran buat ngobrol langsung ke rekruter. Ceritakan kenapa kamu tertarik di posisi itu, dan apa yang bikin kamu cocok. Tunjukkan kamu paham perusahaan yang kamu lamar.

Kalau kamu melamar ke banyak jenis posisi, siapkan beberapa versi CV dan surat lamaran. Ini bakal bantu kamu apply lebih cepat tanpa harus mulai dari nol tiap kali ada lowongan baru.

Terakhir, jangan ragu minta feedback. Bisa dari teman, dosen, atau mentor. Bahkan sekarang banyak sesi review CV gratis yang diadakan komunitas di LinkedIn.

Baca Juga: 4 Tips Buat ‘Fresh Graduate’ yang Sulit Mendapat Kerja

4. Freelance & Side Hustle: Cari Pengalaman dan Cuan di Waktu Senggang

Menunggu panggilan kerja bukan berarti kamu harus pasif. Justru, ini momen pas buat mencari pengalaman dari proyek-proyek freelance atau side hustle. Selain nambah portofolio dan skill, kamu juga bisa dapat penghasilan tambahan.

Freelance cocok buat kamu yang punya skill spesifik, kayak menulis, desain, video editing, coding, atau social media. Banyak kok platform yang bisa kamu coba: Freelancer, Sribulancer, Fiverr, Projects.co.id, atau cukup aktif saja di LinkedIn dan grup komunitas.

Kalau kamu ingin coba hal baru, kamu juga bisa eksplor side hustle—dari jualan online, buka jasa les privat, sampai jadi affiliate. Meski terdengar sederhana, aktivitas ini menunjukkan kamu punya inisiatif dan semangat kerja, nilai plus banget di mata rekruter.

Dan yang paling penting, pengalaman ini bisa kamu masukan ke CV dan cerita di interview nanti. Banyak juga, lho, yang akhirnya direkrut full-time karena performa freelance-nya oke banget.

Read More
queen bee syndrome di dunia kerja

Bukan Cuma Kompetisi, Ini Alasan ‘Queen Bee Syndrome’ Masih Terjadi di Kantor

Dari luar, keberhasilan perempuan di dunia kerja sering terlihat keren dan penuh inspirasi. Tapi, ada sisi lain yang jarang dibicarakan, yaitu fenomena Queen Bee Syndrome. Ini adalah situasi ketika perempuan yang sudah mencapai posisi tinggi justru bersikap kurang suportif, atau bahkan menjatuhkan rekan perempuan lainnya yang sedang berusaha naik level di jalur karier yang sama.

Fenomena ini biasanya muncul karena ada rasa terancam. Perempuan yang sudah “sukses duluan” kadang merasa pencapaiannya jadi kurang istimewa kalau makin banyak perempuan lain yang juga berhasil. Akibatnya, mereka bisa jadi enggan membantu, atau malah mempersulit rekan perempuannya untuk berkembang. Bukannya saling dorong, malah jadi saingan yang enggak sehat.

Baca Juga: Hak Pekerja Perempuan di Indonesia yang Perlu Diketahui

Asal Usul Istilah Queen Bee Syndrome

Dikutip dari BBC, Queen bees: Do women hinder the progress of other women?, istilah Queen Bee Syndrome pertama kali muncul di tahun 1973, lewat penelitian tiga profesor psikologi dari University of Michigan: GL Staines, TE Jayaratne, dan C. Tavris. Waktu itu, mereka melihat sebuah pola menarik, perempuan yang sudah mencapai posisi tinggi di kantor malah sering bersikap dingin atau kurang mendukung perempuan lain yang sedang berjuang membangun karier.

Nama “Queen Bee” sendiri diambil dari dunia lebah, di mana hanya ada satu betina dominan yang bisa berkembang biak dan menguasai sarang. Dalam konteks tempat kerja, istilah ini merujuk pada perempuan yang berusaha mempertahankan posisi puncaknya dengan menghalangi perempuan lain agar tidak “naik kelas”.

Awalnya, konsep ini sempat jadi perdebatan karena dianggap menyudutkan perempuan, seolah-olah merekalah penyebab kurangnya solidaritas antar sesama. Tapi, seiring berkembangnya studi feminis dan psikologi kerja, semakin jelas bahwa sikap seperti itu biasanya bukan murni karena karakter si perempuan, tapi karena tekanan struktural dalam sistem kerja yang masih sangat maskulin.

Dalam dunia kerja yang cuma menyisakan “satu-dua kursi” untuk perempuan di level atas, persaingan bisa terasa lebih tajam. Jadi, wajar kalau ada rasa terancam saat perempuan lain mulai menunjukkan potensi. Hal ini juga diamini oleh Naomi Ellemers, profesor dari Universitas Utrecht, yang bilang bahwa perempuan yang sudah berhasil sering merasa mereka harus kerja ekstra keras untuk membuktikan diri. Karena itu, mereka cenderung ragu kalau ada perempuan lain yang ingin mengikuti jejaknya.

Peneliti juga menekankan bahwa Queen Bee Syndrome sering disalahpahami. Sebenarnya, ini bukan akar masalah, tapi lebih ke akibat dari sistem kerja yang masih bias gender. Jadi, kalau kita mau menghapus sindrom ini, solusinya bukan menyalahkan individunya, tapi memperbaiki sistem yang membuat perempuan merasa harus bersaing satu sama lain.

Baca Juga: Tersandera ‘Glass Cliff’, Perempuan Pekerja Sulit Berkembang

Kenapa Sih Queen Bee Syndrome Bisa Terjadi?

Queen Bee Syndrome enggak muncul begitu saja tanpa sebab. Ada banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari tekanan di lingkungan kerja, pola pikir yang terbentuk sejak lama, sampai sistem yang belum benar-benar ramah perempuan.

Dikutip dari artikel Forbes, Queen Bees Still Exist, But It’s Not The Women We Need To Fix, berikut ini beberapa alasan kenapa sindrom ini bisa muncul di tempat kerja:

  1. Budaya Kerja yang Maskulin dan Super Kompetitif

Banyak kantor masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang maskulin, seperti kompetisi ketat, sistem hierarki kaku, dan ekspektasi bahwa kalau mau sukses, perempuan harus bersikap “seperti laki-laki”. Dalam lingkungan seperti ini, perempuan yang berhasil naik ke atas sering kali merasa harus bertahan dengan cara menyesuaikan diri dan mengorbankan rasa solidaritas dengan perempuan lain.

Mereka mungkin khawatir kalau terlalu mendukung sesama perempuan, justru bisa dianggap lemah atau enggak profesional. Akhirnya, mereka memilih jaga jarak dan mempertahankan posisi mereka sebagai “yang terpilih”.

  1. Seksisme yang Terinternalisasi (Internalized Sexism)

Kadang, tanpa sadar perempuan bisa menyerap pandangan patriarkal, misalnya percaya bahwa perempuan enggak sekuat atau sepantas itu berada di posisi puncak. Kalau ini sudah mengakar, mereka bisa merasa seolah-olah hanya ada satu kursi untuk perempuan di atas, dan itu harus dipertahankan sendiri.

Akibatnya, alih-alih saling dorong, mereka justru saling sikut. Mereka melihat diri sendiri sebagai pengecualian, dan menilai perempuan lain belum cukup layak untuk ada di level yang sama.

  1. Tekanan Jadi “Satu-satunya Perempuan” di Lingkungan Top-Level

Dalam banyak organisasi, masih jarang banget perempuan yang ada di jajaran atas. Ketika cuma ada satu atau dua perempuan di posisi penting, mereka sering dapat tekanan besar karena dianggap mewakili seluruh gender. Istilahnya, tokenism.

Karena merasa harus kerja ekstra keras untuk membuktikan diri, kehadiran perempuan lain bisa terasa seperti ancaman. Rasa persaingan pun muncul, dan bukan lagi soal kerja sama, tapi soal bertahan di posisi langka.

  1. Minimnya Role Model dan Mentor Perempuan

Enggak semua perempuan punya kesempatan dapat mentor atau panutan perempuan saat membangun karier. Akibatnya, mereka tumbuh dengan pola pikir “harus berjuang sendiri”. Gaya kerja yang individualis ini bisa bikin mereka enggan berbagi pengalaman atau membimbing rekan sesama perempuan.

Tanpa kultur mentoring, hubungan antarperempuan di kantor bisa jadi terasa kaku, canggung, atau malah penuh curiga.

  1. Belum Punya Kesadaran Gender dan Semangat Kolektif

Enggak semua orang punya akses atau pemahaman soal pentingnya solidaritas antarperempuan dan nilai-nilai feminisme. Tanpa bekal ini, gampang banget terbawa arus individualisme dan saling bersaing, daripada saling angkat.

