Ketika perempuan dianggap kalah saing dari laki-laki dalam mengejar promosi jabatan, sering kali ia dikatakan kurang atau tidak percaya diri. Padahal, banyak faktor lain yang membuat kepercayaan diri perempuan luput dari perhatian di tempat kerja. Dilansir The Atlantic, berdasarkan studi, sementara laki-laki diapresiasi karena menunjukkan kepercayaan diri, perempuan tidak akan mendapat reaksi yang sama karena ada anggapan bahwa dirinya mestinya lebih pasif, menurut, atau bahkan bersikap altruis.
Mengapa Mitos-Mitos Soal Perempuan Ini Muncul?
Budaya patriarkal yang mengakar dalam kehidupan masyarakat tidak lepas dari sikap seksis atau diskriminatif terhadap perempuan di dunia profesional.
Pertama, peran gender tradisional yang melekatkan perempuan dengan tanggung jawab ranah privat membuat mereka lebih sulit menapaki jenjang karier lebih tinggi. Dalam hal ini, faktor internalisasi peran gender tersebut oleh perempuan sendiri atau minimnya dukungan dari pihak laki-laki serta tuntutan dari keluarga atau masyarakat yang membuatnya kesulitan untuk mengejar kariernya.
Berikutnya dari segi budaya lokal, pendiri Mosintuwu Institute, organisasi masyarakat akar rumput yang anggotanya terdiri dari penyintas konflik Poso Lian Gogali mengatakan bahwa perempuan di Poso sejatinya adalah pemimpin spiritual.
“Tetapi pendidikan membuat kita lupa terhadap sejarah ini, dan yang menarik dalam konteks perempuan, penelitian saya menemukan, berdasarkan cerita orang tua dulu, posisi perempuan itu diubah melalui meja makan,” ujar Lian.
“Waktu kolonial belanda datang menggunakan agama, dalam hal ini misionaris Kristen untuk mengumpulkan masyarakat dan memobilisasi masyarakat untuk tunduk pada penjajahan Belanda waktu itu, selain memperkenalkan agama, mereka juga memperkenalkan pendidikan teologi, yang diberi akses itu laki-laki, laki-laki dilatih untuk jadi imam Kristen sementara perempuan diajarkan untuk menjadi istri imam,” kata Lian.
Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan
Sementara dari segi agama, interpretasi dan diskusi yang mengeksklusi perempuanlah yang mengakibatkan gender ini dinomorduakan dalam hal kepemimpinan.
“Tidak banyak orang berbicara tentang Islam jika dikaitkan dengan prinsip dan akhlak utama yang sebenarnya sangat terbuka, bahkan mendorong [kepemimpinan perempuan]. Kepemimpinan itu tidak terkait jenis kelamin, suku, minoritas atau mayoritas, tetapi sejauh mana mendatangkan kemaslahatan, rahmatan lil alamin. Ayatnya banyak, hadisnya banyak,” kata Kiai Faqih.
Untuk mengatasi maraknya mitos tentang perempuan pemimpin, Kiai Faqih berpendapat bahwa perlu narasi-narasi lebih banyak tentang perempuan pemimpin yang sukses dan mendatangkan kebaikan bagi sekitarnya.
“Bisakah kita mengambil contoh, misalnya Khofifah Indar Parawansa yang menjadi pemimpin di Jawa Timur dan merupakan orang yang sangat kuat sekali tradisi agamanya. Kita bisa cerita tentang siapa-siapa yang memimpin, baik hasilnya, kita contohkan, beritakan, ceritakan, laki-laki yang mendukung perempuan, itu yang harusnya banyak diceritakan dibanding hambatan tantangan saja,” kata Kiai Faqih.
Perilaku yang dilekatkan dengan gender yang akhirnya berimbas pada dunia profesional juga merupakan buah dari sosialisasi sejak masa kanak-kanak. Misalnya, melalui mainan tertentu, manusia dilatih untuk mengasah keterampilan tertentu. Selain itu menurut Rippon, peran media sosial juga besar dalam mengonstruksi anak-anak tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan.
“Kalau kita percaya bahwa ada perbedaan fundamental antara otak laki-laki dan perempuan, dan lebih dari itu, percaya bahwa pemilik otak tersebut akhirnya punya akses ke kemampuan berbeda, punya temperamen atau kepribadian perbeda, ini akan mempengaruhi bagaimana kita memandang diri sebagai laki-laki atau perempuan,” ujar Rippon.