ciri ciri burnout

Tanda-tanda Fase ‘Burnout’ Kerja yang Sering Diabaikan

Hampir semua orang pasti pernah merasa bosan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari, dan ini wajar banget. Tapi, kalau rasa jenuh ini sampai berubah jadi kelelahan parah atau yang biasa disebut burnout, itu bisa jadi masalah serius dan bahkan berdampak buruk buat kesehatan mental.

Dikutip dari Mayo Clinic, Job burnout: How to spot it and take action, burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang biasanya muncul karena tekanan kerja yang berat dan berlangsung terus-menerus dalam waktu lama. Kondisi ini bikin seseorang merasa stuck, kehilangan energi, dan susah menemukan motivasi buat kerja lagi.

Beberapa faktor yang sering memicu burnout di tempat kerja di antaranya tuntutan pekerjaan yang tinggi, kurangnya dukungan sosial, tekanan deadline, dan ketidakseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.

Baca Juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Fase-Fase Burnout dalam Dunia Kerja

Burnout bukanlah kondisi yang muncul tiba-tiba, melainkan berkembang secara bertahap seiring waktu. Setiap fase burnout menggambarkan bagaimana perasaan dan perilaku karyawan semakin terganggu, yang akhirnya berdampak pada kinerja dan kesejahteraan mereka. Dikutip dari Health, What Are the Stages of Burnout?, berikut adalah penjelasan dari tiap fase burnout yang sering terjadi di dunia kerja.

Fase 1: Antusiasme Tinggi

Di fase awal, karyawan biasanya sangat bersemangat dan termotivasi saat memulai pekerjaan. Ini adalah tahap penuh harapan, di mana seseorang ingin menunjukkan kemampuan dan memberikan hasil terbaik. Mereka penuh energi dan siap untuk memberi yang maksimal.

Fase 2: Stagnasi atau Mulai Jenuh

Seiring berjalannya waktu, pekerjaan yang tadinya terasa menantang mulai terasa membosankan. Pada fase ini, meskipun masih ada rasa tanggung jawab, individu mulai kehilangan semangat. Mereka mungkin merasa hasil yang dicapai tidak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkan.

Fase 3: Frustrasi dan Tekanan Emosional

Di fase ini, pekerjaan terasa semakin berat, dan tekanan emosional mulai muncul. Rasa frustrasi meningkat, sementara tugas-tugas seolah terus bertambah. Mereka mungkin merasa kewalahan dengan tuntutan, baik dari atasan maupun ekspektasi diri sendiri.

Fase 4: Apatis atau Kehilangan Semangat

Fase ini ditandai dengan munculnya apatisme. Karyawan merasa tidak ada lagi yang menarik di pekerjaan mereka dan mulai kehilangan semangat. Mereka seperti menjalani rutinitas tanpa tujuan jelas dan cenderung menarik diri dari rekan kerja serta menghindari keterlibatan lebih jauh dalam tugas.

Di tahap ini, perasaan tidak berdaya makin dominan, seakan bekerja hanya menjadi sekadar rutinitas harian.

Fase Akhir: Burnout Total

Di fase terakhir burnout, seseorang benar-benar kehabisan energi, baik fisik maupun mental. Mereka merasa sangat lelah dan enggak bisa lagi bekerja dengan baik. Pada tahap ini, burnout sudah masuk level serius dan bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental.

Ciri-ciri fase ini:

  • Kelelahan Ekstrem: Rasa lelah yang luar biasa, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dan butuh waktu lebih lama untuk pulih.
  • Masalah Kesehatan: Burnout bisa memicu berbagai masalah kesehatan, seperti sulit tidur (insomnia), sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga risiko penyakit jantung.
  • Depresi dan Kecemasan: Kondisi mental bisa terganggu parah, dengan perasaan nggak berharga, hilangnya minat hidup, atau bahkan perasaan putus asa.

Baca Juga: Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres

Cara Mengidentifikasi Burnout Sejak Dini

Burnout berkembang secara perlahan, dan mengenali tanda-tanda awalnya penting banget buat mencegah dampak yang lebih serius. Ketika tanda-tanda burnout mulai muncul, biasanya ada perubahan pada perilaku, perasaan, atau kondisi fisik seseorang.

Mendeteksi gejala awal ini bisa membantu kita mengambil langkah pencegahan sebelum burnout makin parah. Masih dari Mayo Clinic, Berikut beberapa cara buat mengidentifikasi burnout sejak dini.

  • Perubahan Emosi yang Mencolok

Salah satu tanda awal burnout adalah perubahan emosi yang signifikan. Kalau seseorang mulai merasa lebih cemas, mudah frustrasi, atau merasa tertekan berlebihan, ini bisa jadi sinyal awal burnout. Emosi yang terasa enggak terkendali, seperti mudah tersinggung atau gampang marah tanpa alasan jelas, bisa jadi tanda adanya tekanan emosional.

  • Penurunan Kinerja yang Terlihat

Burnout seringkali berdampak pada kualitas dan produktivitas kerja. Karyawan yang biasanya rajin dan efektif bisa mulai mengalami keterlambatan, lebih sering membuat kesalahan, atau kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang biasa.

  • Kelelahan Fisik yang Berlanjut

Burnout enggak hanya menyerang emosi, tapi juga fisik. Kelelahan berlebih, terutama kalau merasa sangat lelah meskipun sudah cukup tidur, bisa jadi tanda burnout. Kelelahan ini muncul karena stres yang berkepanjangan dan bisa berdampak serius kalau dibiarkan terus-menerus.

  • Hilangnya Minat pada Pekerjaan

Salah satu tanda utama burnout adalah hilangnya minat atau kepuasan terhadap pekerjaan. Karyawan yang burnout sering merasa bosan atau bahkan nggak suka lagi dengan pekerjaan yang dulu mereka nikmati. Ini bisa jadi fase di mana seseorang mulai merasa jenuh.

  • Penurunan Kesehatan Mental dan Emosional

Burnout bisa berdampak langsung pada kesehatan mental. Kalau mulai merasa depresi, cemas berlebihan, atau bahkan tertekan, ini bisa jadi tanda serius dari burnout. Di tahap ini, seseorang mungkin mulai merasa putus asa atau enggak lagi berharga.

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas

Tips untuk Mencegah Burnout di Tempat Kerja

Burnout adalah masalah serius yang bisa menyerang siapa saja, di berbagai jenis pekerjaan. Menghindari burnout bukan cuma penting buat kesehatan pribadi, tapi juga buat performa kerja. Pencegahan burnout dimulai dengan mengenali tanda-tandanya dan mengambil langkah tepat sebelum gejalanya makin parah.

Dikutip dari Better Up, 14 tips for dealing with burnout and loving your life again, berikut beberapa tips praktis untuk mencegah burnout di tempat kerja.

  • Jaga Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi

Salah satu kunci buat mencegah burnout adalah memastikan keseimbangan antara kerja dan waktu untuk diri sendiri. Kalau kita terus-terusan fokus kerja tanpa istirahat atau aktivitas santai, kelelahan dan stres bisa cepat muncul. Dengan menjaga keseimbangan ini, energi dan fokus kita bisa terdistribusi lebih baik, dan risiko burnout berkurang.

  • Tetapkan Harapan Kerja yang Realistis

Beban kerja yang berlebihan dan ekspektasi yang tidak realistis adalah pemicu utama burnout. Kalau merasa tugas yang diberikan terlalu banyak atau target terlalu tinggi, burnout bisa mudah datang. Makanya, penting banget buat menetapkan ekspektasi yang masuk akal agar pekerjaan terasa lebih ringan.

  • Kembangkan Keterampilan Manajemen Stres

Stres memang bagian dari pekerjaan, tapi kalau enggak dikelola dengan baik, stres ini bisa jadi burnout. Menguasai cara mengelola stres, seperti dengan teknik relaksasi atau time management yang efektif, bisa menjaga keseimbangan mental dan fisik kita.

  • Bangun Lingkungan Kerja yang Positif

Lingkungan kerja yang mendukung dan nyaman punya peran besar buat mencegah burnout. Saat kita merasa dihargai dan punya hubungan baik dengan rekan kerja, pekerjaan terasa lebih menyenangkan, dan tingkat stres bisa turun. Lingkungan yang positif bikin kita lebih happy dan produktif.

  • Prioritaskan Kesehatan Mental dan Fisik

Kesehatan mental dan fisik yang prima adalah pondasi penting buat menghindari burnout. Saat tubuh dan pikiran kita dalam kondisi optimal, kita lebih kuat menghadapi tekanan kerja. Dengan menjaga kesehatan, kita bisa mengatasi tantangan di tempat kerja tanpa gampang kewalahan.

Read More
stress crossover di tempat kerja

Mengenal ‘Stress Crossover’ di Tempat Kerja, Dampak, dan Tips Mengatasinya

Dalam dunia kerja, stres jadi hal yang hampir tak bisa dihindari. Namun tahukah kamu kalau stres berpotensi menular ke rekan kerja. Istilahnya stress crossover, yakni kondisi ketika kita ikut terbebani gara-gara lihat rekan kerja yang sedang tertekan. Kita seolah bisa merasakan emosi negatif yang sama, sehingga berpengaruh ke kestabilan mental. 

Apa itu Stress Crossover? 

Dikutip dari Harvard Business Review, stress crossover adalah istilah untuk menggambarkan fenomena di mana stres yang dirasakan seseorang bisa berdampak ke orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang sering berinteraksi atau punya hubungan dekat. 

Di tempat kerja, stress crossover sering terjadi ketika ada karyawan yang sedang tertekan,  “menularkan” stresnya ke rekan-rekan di sekitar. Potensi penularan kian besar ketika kita punya karakter emosional, mudah terbawa suasana, dan cenderung punya empati tinggi. 

Misalnya, kalau ada anggota tim yang tampak stres menghadapi tenggat waktu, suasana ini bisa bikin rekan lainnya ikut terpengaruh. Dampaknya bukan cuma di mood saja, tapi juga memengaruhi komunikasi, kolaborasi, dan produktivitas kerja tim secara keseluruhan. 

