Quiet Covering Tren Tidak Jadi Diri Sendiri di Tempat Kerja

‘Quiet Covering’: Tren Tidak Jadi Diri Sendiri di Tempat Kerja

Di era modern ini, dunia kerja makin dinamis: tren work-life balance makin disuarakan, kesehatan mental makin dibicarakan, dan perusahaan ditekan agar lebih inklusif terhadap keragaman. Tapi, ada fenomena halus yang sering luput dari perhatian: quiet covering.

Quiet covering adalah ketika seseorang “menyembunyikan” bagian dari identitasnya di tempat kerja agar bisa diterima. Misalnya, ada karyawan yang enggan membahas latar belakang mereka, atau pekerja perempuan yang menutupi tantangan menjadi ibu agar tak dianggap “kurang profesional”. Fenomena ini tidak hanya dialami kelompok minoritas, siapa pun bisa jadi terjebak ketika tekanan sosial di tempat kerja tinggi.

Quiet covering sulit dideteksi karena sifatnya yang sunyi dan diam-diam. Tidak ada aturan tertulis yang memaksa seseorang melakukannya, tapi atmosfer budaya kerja sering mendorong agar “menyesuaikan diri” dibanding tampil otentik. Lama-kelamaan, hal ini bisa menimbulkan kelelahan emosional, rasa tidak puas terhadap diri sendiri, bahkan menurunnya produktivitas.

Contohnya: generasi muda (Gen Z) disebut-sebut turut merasakan tekanan ini, mereka sering memilih diam tentang hal-hal pribadi yang dianggap “berisiko” di lingkungan kerja. Menurut artikel Forbes, ‘Quiet Covering’: New Studies Show What Else The Gen Z Stare Conceals, fenomena Gen Z Quiet Covering makin banyak dibicarakan sebagai realitas baru dunia kerja, di mana para pekerja menyembunyikan identitas agar aman dari bias atau stigma.

Dengan memahami apa itu, mengapa ia terjadi, dan dampaknya pada individu maupun organisasi, kita punya peluang untuk membangun ruang kerja yang lebih sehat, aman, dan inklusif bagi semua orang.

Baca Juga: ‘Positive Culture’: Rahasia Budaya Kerja Sehat yang Bikin Karyawan Betah dan Produktif

Apa Itu Quiet Covering?

Quiet covering bisa dipahami sebagai cara pekerja “bertahan hidup” di kantor dengan cara menyembunyikan sebagian identitas, kebiasaan, atau kepribadiannya supaya tidak memicu reaksi negatif. Sederhananya, seseorang menutupi sisi dirinya agar terlihat sesuai dengan norma, budaya, atau ekspektasi perusahaan.

Contohnya, seorang karyawan dengan aksen daerah bisa memilih berbicara dengan logat yang lebih “netral” agar tidak dipandang sebelah mata. Ada juga pekerja yang punya kondisi kesehatan mental seperti kecemasan, tapi memilih diam karena takut dilabeli “lemah” atau “tidak produktif”.

Bahkan hal-hal sederhana, seperti menghindari obrolan soal hobi atau gaya hidup yang dianggap berbeda, juga bisa termasuk quiet covering. Menurut riset Uncovering Culture dari Deloitte DEI Institute tahun 2023, 60% pekerja di AS melaporkan pernah melakukan covering di tempat kerja dalam 12 bulan terakhir, hampir sama dengan angka survei serupa satu dekade lalu, ini menunjukkan bahwa tekanan untuk “menyesuaikan diri” masih sangat terasa.

Kalau dibandingkan dengan quiet quitting, perbedaannya cukup jelas. Quiet quitting fokus pada batasan kerja: karyawan hanya memberikan usaha sesuai kontrak. Sementara itu, quiet covering menyentuh sisi yang lebih personal: identitas diri. Artinya, seseorang bisa tetap bekerja keras dan loyal, tapi di balik layar ia menutupi siapa dirinya sebenarnya.

Fenomena ini sering tersembunyi. Atasan atau rekan kerja mungkin menilai seseorang sebagai “normal-normal saja,” padahal di balik itu dia merasa harus terus mengenakan “topeng” agar diterima. Itulah yang membuat quiet covering begitu berbahaya: ia mengikis keaslian diri dan perlahan menurunkan kesehatan mental. Menurut artikel Employee Stress Is a Business Risk – Not an HR Problem di Harvard Business Review, stres kerja dianggap bukan sekadar persoalan individu, melainkan risiko bisnis nyata yang bisa memengaruhi keterlibatan karyawan dan performa organisasi.

Pada akhirnya, quiet covering bukan sekadar masalah individu, tapi juga cermin dari budaya kerja. Kalau banyak karyawan merasa harus menyembunyikan diri, berarti ada yang salah pada lingkungan tersebut, mulai dari inklusivitas, keamanan psikologis, hingga minimnya pemahaman soal keberagaman.

Baca Juga: Apa Itu ‘Quiet Cutting’: Ketika Karyawan Dimanipulasi Supaya Resign

Mengapa Generasi Muda Lebih Rentan Quiet Covering?

Gen Z dan milenial muda sering dianggap sebagai generasi paling vokal soal identitas, keberagaman, dan inklusivitas. Mereka tumbuh di era digital, terbiasa mengekspresikan diri secara terbuka, dan membawa semangat untuk menciptakan dunia kerja yang lebih adil. Ironisnya, kelompok ini justru lebih rentan mengalami quiet covering, strategi menyembunyikan identitas agar bisa diterima di kantor.

1. Tekanan dari Media Sosial

Generasi muda hidup di bawah sorotan media sosial yang hampir tak ada habisnya. Identitas, opini, hingga gaya hidup mereka bisa langsung dinilai publik. Saat masuk dunia kerja, tekanan ini membuat mereka berada di persimpangan: ingin tampil autentik, tapi khawatir dianggap tidak profesional. Akhirnya, banyak yang memilih menutup sebagian diri mereka. Menurut survei Pew Research Center, Teens, Social Media and Technology, 65% Gen Z mengaku media sosial menambah ekspektasi yang harus mereka penuhi, termasuk dalam hal profesionalisme.

2. Perbedaan Nilai Antar Generasi

Di banyak perusahaan, keputusan masih banyak ditentukan oleh generasi yang lebih tua dengan pola pikir konservatif. Misalnya, Gen Z terbuka bicara soal kesehatan mental, sementara generasi sebelumnya sering menganggapnya sebagai tanda kelemahan.

Perbedaan nilai ini membuat pekerja muda lebih berhati-hati. Dalam Deloitte Global 2023 Gen Z and Millennial Survey, tercatat 46% Gen Z merasa tertekan untuk menutupi sebagian identitas mereka di tempat kerja demi menghindari penilaian negatif.

3. Kerentanan di Awal Karier

Sebagian besar pekerja muda masih berada di tahap awal karier, dengan posisi yang belum stabil. Kondisi ini membuat mereka lebih rentan terhadap penilaian atasan. Quiet covering kemudian jadi strategi aman untuk bertahan, yakni menyembunyikan hal-hal yang dianggap “tidak sesuai” demi menjaga reputasi.

Laporan McKinsey, What employees are saying about the future of remote work, menegaskan bahwa pekerja muda cenderung lebih patuh pada norma kerja agar bisa mempertahankan posisinya.

4. Harapan Menjadi Agen Perubahan

Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang ingin membawa perubahan positif di dunia kerja, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, sehat, dan adil. Namun, ketika kenyataan di kantor tidak sesuai harapan, mereka justru merasa terjebak.

Alih-alih bisa bebas berekspresi, mereka memilih menutup sebagian identitas untuk tetap diterima. Menurut riset Gallup, Is Quiet Quitting Real?, 54% Gen Z merasa perusahaan belum menyediakan lingkungan kerja yang cukup inklusif bagi keberagaman.

5. Dampak Psikologis yang Lebih Berat

Karena mereka terbiasa hidup dengan prinsip keaslian di ruang digital, benturan muncul saat mereka harus melakukan quiet covering di kantor. Gen Z bisa merasakan konflik batin karena nilai yang mereka pegang tidak bisa diungkapkan secara utuh, dan ini berpotensi memicu stres emosional.

Dikutip dari eurekalert.org, APA poll finds younger workers feel stressed, lonely and undervalued, sebagai contoh, menurut survei American Psychological Association (APA), pekerja muda kerap melaporkan perasaan stres, kesepian, dan kurang diapresiasi di lingkungan kerja mereka.

Baca Juga: Bos Red Flag Bikin Stres? Ini Strategi Bertahan di Tempat Kerja

Cara Mengurangi Quiet Covering di Tempat Kerja

Fenomena quiet covering bukan sekadar urusan individu, tapi juga cerminan dari budaya dan sistem kerja yang belum sepenuhnya inklusif. Karena itu, solusi untuk menguranginya harus bersifat kolektif, melibatkan perusahaan, pemimpin, hingga rekan kerja. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Membangun Budaya Inklusif Sejak Awal

Inklusivitas tidak boleh berhenti di slogan. Perusahaan perlu menanamkan nilai ini dalam praktik nyata, seperti menyusun kebijakan anti-diskriminasi yang ditegakkan secara konsisten, mengadakan pelatihan keberagaman dan inklusi (DEI training), hingga merayakan perbedaan budaya dan identitas karyawan.

Studi dari McKinsey, Diversity wins: How inclusion matters, menunjukkan bahwa perusahaan dengan budaya inklusif memiliki tingkat keterlibatan karyawan yang lebih tinggi dan performa bisnis yang lebih baik.

2. Memberikan Ruang Autentisitas bagi Karyawan

Salah satu penyebab utama seseorang melakukan quiet covering adalah karena merasa tidak ada ruang aman untuk menjadi diri sendiri. Perusahaan bisa mengubah ini dengan menyediakan forum internal untuk berbagi pengalaman, kanal ide terbuka, dan mendorong keanekaragaman dalam tim.

Menurut artikel More-Authentic Workplaces Lead to Better Retention, Productivity di SHRM, lingkungan kerja yang mendorong keaslian (authenticity) menunjukkan bahwa karyawan yang dapat menjadi diri mereka sendiri cenderung lebih puas dan produktif.

3. Peran Pemimpin Sebagai Role Model

Pemimpin punya peran krusial dalam menciptakan iklim keterbukaan. Bila seorang leader berani tampil manusiawi, misalnya terbuka soal tantangan emosional atau aspek kehidupan pribadi, itu memberi sinyal bahwa timnya boleh jujur dan otentik. Riset The Impact of Authentic Leadership Behavior on Employee Trust and Work Engagement menemukan bahwa kepemimpinan otentik meningkatkan kepercayaan dan keterlibatan karyawan di tempat kerja.

4. Meningkatkan Psychological Safety

Psychological safety adalah kondisi di mana karyawan merasa aman untuk bicara, berpendapat, atau bahkan membuat kesalahan, tanpa takut dihukum. Untuk mencapainya, perusahaan bisa mengapresiasi ide baru, menjaga komunikasi dua arah yang terbuka, dan mendukung kreativitas.

menurut riset Bryant University, Can I Be Who I Am? Psychological Authenticity Climate and Employee Outcomes, bentuk organisasi yang menghargai keautentikan (authenticity climate) terbukti berdampak positif terhadap kepuasan kerja, burnout, dan perilaku warga organisasi.

5. Dukungan dari Rekan Kerja

Dukungan sosial dari rekan kerja juga sangat penting. Sikap sederhana seperti tidak menghakimi pilihan pribadi, menyediakan ruang untuk bercerita, atau menyemangati ketika seseorang menunjukkan sisi autentiknya bisa meringankan tekanan untuk covering.

Menurut artikel Inclusive Leadership, Five Positive Impacts of Authenticity in the Workplace, mereka yang merasa bebas menjadi diri sendiri di tempat kerja cenderung lebih percaya diri, terlibat, dan bahagia, yang juga memperkuat hubungan dengan rekan kerja.

Read More
career minimalism ala gen z

‘Career Minimalism’: Tren Gen Z yang Menolak ‘Hustle Culture’

Coba deh kita lihat kondisi kerja sekarang. Banyak orang dari generasi sebelumnya dibesarkan dengan mindset bahwa karier adalah segalanya: kerja lembur, pulang larut, bahkan membawa kerjaan ke rumah dianggap wajar. Hustle culture dulu dianggap lambang sukses. Tapi, benarkah gaya itu bikin bahagia?

Nah, sekarang muncul konsep career minimalism, pandangan baru terhadap karier yang mulai populer di kalangan Gen Z. Bagi mereka, sukses bukan cuma soal jabatan tinggi atau gaji besar, tapi tentang seberapa seimbang hidup mereka, ada waktu untuk diri sendiri, keluarga, teman, dan tetap bisa menikmati hidup tanpa terbebani kerja terus-menerus.

Menurut artikel dari Marketeers, Ubah Makna Sukses di Dunia Kerja, Gen Z Terapkan Career Minimalism, Gen Z sekarang melihat pekerjaan utama sebagai sarana stabilitas finansial, dan banyak dari mereka mengalokasikan energi untuk aktivitas di luar kerja seperti side hustle atau kegiatan kreatif.

