Di Balik Rangkap Jabatan Pemerintah, Ada Gen Z yang Jadi Pengangguran Tetap

Amarah “Farhan”, 25, memuncak saat melihat perbincangan daring soal rangkap jabatan di pemerintahan. Menurut laporan Tempo, 30 Wakil Menteri aktif saat ini juga merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satunya adalah Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yang kini turut menjabat Komisaris di PT Pertamina Hulu Energi. 

Kegeraman Farhan bukan tanpa alasan. Sudah dua tahun ia menganggur sejak lulus S2. Lebih dari 250 lamaran kerja dikirimkan, tapi semua berujung pada penolakan. 

“Pernah merasa enggak capable karena enggak dapat kerjaan terus,” ujarnya pada Magdalene (15/7). 

Ia bahkan sempat vakum selama tiga bulan dari kegiatan melamar pekerjaan karena merasa tak ada gunanya. Namun, setelah merefleksikan ulang, Farhan mulai memahami bukan dirinya yang bermasalah, melainkan kondisi pasar kerja yang kian menyempit. 

Kayaknya emang lagi susah semua, deh.” 

Baca juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z 

Situasi serupa dialami “Yasmin”, 25. Meskipun sudah pernah bekerja, ia sudah sembilan bulan menganggur sambil mencari posisi baru. Namun, ia terus terbentur batasan usia pelamar yang tidak masuk akal. Naik ke posisi lebih tinggi juga belum mungkin karena pengalaman kerjanya yang baru 2–3 tahun dianggap belum cukup. 

“Lowongan yang fit dengan experience dan benefit yang pas tuh dikit banget. For us, yang masih ingin explore new things in this age, kadang batas usia juga jadi halangan,” katanya. 

Farhan dan Yasmin cuma segelintir contoh Gen Z yang sulit cari kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7.465.599 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen atau 5.188.781 orang adalah Gen Z—mereka yang berusia 15–29 tahun. 

Katadata mencatat mayoritas Gen Z yang menganggur, sedang aktif mencari kerja. Mereka tidak sedang menunggu, apalagi berpangku tangan. Bahkan dalam kategori BPS, kelompok ini terbagi menjadi tiga: Mereka yang menganggur dan aktif mencari kerja, yang pesimistis akan mendapat kerja, serta yang sedang mempersiapkan usaha. Namun, 78,6 persen dari mereka adalah pencari kerja aktif. 

Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI turut menegaskan: 1 dari 10 Gen Z yang termasuk angkatan kerja saat ini sedang menganggur. Mereka yang hanya lulusan SMA dan SMK menjadi kelompok dengan angka pengangguran tertinggi. Jumlahnya mencapai lebih dari separuh dari total pengangguran Gen Z. Artinya, akses ke pendidikan tinggi tidak otomatis menyelesaikan masalah, tapi justru bisa memperumitnya. 

Baca juga: Yang Muda, Yang Tak Kerja: Apa Sebenarnya Penyebab Pengangguran di Indonesia? 

Negara Gagal Buka Jalan tapi Beri Karpet Merah untuk Elite 

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), ada tiga faktor utama yang membuat Gen Z kesulitan masuk ke dunia kerja: Rendahnya upah, ketidaksesuaian sistem pendidikan, dan sistem politik yang menutup ruang. 

Pertama, soal upah. Bhima menyebut gaji yang ditawarkan di pasar kerja tidak sebanding dengan biaya hidup, apalagi investasi pendidikan yang dikeluarkan generasi ini. 

“Gen Z ini menghadapi dilema karena uang yang dihabiskan untuk kuliah, termasuk belanja bulanan, dengan lapangan pekerjaan yang tersedia enggak sesuai. Banyak sekali pekerjaan dengan upah di bawah upah minimum,” ujarnya. 

Farhan menghabiskan sekitar Rp30 juta per semester untuk kuliah S2. Jika dijumlahkan selama empat semester, ia harus membayar Rp120 juta. Itu belum termasuk ongkos hidup harian. Jika ingin “balik modal”, ia harus mendapat pekerjaan dengan gaji minimum Rp5–6 juta per bulan. Namun kenyataannya, lapangan kerja dengan gaji sebesar itu sangat langka, apalagi bagi lulusan baru. 

Data CELIOS pada 2024 menyebutkan ada 109 juta pekerja Indonesia yang digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Ini naik tajam dari 83 juta pada 2021. Sementara biaya hidup terus melambung. 

Kedua, soal pendidikan. Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan pasar menjadi penghambat besar. 

“Proses pembusukan kualitas di perguruan tinggi juga mengakibatkan apa yang dipelajari (di sekolah) dengan kebutuhan (pasar kerja) yang sudah sangat dinamis sekarang ini tidak bisa dikejar oleh para Gen Z,” jelas Bhima. 

Trade Union Rights Centre (TURC) menyebut, persoalan kurikulum ini diperparah dengan regulasi ketenagakerjaan yang belum sinkron dengan kebutuhan lapangan, serta sertifikasi pelatihan yang masih diragukan validitasnya. 

Mengutip Hukum Online, dalam sistem kapitalis, pendidikan cenderung mengikuti arah pasar, bukan kebutuhan masyarakat. Ini menjelaskan mengapa gelar tinggi tidak menjamin kerja, dan kenapa banyak lulusan akhirnya tetap menganggur. 

Baca juga: Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi? 

Ketiga, yang tak kalah besar adalah watak kekuasaan. Bhima menyebutkan karakter militeristik pemerintahan Prabowo–Gibran turut mempersempit ruang kerja bagi Gen Z. Salah satunya lewat praktik rangkap jabatan yang merajalela di lembaga negara dan BUMN. 

Kayak food estate itu sekarang (isinya) TNI dan Polri. Gen Z pun akan susah masuk ke sana. Menekan upaya Gen Z (untuk dapat kerja) juga di pedesaan,” katanya. 

Laporan Imparsial menyebutkan pada 2023 ada 2.500 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil. Angka ini belum termasuk pejabat TNI dan Polri yang juga merangkap jabatan di sektor strategis. 

Selain itu, orientasi ekonomi rezim yang ekstraktif, berfokus pada pertambangan dan industri besar justru mengikis kesempatan kerja di akar rumput. 

“Ekonomi ekstraktif itu menjadi substitusi dari ekonomi yang dikerjakan oleh masyarakat yang ada di pedesaan. Contohnya yang tadinya bertani, akhirnya lahannya direbut tambang, akhirnya orang tuanya jual lahan, akhirnya anaknya nganggur, dan seterusnya.” 

Bagi Bhima, kondisi ini hanya bisa berubah jika Gen Z bersatu dan mulai menyuarakan tuntutan kolektif. Sayangnya, hingga kini, respons mereka masih individual dan terjebak pada narasi kegagalan diri dan masalah mental health semata. 

“Ini udah bukan urusan mental health atau masalah personal lagi,” tegasnya. 

“Perlu ada gerakan nyata yang berujung pada reformasi struktural. Selama itu tidak dilakukan, ke depan, dengan adanya bonus demografi, akan makin banyak Gen Z yang menyalahkan dirinya sendiri.” 

Read More
stres ibu pekerja

Stres Ibu Pekerja: Antara Ambisi, Tanggung Jawab, dan Kurangnya Dukungan

Peran seorang ibu dalam keluarga jelas enggak bisa diremehkan, dan kenyataannya tanggung jawab ini juga penuh tantangan. Saat ini, banyak perempuan yang bukan cuma jadi ibu, tapi juga menjalani karier profesional. Menyeimbangkan dua peran ini bukan hal gampang, apalagi kalau pasangan enggan diajak berbagi tugas rumah tangga. Akibatnya? Beban ganda pun harus ditanggung sendirian, jadi ibu rumah tangga sekaligus pekerja.

Dikutip dari The Hariss Poll, Mental Health: A comprehensive look at Harris Poll research, di tahun 2022, sebanyak 42 persen ibu yang bekerja didiagnosis mengalami kecemasan dan depresi. Data dari Calm juga menunjukkan bahwa banyak perempuan yang abai terhadap kesehatan mereka sendiri setelah menikah dan punya anak.

Masalahnya, stres yang dirasakan para ibu pekerja ini sering dianggap hal yang “wajar” atau “risiko biasa”. Padahal, meskipun sudah coba atur waktu sedisiplin mungkin, tekanan tetap bisa datang bertubi-tubi. Kalau enggak ditangani dengan baik, stres ini bisa berdampak serius, enggak cuma secara mental, tapi juga fisik.

Lebih jauh lagi, stres berkepanjangan bisa memengaruhi relasi ibu dengan anak, bahkan menghambat perkembangan si kecil. Di sisi lain, tubuh ibu yang terus-terusan tertekan bisa rentan terhadap penyakit kronis seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, hingga stroke.

Baca Juga: ‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang

Apa Saja Sih yang Bikin Ibu Pekerja Rentan Stres?

Menjalani peran sebagai ibu sekaligus pekerja itu jelas bukan hal gampang. Tidak sedikit perempuan yang harus juggling antara urusan kantor dan rumah, dan kalau tidak ada manajemen yang pas (plus dukungan yang cukup), stres bisa gampang banget datang. Dikutip dari Susan Landers MD, Working Mom Stress and Burnout: Why It Happens and How to Fix It, berikut ini beberapa penyebab utama kenapa ibu pekerja sering merasa kelelahan, baik secara fisik maupun mental:

1. Beban Ganda: Urus Kantor dan Rumah Sekaligus

Bayangin deh, pagi sampai sore harus fokus urusan pekerjaan, mengejar deadline, ikut rapat, membereskan laporan. Tapi setelah itu, bukannya bisa rebahan, malah lanjut lagi mengurusb rumah: mulai dari masak, bersih-bersih, nemenin anak belajar, sampai memastikan semuanya berjalan lancar.

Tidak heran kalau banyak ibu pekerja nyaris enggak punya waktu buat diri sendiri. Kelelahan yang terus numpuk ini bisa bikin burnout, dan parahnya lagi, banyak ibu juga merasa bersalah karena merasa belum cukup memberikan yang terbaik, padahal udah capek banget.