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas 

Faktor Penyebab Stress Crossover di Tempat Kerja 

Dikutip dari Psychology Today, Stress Contagion: Does Observing Others’ Anxiety Affect You?, ada beberapa penyebab utama yang bikin stress crossover semakin sering terjadi di tempat kerja: 

  • Lingkungan Kerja yang Tinggi Tekanan  

Lingkungan kerja yang penuh tekanan seperti target tinggi dan tenggat ketat, bisa jadi pemicu utama stress crossover. Ketika satu karyawan merasa tertekan, mood-nya bisa jadi tegang, dan ini dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya. Ditambah lagi, dalam kondisi penuh tekanan, waktu untuk beristirahat jadi terbatas, yang membuat stres makin mudah menular. 

  • Komunikasi antar-Tim yang Kurang Efektif  

Komunikasi yang tidak jelas bisa menambah situasi stress crossover. Kesalahpahaman atau instruksi yang enggak tersampaikan dengan baik sering menimbulkan kecemasan. Misalnya, jika instruksi atasan kurang jelas, karyawan bisa merasa bingung atau takut salah, yang ujungnya bikin tim semakin stres. 

  • Beban Kerja Berlebihan 

Ketika beban kerja terlalu tinggi, karyawan bisa mulai menunjukkan tanda kelelahan atau gampang marah. Hal ini sering bikin rekan-rekan kerjanya ikut merasa terbebani secara emosional atau bahkan takut mereka bakal dapat beban kerja serupa. 

  • Gaya Kepemimpinan yang Tidak Mendukung  

Pemimpin yang terlalu menekan tanpa memikirkan kesejahteraan tim bisa memperparah stress crossover. Ketika karyawan merasa stres karena tuntutan atau kritik yang enggak ada henti, suasana ini bakal “menular” ke seluruh tim yang berinteraksi dengan pemimpin tersebut. 

  • Kurangnya Work-Life Balance  

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang tidak terjaga juga membuat stress crossover makin mudah terjadi. Ketika karyawan merasa sulit bersantai di luar jam kerja, beban emosional ini bisa terbawa ke kantor dan membuat rekan kerja lainnya ikut terpengaruh. 

Baca Juga: ‘Holiday Stress’: Memahami Stres yang Datang Menjelang Liburan 

Cara Mengatasi Stress Crossover di Tempat Kerja 

Untuk menangani stress crossover, diperlukan pendekatan yang mencakup peran karyawan, pemimpin, dan kebijakan perusahaan. Masih dari Psychology Today, berikut beberapa cara efektif yang bisa dilakukan: 

  1. Bangun Komunikasi yang Terbuka 

Penting untuk memiliki komunikasi yang jujur dan terbuka di tempat kerja. Ketika karyawan dan pemimpin bisa dengan bebas mengungkapkan perasaan atau masalah, stres lebih mudah dikelola, dan dukungan antar-rekan bisa diberikan. 

  1. Dukung Kesehatan Mental Karyawan 

Perusahaan sebaiknya menyediakan layanan atau program kesehatan mental, seperti konseling atau pelatihan manajemen stres, agar karyawan bisa mendapatkan bantuan saat stres terasa berat. 

  1. Pelatihan Kepemimpinan yang Berempati 

Pemimpin yang berempati bisa memahami perasaan tim mereka dan memberikan dukungan dengan tepat. Pelatihan kepemimpinan yang menekankan empati akan sangat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif. 

  1. Dorong Budaya Kerja yang Suportif 

Lingkungan kerja yang saling mendukung membantu karyawan merasa didukung oleh rekan mereka. Dengan begitu, stres tidak mudah menyebar karena ada atmosfer yang saling membantu dan kolaboratif. 

  1. Tetapkan Batasan Jelas antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi 

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah kunci untuk mengelola stres. Perusahaan bisa bantu dengan menetapkan aturan terkait batasan jam kerja yang jelas. 

  1. Apresiasi dan Penghargaan kepada Karyawan 

Apresiasi memiliki efek besar dalam menjaga suasana hati dan motivasi karyawan. Ketika karyawan merasa dihargai, suasana positif di tempat kerja bisa lebih terjaga, sehingga stres enggak mudah menular. 

  1. Sediakan Tempat atau Waktu untuk Relaksasi 

Memberikan ruang atau waktu khusus untuk istirahat di kantor bisa bantu karyawan meredakan stres dan menghindari penumpukan tekanan. Perusahaan bisa menyediakan area khusus untuk relaksasi, misalnya ruang meditasi. 

Selain ruang fisik, perusahaan juga bisa menawarkan waktu istirahat ekstra atau fleksibilitas jam kerja bagi mereka yang sedang merasa kewalahan. Dengan adanya tempat dan waktu untuk “detoks” stres, karyawan bisa kembali bekerja dengan lebih tenang dan tidak membawa beban emosional yang bisa menular ke tim. 

Baca Juga: Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu 

  1. Atur Beban Kerja dengan Adil 

Beban kerja yang berlebihan sering jadi salah satu pemicu utama stress crossover. Pemimpin perlu memperhatikan beban tugas yang diberikan ke setiap karyawan, memastikan distribusinya adil dan sesuai kemampuan masing-masing. 

Pemimpin juga bisa memberi izin bagi karyawan yang merasa kewalahan untuk istirahat atau meminta bantuan. Dengan manajemen beban kerja yang proporsional, karyawan bisa lebih fokus tanpa tekanan berlebih yang bikin stres. 

Read More
apa itu Glossophobia dan cara mengatasinya

Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu

Salah satu tips agar karier moncer adalah meningkatkan kemampuan public speaking atau bicara di depan umum. Menurut Indeed, kemampuan tersebut bisa meningkatkan kredibilitas, sehingga dianggap profesional. Public speaking juga bisa mengerek rasa percaya diri secara alami. Muaranya adalah soal mengambil keputusan lebih baik dan menjaga relasi dengan rekan kerja. 

Sayangnya, enggak semua orang punya kemampuan public speaking yang andal. Sebaliknya justru ada yang merasa cemas saat harus ngomong di depan umum. Kondisi ini disebut glossophobia. 

Dikutip dari Healthline, Glossophobia: What It Is and How to Treat It, glossophobia adalah ketakutan berbicara di depan umum yang intens. Sering kali itu menyebabkan seseorang merasa cemas, gugup, bahkan panik saat harus tampil di depan audiens. Ketakutan ini bisa sangat kuat, sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari situasi publik yang mengharuskan berbicara di hadapan khalayak. 

Baca Juga: Cara Mengubah Mindset yang Menghambat Perkembangan Karier 

Mengapa Glossophobia Bisa Hambat Karier? 

Glossophobia atau rasa takut berbicara di depan umum, bisa jadi penghambat besar dalam perkembangan karier seseorang. Di dunia kerja, kemampuan komunikasi yang baik sangat berharga. Mulai dari menyampaikan ide, memimpin tim, hingga mempresentasikan proyek. Terkadang ketakutan ini bisa benar-benar jadi batu sandungan dalam mencapai target profesional 

Dikutip dari BBC, Is public speaking fear limiting your career? berikut adalah beberapa alasan kenapa glossophobia bisa menghambat kemajuan karier: 

  1. Membatasi Kesempatan untuk Menyampaikan Ide atau Pendapat 

Di tempat kerja, banyak inovasi dan perkembangan lahir dari ide-ide yang muncul di ruang diskusi atau rapat. Namun bagi mereka yang mengalami glossophobia, rasa takut ini bisa bikin mereka enggan bicara atau menyampaikan ide di depan orang lain. Akibatnya, ide-ide berharga yang bisa memberikan dampak positif malah tidak pernah terungkap. Jadi, baik perusahaan maupun individu yang mengalami glossophobia, sama-sama kehilangan peluang untuk berkembang. 

  1. Menurunkan Kepercayaan Diri yang Dibutuhkan untuk Tampil Menonjol 

Rasa takut ini sering kali muncul karena kurangnya kepercayaan diri atau takut dinilai negatif oleh orang lain. Ketika seseorang takut berbicara di depan umum, rasa percaya diri mereka juga terpengaruh dalam banyak aspek profesional lain. Mereka jadi lebih sering meragukan diri sendiri dan menghindari tantangan baru yang melibatkan komunikasi publik. Padahal, di dunia kerja yang kompetitif, kepercayaan diri penting banget untuk membangun citra profesional yang kuat. Kurangnya rasa percaya diri bisa membuat mereka tampak kurang siap dan, sayangnya, ini bisa memengaruhi kesempatan untuk maju. 

  1. Menghambat Peluang Menunjukkan Kemampuan Kepemimpinan 

Glossophobia bukan hanya soal bicara, tapi juga bisa memengaruhi kemampuan kepemimpinan seseorang. Dalam banyak posisi profesional, terutama peran pemimpin, berbicara di depan umum itu terbilang penting. Seorang pemimpin diharapkan bisa mengomunikasikan visi, menginspirasi tim, dan memberikan instruksi yang jelas. Kalau mereka takut bicara, tim mungkin merasa kurang terinspirasi atau malah tidak mendapatkan arahan yang dibutuhkan. 

  1. Memicu Stres yang Memengaruhi Kesehatan dan Produktivitas 

Glossophobia juga bisa menyebabkan stres berlebihan, terutama saat harus tampil di depan umum. Kalau dibiarkan terus-menerus, bisa berdampak pada kesehatan mental dan fisik, yang akhirnya juga berpengaruh pada produktivitas kerja. Mereka yang terus merasa cemas sering sulit fokus pada pekerjaan lain, yang mana bisa menurunkan kinerja mereka. 

Baca Juga: Mungkinkah Karyawan Tidur di Kantor? Tips Efektif Maksimalkan Istirahat 

Cara Mengatasi Glossophobia Secara Mandiri 

Mengatasi glossophobia atau rasa takut berbicara di depan umum memang enggak gampang, tapi bisa dilakukan secara bertahap dan mandiri. Dengan rutin latihan, teknik pernapasan, dan berpikir positif, rasa takut ini bisa dikurangi, sehingga kepercayaan diri kita dalam berbicara di depan orang banyak makin meningkat. 