Di Indonesia juga sudah mulai muncul riset yang menunjukkan kemauan Gen Z agar perusahaan menyediakan keseimbangan kerja-hidup. Sebagai contoh, penelitian Generation Z in the Workplace: How Work-Life Balance and Job Satisfaction Drive Turnover Intention in Indonesia menemukan bahwa work-life balance yang baik dan kepuasan kerja (job satisfaction) berpengaruh signifikan terhadap niat karyawan Gen Z untuk bertahan di pekerjaan mereka.

Career minimalism bukan berarti menyerah, enggak mau berjuang, atau anti ambisi. Justru sebaliknya, ini pilihan sadar: bekerja lebih cerdas, bukan hanya lebih keras. Gen Z menata karier agar sesuai dengan nilai pribadi dan tujuan hidup, bukan hanya standar lama yang menekankan kerja keras sebagai satu-satunya jalan sukses.

Jadi, kalau dulu banyak orang bangga dengan slogan “kerja keras banting tulang demi masa depan”, Gen Z sekarang lebih suka moto: “kerja secukupnya, hidup sepenuhnya.”

Baca Juga: Apa Itu Nillionaire? Istilah Viral untuk Generasi yang Gajinya Cuma Numpang Lewat

Asal Usul Career Minimalism

Kalau kita lihat, career minimalism bermula dari filosofi minimalisme dalam hidup, yakni memilah mana yang penting, lalu melepaskan beban yang enggak perlu. Misalnya di rumah tangga, minimalisme bisa berarti mengurangi barang yang hanya membuat ruangan terasa sesak dan pikiran terasa berat.

Gen Z kemudian mengaplikasikan konsep ini ke dunia kerja. Mereka menyadari bahwa bukan cuma barang fisik yang bisa menumpuk stres, tapi juga beban tugas, ekspektasi sosial, dan tekanan karier. Ide utamanya: pilih pekerjaan atau jalur profesional yang selaras dengan tujuan hidup, bukan sekadar mengejar ambisi yang mungkin enggak realistis.

Di Indonesia, tren ini makin nyata. Survei dalam DetikEdu, Studi: Mayoritas Gen Z Incar Work Life Balance dan Jam Kerja Fleksibel, mengungkap bahwa mayoritas dari mereka menginginkan work-life balance dan jam kerja yang fleksibel.

Selain itu, artikel Kompas, Memahami Alasan Gen Z Menuntut ‘Work Life Balance’, mengungkap bahwa sekitar 95 persen responden Gen Z menyebut work-life balance sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi pemberi kerja.

Career minimalism bukan berarti menyerah atau anti-ambisi. Justru, ini pilihan sadar untuk bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Gen Z ingin karier yang bermakna, sesuai dengan nilai hidup mereka, tanpa harus mengorbankan kesehatan mental dan hubungan personal.

Faktor lain yang mendukung munculnya career minimalism adalah perubahan zaman dan teknologi. Era digital memungkinkan fleksibilitas kerja seperti remote work, freelance, atau gaya kerja hybrid. Gen Z jadi punya ruang lebih untuk memilih pola kerja yang cocok dengan ritme hidup mereka.

Jadi bisa dibilang, career minimalism adalah evolusi pemikiran generasi muda. Dari minimalisme gaya hidup berkembang menjadi pendekatan karier yang fokus pada keseimbangan, makna, dan kebahagiaan, bukan cuma status atau gaji besar.

Baca Juga: Positive Culture’: Rahasia Budaya Kerja Sehat yang Bikin Karyawan Betah dan Produktif

Perbedaan Career Minimalism vs Hustle Culture

Hustle Culture, budaya kerja yang mengagungkan kerja tanpa henti. Beberapa cirinya:

  • Lembur terus-menerus, bahkan akhir pekan diorbankan.
  • Istirahat atau liburan dianggap kemalasan.
  • Kesuksesan diukur dari jabatan, gaji, dan status sosial.
  • Work-life balance dianggap ide yang terlalu idealis, karena karier dianggap harus nomor satu.

Walau hustle culture bisa terlihat ambisius dan menginspirasi, dalam jangka panjang efeknya bisa bahaya: stres kronis, burnout, dan kesehatan mental yang menurun.

Career Minimalism, kebalikan dari hustle culture. Filosofinya:

  • Memutuskan jam kerja yang realistis dan tidak bergantung pada keharusan standby terus-menerus.
  • Tidak selalu mengejar promosi atau jabatan tinggi kalau itu merusak keseimbangan hidup.
  • Menempatkan kesehatan mental, hubungan sosial, dan kebahagiaan pribadi sebagai prioritas.
  • Kesuksesan diukur dari seberapa nyaman dan seimbang hidup, bukan seberapa padat jadwal kerja.

Baca Juga: ‘Workplace Ghosting’: Ketika Dunia Kerja Jadi Arena Menghilang

Tips Menerapkan Career Minimalism untuk Gen Z

Punya niat buat hidup dengan prinsip career minimalism itu langkah yang keren. Tapi, realitanya memang enggak semudah teori. Tekanan dari kantor, ekspektasi keluarga, sampai norma sosial sering bikin kita ragu untuk konsisten. Nah, biar lebih realistis, berikut beberapa tips praktis buat Gen Z (atau siapa pun) yang ingin memulai perjalanan karier minimalis.

  1. Tentukan Prioritas Hidup dengan Jelas

Identifikasi apa yang paling penting buat hidupmu yaitu kesehatan mental, waktu bersama keluarga, kebebasan finansial, kerja fleksibel, dll. Riset dari theaspd.com, Generation Z in the Workplace : How Work-Life Balance and Job Satisfaction Drive Turnover Intention in Indonesia, menunjukkan bahwa semakin baik work-life balance dan kepuasan kerja, makin rendah niat Gen Z untuk resign dari pekerjaan mereka.

  1. Berani Mengatakan “Tidak”

Salah satu kemampuan paling penting dalam career minimalism: belajar mengatakan “tidak” pada pekerjaan tambahan yang tidak perlu atau ekspektasi yang membuatmu stres. Artikel Verywell Mind, How to Say No to People, memberikan strategi konkret bagaimana menolak dengan tegas tapi tetap sopan agar kamu tetap menjaga batas sehat.

  1. Buat Batasan Sehat antara Kerja dan Kehidupan Pribadi

Pastikan kamu punya waktu jelas untuk berhenti dari pekerjaan, misalnya tidak membuka email kantor setelah jam kerja. Menurut APA, Self-Care, menjaga rutinitas istirahat, memprioritaskan tidur dan jeda mental adalah bagian fundamental dari self-care yang penting untuk mengurangi stres kerja dan menjaga kesehatan mental.

  1. Fokus pada Pekerjaan yang Memberi Makna

Career minimalism mengajarkan kita buat memilih pekerjaan yang sesuai value pribadi. Ada yang lebih puas kerja di industri kreatif dengan gaji sedang, daripada di korporasi besar tapi penuh tekanan.

Misalnya dari laporan Gallup, State of the Global Workplace Report 2023, menunjukkan bahwa pekerja yang merasa pekerjaan mereka bermakna punya tingkat engagement lebih tinggi dibanding yang tidak merasa demikian.

Jadi, jangan biarkan standar orang lain mendefinisikan sukses buat kamu.

  1. Kelola Finansial dengan Bijak

Salah satu tantangan career minimalism adalah masalah finansial. Karena enggak semua orang bisa “slow down” kalau kondisi keuangannya pas-pasan. Penting banget untuk bikin perencanaan, menabung, dan mulai investasi sedini mungkin.

Di Indonesia sendiri, Dikutip dari Kontan, Komitmen bank bjb Terus Tingkatkan Literasi Keuangan Generasi Muda, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dirilis OJK dan BPS tahun 2024 menunjukkan angka literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di 65,43%, sementara inklusi keuangan mencapai 75,02%.

Kalau finansial aman, kamu jadi lebih punya ruang untuk menerapkan prinsip minimalis dalam karier.

  1. Sisihkan Waktu untuk Self-Care dan Pengembangan Diri

Career minimalism bukan berarti berhenti berkembang. Justru, dengan mengurangi distraksi yang enggak penting, kamu punya lebih banyak waktu buat belajar, upgrade skill, dan merawat diri. Masih dari American Psychological Association, aktivitas self-care terbukti bisa menurunkan tingkat stres dan meningkatkan.

Jadi, mau itu olahraga, ikut kursus online, atau sekadar me-time, semuanya adalah investasi buat masa depan.

Read More
people pleaser di tempat kerja

Kenapa Kamu Sulit Bilang ‘Tidak’ di Kantor?

Pernah enggak sih kamu merasa terjebak harus selalu bilang “iya” di kantor? Misalnya, ketika rekan kerja minta bantuan padahal kamu lagi pusing dikejar deadline, tapi tetap kamu lakukan karena takut dibilang enggak kompak. Atau saat bos ngasih tugas tambahan yang jelas-jelas bukan tanggung jawabmu, tapi kamu terima saja karena khawatir dicap kurang kooperatif.

Kalau kondisi ini terasa familiar, besar kemungkinan kamu termasuk kategori people pleaser di tempat kerja. Menurut Verywell Mind, What It Means to Be a People Pleaser, people pleaser adalah orang yang cenderung lebih mengutamakan kebutuhan orang lain dibanding dirinya sendiri.

Fenomena people pleaser di dunia kerja ternyata bukan hal langka. Dalam lingkungan kerja yang serba kompetitif, banyak orang percaya bahwa selalu menuruti permintaan orang lain bisa membantu membangun citra positif, menjaga hubungan baik, bahkan dianggap sebagai jalan cepat untuk naik jabatan.

Padahal kenyataannya enggak semudah itu. Memang, sifat ini bikin kamu terlihat ramah dan disukai banyak orang, tapi risikonya juga besar: mulai dari stres, burnout, sampai kaburnya batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. American Psychological Association, Stress effects on the body, bahkan menegaskan bahwa tekanan yang terus-menerus bisa berdampak serius pada kesehatan fisik maupun mental.

Di Indonesia, sikap people pleaser sering makin kuat karena pengaruh norma sosial dan budaya. Sejak kecil kita diajarkan untuk selalu “nrimo,” menghargai orang lain, dan sebisa mungkin menghindari konflik. Nilai ini memang baik, tapi ketika dibawa ke dunia kerja secara berlebihan, bisa bikin kamu kehilangan kendali atas diri sendiri. Alih-alih dihormati, kamu justru bisa jadi sasaran empuk buat dimanfaatkan orang lain. Seperti yang pernah diberitakan Kompas, Fenomena People Pleaser di Dunia Kerja, Kenali Risikonya, sifat terlalu ingin menyenangkan orang lain sering berbalik jadi bumerang dalam karier.

Karena itu, penting banget buat paham apa itu people pleaser di tempat kerja dan bagaimana mengenali tanda-tandanya. Dengan lebih sadar, kamu bisa refleksi terhadap perilaku sendiri sebelum kebablasan.

Baca Juga: Mungkinkah Karyawan Tidur di Kantor? Tips Efektif Maksimalkan Istirahat

Mengapa Seseorang Bisa Jadi People Pleaser?

Fenomena people pleaser enggak muncul secara tiba-tiba. Ada banyak faktor yang membentuk seseorang jadi pribadi yang selalu ingin menyenangkan orang lain, bahkan sampai mengorbankan dirinya sendiri.

Di balik sikap yang tampak “baik hati,” biasanya ada pengalaman masa kecil, pola asuh, hingga tekanan sosial yang menanamkan keyakinan bahwa nilai diri seseorang diukur dari seberapa banyak ia bisa bikin orang lain puas. Seperti yang dijelaskan oleh Verywell Mind, perilaku ini sering berakar dari kebutuhan emosional yang enggak terpenuhi sejak dini.

  1. Faktor Psikologis

Banyak people pleaser tumbuh dengan rasa takut ditolak atau tidak diterima. Mereka percaya bahwa cara terbaik agar bisa diterima dalam kelompok adalah dengan selalu setuju, selalu membantu, dan enggak pernah menolak permintaan. Sebagian lainnya punya low self-esteem (harga diri rendah) sehingga merasa harus membuktikan keberadaan dirinya lewat upaya menyenangkan orang lain.

Selain itu, aspek kecemasan sosial juga berperan. Menurut American Psychological Association, Anxiety, orang dengan tingkat kecemasan tinggi cenderung lebih rentan menghindari konflik dan berusaha keras menjaga relasi tetap harmonis, meskipun harus menekan kebutuhan dirinya sendiri.

  1. Lingkungan Keluarga

Pola asuh di masa kecil punya dampak besar. Anak yang tumbuh dalam keluarga dengan ekspektasi tinggi sering belajar bahwa cinta dan perhatian orang tua bersifat “bersyarat.” Contohnya, anak hanya mendapat pujian ketika berhasil menuruti perintah atau bikin orang tua senang. Dari situ lahirlah pola pikir: “Kalau aku ingin dicintai, aku harus menyenangkan orang lain.”