2. Minim Dukungan dari Pasangan atau Lingkungan

Dukungan pasangan itu penting banget. Tapi sayangnya, tidak semua suami peka bahwa tanggung jawab rumah itu seharusnya dibagi dua. Banyak yang masih berpikir kerja domestik adalah “tugas perempuan”, dan ini bikin beban jadi berat sebelah.

Belum lagi kalau lingkungan sekitar, kayak orang tua, mertua, atau teman malah nge-judge pilihan si ibu buat tetap bekerja. Bukannya didukung, malah dikomentari. Akhirnya, ibu jadi ngerasa sendirian, padahal semua orang butuh support system, kan?

3. Tekanan Budaya dan Ekspektasi Sosial

Masih banyak orang yang percaya kalau ibu yang ideal itu harus bisa “segala hal”, beresin rumah, urus anak, dan tetap eksis di dunia kerja, semuanya tanpa cela. Hasilnya? Ibu pekerja jadi terus-menerus berada dalam posisi serba salah. Kalau sibuk kerja, dianggap abai sama keluarga. Kalau lebih fokus di rumah, dibilang buang-buang potensi.

Ekspektasi yang enggak realistis ini bikin perempuan merasa seolah-olah enggak pernah cukup. Mau ambil keputusan apapun, rasanya selalu salah di mata orang lain.

4. Minim Waktu untuk Diri Sendiri

Waktu buat diri sendiri alias me time itu bukan kemewahan, tapi kebutuhan. Sayangnya, banyak ibu merasa bersalah saat mengambil jeda. Padahal, sekadar ngopi santai, nonton drama favorit, atau olahraga bareng teman bisa bantu mengisi ulang energi.

Kalau terus-terusan mengorbankan me time, lama-lama tubuh dan pikiran bisa jenuh. Hasilnya? Jadi gampang stres, emosian, dan kehilangan semangat.

5. Tekanan Finansial

Enggak semua ibu bekerja karena passion. Banyak juga yang kerja karena kondisi ekonomi memaksa. Dan meskipun sudah punya penghasilan, tetap saja tekanan finansial bisa jadi beban, dari bayar sekolah anak, cicilan rumah, sampai biaya kesehatan.

Kalau penghasilan dan pengeluaran terus berkejaran, ini bisa jadi sumber kecemasan harian yang bikin stres makin enggak bisa dihindari.

Baca Juga: Budaya Patriarkal, Konservatisme Agama Hambat Perempuan Jadi Ketua OSIS

Bagaimana Cara Ibu Pekerja Mengelola Stres? Ini Tipsnya

Stres memang tidak bisa sepenuhnya dihindari, apalagi buat ibu pekerja yang harus bagi energi antara dunia kerja dan urusan rumah. Tapi tenang, dengan strategi yang pas, kamu tetap bisa produktif tanpa harus mengorbankan kesehatan mental. Yuk, intip beberapa cara yang bisa kamu coba yang dikutip dari Marriage, 11 Helpful Ideas for Stress Relief for Working Parents:

1. Bikin Jadwal yang Realistis dan Pintar Memiilih Prioritas

Kadang sumber stres datang bukan dari banyaknya tugas, tapi karena kita merasa harus mengerjakan semuanya sekaligus. Padahal enggak semua hal harus selesai hari itu juga, kan? Coba deh pakai prinsip “penting vs mendesak” buat menyusun to-do list harian.

Pakai tools kayak kalender digital, reminder di HP, atau sticky notes buat bantu mengatur waktu biar lebih rapi. Dengan perencanaan yang lebih mindful, kamu bisa menghindari numpuknya beban kerja yang bikin burnout.

2. Tidak Perlu Selalu BilangYa

Sebagai ibu, kadang kita terbiasa selalu mengiyakan permintaan, entah dari atasan, pasangan, anak, sampai tetangga. Tapi hati-hati, terlalu sering bilang “ya” bisa bikin kamu kelelahan dan kehilangan batas.

Belajar bilang “enggak” itu bentuk self-respect. Kamu bisa menolak dengan cara sopan tapi tetap tegas. Ingat, menjaga diri itu bukan egois—itu bentuk self-care.

3. Bangun Support System yang Kuat

Jangan jalan sendiri. Punya teman ngobrol yang bisa relate sama situasi kamu itu penting banget. Bisa sahabat, sesama ibu pekerja, atau komunitas online yang vibes-nya positif. Sekadar ngobrol, curhat, atau tukar cerita bisa bantu kamu merasa lebih lega dan enggak sendirian.

Support system ini juga bisa kasih sudut pandang baru atau solusi yang mungkin sebelumnya enggak kepikiran.

4. Ajak Pasangan Terlibat, Bukan Hanya Membantu

Pekerjaan rumah dan urusan anak itu tanggung jawab bareng, bukan cuma tugas ibu. Jadi penting banget buat ngobrol terbuka sama pasangan soal pembagian peran di rumah.

Mulai dari jadwal antar jemput anak, masak, nyuci, atau nemenin anak belajar bisa dibagi bareng. Ketika pasangan terlibat aktif, beban jadi lebih ringan, hubungan pun jadi lebih solid.

Baca Juga: Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

5. Ambil Waktu Sendiri, Tanpa Perasaan Bersalah

Me time itu bukan kemewahan, itu kebutuhan. Sayangnya, banyak ibu yang merasa bersalah kalau mengambil waktu buat diri sendiri, padahal itu justru penting biar enggak gampang meledak.

Luangkan waktu walau cuma 15–30 menit buat melakukan hal yang kamu suka: nonton series, baca novel, jalan santai, atau mandi air hangat dengan tenang. Diri kamu juga butuh perhatian, bukan cuma semua orang di sekitarmu.

6. Enggak Perlu Sungkan Konsultasi ke Profesional

Kalau kamu merasa stres udah mulai susah dikontrol atau berdampak ke aktivitas harian, cari bantuan itu pilihan yang bijak. Berbicara sama psikolog atau konselor bisa bantu kamu gali akar masalah dan cari cara yang lebih sehat buat menghadapinya.

Minta bantuan bukan tanda lemah, justru itu bukti kamu sayang sama diri sendiri dan mau pulih dengan cara yang tepat.

Read More
apa itu quiet cutting

Apa Itu ‘Quiet Cutting’: Ketika Karyawan Dimanipulasi Supaya Resign

Apa jadinya kalau perusahaan “memecat” karyawan tapi dengan cara halus dan terselubung? Fenomena ini dikenal dengan istilah quiet cutting, yaitu strategi perusahaan untuk memindahkan posisi karyawan secara sepihak—tanpa diskusi terbuka—dengan harapan si karyawan bakal mundur dengan sendirinya. Biasanya, ini dilakukan demi menghemat biaya pesangon atau efisiensi operasional.

Beda dengan PHK resmi yang biasanya diiringi kompensasi, quiet cutting lebih halus dan tidak langsung. Contohnya, karyawan yang dulunya punya posisi penting, tiba-tiba dipindahkan ke divisi yang enggak jelas fungsinya. Bisa juga tugas-tugas utamanya pelan-pelan dicabut tanpa penjelasan yang layak.

Tapi quiet cutting enggak cuma soal pindah jabatan. Kadang, karyawan juga dijauhkan dari peran penting, dikeluarkan dari proyek-proyek inti, bahkan dibatasi aksesnya ke informasi perusahaan. Intinya satu: bikin karyawan merasa terasing dan akhirnya resign atas kemauan sendiri—padahal itu sebenarnya skenario yang “disutradarai” manajemen.

Dikutip dari Forbes, The ‘Quiet Cutting’ Trend Is A Controversial Leadership Strategy, New Study Shows, fenomena ini makin sering muncul sejak pandemi berakhir, saat banyak perusahaan merapikan struktur kerja tapi takut kena backlash kalau melakukan PHK besar-besaran. Quiet cutting pun jadi jalan tengah: secara hukum mungkin sah, tapi dari sisi etika jelas bisa dipertanyakan.

Yang bikin tricky, praktik ini sering dikemas rapi dengan istilah seperti “rotasi internal”, “penyesuaian peran”, atau “penempatan strategis baru”. Tapi kalau enggak ada komunikasi terbuka atau penjelasan yang masuk akal soal perubahan itu, kamu patut curiga, bisa jadi kamu sedang jadi target quiet cutting.

Dengan mengenali taktik ini, kamu bisa lebih sigap membaca situasi di tempat kerja. Langkah berikutnya? Jaga posisimu dan yang enggak kalah penting: lindungi kesehatan mentalmu juga.

Baca Juga: Habis ‘Quiet Quitting’ Terbitlah ‘Loud Quitting’, Tren Baru yang Berbahaya

Kenapa Sih Perusahaan Pakai Cara Quiet Cutting?

Quiet cutting bukan sekadar taktik sembarangan, ini adalah strategi yang sudah diperhitungkan dengan matang. Sekilas mungkin kelihatan kayak keputusan manajerial biasa, tapi di balik layar, ada banyak alasan tersembunyi.

Biasanya, perusahaan memilih cara ini buat mengurangi beban tanpa harus menanggung risiko hukum, biaya pesangon, atau sorotan negatif yang biasa muncul saat melakukan PHK terang-terangan.

Dikutip dari Canda Career Counselling, Navigating the New Landscape of Quiet Cutting: How to Protect Your Career and Secure Your Future, berikut beberapa alasan kenapa perusahaan lebih milih quiet cutting daripada PHK langsung:

  1. Biar Enggak Perlu Bayar Pesangon

Salah satu motivasi utama adalah: hemat biaya. PHK resmi sering kali bikin perusahaan harus bayar kompensasi, tunjangan, sampai pesangon. Tapi kalau karyawan resign sendiri? Perusahaan bisa menghindari kewajiban itu. Maka, beberapa karyawan sengaja dipindahkan ke posisi yang enggak relevan atau dibuat enggak betah, sampai akhirnya mereka mundur sendiri.