Dikutip dari Indeed, How to Overcome Glossophobia Independently, berikut beberapa langkah yang bisa dicoba untuk mengatasi glossophobia secara mandiri: 

  1. Latihan di Depan Cermin 

Latihan ini ampuh buat membantumu terbiasa dengan cara berbicara dan ekspresi wajah saat menyampaikan presentasi atau pidato. Dengan berdiri di depan cermin, kita bisa lihat bahasa tubuh, ekspresi, dan gerak tubuh kita sendiri. Ini bisa jadi momen untuk menyadari kebiasaan yang bikin kita kelihatan gugup, sehingga kita bisa perbaiki. 

Selain itu, kita jadi lebih akrab dengan suara dan gaya bicara sendiri, bikin kita makin nyaman dan percaya diri. 

  1. Rekam dan Dengarkan Ulang 

Merekam diri saat latihan atau presentasi bisa membantu kita evaluasi cara ngomong dan memilih kata dengan lebih baik. Dengan mendengarkan ulang rekaman, kita bisa tahu area yang perlu diperbaiki, seperti tempo bicara, intonasi, atau kejelasan pengucapan. Dari sini, kita bisa bangun pola bicara yang bikin kita makin pede dan nyaman. 

Setelah mendengarkan ulang, coba rekam lagi dengan perbaikan yang sudah ditargetkan. Latihan ini bikin kita makin percaya diri seiring waktu. 

Baca Juga: Atasi ‘Fear of Rejection’ atau Perasaan Takut Ditolak di Dunia Kerja 

  1. Coba Latihan di Depan Keluarga atau Teman 

Dukungan dari orang terdekat penting buat membantu kita mengatasi glossophobia. Ajak keluarga atau teman untuk jadi audiens saat kita latihan atau presentasi. Mereka bisa kasih masukan, bertanya, atau sekadar memberi dukungan. 

Simulasi ini juga bikin kita terbiasa dengan situasi nyata yang melibatkan audiens. Semakin sering kita latihan dengan orang lain, makin berkurang juga rasa cemas atau takut saat berbicara di depan umum. 

  1. Biasakan Ngomong di Depan Kelompok Kecil 

Mulai dari mengobrol atau presentasi di depan kelompok kecil dulu, seperti teman atau rekan kerja. Ini langkah awal yang bagus buat meningkatkan kepercayaan diri sebelum harus bicara di depan audiens yang lebih besar. Dengan latihan di kelompok kecil, kita akan makin nyaman menyampaikan ide dan info di depan banyak orang. 

Lama-lama, jumlah audiens bisa ditambah sedikit demi sedikit. Dengan cara ini, rasa takut berbicara di depan umum akan berkurang seiring waktu. 

Read More
cara meningkatkan kemampuan leadership di tempat kerja

Cara Efektif Tingkatkan Kemampuan ‘Leadership’ di Tempat Kerja

Jadi pemimpin di tempat kerja bukan cuma soal punya jabatan atau kekuasaan, tapi juga kemampuan untuk memotivasi, menginspirasi, dan mengawal tim untuk tumbuh bersama. Kepemimpinan yang solid sendiri jadi kunci untuk bikin lingkungan kerja yang produktif dan nyaman. 

Masalahnya, kemampuan jadi pemimpin yang baik enggak datang begitu saja. Leadership adalah keterampilan yang perlu terus diasah. Yuk, simak beberapa cara buat meningkatkan leadership di tempat kerja. 

Baca Juga: ‘Servant Leadership’ dan Pentingnya Jadi Bos yang Membumi 

Cara Meningkatkan Kemampuan Leadership 

Meningkatkan kemampuan leadership di tempat kerja butuh waktu dan usaha. Kamu harus berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang. Dikutip dari Indeed, How to Improve Your Leadership Skills: Steps and Tips, berikut ini adalah beberapa langkah praktis yang bisa kamu lakukan untuk jadi pemimpin yang lebih baik dan efektif di lingkungan kerja. 

Ikut Pelatihan Leadership 

Pelatihan leadership adalah salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kemampuanmu. Lewat pelatihan atau workshop, kamu bisa belajar berbagai pendekatan, teknik, dan strategi baru yang relevan dengan kepemimpinan zaman sekarang. Biasanya, pelatihan juga punya simulasi atau studi kasus yang membantu kamu mempraktikkan ilmu yang didapat secara langsung. 

Mendengarkan Feedback dari Tim 

Feedback itu penting banget buat tahu kelebihan dan kekuranganmu sebagai pemimpin. Mintalah umpan balik dari tim secara rutin, bisa lewat obrolan sehari-hari atau pakai cara formal seperti survei anonim. Ingat, mendengarkan saja enggak cukup, kamu juga harus menunjukkan kepedulianmu akan feedback tersebut dengan membuat perubahan nyata. 

Siap Terima dan Beri Kritik yang Membangun 

Pemimpin harus siap menerima kritik dan bisa memberi kritik yang membangun. Memang enggak selalu nyaman, tapi anggaplah kritik sebagai kesempatan untuk tumbuh. Ketika memberikan kritik, sampaikan secara positif dan fokus pada solusi, bukan hanya masalah. 

Latih Kemampuan Komunikasi  

Komunikasi yang baik adalah kunci kepemimpinan. Tanpa komunikasi yang jelas, pesanmu bisa saja enggak tersampaikan dengan baik. Kamu bisa belajar untuk menyampaikan informasi secara tepat dan jelas. Pun, cobalah mendengarkan secara aktif, biar kamu benar-benar memahami apa yang dikatakan tim tanpa buru-buru memberikan tanggapan. 

Belajar Mendelegasikan Tugas dengan Efektif 

Kamu enggak perlu mengerjakan semuanya sendiri. Dengan delegasi yang tepat, pekerjaan bisa jadi lebih efisien. Berikan kepercayaan kepada tim saat mendelegasikan tugas, tapi tetaplah terlibat dengan memberikan arahan yang jelas dan dukungan jika diperlukan. Hindari micromanagement agar tim merasa diberdayakan. 

Jaga Emosi Tetap Stabil 

Sebagai pemimpin, kamu harus punya kecerdasan emosional yang baik. Mampu mengendalikan emosi dan memahami emosi orang lain sangat penting. Kalau situasi lagi sulit, tetap tenang dan fokus, karena sikapmu akan memengaruhi tim. Cobalah lebih peka terhadap emosi diri sendiri dan orang lain, serta berempati terhadap tim. 

Asah Keterampilan Problem Solving 

Pemimpin harus bisa jadi pemecah masalah yang handal. Ketika ada masalah, kamu perlu bisa mengidentifikasi akar masalah dan mencari solusi terbaik. Bukan hanya soal mencari solusi cepat, tapi memahami situasi secara menyeluruh dan mendalam. 

Baca juga: Budaya Kerja Toksik Dimulai dari Kepemimpinan Medioker 

Kesalahan yang Harus Dihindari dalam Leadership 

Menjadi pemimpin memang penuh tantangan, dan kadang-kadang ada kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja. Kesalahan dalam memimpin bisa memengaruhi tim dan bahkan organisasi secara keseluruhan.  

Biar jadi pemimpin yang efektif, penting buat sadar dan menghindari beberapa kesalahan umum ini. Dikutip dari Forbes, 17 Common Mistakes Leaders Make That Can Destroy Team Trust, berikut beberapa kesalahan yang harus dihindari. 

Tidak Mendengarkan Tim 

Salah satu kesalahan besar yang sering dilakukan pemimpin adalah enggak mendengarkan anggota timnya. Kalau kamu terlalu fokus pada ide-ide sendiri dan nggak memperhatikan masukan tim, mereka bisa merasa tidak dihargai. Komunikasi yang cuma berjalan satu arah bikin tim frustrasi dan kehilangan semangat buat berkontribusi. 

Mendengarkan secara aktif itu penting. Buka telinga buat masukan dari tim bisa bikin suasana kerja lebih kolaboratif dan bikin semua orang merasa lebih dihargai. Plus, kamu jadi paham masalah yang mungkin enggak kelihatan. 

Micromanagement 

Kesalahan lainnya adalah micromanaging, di mana pemimpin terlalu banyak ikut campur dalam setiap detail pekerjaan tim. Ini bikin pemimpin sendiri kelelahan, dan anggota tim merasa kurang percaya diri karena enggak punya ruang untuk bekerja mandiri. 

Delegasi itu kuncinya. Percayalah pada tim kamu, biarkan mereka mengelola tugas mereka sendiri dengan otonomi. Hasilnya, mereka bisa berkembang lebih cepat, dan kamu bisa fokus pada hal-hal yang lebih strategis. 

Tidak Memberikan Umpan Balik yang Konstruktif 

Pemimpin yang baik harus bisa memberikan umpan balik yang membangun. Akan tetapi, kadang ada pemimpin yang terlalu takut buat kasih kritik karena khawatir bikin tim enggak nyaman. Ada juga yang malah sering mengkritik melulu tanpa memikirkan cara penyampaian yang etis. Ujung-ujungnya malah bikin tim jadi tidak semangat. 

Menghindari Keputusan yang Sulit 

Kadang, pemimpin sering ragu atau menunda pengambilan keputusan yang sulit. Ini bisa bikin tim bingung dan enggak tahu apa yang harus mereka lakukan. Menunda keputusan malah bikin masalah makin rumit. 

Sebagai pemimpin, kamu harus bisa ambil keputusan dengan tegas. Analisis situasi, pertimbangkan opsi, dan ambil langkah yang tepat. Meski kadang enggak populer, keputusan yang jelas bisa membangun kepercayaan di tim. 

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak? 

Kurang Memperhatikan Motivasi dan Penghargaan 

Pemimpin yang kurang memerhatikan motivasi dan penghargaan buat tim sering kali berhadapan dengan masalah semangat kerja. Semua orang ingin merasa dihargai, dan kurangnya apresiasi bisa bikin motivasi tim turun drastis. 

Jadi, jangan lupa untuk kasih apresiasi, sekecil apa pun. Bisa berupa pujian, ucapan terima kasih, atau bahkan pengakuan di depan tim. Hal sederhana seperti ini bisa bikin semangat tim meningkat dan produktivitas jadi lebih baik. 