Begitu juga anak yang tumbuh di keluarga penuh konflik. Demi menghindari masalah, mereka memilih jalan aman: selalu menurut agar situasi enggak makin parah. Kebiasaan ini bisa terbawa sampai dewasa, termasuk ke dunia kerja. Riset yang dimuat dalam Journal of Child and Family Studies, Parenting Styles and Their Effect on Children’s Behavior, menunjukkan bahwa pola asuh otoriter maupun penuh konflik bisa meningkatkan kecenderungan anak untuk jadi people pleaser ketika dewasa.

  1. Pengaruh Budaya dan Norma Sosial

Budaya juga punya peran penting. Di Indonesia, kita diajarkan untuk menghormati orang lain, menghindari konflik, dan enggak bikin orang tersinggung. Nilai ini memang positif, tapi kalau dijalankan tanpa batas, justru bisa menjerumuskan seseorang jadi people pleaser.

Dalam konteks kerja, budaya hierarkis bikin karyawan sering sungkan menolak permintaan atasan. Masih dari Kompas, bahkan dengan rekan sejawat pun, ada rasa takut dibilang sombong kalau berani berkata “tidak”. Norma sosial di Indonesia sering memperkuat perilaku sungkan ini, terutama di lingkungan kerja yang masih sangat menjunjung senioritas.

  1. Pengalaman Masa Lalu

Trauma atau pengalaman buruk juga bisa jadi pemicu. Misalnya, seseorang pernah kehilangan teman karena berani bersikap tegas, atau pernah dimarahi keras saat menolak permintaan. Dari situ, mereka belajar bahwa berkata “iya” selalu lebih aman. Menurut penelitian dalam Journal of Anxiety Disorders, The Role of Past Trauma in Social Avoidance and Conflict Aversion, pengalaman traumatis memang dapat memperkuat perilaku menghindari konflik sebagai bentuk mekanisme perlindungan diri.

  1. Kebutuhan Akan Validasi

Sebagian orang jadi people pleaser karena haus validasi. Mereka merasa bahagia ketika mendapat ucapan terima kasih, pujian, atau dianggap sebagai “orang baik.” Lama-kelamaan, validasi ini bisa berubah jadi candu.

Tanpa sadar, mereka menghubungkan harga diri dengan seberapa banyak orang lain merasa puas dengan dirinya. Dalam buku How to Be Yourself: Quiet Your Inner Critic and Rise Above Social Anxiety, Psikolog klinis Dr. Ellen Hendriksen menegaskan bahwa ketergantungan pada validasi eksternal sering membuat seseorang kehilangan keaslian dirinya.

Baca Juga: ‘Positive Culture’: Rahasia Budaya Kerja Sehat yang Bikin Karyawan Betah dan Produktif

Dampak Negatif People Pleaser di Tempat Kerja

Jadi orang baik hati dan suka membantu memang kesannya positif. Tapi kalau kebiasaan itu berubah jadi dorongan berlebihan untuk selalu menyenangkan orang lain, dampaknya justru bisa berbalik merugikan, baik buat dirimu sendiri maupun perusahaan. Berikut beberapa risiko yang sering dialami people pleaser di lingkungan kerja.

  1. Beban Kerja yang Berlebihan

Salah satu ciri utama people pleaser adalah selalu bilang “iya” meski sebenarnya sudah kewalahan. Akibatnya, pekerjaan jadi menumpuk dan tanggung jawab yang bukan miliknya pun ikut disanggupi.

Lama-lama, kondisi ini bisa bikin produktivitas menurun dan kualitas kerja terganggu. Menurut laporan Harvard Business Review, Stop Being So Nice at Work, karyawan yang kesulitan menolak permintaan tambahan cenderung lebih cepat mengalami penurunan kinerja dibanding mereka yang bisa mengatur prioritas.

  1. Stres dan Burnout

Ketika terlalu banyak beban, tubuh dan pikiran akhirnya enggak sanggup menyeimbangkan kebutuhan pribadi dan pekerjaan. People pleaser lebih rentan mengalami stres, sulit tidur, hingga kelelahan emosional.

Kalau dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang jadi burnout, yaitu rasa lelah total yang bikin seseorang kehilangan motivasi kerja. World Health Organization, Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases, bahkan sudah mengklasifikasikan burnout sebagai fenomena yang berkaitan langsung dengan pekerjaan.

  1. Kehilangan Identitas Diri

Karena terbiasa menyesuaikan diri dengan orang lain, people pleaser sering mengabaikan suara hatinya sendiri. Mereka takut mengutarakan pendapat karena khawatir dianggap berbeda atau enggak kompak.

Dalam jangka panjang, ini bisa bikin mereka kehilangan jati diri dan merasa bingung dengan apa yang sebenarnya diinginkan, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi.

  1. Risiko Dimanfaatkan oleh Orang Lain

Sikap “serba iya” membuat people pleaser gampang jadi sasaran orang lain yang oportunis. Rekan kerja atau bahkan atasan bisa sengaja melimpahkan tugas dengan alasan tahu kamu pasti enggak akan menolak.

Ini berbahaya karena bisa berujung pada eksploitasi, kebaikanmu dipakai, tapi penghargaan yang kamu terima seringkali enggak sepadan. Menurut Forbes, The Dark Side Of Being Too Nice At Work, sifat terlalu kooperatif sering bikin karyawan justru lebih sering dimanfaatkan ketimbang diapresiasi.

  1. Menurunnya Kualitas Kerja

Meskipun terlihat rajin, terlalu banyak menyanggupi tugas bikin fokus terbagi ke banyak hal. Hasilnya? Pekerjaan jadi terburu-buru, kurang teliti, atau enggak maksimal. Akhirnya, bukannya dapat apresiasi, people pleaser justru berisiko mendapat kritik dan penilaian buruk.

Studi dari Journal of Occupational Health Psychology, The impact of multitasking on job performance and stress, menunjukkan bahwa multitasking berlebihan bisa menurunkan kualitas output dan meningkatkan tingkat kesalahan kerja.

Baca Juga: Mengenal ‘Stress Crossover’ di Tempat Kerja, Dampak, dan Tips Mengatasinya

Strategi Mengatasi People Pleaser di Tempat Kerja

Mengatasi kebiasaan jadi people pleaser memang enggak gampang. Soalnya, perilaku ini sering kali terbentuk sejak lama dan kerap disalahartikan sebagai tanda “baik hati.” Padahal, tanpa batasan sehat, sifat ini bisa bikin stres, burnout, bahkan dimanfaatkan orang lain. Kabar baiknya, ada strategi praktis yang bisa kamu coba untuk keluar dari pola tersebut sekaligus menemukan keseimbangan antara membantu orang lain dan menjaga diri sendiri.

  1. Belajar BerkataTidakdengan Asertif

Mengucapkan “tidak” bukan berarti egois. Justru ini cara sehat untuk melindungi energi dan fokusmu. Menurut Coursera, Assertive Communication: Definition, Examples, and Tips, komunikasi asertif berarti menyampaikan pendapat atau batasan dengan jelas, sopan, tapi tetap tegas. Kamu bisa mulai dengan hal kecil, misalnya menolak permintaan tambahan ketika deadline-mu sudah padat: “Maaf, aku enggak bisa bantu sekarang karena masih ada target yang harus diselesaikan.”

  1. Menetapkan Batasan yang Sehat

Batasan bukan cuma soal berkata “tidak,” tapi juga tentang mengatur sejauh mana kamu terlibat dalam pekerjaan orang lain. Penelitian yang dipublikasikan di PubMed Central, A causal model on assertiveness, stress coping, and workplace environment: Factors affecting novice nurses’ burnout, menegaskan bahwa kemampuan menetapkan batasan dan coping stress punya peran penting untuk mencegah burnout di lingkungan kerja.

Misalnya, tentukan jam kerja yang jelas, jangan selalu standby di luar jam kantor, dan fokus pada tanggung jawabmu sendiri tanpa merasa bersalah.

  1. Mengelola Ekspektasi Orang Lain

People pleaser sering merasa harus memenuhi ekspektasi semua orang. Padahal, itu hampir mustahil. Harvard Business Review, The Art of Setting Expectations as a Project Manager, menekankan bahwa kunci produktivitas adalah mengelola ekspektasi dengan komunikasi terbuka dan kesepakatan realistis.

Jadi, kalau ada permintaan tambahan, jangan ragu untuk bilang apa yang bisa kamu lakukan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, atau bahkan menolak jika memang tidak realistis.

  1. Membangun Kepercayaan Diri

Rasa minder atau kurang percaya diri sering jadi akar dari perilaku people pleaser. Menurut PositivePsychology.com, How to Be More Assertive At Work: 7 Activities, salah satu cara membangun kepercayaan diri adalah dengan fokus pada pencapaian kecil dan melatih afirmasi positif sehari-hari.

Kamu bisa mulai dengan mengingat keberhasilanmu sebelumnya, lalu mengulang kalimat seperti: “Aku berhak bilang tidak tanpa merasa bersalah.”

  1. Belajar Menghadapi Konflik dengan Dewasa

People pleaser biasanya takut konflik, padahal konflik enggak selalu buruk. American Psychological Association, Coping with stress at work, menyebut bahwa salah satu strategi coping di tempat kerja adalah melihat konflik sebagai peluang untuk bertukar ide, bukan ancaman.

Kuncinya: dengarkan dulu, lalu respon dengan tenang dan asertif. Dengan begitu, kamu bisa menjaga hubungan profesional tanpa mengorbankan dirimu sendiri.

Read More

‘Bye Job Hopping, Halo Job Hugging’: Realitas Pasar Kerja Indonesia yang Kian Tak Pasti

Ini adalah tahun keempat “Andrea” bekerja di kantor yang sama. Selepas menamatkan strata satunya (S1), ia berkesempatan meniti karier di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.  

Seperti kebanyakan orang, mulanya Andrea senang lantaran beruntung bisa langsung mendapat kerja selepas kuliah. Tanpa proses yang sulit, ia bisa merasakan gaji pertama yang cukup dan tempat berkembang baru di usianya yang masih 20 tahunan. 

Sayang, euforia mendapat pekerjaan tak berlangsung lama. Di tahun keempat, Andrea merasa kariernya stuck dan bingung mau melangkah ke mana. Lama-kelamaan ia memutuskan tetap bertahan demi melanjutkan hidup semata. Pengembangan diri jadi barang mahal yang sulit digapai karena ia tak bisa bergerak ke mana-mana. 

Gue sebenernya mempertahankan pekerjaan ini biar ada pemasukan aja, biar gue tetep hidup, gitu. Soalnya gue udah merasa apa ya? Stuck kali ya. Kayak bingung ini mau ngembangin diri kayak gimana lagi?,” kata Andrea. 

Tak hanya Andrea, “Bima”, salah satu pekerja di badan usaha milik negara (BUMN) juga merasakan hal yang sama. Meskipun orang bilang pekerjaan yang ia dapat adalah cita-cita para orang tua, Bima belum merasa demikian. Setelah lebih dari tiga tahun bekerja di sana, ia tak punya alasan lain selain gaji untuk bertahan. Tak ada pengembangan diri yang signifikan, katanya. Mau mencari ke luar pun pilihannya tidak ada.  

“Lebih ke sekarang opsinya enggak ada. Kalau mau pindah harus ke entry level lagi karena ketersediaan untuk level-level menengah gini hampir enggak ada. Bisa dibilang bertahan emang lebih aman,” ungkap Bima.   

Seperti Andrea dan Bima, “Nisrina” pun punya keluhan yang sama. Hanya saja, keluhan Nisrina tak hanya soal karier yang stuck atau pengembangan diri yang nihil. Dalam kasusnya, Nisrina juga harus berhadapan dengan atasan yang toxic untuk bertahan hidup. Kerja lembur pun jadi makanannya sehari-hari. 

“Kayaknya kalau enggak buat makan sehari-hari, aku better cabut sih dari kantor yang sekarang. Kerjaannya tuh betul-betul overload banget. Belum lagi atasan juga baperannya minta ampun. Rasanya enggak sepadan gitu gaji dengan apa yang dikerjain. Mau pindah tapi enggak juga ada pilihannya,” cerita Nisrina.  

Belakangan pengalaman ketiga orang ini ramai dibahas di media sosial. Salah satu perusahaan aplikasi personalia di Amerika Serikat, Resume Builder, memotret fenomena ini sebagai job hugging. Maksudnya, para pekerja berupaya bertahan di posisi mereka kini, bukan karena loyalitas apalagi kepuasan kerja. Mereka cuma takut akan kehilangan pendapatan karena ketidakpastian pasar kerja. 

Melansir CNBC, berbeda dengan job hopping yang sempat jadi tren di Indonesia pada 2021-2022 lalu, job hugging merupakan fenomena di mana pekerja tidak punya pilihan untuk meningkatkan karier mereka. Akibatnya, mereka pun hanya berupaya menikmati pekerjaan yang sekarang–meski tanpa pengembangan diri, dan bahkan harus menelan lingkungan kerja yang juga tidak sehat.  