Padahal, makin tinggi kesadaran gender, makin besar peluang kita untuk melihat kesuksesan bukan sebagai ancaman, tapi sebagai peluang membuka jalan untuk perempuan lainnya.

Baca Juga: Menjadi ‘Ally’: Mengapa Pria Perlu Berjuang untuk Kesetaraan Gender

Mengatasi Queen Bee Syndrome

Menurut Naomi Ellemers, Queen Bee Syndrome enggak bisa diselesaikan hanya dengan menyalahkan atau “memperbaiki” para perempuannya saja. Masalah utamanya ada di sistem dan budaya kerja yang masih penuh bias gender. Jadi, solusinya adalah membenahi lingkungan kerjanya, mulai dari mengurangi diskriminasi, membangun budaya yang lebih inklusif, sampai memastikan setiap orang punya kesempatan yang sama buat berkembang.

Selain itu, penting juga untuk mulai mengapresiasi pencapaian perempuan di tempat kerja, sekaligus membuka ruang agar mereka bisa bantu sesama perempuan lain untuk tumbuh bersama.

Satu hal yang enggak kalah penting adalah membangun solidaritas. Hubungan yang sehat dan suportif antarperempuan bisa dibangun lewat mentoring, kerja sama tim, serta dukungan dalam perjalanan karier. Perusahaan juga punya peran besar, mereka perlu menciptakan budaya yang enggak cuma menghargai keberagaman, tapi juga mendorong lingkungan kerja yang adil dan setara bagi semua.

Read More
apa itu career detox

‘Career Detox’: Saatnya Istirahat dari Kerja yang Bikin Lelah Mental

Pernah merasa capek banget sama kerjaan, kayak semangatmu hilang entah ke mana? Bisa jadi itu tanda kamu butuh yang namanya career detox. Bukan cuma soal cuti atau liburan panjang, tapi lebih ke waktu buat berpikir ulang dan nyegerin lagi tujuan kariermu. Kadang, kita butuh jeda agar bisa jalan lagi dengan arah yang lebih jelas.

Dikutip dari Harvard Business Review, Time for a Career Detox? Try This Exercise, career detox itu semacam proses “bersih-bersih” dari tekanan dan kejenuhan dalam dunia kerja. Kalau biasanya detox dikaitkan dengan mengeluarkan racun dari tubuh, kali ini konteksnya lebih ke hubungan kamu sama pekerjaan, bagaimana cara kamu menjalankannya, merasakannya, dan berpikir soal masa depanmu di sana. Bukan berarti langsung resign, ya. Ini lebih ke usaha sadar buat nge-reset arah karier supaya lebih selaras sama diri sendiri, apa yang kamu suka, nilai-nilai kamu, dan tujuan hidupmu.

Secara simpel, career detox artinya kamu membereskan lagi hal-hal yang selama ini bikin pekerjaan terasa berat atau bikin kamu stuck. Bisa karena stres yang enggak kelar-kelar, merasa enggak cocok sama budaya kerja, atau bahkan sudah dapat posisi oke tapi tetap merasa kosong.

Prosesnya enggak instan. Kamu perlu jujur sama diri sendiri, apa yang bikin kamu enggak nyaman, apa yang perlu diubah, dan kapan harus berhenti sejenak. Intinya sih bukan cuma agar tidak burnout, tapi agar kamu bisa menemukan lagi semangat dan makna dari pekerjaan yang kamu jalani tiap hari.

Baca Juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Tanda-Tanda Kamu Perlu Career Detox

Kadang kita terlalu sibuk mengejar deadline atau tenggelam dalam rutinitas sampai enggak sadar kalau badan dan pikiran sebenarnya sudah memberikan sinyal minta istirahat. Bukan sekadar liburan singkat, tapi jeda yang lebih dalam untuk mengatur ulang hubungan kita sama kerjaan. Kalau akhir-akhir ini kamu merasa capek terus, kehilangan semangat, atau mulai mempertanyakan kenapa kamu kerja, mungkin itu waktu yang pas buat mempertimbangkan career detox.

Dikutip dari CNBC, 6 subtle signs you need time off from work, says psychologist, berikut beberapa sinyal yang bisa jadi pertanda kamu sudah butuh banget break dan evaluasi ulang karier:

  1. Capeknya Gak Hilang Meski Sudah Libur

Kalau habis weekend atau cuti tetap saja merasa lelah secara emosional dan mental, itu bisa jadi bukan cuma soal kurang tidur. Bisa saja tubuhmu lagi minta pemulihan yang lebih dalam, secara psikologis. Rasa capek yang terus-menerus ini biasanya jadi tanda kalau ada beban kerja (atau beban pikiran) yang belum kamu sadari.

  1. Pekerjaan yang Dulu Bikin Semangat, Sekarang Terasa Hambar

Ingat waktu kamu masih excited banget tiap mau kerja? Sekarang mungkin kamu bangun pagi saja sudah males, atau merasa kerja cuma rutinitas yang harus diselesaikan tanpa makna. Kalau sudah kayak gini, tandanya kamu lagi kehilangan koneksi sama alasan kenapa kamu kerja dari awal.

  1. Jadi Mudah Emosi atau Overthinking Hal Kecil

Kebiasaan jadi cepat kesal, gampang tersinggung, atau malah menarik diri dari obrolan di kantor bisa jadi sinyal kamu lagi jenuh berat. Mood swing ini sering muncul saat kamu sudah kelelahan secara mental. Saatnya berhenti sebentar dan kasih ruang buat atur ulang energi dan emosi.

  1. Prestasi Kerja Jadi Terasa Hambar

Mungkin kamu baru saja menyelesaikan proyek besar atau dapat promosi, tapi entah kenapa rasanya… kosong. Enggak ada rasa bangga atau puas kayak dulu. Kalau sudah kayak gitu, bisa jadi pekerjaanmu sekarang sudah enggak sejalan lagi sama apa yang kamu anggap penting dalam hidup.

  1. Hidup Pribadi Mulai Tergeser Sama Pekerjaan

Kapan terakhir kali kamu hang out sama teman, mengobrol santai bareng keluarga, atau punya waktu buat diri sendiri tanpa memikirkan pekerjaan? Kalau kamu sudah terlalu sibuk sampai lupa caranya istirahat atau bersenang-senang, itu red flag banget. Kamu butuh waktu buat menjaga kembali keseimbangan hidup dan kerja.

Baca Juga: Bos Red Flag Bikin Stres? Ini Strategi Bertahan di Tempat Kerja

Cara Melakukan Career Detox

Setelah sadar kalau kamu butuh career detox, mungkin kamu bertanya-tanya: “Terus, gue harus mulai dari mana?” Enggak perlu buru-buru resign atau langsung kabur ke tempat sepi. Career detox bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang realistis tapi powerful, asal kamu konsisten dan niat.

Dikutip dari The Every Girl, This 4-Step Detox Can Help You Stop Dreading Your Task List, berikut beberapa cara sederhana tapi berdampak yang bisa kamu coba:

  1. Ambil Jeda, Sekecil Apa Pun Itu

Langkah awal yang paling penting adalah memberikan diri kamu waktu buat berhenti sejenak. Bisa ambil cuti sehari, long weekend, atau sekadar beberapa jam di sore hari buat rehat dari urusan kerja. Tujuannya? Supaya pikiran kamu bisa keluar dari mode autopilot yang bikin lelah terus-menerus.

  1. Coba Refleksi Karier Secara Jujur

Tanya ke diri sendiri beberapa hal penting:

  • Masihkah aku suka kerjaan ini?
  • Apakah aku merasa dihargai di tempat kerja?
  • Apakah pekerjaan ini masih sejalan dengan value hidupku?
  • Apakah aku merasa berkembang?

Tulis jawabanmu. Dari situ, kamu bisa mulai nemu pola-pola yang bikin kamu merasa stuck atau burnout.

  1. Istirahat dari Notifikasi dan Email Kantor

Salah satu sumber stres terbesar zaman sekarang adalah notifikasi yang enggak ada habisnya. Saat lagi detox, coba benar-benar putus dulu dari urusan kerja: logout dari email kantor, matikan notifikasi dari grup kerja, dan kasih tahu rekan atau atasan kalau kamu lagi butuh waktu off. Dunia enggak akan runtuh, kok.

  1. Lakukan Lagi Hal-Hal yang Kamu Suka

Waktu detox ini juga bisa jadi momen buat reconnect sama hal-hal yang dulu bikin kamu happy tapi sudah lama kamu tinggalkan. Entah itu masak, nonton film favorit, melukis, main musik, olahraga, atau sekadar jalan sore tanpa distraksi. Semua ini bisa bantu kamu isi ulang energi mental dan emosional.