Read More
alasan pria china jadi bapak rumah tangga

Ramai-ramai Cowok China ‘Resign’ dan Jadi Bapak Rumah Tangga

Fenomena “ayah penuh waktu” atau “bapak rumah tangga” lagi tren banget di China. Menurut survei 2019, lebih dari setengah pria di China setuju untuk jadi bapak rumah tangga, naik dari 17 persen di 2007, tulis Kompas

Fenomena ini membawa perubahan besar dalam norma sosial di China yang kental dengan kultur patriarkal. Diketahui, selama berabad-abad norma sosial setempat menjadikan lelaki sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan di rumah mengurus anak. 

Namun sekarang, banyak pria di China memilih resign dari pekerjaannya. Mereka dengan senang hati melakukan kerja domestik, seperti memasak, bersih-bersih, dan mengurus anak. Semua pekerjaan yang dikaitkan dengan perempuan. 

Apa sih yang membuat para pria di China melakukan itu? 

Baca Juga: 6 Peran Laki-laki dalam Mendorong Kepemimpinan Perempuan 

Penyebab Maraknya Bapak Rumah Tangga di China 

Dikutip dari The Straits Times, China’s ‘full-time dads’ challenge patriarchal norms, pendiri platform konseling psikologis daring di China, Pan Xingzh bilang, fenomena bapak rumah tangga muncul seiring dengan semakin diakuinya hak perempuan dan akses terhadap pendidikan tinggi di China. Di sisi lain, pasangan di China juga mulai lebih bijak soal uang. 

Para lelaki sadar walaupun tak mendapatkan gaji, tapi punya kesempatan mengurus anak sendiri. Hal ini secara keuangan sering kali membuat pengeluaran jadi lebih hemat daripada harus bayar pengasuh. 

Salah satu pria yang memutuskan resign dan fokus jadi bapak rumah tangga adalah Chen Hualiang. Dulu dia manajer proyek, tapi rela keluar dari persaingan dunia kerja dan memilih jadi bapak rumah tangga. 

Dia bilang, saat kerja, kita sering bermimpi punya karier cemerlang dan uangnya bisa digunakan untuk membantu keluarga. Kenyataannya, gaji belum tentu jadi hal yang paling dibutuhkan keluarga. Bapak dua anak itu merasa selama bekerja, dia cuma membantu keluarga dari segi finansial dan enggak banyak terlibat dalam mengurus anak. Hal itu yang bikin hubungannya dengan anak-anak jadi kurang dekat. Maka, dia mumutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jadi bapak rumah tangga. 

“Saya kepingin jadi teman buat anak-anak saya, biar mereka bisa cerita banyak,” ujarnya. 

Baca Juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier 

Alasan Lelaki Memilih Jadi Bapak Rumah Tangga 

Fenomena pria yang memilih menjadi bapak rumah tangga di China tak muncul tanpa sebab. Ada berbagai faktor, baik sosial, ekonomi, maupun personal, yang mendorong pria untuk mengambil peran ini. Dikutip dari Forbes, The Rise Of The Stay-At-Home Dad, di bawah ini adalah beberapa alasan utama mengapa pria memutuskan untuk meninggalkan dunia kerja dan mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga. 

  1. Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja 

Salah satu alasan yang sering muncul adalah ketidaksetaraan gender yang masih menjadi masalah di banyak sektor kerja, baik di China maupun di negara lain. Pria, terutama mereka yang bekerja di sektor dengan kompetisi ketat, sering kali merasa terjebak dalam ekspektasi tradisional yang mengharuskan mereka untuk terus-menerus bekerja keras tanpa memerhatikan keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga

Beberapa pria mungkin merasa sulit untuk berkembang atau merasa tertekan oleh tuntutan pekerjaan yang tinggi, sehingga mereka memilih untuk keluar dari situasi ini dan mengambil peran yang lebih terfokus pada rumah tangga. 

Di sisi lain, peningkatan jumlah perempuan yang lebih berhasil dalam karier juga turut memengaruhi keputusan ini. Dalam banyak keluarga, perempuan sekarang mampu menjadi pencari nafkah utama, sementara pria mengambil alih tanggung jawab mengurus rumah tangga. Ini mencerminkan perubahan dalam peran tradisional gender yang sudah berlangsung bertahun-tahun. 

  1. Keseimbangan Kehidupan Kerja dan Keluarga 

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi faktor penting lainnya. Semakin banyak pria yang merasa penting untuk memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga, terutama anak-anak mereka. Kehidupan kota besar, dengan jadwal kerja yang padat dan kompetitif, sering kali membuat para pekerja kehilangan momen-momen penting dalam kehidupan anak-anak mereka. 

Dengan menjadi bapak rumah tangga, mereka bisa mengatur waktu lebih fleksibel untuk menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga, mendampingi anak dalam tumbuh kembang mereka, dan bahkan mendukung pasangan yang mungkin sedang mengejar karier. 

  1. Biaya Hidup dan Efisiensi Keuangan 

Selain itu, biaya hidup yang semakin tinggi di kota-kota besar juga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ini. Beberapa keluarga mendapati, mengelola rumah tangga dengan hanya satu orang yang bekerja dapat lebih efisien secara finansial. Menghindari biaya besar seperti daycare, pengasuh anak, atau layanan rumah tangga dapat menghemat pengeluaran keluarga. 

Dalam situasi seperti ini, jika istri memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi, maka logis bagi pria untuk memilih tinggal di rumah dan mengurus keluarga, ketimbang kedua pasangan bekerja dan mengeluarkan biaya besar untuk pengasuhan anak. 

Baca Juga: Demi Anak, Aku Berhenti Bekerja 

  1. Peran Gender yang Semakin Fleksibel 

Seiring dengan perkembangan zaman, konsep peran gender mulai mengalami perubahan yang lebih dinamis. Dulu, peran pria sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Namun, dengan munculnya gerakan kesetaraan gender dan pemahaman yang lebih luas tentang peran dalam keluarga, pria sekarang merasa lebih nyaman untuk mengambil peran yang dulu dianggap hanya milik perempuan. 

Generasi Milenial dan Gen Z lebih terbuka terhadap gagasan bahwa pria bisa sama baiknya dalam mengurus rumah tangga dan merawat anak. Hal ini mendorong banyak pria untuk mencoba peran tersebut tanpa merasa terikat oleh ekspektasi tradisional. 

  1. Peningkatan Kualitas Hidup dan Kesejahteraan 

Ada juga alasan yang lebih bersifat emosional dan psikologis, yaitu keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Menjadi bapak rumah tangga memungkinkan pria untuk keluar dari tekanan pekerjaan yang sering kali menyebabkan stres berlebihan, burnout, dan kelelahan mental. Mengambil jeda dari rutinitas pekerjaan dan berfokus pada keluarga dapat memberikan rasa damai dan kepuasan yang mungkin tidak didapatkan dari bekerja di kantor. 

Bagi sebagian pria, menjadi lebih terlibat dalam kehidupan keluarga dan melihat tumbuh kembang anak-anak secara langsung memberikan makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan pencapaian karier. 

Read More
bentuk kekerasan di tempat kerja

Kenali Bentuk Kekerasan yang Sering Terjadi di Tempat Kerja

Belum lama ini, di media sosial viral dengan berita kasus dugaan kekerasan dan pelecehan terhadap karyawan studio game Brandoville. Beberapa pekerjanya, lewat akun X yang beredar, mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari fisik, emosional, verbal, sampai diskriminasi, rasisme, seksisme, dan eksploitasi.

Kekerasan di tempat kerja itu sebenarnya bisa muncul dalam berbagai bentuk. Enggak melulu soal perkelahian fisik seperti yang kita sering lihat di film, tapi bisa lebih luas dari itu. Kekerasan di tempat kerja bisa terjadi secara verbal, psikologis, bahkan dalam bentuk pelecehan seksual. Intinya, segala tindakan yang bikin orang enggak nyaman, tersakiti, atau tertekan di tempat kerja bisa dibilang sebagai bentuk kekerasan.

Kekerasan di tempat kerja juga bisa terjadi dalam situasi di mana seseorang menggunakan posisinya yang lebih tinggi (misalnya bos ke bawahan) buat memanfaatkan orang lain dengan cara yang enggak wajar. Ini bukan cuma soal bos marah-marah, tapi lebih ke situasi di mana kamu merasa enggak aman dan dihargai.

Bisa dibilang, kekerasan di tempat kerja adalah segala bentuk perilaku yang bikin orang merasa terancam, tersudut, atau tidak berdaya. Baik itu karena perkataan, perlakuan, atau tindakan yang diterima di tempat kerja. Terlepas dari apakah itu dilakukan secara sengaja atau tidak, dampaknya tetap aja bikin stres dan tidak sehat.

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Penyebab Terjadinya Kekerasan di Tempat Kerja

Kekerasan di tempat kerja enggak terjadi begitu saja tanpa alasan. Biasanya ada beberapa faktor yang memicu munculnya tindakan kekerasan, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis.

Dikutip Canadian Centre for Occupational Health and Safety, Violence and Harassment in the Workplace, berikut ini beberapa penyebab umum yang dapat memicu kekerasan di lingkungan kerja:

Faktor Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja punya pengaruh besar terhadap perilaku karyawan. Tempat kerja yang enggak mendukung suasana nyaman atau aman bisa memicu terjadinya kekerasan. Misalnya, tempat kerja yang penuh tekanan, atau minim fasilitas keamanan. Kondisi tersebut bisa meningkatkan tingkat stres karyawan, yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan untuk terlibat dalam konflik.

Selain itu, jika perusahaan enggak punya kebijakan yang jelas untuk menangani kekerasan atau pelecehan, karyawan mungkin merasa tidak ada perlindungan, sehingga pelaku kekerasan merasa bebas untuk melakukan tindakan tersebut tanpa takut dikenai sanksi.