  1. Jaga Citra Perusahaan di Mata Publik

PHK massal bisa bikin nama perusahaan jelek di media dan bikin publik enggak simpati. Apalagi buat perusahaan besar, hal kayak gini bisa pengaruhi kepercayaan pelanggan, investor, bahkan calon pelamar kerja. Quiet cutting jadi cara halus untuk mengurangi jumlah pegawai tanpa bikin heboh.

  1. Hemat Biaya di Tengah Ekonomi Sulit

Setelah pandemi atau di masa krisis, banyak perusahaan yang lagi ngencengin ikat pinggang. Quiet cutting jadi opsi yang “tenang” tapi efektif untuk efisiensi, enggak cuma dari sisi gaji, tapi juga untuk menghindari konflik sosial dan tekanan psikologis yang muncul dari PHK terbuka.

  1. Hindari Masalah Hukum dan Drama Internal

Kalau langsung memecat karyawan tanpa alasan jelas, perusahaan bisa dituntut. Tapi kalau “cuma” ganti posisi atau ambil wewenang secara bertahap, itu sulit dibuktikan sebagai pelanggaran hukum. Jadi, quiet cutting pun dianggap aman secara legal, walaupun secara etika bisa diperdebatkan.

  1. Jalan Pintas Saat Restrukturisasi

Saat perusahaan merger, transformasi digital, atau sekadar bersih-bersih struktur internal, beberapa posisi jadi enggak relevan lagi. Daripada PHK besar-besaran yang rawan bikin konflik, mereka memilih menggeser pelan-pelan lewat quiet cutting. Lebih tenang, minim drama.

Baca Juga: Apa itu ‘Quiet Firing’ dan Kenapa Perlu Diwaspadai

Bagaimana Cara Ngenalin Quiet Cutting?

Karena quiet cutting dilakukan dengan cara diam-diam dan bertahap, kadang kita enggak sadar sedang mengalaminya. Tidak ada surat resmi, tidak dipanggil HR, dan semuanya terasa samar. Dikutip dari The Times of India, Tips to Spot the Signs of ‘Quiet Cutting’ and Protect Your Job, tapi ada beberapa tanda yang bisa kamu waspadai:

  1. Dipindah Tugas Tanpa Penjelasan yang Masuk Akal

Kamu yang awalnya pegang posisi penting, tiba-tiba dipindah ke peran yang enggak sesuai kemampuan atau ke divisi yang sepi aktivitas, tanpa alasan jelas dan tanpa pelatihan? Itu bisa jadi sinyal awal.

  1. Jabatan dan Wewenang Dikecilkan

Tiba-tiba kamu enggak lagi jadi decision maker, enggak dilibatkan dalam rapat penting, atau cuma dikasih tugas-tugas sepele? Bisa jadi kamu sedang didemosi secara diam-diam.

  1. Tanggung Jawab Berkurang Pelan-Pelan

Laporan mingguan yang biasanya kamu susun sendiri tiba-tiba dialihkan ke orang lain. Akses ke sistem penting dicabut. Kamu merasa makin hari makin enggak dibutuhkan.

  1. Dikeluarin dari Proyek atau Rapat Tim

Kamu mulai enggak diajak brainstorming, enggak diundang ke rapat strategis, bahkan dikeluarin dari grup kerja? Kalau ini terjadi terus-menerus, ada kemungkinan kamu memang sedang “didorong” untuk pergi.

Baca Juga: Quiet Quitting: Kenapa Sedikit Kerja itu Bagus untukmu dan Bos

Langkah Cerdas Saat Mengalami Quiet Cutting

Menghadapi quiet cutting jelas bikin stres. Tapi kamu enggak harus pasrah. Dikutip dari Detik Finance, Tips Hadapi Quiet Cutting, ada beberapa langkah bijak yang bisa kamu ambil supaya tetap profesional dan enggak kehilangan kendali atas kariermu:

  • Peka Terhadap Tanda-Tanda Awal

Kalau tiba-tiba mendapat tugas aneh, dikecilkan peran, atau dijauhi dari proyek, jangan cuek. Bisa jadi itu awal mula quiet cutting. Semakin cepat kamu sadar, semakin cepat kamu bisa menyusun strategi.

  • Simpan Semua Bukti

Catat semua perubahan yang terjadi: email, chat, notulen rapat, atau instruksi kerja yang janggal. Dokumentasi ini bisa jadi pegangan buat diskusi dengan HR atau kalau kamu mau ambil langkah hukum.

  • Tetap Profesional, Jangan Gegabah

Sekesal apapun kamu, jangan asal resign atau menyebar curhatan di medsos. Tetap bersikap dewasa, karena sikap profesional akan bikin reputasimu tetap baik, penting banget kalau kamu mau pindah ke tempat baru.

  • Refleksi Diri dan Evaluasi Karier

Kadang, quiet cutting bisa jadi sinyal bahwa tempat kerja sekarang sudah enggak lagi sejalan dengan tujuanmu. Enggak ada salahnya untuk mulai cari tahu: masihkah kamu berkembang di sana? Atau waktunya cari peluang baru?

  • Jaga Kesehatan Mentalmu

Merasa disisihkan itu menyakitkan. Tapi kamu enggak sendiri. Jangan ragu cari bantuan, entah itu ke psikolog, ngobrol dengan teman, atau ambil jeda sejenak dari rutinitas. Kamu layak berada di tempat kerja yang menghargaimu.

Read More
strategi career cushioning

Memahami ‘Career Cushioning’: Strategi Aman di Tengah Ketidakpastian Kerja

Belakangan ini, ramai media yang memberitakan tentang tantangan besar di dunia kerja Indonesia. Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bermunculan dan jadi momok bagi para profesional yang sedang meniti karier. 

Menurut Gigih Prihantono, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga yang dikutip dari detikJatim, tantangan ini enggak cuma dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah yang perlu ditingkatkan, tapi juga soal bagaimana kita sebagai pekerja bisa terus mengembangkan diri. Di era digital yang serba cepat dan dinamis, kita harus bisa terus naik level. 

Gigih menekankan pentingnya punya kombinasi lengkap antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) yang positif. Selain itu, kemampuan digital juga enggak bisa diabaikan, ini sudah jadi syarat penting buat tetap relevan di dunia kerja masa kini. 

Situasi yang enggak menentu ini jadi pengingat buat kita semua: jangan cuma pasrah, tapi mulai ambil langkah antisipasi. Salah satu strategi yang sekarang lagi banyak dibahas adalah career cushioning. Apa sih sebenarnya maksud dari strategi ini? 

Baca Juga: Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba 

Apa Itu Career Cushioning? 

Dikutip dari Forbes, Stability In A Time Of Change: How Career Cushioning Can Help, career cushioning adalah strategi buat jaga-jaga karier. Ibaratnya, kamu lagi menyiapkan “payung” sebelum hujan turun, alias menyiapkan rencana cadangan sebelum hal-hal enggak enak terjadi di tempat kerja. Jadi, kalau sewaktu-waktu ada badai kayak PHK atau situasi kantor yang tidak kondusif, kamu sudah punya langkah antisipasi. 

Istilah ini awalnya populer di dunia percintaan, dikenal sebagai relationship cushioning. Intinya, seseorang jaga-jaga punya “backup” hubungan kalau hubungan utamanya kandas. Nah, konsep yang sama kini dipakai di dunia kerja, terutama buat menghadapi situasi kayak karier yang mandek, ancaman pemutusan kerja, atau perubahan lingkungan kerja yang bikin enggak nyaman. 

Contoh Gampangnya Career Cushioning 

Bayangkan kamu kerja di sebuah startup. Akhir-akhir ini, perusahaan mulai nge-cut anggaran dan kabar soal PHK mulai muncul. Bukannya panik, kamu ambil langkah cerdas: update profil LinkedIn, ikut kursus online biar skill makin tajam, gabung webinar buat nambah networking, dan mulai ambil proyek freelance kecil di waktu luang. 

Bukan berarti kamu langsung mau cabut dari kantor sekarang juga, tapi kamu sudah siap dengan plan B kalau suatu saat keadaan makin enggak bersahabat. 

Baca Juga: ‘Career Detox’: Saatnya Istirahat dari Kerja yang Bikin Lelah Mental 

Career Cushioning vs Job Hopping: Apa Bedanya? 

Sekilas keduanya kelihatan mirip, sama-sama soal pergerakan karier. Tapi sebenarnya, career cushioning dan job hopping punya perbedaan mendasar, mulai dari niat, cara, sampai waktunya. 

  1. Tujuan dan Niat di Baliknya 

Career cushioning itu lebih ke strategi “jaga-jaga”. Biasanya dilakukan kalau kamu merasa posisi sekarang rawan, entah karena ancaman PHK, karier yang mandek, atau lingkungan kerja yang mulai toksik. Intinya, kamu tetap stay di tempat sekarang, tapi sudah punya rencana cadangan kalau-kalau keadaan makin enggak bersahabat. 

Sementara job hopping cenderung lebih agresif. Ini adalah keputusan aktif buat pindah kerja demi peluang yang lebih baik, entah karena gaji, jabatan, atau suasana kerja. Orang yang job hopping biasanya memang udah niat resign dan cari tempat baru yang lebih menjanjikan. 

  1. Apa Saja yang Dilakukan? 

Kalau kamu lagi career cushioning, biasanya aktivitasnya berupa: ikut kursus, nambah skill, update profil LinkedIn, jaga relasi sama orang-orang penting di industri, atau bangun side hustle. Semuanya dilakukan sambil tetap kerja di tempat lama. 

Kalau job hopping, kamu sudah mulai kirim-kirim lamaran, ikut interview, dan dalam waktu dekat bisa saja langsung pindah kerja. Fokus utamanya: dapat kerja baru secepat mungkin. 

  1. Soal Waktu dan Intensitas 

Career cushioning itu main jangka panjang. Kamu mungkin butuh waktu berbulan-bulan buat menyiapkan semuanya. Seperti menyiapkan “plan B” tanpa buru-buru keluar dari pekerjaan yang sekarang. 

Job hopping sebaliknya. Biasanya dilakukan dalam waktu singkat dan intens. Kadang baru 6 bulan kerja, sudah mulai cari posisi baru lagi. 