  1. Berbicara dengan Mentor atau Profesional

Kadang, untuk bisa melihat situasi dengan lebih jernih, kita butuh sudut pandang dari orang lain. Coba bicara dengan mentor, coach karier, atau psikolog. Mereka bisa bantu kamu menggali lebih dalam soal potensi, arah karier, bahkan luka-luka kerja yang belum selesai kamu proses.

Ingat, minta bantuan bukan berarti kamu lemah. Justru itu tanda kamu serius menjaga diri dan masa depanmu.

Read More
batas usia dan syarat penampilan akan dihapus pemerintah

Kemenaker Dorong Rekrutmen Tanpa Batasan Usia dan Syarat ‘Good Looking’

Buat banyak pencari kerja di Indonesia, batas usia masih jadi tembok tinggi yang susah ditembus. Enggak sedikit lowongan yang menyantumkan syarat maksimal umur, misalnya 30 tahun, bahkan ada yang cuma sampai 27 tahun. Padahal zaman sudah berubah, masa iya standar kayak gitu masih dipakai?

Dikutip dari Kompas, Kenapa Mencari Pekerjaan di Indonesia Ada Batasan Umur?, menurut Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), alasan kenapa batas usia masih dijadikan syarat adalah karena jumlah pelamar sering kali jauh lebih banyak daripada posisi yang tersedia.

“Bayangin aja, buka lowongan untuk 10 orang tapi yang daftar sampai 1.000. Masa iya semuanya dites satu-satu? Ya susah juga. Jadi akhirnya dipilih cara paling cepat: saring dari usia dulu,” kata Bob.

Dia juga membandingkan dengan situasi di Singapura. Di sana, nyaris enggak ada batasan usia dalam lowongan kerja. Kenapa? Karena jumlah lapangan kerja lebih banyak dari pelamarnya.

“Di Singapura, usia 70 tahun pun masih bisa kerja bersih-bersih. Karena lowongan kerja banyak, sementara pelamarnya sedikit. Jadi sebenarnya bukan soal usia yang produktif atau enggak, tapi karena di Indonesia lowongan kerja yang tersedia memang belum banyak,” jelasnya.

Baca Juga: Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba

Menuju Lowongan Kerja Tanpa Batasan Usia

Kabar baiknya, pemerintah mulai mempertimbangkan buat menghapus batas usia dari syarat perekrutan kerja. Seperti dikutip dari Detik Finance, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, berencana mendorong perusahaan agar enggak lagi membatasi usia dalam proses rekrutmen.

Menurutnya, batas usia justru jadi salah satu penghambat terbesar buat penyerapan tenaga kerja. Tapi rencana ini masih akan bersifat imbauan, belum berupa regulasi yang mengikat.

“Nanti Insyaallah kita akan respons segera dengan suatu imbauan,” ujar Yassierli saat ditemui usai pembukaan Job Fair di Kantor Kemnaker, Kamis (22/5/2025).

Untuk tahap awal, kebijakan ini rencananya akan dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran (SE). Tapi belum dipastikan kapan tepatnya SE tersebut akan dirilis, karena Kemnaker juga baru saja mengeluarkan SE soal larangan penahanan ijazah.

Langkah Awal Menuju Rekrutmen Tanpa Diskriminasi

Sebenarnya wacana ini sudah sempat disampaikan Yassierli awal Mei lalu. Dalam pernyataannya, dia menekankan pentingnya proses rekrutmen yang bebas dari diskriminasi, termasuk soal usia.

“Kita ingin semua orang punya peluang yang sama untuk masuk ke dunia kerja, tanpa dibatasi faktor usia,” tegasnya dalam acara di Plaza BPJAMSOSTEK, Jakarta Selatan.

Kemnaker pun berjanji akan mulai menyisir satu per satu hambatan yang bikin akses kerja jadi enggak merata. Salah satunya ya syarat umur ini.

“Kalau ada hal-hal yang berpotensi jadi penghalang, itu yang akan kita evaluasi. Supaya setiap orang punya kesempatan yang setara,” tutup Yassierli.

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Kemenaker Bakal Larang Syarat “Good Looking” di Lowongan Kerja

Tidak cuma penghapusan batas usia di lowongan kerja, tapi ada wacana juga syarat good looking akan dihapuskan. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) punya rencana besar: syarat “good looking” alias harus menarik secara fisik bakal dilarang dicantumkan di lowongan kerja.

Dikutip dari Kompas, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel, menyampaikan hal ini saat menutup Job Fair 2025. Selain penampilan, syarat lain seperti batas usia dan status pernikahan juga bakal ikut dihapus dari daftar kriteria rekrutmen.

“Kita enggak mau lagi ada pencari kerja yang dibebani syarat berat kayak harus cantik, ganteng, belum nikah, atau usia tertentu. Itu semua akan dihapus lewat surat edaran yang segera kami keluarkan,” ujar Noel dalam siaran daring, Jumat (23/5/2025).

Kenapa Syarat-Syarat Ini Harus Dihapus?

Menurut Noel, langkah ini sangat penting buat bantu para pencari kerja, khususnya generasi muda, bisa lebih mudah masuk ke dunia kerja. Soalnya, Indonesia saat ini tengah menikmati bonus demografi. Artinya, penduduk usia produktif kita lagi tinggi-tingginya. Tapi kalau akses kerja dibatasi hal-hal enggak relevan kayak penampilan atau status, sayang banget potensinya bisa kebuang sia-sia.

Baca Juga: 4 Tips Buat ‘Fresh Graduate’ yang Sulit Mendapat Kerja

Stop Pelecehan dan Praktik Rekrutmen Toxic

Noel juga menyinggung masalah yang lebih serius: pelecehan dalam proses rekrutmen. Ia menegaskan agar perusahaan stop melakukan praktik tidak pantas seperti menanyakan ukuran bra ke pelamar perempuan.

“Maaf ya, saya bukan maksud jorok. Tapi ini serius. Kalau ada HRD nanya ukuran BH, itu pelecehan. Dan bisa dipidana. Kemenaker enggak akan tinggal diam kalau ada hal kayak gitu,” tegasnya.

Penahanan Ijazah = Pemerasan

Masalah lain yang juga jadi perhatian Noel adalah soal penahanan ijazah karyawan. Menurutnya, praktik ini sudah enggak bisa ditoleransi. Apalagi kalau ijazah ditahan dan karyawan diminta tebusan uang buat mengambilnya.

“Kalau masih ada perusahaan yang nahan ijazah dan minta uang buat nebus, itu bisa kita jerat dengan pasal pemerasan. Kami siap bawa ke jalur hukum pakai pasal penggelapan di KUHP,” kata Noel.

Read More
Tips Buat Kamu yang Masih Susah Cari Kerja

Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba

Di zaman sekarang, cari kerja tuh enggak semudah yang orang bayangkan. Banyak yang berpikir, asal punya gelar dan semangat, kerjaan pasti datang sendiri. Padahal kenyataannya, persaingan di dunia kerja super ketat. Setiap hari, ribuan orang ngincer posisi yang jumlahnya terbatas banget. Bahkan untuk lowongan level pemula, bisa aja kamu harus bersaing sama ratusan pelamar lain yang sudah punya pengalaman kerja atau portofolio yang lebih oke.

Apalagi kalau kamu baru lulus kuliah, baru resign, atau lagi coba masuk ke bidang yang benar-benar baru. Tantangannya jadi dua kali lipat lebih berat. Rasa stres, insecure, sampai minder kadang muncul tanpa sadar dan bikin kita mulai ragu sama kemampuan diri sendiri.

Belum lagi tekanan dari sekitar—pertanyaan keluarga yang enggak ada habisnya soal “kapan mulai kerja?”, teman-teman yang sudah duluan sukses, atau standar sosial yang bikin kamu merasa ketinggalan jauh. Semua itu bisa bikin proses cari kerja terasa kayak beban berat yang enggak habis-habis.

Kalau kamu lagi merasa stuck dalam proses cari kerja, mungkin ini saatnya buat ubah strategi. Bisa jadi kamu perlu pendekatan baru yang lebih kreatif, entah itu dari cara kamu melamar, tempat kamu cari info lowongan, sampai bagaimana kamu menampilkan skill kamu biar makin standout.

Nah, ada beberapa tips yang bisa kamu coba kalau kamu merasa kesulitan cari kerja. Ini dia rangkumannya dari laman Indeed, 12 Tips for When You’re Having Trouble Finding a Job. Yuk, simak bareng-bareng!