Faktor Individu

Setiap individu punya latar belakang dan masalah masing-masing, dan kadang-kadang, masalah personal bisa terbawa ke tempat kerja. Ada beberapa individu yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan kekerasan karena karakter atau masalah pribadi yang mereka hadapi. Misalnya, seseorang yang memiliki masalah emosi yang tidak terkontrol atau sedang berada dalam tekanan emosional dari kehidupan pribadinya, lebih mungkin untuk meledak dan berperilaku agresif di tempat kerja.

Konflik Antar Rekan Kerja

Tempat kerja sering kali menjadi ladang konflik, terutama ketika ada persaingan yang tidak sehat di antara rekan kerja. Misalnya, perebutan posisi, perbedaan pandangan atau gaya kerja. Konflik yang enggak diatasi dengan baik dapat berubah menjadi tindakan kekerasan, baik secara verbal, emosional, maupun fisik.

Tekanan dan Tuntutan Kerja

Stres yang berlebihan akibat tekanan kerja yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab utama kekerasan di tempat kerja. Karyawan yang merasa terbebani dengan target yang nggak realistis, deadline yang ketat, atau tugas yang berlebihan sering kali merespons dengan kemarahan atau frustrasi yang bisa meledak ke arah kekerasan.

Tekanan dari atasan yang terus-menerus menuntut hasil tanpa memperhatikan kondisi karyawan juga bisa memicu kekerasan.

Tekanan kerja yang tinggi ini tidak cuma datang dari manajemen, tapi juga dari harapan diri sendiri yang terlalu tinggi atau tuntutan dari lingkungan kerja yang kompetitif. Ketika seseorang merasa tidak mampu memenuhi harapan, mereka bisa merasa terpojok dan reaktif, bahkan sampai melakukan kekerasan.

Budaya Kerja yang Tidak Sehat

Budaya kerja juga punya peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman atau sebaliknya. Jika perusahaan memiliki budaya yang terlalu kompetitif tanpa memperhatikan kesejahteraan karyawan, kekerasan lebih mungkin terjadi. Di tempat kerja di mana pelecehan atau intimidasi dianggap hal yang biasa, karyawan akan merasa tidak berdaya dan kekerasan akan terus berlanjut.

Baca Juga: Stop Bullying: Langkah-langkah Cegah di Tempat Kerja

Tindakan yang Harus Dilakukan Ketika Mengalami Kekerasan

Mengalami kekerasan di tempat kerja tentu bukan hal yang mudah. Baik itu kekerasan fisik, verbal, emosional, maupun seksual, semuanya bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik seseorang. Namun, ada langkah-langkah penting yang bisa dilakukan untuk melindungi diri dan menghadapi situasi tersebut dengan tepat. Psychology Today, Violence in the Workplace, berikut adalah beberapa tindakan yang bisa diambil ketika mengalami kekerasan di tempat kerja:

1. Tetap Tenang dan Jangan Panik

Langkah pertama yang harus dilakukan ketika menghadapi kekerasan adalah mencoba untuk tetap tenang. Meskipun ini sangat sulit, panik hanya akan memperburuk situasi. Dengan kepala dingin, kamu bisa lebih jernih dalam mengambil keputusan dan menyusun langkah berikutnya.

2. Kumpulkan Bukti

Saat kamu menjadi korban, sangat penting untuk mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Bukti ini bisa dalam bentuk rekaman percakapan, email, pesan teks, atau bahkan saksi mata. Semakin lengkap bukti yang kamu miliki, semakin kuat kasus kamu jika nantinya perlu melapor kepada pihak berwenang atau HRD.

3. Cari Dukungan dari Rekan Kerja

Dukungan dari rekan kerja bisa sangat membantu dalam menghadapi situasi kekerasan di tempat kerja. Teman-teman di kantor bisa menjadi saksi yang memperkuat laporan kamu, sekaligus memberikan dukungan emosional yang kamu butuhkan. Jangan ragu untuk berbicara kepada rekan kerja, terutama jika mereka juga mengalami situasi serupa.

Baca Juga: Apa itu ‘Power Harassment’, Kekerasan yang Dinormalisasi di Dunia Kerja

4. Pertimbangkan Bantuan Hukum

Jika perusahaan tidak menindaklanjuti laporan kekerasan atau jika kekerasan yang kamu alami sangat serius, mencari bantuan hukum mungkin menjadi pilihan yang tepat. Banyak organisasi yang menyediakan dukungan hukum bagi korban kekerasan di tempat kerja, termasuk konseling gratis dan pendampingan hukum.

Kamu dapat mencoba menghubungi lembaga perlindungan tenaga kerja untuk mendapatkan saran tentang langkah hukum yang bisa diambil. Mereka bisa membantu kamu dalam memahami hak-hak sebagai pekerja dan apa yang bisa dilakukan jika perusahaan tidak melindungi kamu sebagai karyawannya.

Read More
apa itu slow productivity

Bekerja Lebih Efektif dengan ‘Slow Productivity’, Apa Itu?

Slow productivity adalah pendekatan bekerja yang lebih lambat tetapi lebih efisien. Dikutip dari Forbes, The Rise Of The ‘Slow Productivity’ Movement, fokus utama dari slow productivity adalah meningkatkan kualitas daripada kuantitas pekerjaan yang dilakukan. Ini bertentangan dengan pendekatan hustle culture yang menekankan kecepatan dan produktivitas tanpa henti. Slow productivity mendorong seseorang untuk bekerja dengan cara yang lebih berkelanjutan, menghindari burnout, dan memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang.

Berbeda dengan Hustle Culture

Hustle culture adalah gaya hidup yang menekankan kerja keras tanpa henti, dengan fokus pada pencapaian hasil yang maksimal dalam waktu singkat. Dikutip dari Forbes, Is The Hustle Culture and Mentality Out of Control, dalam hustle culture, keberhasilan diukur dari seberapa banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan, seberapa cepat target bisa dicapai, dan seberapa sibuk seseorang terlihat. Hustle culture sering kali mempromosikan gagasan bahwa semakin banyak dan semakin cepat seseorang bekerja, semakin sukses hidupnya.

Pada intinya, hustle culture tidak memberi ruang bagi keseimbangan hidup. Orang-orang yang terjebak dalam pola pikir ini biasanya merasa harus terus “bergerak,” sering kali tanpa mempertimbangkan kesehatan fisik atau mental mereka.

Baca Juga: ‘Lazy Girl Job’: Tren Kerja Santai yang Viral di TikTok

Dampak Negatif Hustle Culture

Meskipun sekilas hustle culture tampak mengagungkan produktivitas, banyak dampak negatif yang muncul dari penerapan gaya hidup ini. Salah satu dampak paling umum adalah burnout, yaitu kondisi fisik dan mental yang sangat kelelahan akibat tekanan kerja yang berlebihan. Burnout dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja, kualitas pekerjaan yang buruk, hingga masalah kesehatan serius seperti gangguan tidur, depresi, dan kecemasan.

Bagaimana Slow Productivity Menjadi Solusi Alternatif?

Berbeda dengan hustle culture, slow productivity menekankan keseimbangan, fokus, dan kualitas daripada kecepatan dan kuantitas. Pendekatan ini mendorong seseorang untuk bekerja secara efisien namun tetap menjaga kesehatan mental dan fisiknya. Dikutip The New Yorker, It’s Time to Embrace Slow Productivity, slow productivity berangkat dari gagasan bahwa bekerja secara lambat dan penuh perhatian tidak hanya memberikan hasil yang lebih baik, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

Dalam slow productivity, fokus tidak lagi pada seberapa banyak pekerjaan yang diselesaikan dalam waktu tertentu, melainkan pada kualitas pekerjaan itu sendiri. Alih-alih menyelesaikan banyak tugas sekaligus, slow productivity mendorong individu untuk bekerja lebih selektif, memilih tugas yang benar-benar penting dan memberikan dampak terbesar. Dengan cara ini, setiap tugas bisa diselesaikan dengan lebih baik, tanpa tekanan untuk terus-menerus beralih ke pekerjaan berikutnya.

Slow productivity juga memberikan ruang bagi istirahat yang cukup dan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam slow productivity, istirahat dilihat sebagai bagian integral dari produktivitas itu sendiri, bukan sebagai penghambat. Dengan memberikan waktu untuk istirahat, seseorang bisa bekerja dengan pikiran yang lebih segar dan hasil kerja yang lebih baik.

Baca Juga: Cara Tepat Mengatasi Demotivasi Kerja Buat Karyawan

Langkah-Langkah Menerapkan Slow Productivity

Slow productivity menekankan pada kerja yang lebih lambat namun fokus, dengan tujuan mencapai kualitas tinggi tanpa terburu-buru atau tekanan berlebihan. Masih dikutip dari The New Yorker, berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk menerapkan slow productivity dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Memahami Prioritas

Langkah pertama dalam slow productivity adalah memahami prioritas . Ini berarti mengidentifikasi tugas atau proyek yang paling penting dan memberikan dampak terbesar pada pekerjaan. Terlalu banyak pekerjaan tanpa fokus yang jelas bisa membuat kamu jadi merasa kewalahan.

  1. Membuat Jadwal yang Fleksibel

Jadwal yang kaku sering kali menambah tekanan, terutama jika Anda mencoba menyesuaikan banyak hal dalam waktu terbatas. Oleh karena itu, dalam slow productivity, jadwal yang fleksibel sangat dianjurkan. Buatlah jadwal yang memungkinkan kamu untuk menyesuaikan ritme kerja sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental.

Berikan ruang bagi perubahan, karena kondisi setiap hari bisa berbeda-beda. Dengan jadwal yang fleksibel, kamu juga bisa merespons hal-hal mendadak tanpa merasa kehilangan kendali atas tugas-tugas yang telah direncanakan.

  1. Mengatur Waktu Istirahat

Istirahat merupakan bagian penting dari slow productivity. Banyak orang menganggap bahwa produktivitas berarti bekerja terus-menerus tanpa henti, namun hal ini justru bisa menyebabkan kelelahan dan menurunkan kualitas kerja. Mengatur waktu istirahat dengan baik membantu memulihkan energi dan menjaga fokus dalam jangka panjang.