Baca juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z

Bergelut di Antara Rasa Aman dan Karier yang Stagnan 

Di Amerika, survei Resume Builder menemukan bahwa hampir setengah pekerja di sana berada dalam kondisi job hugging. Mereka yang memeluk pekerjaannya bilang, bertahan adalah pilihan yang paling masuk akal dan aman di tengah situasi yang tidak pasti. Sebagian dari mereka bahkan berupaya keras untuk mempertahankan posisinya saat ini. Upaya tersebut termasuk menelan jam kerja yang berlebih, sampai mengambil tugas tambahan dari rekan kerja yang lain. 

Meskipun di Indonesia survei sejenis belum dilakukan, kisah Andrea, Bima, dan Nisrina, bisa jadi gambaran bagaimana pekerja di Indonesia juga tengah memeluk erat pekerjaannya untuk saat ini. Meskipun berat dan tidak dapat memberikan pengembangan diri, ketiganya bertahan setidaknya untuk menyambung hidup dari hari ke hari. 

Celaka dua belas, rasa aman ini juga dibarengi dengan tekanan yang sering kali menyerang kesehatan mental. Pada Andrea hal ini bahkan berujung pada kelelahan emosional (burn out) yang hampir dirasakan setiap hari. Karena kerja untuk sekadar menjaga cashflow, Andrea bingung untuk memastikan apa yang benar-benar sedang ia kerjakan. 

I’m questioning myself, my purpose everyday. Gue merasa setiap hari itu berat. Kayak gue bikin to-do list nih, tapi jadi overwhelmed juga kalau enggak semua terselesaikan. Ujung-ujungnya jadi nyalahin diri sendiri, ‘kok gue nggak perform kayak dulu ya?’, gitu.” 

Senada, bagi Bima bertahan untuk gaji sama saja dengan menggadaikan proses perkembangan kariernya ke depan. Bukan tidak bersyukur, sebutnya. Masalahnya Bima merasa kehilangan momentum untuk bertumbuh karena terpentok kesempatan kerja lain yang kosong dan usia yang terus bertambah. Ia pun kian merasa lesu ketika melakukan aktivitasnya sehari-hari.  

“Mungkin tepatnya unfulfilled ya. Karena ya itu, merasa kehilangan banyak momentum aja untuk dapat kesempatan lain. Tapi di sisi lain, usia terus nambah,” katanya.  

Kondisi ini pun dikonfirmasi Dr. Kaitlin Harkess, psikolog klinis, dalam wawancaranya bersama NT News pada (14/9). Ia bilang job hugging memang bisa menyebabkan kualitas hidup yang buruk, frustrasi, sampai gejala stres macam kelelahan dan kurang tidur. 

Baca juga: Nasib Perempuan Pekerja: Batas Umur di Loker Lebih Merugikan Perempuan? 

Bagaimana dengan Pekerja Perempuan? 

Meskipun fenomena job hugging baru muncul belakangan, nyatanya, para pekerja perempuan tercatat sudah melalui rintangan ini jauh sebelum konsep tersebut ramai dibicarakan. Hariati Sinaga, Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, bilang hal ini berkaitan dengan stigma dan bias di dunia kerja yang sudah ada sejak dulu.  

Ia bilang mayoritas perempuan memang terpaksa bertahan pada pekerjaannya karena tak banyak pilihan yang bisa dicoba untuk mencari peruntungan. Banyaknya syarat yang tercantum dalam lowongan pekerjaan jadi penyebab mengapa perempuan lebih memilih memeluk pekerjaannya meski tak semenguntungkan itu. 

“Sebenarnya kalau membicarakan job hugging, hal ini mungkin sudah dirasakan perempuan dari dulu karena memang pilihannya terbatas,” kata Hariati pada Magdalene (16/9).   

Pernyataan ini selaras dengan temuan riset “Penggambaran Tubuh Perempuan dalam Iklan Lowongan Pekerjaan” (2017). Di sana dijelaskan lowongan pekerjaan masih memuat syarat yang mengobjektifikasi tubuh perempuan, seperti harus berpenampilan menarik, atau bertubuh kurus.  

Selain itu, temuan lain dalam riset bertajuk “Bias Gender dalam Iklan Lowongan Pekerjaan” (2022), juga menemukan pekerjaan untuk perempuan masih terbatas pada bidang-bidang tertentu, seperti bisnis pelayanan. Enggak hanya itu, tuntutan kriteria terkait batas usia sampai status pernikahan juga jadi alasan sulitnya perempuan untuk mendapat opsi pekerjaan lain.  

Fenomena ini pun tergambar dalam kisah Nisrina yang terjebak dalam job hugging. Ia bilang pilihannya untuk menjaga profesi saat ini dipengaruhi oleh kondisinya yang sudah menikah dan memiliki anak. Menurut Nisrina, tak banyak perusahaan yang mau menerima perempuan yang sudah berkeluarga.  

Kayaknya enggak banyak juga ya yang mau nerima perempuan beranak kayak gue gini. Susah lagi nyarinya. Bertahan aja udah, cicilan terlalu banyak,” ungkapya. 

Hariati menambahkan, kondisi akan semakin parah apabila hal ini terjadi pada pekerja perempuan dengan pendapatan rendah. Pasalnya, mereka yang bertahan dengan gaji minim biasanya terjebak dalam situasi tanpa pilihan atas pekerjaan yang lebih baik.  

Bagi mereka, pilihannya adalah bekerja atau tidak makan sama sekali. Hal ini bukan hanya membuat mereka terjebak dalam pengembangan diri yang nihil. Para pekerja, termasuk perempuan, bakal menerima semua konsekuensi kerja yang bisa merusak kesehatan mereka.  

“Sebenarnya ini menunjukkan secara lintas kelas sosial, job hugging itu memberi dampak yang berbeda tapi sama-sama parah. Karena buat pekerja di kelas ekonomi yang lebih rendah, mungkin terlalu privilege gitu kalau ngomongin mental health atau pengembangan karier. Alasannya ya karena memang pilihannya kerja atau tidak makan sama sekali. Jadi mungkin banyak hak mereka yang bahkan enggak terpenuhi,” jelas Hariati.  

Baca juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’ 

Double Kill’ Pemerintah Egois, Lapangan Kerja Minim 

Kesulitan mencari pekerjaan kini dirasakan hampir semua lapisan masyarakat. “Kondisi ini menggambarkan bagaimana kesulitan ekonomi kian dirasakan lebih meluas di semua lapisan masyarakat,” ujar Hariati. 

Pernyataan itu diamini Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Ia menilai perekonomian Indonesia tengah terguncang dan berpotensi mengalami perlambatan pertumbuhan. 

Terkait fenomena job hugging, Bhima menjelaskan hal ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya ketersediaan lapangan kerja. Akar masalahnya, menurut dia, terletak pada keegoisan pemerintah yang lebih memilih mendorong investasi di industri padat modal dibandingkan padat karya. Dampaknya, penyerapan tenaga kerja pun menurun secara berkala. 

“Sekarang ini investasi makin tidak berkualitas. Klaim serapan kerja per investasi yang masuk makin turun. Tahun 2015 setiap Rp1 triliun investasi menyerap 2.632 tenaga kerja, sedangkan semester 1 2025 cuma menyerap 1.273 orang tenaga kerja. Padahal banyak industri existing yang butuh suntikan modal, tapi karpet merah insentif diberikan ke investasi padat modal yang baru,” jelas Bhima (17/9). 

Apa Solusinya? 

Menurut Bhima, langkah cepat yang bisa diambil pemerintah adalah kembali melirik sektor padat karya untuk meningkatkan serapan tenaga kerja, agar industri yang masih bertahan tidak sampai gulung tikar. 

“Sebetulnya bisa mulai dengan menyelamatkan industri existing dari gelombang penutupan. Jangan boros kasih insentif pajak ke sektor padat modal,” ucapnya. 

Sebagai alternatif, Bhima menyebut masyarakat bisa mencoba berwirausaha dan menggerakkan perputaran ekonomi mandiri. Namun, ekosistem yang mendukung mutlak diperlukan, sehingga beban tidak sepenuhnya jatuh pada individu. 

“Kalau fresh graduate mau jadi wirausaha silahkan, tapi ekosistemnya harus dibangun pemerintah. Soalnya banyak karyawan takut jadi wirausaha karena mitos wirausaha bisa dilakukan semua orang mulai banyak yang meragukan itu. Korupsi perizinan usaha itu juga harus diberantas, bukan cuma gimik digitalisasi aja,” terangnya. 

Di sisi lain, bagi mereka yang masih merasa terjebak dalam pekerjaan sekarang, ada cara lain untuk tetap bertahan. Neuropsikolog Theo Tsaousides lewat tulisannya di Psychology Today menyarankan pekerja untuk membuat tujuan hidup di luar pekerjaan. Langkah ini, menurutnya, bisa membantu menemukan keseimbangan di tengah kebingungan karier. Meski bukan solusi utama, setidaknya pekerja dapat merasa lebih tenang di kondisi yang serba terimpit. 

Read More
meningkatkan semangat kerja sehabis liburan

‘Positive Culture’: Rahasia Budaya Kerja Sehat yang Bikin Karyawan Betah dan Produktif

Budaya kerja positif adalah “denyut nadi” sebuah perusahaan. Ia bukan sekadar aturan tertulis di handbook karyawan atau target bulanan yang harus dicapai. Lebih dari itu, budaya kerja membentuk suasana sehari-hari di kantor: bagaimana rekan kerja berinteraksi, bagaimana atasan memperlakukan tim, hingga bagaimana perusahaan menyikapi keberhasilan maupun kegagalan.

Di sinilah positive culture berperan sebagai fondasi utama. Konsep ini menekankan pada atmosfer kerja yang penuh dukungan, kolaborasi, dan penghargaan. Dengan budaya seperti ini, karyawan bekerja bukan hanya karena tuntutan, melainkan karena merasa dihargai dan menjadi bagian penting dari misi perusahaan.

Coba bandingkan dua situasi. Pertama, sebuah kantor dengan komunikasi satu arah, tekanan berlebihan, dan hukuman untuk setiap kesalahan. Suasana ini jelas bikin karyawan cepat burnout, kehilangan motivasi, bahkan resign. Kedua, sebuah tempat kerja yang memberi ruang untuk bertanya, menyampaikan ide, bahkan belajar dari kesalahan tanpa rasa takut. Nah, inilah wujud nyata dari budaya kerja positif yang sehat.

Mengapa ini penting? Karena perusahaan bukan sekadar kumpulan mesin dan laporan angka. Di baliknya ada manusia dengan emosi, motivasi, dan nilai yang berbeda-beda. Positive culture mampu menyatukan perbedaan itu menjadi energi produktif.

Riset dari Harvard Business Review, Proof That Positive Work Cultures Are More Productive, menemukan bahwa budaya kerja yang positif meningkatkan loyalitas, produktivitas, sekaligus citra perusahaan di mata publik maupun calon karyawan.

Apalagi, generasi milenial dan Gen Z yang kini mendominasi dunia kerja punya ekspektasi lebih dari sekadar gaji tinggi. Dikutip dari The Deloitte Global Millennial Survey 2020, mereka menginginkan lingkungan kerja yang sehat, inklusif, dan punya makna. Perusahaan yang bisa membangun positive culture otomatis lebih menarik di mata talenta muda berbakat.

Singkatnya, di era persaingan bisnis yang makin ketat, membangun budaya kerja positif bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan strategis untuk bertahan sekaligus tumbuh.

Baca Juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Definisi Positive Culture di Tempat Kerja

Budaya kerja positif bisa didefinisikan sebagai sekumpulan nilai, kebiasaan, dan cara berinteraksi yang membuat karyawan merasa dihargai, nyaman, serta termotivasi untuk memberi kontribusi terbaik.

Artinya, budaya positif bukan hanya soal fasilitas keren seperti bean bag atau pantry penuh snack. Lebih dalam dari itu, budaya ini berakar pada trust (kepercayaan), respect (saling menghargai), dan growth (pertumbuhan).

Menurut Harvard Business Review, Proof That Positive Work Cultures Are More Productive, perusahaan dengan budaya kerja positif terbukti lebih produktif karena karyawan merasa lebih engaged dan termotivasi.

Contohnya, ketika ide karyawan benar-benar didengarkan, mereka cenderung lebih bersemangat mengembangkan inovasi. Begitu juga saat atasan memberi dukungan di masa sulit, rasa memiliki terhadap perusahaan pun meningkat.

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Perbedaan dengan Budaya Kerja Tradisional

Banyak perusahaan masih terjebak dalam budaya kerja tradisional. Pola ini biasanya menekankan hierarki kaku, aturan ketat, dan fokus pada pencapaian angka semata. Dalam sistem seperti ini, karyawan sering diperlakukan hanya sebagai roda produksi, bukan manusia dengan aspirasi dan emosi.