  1. Risiko vs Keuntungan 

Career cushioning itu aman tapi butuh konsistensi. Kamu enggak langsung dapat hasil, tapi setidaknya kamu siap kalau sewaktu-waktu harus ganti haluan. 

Job hopping bisa kasih hasil cepat, misalnya kenaikan gaji atau posisi lebih tinggi. Tapi konsekuensinya: kamu bisa kehilangan rasa aman dan rentan dicap “enggak tahan lama” di satu tempat kerja. 

Career Cushioning di Era Digital: Siapkan Plan B Tanpa Ribet 

Di zaman serba online kayak sekarang, strategi career cushioning makin gampang diterapkan. Dengan bantuan internet dan platform digital, kamu bisa mulai menyiapkan “cadangan karier” tanpa harus ribet ke sana kemari. 

Kalau dulu cari kerja tambahan harus lewat kenalan atau kirim lamaran fisik, sekarang cukup duduk manis di rumah, buka laptop atau HP, dan kamu sudah bisa bangun portofolio, mencari proyek tambahan, bahkan nambah penghasilan. Dikutip dari Upwork, Career Cushioning: Basics and Strategies for Financial Security, berikut beberapa cara yang bisa kamu coba. 

Freelance & Remote Work: Kombinasi Pas untuk Career Cushioning 

Teknologi bikin cara kerja jadi jauh lebih fleksibel. Banyak profesi sekarang bisa dilakukan dari mana saja—alias remote—dan sistem freelance juga makin diminati. Ini cocok banget buat kamu yang ingin punya cadangan penghasilan tanpa meninggalkan kerjaan utama. Misalnya: 

  • Punya pekerjaan tetap siang hari, ambil proyek freelance malamnya. 
  • Mengerjakan desain, menulis artikel, sampai bantu laporan keuangan UMKM. 
  • Coba bidang baru yang beda dari kerjaan utama. 

Inilah bentuk career cushioning yang relevan di era digital: kerja sambilan yang fleksibel dan tetap menghasilkan. 

Platform Digital Buat Ngegas Side Hustle-mu 

Mau mulai career cushioning tapi bingung mulai dari mana? Nih beberapa platform yang bisa kamu manfaatkan: 

  • Fiverr & Upwork: Cocok buat kamu yang punya skill desain, menulis, edit video, sampai konsultan bisnis. 
  • Sribulancer & Projects.co.id: Versi lokal yang lebih ramah buat kita yang ada di Indonesia. 
  • LinkedIn: Bukan cuma buat apply kerja, tapi juga bangun personal branding dan menemukan proyek freelance. 
  • Instagram & TikTok: Kalau kamu kreatif dan suka bikin konten, dua platform ini bisa bantu kamu dikenal dan dilirik brand. 

Upgrade Skill Lewat Kursus Online 

Career cushioning bukan cuma soal cari uang tambahan, tapi juga soal menyiapkan dirimu untuk peluang yang lebih baik. Banyak banget kursus online yang bisa bantu kamu upgrade skill, kapan saja dan di mana saja, misalnya kamu bisa coba Udemy.  

Dengan skill yang terus diperbarui, kamu jadi punya nilai tambah di dunia kerja dan ini bisa jadi “tameng” saat kondisi kerja enggak menentu. 

Baca Juga: Lagi Nganggur? Ini Cara Biar Tetap Produktif & Dilirik HRD 

Teknologi: Teman Setia Career Cushioning 

Di tengah ketidakpastian dunia kerja, teknologi bisa jadi penyelamat. Ibarat seatbelt tambahan buat karier kamu. Kamu tetap jalan di jalur pekerjaan utama, tapi di saat yang sama, kamu juga bangun jalan alternatif lewat dunia digital: dari ikut komunitas online, kursus daring, sampai mulai side hustle. 

Kalau kamu mulai merasa enggak yakin sama posisi kerja sekarang, atau sekadar kepingin lebih siap menghadapi masa depan, sekarang waktu yang pas banget buat mulai career cushioning—tanpa harus menunggu situasi darurat dulu. 

Read More
tips produktif saat menunggu panggilan kerja

Lagi Nganggur? Ini Cara Biar Tetap Produktif & Dilirik HRD

Menunggu kabar setelah melamar kerja memang bisa jadi salah satu momen paling bikin deg-degan dalam perjalanan karier siapa pun. Apalagi kalau kamu sudah kirim puluhan lamaran, ikut beberapa interview, tapi hasilnya masih nihil. Enggak heran kalau rasa cemas, insecure, bahkan mulai overthinking datang bertubi-tubi. Mungkin kamu mulai berpikir, “Aku kurang apa, sih? Tenang, kamu enggak sendirian. Banyak pencari kerja juga pernah ada di titik ini, fase gantung yang bikin galau.

Tapi, penting banget buat diingat: Masa menunggu bukan berarti waktunya berhenti total. Justru ini momen emas buat kamu upgrade diri, recharge mental, dan siap-siap menyambut peluang berikutnya. Daripada bengong menunggu kabar, mending pakai waktu ini buat mengasah skill, bangun portofolio, atau sekadar memperbaiki isi CV.

Nah, dikutip dari The Muse, How to Stay Sane When Waiting to Hear Back About a Job You Really, Really Want, kita akan bahas beberapa hal produktif yang bisa kamu lakukan sambil menunggu panggilan kerja. Mulai dari hal teknis kayak revisi CV dan belajar skill baru. Tujuannya jelas: Biar kamu tetap aktif, positif, dan siap gas begitu ada kesempatan yang datang.

Karena pada akhirnya, keberuntungan sering datang ke mereka yang sudah siap.

Baca Juga: Hai ‘Job Seeker’, Simak 9 Tanda Kamu Sudah Pasti Diterima Kerja

1. Pengembangan Diri: Cara Jitu Manfaatkan Masa Tunggu Panggilan Kerja

Waktu adalah aset paling berharga ketika kamu sedang menunggu kabar dari perusahaan. Daripada cuma diam dan overthinking, kenapa enggak dipakai buat upgrade diri? Enggak harus selalu ikut kursus mahal kok—yang penting kamu terus berkembang, baik secara personal maupun profesional.

Kenapa pengembangan diri penting banget?

Anggap saja kamu ini produk yang lagi ditawarkan ke perusahaan. Produk yang terus di-upgrade pasti lebih menarik, kan? Nah, hal yang sama berlaku buat kamu. HRD pasti lebih tertarik sama kandidat yang kelihatan aktif belajar dan berkembang.

Selain bikin kamu stand out, pengembangan diri juga bantu menaikan rasa percaya diri. Kamu jadi makin tahu apa kekuatanmu, bisa jawab pertanyaan interview dengan yakin, dan siap banget terjun ke dunia kerja.

2. Personal Branding: Agar Enggak Sekadar “Ada” di Dunia Profesional

Zaman sekarang, CV oke dan IPK tinggi doang sudah enggak cukup. Kamu juga perlu dikenal, bukan buat pamer, tapi supaya kamu terlihat sebagai pribadi yang punya nilai, keahlian, dan karakter yang relevan di bidangmu. Nah, di sinilah peran personal branding.

Apa sih personal branding itu?

Simpelnya, ini adalah cara kamu membentuk citra diri di mata publik, terutama rekruter, klien, atau calon atasan. Kalau brand pribadimu kuat, kamu bakal lebih gampang diingat dan dipercaya.

Cara bangun personal branding dari nol:

  • Kenali diri sendiri dulu

Apa sih kelebihanmu? Kamu minat di bidang apa? Nilai hidup dan gaya kerja seperti apa yang kamu pegang? Jawaban-jawaban ini penting buat menentukan arah branding kamu.

  • Pilih platform yang pas

Kamu enggak harus aktif di semua platform. Pilih aja yang paling sesuai:

  • LinkedIn buat kamu yang fokus ke dunia profesional.
  • Instagram/TikTok buat kamu yang di industri kreatif.
  • Twitter/X buat sharing insight dan ikutin tren industri.
  • Blog/Medium kalau kamu suka nulis panjang dan berbagi ide.
  • Optimalkan profilmu

Pakai foto yang proper, tambahkan portofolio, pengalaman organisasi, dan karya yang bisa menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Tampilkan dengan rapi dan profesional, sesuai bidang yang kamu geluti.

Baca Juga: Apa Itu Startup Bubble dan Mengapa Startup Melakukan PHK Besar-besaran?

3. CV dan Surat Lamaran

Banyak yang masih menganggap CV dan surat lamaran itu formalitas belaka. Padahal, ini dua dokumen yang jadi first impression HRD ke kamu. Kalau selama ini kamu masih pakai format lama zaman kuliah, sekarang waktunya rebranding!

Tips upgrade CV dan surat lamaran kamu:

  • Evaluasi isinya

Pastikan semua info relevan dan up-to-date. Jangan cuma tulis “mengelola media sosial”, tapi jelaskan dampaknya, misal: “sukses meningkatkan engagement IG sebesar 45% dalam 3 bulan.”

  • Perbaiki tampilannya

Gunakan desain yang clean dan profesional. Banyak kok template keren misalnya di Canva. Pilih yang sesuai dengan citra kamu: minimalis buat kreatif, formal buat profesional hukum/keuangan.

  • Surat lamaran jangan asal tempel

Gunakan surat lamaran buat ngobrol langsung ke rekruter. Ceritakan kenapa kamu tertarik di posisi itu, dan apa yang bikin kamu cocok. Tunjukkan kamu paham perusahaan yang kamu lamar.

Kalau kamu melamar ke banyak jenis posisi, siapkan beberapa versi CV dan surat lamaran. Ini bakal bantu kamu apply lebih cepat tanpa harus mulai dari nol tiap kali ada lowongan baru.

Terakhir, jangan ragu minta feedback. Bisa dari teman, dosen, atau mentor. Bahkan sekarang banyak sesi review CV gratis yang diadakan komunitas di LinkedIn.

