Di Balik Menolak Pujian: Rendahnya Kepercayaan Diri Hingga Budaya
Menerima dan mengakui pujian bukanlah perkara mudah. Setidaknya bagi Lisa, mahasiswa berdomisili di Yogyakarta. Mengucapkan “terima kasih” bukan jadi respons utamanya. Lisa justru mengelak dan menganggap kinerja baiknya terjadi karena tidak disengaja.
Salah satunya ketika perempuan 21 tahun itu magang di sebuah startup. Kemampuan Lisa dalam copywriting kerap disanjung. Kata atasannya, Lisa jago menulis dan memilih kata-kata. Namun, ia menanggapinya dengan mengatakan, “Enggak kok, cuma kebetulan.”
Lisa mengaku terbiasa menolak ketika dipuji sejak kecil. Meskipun senang dan enggak menyangka, ada perasaan di bawah tekanan dan takut dicap sombong, apabila mengakui kelebihannya. Karena itu, Lisa memilih merendahkan diri.
“Aku merendah dan menganggap itu bukan apa-apa, mungkin akan lebih diterima masyarakat,” ujarnya pada Magdalene, Selasa (15/11).
Bahkan, merespons dengan rendah diri tidak hanya dilakukan di lingkup tempat magang. Lisa melakukannya berulang kali. Misalnya ketika belajar kelompok dengan teman-temannya. Teman-teman Lisa memuji caranya menjelaskan mudah dipahami. Sementara di tempat kursus bahasa Inggris yang didirikannya, Lisa disebut mahir dalam menyusun materi modul.
Namun, tanggapan Lisa masih sama. Ia meyakininya kebetulan belaka–yang disebut Lisa success by accident. Lalu, apa yang membuat seseorang menolak pujian?
Baca Juga: ‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’ Itu Bukan Pujian
Alasan Kita Menolak Pujian
Ketika ditanya alasannya, Lisa menjawab kurang percaya diri. Pasalnya, ia sering dikritik orang lain, dan apa pun yang dilakukan selalu salah di mata orang lain. Hal-hal tersebut membuat Lisa berusaha meyakinkan orang lain, bahwa tidak memiliki kelebihan itu.
“Mungkin impostor syndrome ya, takut “nipu” yang muji karena aku nggak sejago yang mereka kira,” tuturnya.
Impostor syndrome yang disebutkan Lisa, merupakan kondisi ketika seseorang meragukan kemampuan dan prestasinya. Sebab, keberhasilan itu diyakini terjadi akibat keberuntungan, menimbulkan perasaan takut jika orang lain mengetahuinya.
Lisa pun khawatir tidak mampu mempertahankan performa kerja yang baik, ataupun mematahkan ekspektasi atasannya terhadap kemampuannya. Akibatnya, setiap pujian yang diberikan atasannya, membuat Lisa berada di bawah tekanan. Ia menginternalisasi perspektif yang dibangun atas kepercayaan diri yang rendah, sampai tidak dapat melihat kapabilitasnya. Bahkan, Lisa merasa tidak mampu melakukan sesuatu.
“Aku merasa paling enggak bisa apa-apa, kayak I don’t belong in the environment. Jadi enggak berani menyampaikan pendapat sama sekali,” katanya.
Perihal kepercayaan diri sebagai faktor seseorang menolak pujian, juga pernah disampaikan psikolog Guy Winch. Dalam tulisannya di Psychology Today, Winch menyebutkan, rendahnya kepercayaan diri membuat orang tidak nyaman ketika dipuji.
Ini disebabkan, pujian yang bertolak belakang dengan sistem kepercayaan dan pandangan diri sebagai individu. Alhasil, respons yang diberikan berupa penolakan, seperti Lisa yang menilai keberhasilannya adalah kebetulan.
Baca Juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan
Lebih dari itu, menurut Winch pujian dapat terdengar seperti sindiran. Penyebabnya sama, yakni persepsi terhadap diri sendiri yang menginternalisasi pandangan negatif. Seperti Lisa yang mengaku ada faktor internal, yang memengaruhi kepercayaan dirinya.
“Aku juga nggak pernah mengapresiasi milestone yang udah tercapai. Terus menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk diri sendiri, dan ngebandingin diri sama kehidupan orang lain,” jelasnya.