Sebaliknya, budaya kerja positif menekankan aspek manusiawi di balik pekerjaan. Hierarki tetap ada, tapi fungsinya untuk memfasilitasi, bukan menekan. Target tetap penting, tapi dicapai lewat kolaborasi dan dukungan tim, bukan tekanan berlebihan.

Deloitte Insights, Culture and Engagement: The Naked Organization, bahkan menyebutkan bahwa organisasi dengan budaya positif lebih mampu mempertahankan karyawan dan meningkatkan engagement ketimbang perusahaan yang terjebak dalam pola tradisional.

Manfaat Positive Culture Bagi Karyawan

Budaya kerja positif bukan cuma menguntungkan perusahaan, tapi juga berdampak nyata bagi karyawan sebagai individu. Dengan lingkungan kerja yang sehat, karyawan merasa lebih aman, termotivasi, dan produktif. Berikut beberapa manfaat yang bisa langsung dirasakan sehari-hari.

1. Motivasi Kerja Lebih Tinggi

Di tempat kerja yang penuh apresiasi, karyawan biasanya jauh lebih semangat. Mereka tidak lagi melihat pekerjaan hanya sebagai “cari gaji,” tapi juga sebagai kontribusi untuk sesuatu yang lebih bermakna.

Misalnya, seorang desainer grafis yang diberi kebebasan berkreasi tanpa aturan kaku akan merasa dihargai dan termotivasi menghasilkan karya terbaik. Riset Harvard Business Review, The Value of Appreciation at Work, juga menunjukkan bahwa karyawan yang merasa dihargai cenderung punya performa lebih baik serta loyalitas yang lebih tinggi.

2. Mengurangi Stres dan Burnout

Lingkungan kerja yang toxic bisa dengan cepat memicu stres hingga burnout. Sebaliknya, budaya kerja positif memberikan ruang untuk istirahat, dukungan emosional, dan kebebasan meminta bantuan tanpa rasa takut dihakimi.

Contoh sederhana: perusahaan yang menerapkan jam kerja fleksibel memberi karyawan kendali atas ritme kerjanya. Menurut American Psychological Association, Workplace Flexibility and Employee Well-being, fleksibilitas kerja terbukti menurunkan stres dan meningkatkan keseimbangan hidup dan kantor.

3. Kolaborasi Tim Jadi Lebih Kuat

Budaya positif menekankan kerja sama dibanding persaingan tidak sehat. Karyawan lebih nyaman berbagi ide, berdebat sehat, dan bekerja lintas divisi tanpa rasa terancam.

Contoh: tim marketing bisa bekerja bareng tim IT dalam sebuah proyek tanpa ego siapa yang paling unggul. McKinsey & Company, How Collaboration Accelerates Innovation, menemukan bahwa perusahaan dengan budaya kolaboratif bisa meningkatkan inovasi hingga 30% lebih cepat.

4. Rasa Aman dan Dihargai

Salah satu fondasi budaya positif adalah psychological safety, yaitu rasa aman untuk bicara, bereksperimen, atau bahkan mengakui kesalahan. Ketika atasan memberi apresiasi sekecil apapun, mulai dari ucapan terima kasih hingga pengakuan publik, karyawan merasa kontribusinya benar-benar berarti. Dikutip dari Google Re:Work,Project Aristotle on Team Effectiveness, juga menegaskan bahwa psychological safety adalah faktor utama tim yang sukses.

5. Pertumbuhan Pribadi dan Profesional

Budaya kerja positif biasanya memberi ruang bagi karyawan untuk belajar hal baru, ikut pelatihan, atau mencoba peran berbeda. Hal ini bukan cuma menambah skill, tapi juga meningkatkan kepercayaan diri.

Misalnya, staf administrasi yang diberi kesempatan ikut kursus digital marketing bisa merasa lebih berkembang dan siap memperluas kariernya di masa depan. Dalam laporan Gallup, State of the Global Workplace, menyebut bahwa kesempatan belajar adalah salah satu faktor terkuat yang membuat karyawan bertahan lebih lama di perusahaan.

Baca Juga: ‘Workplace Ghosting’: Ketika Dunia Kerja Jadi Arena Menghilang

Strategi Membangun Budaya Kerja Positif

Membangun budaya kerja positif jelas enggak bisa instan. Perlu konsistensi, komitmen dari manajemen, dan keterlibatan aktif seluruh karyawan. Kabar baiknya, budaya positif bukan hal yang mustahil diwujudkan.

Bahkan, menurut riset McKinsey, Organizational Health: A Fast Track to Performance Improvement, perusahaan dengan budaya kerja sehat terbukti 3 kali lebih produktif dibanding yang abai pada kultur kerja. Nah, berikut beberapa strategi konkret yang bisa diterapkan:

1. Menetapkan Visi dan Nilai Perusahaan yang Jelas

Budaya kerja positif enggak akan terbentuk kalau perusahaan enggak punya arah. Visi dan nilai perusahaan harus lebih dari sekadar slogan di dinding kantor. Misalnya, kalau nilai utamanya “kolaborasi,” maka semua proses kerja perlu mendukung kerja sama tim, bukan kompetisi yang toxic.

Komunikasi nilai ini penting banget, bisa lewat onboarding karyawan baru, rapat mingguan, sampai aktivitas internal. Deloitte, Global Human Capital Trends 2019: Leading the Social Enterprise, menemukan bahwa 94 persen eksekutif dan 88 persen karyawan percaya budaya yang selaras dengan nilai perusahaan mampu meningkatkan keberhasilan bisnis jangka panjang.

2. Memberdayakan Karyawan

Positive culture hanya tumbuh kalau karyawan merasa punya suara. Memberdayakan mereka berarti memberi ruang untuk ambil keputusan, terlibat dalam diskusi strategi, dan dihargai idenya. Contohnya, saat tim menghadapi masalah, biarkan brainstorming dulu sebelum atasan turun tangan.

Menurut Gallup, The Real Future of Work: Empowering Employees, karyawan yang merasa empowered 4,6 kali lebih mungkin memberikan performa maksimal di tempat kerja. Jadi, memberdayakan bukan cuma soal rasa percaya diri, tapi juga kunci produktivitas.

3. Membiasakan Feedback yang Sehat

Feedback adalah bahan bakar pertumbuhan. Bedanya, dalam budaya positif, feedback disampaikan dengan cara konstruktif, spesifik, dan tepat waktu. Enggak cuma atasan ke bawahan, tapi juga berlaku sebaliknya.

Harvard Business Review, Why Feedback Rarely Does What It’s Meant To, menyebutkan 72 persen karyawan merasa performanya akan meningkat jika mendapatkan feedback yang lebih sering dan jelas. Jadi, feedback yang sehat bukan sekadar kritik, tapi investasi untuk perkembangan tim.

4. Menciptakan Lingkungan Kerja Inklusif

Budaya positif enggak akan tumbuh kalau lingkungan penuh diskriminasi atau bias. Perusahaan perlu bikin ruang aman di mana semua orang, terlepas dari gender, usia, atau latar belakang, bisa dihargai.

Langkahnya bisa berupa pelatihan keberagaman, kebijakan anti-diskriminasi, hingga peluang promosi yang adil. Laporan dari Boston Consulting Group, How Diverse Leadership Teams Boost Innovation, menunjukkan bahwa perusahaan dengan tim manajemen yang lebih beragam punya pendapatan inovasi 19 persen lebih tinggi. Artinya, inklusivitas bukan cuma soal etika, tapi juga menguntungkan bisnis.

5. Menjaga Keseimbangan Kerja dan Kehidupan (Work-Life Balance)

Karyawan bukan robot, mereka punya keluarga, hobi, dan kebutuhan pribadi. Work-life balance jadi fondasi penting untuk menciptakan budaya kerja yang sehat. Caranya? Bisa lewat fleksibilitas jam kerja, opsi remote, sampai cuti kesehatan mental.

World Health Organization, Mental Health in the Workplace, menegaskan bahwa work-life balance yang buruk bisa meningkatkan risiko burnout hingga 23 persen. Sebaliknya, perusahaan yang peduli keseimbangan hidup karyawan akan punya tim yang lebih sehat, bahagia, dan produktif.

Read More
apa itu workplace ghosting

‘Workplace Ghosting’: Ketika Dunia Kerja Jadi Arena Menghilang

Bayangin kamu lagi ikut proses seleksi kerja yang kelihatannya mulus banget, HR sudah kasih sinyal positif, wawancaranya ngalir, bahkan kamu dijanjikan akan dihubungi dalam beberapa hari. Tapi kenyataannya? Enggak ada kabar sama sekali. Email enggak dibalas, telepon diabaikan, dan seolah kamu menghilang dari radar mereka. Inilah yang disebut workplace ghosting, hilangnya komunikasi secara mendadak dalam hubungan profesional.

Fenomena ini ternyata jauh dari kata langka. Menurut laporan SHRM dalam artikel Job Seekers of Color Are Being ‘Ghosted’ at Alarmingly High Rates, survei platform rekrutmen Greenhouse menunjukkan 67 persen pelamar pernah mengalami di-ghosting setelah wawancara, tanpa penjelasan atau umpan balik sama sekali.

Data dari Indeed lewat riset Employer Ghosting: A Troubling Workplace Trend bahkan lebih bikin kening berkerut: sekitar 77 persen pencari kerja di AS mengaku di-ghosting oleh calon pemberi kerja sejak pandemi COVID-19. Fenomena ini terjadi di berbagai tahap rekrutmen, baik sebelum maupun setelah ada tawaran kerja.

Masalahnya, ghosting ini sudah menembus batas etika profesional. Bukan cuma pelamar yang menghilang, perusahaan pun kini semakin sering melakukan hal yang sama. Banyak kandidat dibiarkan menggantung tanpa kejelasan, apalagi di era rekrutmen serba digital dan cepat, di mana memberi kabar seharusnya semudah mengirim pesan singkat.

Situasi ini jadi semacam alarm besar soal budaya komunikasi di dunia kerja. Ironisnya, di tengah kemudahan teknologi yang bikin pesan nyampe dalam hitungan detik, justru makin banyak orang memilih diam. Padahal, kurangnya komunikasi yang terbuka dan transparan bisa bikin kandidat stres, merasa enggak dihargai, dan merusak iklim kerja secara keseluruhan.

Baca Juga: Tes Kepribadian Saat Melamar Kerja: Yang Bisa dan Tak Bisa Ditanyakan Bos

Apa Itu Workplace Ghosting?

Workplace ghosting adalah momen enggak enak di dunia kerja ketika seseorang, entah itu kandidat, rekan kerja, atau bahkan atasan, tiba-tiba “menghilang” tanpa kabar atau penjelasan sama sekali. Bukan cuma telat membalas chat atau email, tapi benar-benar memutus komunikasi total, bikin pihak yang ditinggalkan jadi bingung dan bertanya-tanya.

Menurut Resources for Employers dalam artikel What is employee ghosting?, kasus ini sering terjadi ketika karyawan atau calon karyawan mendadak lenyap tanpa pemberitahuan atau alasan jelas.

Awalnya, istilah “ghosting” populer di dunia dating online. Tapi sekarang, perilaku ini juga menjalar ke dunia kerja. Contohnya? Mengabaikan pesan dari atasan atau rekan kerja, atau bahkan menghilang begitu saja setelah menerima tawaran kerja.

Dikutip dari Gable, An HR Guide To Workplace Ghosting, menjelaskan bahwa dalam proses rekrutmen, ghosting bisa muncul dalam dua sisi: “candidate ghosting” (pelamar menghilang setelah wawancara atau menerima tawaran kerja) atau ghosting oleh perusahaan (recruiter/HR tiba-tiba berhenti merespons pelamar tanpa memberi kepastian status lamaran).

Sementara itu, riset di ResearchGate berjudul The behavioural trend of ghosting in the professional context – a scoping review on the empirical mapping of ghosting in vocational surroundings, menambahkan bahwa fenomena ghosting di dunia kerja sering kali mencerminkan gagalnya sistem komunikasi. Baik kandidat maupun perusahaan sama-sama menghindari konfrontasi atau mengabaikan kewajiban untuk memberi kabar yang seharusnya.

Baca Juga: Memahami ‘Career Cushioning’: Strategi Aman di Tengah Ketidakpastian Kerja

Bentuk-bentuk Workplace Ghosting yang Perlu Kamu Tahu

Workplace ghosting itu enggak cuma soal orang tiba-tiba “menghilang” di tahap awal hubungan kerja, tapi juga bisa kejadian di tengah-tengah, bahkan setelah hubungan kerja sudah berjalan lama. Paham bentuk-bentuknya bikin kita lebih waspada dan bisa mengantisipasi dampaknya sebelum makin runyam.

  1. Ghosting di Proses Rekrutmen

Fenomena ini sudah kayak “langganan” di dunia kerja modern. Dalam proses hiring, ghosting bisa datang dari dua arah, pelamar atau perekrut. Menurut data Indeed, 28% pelamar mengaku pernah nge-ghosting perekrut, naik dari 18% di 2019. Tapi di sisi lain, kasus pelamar di-ghosting jauh lebih tinggi: 77% pelamar pernah diabaikan perusahaan sejak pandemi.