Baca Juga: ‘Skill’ Manajemen Waktu buat Kamu dengan Beban Kerja Bejibun

  1. Fokus pada Satu Tugas (Single-Tasking)

Multitasking mungkin terlihat produktif, tetapi sebenarnya justru dapat mengurangi efisiensi dan meningkatkan kesalahan. Slow productivity mendorong single-tasking, yaitu fokus pada satu tugas dalam satu waktu. Ini memungkinkan kamu untuk memberikan perhatian penuh pada setiap tugas, sehingga hasilnya lebih berkualitas.

Single-tasking juga membantu mengurangi stres karena kamu tidak perlu berpindah-pindah antara berbagai tugas yang berbeda. Alih-alih terburu-buru menyelesaikan banyak hal sekaligus, kamu bisa lebih menikmati proses setiap tugas yang sedang dikerjakan. Setelah satu tugas selesai, barulah pindah ke tugas berikutnya.

  1. Menetapkan Batasan yang Jelas

Dalam era di mana teknologi memungkinkan kita bekerja di mana saja dan kapan saja, menetapkan batasan yang jelas menjadi sangat penting. Slow productivity menekankan pada pentingnya membatasi jam kerja dan tidak membawa pekerjaan ke dalam waktu pribadi. Setelah jam kerja berakhir, berhenti sejenak dan beristirahatlah.

  1. Berlatih Mindfulness dalam Bekerja

Mindfulness, atau kesadaran penuh, adalah teknik yang dapat sangat membantu dalam slow productivity. Mindfulness mengajarkan kamu untuk hadir secara penuh dalam setiap tugas yang sedang dikerjakan, tanpa terganggu oleh hal-hal lain di luar pekerjaan tersebut. Dengan fokus penuh pada saat ini, kamu dapat bekerja lebih efisien dan tenang.

  1. Menciptakan Ruang Kerja yang Mendukung

Lingkungan kerja kamu memainkan peran besar dalam produktivitas. Untuk menerapkan slow productivity, penting untuk menciptakan ruang kerja yang nyaman, rapi, dan minim gangguan. Ruang yang bersih dan terorganisir membantu kamu tetap fokus dan merasa lebih rileks saat bekerja.

Read More
plus minus jadi kutu loncat

Kutu Loncat dalam Dunia Kerja: Untung atau Buntung?

Kamu tentu enggak mau karier mandek di situ-situ saja. Masalahnya, meniti karier sering kali butuh konsistensi di bidang yang sama. Namun, tak semua orang bisa bertahan di bidang kerja yang sama. Ada yang justru berganti pekerjaan yang sesuai dengan passion dan tujuan hidup. 

Mereka inilah yang dikenal dengan “kutu loncat”. Istilah ini mungkin terdengar negatif bagi sebagian orang, tetapi sebenarnya ada keuntungan yang perlu kita perhatikan. Apa saja plus minusnya? 

Apa itu Kutu Loncat? 

Dikutip dari Indeed, What Is Job Hopping? (Plus Advantages and Disadvantages), kutu loncat atau job hopping menggambarkan seseorang yang memiliki kebiasaan berpindah pekerjaan dalam waktu relatif singkat. Biasanya, kutu loncat akan bekerja di satu perusahaan selama kurang dari satu atau dua tahun sebelum memutuskan untuk mencari peluang baru di tempat lain.  

Konsep ini tidak terbatas pada satu bidang atau industri tertentu; kutu loncat dapat berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari fresh graduate yang baru lulus hingga mereka yang telah berpengalaman di dunia kerja selama bertahun-tahun. 

Baca Juga: Generasi Milenial Sering Jadi Kutu Loncat, Apa Alasannya? 

Kenapa Istilah ini Digunakan? 

Dikutip dari Kompas, dalam konteks pekerjaan, kutu loncat kerap merasa tak puas dengan posisi terkini dan terus mencari pekerjaan lebih baik atau sesuai dengan keinginan mereka.  

Kutu loncat sering dianggap sebagai orang yang tidak memiliki komitmen jangka panjang terhadap perusahaan tempat mereka bekerja, yang sering kali menciptakan stigma negatif di kalangan rekruter dan manajer HR. 

Baca Juga: Pindah Kerja ke Tempat Baru? Perhatikan Tanda-tanda Ini untuk Tahu Atasanmu ‘Toxic’ Atau Enggak 

Plus (Keuntungan) Jadi Kutu Loncat 

Menjadi kutu loncat dalam karier memiliki sejumlah keuntungan yang dapat bermanfaat bagi individu, baik pengalaman profesional maupun pengembangan pribadi. Dikutip dari Forbes, The Pros And Cons Of Rapid Job Hopping, yuk, kita bahas lebih dalam mengenai beberapa keuntungan utama menjadi kutu loncat. 

1. Pengalaman Beragam 

Salah satu keuntungan terbesar dari menjadi kutu loncat adalah pengalaman beragam yang didapatkan. Setiap kali seseorang berpindah pekerjaan, mereka berkesempatan untuk: 

  • Belajar dari Berbagai Budaya Kerja: Setiap perusahaan memiliki budaya kerja dan nilai-nilai yang berbeda. Dengan berpindah tempat, individu dapat memahami berbagai pendekatan dalam berbisnis, manajemen, dan interaksi antar tim. 
  • Menghadapi Tantangan yang Berbeda: Setiap pekerjaan baru biasanya datang dengan tantangan unik. Hal ini memungkinkan individu untuk mengasah kemampuan problem-solving dan beradaptasi dengan situasi baru. 
  • Mendapatkan Perspektif yang Luas: Dengan bekerja di berbagai industri, seseorang dapat melihat bagaimana praktik terbaik diterapkan di berbagai sektor. Ini juga membantu memperluas wawasan dan cara berpikir yang lebih kreatif. 

2. Jaringan yang Luas 

Ketika berpindah-pindah pekerjaan, individu juga memiliki kesempatan untuk membangun jaringan yang lebih luas. Beberapa manfaat dari jaringan yang luas meliputi: 

  • Peluang Kolaborasi: Jaringan yang besar memungkinkan individu untuk menemukan peluang kolaborasi di masa depan, baik dalam proyek kerja maupun dalam pengembangan bisnis. 
  • Referensi yang Berharga: Membangun hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan dapat membuka jalan untuk referensi yang dapat membantu dalam pencarian pekerjaan berikutnya. 
  • Informasi Terkini: Memiliki jaringan yang luas juga berarti mendapatkan akses ke informasi terbaru tentang tren industri, peluang kerja, dan perkembangan karier. 

3. Fleksibilitas dalam Karier 

Kutu loncat sering kali menikmati fleksibilitas lebih dalam karier mereka. Beberapa aspek fleksibilitas ini adalah: 

  • Kemampuan Menyesuaikan Diri dengan Peluang Baru: Dengan tidak terikat pada satu perusahaan, individu dapat dengan mudah mengeksplorasi berbagai peluang yang datang, baik itu pekerjaan baru atau proyek freelance. 
  • Mencari Pekerjaan yang Sesuai dengan Passion: Kutu loncat memiliki kebebasan untuk mencari posisi yang lebih sesuai dengan minat dan nilai-nilai pribadi mereka, sehingga meningkatkan kepuasan kerja. 
  • Kemampuan Mengatur Waktu: Dalam beberapa kasus, kutu loncat dapat memilih untuk bekerja paruh waktu atau dalam proyek sementara, memberikan mereka lebih banyak waktu untuk mengejar hobi atau pendidikan lanjutan. 

4. Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan 

Setiap kali seseorang pindah pekerjaan, mereka juga mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka. Beberapa cara di mana kutu loncat dapat berkembang meliputi: 

  • Pelatihan dan Pengembangan: Banyak perusahaan menawarkan program pelatihan dan pengembangan yang berbeda. Dengan berpindah pekerjaan, individu dapat mengakses berbagai jenis pelatihan yang dapat meningkatkan kompetensi mereka. 
  • Memperoleh Keterampilan Baru: Setiap posisi baru sering kali membutuhkan keterampilan baru. Kutu loncat yang proaktif dalam belajar akan memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar kerja. 
  • Adaptasi Terhadap Teknologi Baru: Dengan kemajuan teknologi yang cepat, bekerja di berbagai perusahaan memungkinkan individu untuk lebih cepat beradaptasi dengan alat dan teknologi terbaru. 

5. Kesempatan Meningkatkan Gaji 

Dalam banyak kasus, berpindah pekerjaan dapat menjadi cara efektif untuk meningkatkan gaji. Beberapa alasan mengapa hal ini bisa terjadi adalah: 

  • Negosiasi yang Lebih Baik: Saat berpindah pekerjaan, individu memiliki kesempatan untuk bernegosiasi gaji yang lebih baik dengan perusahaan baru, sering kali dengan basis penawaran yang lebih tinggi. 
  • Menghindari Kenaikan Gaji yang Lambat: Terkadang, perusahaan memiliki kebijakan kenaikan gaji yang lambat. Dengan berpindah pekerjaan, individu bisa menghindari proses ini dan mendapatkan kenaikan gaji yang lebih cepat. 
  • Menemukan Perusahaan dengan Paket Manfaat Lebih Baik: Selain gaji pokok, banyak perusahaan menawarkan berbagai manfaat. Kutu loncat dapat mencari pekerjaan yang tidak hanya memberikan gaji tinggi tetapi juga manfaat tambahan yang lebih menguntungkan. 

Baca Juga: 6 Alasan Pindah Kerja yang Bisa Kamu Pakai 

Minus (Kerugian) Jadi Kutu Loncat 

Meskipun menjadi kutu loncat dalam berkarier memiliki banyak keuntungan, ada juga sejumlah kerugian yang perlu dipertimbangkan. Masih dikutip dari Forbes, berikut adalah beberapa kerugian utama yang mungkin dihadapi seseorang yang sering berpindah pekerjaan. 