Baca Juga: 4 Tips Buat ‘Fresh Graduate’ yang Sulit Mendapat Kerja

4. Freelance & Side Hustle: Cari Pengalaman dan Cuan di Waktu Senggang

Menunggu panggilan kerja bukan berarti kamu harus pasif. Justru, ini momen pas buat mencari pengalaman dari proyek-proyek freelance atau side hustle. Selain nambah portofolio dan skill, kamu juga bisa dapat penghasilan tambahan.

Freelance cocok buat kamu yang punya skill spesifik, kayak menulis, desain, video editing, coding, atau social media. Banyak kok platform yang bisa kamu coba: Freelancer, Sribulancer, Fiverr, Projects.co.id, atau cukup aktif saja di LinkedIn dan grup komunitas.

Kalau kamu ingin coba hal baru, kamu juga bisa eksplor side hustle—dari jualan online, buka jasa les privat, sampai jadi affiliate. Meski terdengar sederhana, aktivitas ini menunjukkan kamu punya inisiatif dan semangat kerja, nilai plus banget di mata rekruter.

Dan yang paling penting, pengalaman ini bisa kamu masukan ke CV dan cerita di interview nanti. Banyak juga, lho, yang akhirnya direkrut full-time karena performa freelance-nya oke banget.

Read More
queen bee syndrome di dunia kerja

Bukan Cuma Kompetisi, Ini Alasan ‘Queen Bee Syndrome’ Masih Terjadi di Kantor

Dari luar, keberhasilan perempuan di dunia kerja sering terlihat keren dan penuh inspirasi. Tapi, ada sisi lain yang jarang dibicarakan, yaitu fenomena Queen Bee Syndrome. Ini adalah situasi ketika perempuan yang sudah mencapai posisi tinggi justru bersikap kurang suportif, atau bahkan menjatuhkan rekan perempuan lainnya yang sedang berusaha naik level di jalur karier yang sama.

Fenomena ini biasanya muncul karena ada rasa terancam. Perempuan yang sudah “sukses duluan” kadang merasa pencapaiannya jadi kurang istimewa kalau makin banyak perempuan lain yang juga berhasil. Akibatnya, mereka bisa jadi enggan membantu, atau malah mempersulit rekan perempuannya untuk berkembang. Bukannya saling dorong, malah jadi saingan yang enggak sehat.

Baca Juga: Hak Pekerja Perempuan di Indonesia yang Perlu Diketahui

Asal Usul Istilah Queen Bee Syndrome

Dikutip dari BBC, Queen bees: Do women hinder the progress of other women?, istilah Queen Bee Syndrome pertama kali muncul di tahun 1973, lewat penelitian tiga profesor psikologi dari University of Michigan: GL Staines, TE Jayaratne, dan C. Tavris. Waktu itu, mereka melihat sebuah pola menarik, perempuan yang sudah mencapai posisi tinggi di kantor malah sering bersikap dingin atau kurang mendukung perempuan lain yang sedang berjuang membangun karier.

Nama “Queen Bee” sendiri diambil dari dunia lebah, di mana hanya ada satu betina dominan yang bisa berkembang biak dan menguasai sarang. Dalam konteks tempat kerja, istilah ini merujuk pada perempuan yang berusaha mempertahankan posisi puncaknya dengan menghalangi perempuan lain agar tidak “naik kelas”.

Awalnya, konsep ini sempat jadi perdebatan karena dianggap menyudutkan perempuan, seolah-olah merekalah penyebab kurangnya solidaritas antar sesama. Tapi, seiring berkembangnya studi feminis dan psikologi kerja, semakin jelas bahwa sikap seperti itu biasanya bukan murni karena karakter si perempuan, tapi karena tekanan struktural dalam sistem kerja yang masih sangat maskulin.

Dalam dunia kerja yang cuma menyisakan “satu-dua kursi” untuk perempuan di level atas, persaingan bisa terasa lebih tajam. Jadi, wajar kalau ada rasa terancam saat perempuan lain mulai menunjukkan potensi. Hal ini juga diamini oleh Naomi Ellemers, profesor dari Universitas Utrecht, yang bilang bahwa perempuan yang sudah berhasil sering merasa mereka harus kerja ekstra keras untuk membuktikan diri. Karena itu, mereka cenderung ragu kalau ada perempuan lain yang ingin mengikuti jejaknya.

Peneliti juga menekankan bahwa Queen Bee Syndrome sering disalahpahami. Sebenarnya, ini bukan akar masalah, tapi lebih ke akibat dari sistem kerja yang masih bias gender. Jadi, kalau kita mau menghapus sindrom ini, solusinya bukan menyalahkan individunya, tapi memperbaiki sistem yang membuat perempuan merasa harus bersaing satu sama lain.

Baca Juga: Tersandera ‘Glass Cliff’, Perempuan Pekerja Sulit Berkembang

Kenapa Sih Queen Bee Syndrome Bisa Terjadi?

Queen Bee Syndrome enggak muncul begitu saja tanpa sebab. Ada banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari tekanan di lingkungan kerja, pola pikir yang terbentuk sejak lama, sampai sistem yang belum benar-benar ramah perempuan.

Dikutip dari artikel Forbes, Queen Bees Still Exist, But It’s Not The Women We Need To Fix, berikut ini beberapa alasan kenapa sindrom ini bisa muncul di tempat kerja:

  1. Budaya Kerja yang Maskulin dan Super Kompetitif

Banyak kantor masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang maskulin, seperti kompetisi ketat, sistem hierarki kaku, dan ekspektasi bahwa kalau mau sukses, perempuan harus bersikap “seperti laki-laki”. Dalam lingkungan seperti ini, perempuan yang berhasil naik ke atas sering kali merasa harus bertahan dengan cara menyesuaikan diri dan mengorbankan rasa solidaritas dengan perempuan lain.

Mereka mungkin khawatir kalau terlalu mendukung sesama perempuan, justru bisa dianggap lemah atau enggak profesional. Akhirnya, mereka memilih jaga jarak dan mempertahankan posisi mereka sebagai “yang terpilih”.

  1. Seksisme yang Terinternalisasi (Internalized Sexism)

Kadang, tanpa sadar perempuan bisa menyerap pandangan patriarkal, misalnya percaya bahwa perempuan enggak sekuat atau sepantas itu berada di posisi puncak. Kalau ini sudah mengakar, mereka bisa merasa seolah-olah hanya ada satu kursi untuk perempuan di atas, dan itu harus dipertahankan sendiri.

Akibatnya, alih-alih saling dorong, mereka justru saling sikut. Mereka melihat diri sendiri sebagai pengecualian, dan menilai perempuan lain belum cukup layak untuk ada di level yang sama.

  1. Tekanan Jadi “Satu-satunya Perempuan” di Lingkungan Top-Level

Dalam banyak organisasi, masih jarang banget perempuan yang ada di jajaran atas. Ketika cuma ada satu atau dua perempuan di posisi penting, mereka sering dapat tekanan besar karena dianggap mewakili seluruh gender. Istilahnya, tokenism.

Karena merasa harus kerja ekstra keras untuk membuktikan diri, kehadiran perempuan lain bisa terasa seperti ancaman. Rasa persaingan pun muncul, dan bukan lagi soal kerja sama, tapi soal bertahan di posisi langka.

  1. Minimnya Role Model dan Mentor Perempuan

Enggak semua perempuan punya kesempatan dapat mentor atau panutan perempuan saat membangun karier. Akibatnya, mereka tumbuh dengan pola pikir “harus berjuang sendiri”. Gaya kerja yang individualis ini bisa bikin mereka enggan berbagi pengalaman atau membimbing rekan sesama perempuan.

Tanpa kultur mentoring, hubungan antarperempuan di kantor bisa jadi terasa kaku, canggung, atau malah penuh curiga.

  1. Belum Punya Kesadaran Gender dan Semangat Kolektif

Enggak semua orang punya akses atau pemahaman soal pentingnya solidaritas antarperempuan dan nilai-nilai feminisme. Tanpa bekal ini, gampang banget terbawa arus individualisme dan saling bersaing, daripada saling angkat.

Padahal, makin tinggi kesadaran gender, makin besar peluang kita untuk melihat kesuksesan bukan sebagai ancaman, tapi sebagai peluang membuka jalan untuk perempuan lainnya.

Baca Juga: Menjadi ‘Ally’: Mengapa Pria Perlu Berjuang untuk Kesetaraan Gender

Mengatasi Queen Bee Syndrome

Menurut Naomi Ellemers, Queen Bee Syndrome enggak bisa diselesaikan hanya dengan menyalahkan atau “memperbaiki” para perempuannya saja. Masalah utamanya ada di sistem dan budaya kerja yang masih penuh bias gender. Jadi, solusinya adalah membenahi lingkungan kerjanya, mulai dari mengurangi diskriminasi, membangun budaya yang lebih inklusif, sampai memastikan setiap orang punya kesempatan yang sama buat berkembang.

Selain itu, penting juga untuk mulai mengapresiasi pencapaian perempuan di tempat kerja, sekaligus membuka ruang agar mereka bisa bantu sesama perempuan lain untuk tumbuh bersama.

Satu hal yang enggak kalah penting adalah membangun solidaritas. Hubungan yang sehat dan suportif antarperempuan bisa dibangun lewat mentoring, kerja sama tim, serta dukungan dalam perjalanan karier. Perusahaan juga punya peran besar, mereka perlu menciptakan budaya yang enggak cuma menghargai keberagaman, tapi juga mendorong lingkungan kerja yang adil dan setara bagi semua.

Read More
apa itu career detox

‘Career Detox’: Saatnya Istirahat dari Kerja yang Bikin Lelah Mental

Pernah merasa capek banget sama kerjaan, kayak semangatmu hilang entah ke mana? Bisa jadi itu tanda kamu butuh yang namanya career detox. Bukan cuma soal cuti atau liburan panjang, tapi lebih ke waktu buat berpikir ulang dan nyegerin lagi tujuan kariermu. Kadang, kita butuh jeda agar bisa jalan lagi dengan arah yang lebih jelas.