Baca Juga: 8 Tips Cara Membuat CV yang Menarik di Mata Perekrut

Strategi Meningkatkan Peluang Mendapatkan Pekerjaan

Proses cari kerja bukan cuma adu cepat kirim lamaran. Yang paling siap dan paling nyambung dengan kebutuhan perusahaan lah yang biasanya dipilih. Kalau selama ini kamu hanya mengandalkan satu cara, misalnya cuma rutin upload CV ke situs lowongan tanpa berpikir panjang, mungkin sekarang waktunya kamu upgrade strategi.

Ada beberapa langkah konkret yang bisa kamu lakukan supaya peluang dapat kerja impian makin besar.

  1. Bikin CV & Surat Lamaran yang Enggak Generik

CV itu bukan cuma dokumen formal yang numpuk data doang. Anggap saja CV itu kayak ‘brosur’ buat jualan diri kamu ke perusahaan. Jadi, usahakan tampil maksimal!

Sesuaikan isi CV dengan posisi yang kamu lamar. Hindari pakai satu template untuk semua lowongan. Enggak semua recruiter cari hal yang sama.

Tonjolkan hasil kerja, bukan cuma tugas. Contohnya: daripada menulis “handle media sosial,” lebih impactful kalau kamu tulis “menaikan engagement Instagram sebesar 35% dalam 2 bulan.”

Gunakan desain simpel tapi tetap profesional. Pilih template CV yang clean, enggak norak, tapi enak dibaca.

Surat lamaran juga harus personal. Jangan asal copy-paste. Tunjukkan kalau kamu benar-benar mengerti posisi dan perusahaan yang kamu incar.

Baca Juga: Badai PHK di Perusahaan ‘Startup’, Bagaimana Menghadapinya?

  1. Upgrade LinkedIn dan Jejak Digitalmu

Sekarang ini, HR dan recruiter enggak cuma lihat CV saja. Mereka juga mengintip profil online kamu buat dapat gambaran lebih luas soal kepribadian dan kredibilitas kamu.

Banyak orang bikin LinkedIn cuma formalitas, habis itu ditinggalkan. Padahal, platform ini bisa jadi jalan ninja buat dapat kerja. Enggak sedikit kok, perusahaan yang langsung rekrut dari sana tanpa publish lowongan di mana-mana.

Selain LinkedIn, jejak digital kamu di platform lain juga bisa jadi bahan pertimbangan, lho. Yuk, cek beberapa hal ini:

  • Googling nama kamu sendiri. Lihat hasilnya, apakah ada info yang bikin kamu terlihat enggak profesional?
  • Atur privasi akun sosial media. Aktif di IG atau TikTok? Enggak masalah. Tapi kalau kontennya pribadi banget, saran di-private saja dulu.
  • Bersihkan postingan yang berpotensi negatif. Hindari unggahan yang isinya nyinyir, kasar, atau bisa menyinggung orang lain.

Ingat, dunia maya itu ibarat etalase. Apa yang kamu tampilkan bisa membentuk kesan, entah itu positif atau sebaliknya. Kamu enggak harus jadi orang yang super formal, tapi pastikan persona onlinemu konsisten dengan citra profesional yang kamu bangun.

  1. Terbuka dengan Peluang Freelance atau Kerja Paruh Waktu

Kalau kamu merasa cari kerja full-time tuh rasanya kayak mencari jarum di tengah jerami, tenang—kamu enggak sendirian. Banyak kok yang lagi berjuang hal yang sama, apalagi di tengah situasi ekonomi yang naik turun seperti sekarang. Tapi, bukan berarti kamu harus menyerah duluan.

Dunia kerja zaman sekarang itu luas banget. Tidak melulu soal kerja kantoran dari jam 9 sampai 5. Justru, banyak peluang lain yang lebih fleksibel dan bisa jadi batu loncatan yang keren buat karier kamu.

Salah satu opsi yang bisa kamu pertimbangkan adalah kerja freelance atau part-time. Terutama kalau kamu punya keahlian tertentu kayak desain, menulis, membuat website, mengelola medsos, atau kemampuan digital lainnya.

Kenapa freelance bisa jadi pilihan bagus?

  • Waktunya fleksibel, kamu bisa kerja dari mana saja.
  • Potensi penghasilannya oke, apalagi kalau proyekmu banyak.
  • Bisa jadi ajang menambah portofolio dan jam terbang.

Kamu bisa ambil lebih dari satu klien atau proyek sekaligus (asalkan tetap teratur dan enggak burnout).

Ada banyak platform freelance yang bisa kamu coba, seperti Freelancer, Upwork, Sribulancer, dan lainnya. Mulai saja dulu, bangun reputasi pelan-pelan.

Selain itu, kerja part-time juga layak banget dicoba sebagai solusi sementara. Ada banyak lowongan paruh waktu di bidang retail, F&B, jadi tutor, sampai customer service. Meski kelihatannya sederhana, pekerjaan seperti ini bisa melatih skill profesional kamu, lho—terutama soal tanggung jawab dan kerja tim.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

  1. Mental Sehat dan Rasa Percaya Diri Itu Kunci

Ditolak waktu melamar kerja? Wajar banget. Tapi yang penting adalah bagaimana kamu menyikapinya.

Coba ubah mindset kamu. Daripada berpikir, “Kayaknya aku enggak cukup bagus,” lebih baik berpikir, “Mungkin belum rezekinya sekarang, tapi pasti ada tempat yang lebih cocok buat aku.”

Rasa percaya diri itu penting banget. Percaya atau enggak, HRD bisa menangkap vibe kamu dari CV, email, sampai wawancara. Orang yang pede biasanya kelihatan lebih meyakinkan dan gampang diingat.

Satu hal penting lainnya: jangan kebanyakan membandingkan diri sama orang lain. Di era media sosial, melihat teman posting soal kerjaan baru atau promosi bisa bikin kamu merasa ketinggalan. Tapi ingat ya, semua orang punya timeline-nya sendiri.

Membandingkan diri cuma bakal bikin kamu makin down dan ragu sama kemampuan sendiri. Mending fokus aja ke prosesmu, perbaiki sedikit demi sedikit, dan tetap semangat. Kamu enggak tahu perjuangan lengkap orang lain, jadi jangan pakai itu sebagai standar buat nilai dirimu sendiri.

Read More
cara sehat lepas dari hustle culture

Adakah Cara Sehat Lepas dari Tekanan ‘Hustle Culture’?

Pernah enggak sih kamu merasa 24 jam dalam sehari itu kayaknya selalu kurang? Baru saja satu tugas kelar, sudah harus lanjut ke deadline berikutnya. Tiap hari rasanya nempel terus sama laptop atau gadget, sampai lupa rasanya punya waktu untuk diri sendiri atau nongkrong bareng teman.

Dari luar mungkin kamu kelihatan super-produktif. Tapi di balik itu, kamu sering kelelahan, baik karena tekanan kerja, ekspektasi orang sekitar yang tinggi, sampai budaya kantor yang menganggap stres dan kerja non-stop itu hal biasa. Kalau kamu relate sama semua ini, bisa jadi kamu lagi terjebak dalam yang namanya hustle culture.

Dikutip dari BBC, Hustle culture: Is this the end of rise-and-grind?, hustle culture itu semacam pola pikir yang bikin kita percaya kalau kerja keras tanpa henti adalah satu-satunya jalan menuju sukses. Istirahat dianggap enggak penting, dan waktu santai malah sering dinilai sebagai bentuk kemalasan. Mantra seperti “kerja dulu, tidur belakangan” atau “enggak ada sukses buat yang suka rebahan” jadi semacam slogan enggak resmi buat para pejuang lembur.

Sekilas, gaya hidup ini kelihatan keren dan inspiratif. Tapi kalau ditelaah lebih dalam, hustle culture justru bisa bikin kita terjebak dalam siklus kerja yang bikin capek badan dan pikiran tanpa ujung.

Baca Juga: Mungkinkah Pisahkan Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan?

Kenapa Hustle Culture Bisa Ngetren?

Masih dari BBC, ada beberapa alasan kenapa hustle culture jadi booming, apalagi di kalangan anak muda. Salah satunya: Media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, atau LinkedIn sering banget menunjukan sisi glamor dari hidup orang sukses, sibuk terus, kerja keras, penuh pencapaian. Kita pun jadi merasa harus ikut hustle agar kelihatan “berhasil”.

Selain itu, dunia startup dan industri kreatif juga ikut menyumbang tren ini. Banyak perusahaan baru yang bangga banget sama budaya kerja yang ‘gila-gilaan’. Kalimat kayak “demi visi besar, kita harus all out” sering kali bikin karyawan merasa harus mengorbankan waktu pribadi dan kesehatan demi proyek besar.

Belum lagi tekanan ekonomi yang bikin kita merasa harus terus kerja biar bisa survive dan tetap relevan di dunia kerja. Campuran dari semua faktor ini menciptakan ilusi kalau satu-satunya jalan menuju sukses adalah kerja terus, tanpa henti, tanpa jeda.