1. Risiko Stabilitas Kerja 

Salah satu kerugian paling signifikan dari menjadi kutu loncat adalah kurangnya stabilitas kerja. Banyak perusahaan lebih suka karyawan yang dapat bertahan dalam jangka panjang karena: 

  • Kepastian dalam Perencanaan: Perusahaan membutuhkan karyawan yang dapat membantu dalam perencanaan jangka panjang. Karyawan yang sering berpindah kerja membuat perusahaan sulit merencanakan strategi dan pengembangan tim. 
  • Mengganggu Proyek yang Sedang Berlangsung: Ketika seseorang pergi sebelum menyelesaikan proyek penting, hal ini dapat mengganggu jalannya proyek dan mempengaruhi kinerja tim secara keseluruhan. 
  • Resiko Penurunan Kinerja: Karyawan yang terus berpindah pekerjaan mungkin mengalami kesulitan untuk beradaptasi dan mempelajari proses kerja di perusahaan baru, yang dapat menyebabkan penurunan kinerja. 

2. Persepsi Negatif dari Rekruter 

Banyak rekruter dan manajer HR cenderung melihat kutu loncat dengan skeptis. Persepsi negatif ini dapat berdampak pada kesempatan kerja seseorang: 

  • Kurangnya Komitmen: Rekruter mungkin berpikir bahwa kutu loncat tidak berkomitmen untuk perusahaan dan hanya mencari pekerjaan yang lebih baik tanpa mempertimbangkan kontribusi yang dapat diberikan. 
  • Kekhawatiran akan Keterampilan yang Dangkal: Ada anggapan bahwa karyawan yang sering berpindah pekerjaan mungkin tidak memiliki keterampilan yang mendalam dalam satu bidang tertentu, sehingga kurang berharga bagi perusahaan. 
  • Kesulitan Membangun Kepercayaan: Dalam proses perekrutan, penting untuk membangun kepercayaan dengan rekruter. Jika seorang kandidat terlihat sering berpindah kerja, hal ini bisa merugikan reputasinya dan mempersulit mendapatkan pekerjaan. 

3. Ketidakpastian dalam Perencanaan Karier  

Bagi kutu loncat, merencanakan masa depan karier bisa menjadi tantangan. Beberapa alasan mengapa ini terjadi adalah: 

  • Kesulitan Menetapkan Tujuan Jangka Panjang: Dengan sering berpindah pekerjaan, individu mungkin kesulitan untuk menetapkan tujuan jangka panjang yang jelas, sehingga dapat membingungkan arah karier mereka. 
  • Risiko Kelelahan Mental: Pindah-pindah pekerjaan terus menerus dapat menjadi melelahkan secara mental. Proses adaptasi ke lingkungan baru dan mengatasi tantangan baru bisa menguras energi dan mengurangi motivasi. 
  • Kurangnya Rencana Pensiun yang Stabil: Kutu loncat sering kali tidak memiliki rencana pensiun yang solid, karena mereka tidak bekerja cukup lama di satu perusahaan untuk memanfaatkan manfaat pensiun atau program loyalitas. 

4. Dampak Emosional 

Pindah pekerjaan dapat membawa dampak emosional yang signifikan bagi individu. Beberapa dampak ini termasuk: 

  • Perasaan Kesepian: Pindah ke lingkungan baru berarti meninggalkan teman dan rekan kerja yang telah dibangun hubungan. Hal ini dapat menyebabkan perasaan kesepian dan kehilangan. 
  • Stres Beradaptasi: Setiap kali seseorang berpindah pekerjaan, mereka harus beradaptasi dengan budaya, proses, dan orang-orang baru. Proses ini bisa menjadi sumber stres yang signifikan. 
  • Kekhawatiran akan Identitas Profesional: Terus menerus berpindah pekerjaan dapat membuat seseorang merasa kehilangan identitas profesional mereka, terutama jika mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan reputasi di satu tempat. 
Read More
tren lazy girl job viral di media sosial

‘Lazy Girl Job’: Tren Kerja Santai yang Viral di TikTok

Sekarang muncul kesadaran di tengah generasi muda untuk mulai keluar dari siklus overworking dan mulai menerapkan rutinitas yang lebih seimbang, antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Gerakan ini populer dengan istilah lazy girl job. Meski namanya terdengar negatif, sebenarnya nama tersebut sarat akan sarkasme dan perlawanan dari hustle culture. Tren ini merefleksikan keinginan para generasi muda yang ingin kehidupan profesional jadi lebih seimbang dan fleksibel serta memperoleh penghasilan yang stabil.

Sejarah Tren Lazy Girl Job

Dikutip dari The Wall Street Journal, tren Lazy Girl Job sebenarnya adalah cerminan dari perubahan besar dalam pandangan masyarakat terhadap dunia kerja, terutama setelah pandemi COVID-19 yang memaksa banyak orang bekerja dari rumah. Meski tren ini baru populer di media sosial dalam beberapa tahun terakhir, akarnya bisa ditelusuri lebih jauh ke arah pergeseran sosial yang menekankan keseimbangan hidup dan kerja.

Baca Juga: Budaya Kerja Toksik Dimulai dari Kepemimpinan Medioker

Asal Usul Nama Lazy Girl Job

Nama Lazy Girl Job berasal dari tren di media sosial yang menyindir pandangan tradisional tentang kerja keras yang diharapkan dari seorang pekerja. Muncul sebagai reaksi terhadap stigma bahwa bekerja keras sepanjang hari dan berambisi untuk mencapai puncak karier adalah satu-satunya cara untuk sukses.

Stereotip “lazy” dalam konteks ini tidak merujuk pada kemalasan secara harfiah, melainkan menantang ide bahwa produktivitas selalu diukur berdasarkan intensitas dan durasi waktu yang dihabiskan untuk bekerja. Sebaliknya, Lazy Girl Job lebih menekankan pada cara kerja yang cerdas, efisien, dan tidak membebani secara fisik maupun mental.

Pengaruh Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 memainkan peran penting dalam mempercepat popularitas tren ini. Dengan banyaknya orang yang dipaksa bekerja dari rumah, pandangan tentang apa yang benar-benar penting dalam pekerjaan mulai berubah. Selama masa karantina, banyak pekerja yang menyadari bahwa mereka bisa tetap produktif tanpa harus bekerja dari kantor atau mengikuti jam kerja yang ketat. Selain itu, banyak yang mulai menghargai lebih banyak waktu bersama keluarga, kesempatan untuk menjaga kesehatan mental, serta pentingnya keseimbangan hidup yang lebih baik.

Keberadaan pandemi juga mengungkap fakta bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dengan lebih fleksibel tanpa harus berada di lingkungan kerja tradisional. Hal ini menjadi pemicu utama bagi orang-orang untuk mencari model pekerjaan yang lebih santai dan tidak menuntut komitmen waktu yang berlebihan, sehingga muncullah tren ini.

Kemunculan di Media Sosial

Platform media sosial, terutama TikTok dan Instagram, menjadi kendaraan utama dalam menyebarkan tren ini ke seluruh dunia. Di TikTok, misalnya, tagar seperti #LazyGirlJob mulai digunakan oleh banyak pengguna untuk berbagi pengalaman mereka dalam menemukan pekerjaan dengan tuntutan rendah tetapi tetap menghasilkan pendapatan yang layak. Video-video pendek yang menampilkan gaya hidup santai namun tetap produktif ini kemudian menjadi viral, dan dengan cepat memikat perhatian generasi muda, terutama perempuan, yang lelah dengan budaya kerja keras atau hustle culture.

Konten yang diproduksi oleh para influencer seperti Gabrielle Judge dan kreator di media sosial juga memainkan peran penting. Mereka sering menunjukkan bagaimana menjalani Lazy Girl Job bisa memberi lebih banyak waktu untuk menjalani hobi, merawat diri sendiri, atau sekadar menikmati hidup tanpa harus terjebak dalam rutinitas yang monoton.

Baca Juga: Kadang WFH, Kadang WFO: Tips Atasi Tantangan dalam Sistem Kerja ‘Hybrid’

Karakteristik Lazy Girl Job

Tren Lazy Girl Job menonjol dengan sejumlah karakteristik unik yang membedakannya dari model kerja tradisional. Fokus utama dari Lazy Girl Job adalah menciptakan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan dengan cara yang lebih santai dan fleksibel. Dikutip dari BBC, How the ‘lazy girl job’ took over work TikTok, berikut adalah beberapa karakteristik utama dari tren ini:

  • Fokus pada Keseimbangan Hidup dan Kerja

Inti dari tren ini adalah menempatkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan sebagai prioritas. Pekerjaan yang dipilih biasanya tidak mengharuskan karyawan untuk menghabiskan banyak waktu atau energi, memungkinkan mereka menikmati waktu luang.

  • Tuntutan Pekerjaan yang Minimal

Pekerjaan dalam kategori ini cenderung memiliki tuntutan yang rendah, baik dari segi tekanan maupun tanggung jawab. Biasanya, pekerjaan seperti ini melibatkan tugas-tugas administratif, customer service, atau pekerjaan berbasis proyek dengan jadwal yang fleksibel.

  • Bekerja dari Rumah sebagai Pilihan Utama

Banyak yang memilih Lazy Girl Job karena bisa dikerjakan dari rumah. Bekerja secara remote memberikan kebebasan yang lebih besar dalam mengatur jadwal dan rutinitas sehari-hari.

Manfaat Lazy Girl Job

Tren Lazy Girl Job menawarkan berbagai manfaat yang menarik bagi banyak orang yang mencari keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Dengan fokus pada fleksibilitas, efisiensi, dan kesejahteraan, DIkutip dari Forbes, How ‘Lazy Girl Jobs’ Contribute To Work-Life Balance And Burnout Prevention, berikut adalah beberapa manfaat utama dari Lazy Girl Job:

  1. Keseimbangan Hidup dan Kerja yang Lebih Baik

Salah satu manfaat terbesar dari Lazy Girl Job adalah kemampuannya untuk membantu pekerja mencapai keseimbangan hidup dan kerja yang lebih baik. Dengan pekerjaan yang memiliki tuntutan rendah dan fleksibilitas tinggi, pekerja dapat mengatur jadwal mereka sedemikian rupa sehingga mereka memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga, hobi, dan kegiatan pribadi lainnya. Ini membantu mengurangi stres dan kelelahan yang sering dikaitkan dengan pekerjaan yang menuntut dan jam kerja yang panjang.