Dikutip dari Harvard Business Review, Time for a Career Detox? Try This Exercise, career detox itu semacam proses “bersih-bersih” dari tekanan dan kejenuhan dalam dunia kerja. Kalau biasanya detox dikaitkan dengan mengeluarkan racun dari tubuh, kali ini konteksnya lebih ke hubungan kamu sama pekerjaan, bagaimana cara kamu menjalankannya, merasakannya, dan berpikir soal masa depanmu di sana. Bukan berarti langsung resign, ya. Ini lebih ke usaha sadar buat nge-reset arah karier supaya lebih selaras sama diri sendiri, apa yang kamu suka, nilai-nilai kamu, dan tujuan hidupmu.

Secara simpel, career detox artinya kamu membereskan lagi hal-hal yang selama ini bikin pekerjaan terasa berat atau bikin kamu stuck. Bisa karena stres yang enggak kelar-kelar, merasa enggak cocok sama budaya kerja, atau bahkan sudah dapat posisi oke tapi tetap merasa kosong.

Prosesnya enggak instan. Kamu perlu jujur sama diri sendiri, apa yang bikin kamu enggak nyaman, apa yang perlu diubah, dan kapan harus berhenti sejenak. Intinya sih bukan cuma agar tidak burnout, tapi agar kamu bisa menemukan lagi semangat dan makna dari pekerjaan yang kamu jalani tiap hari.

Baca Juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Tanda-Tanda Kamu Perlu Career Detox

Kadang kita terlalu sibuk mengejar deadline atau tenggelam dalam rutinitas sampai enggak sadar kalau badan dan pikiran sebenarnya sudah memberikan sinyal minta istirahat. Bukan sekadar liburan singkat, tapi jeda yang lebih dalam untuk mengatur ulang hubungan kita sama kerjaan. Kalau akhir-akhir ini kamu merasa capek terus, kehilangan semangat, atau mulai mempertanyakan kenapa kamu kerja, mungkin itu waktu yang pas buat mempertimbangkan career detox.

Dikutip dari CNBC, 6 subtle signs you need time off from work, says psychologist, berikut beberapa sinyal yang bisa jadi pertanda kamu sudah butuh banget break dan evaluasi ulang karier:

  1. Capeknya Gak Hilang Meski Sudah Libur

Kalau habis weekend atau cuti tetap saja merasa lelah secara emosional dan mental, itu bisa jadi bukan cuma soal kurang tidur. Bisa saja tubuhmu lagi minta pemulihan yang lebih dalam, secara psikologis. Rasa capek yang terus-menerus ini biasanya jadi tanda kalau ada beban kerja (atau beban pikiran) yang belum kamu sadari.

  1. Pekerjaan yang Dulu Bikin Semangat, Sekarang Terasa Hambar

Ingat waktu kamu masih excited banget tiap mau kerja? Sekarang mungkin kamu bangun pagi saja sudah males, atau merasa kerja cuma rutinitas yang harus diselesaikan tanpa makna. Kalau sudah kayak gini, tandanya kamu lagi kehilangan koneksi sama alasan kenapa kamu kerja dari awal.

  1. Jadi Mudah Emosi atau Overthinking Hal Kecil

Kebiasaan jadi cepat kesal, gampang tersinggung, atau malah menarik diri dari obrolan di kantor bisa jadi sinyal kamu lagi jenuh berat. Mood swing ini sering muncul saat kamu sudah kelelahan secara mental. Saatnya berhenti sebentar dan kasih ruang buat atur ulang energi dan emosi.

  1. Prestasi Kerja Jadi Terasa Hambar

Mungkin kamu baru saja menyelesaikan proyek besar atau dapat promosi, tapi entah kenapa rasanya… kosong. Enggak ada rasa bangga atau puas kayak dulu. Kalau sudah kayak gitu, bisa jadi pekerjaanmu sekarang sudah enggak sejalan lagi sama apa yang kamu anggap penting dalam hidup.

  1. Hidup Pribadi Mulai Tergeser Sama Pekerjaan

Kapan terakhir kali kamu hang out sama teman, mengobrol santai bareng keluarga, atau punya waktu buat diri sendiri tanpa memikirkan pekerjaan? Kalau kamu sudah terlalu sibuk sampai lupa caranya istirahat atau bersenang-senang, itu red flag banget. Kamu butuh waktu buat menjaga kembali keseimbangan hidup dan kerja.

Baca Juga: Bos Red Flag Bikin Stres? Ini Strategi Bertahan di Tempat Kerja

Cara Melakukan Career Detox

Setelah sadar kalau kamu butuh career detox, mungkin kamu bertanya-tanya: “Terus, gue harus mulai dari mana?” Enggak perlu buru-buru resign atau langsung kabur ke tempat sepi. Career detox bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang realistis tapi powerful, asal kamu konsisten dan niat.

Dikutip dari The Every Girl, This 4-Step Detox Can Help You Stop Dreading Your Task List, berikut beberapa cara sederhana tapi berdampak yang bisa kamu coba:

  1. Ambil Jeda, Sekecil Apa Pun Itu

Langkah awal yang paling penting adalah memberikan diri kamu waktu buat berhenti sejenak. Bisa ambil cuti sehari, long weekend, atau sekadar beberapa jam di sore hari buat rehat dari urusan kerja. Tujuannya? Supaya pikiran kamu bisa keluar dari mode autopilot yang bikin lelah terus-menerus.

  1. Coba Refleksi Karier Secara Jujur

Tanya ke diri sendiri beberapa hal penting:

  • Masihkah aku suka kerjaan ini?
  • Apakah aku merasa dihargai di tempat kerja?
  • Apakah pekerjaan ini masih sejalan dengan value hidupku?
  • Apakah aku merasa berkembang?

Tulis jawabanmu. Dari situ, kamu bisa mulai nemu pola-pola yang bikin kamu merasa stuck atau burnout.

  1. Istirahat dari Notifikasi dan Email Kantor

Salah satu sumber stres terbesar zaman sekarang adalah notifikasi yang enggak ada habisnya. Saat lagi detox, coba benar-benar putus dulu dari urusan kerja: logout dari email kantor, matikan notifikasi dari grup kerja, dan kasih tahu rekan atau atasan kalau kamu lagi butuh waktu off. Dunia enggak akan runtuh, kok.

  1. Lakukan Lagi Hal-Hal yang Kamu Suka

Waktu detox ini juga bisa jadi momen buat reconnect sama hal-hal yang dulu bikin kamu happy tapi sudah lama kamu tinggalkan. Entah itu masak, nonton film favorit, melukis, main musik, olahraga, atau sekadar jalan sore tanpa distraksi. Semua ini bisa bantu kamu isi ulang energi mental dan emosional.

  1. Berbicara dengan Mentor atau Profesional

Kadang, untuk bisa melihat situasi dengan lebih jernih, kita butuh sudut pandang dari orang lain. Coba bicara dengan mentor, coach karier, atau psikolog. Mereka bisa bantu kamu menggali lebih dalam soal potensi, arah karier, bahkan luka-luka kerja yang belum selesai kamu proses.

Ingat, minta bantuan bukan berarti kamu lemah. Justru itu tanda kamu serius menjaga diri dan masa depanmu.

Read More
batas usia dan syarat penampilan akan dihapus pemerintah

Kemenaker Dorong Rekrutmen Tanpa Batasan Usia dan Syarat ‘Good Looking’

Buat banyak pencari kerja di Indonesia, batas usia masih jadi tembok tinggi yang susah ditembus. Enggak sedikit lowongan yang menyantumkan syarat maksimal umur, misalnya 30 tahun, bahkan ada yang cuma sampai 27 tahun. Padahal zaman sudah berubah, masa iya standar kayak gitu masih dipakai?

Dikutip dari Kompas, Kenapa Mencari Pekerjaan di Indonesia Ada Batasan Umur?, menurut Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), alasan kenapa batas usia masih dijadikan syarat adalah karena jumlah pelamar sering kali jauh lebih banyak daripada posisi yang tersedia.

“Bayangin aja, buka lowongan untuk 10 orang tapi yang daftar sampai 1.000. Masa iya semuanya dites satu-satu? Ya susah juga. Jadi akhirnya dipilih cara paling cepat: saring dari usia dulu,” kata Bob.

Dia juga membandingkan dengan situasi di Singapura. Di sana, nyaris enggak ada batasan usia dalam lowongan kerja. Kenapa? Karena jumlah lapangan kerja lebih banyak dari pelamarnya.

“Di Singapura, usia 70 tahun pun masih bisa kerja bersih-bersih. Karena lowongan kerja banyak, sementara pelamarnya sedikit. Jadi sebenarnya bukan soal usia yang produktif atau enggak, tapi karena di Indonesia lowongan kerja yang tersedia memang belum banyak,” jelasnya.

Baca Juga: Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba

Menuju Lowongan Kerja Tanpa Batasan Usia

Kabar baiknya, pemerintah mulai mempertimbangkan buat menghapus batas usia dari syarat perekrutan kerja. Seperti dikutip dari Detik Finance, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, berencana mendorong perusahaan agar enggak lagi membatasi usia dalam proses rekrutmen.

Menurutnya, batas usia justru jadi salah satu penghambat terbesar buat penyerapan tenaga kerja. Tapi rencana ini masih akan bersifat imbauan, belum berupa regulasi yang mengikat.

“Nanti Insyaallah kita akan respons segera dengan suatu imbauan,” ujar Yassierli saat ditemui usai pembukaan Job Fair di Kantor Kemnaker, Kamis (22/5/2025).

Untuk tahap awal, kebijakan ini rencananya akan dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran (SE). Tapi belum dipastikan kapan tepatnya SE tersebut akan dirilis, karena Kemnaker juga baru saja mengeluarkan SE soal larangan penahanan ijazah.

Langkah Awal Menuju Rekrutmen Tanpa Diskriminasi

Sebenarnya wacana ini sudah sempat disampaikan Yassierli awal Mei lalu. Dalam pernyataannya, dia menekankan pentingnya proses rekrutmen yang bebas dari diskriminasi, termasuk soal usia.

“Kita ingin semua orang punya peluang yang sama untuk masuk ke dunia kerja, tanpa dibatasi faktor usia,” tegasnya dalam acara di Plaza BPJAMSOSTEK, Jakarta Selatan.