Baca Juga: Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres

Tanda-Tanda Kamu Sudah Terjebak Hustle Culture

Kadang kita enggak sadar kalau hidup kita sudah terlalu dikuasai sama yang namanya kerja terus-menerus. Segala hal rasanya berputar di urusan produktivitas. Padahal, jadi produktif itu bagus, tapi kalau sampai bikin kamu lupa sama kehidupan pribadi, itu tandanya sudah enggak sehat.

Dikutip dari Psychology Today, Why Hustle Culture Is Failing You, agar kamu bisa lebih peka, coba cek lima tanda berikut. Bisa jadi kamu udah terjebak hustle culture tanpa sadar.

  1. Selalu Merasa Bersalah Kalau Lagi Enggak Ngapa-ngapain

Pernah enggak sih lagi santai nonton film terus malah merasa bersalah? Atau waktu rebahan, kepikiran kerjaan terus? Kalau iya, ini bisa jadi sinyal bahaya. Kamu merasa semua waktu harus diisi dengan hal yang produktif, dan istirahat malah bikin kamu tidak nyaman.

  1. Istirahat Jadi Hal yang Dianggap Enggak Penting

Kamu rela begadang demi menyelesaikan pekerjaan, padahal badan dan pikiran sudah capek banget. Bahkan, kamu merasa bangga bisa kerja lembur tiap malam. Ini tandanya kamu sudah mengabaikan kebutuhan dasar: tidur, recharge, dan tenangin diri.

  1. Jadwal Kamu Padat Banget dari Pagi Sampai Malam

Kalender kamu penuh sesak dari Senin sampai Minggu. Setiap jam sudah ada agenda. Bahkan akhir pekan pun enggak luput dari to-do list. Kelihatannya kamu sibuk dan produktif, tapi sebenarnya kamu sudah enggak punya waktu buat diri sendiri atau sekadar berhenti sejenak.

  1. Enggak Bisa Bilang “Tidak” ke Pekerjaan Tambahan

Kamu selalu mengiyakan semua permintaan kerja, walaupun sebenarnya sudah kewalahan. Rasanya enggak enak kalau menolak. Kamu takut dianggap malas atau enggak kompeten, padahal justru kemampuan buat bilang “tidak” itu penting supaya kamu tetap sehat dan enggak burnout.

  1. Waktu buat Diri Sendiri dan Keluarga Makin Menipis

Coba deh ingat-ingat, kapan terakhir kamu menikmati makan malam bersama keluarga tanpa memikirkan notifikasi kerja? Atau weekend tanpa buka laptop? Kalau hal-hal kecil kayak gitu sudah mulai langka, artinya kamu terlalu larut dalam pekerjaan sampai lupa sama orang-orang terdekat.

Baca Juga: Tips Manajemen Stres di Tempat Kerja yang Efektif

Cara Pelan-Pelan Lepas dari Hustle Culture

Keluar dari hustle culture bukan berarti kamu jadi pemalas atau kehilangan semangat kerja. Justru ini soal menemukan ritme hidup yang lebih sehat dan seimbang. Kamu tetap bisa berkarya dan produktif, tapi dengan cara yang enggak bikin kamu tumbang secara fisik maupun mental.

Dikutip dari Fortune, Hustle culture is a dangerous myth, burnout expert says. Here are 6 ways to beat it, ini dia beberapa tips simpel yang bisa kamu coba buat pelan-pelan lepas dari jebakan kerja terus tanpa henti:

  1. Mulai dari Sadar Dulu

Langkah pertama: sadari dulu kalau gaya hidup kamu sekarang sudah enggak sehat. Coba perhatikan, apakah waktumu lebih banyak habis buat kerja? Apakah kamu sering menunda istirahat dan tetap lanjut meski sudah capek banget?

Kalau iya, tandanya kamu perlu mengubah cara jalan hidupmu. Dengan sadar sama pola ini, kamu bisa mulai bikin langkah kecil buat memperbaikinya.

  1. Bikin Batas yang Jelas antara Kerja dan Waktu Pribadi

Penting banget untuk memisahkan waktu kerja sama waktu istirahat. Contohnya:

  • Stop buka email kerja di atas jam 7 malam
  • Tidak membawa-bawa pekerjaan ke hari libur
  • Matikan notifikasi kerja waktu weekend

Kamu butuh waktu buat dirimu sendiri, dan itu sah-sah aja. Batas ini bikin kamu bisa kembali pegang kendali atas waktumu sendiri.

  1. Ubah Cara Pandang: Sibuk Bukan Berarti Produktif

Banyak orang menganggap sibuk itu keren. Padahal, produktif bukan soal seberapa padat jadwalmu, tapi seberapa efektif kamu menyelesaikan sesuatu. Lebih baik kerja fokus 4 jam tapi beres, daripada 12 jam cuma kelihatan sibuk.

Coba cek aktivitas harianmu, apa semuanya benar-benar penting? Atau ada yang cuma mengabiskan energi saja?

  1. Belajar Bilang “Enggak”

Menolak itu bukan dosa, kok. Justru itu bentuk self-care. Kamu enggak harus selalu bilang “iya” ke semua hal. Jaga energi dan fokusmu dengan belajar berkata “tidak” pada hal-hal yang bisa ditunda atau enggak penting-penting banget.

Mulai aja dari hal kecil, seperti menolak ikut rapat yang enggak relevan, atau enggak langsung membalas chat kerja setelah jam kantor.

  1. Kurangi Konten Produktivitas yang Tidak Sehat

Kalau timeline medsos kamu penuh sama orang-orang yang pamer kerja terus tanpa henti, mungkin sudah saatnya bersih-bersih. Banyak konten motivasi yang kelihatannya inspiratif, tapi malah bikin kamu stres dan insecure.

Coba ganti dengan akun-akun yang bahas soal self-care, hidup santai, atau keseimbangan hidup.

  1. Merayakan Kemajuan Kecil

Enggak perlu langsung berubah 180 derajat dalam semalam. Semua proses butuh waktu, dan setiap langkah kecil yang kamu ambil itu berarti. Misalnya minggu ini kamu bisa tidur cukup, atau berhasil nolak satu tugas tambahan, itu layak dirayakan!

Lama-lama, perubahan kecil ini bisa bantu kamu bangun hidup yang lebih stabil dan mindful.

Read More
istilah fear of success di dunia kerja

‘Fear of Success’: Ketika Keberhasilan Malah Bikin Langkahmu Membatu

Pernah enggak sih, kamu merasa deg-degan banget, bahkan sampai cemas berlebihan, justru waktu kamu lagi ada di titik hampir sukses? Rasanya bukan senang, malah kepengin mundur atau kabur. Kalau iya, tenang kamu enggak sendirian.

Dikutip dari Healthline, Explaining the Fear of Success, banyak orang mengalami hal serupa, dan ini dikenal sebagai fear of success. Istilah ini mungkin belum terlalu sering dibahas, tapi realitasnya cukup sering muncul, apalagi di lingkungan kerja yang penuh tekanan dan ekspektasi tinggi.

Yang menarik, takut sukses bukan berarti kamu enggak ingin berhasil. Justru kamu sangat ingin berhasil. Tapi ada sisi dalam diri kamu yang ragu, khawatir, atau takut dengan hal-hal yang mungkin datang setelah sukses itu terjadi. Ini bisa bikin kamu bingung sendiri, karena di satu sisi kamu punya keinginan untuk maju, tapi di sisi lain kamu takut dengan perubahan besar yang bakal datang bersama kesuksesan itu.

Jadi, ini bukan soal kamu kurang ambisi atau mager. Banyak orang ambisius, rajin, dan gigih banget kejar mimpi, tapi tetap diliputi kecemasan waktu mimpi itu mulai kelihatan nyata. Buat sebagian orang, sukses bisa terasa mengintimidasi, bukan karena mereka enggak mampu, tapi karena mereka khawatir harus menanggung tanggung jawab baru, ekspektasi yang makin tinggi, atau bahkan perubahan hubungan dengan orang-orang terdekat yang mungkin enggak siap menerima versi “baru” dari diri kamu.

Baca Juga: Arti Kata ‘Fear Mongering’ yang Viral, Kenapa Pekerja Harus Tahu

Bagaimana Fear of Success Bisa Lebih Kuat Dirasakan oleh Perempuan

Dikutip dari Verywell Mind, Why You May Be Afraid of Success, meski siapa pun bisa mengalami fear of success, ternyata perempuan cenderung lebih rentan terkena dampaknya. Bukan karena mereka kurang hebat atau kurang punya ambisi, tapi karena dari kecil sudah terbiasa menghadapi tekanan sosial, norma budaya, dan ekspektasi gender yang membentuk cara pandang mereka terhadap diri sendiri dan peran mereka di dunia.