Riset dari ResearchGate dalam Ghosting in Recruitment: A Pathological Trend in the Corporate World bahkan memperkuat temuan ini. Sebanyak 48% pelamar enggak pernah dapat respons sejak tahap aplikasi, dan 75% perekrut mengaku pernah di-ghosting setelah wawancara atau tawaran kerja. Jadi, kalau kamu pernah mengalami diam-diam dicuekin HRD atau malah tergoda buat menghilang setelah interview, ternyata bukan kamu saja.

  1. Ghosting dari Atasan

Kalau yang nge-ghosting adalah atasan, efeknya bisa bikin pusing tujuh keliling. Bentuknya mungkin enggak sejelas “no-show” di interview, tapi bisa berupa enggak adanya feedback, instruksi, atau konfirmasi terhadap tugas penting. Akibatnya, kamu jadi bingung harus ngapain, kerjaan mandek, dan tim ikut terdampak.

Artikel BBC berjudul Why workers and employers are ghosting each other, mencatat 75% pelamar pernah di-ghost setelah wawancara, sementara cuma 27% perusahaan di AS yang mengklaim enggak pernah nge-ghosting. Angka ini menunjukkan kalau masalah komunikasi dan tanggung jawab manajerial masih jauh dari ideal.

  1. Ghosting saat Resign atau Pindah Kerja (Career Catfishing)

Ada satu bentuk ghosting yang makin sering muncul di era kerja pasca-pandemi: career catfishing. Istilah yang juga dijelaskan di Wikipedia ini merujuk ke situasi di mana karyawan menerima tawaran kerja, tapi enggak pernah muncul di hari pertama tanpa kabar sama sekali. Data 2025 menunjukkan sekitar 34% pekerja Gen Z melakukan praktik ini.

Fenomena ini enggak cuma bikin HR kebingungan, tapi juga mencerminkan frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap proses rekrutmen yang panjang dan berbelit. Banyak yang merasa sistem kerja sekarang enggak memberikan kejelasan atau rasa aman, sehingga mereka memilih untuk menghilang begitu saja.

Baca Juga: Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba

Cara Menghadapi Workplace Ghosting Biar Enggak Bikin Mental Ambyar

Workplace ghosting itu rasanya kayak ngomong sama tembok, sunyi, enggak ada respons, dan bikin bingung harus ngapain. Tapi tenang, ada beberapa langkah yang bisa kamu ambil biar tetap profesional dan enggak terjebak di situ-situ aja.

  1. Strategi Buat Pencari Kerja

Ghosting di tahap rekrutmen udah jadi hal yang terlalu sering terjadi. Kadang bikin kita merasa diremehkan atau enggak dihargai. Tapi ada trik buat menghadapinya:

Follow-up sopan & penuh apresiasi

Setelah wawancara, kirim email ucapan terima kasih. Indeed merekomendasikan untuk menyampaikan apresiasi atas waktu interviewer, plus highlight momen penting dari obrolan yang kalian punya.

Sabar, tapi jangan kelamaan

Kalau enggak ada respons, beri waktu dulu, bisa jadi proses internal mereka memang makan waktu. Tapi, jangan ragu follow-up lagi beberapa hari atau minggu kemudian, sesuai ritme industri.

Coba jalur lain

Email enggak dibalas? Bisa coba kontak via LinkedIn atau nomor resmi kalau memang relevan. Tetap santai, sopan, dan profesional.

Move on ke peluang lain

Menurut IDN Times (7 Tips Mengatasi Ghosting Saat Proses Rekrutmen, Coba Lakukan!), enggak dapat balasan bukan berarti kamu gagal. Anggap aja ini “Ctrl+Alt+Del” moment: reset dan lanjut apply ke tempat lain.

Tinggalkan review yang jujur

Kalau mau, tulis pengalamanmu di Glassdoor atau Indeed. Ini bantu kandidat lain sekaligus kasih dorongan ke perusahaan biar mereka berbenah.

  1. Strategi Buat Karyawan

Kalau yang nge-ghosting adalah rekan kerja atau atasan, kuncinya ada di komunikasi dan dokumentasi.

Gunakan jalur resmi & simpan jejak

Kalau chat enggak direspons, kirim email resmi. Simpan bukti komunikasi (tanggal, isi pesan) untuk jaga-jaga kalau perlu eskalasi ke HR.

Cari cara biar kerjaan tetap jalan

Kalau atasan atau rekan mendadak hilang, coba ambil inisiatif, misalnya selesaikan bagianmu atau koordinasi dengan anggota tim lain supaya proyek enggak mandek.

  1. Strategi Buat Perusahaan

Ghosting itu bukan cuma bikin kandidat ilfeel, tapi juga bisa merusak reputasi perusahaan. Menurut DetikFinance (“5 Tips Proses Rekrutmen Anti-Ghosting buat Perusahaan dan Pencari Kerja), ini yang bisa dilakukan:

Bangun komunikasi terbuka

Kasih tahu timeline rekrutmen, status lamaran, atau alasan delay. Transparansi bikin semua pihak lebih tenang.

Manfaatkan otomatisasi

Pakai chatbot atau auto-reply biar kandidat tetap dapat kabar meski prosesnya lagi padat.

Bangun hubungan personal

Kandidat yang merasa dihargai kecil kemungkinan menghilang begitu saja.

Terapkan kebijakan anti-ghosting

Buat standar komunikasi yang jelas, termasuk konsekuensi kalau ghosting terjadi.

  1. Tetap Waras & Profesional

Mau kamu pencari kerja, karyawan, atau pemimpin, menghadapi ghosting butuh mental yang kuat. Jangan balas ghosting dengan ghosting. Menjaga etika komunikasi akan bikin reputasimu tetap solid dalam jangka panjang.

Read More
kebiasaan yang bisa dilakukan agar eco friendly di kantor

Go Green di Kantor: Langkah Kecil, Dampak Nyata

Kalau ngomongin soal pelestarian lingkungan, biasanya pikiran kita langsung ke kegiatan di rumah, sekolah, atau aktivitas outdoor. Padahal, kantor, tempat kita menghabiskan waktu hampir seharian juga punya kontribusi besar terhadap jejak karbon. Mulai dari listrik, air, kertas, sampai tumpukan sampah plastik dari makanan take away, semuanya berperan dalam memperparah krisis iklim kalau enggak dikelola dengan bijak.

Menerapkan kebiasaan ramah lingkungan di tempat kerja itu bukan gaya-gayaan atau sekadar ikut tren. Ini soal tanggung jawab bersama buat menjaga bumi. Bayangkan saja kalau satu orang di kantor berhenti pakai plastik sekali pakai setiap hari, dampaknya sudah keren. Apalagi kalau satu tim atau bahkan seluruh kantor ikut andil. Selain bikin perubahan nyata buat lingkungan, ini juga bisa memperkuat budaya kerja yang sadar, suportif, dan visioner.

Di sisi lain, publik makin kritis soal isu keberlanjutan. Perusahaan pun dituntut untuk enggak cuma cari untung, tapi juga peduli lingkungan. Menunjukkan komitmen lewat aksi-aksi kecil, kayak hemat energi atau pilih alat kerja yang reusable, bisa bantu membangun reputasi positif, baik di mata konsumen, calon pegawai, maupun investor.

Intinya, menerapkan kebiasaan eco-friendly di kantor itu bukan sekadar pilihan, tapi sudah jadi keharusan. Soalnya, bumi bukan cuma tempat tinggal, tapi juga ruang kerja dan ruang hidup kita. Jadi, kenapa enggak mulai saja dari hal paling sederhana, dari mejamu sendiri?

Baca Juga: Nissa Wargadipura Pimpin Pesantren Ekologi, Dorong Pelestarian Lingkungan

Langkah Kecil, Dampak Besar: Kebiasaan Eco-Friendly yang Bisa Kamu Mulai Sekarang Juga

Berbicara soal menyelamatkan lingkungan, kadang kita merasa kayak harus jadi aktivis penuh waktu atau bikin gerakan besar-besaran. Padahal, perubahan bisa banget dimulai dari hal kecil, bahkan dari meja kerja kamu sendiri. Ada banyak kebiasaan sederhana yang kalau dilakukan bersama di kantor, bisa memberikan efek positif yang nyata buat bumi. Dikutip dari Greener Insights, 40 Easy Sustainability Ideas For The Workplace, nih, beberapa tips yang bisa langsung kamu terapkan hari ini juga:

  1. Bawa Botol Minum Sendiri

Setiap kali beli air kemasan, kita tanpa sadar menambahkan tumpukan sampah plastik yang susah terurai. Yuk, biasakan bawa tumbler sendiri ke kantor. Lebih ramah lingkungan, lebih hemat, dan kamu tetap bisa stay hydrated sepanjang hari. Banyak kantor juga sudah sedia refill station, tinggal manfaatin!

  1. Kurangi Cetak-Cetak Kertas

Era digital sudah di depan mata, jadi enggak perlu cetak dokumen kecuali benar-benar penting. Manfaatkan tools kayak Google Drive, Notion, atau Trello buat mencatat dan kerja bareng tim. Kalau harus print, pilih opsi bolak-balik dan pakai kertas bekas kalau bisa. Mau tambah hemat? Pakai font ramah tinta kayak EcoFont.

  1. Hemat Listrik dan Air

Matikan lampu, AC, atau komputer saat enggak dipakai, terutama pas jam istirahat atau sebelum pulang. Jangan biarkan perangkat nyala terus-terusan kalau enggak digunakan. Cek juga keran di pantry atau toilet, pastikan enggak ada yang bocor. Hal kecil kayak seperti ini bisa bantu mengurangi pemakaian energi secara signifikan.

  1. Pilih Transportasi yang Lebih Hijau

Tinggal dekat kantor? Coba deh jalan kaki atau naik sepeda. Sehat dan nol emisi! Kalau harus naik kendaraan, manfaatkan transportasi umum atau ajak teman buat carpool bareng. Lebih hemat, dan perjalanan ke kantor pun jadi lebih seru karena bisa ngobrol sepanjang jalan.

  1. Kelola Sampah dengan Bijak

Mulai biasakan pisahkan sampah sesuai jenisnya: organik, anorganik, dan limbah khusus kayak baterai atau tinta printer. Kantor bisa sediakan tempat sampah terpisah untuk bantu proses daur ulang. Ajak rekan kerja ikut peduli dan bersama belajar soal pentingnya memilah sampah.

  1. Atur AC Secukupnya

AC adalah salah satu alat paling boros energi di kantor. Coba atur suhu ruangan di kisaran 24°C, cukup nyaman tanpa bikin tagihan listrik membengkak. Jangan lupa, tutup pintu dan jendela supaya udara dingin enggak kabur sia-sia.

  1. Menanam Tanaman di Meja Kerja

Tanaman kecil kayak lidah mertua, kaktus, atau peace lily bukan cuma bikin meja makin estetik, tapi juga bantu menyaring udara dan bikin suasana kerja jadi lebih adem. Plus, merawat tanaman bisa jadi kegiatan mini healing di tengah padatnya pekerjaan.

  1. Bawa Bekal dari Rumah

Selain lebih sehat dan hemat, bawa bekal juga mengurangi sampah dari bungkus plastik atau styrofoam makanan luar. Gunakan wadah makan yang reusable, dan kamu sudah selangkah lebih dekat ke gaya hidup yang lebih sustainable.

Baca Juga: Daftar Aktivis Perempuan Paling Berpengaruh, Siapa Saja Mereka?

Kesalahan Umum Saat Coba Go Green di Kantor

Niat baik buat jadi lebih ramah lingkungan di kantor tentu patut diapresiasi. Tapi sayangnya, niat saja enggak cukup kalau praktiknya masih keliru. Tanpa disadari, beberapa kebiasaan justru bisa bikin upaya kita jadi kurang maksimal. Dikutip dari On The Pulse News, Mistakes People Make When Trying To Be More Sustainable, biar gerakan hijau kamu di tempat kerja enggak cuma sekadar simbolis, yuk hindari beberapa kesalahan umum berikut ini:

  • Merasa “Ah, Usahaku Kecil, Enggak Ngaruh

Pikiran kayak gini sering banget muncul, padahal justru berbahaya. Misalnya kamu berpikir, “Cuma aku yang bawa bekal, buat apa?” atau “Matikan lampu satu ruangan doang, emangnya bisa bantu lingkungan?” Padahal, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Kalau satu orang konsisten, bisa jadi inspirasi buat orang lain. Efeknya bisa menular dan menciptakan perubahan yang lebih luas.

  • Enggak Konsisten Menjalankannya

Go green itu bukan challenge seminggu-dua minggu, tapi gaya hidup jangka panjang. Kalau minggu ini kamu bawa tumbler, tapi minggu depan beli air kemasan karena lupa, ya hasilnya enggak akan terasa. Atau pernah semangat pilah sampah, tapi sekarang males karena tempat sampahnya jauh. Konsistensi penting banget agar dampaknya nyata, bukan cuma seasonal trend.