Kemnaker pun berjanji akan mulai menyisir satu per satu hambatan yang bikin akses kerja jadi enggak merata. Salah satunya ya syarat umur ini.

“Kalau ada hal-hal yang berpotensi jadi penghalang, itu yang akan kita evaluasi. Supaya setiap orang punya kesempatan yang setara,” tutup Yassierli.

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Kemenaker Bakal Larang Syarat “Good Looking” di Lowongan Kerja

Tidak cuma penghapusan batas usia di lowongan kerja, tapi ada wacana juga syarat good looking akan dihapuskan. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) punya rencana besar: syarat “good looking” alias harus menarik secara fisik bakal dilarang dicantumkan di lowongan kerja.

Dikutip dari Kompas, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel, menyampaikan hal ini saat menutup Job Fair 2025. Selain penampilan, syarat lain seperti batas usia dan status pernikahan juga bakal ikut dihapus dari daftar kriteria rekrutmen.

“Kita enggak mau lagi ada pencari kerja yang dibebani syarat berat kayak harus cantik, ganteng, belum nikah, atau usia tertentu. Itu semua akan dihapus lewat surat edaran yang segera kami keluarkan,” ujar Noel dalam siaran daring, Jumat (23/5/2025).

Kenapa Syarat-Syarat Ini Harus Dihapus?

Menurut Noel, langkah ini sangat penting buat bantu para pencari kerja, khususnya generasi muda, bisa lebih mudah masuk ke dunia kerja. Soalnya, Indonesia saat ini tengah menikmati bonus demografi. Artinya, penduduk usia produktif kita lagi tinggi-tingginya. Tapi kalau akses kerja dibatasi hal-hal enggak relevan kayak penampilan atau status, sayang banget potensinya bisa kebuang sia-sia.

Baca Juga: 4 Tips Buat ‘Fresh Graduate’ yang Sulit Mendapat Kerja

Stop Pelecehan dan Praktik Rekrutmen Toxic

Noel juga menyinggung masalah yang lebih serius: pelecehan dalam proses rekrutmen. Ia menegaskan agar perusahaan stop melakukan praktik tidak pantas seperti menanyakan ukuran bra ke pelamar perempuan.

“Maaf ya, saya bukan maksud jorok. Tapi ini serius. Kalau ada HRD nanya ukuran BH, itu pelecehan. Dan bisa dipidana. Kemenaker enggak akan tinggal diam kalau ada hal kayak gitu,” tegasnya.

Penahanan Ijazah = Pemerasan

Masalah lain yang juga jadi perhatian Noel adalah soal penahanan ijazah karyawan. Menurutnya, praktik ini sudah enggak bisa ditoleransi. Apalagi kalau ijazah ditahan dan karyawan diminta tebusan uang buat mengambilnya.

“Kalau masih ada perusahaan yang nahan ijazah dan minta uang buat nebus, itu bisa kita jerat dengan pasal pemerasan. Kami siap bawa ke jalur hukum pakai pasal penggelapan di KUHP,” kata Noel.

Read More
Tips Buat Kamu yang Masih Susah Cari Kerja

Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba

Di zaman sekarang, cari kerja tuh enggak semudah yang orang bayangkan. Banyak yang berpikir, asal punya gelar dan semangat, kerjaan pasti datang sendiri. Padahal kenyataannya, persaingan di dunia kerja super ketat. Setiap hari, ribuan orang ngincer posisi yang jumlahnya terbatas banget. Bahkan untuk lowongan level pemula, bisa aja kamu harus bersaing sama ratusan pelamar lain yang sudah punya pengalaman kerja atau portofolio yang lebih oke.

Apalagi kalau kamu baru lulus kuliah, baru resign, atau lagi coba masuk ke bidang yang benar-benar baru. Tantangannya jadi dua kali lipat lebih berat. Rasa stres, insecure, sampai minder kadang muncul tanpa sadar dan bikin kita mulai ragu sama kemampuan diri sendiri.

Belum lagi tekanan dari sekitar—pertanyaan keluarga yang enggak ada habisnya soal “kapan mulai kerja?”, teman-teman yang sudah duluan sukses, atau standar sosial yang bikin kamu merasa ketinggalan jauh. Semua itu bisa bikin proses cari kerja terasa kayak beban berat yang enggak habis-habis.

Kalau kamu lagi merasa stuck dalam proses cari kerja, mungkin ini saatnya buat ubah strategi. Bisa jadi kamu perlu pendekatan baru yang lebih kreatif, entah itu dari cara kamu melamar, tempat kamu cari info lowongan, sampai bagaimana kamu menampilkan skill kamu biar makin standout.

Nah, ada beberapa tips yang bisa kamu coba kalau kamu merasa kesulitan cari kerja. Ini dia rangkumannya dari laman Indeed, 12 Tips for When You’re Having Trouble Finding a Job. Yuk, simak bareng-bareng!

Baca Juga: 8 Tips Cara Membuat CV yang Menarik di Mata Perekrut

Strategi Meningkatkan Peluang Mendapatkan Pekerjaan

Proses cari kerja bukan cuma adu cepat kirim lamaran. Yang paling siap dan paling nyambung dengan kebutuhan perusahaan lah yang biasanya dipilih. Kalau selama ini kamu hanya mengandalkan satu cara, misalnya cuma rutin upload CV ke situs lowongan tanpa berpikir panjang, mungkin sekarang waktunya kamu upgrade strategi.

Ada beberapa langkah konkret yang bisa kamu lakukan supaya peluang dapat kerja impian makin besar.

  1. Bikin CV & Surat Lamaran yang Enggak Generik

CV itu bukan cuma dokumen formal yang numpuk data doang. Anggap saja CV itu kayak ‘brosur’ buat jualan diri kamu ke perusahaan. Jadi, usahakan tampil maksimal!

Sesuaikan isi CV dengan posisi yang kamu lamar. Hindari pakai satu template untuk semua lowongan. Enggak semua recruiter cari hal yang sama.

Tonjolkan hasil kerja, bukan cuma tugas. Contohnya: daripada menulis “handle media sosial,” lebih impactful kalau kamu tulis “menaikan engagement Instagram sebesar 35% dalam 2 bulan.”

Gunakan desain simpel tapi tetap profesional. Pilih template CV yang clean, enggak norak, tapi enak dibaca.

Surat lamaran juga harus personal. Jangan asal copy-paste. Tunjukkan kalau kamu benar-benar mengerti posisi dan perusahaan yang kamu incar.

Baca Juga: Badai PHK di Perusahaan ‘Startup’, Bagaimana Menghadapinya?

  1. Upgrade LinkedIn dan Jejak Digitalmu

Sekarang ini, HR dan recruiter enggak cuma lihat CV saja. Mereka juga mengintip profil online kamu buat dapat gambaran lebih luas soal kepribadian dan kredibilitas kamu.

Banyak orang bikin LinkedIn cuma formalitas, habis itu ditinggalkan. Padahal, platform ini bisa jadi jalan ninja buat dapat kerja. Enggak sedikit kok, perusahaan yang langsung rekrut dari sana tanpa publish lowongan di mana-mana.

Selain LinkedIn, jejak digital kamu di platform lain juga bisa jadi bahan pertimbangan, lho. Yuk, cek beberapa hal ini:

  • Googling nama kamu sendiri. Lihat hasilnya, apakah ada info yang bikin kamu terlihat enggak profesional?
  • Atur privasi akun sosial media. Aktif di IG atau TikTok? Enggak masalah. Tapi kalau kontennya pribadi banget, saran di-private saja dulu.
  • Bersihkan postingan yang berpotensi negatif. Hindari unggahan yang isinya nyinyir, kasar, atau bisa menyinggung orang lain.

Ingat, dunia maya itu ibarat etalase. Apa yang kamu tampilkan bisa membentuk kesan, entah itu positif atau sebaliknya. Kamu enggak harus jadi orang yang super formal, tapi pastikan persona onlinemu konsisten dengan citra profesional yang kamu bangun.

  1. Terbuka dengan Peluang Freelance atau Kerja Paruh Waktu

Kalau kamu merasa cari kerja full-time tuh rasanya kayak mencari jarum di tengah jerami, tenang—kamu enggak sendirian. Banyak kok yang lagi berjuang hal yang sama, apalagi di tengah situasi ekonomi yang naik turun seperti sekarang. Tapi, bukan berarti kamu harus menyerah duluan.

Dunia kerja zaman sekarang itu luas banget. Tidak melulu soal kerja kantoran dari jam 9 sampai 5. Justru, banyak peluang lain yang lebih fleksibel dan bisa jadi batu loncatan yang keren buat karier kamu.

Salah satu opsi yang bisa kamu pertimbangkan adalah kerja freelance atau part-time. Terutama kalau kamu punya keahlian tertentu kayak desain, menulis, membuat website, mengelola medsos, atau kemampuan digital lainnya.

Kenapa freelance bisa jadi pilihan bagus?

  • Waktunya fleksibel, kamu bisa kerja dari mana saja.
  • Potensi penghasilannya oke, apalagi kalau proyekmu banyak.
  • Bisa jadi ajang menambah portofolio dan jam terbang.

Kamu bisa ambil lebih dari satu klien atau proyek sekaligus (asalkan tetap teratur dan enggak burnout).

Ada banyak platform freelance yang bisa kamu coba, seperti Freelancer, Upwork, Sribulancer, dan lainnya. Mulai saja dulu, bangun reputasi pelan-pelan.

Selain itu, kerja part-time juga layak banget dicoba sebagai solusi sementara. Ada banyak lowongan paruh waktu di bidang retail, F&B, jadi tutor, sampai customer service. Meski kelihatannya sederhana, pekerjaan seperti ini bisa melatih skill profesional kamu, lho—terutama soal tanggung jawab dan kerja tim.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

  1. Mental Sehat dan Rasa Percaya Diri Itu Kunci

Ditolak waktu melamar kerja? Wajar banget. Tapi yang penting adalah bagaimana kamu menyikapinya.