Karena itu, rasa takut terhadap keberhasilan ini sering kali terasa lebih rumit dan kadang enggak disadari.

  1. Tuntutan Sosial terhadapPeran TradisionalPerempuan

Sejak dulu, perempuan sering kali diarahkan untuk jadi pendukung, bukan pemimpin. Akibatnya, waktu ada perempuan yang mulai tampil menonjol, punya posisi penting, atau jadi pusat perhatian, komentar miring pun berdatangan, dibilang terlalu ambisius, terlalu dominan, bahkan “enggak seperti perempuan seharusnya.”

Tidak heran banyak perempuan akhirnya menahan diri. Takut dibilang “terlalu” ini atau itu, mereka jadi ogah ambil kesempatan besar, menolak promosi, atau enggak nyaman menunjukkan pencapaian mereka sendiri.

  1. Takut Dicap Egois atau Enggak Peduli Keluarga

Konflik batin juga sering muncul waktu perempuan harus memilih antara mengejar mimpi atau memenuhi ekspektasi keluarga dan pasangan. Banyak yang merasa bersalah kalau sukses, karena takut dianggap terlalu fokus sama diri sendiri dan meninggalkan urusan rumah atau anak.

Pikiran seperti, “Kalau aku makin sibuk, siapa yang mengurus anak?” atau “Kalau aku sukses, orang-orang bakal berpikir aku egois, enggak sih?” bisa bikin perempuan ragu melangkah lebih jauh.

  1. Impostor Syndrome yang Sering Nempel di Perempuan

Banyak perempuan merasa tidak pantas waktu mereka berhasil. Meski jelas-jelas punya kapasitas dan kerja keras, mereka tetap merasa seperti “penipu” yang kapan aja bisa ketahuan kalau sebenarnya mereka enggak sepintar atau sehebat itu.

Perasaan ini bikin mereka jadi ragu buat mengambil tantangan baru atau melangkah lebih tinggi, karena merasa belum cukup layak untuk berada di level itu.

  1. Takut Dijauhi Lingkungan Sosial

Enggak sedikit perempuan yang takut kalau sukses bikin mereka dijauhi atau dianggap berubah. Takut dibilang terlalu sibuk, terlalu dominan, atau “enggak seru lagi” bisa bikin perempuan sengaja meredam keberhasilannya sendiri.

Demi menjaga hubungan yang hangat sama orang-orang terdekat, banyak dari mereka yang memilih tampil ‘biasa aja’ atau bahkan nutupin prestasi mereka.

  1. Minimnya Panutan dan Support System

Kurangnya role model perempuan sukses di sekitar atau di media juga jadi faktor kenapa perempuan takut buat bermimpi besar. Kalau enggak ada contoh nyata bahwa perempuan bisa sukses tanpa kehilangan keseimbangan hidup, wajar kalau rasa ragu dan takut muncul.

Apalagi kalau kerja di lingkungan yang mayoritas laki-laki, bisa bikin perempuan merasa harus kerja dua kali lebih keras buat bisa diakui. Tekanan semacam ini bisa bikin sukses terasa menakutkan, bukan menyenangkan.

Baca Juga: Kenapa Ada Perempuan Takut Sukses, Bagaimana Mengatasinya?

Cara Menghadapi Fear of Success

Kalau kamu merasa takut saat berada di ambang keberhasilan, kamu enggak sendiri, kok. Banyak orang mengalami hal serupa, dan kabar baiknya: Fear of success ini bisa diatasi. Kuncinya ada di kesadaran. Begitu kamu bisa mengenali pola pikir yang selama ini ngerem kamu, kamu bisa mulai pelan-pelan mengubahnya jadi cara pikir yang lebih memberdayakan. Memang butuh waktu, tapi setiap langkah kecil yang kamu ambil itu penting banget menuju versi terbaik dari dirimu sendiri.

Masih dikutip dari Verywell Mind, berikut beberapa langkah yang bisa bantu kamu menghadapi rasa takut akan sukses:

  • Mulai dari Mengakui Rasa Takut Itu Sendiri

Langkah pertama dan paling penting adalah jujur sama diri sendiri. Tanyakan: “Apa iya aku takut sukses?” Misalnya, kamu sering menunda pekerjaan penting, atau langsung cemas tiap memikirkan kemungkinan besar dalam hidupmu, itu bisa jadi sinyalnya.

Coba tulis semua kekhawatiranmu di jurnal atau notes. Lalu tanya ke diri sendiri:

  • Apa sih yang sebenarnya aku takutin kalau sukses?
  • Takut kehilangan waktu buat keluarga?
  • Takut dijauhi karena dianggap berubah?

Dengan mengenali ketakutan ini, kamu bisa lebih mudah mencari cara buat menghadapinya.

  • Lawan Pikiran Negatif yang Selalu Mengganggu

Banyak ketakutan datang dari keyakinan lama yang kita bawa terus tanpa sadar. Misalnya, “Kalau aku terlalu sukses, orang bakal menjauh,” atau “Aku enggak cukup bagus buat ada di posisi ini.” Nah, coba mulai kritis sama pikiran kayak gitu.

Tanya lagi:

  • Emangnya siapa yang bilang begitu?
  • Itu fakta, atau cuma ketakutan yang enggak berdasar?
  • Apa saja bukti bahwa aku sebenarnya mampu?

Mulai ganti self-talk kamu dengan afirmasi positif kayak, “Aku pantas sukses,” atau “Aku bisa terus belajar dan berkembang.” Latih otakmu untuk jadi pendukung, bukan penghambat.

Baca Juga: Tersandera ‘Glass Cliff’, Perempuan Pekerja Sulit Berkembang

  • Redefinisi Makna Sukses Versi Kamu

Kadang yang bikin takut bukan suksesnya, tapi bayangan kita tentang sukses yang terlalu berat: harus selalu unggul, harus punya segalanya, harus sempurna. Padahal, sukses bisa punya banyak bentuk.

Coba pikirkan ulang: Apa arti sukses buat kamu, secara pribadi? Mungkin sukses itu bisa kerja sesuai passion, punya waktu buat orang-orang tersayang, atau bisa hidup dengan tenang. Dengan definisi yang lebih realistis dan personal, sukses jadi terasa lebih dekat dan enggak menakutkan.

  • Punya Rencana yang Enggak Bikin Overthinking

Rasa takut sering muncul karena kita enggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Daripada overthinking soal masa depan, lebih baik mulai bikin rencana kecil dan realistis.

Misalnya, daripada memikiran harus jadi “top di bidang ini,” kamu bisa mulai dari hal-hal konkret seperti update CV, cari mentor, atau selesaikan proyek yang sudah lama tertunda. Satu langkah kecil yang konsisten bisa jadi fondasi kuat untuk langkah-langkah berikutnya.

  • Kelilingi Diri dengan Support System yang Positif

Ingat, kamu enggak harus hadapi semuanya sendirian. Dikelilingi oleh orang-orang yang suportif bisa bikin perjalananmu lebih ringan. Curhat ke teman dekat, pasangan, atau mentor bisa jadi pelepas stres yang efektif banget.

Kalau bisa, gabung juga ke komunitas atau circle yang relevan dengan minat dan bidangmu. Di sana kamu bisa dapat insight baru, teman seperjuangan, dan merasa bahwa kamu enggak sendirian dalam proses ini.

Read More
apa itu istilah nillionaire

Apa Itu Nillionaire? Istilah Viral untuk Generasi yang Gajinya Cuma Numpang Lewat

Kalau kata billionaire sih pasti kamu sudah sering dengar, orang super kaya dengan kekayaan miliaran. Tapi gimana dengan nillionaire? Pernah dengar istilah ini sebelumnya?

Belakangan, kata ini sering banget muncul di media sosial. Walaupun terdengar baru, sebenarnya istilah nillionaire sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Nah, supaya enggak cuma ikut-ikutan, yuk kita kenalan dulu sama arti di balik kata ini!

Apa Sih Maksudnya Nillionaire?

Dikutip dari New Indian Express, istilah nillionaire itu gabungan dari dua kata: nil yang artinya nol, dan millionaire alias jutawan. Jadi kalau diterjemahkan secara langsung, nillionaire adalah orang yang kekayaannya nol besar, enggak punya tabungan, aset, atau properti apa pun.

Istilah ini makin relevan di era sekarang karena banyak banget orang yang walaupun kerja keras, tetap kesulitan untuk mencapai kestabilan finansial. Punya pekerjaan tetap? Iya. Tapi penghasilan cuma cukup untuk bayar kebutuhan sehari-hari. Menabung? Sulit. Investasi? Apalagi beli rumah, rasanya kayak mimpi di siang bolong. Hidupnya benar-benar dari gaji ke gaji, dan kalau ada pengeluaran mendadak, dompet langsung kolaps.