  • Cuma Fokus Pencitraan, Minim Aksi Nyata

Beberapa kantor senang banget pasang label “kantor hijau” atau bikin kampanye soal peduli lingkungan. Tapi coba cek kesehariannya, lampu tetap nyala 24 jam, AC pol-polan, dan karyawan enggak diajak terlibat. Kalau cuma sebatas kampanye tanpa perubahan nyata, ini namanya greenwashing. Bukannya keren, malah bisa bikin citra perusahaan jadi buruk di mata publik dan internal.

Read More

Di Balik Rangkap Jabatan Pemerintah, Ada Gen Z yang Jadi Pengangguran Tetap

Amarah “Farhan”, 25, memuncak saat melihat perbincangan daring soal rangkap jabatan di pemerintahan. Menurut laporan Tempo, 30 Wakil Menteri aktif saat ini juga merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satunya adalah Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yang kini turut menjabat Komisaris di PT Pertamina Hulu Energi. 

Kegeraman Farhan bukan tanpa alasan. Sudah dua tahun ia menganggur sejak lulus S2. Lebih dari 250 lamaran kerja dikirimkan, tapi semua berujung pada penolakan. 

“Pernah merasa enggak capable karena enggak dapat kerjaan terus,” ujarnya pada Magdalene (15/7). 

Ia bahkan sempat vakum selama tiga bulan dari kegiatan melamar pekerjaan karena merasa tak ada gunanya. Namun, setelah merefleksikan ulang, Farhan mulai memahami bukan dirinya yang bermasalah, melainkan kondisi pasar kerja yang kian menyempit. 

Kayaknya emang lagi susah semua, deh.” 

Baca juga: Apa Itu Nillionaire? Istilah Viral untuk Generasi yang Gajinya Cuma Numpang Lewat

Situasi serupa dialami “Yasmin”, 25. Meskipun sudah pernah bekerja, ia sudah sembilan bulan menganggur sambil mencari posisi baru. Namun, ia terus terbentur batasan usia pelamar yang tidak masuk akal. Naik ke posisi lebih tinggi juga belum mungkin karena pengalaman kerjanya yang baru 2–3 tahun dianggap belum cukup. 

“Lowongan yang fit dengan experience dan benefit yang pas tuh dikit banget. For us, yang masih ingin explore new things in this age, kadang batas usia juga jadi halangan,” katanya. 

Farhan dan Yasmin cuma segelintir contoh Gen Z yang sulit cari kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7.465.599 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen atau 5.188.781 orang adalah Gen Z—mereka yang berusia 15–29 tahun. 

Katadata mencatat mayoritas Gen Z yang menganggur, sedang aktif mencari kerja. Mereka tidak sedang menunggu, apalagi berpangku tangan. Bahkan dalam kategori BPS, kelompok ini terbagi menjadi tiga: Mereka yang menganggur dan aktif mencari kerja, yang pesimistis akan mendapat kerja, serta yang sedang mempersiapkan usaha. Namun, 78,6 persen dari mereka adalah pencari kerja aktif. 

Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI turut menegaskan: 1 dari 10 Gen Z yang termasuk angkatan kerja saat ini sedang menganggur. Mereka yang hanya lulusan SMA dan SMK menjadi kelompok dengan angka pengangguran tertinggi. Jumlahnya mencapai lebih dari separuh dari total pengangguran Gen Z. Artinya, akses ke pendidikan tinggi tidak otomatis menyelesaikan masalah, tapi justru bisa memperumitnya. 

Baca juga: Yang Muda, Yang Tak Kerja: Apa Sebenarnya Penyebab Pengangguran di Indonesia? 

Negara Gagal Buka Jalan tapi Beri Karpet Merah untuk Elite 

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), ada tiga faktor utama yang membuat Gen Z kesulitan masuk ke dunia kerja: Rendahnya upah, ketidaksesuaian sistem pendidikan, dan sistem politik yang menutup ruang. 

Pertama, soal upah. Bhima menyebut gaji yang ditawarkan di pasar kerja tidak sebanding dengan biaya hidup, apalagi investasi pendidikan yang dikeluarkan generasi ini. 

“Gen Z ini menghadapi dilema karena uang yang dihabiskan untuk kuliah, termasuk belanja bulanan, dengan lapangan pekerjaan yang tersedia enggak sesuai. Banyak sekali pekerjaan dengan upah di bawah upah minimum,” ujarnya. 

Farhan menghabiskan sekitar Rp30 juta per semester untuk kuliah S2. Jika dijumlahkan selama empat semester, ia harus membayar Rp120 juta. Itu belum termasuk ongkos hidup harian. Jika ingin “balik modal”, ia harus mendapat pekerjaan dengan gaji minimum Rp5–6 juta per bulan. Namun kenyataannya, lapangan kerja dengan gaji sebesar itu sangat langka, apalagi bagi lulusan baru. 

Data CELIOS pada 2024 menyebutkan ada 109 juta pekerja Indonesia yang digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Ini naik tajam dari 83 juta pada 2021. Sementara biaya hidup terus melambung. 

Kedua, soal pendidikan. Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan pasar menjadi penghambat besar. 

“Proses pembusukan kualitas di perguruan tinggi juga mengakibatkan apa yang dipelajari (di sekolah) dengan kebutuhan (pasar kerja) yang sudah sangat dinamis sekarang ini tidak bisa dikejar oleh para Gen Z,” jelas Bhima. 

Trade Union Rights Centre (TURC) menyebut, persoalan kurikulum ini diperparah dengan regulasi ketenagakerjaan yang belum sinkron dengan kebutuhan lapangan, serta sertifikasi pelatihan yang masih diragukan validitasnya. 

Mengutip Hukum Online, dalam sistem kapitalis, pendidikan cenderung mengikuti arah pasar, bukan kebutuhan masyarakat. Ini menjelaskan mengapa gelar tinggi tidak menjamin kerja, dan kenapa banyak lulusan akhirnya tetap menganggur. 

Baca juga: Stres Ibu Pekerja: Antara Ambisi, Tanggung Jawab, dan Kurangnya Dukungan

Ketiga, yang tak kalah besar adalah watak kekuasaan. Bhima menyebutkan karakter militeristik pemerintahan Prabowo–Gibran turut mempersempit ruang kerja bagi Gen Z. Salah satunya lewat praktik rangkap jabatan yang merajalela di lembaga negara dan BUMN. 

Kayak food estate itu sekarang (isinya) TNI dan Polri. Gen Z pun akan susah masuk ke sana. Menekan upaya Gen Z (untuk dapat kerja) juga di pedesaan,” katanya. 

Laporan Imparsial menyebutkan pada 2023 ada 2.500 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil. Angka ini belum termasuk pejabat TNI dan Polri yang juga merangkap jabatan di sektor strategis. 

Selain itu, orientasi ekonomi rezim yang ekstraktif, berfokus pada pertambangan dan industri besar justru mengikis kesempatan kerja di akar rumput. 

“Ekonomi ekstraktif itu menjadi substitusi dari ekonomi yang dikerjakan oleh masyarakat yang ada di pedesaan. Contohnya yang tadinya bertani, akhirnya lahannya direbut tambang, akhirnya orang tuanya jual lahan, akhirnya anaknya nganggur, dan seterusnya.” 

Bagi Bhima, kondisi ini hanya bisa berubah jika Gen Z bersatu dan mulai menyuarakan tuntutan kolektif. Sayangnya, hingga kini, respons mereka masih individual dan terjebak pada narasi kegagalan diri dan masalah mental health semata. 

“Ini udah bukan urusan mental health atau masalah personal lagi,” tegasnya. 

“Perlu ada gerakan nyata yang berujung pada reformasi struktural. Selama itu tidak dilakukan, ke depan, dengan adanya bonus demografi, akan makin banyak Gen Z yang menyalahkan dirinya sendiri.” 

Read More
stres ibu pekerja

Stres Ibu Pekerja: Antara Ambisi, Tanggung Jawab, dan Kurangnya Dukungan

Peran seorang ibu dalam keluarga jelas enggak bisa diremehkan, dan kenyataannya tanggung jawab ini juga penuh tantangan. Saat ini, banyak perempuan yang bukan cuma jadi ibu, tapi juga menjalani karier profesional. Menyeimbangkan dua peran ini bukan hal gampang, apalagi kalau pasangan enggan diajak berbagi tugas rumah tangga. Akibatnya? Beban ganda pun harus ditanggung sendirian, jadi ibu rumah tangga sekaligus pekerja.

Dikutip dari The Hariss Poll, Mental Health: A comprehensive look at Harris Poll research, di tahun 2022, sebanyak 42 persen ibu yang bekerja didiagnosis mengalami kecemasan dan depresi. Data dari Calm juga menunjukkan bahwa banyak perempuan yang abai terhadap kesehatan mereka sendiri setelah menikah dan punya anak.

Masalahnya, stres yang dirasakan para ibu pekerja ini sering dianggap hal yang “wajar” atau “risiko biasa”. Padahal, meskipun sudah coba atur waktu sedisiplin mungkin, tekanan tetap bisa datang bertubi-tubi. Kalau enggak ditangani dengan baik, stres ini bisa berdampak serius, enggak cuma secara mental, tapi juga fisik.

Lebih jauh lagi, stres berkepanjangan bisa memengaruhi relasi ibu dengan anak, bahkan menghambat perkembangan si kecil. Di sisi lain, tubuh ibu yang terus-terusan tertekan bisa rentan terhadap penyakit kronis seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, hingga stroke.

Baca Juga: ‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang

Apa Saja Sih yang Bikin Ibu Pekerja Rentan Stres?

Menjalani peran sebagai ibu sekaligus pekerja itu jelas bukan hal gampang. Tidak sedikit perempuan yang harus juggling antara urusan kantor dan rumah, dan kalau tidak ada manajemen yang pas (plus dukungan yang cukup), stres bisa gampang banget datang. Dikutip dari Susan Landers MD, Working Mom Stress and Burnout: Why It Happens and How to Fix It, berikut ini beberapa penyebab utama kenapa ibu pekerja sering merasa kelelahan, baik secara fisik maupun mental:

1. Beban Ganda: Urus Kantor dan Rumah Sekaligus

Bayangin deh, pagi sampai sore harus fokus urusan pekerjaan, mengejar deadline, ikut rapat, membereskan laporan. Tapi setelah itu, bukannya bisa rebahan, malah lanjut lagi mengurusb rumah: mulai dari masak, bersih-bersih, nemenin anak belajar, sampai memastikan semuanya berjalan lancar.

Tidak heran kalau banyak ibu pekerja nyaris enggak punya waktu buat diri sendiri. Kelelahan yang terus numpuk ini bisa bikin burnout, dan parahnya lagi, banyak ibu juga merasa bersalah karena merasa belum cukup memberikan yang terbaik, padahal udah capek banget.

2. Minim Dukungan dari Pasangan atau Lingkungan

Dukungan pasangan itu penting banget. Tapi sayangnya, tidak semua suami peka bahwa tanggung jawab rumah itu seharusnya dibagi dua. Banyak yang masih berpikir kerja domestik adalah “tugas perempuan”, dan ini bikin beban jadi berat sebelah.

Belum lagi kalau lingkungan sekitar, kayak orang tua, mertua, atau teman malah nge-judge pilihan si ibu buat tetap bekerja. Bukannya didukung, malah dikomentari. Akhirnya, ibu jadi ngerasa sendirian, padahal semua orang butuh support system, kan?

3. Tekanan Budaya dan Ekspektasi Sosial

Masih banyak orang yang percaya kalau ibu yang ideal itu harus bisa “segala hal”, beresin rumah, urus anak, dan tetap eksis di dunia kerja, semuanya tanpa cela. Hasilnya? Ibu pekerja jadi terus-menerus berada dalam posisi serba salah. Kalau sibuk kerja, dianggap abai sama keluarga. Kalau lebih fokus di rumah, dibilang buang-buang potensi.

Ekspektasi yang enggak realistis ini bikin perempuan merasa seolah-olah enggak pernah cukup. Mau ambil keputusan apapun, rasanya selalu salah di mata orang lain.

4. Minim Waktu untuk Diri Sendiri

Waktu buat diri sendiri alias me time itu bukan kemewahan, tapi kebutuhan. Sayangnya, banyak ibu merasa bersalah saat mengambil jeda. Padahal, sekadar ngopi santai, nonton drama favorit, atau olahraga bareng teman bisa bantu mengisi ulang energi.

Kalau terus-terusan mengorbankan me time, lama-lama tubuh dan pikiran bisa jenuh. Hasilnya? Jadi gampang stres, emosian, dan kehilangan semangat.

5. Tekanan Finansial

Enggak semua ibu bekerja karena passion. Banyak juga yang kerja karena kondisi ekonomi memaksa. Dan meskipun sudah punya penghasilan, tetap saja tekanan finansial bisa jadi beban, dari bayar sekolah anak, cicilan rumah, sampai biaya kesehatan.