Coba ubah mindset kamu. Daripada berpikir, “Kayaknya aku enggak cukup bagus,” lebih baik berpikir, “Mungkin belum rezekinya sekarang, tapi pasti ada tempat yang lebih cocok buat aku.”

Rasa percaya diri itu penting banget. Percaya atau enggak, HRD bisa menangkap vibe kamu dari CV, email, sampai wawancara. Orang yang pede biasanya kelihatan lebih meyakinkan dan gampang diingat.

Satu hal penting lainnya: jangan kebanyakan membandingkan diri sama orang lain. Di era media sosial, melihat teman posting soal kerjaan baru atau promosi bisa bikin kamu merasa ketinggalan. Tapi ingat ya, semua orang punya timeline-nya sendiri.

Membandingkan diri cuma bakal bikin kamu makin down dan ragu sama kemampuan sendiri. Mending fokus aja ke prosesmu, perbaiki sedikit demi sedikit, dan tetap semangat. Kamu enggak tahu perjuangan lengkap orang lain, jadi jangan pakai itu sebagai standar buat nilai dirimu sendiri.

Read More
cara sehat lepas dari hustle culture

Adakah Cara Sehat Lepas dari Tekanan ‘Hustle Culture’?

Pernah enggak sih kamu merasa 24 jam dalam sehari itu kayaknya selalu kurang? Baru saja satu tugas kelar, sudah harus lanjut ke deadline berikutnya. Tiap hari rasanya nempel terus sama laptop atau gadget, sampai lupa rasanya punya waktu untuk diri sendiri atau nongkrong bareng teman.

Dari luar mungkin kamu kelihatan super-produktif. Tapi di balik itu, kamu sering kelelahan, baik karena tekanan kerja, ekspektasi orang sekitar yang tinggi, sampai budaya kantor yang menganggap stres dan kerja non-stop itu hal biasa. Kalau kamu relate sama semua ini, bisa jadi kamu lagi terjebak dalam yang namanya hustle culture.

Dikutip dari BBC, Hustle culture: Is this the end of rise-and-grind?, hustle culture itu semacam pola pikir yang bikin kita percaya kalau kerja keras tanpa henti adalah satu-satunya jalan menuju sukses. Istirahat dianggap enggak penting, dan waktu santai malah sering dinilai sebagai bentuk kemalasan. Mantra seperti “kerja dulu, tidur belakangan” atau “enggak ada sukses buat yang suka rebahan” jadi semacam slogan enggak resmi buat para pejuang lembur.

Sekilas, gaya hidup ini kelihatan keren dan inspiratif. Tapi kalau ditelaah lebih dalam, hustle culture justru bisa bikin kita terjebak dalam siklus kerja yang bikin capek badan dan pikiran tanpa ujung.

Baca Juga: Mungkinkah Pisahkan Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan?

Kenapa Hustle Culture Bisa Ngetren?

Masih dari BBC, ada beberapa alasan kenapa hustle culture jadi booming, apalagi di kalangan anak muda. Salah satunya: Media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, atau LinkedIn sering banget menunjukan sisi glamor dari hidup orang sukses, sibuk terus, kerja keras, penuh pencapaian. Kita pun jadi merasa harus ikut hustle agar kelihatan “berhasil”.

Selain itu, dunia startup dan industri kreatif juga ikut menyumbang tren ini. Banyak perusahaan baru yang bangga banget sama budaya kerja yang ‘gila-gilaan’. Kalimat kayak “demi visi besar, kita harus all out” sering kali bikin karyawan merasa harus mengorbankan waktu pribadi dan kesehatan demi proyek besar.

Belum lagi tekanan ekonomi yang bikin kita merasa harus terus kerja biar bisa survive dan tetap relevan di dunia kerja. Campuran dari semua faktor ini menciptakan ilusi kalau satu-satunya jalan menuju sukses adalah kerja terus, tanpa henti, tanpa jeda.

Baca Juga: Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres

Tanda-Tanda Kamu Sudah Terjebak Hustle Culture

Kadang kita enggak sadar kalau hidup kita sudah terlalu dikuasai sama yang namanya kerja terus-menerus. Segala hal rasanya berputar di urusan produktivitas. Padahal, jadi produktif itu bagus, tapi kalau sampai bikin kamu lupa sama kehidupan pribadi, itu tandanya sudah enggak sehat.

Dikutip dari Psychology Today, Why Hustle Culture Is Failing You, agar kamu bisa lebih peka, coba cek lima tanda berikut. Bisa jadi kamu udah terjebak hustle culture tanpa sadar.

  1. Selalu Merasa Bersalah Kalau Lagi Enggak Ngapa-ngapain

Pernah enggak sih lagi santai nonton film terus malah merasa bersalah? Atau waktu rebahan, kepikiran kerjaan terus? Kalau iya, ini bisa jadi sinyal bahaya. Kamu merasa semua waktu harus diisi dengan hal yang produktif, dan istirahat malah bikin kamu tidak nyaman.

  1. Istirahat Jadi Hal yang Dianggap Enggak Penting

Kamu rela begadang demi menyelesaikan pekerjaan, padahal badan dan pikiran sudah capek banget. Bahkan, kamu merasa bangga bisa kerja lembur tiap malam. Ini tandanya kamu sudah mengabaikan kebutuhan dasar: tidur, recharge, dan tenangin diri.

  1. Jadwal Kamu Padat Banget dari Pagi Sampai Malam

Kalender kamu penuh sesak dari Senin sampai Minggu. Setiap jam sudah ada agenda. Bahkan akhir pekan pun enggak luput dari to-do list. Kelihatannya kamu sibuk dan produktif, tapi sebenarnya kamu sudah enggak punya waktu buat diri sendiri atau sekadar berhenti sejenak.

  1. Enggak Bisa Bilang “Tidak” ke Pekerjaan Tambahan

Kamu selalu mengiyakan semua permintaan kerja, walaupun sebenarnya sudah kewalahan. Rasanya enggak enak kalau menolak. Kamu takut dianggap malas atau enggak kompeten, padahal justru kemampuan buat bilang “tidak” itu penting supaya kamu tetap sehat dan enggak burnout.

  1. Waktu buat Diri Sendiri dan Keluarga Makin Menipis

Coba deh ingat-ingat, kapan terakhir kamu menikmati makan malam bersama keluarga tanpa memikirkan notifikasi kerja? Atau weekend tanpa buka laptop? Kalau hal-hal kecil kayak gitu sudah mulai langka, artinya kamu terlalu larut dalam pekerjaan sampai lupa sama orang-orang terdekat.

Baca Juga: Tips Manajemen Stres di Tempat Kerja yang Efektif

Cara Pelan-Pelan Lepas dari Hustle Culture

Keluar dari hustle culture bukan berarti kamu jadi pemalas atau kehilangan semangat kerja. Justru ini soal menemukan ritme hidup yang lebih sehat dan seimbang. Kamu tetap bisa berkarya dan produktif, tapi dengan cara yang enggak bikin kamu tumbang secara fisik maupun mental.

Dikutip dari Fortune, Hustle culture is a dangerous myth, burnout expert says. Here are 6 ways to beat it, ini dia beberapa tips simpel yang bisa kamu coba buat pelan-pelan lepas dari jebakan kerja terus tanpa henti:

  1. Mulai dari Sadar Dulu

Langkah pertama: sadari dulu kalau gaya hidup kamu sekarang sudah enggak sehat. Coba perhatikan, apakah waktumu lebih banyak habis buat kerja? Apakah kamu sering menunda istirahat dan tetap lanjut meski sudah capek banget?

Kalau iya, tandanya kamu perlu mengubah cara jalan hidupmu. Dengan sadar sama pola ini, kamu bisa mulai bikin langkah kecil buat memperbaikinya.

  1. Bikin Batas yang Jelas antara Kerja dan Waktu Pribadi

Penting banget untuk memisahkan waktu kerja sama waktu istirahat. Contohnya:

  • Stop buka email kerja di atas jam 7 malam
  • Tidak membawa-bawa pekerjaan ke hari libur
  • Matikan notifikasi kerja waktu weekend

Kamu butuh waktu buat dirimu sendiri, dan itu sah-sah aja. Batas ini bikin kamu bisa kembali pegang kendali atas waktumu sendiri.

  1. Ubah Cara Pandang: Sibuk Bukan Berarti Produktif

Banyak orang menganggap sibuk itu keren. Padahal, produktif bukan soal seberapa padat jadwalmu, tapi seberapa efektif kamu menyelesaikan sesuatu. Lebih baik kerja fokus 4 jam tapi beres, daripada 12 jam cuma kelihatan sibuk.

Coba cek aktivitas harianmu, apa semuanya benar-benar penting? Atau ada yang cuma mengabiskan energi saja?

  1. Belajar Bilang “Enggak”

Menolak itu bukan dosa, kok. Justru itu bentuk self-care. Kamu enggak harus selalu bilang “iya” ke semua hal. Jaga energi dan fokusmu dengan belajar berkata “tidak” pada hal-hal yang bisa ditunda atau enggak penting-penting banget.

Mulai aja dari hal kecil, seperti menolak ikut rapat yang enggak relevan, atau enggak langsung membalas chat kerja setelah jam kantor.

  1. Kurangi Konten Produktivitas yang Tidak Sehat

Kalau timeline medsos kamu penuh sama orang-orang yang pamer kerja terus tanpa henti, mungkin sudah saatnya bersih-bersih. Banyak konten motivasi yang kelihatannya inspiratif, tapi malah bikin kamu stres dan insecure.

Coba ganti dengan akun-akun yang bahas soal self-care, hidup santai, atau keseimbangan hidup.

  1. Merayakan Kemajuan Kecil

Enggak perlu langsung berubah 180 derajat dalam semalam. Semua proses butuh waktu, dan setiap langkah kecil yang kamu ambil itu berarti. Misalnya minggu ini kamu bisa tidur cukup, atau berhasil nolak satu tugas tambahan, itu layak dirayakan!

Lama-lama, perubahan kecil ini bisa bantu kamu bangun hidup yang lebih stabil dan mindful.

Read More