Baca Juga: Cari Side Hustle? Begini Langkah-Langkah Mudah untuk Memulainya

Asal-usul Istilah

Dikutip dari Parapuan, istilah nillionaire pertama kali ramai di internet, terutama lewat platform seperti X dan TikTok. Istilah ini muncul sebagai bentuk sindiran dan curhat soal tekanan ekonomi zaman sekarang. Banyak anak muda pakai kata ini untuk menggambarkan rasa frustrasi mereka, kerja sudah mati-matian, tapi tetap susah banget buat punya keuangan yang stabil, apalagi sampai kaya.

Walau terdengar lucu dan nyeleneh, sebenarnya istilah ini menggambarkan realitas yang serius. Ketimpangan ekonomi makin lebar, dan buat generasi muda, punya kebebasan finansial rasanya makin jauh dari jangkauan.

Bukan berarti mereka pengangguran, ya. Sebaliknya, banyak dari mereka justru kerja keras, tapi tetap kesulitan untuk “naik level” secara ekonomi. Bukan karena malas, tapi karena sistem yang berat sebelah dan biaya hidup yang terus meroket, sementara gaji segitu-gitu aja.

Baca Juga: Buku Wajib Baca Saat ‘Quarter Life Crisis’ Melanda

Tanda-Tanda Kamu Seorang Nillionaire

Jadi nillionaire bukan cuma soal saldo rekening yang tipis. Lebih dari itu, ini soal gaya hidup, beban finansial, dan ketidakmampuan buat menabung atau membangun kekayaan jangka panjang. Dikutip dari India Times, 8 signs that tell whether you are saving money or hoarding it, ini dia beberapa ciri umum yang bisa nunjukin kamu termasuk nillionaire atau enggak:

  1. Gaji Masuk, Gaji Habis

Setiap gajian rasanya kayak cuma lewat. Uang langsung ludes untuk kebutuhan harian: makan, bayar kos, transportasi, tagihan. Nabung? Jangankan nabung, bertahan sampai akhir bulan saja sudah prestasi.

  1. Tidak Punya Tabungan Darurat

Begitu ada kejadian tak terduga, entah sakit, kehilangan kerja, atau harus bayar sesuatu secara mendadak, pilihannya tinggal dua: minjam atau ngutang. Karena memang enggak ada dana cadangan sama sekali.

  1. Aset? Apa Itu?

Punya rumah atau kendaraan pribadi masih jadi angan-angan. Bahkan barang elektronik yang dipakai sehari-hari mungkin hasil cicilan. Kekayaan bersih alias net worth-nya hampir nol, atau malah minus karena utang.

  1. Utang Konsumtif Menumpuk

Solusi jangka pendek kayak paylater, pinjol, atau kartu kredit sering jadi penolong saat kepepet. Tapi ujung-ujungnya malah nambah beban. Utang yang diambil enggak menghasilkan uang, cuma nambah daftar tagihan tiap bulan.

  1. Investasi Terasa Mustahil

Kepingin sih mulai investasi, tapi uangnya sudah habis duluan buat kebutuhan pokok. Akses ke saham, reksa dana, atau tabungan berjangka jadi sesuatu yang rasanya terlalu mewah untuk dipikirkan.

  1. Biaya Hidup Terus Naik

Gaji naik? Iya. Tapi biaya hidup juga enggak mau kalah. Dari sewa kos, harga makanan, sampai ongkos transportasi, semuanya naik terus. Alhasil, secara finansial tetap aja di situ-situ saja, meski sudah bekerja bertahun-tahun.

  1. Mental Capek karena Masalah Uang

Stres memikirkan tagihan, utang, dan masa depan yang enggak pasti jadi beban mental sehari-hari. Uang jadi salah satu sumber kecemasan utama yang bikin hidup terasa berat.

Baca Juga: 5 Cara Tepat Atur Keuangan buat Pekerja, Agar Tak Gampang Boncos

Bagaimana Cara Keluar dari Status Nillionaire?

Jadi nillionaire memang enggak gampang, dan kadang bikin frustasi. Tapi tenang, ini bukan label yang melekat selamanya, kok. Dengan strategi yang pas dan konsisten, kamu bisa pelan-pelan keluar dari kondisi “nol kekayaan” menuju hidup yang lebih stabil secara finansial. Dikutip dari Investopedia, 10 Steps to Financial Security Before Age 30, berikut langkah-langkah praktisnya yang bisa dicoba.

  • Kenali dan Akui Kondisi Keuanganmu

Langkah awal yang enggak bisa dilewatkan: jujur sama diri sendiri soal kondisi keuangan. Coba evaluasi:

  • Berapa total pemasukan dan pengeluaranmu tiap bulan?
  • Ada utang? Kalau iya, berapa jumlah dan bunganya?
  • Punya aset meski kecil, misalnya motor atau tabungan?

Banyak orang enggak sadar kalau keuangannya sebenarnya sudah masuk zona merah, karena malas ngecek atau pura-pura enggak tahu. Padahal, dengan tahu posisi kita saat ini, kita bisa mulai nyusun langkah ke depan dengan lebih tepat.

  • Bikin Anggaran yang Masuk Akal

Anggaran itu ibarat GPS buat keuangan kamu. Gampangnya:

  • Catat semua pemasukan.
  • Kurangi dengan semua pengeluaran.

Gunakan metode budgeting yang sesuai, misalnya:

  • 50/30/20: 50 persen buat kebutuhan, sedangkan 30 persen buat keinginan, dan 20 untuk tabungan atau investasi.
  • Zero-based budgeting: setiap rupiah harus punya tujuan.

Kalau ternyata pengeluaranmu lebih besar dari pemasukan, berarti ada pos yang perlu dipangkas. Rasanya mungkin enggak nyaman, tapi ini langkah penting buat mulai “bernapas” secara finansial.

  • Prioritaskan Dana Darurat

Sebelum berpikir soal cuan dari investasi, pastikan kamu punya dana darurat dahulu. Idealnya sih, cukup untuk menutup 3–6 bulan biaya hidup.

Dana ini sangat penting untuk jaga-jaga kalau ada hal enggak terduga, entah itu kena PHK, sakit, atau keperluan mendesak lainnya. Simpan di rekening khusus atau e-wallet yang enggak gampang diakses, biar tidak dipakai untuk pengeluaran yang tidak penting.

  • Mulai Membereskan Utang Konsumtif

Utang seperti kartu kredit atau pinjol itu bisa jadi jebakan kalau enggak dikontrol. Jadi, sebelum berpikir beli hal-hal baru, yuk fokus lunasin utang dahulu. Ada dua strategi yang bisa kamu coba.

  • Snowball method: bayar dari utang yang nominalnya paling kecil, supaya termotivasi.
  • Avalanche method: bayar dari utang berbunga paling tinggi, biar lebih hemat.

Utang itu sebenarnya enggak selalu jelek, asal tujuannya produktif. Tapi buat kamu yang lagi berjuang dari posisi nillionaire, utang konsumtif harus jadi target utama untuk dibereskan.

  • Hindari Gaya Hidup Konsumtif dan FOMO

Salah satu penyebab keuangan seret adalah gaya hidup yang cuma buat kelihatan keren di mata orang lain. Padahal, kamu enggak harus selalu ikutan tren, beli HP terbaru, atau nongkrong tiap minggu di tempat hits.

Ingat, “yang bikin kaya itu bukan penghasilan besar, tapi gaya hidup sederhana yang bikin kamu bisa nabung.”

Fokus ke prioritas hidupmu, bukan standar orang lain.

Read More
cara bertahan di dunia kerja dari AI

AI Diprediksi Gantikan Tenaga Kerja Manusia, Bagaimana Cara Menghadapinya?

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan alias AI sekarang lagi ngebut banget. Dalam beberapa tahun terakhir, AI sudah semaking menyatu dengan kehidupan kita, baik langsung seperti chatbot atau sistem analisis data super cepat. 

Di dunia kerja, kehadiran AI mewujud di otomatisasi tugas-tugas rutin, chatbot yang membantu customer service, sampai software canggih yang bisa menggolah data besar dalam hitungan detik. Praktis banget, sih. Namun di sisi lain, muncul juga pertanyaan besar: Apakah kita bakal tergantikan sama mesin? 

Faktanya, banyak perusahaan mulai mengganti posisi tertentu dengan sistem otomatis demi efisiensi waktu dan biaya. Ini tentu jadi tantangan, apalagi buat pekerja yang skill-nya masih terbatas dan belum terbiasa dengan teknologi baru. 