Namun, selain rendahnya kepercayaan diri, ada faktor budaya yang berperan dalam hal ini. Winch mencontohkan pada sejumlah negara, yang menormalisasi pada anak-anaknya. Umumnya pada negara-negara Barat, yang menganut budaya low context. Pasalnya, komunikasi di negara tersebut disampaikan secara eksplisit.
Sementara negara-negara Asia, cenderung sulit mengekspresikan pujian. Hal ini dipengaruhi budaya high context–komunikasi yang tidak disampaikan eksplisit maupun fokus ke permasalahan. Maka itu, mungkin kamu termasuk yang jarang menerima pujian, seperti Lisa. Mahasiswa farmasi itu mengatakan, tidak pernah menerima apresiasi dari orang lain.
Sayangnya, menolak pujian dapat berdampak pada pengembangan diri. Lisa menyampaikan, hal ini dialaminya secara langsung. Pujian yang diterima dari atasan tidak membuatnya semangat untuk mengembangkan kemampuan, karena Lisa memandang kinerja yang baik bukan dihasilkan oleh kapabilitasnya.
“Aku nggak tahu points of improvement-nya, kira-kira apa yang bikin hasilnya bagus,” kata Lisa.
Lama-kelamaan, Lisa dapat menerima pujian itu dan mengubahnya sebagai sesuatu yang berdampak. Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya?
Baca Juga:Merdeka dari ‘Insecurity’ lewat ‘Self-Love’, Mungkinkah?
Belajar Menerima Pujian
Pada dasarnya, pujian dapat membuat seseorang merasa baik. Ini disampaikan oleh peneliti Keise Izuma, Daisuke Saito, dan Norihiro Sadato. Dalam riset Processing of Social and Monetary Rewards in the Human Striatum (2008), ketiganya menuliskan, ada reaksi yang timbul dalam otak ketika menerima pujian. Reaksi tersebut serupa dengan menerima penghargaan berupa uang.
Keuntungan lainnya adalah, pujian dapat membantu seseorang mempelajari kemampuan motorik dan perilaku baru. Sebab, memberikan pujian dapat membantu seseorang mengenali kapabilitasnya. Mungkin yang sebelumnya tidak disadari.
Contohnya Lisa, yang awalnya belum cukup aware dengan keahlian copywriting-nya. Setelah mengakhiri magangnya di perusahaan startup yang berlangsung selama enam bulan, ia mengetahui punya keahlian dalam bidang tersebut. Menurutnya, itu tercermin dari engagement konten di media sosial yang Lisa produksi.
“Awalnya kupikir kebetulan aja viral. Tapi aku notice ada pola yang bikin kontennya berhasil,” cerita Lisa.
Perubahan pola pikir hingga akhirnya menerima pujian bukan sesuatu yang mudah. Menurut Lisa Schuman, pekerja sosial asal New York, menerima pujian dapat diawali dengan latihan bersyukur. Setelah itu, barulah hal-hal positif dapat dirasakan. Selanjutnya, akan lebih mudah mengucapkan terima kasih.
Kesadaran pada Lisa berawal dari feedback yang ditekankan atasannya, setiap ia mengirimkan hasil kerja. Lisa menceritakan, atasannya selalu menyebutkan kalimat berikut: “You have to own your work, negative or positive. Also celebrate your mistakes and accomplishments.”
Pengalaman Lisa menunjukkan, peran atasan sangat berperan dalam pengembangan diri pekerjanya. Pujian yang diberikan membantu pekerja untuk mencapai tujuan mereka. Sebab, pujian sekaligus jadi pengingat, sejauh mana kemampuan dan perkembangan karier seseorang.
Lisa pun mengamininya. Setelah mempertimbangkan ucapan atasannya, ia menyadari keberhasilannya dalam memproduksi konten media sosial, didasarkan pada kemampuannya menyesuaikan minat audiens. Yakni menyukai tulisan yang singkat dan berkesan bagi audiensnya.
Kini Lisa mampu menerima pujian dengan mengucapkan terima kasih, dan meminta feedback atas kinerjanya dari orang-orang tertentu. Setelah menerima kelebihan dan mengetahui aspek yang harus di-improve, Lisa berusaha mencari tahu contoh kerja yang baik, biasa saja, dan yang buruk berdasarkan variabelnya.
Read More