  • Peningkatan Kesehatan Mental

Bekerja dalam lingkungan yang lebih santai dan tidak terlalu menekan dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mental. Banyak pekerja mengalami penurunan tingkat kecemasan dan stres karena mereka tidak lagi harus menghadapi tekanan untuk bekerja lembur atau memenuhi ekspektasi yang tinggi. Dengan lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan kesempatan untuk mengelola waktu kerja sesuai dengan kebutuhan pribadi, pekerja dapat menjaga kesehatan mental mereka dengan lebih baik.

  • Fleksibilitas dalam Jam Kerja

Fleksibilitas adalah salah satu fitur utama dari tren ini. Dengan kemampuan untuk menentukan jam kerja mereka sendiri, pekerja bisa bekerja pada waktu-waktu yang mereka rasa paling produktif. Fleksibilitas ini memungkinkan mereka untuk menyesuaikan pekerjaan dengan jadwal pribadi, seperti mengurus anak-anak atau menghadiri kegiatan keluarga, tanpa harus khawatir tentang konflik jadwal atau ketidaknyamanan.

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

  • Penghematan Biaya dan Waktu

Bekerja dari rumah, salah satu aspek umum dari Lazy Girl Job, dapat menghemat biaya transportasi dan waktu perjalanan. Pekerja tidak perlu mengeluarkan uang untuk transportasi atau mengalami kemacetan lalu lintas yang memakan waktu. Penghematan biaya dan waktu ini dapat digunakan untuk keperluan pribadi atau untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan

  • Penurunan Risiko Burnout

Burnout atau kelelahan kerja adalah masalah serius yang sering dihadapi oleh pekerja dengan tuntutan tinggi dan jam kerja yang panjang. Lazy Girl Job mengurangi risiko burnout dengan menawarkan pekerjaan yang memiliki tuntutan lebih rendah dan jam kerja yang lebih fleksibel. Dengan adanya waktu yang cukup untuk istirahat dan kegiatan pribadi, pekerja dapat menghindari kelelahan yang disebabkan oleh pekerjaan yang terlalu menuntut.

Read More
menghadapi senioritas di tempat kerja

Tips Ampuh Hadapi Senioritas di Kantor untuk ‘Fresh Graduate’

Senioritas di lingkungan kerja memang tak terhindarkan. Meski biasanya dibicarakan diam-diam, tapi senioritas termasuk faktor penting yang mendukung kenyamanan kerja seseorang. Dengan alasan senioritas, orang bisa mengalami perundungan. Dengan alasan senioritas pula, suasana kerja menjadi tak produktif dan kurang egaliter. 

Sebenarnya apa, sih senioritas itu? Apa dampaknya yang perlu kita khawatirkan? Lalu bagaimana cara terbaik untuk menghadapinya? Magdalene telah merangkumkan faktanya buatmu, dikutip dari berbagai sumber. 

Apa itu Senioritas di Tempat Kerja? 

Dikutip dari Indeed, What Does Seniority Mean at Work?, senioritas di tempat kerja adalah konsep di mana karyawan dianggap memiliki otoritas atau hak istimewa tertentu karena telah bekerja lebih lama atau memiliki jabatan lebih tinggi dalam perusahaan. Senioritas sering kali dikaitkan dengan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang diperoleh selama bertahun-tahun bekerja Di banyak tempat kerja, senioritas bisa memengaruhi banyak hal, seperti kesempatan promosi, pengambilan keputusan, bahkan hubungan antar-karyawan. 

Namun, senioritas tidak selalu hanya tentang masa kerja. Ada beberapa faktor lain yang bisa memengaruhi persepsi senioritas, seperti jabatan, usia, dan status sosial di tempat kerja. Dalam beberapa organisasi, senioritas bahkan bisa mencakup karyawan yang lebih lama bergabung dalam proyek tertentu atau yang memiliki koneksi lebih kuat dengan pimpinan perusahaan. 

Baca Juga: Bos Dilarang Kontak Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia 

Jenis Senioritas di Tempat Kerja 

Senioritas bisa terbagi dalam beberapa jenis, tergantung bagaimana hal ini dipahami dan diterapkan di tempat kerja: 

  • Senioritas Berdasarkan Masa Kerja: Ini adalah bentuk senioritas yang paling umum. Karyawan yang telah bekerja lebih lama sering kali dianggap memiliki lebih banyak pengetahuan tentang budaya perusahaan, proses kerja, dan hubungan internal. 
  • Senioritas Berdasarkan Jabatan: Karyawan dengan posisi atau jabatan lebih tinggi sering kali mendapatkan otoritas lebih besar. Meskipun mereka mungkin belum lama bekerja di perusahaan, status jabatan mereka memberikan pengaruh dan kekuatan yang signifikan. 
  • Senioritas Sosial: Ini terjadi ketika seseorang dianggap lebih “senior” karena faktor-faktor sosial seperti usia atau status sosial di luar tempat kerja. Dalam budaya yang sangat menghargai usia, misalnya, karyawan yang lebih tua seringkali dipandang lebih senior meskipun tidak memiliki masa kerja yang lebih lama. 

Dampak Senioritas di Tempat Kerja 

Dikutip dari Chron, What Is the Seniority System and How Has It Declined in Importance?, senioritas di tempat kerja bisa memberikan dampak yang beragam, baik positif maupun negatif, tergantung bagaimana hal ini dikelola oleh perusahaan dan dipahami oleh karyawan.  

Senioritas bisa menjadi alat yang efektif untuk menjaga ketahanan organisasi, tetapi di sisi lain, bisa menimbulkan masalah jika menciptakan kesenjangan atau ketidakadilan. 

  • Dampak Positif 

Senioritas dapat menjadi sumber bimbingan dan mentoring. Karyawan yang lebih senior sering kali memiliki banyak pengalaman yang bisa membantu karyawan baru belajar dan berkembang. 

  • Dampak Negatif 

Namun, senioritas yang tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan lingkungan kerja yang tidak sehat. Karyawan baru bisa merasa diintimidasi atau diabaikan, dan hal ini bisa menghambat perkembangan karier mereka. 

Baca Juga: Jadi Korban ‘Bullying’ di Kantor? Lakukan Hal ini 

Mengapa Senioritas Bisa Bermasalah? 

Senioritas bisa menjadi masalah ketika karyawan senior menggunakan posisinya untuk mengendalikan atau menekan karyawan yang lebih junior. Ini bisa menyebabkan ketidakpuasan, rasa tidak adil, bahkan konflik terbuka di tempat kerja. 

Cara Menghadapi Senioritas di Tempat Kerja 

Menghadapi senioritas di tempat kerja bisa menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi karyawan baru yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sudah lama terbentuk. Namun, dengan pendekatan yang tepat, kamu bisa menghadapi situasi ini dengan bijak dan menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan kerja yang lebih senior. Masih dikutip dari Indeed, berikut adalah beberapa strategi yang bisa kamu terapkan untuk menghadapi senioritas di tempat kerja. 

  1. Tetap Profesional 

Salah satu cara paling penting dalam menghadapi senioritas adalah dengan tetap bersikap profesional dalam segala situasi. Meskipun kamu mungkin menghadapi situasi di mana senioritas membuatmu merasa diabaikan atau diperlakukan tidak adil, penting untuk tidak terbawa emosi.  

Bersikaplah profesional dalam berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi dengan rekan-rekan yang lebih senior. Sikap profesionalisme ini akan menunjukkan bahwa kamu serius dan kompeten dalam menjalankan tugasmu, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan konflik. 

  1. Bangun Hubungan Baik dengan Senior 

Membangun hubungan yang baik dengan rekan kerja yang lebih senior dapat menjadi langkah penting untuk mengurangi ketegangan yang mungkin timbul akibat senioritas. Kamu bisa memulainya dengan bersikap ramah dan terbuka terhadap saran atau masukan dari mereka.  

Tunjukkan bahwa kamu menghargai pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, dan jadikan itu sebagai kesempatan untuk belajar. Selain itu, cobalah untuk aktif dalam kolaborasi atau proyek bersama, karena ini bisa menjadi cara untuk memperkuat hubungan kerja dan membangun rasa saling percaya. 

  1. Jangan Mudah Terintimidasi 

Saat berhadapan dengan karyawan yang lebih senior, terutama jika mereka memiliki sikap yang dominan, sangat mudah untuk merasa terintimidasi. Namun, penting untuk diingat meskipun mereka lebih lama bekerja di perusahaan, kamu tetap memiliki hak yang sama untuk dihargai dan berpartisipasi dalam lingkungan kerja. Jangan biarkan senioritas membuatmu merasa minder atau takut untuk menyuarakan pendapatmu. Yakinlah pada kemampuan dan nilai yang bisa kamu berikan kepada tim atau perusahaan. 

Baca Juga: Cara Memberikan Feedback pada Rekan Kerja dengan Tepat 

  1. Berkomunikasi dengan Baik 

Komunikasi adalah kunci dalam menyelesaikan berbagai masalah di tempat kerja, termasuk senioritas. Jika kamu merasa ada sesuatu yang mengganggu atau membuatmu tidak nyaman karena senioritas, cobalah untuk berbicara secara terbuka namun sopan dengan pihak terkait.  

Komunikasi yang baik dan jelas dapat mencegah kesalahpahaman dan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif. Jika merasa sulit untuk berkomunikasi langsung dengan senior, kamu bisa mencari cara lain, seperti diskusi informal di luar kantor atau melalui pertemuan kecil yang lebih santai. 

  1. Ambil Inisiatif untuk Belajar dari Senior 

Senioritas tidak selalu berarti sesuatu yang negatif. Sebaliknya, kamu bisa memanfaatkannya sebagai peluang untuk belajar. Senior sering kali memiliki banyak pengalaman yang bisa menjadi pelajaran berharga bagimu. Ambil inisiatif untuk bertanya, belajar, dan mendapatkan wawasan dari mereka. Dengan pendekatan ini, kamu tidak hanya akan memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga membangun hubungan yang lebih baik dengan senior, yang pada gilirannya bisa memudahkanmu dalam bekerja bersama mereka. 

Read More