Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Kerja

mitos soal perempuan

Ajaran Agama Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Kepercayaan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin menjadi sandungan lain bagi perempuan. Namun menurut Kiai Faqihuddin Ali Kodir, yang mengajar Interpretasi Hadis di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon, hal ini patut dikritik.

“Pengetahuan dan tradisi itu [pemimpin adalah laki-laki dalam Islam] muncul sedemikian rupa menurut konteks masing-masing. Lalu kemudian, muncul dua kelompok yang membaca tradisi itu: Yang ingin melestarikan ketimpangan [gender] dan yang ingin melakukan keadilan. Dalam hal ini, saya di kelompok yang kedua,” kata Kiai Faqih.

Ia mengilustrasikan pula, dulu ulama menyarankan pemimpin adalah laki-laki saja, tetapi kemudian ini didiskusikan lagi, sebagaimana dulu pemimpin itu harus menguasai ilmu tertentu namun ternyata, ilmu itu sudah tidak relevan lagi mendukung kepemimpinannya.

“Dulu pun pemimpin harus dari suku Quraish, Arab, tapi semua ini gugur karena tidak serta merta sesuai dengan kemampuan pemimpin tersebut untuk menjadi sukses. Problemnya ketika mendiskusikan ulang jenis kelamin, kita kok dianggap tidak Islami, padahal kriteria lain juga didiskusikan. Tidak hanya oleh orang sekarang, tetapi juga orang dulu,” ujar penulis Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender ini.

Mitos Soal Perempuan Tidak Lebih Pintar, Lebih Emosional

Cerita tadi hanya satu dari banyaknya kejadian lain yang mencerminkan masih seksisnya pandangan orang-orang terhadap perempuan di dunia profesional. Jika berbicara tentang riset, kita tentu familier dengan anggapan bahwa perempuan tidak lebih pandai dari laki-laki karena ukuran otaknya lebih kecil yang digadang-gadang berbasis riset. Banyak orang mengamini hal ini dan mewujudkan keyakinan itu dengan sikap diskriminatif terhadap perempuan yang tengah meniti tangga karier, tetapi tidak dengan ahli saraf kognitif dari Inggris, Gina Rippon.

Untuk mengatasi maraknya mitos tentang perempuan pemimpin, perlu narasi-narasi lebih banyak tentang perempuan pemimpin yang sukses dan mendatangkan kebaikan bagi sekitarnya.

Dalam wawancara dengan BBC, penulis buku The Gendered Brain ini mengatakan setelah bertahun-tahun, perdebatan mengenai perbedaan kecerdasan laki-laki dan perempuan terus berlangsung dan riset-riset pun bermunculan untuk membuktikan atau mematahkan asumsi tadi. Menurut Rippon, memang benar otak perempuan berukuran lebih kecil dari laki-laki, tetapi banyak studi yang telah menemukan bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam hal kecerdasan antara perempuan dan laki-laki. Namun sayangnya, walau sudah ada riset yang menyatakan hal semacam ini, banyak media dan orang-orang yang masih memegang keyakinan lama bahwa perempuan lebih inferior dalam hal intelektualitas dibanding laki-laki.   

Sementara soal perempuan lebih emosional, sebenarnya laki-laki pun banyak yang menunjukkan hal serupa. Hanya saja, ketika laki-laki menunjukkan hal ini misalnya dengan cara menggebrak meja, ada anggapan bahwa itu merupakan tanda kekuatan atau ketegasan. Sementara bagi perempuan, sisi emosional yang ia tunjukkan justru dinilai sebagai kelemahan atau mendatangkan label negatif seperti baper.

Masalah Kepercayaan Diri Perempuan

Anggapan keliru lainnya soal perempuan di dunia kerja dan menjadi pemimpin adalah perempuan lebih tidak percaya diri daripada laki-laki.

Asisten profesor bidang Perilaku Organisasional di ESMT Berlin Laura Guillen menulis di Harvard Business Review bahwasejumlah penelitian menemukan tidak ada perbedaan konsisten dalam hal kepercayaan diri yang dilaporkan laki-laki maupun perempuan. Pernyataan ini senada dengan temuan riset dari Zenger Folkman, perusahaan yang menyediakan jasa pengembangan dan pelatihan kepemimpinan yang dimuat di Forbes bahwa seiring bertambahnya usia dan pengalaman di dunia profesional, kepercayaan diri perempuan pun meningkat.