Kita sedang ada di masa transisi besar-besaran. Bukan cuma soal teknologi, tapi juga pola pikir, cara kerja, dan kemampuan buat belajar ulang dari nol. Dunia kerja ke depan enggak cuma butuh tenaga, tapi juga adaptasi, kreativitas, dan mental yang siap berubah kapan saja. 

Baca Juga: Seperti Apa Rasanya Bekerja di Tahun 2030? 

Kenapa Adaptasi Jadi Kunci Utama? 

Dikutip dari Japan Times, How to hedge against AI stealing your job, di era AI, yang bikin kamu tetap relevan bukan siapa yang paling mengerti teknologi. Namun, siapa yang paling gesit beradaptasi. Adaptasi di sini bukan berarti kamu harus ganti profesi dalam semalam, tapi lebih ke kemampuan untuk membaca arah perubahan, lalu menyesuaikan diri dengan langkah-langkah strategis. 

Bayangin kamu lagi jadi kapten kapal di tengah badai besar. Kamu memang enggak bisa menghentikan ombak, tapi kamu bisa belajar mengarahkan kapal agar tetap selamat. Begitu juga di dunia kerja—teknologi akan terus maju, tapi kamu bisa bekali diri dengan skill baru, pengetahuan soal tren teknologi, dan mindset yang siap tumbuh

Adaptasi bukan cuma soal bertahan, tapi juga soal menangkap peluang baru. Justru dengan bantuan AI, kamu bisa kerja lebih cepat, lebih efektif, dan mungkin menemukan potensi diri yang selama ini enggak kelihatan. Jadi, bukan tentang takut tergeser, tapi soal bagaimana kamu bisa naik level di dunia yang terus berubah. 

Baca Juga: Cari Side Hustle? Begini Langkah-Langkah Mudah untuk Memulainya 

Tanda-Tanda AI Bisa Geser Posisi Kamu 

Berbicara soal kemungkinan AI menggantikan pekerjaan manusia, sebenarnya enggak selalu terjadi dalam semalam. Biasanya ada tanda-tanda awal yang bisa kamu sadari kalau kamu jeli. Mengenali sinyal ini sejak dini bisa jadi langkah penting untuk mulai bersiap dan adaptasi agar tidak ketinggalan zaman.  

Dikutip dari People Matters, Is your job at risk of AI takeover? 25 signs it is and how to pivot, berikut ini beberapa tandanya:  

  1. Kerjaan Kamu Terlalu Rutin dan Bisa Ditebak 

Kalau tugas sehari-hari kamu isinya itu-itu saja, cenderung berulang, dan alurnya bisa diprediksi, itu jadi sinyal kuat kalau AI bisa ambil alih. Contohnya: 

  • Input data manual 
  • Nyusun laporan dengan format yang sama 
  • Jawab pertanyaan pelanggan yang mirip-mirip terus 
  • Cek dokumen dari typo atau kesalahan sederhana 

AI sangat jago soal yang seperti ini. Mesin bisa dilatih untuk mengenali pola dan mengerjakan tugas yang sifatnya prosedural, tanpa capek, tanpa bosan. 

  1. Perusahaan Mulai Gunakan Sistem Otomatis 

Mulai ada alat baru di kantor yang membantu kerja tim kamu? Atau sudah ada pelatihan internal soal chatbot, AI, atau software otomatis? Nah, itu bisa jadi pertanda perusahaan lagi menyiapkan transisi ke arah digitalisasi lebih lanjut. Artinya, beberapa posisi mungkin akan dipangkas atau digantikan sama sistem yang lebih efisien. 

  1. Ada Pengurangan Karyawan Tanpa Ada Pengganti 

Kalau kamu lihat rekan kerja mulai berkurang tapi perusahaan enggak terburu-buru rekrut orang baru, malah meluncurkan sistem kerja otomatis, itu bisa jadi sinyal bahaya. Umumnya, ini kejadian di bagian customer service, admin, atau posisi yang banyak berurusan dengan input data. 

  1. Pekerjaanmu Enggak Perlu Skill Khusus 

Semakin mudah suatu pekerjaan dilakukan tanpa butuh kreativitas, keputusan kompleks, atau interaksi sosial, makin besar kemungkinan bisa digantikan AI. Contohnya kasir yang cuma scan barang atau operator yang memasukan data berdasarkan pola. 

Sekarang, robot sudah mulai banyak dipakai di sektor ritel, logistik, sampai pabrik-pabrik besar buat mengerjakan pekerjaan seperti ini. 

  1. Kamu Tidak Lagi Upgrade Skill 

Kalau kamu sudah lama ada di posisi yang sama tanpa upgrade skill atau eksplorasi bidang baru, itu bisa jadi warning. AI berkembang terus, dan manusia yang skill-nya jalan di tempat bisa kalah saing. 

Kerjaan yang cuma mengandalkan rutinitas tanpa ada upaya untuk meningkatkan kualitas diri, lambat laun bisa tersisih. Jadi, jangan membiarkan diri kamu stuck, ya. Dunia kerja terus berubah, dan kamu juga harus ikut gerak. 

Baca Juga: Cara Efektif Tingkatkan Kemampuan ‘Leadership’ di Tempat Kerja 

Cara Cerdas Bertahan di Tengah Gempuran AI 

Mungkin kamu sempat berpikir, “Kalau AI makin canggih, manusia masih punya peluang enggak, sih?” Jawabannya: tentu saja masih. Namun caranya bukan dengan pasrah duduk manis sambil berharap teknologi berhenti berkembang. Justru kita harus jadi lebih lincah, adaptif, dan punya strategi yang oke. 

Dikutip dari Forbes, Future-Proof Your Career: 10 Essential Steps For Thriving In An AI-Dominated Workforce, berikut beberapa langkah cerdas yang bisa kamu ambil agar tetap eksis, relevan, dan enggak kalah dengan AI: 

  1. Fokus ke Skill yang Enggak Mudah Digantikan AI 

AI bisa jadi jagoan di hal-hal teknis dan berulang, tapi kalau sudah berbicara hal yang butuh rasa, intuisi, dan kreativitas, manusia masih juara. 

Kamu bisa mulai asah skill kayak: 

  • Empati dan komunikasi – Peran yang butuh interaksi langsung, seperti guru, konselor, atau customer service, tetap butuh sentuhan manusia. 
  • Kreativitas dan ide orisinal – AI bisa bantu bikin desain atau artikel, tapi ide segar yang memang unik tetap datang dari pikiran manusia. 
  • Berpikir kritis dan problem solving Dunia kerja selalu butuh orang yang bisa berpikir dari banyak sudut pandang dan menemukan solusi dari masalah rumit. 
  1. Kolaborasi, Bukan Kompetisi dengan AI 

AI itu bukan musuh, tapi bisa jadi partner kerja yang solid. Coba manfaatkan AI sebagai alat bantu untuk membuat pekerjaan kamu lebih ringan dan cepat. 

  1. Melek Teknologi Itu Wajib 

Enggak harus bisa menguasai coding, tapi kamu harus tahu dasar-dasar teknologi yang relevan sama bidang kerja kamu. Mulai dari: 

  • Kenalan sama tools digital yang lagi tren di industri kamu 
  • Belajar cara kerja sistem otomatisasi simpel 
  • Ikut webinar atau kursus kilat soal AI dan digital skill 
  1. Jangan Kaku—Terus Belajar dan Adaptif 

Satu hal yang pasti di era AI: Perubahan bakal terus terjadi. Jadi, kamu harus terus belajar dan enggak takut keluar dari zona nyaman. Belajar itu bukan masalah umur, tapi soal niat dan semangat. 

  1. Memperluas Jaringan 

AI boleh pintar, tapi dia enggak bisa networking. Di dunia kerja, kenalan dan koneksi itu punya peran sangat besar. 

Jadi, kamu bisa: 

  • Ikut event komunitas atau forum industri 
  • Bangun relasi dengan rekan kerja lintas divisi 
  • Kolaborasi dengan orang dari bidang lain 

Jaringan yang luas = lebih banyak peluang dan info baru yang enggak bisa kamu dapat cuma dari layar komputer. 

  1. Jadi Sumber Inovasi, Bukan Cuma Eksekutor 

AI memang canggih, tapi dia butuh instruksi. Inovasi dan ide-ide baru tetap harus datang dari manusia. 

Coba mulai dari hal-hal seperti: 

  • Bikin sistem kerja yang lebih efisien 
  • Usul ide baru di kantor 
  • Menemukan solusi unik buat masalah yang belum ada jawabannya 

Karyawan yang bisa berpikir out of the box itu mahal harganya. AI belum bisa mengalahkan semangat eksplorasi dan keberanian kamu untuk mencoba hal baru. 

Read More