Kalau penghasilan dan pengeluaran terus berkejaran, ini bisa jadi sumber kecemasan harian yang bikin stres makin enggak bisa dihindari.

Baca Juga: Budaya Patriarkal, Konservatisme Agama Hambat Perempuan Jadi Ketua OSIS

Bagaimana Cara Ibu Pekerja Mengelola Stres? Ini Tipsnya

Stres memang tidak bisa sepenuhnya dihindari, apalagi buat ibu pekerja yang harus bagi energi antara dunia kerja dan urusan rumah. Tapi tenang, dengan strategi yang pas, kamu tetap bisa produktif tanpa harus mengorbankan kesehatan mental. Yuk, intip beberapa cara yang bisa kamu coba yang dikutip dari Marriage, 11 Helpful Ideas for Stress Relief for Working Parents:

1. Bikin Jadwal yang Realistis dan Pintar Memiilih Prioritas

Kadang sumber stres datang bukan dari banyaknya tugas, tapi karena kita merasa harus mengerjakan semuanya sekaligus. Padahal enggak semua hal harus selesai hari itu juga, kan? Coba deh pakai prinsip “penting vs mendesak” buat menyusun to-do list harian.

Pakai tools kayak kalender digital, reminder di HP, atau sticky notes buat bantu mengatur waktu biar lebih rapi. Dengan perencanaan yang lebih mindful, kamu bisa menghindari numpuknya beban kerja yang bikin burnout.

2. Tidak Perlu Selalu BilangYa

Sebagai ibu, kadang kita terbiasa selalu mengiyakan permintaan, entah dari atasan, pasangan, anak, sampai tetangga. Tapi hati-hati, terlalu sering bilang “ya” bisa bikin kamu kelelahan dan kehilangan batas.

Belajar bilang “enggak” itu bentuk self-respect. Kamu bisa menolak dengan cara sopan tapi tetap tegas. Ingat, menjaga diri itu bukan egois—itu bentuk self-care.

3. Bangun Support System yang Kuat

Jangan jalan sendiri. Punya teman ngobrol yang bisa relate sama situasi kamu itu penting banget. Bisa sahabat, sesama ibu pekerja, atau komunitas online yang vibes-nya positif. Sekadar ngobrol, curhat, atau tukar cerita bisa bantu kamu merasa lebih lega dan enggak sendirian.

Support system ini juga bisa kasih sudut pandang baru atau solusi yang mungkin sebelumnya enggak kepikiran.

4. Ajak Pasangan Terlibat, Bukan Hanya Membantu

Pekerjaan rumah dan urusan anak itu tanggung jawab bareng, bukan cuma tugas ibu. Jadi penting banget buat ngobrol terbuka sama pasangan soal pembagian peran di rumah.

Mulai dari jadwal antar jemput anak, masak, nyuci, atau nemenin anak belajar bisa dibagi bareng. Ketika pasangan terlibat aktif, beban jadi lebih ringan, hubungan pun jadi lebih solid.

Baca Juga: Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

5. Ambil Waktu Sendiri, Tanpa Perasaan Bersalah

Me time itu bukan kemewahan, itu kebutuhan. Sayangnya, banyak ibu yang merasa bersalah kalau mengambil waktu buat diri sendiri, padahal itu justru penting biar enggak gampang meledak.

Luangkan waktu walau cuma 15–30 menit buat melakukan hal yang kamu suka: nonton series, baca novel, jalan santai, atau mandi air hangat dengan tenang. Diri kamu juga butuh perhatian, bukan cuma semua orang di sekitarmu.

6. Enggak Perlu Sungkan Konsultasi ke Profesional

Kalau kamu merasa stres udah mulai susah dikontrol atau berdampak ke aktivitas harian, cari bantuan itu pilihan yang bijak. Berbicara sama psikolog atau konselor bisa bantu kamu gali akar masalah dan cari cara yang lebih sehat buat menghadapinya.

Minta bantuan bukan tanda lemah, justru itu bukti kamu sayang sama diri sendiri dan mau pulih dengan cara yang tepat.

Read More
apa itu quiet cutting

Apa Itu ‘Quiet Cutting’: Ketika Karyawan Dimanipulasi Supaya Resign

Apa jadinya kalau perusahaan “memecat” karyawan tapi dengan cara halus dan terselubung? Fenomena ini dikenal dengan istilah quiet cutting, yaitu strategi perusahaan untuk memindahkan posisi karyawan secara sepihak—tanpa diskusi terbuka—dengan harapan si karyawan bakal mundur dengan sendirinya. Biasanya, ini dilakukan demi menghemat biaya pesangon atau efisiensi operasional.

Beda dengan PHK resmi yang biasanya diiringi kompensasi, quiet cutting lebih halus dan tidak langsung. Contohnya, karyawan yang dulunya punya posisi penting, tiba-tiba dipindahkan ke divisi yang enggak jelas fungsinya. Bisa juga tugas-tugas utamanya pelan-pelan dicabut tanpa penjelasan yang layak.

Tapi quiet cutting enggak cuma soal pindah jabatan. Kadang, karyawan juga dijauhkan dari peran penting, dikeluarkan dari proyek-proyek inti, bahkan dibatasi aksesnya ke informasi perusahaan. Intinya satu: bikin karyawan merasa terasing dan akhirnya resign atas kemauan sendiri—padahal itu sebenarnya skenario yang “disutradarai” manajemen.

Dikutip dari Forbes, The ‘Quiet Cutting’ Trend Is A Controversial Leadership Strategy, New Study Shows, fenomena ini makin sering muncul sejak pandemi berakhir, saat banyak perusahaan merapikan struktur kerja tapi takut kena backlash kalau melakukan PHK besar-besaran. Quiet cutting pun jadi jalan tengah: secara hukum mungkin sah, tapi dari sisi etika jelas bisa dipertanyakan.

Yang bikin tricky, praktik ini sering dikemas rapi dengan istilah seperti “rotasi internal”, “penyesuaian peran”, atau “penempatan strategis baru”. Tapi kalau enggak ada komunikasi terbuka atau penjelasan yang masuk akal soal perubahan itu, kamu patut curiga, bisa jadi kamu sedang jadi target quiet cutting.

Dengan mengenali taktik ini, kamu bisa lebih sigap membaca situasi di tempat kerja. Langkah berikutnya? Jaga posisimu dan yang enggak kalah penting: lindungi kesehatan mentalmu juga.

Baca Juga: Habis ‘Quiet Quitting’ Terbitlah ‘Loud Quitting’, Tren Baru yang Berbahaya

Kenapa Sih Perusahaan Pakai Cara Quiet Cutting?

Quiet cutting bukan sekadar taktik sembarangan, ini adalah strategi yang sudah diperhitungkan dengan matang. Sekilas mungkin kelihatan kayak keputusan manajerial biasa, tapi di balik layar, ada banyak alasan tersembunyi.

Biasanya, perusahaan memilih cara ini buat mengurangi beban tanpa harus menanggung risiko hukum, biaya pesangon, atau sorotan negatif yang biasa muncul saat melakukan PHK terang-terangan.

Dikutip dari Canda Career Counselling, Navigating the New Landscape of Quiet Cutting: How to Protect Your Career and Secure Your Future, berikut beberapa alasan kenapa perusahaan lebih milih quiet cutting daripada PHK langsung:

  1. Biar Enggak Perlu Bayar Pesangon

Salah satu motivasi utama adalah: hemat biaya. PHK resmi sering kali bikin perusahaan harus bayar kompensasi, tunjangan, sampai pesangon. Tapi kalau karyawan resign sendiri? Perusahaan bisa menghindari kewajiban itu. Maka, beberapa karyawan sengaja dipindahkan ke posisi yang enggak relevan atau dibuat enggak betah, sampai akhirnya mereka mundur sendiri.

  1. Jaga Citra Perusahaan di Mata Publik

PHK massal bisa bikin nama perusahaan jelek di media dan bikin publik enggak simpati. Apalagi buat perusahaan besar, hal kayak gini bisa pengaruhi kepercayaan pelanggan, investor, bahkan calon pelamar kerja. Quiet cutting jadi cara halus untuk mengurangi jumlah pegawai tanpa bikin heboh.

  1. Hemat Biaya di Tengah Ekonomi Sulit

Setelah pandemi atau di masa krisis, banyak perusahaan yang lagi ngencengin ikat pinggang. Quiet cutting jadi opsi yang “tenang” tapi efektif untuk efisiensi, enggak cuma dari sisi gaji, tapi juga untuk menghindari konflik sosial dan tekanan psikologis yang muncul dari PHK terbuka.

  1. Hindari Masalah Hukum dan Drama Internal

Kalau langsung memecat karyawan tanpa alasan jelas, perusahaan bisa dituntut. Tapi kalau “cuma” ganti posisi atau ambil wewenang secara bertahap, itu sulit dibuktikan sebagai pelanggaran hukum. Jadi, quiet cutting pun dianggap aman secara legal, walaupun secara etika bisa diperdebatkan.

  1. Jalan Pintas Saat Restrukturisasi

Saat perusahaan merger, transformasi digital, atau sekadar bersih-bersih struktur internal, beberapa posisi jadi enggak relevan lagi. Daripada PHK besar-besaran yang rawan bikin konflik, mereka memilih menggeser pelan-pelan lewat quiet cutting. Lebih tenang, minim drama.

Baca Juga: Apa itu ‘Quiet Firing’ dan Kenapa Perlu Diwaspadai

Bagaimana Cara Ngenalin Quiet Cutting?

Karena quiet cutting dilakukan dengan cara diam-diam dan bertahap, kadang kita enggak sadar sedang mengalaminya. Tidak ada surat resmi, tidak dipanggil HR, dan semuanya terasa samar. Dikutip dari The Times of India, Tips to Spot the Signs of ‘Quiet Cutting’ and Protect Your Job, tapi ada beberapa tanda yang bisa kamu waspadai:

  1. Dipindah Tugas Tanpa Penjelasan yang Masuk Akal

Kamu yang awalnya pegang posisi penting, tiba-tiba dipindah ke peran yang enggak sesuai kemampuan atau ke divisi yang sepi aktivitas, tanpa alasan jelas dan tanpa pelatihan? Itu bisa jadi sinyal awal.

  1. Jabatan dan Wewenang Dikecilkan

Tiba-tiba kamu enggak lagi jadi decision maker, enggak dilibatkan dalam rapat penting, atau cuma dikasih tugas-tugas sepele? Bisa jadi kamu sedang didemosi secara diam-diam.

  1. Tanggung Jawab Berkurang Pelan-Pelan

Laporan mingguan yang biasanya kamu susun sendiri tiba-tiba dialihkan ke orang lain. Akses ke sistem penting dicabut. Kamu merasa makin hari makin enggak dibutuhkan.

  1. Dikeluarin dari Proyek atau Rapat Tim

Kamu mulai enggak diajak brainstorming, enggak diundang ke rapat strategis, bahkan dikeluarin dari grup kerja? Kalau ini terjadi terus-menerus, ada kemungkinan kamu memang sedang “didorong” untuk pergi.

Baca Juga: Quiet Quitting: Kenapa Sedikit Kerja itu Bagus untukmu dan Bos

Langkah Cerdas Saat Mengalami Quiet Cutting

Menghadapi quiet cutting jelas bikin stres. Tapi kamu enggak harus pasrah. Dikutip dari Detik Finance, Tips Hadapi Quiet Cutting, ada beberapa langkah bijak yang bisa kamu ambil supaya tetap profesional dan enggak kehilangan kendali atas kariermu:

  • Peka Terhadap Tanda-Tanda Awal

Kalau tiba-tiba mendapat tugas aneh, dikecilkan peran, atau dijauhi dari proyek, jangan cuek. Bisa jadi itu awal mula quiet cutting. Semakin cepat kamu sadar, semakin cepat kamu bisa menyusun strategi.

  • Simpan Semua Bukti

Catat semua perubahan yang terjadi: email, chat, notulen rapat, atau instruksi kerja yang janggal. Dokumentasi ini bisa jadi pegangan buat diskusi dengan HR atau kalau kamu mau ambil langkah hukum.

  • Tetap Profesional, Jangan Gegabah

Sekesal apapun kamu, jangan asal resign atau menyebar curhatan di medsos. Tetap bersikap dewasa, karena sikap profesional akan bikin reputasimu tetap baik, penting banget kalau kamu mau pindah ke tempat baru.

  • Refleksi Diri dan Evaluasi Karier

Kadang, quiet cutting bisa jadi sinyal bahwa tempat kerja sekarang sudah enggak lagi sejalan dengan tujuanmu. Enggak ada salahnya untuk mulai cari tahu: masihkah kamu berkembang di sana? Atau waktunya cari peluang baru?

  • Jaga Kesehatan Mentalmu

Merasa disisihkan itu menyakitkan. Tapi kamu enggak sendiri. Jangan ragu cari bantuan, entah itu ke psikolog, ngobrol dengan teman, atau ambil jeda sejenak dari rutinitas. Kamu layak berada di tempat kerja yang menghargaimu.

Read More