Episode 5 – The Builder

Panggung politik adalah kawah Candradimuka bagi perempuan. Budaya super maskulin dan patriarkal menghambat keterlibatan dan keterwakilan perempuan di sektor ini.

Titi Anggraini dari Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) termasuk yang paling aktif dan vokal dalam menyuarakan isu ini. Apa saja tantangan yang dihadapinya selama satu dekade memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam politik?

Read More

Episode 4 – The Courageous Pioneer

Meski sejak kecil tidak tertarik dengan sains, Wakil Kepala Lembaga Eijkman Profesor Herawati Sudoyo sekarang menjadi salah satu bagian penting di jajaran Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Seperti apa kesibukannya? Bagaimana Prof. Hera berhasil membuktikan kemampuannya dan membuktikan pentingnya sains ketika saat itu kebanyakan orang tidak terlalu peduli?

Read More

Episode 3 – Athena Model: Nilai-Nilai yang “Feminin” untuk Dunia yang Lebih Baik

Ada yang sudah membaca buku The Athena Doctrine, How Women and the men who think like them will rule the future? Ada yang berpikir kalau yang disampaikan penulis sebuah utopia belaka?

Yang jelas, penulis ternama John Gerzema dan tandemnya, pemenang Pulitzer Michael D’ Antonio melakukan riset panjang sebelum menuangkan gagasannya pada buku itu. Gak main-main keduanya hampir empat kali menjelajah keliling dunia, mewawancarai 64 ribu orang di 25 negara. Dari Kolombia ke Bhutan, Berlin ke Burma. Mereka mempelajari bagaimana para inovator mengerahkan kekuatan dan nilai-nilai feminin untuk dapat pulih dari krisis ekonomi dan sosial serta menciptakan masa depan yang lebih penuh harapan.

Di episode ini Devi Asmarani dan Hera Diani juga bertanya kepada sejumlah orang tentang bagaimana persepsi mereka terhadap kepemimpinan perempuan. Selamat mendengarkan!

Credit: Saint Seiya Legend of Sanctuary Trailer (Youtube), Athena – Epic Music Orchestra for the Goddess of War and Wisdom – Ancient Gods ( Composer: Sebastien Angel), Athena Doctrine ( Youtube:Wiley)
Read More
kepemimpinan perempuan pada era kolonial

Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Penulis: Selma Kirana Haryadi

Buat sebagian orang, kepemimpinan perempuan era kolonial mungkin bak ide utopis tentang kesetaraan gender. Bagaimana mungkin Indonesia yang budayanya punya kecenderungan patriarkal, juga saat itu masih dijajah, memberikan ruang bagi perempuan di ruang publik? Ditambah lagi, tokoh besar pejuang kemerdekaan yang selama ini diperkenalkan berbagai instansi didominasi oleh laki-laki.

Tapi kenyataannya, selalu ada peran perempuan Indonesia dalam perjuangan ideologis, meski hampir di semua kasus keterlibatan itu harus direbut dan diperjuangkan mati-matian.

Di masa kolonialisme, perjuangan perempuan diawali di koridor pendidikan. Pada tahun  1900-an, ketika pemerintah kolonial Belanda memberlakukan politik etis sebagai wujud balas budi dan tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan bumiputra. Ada empat kebijakan yang diluncurkan, yakni irigasi (pengairan), imigrasi, dan edukasi. Salah satu perwujudan dari kebijakan edukasi itu adalah pembukaan sekolah modern bagi perempuan.

Satu karakter yang menonjol dari sekolah modern bagi perempuan ini adalah lokasinya selalu dibangun berdekatan dengan wilayah perkebunan, khususnya yang dijadikan sumber pemenuhan kebutuhan industrialisasi perkebunan kolonial. Hal ini tak lain dan tak bukan akal bulus pemerintah kolonial Belanda untuk meraih keuntungan material. Mereka membutuhkan pekerja kerani, atau juru catat, di perkebunan atau kantor usaha perkebunan untuk mendata keluar-masuk barang, serta inventaris. Sehingga, para perempuan disekolahkan untuk diajari baca tulis.

Semula hanya sebagai pelengkap keterampilan di dalam urusan-urusan rumah tangga, bekal ilmu baca tulis itu justru mentransformasi para perempuan Indonesia menjadi manusia kritis. Mereka gencar melakukan perlawanan terhadap adat atau kebiasaan kelompoknya yang menindas dan menomorduakan perempuan. Perjuangan itu dimulai dari perlawanan terhadap hal-hal yang ada di sekitar, seperti praktik poligami. Dari sini kemudian lahir pergerakan-pergerakan perempuan di ranah publik.

Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial: Rasuna Sang Orator

Salah satu tokoh yang menonjol dalam kepemimpinan perempuan era kolonial adalah Rasuna Said, pemimpin perempuan Minang yang gencar menyuarakan semangat kesetaraan gender dan anti-kolonialisme. Gerakan-gerakan yang digagas dan dipimpinnya juga berhasil mengguncang “ketenangan” pemerintah kolonial. Meski tentu, bergerilya ideologi di negara yang masih dijajah dan belum terbiasa melihat geliat perempuan yang vokal dan kritis di ranah publik, melahirkan banyak tantangan bagi Rasuna. Tapi, ia membuktikan buah dan esensi penting dari semangat dan konsistensi untuk membela kemanusiaan.

 Selain aktif di berbagai organisasi dan gerakan berbasis Islam, seperti menjadi pendiri organisasi Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi, Sumatra Barat, Rasuna Said juga aktif bersuara dan bergerak di dunia jurnalisme. Lewat penelitiannya yangberjudul “The Emancipation of Information in Rasuna Said’s Struggle for Women’s Empowerment in Indonesia’ di buku In Search of Key Drivers of Indonesia Empowerment(2017)”, Andri Azis Putra menyebut bahwa Rasuna memiliki tulisan-tulisan yang tajam dan kritis dalam menyuarakan semangat anti-kolonialisme kepada kaum perempuan. Hal itu mengantarkan Rasuna menjadi pemrakarsa sekaligus pemimpin di beberapa surat kabar dan majalah, seperti menjadi pemimpin redaksi di majalah Raya pada tahun 1935, sebuah majalah radikal yang kerap dikecam oleh pemerintah kolonial, Suntiang Nagari, serta majalah mingguan Menara Poetri pada tahun 1937.

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Kepemimpinan Rasuna bukan lantas berjalan lancar tanpa guncangan dari sana-sini, terlebih saat itu perjuangannya selalu mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial. Berkali-kali Rasuna merasakan jatuh-bangun memimpin surat kabar dan majalah yang berakhir tragis karena tangan besi pemerintah kolonial. Pertama, majalah Raya yang dipimpinnya harus bubar karena disebut terlalu vokal. Padahal di bawah kepemimpinan Rasuna, majalah Raya berhasil menjadi salah satu tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Tapi polisi rahasia Belanda mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawannya.

Surat kabar Menara Poetri pimpinannya juga kritis menentang praktik penjajahan di Indonesia dan menyuarakan isu-isu kesetaraan gender serta perjuangan perempuan. Ketajaman pena Rasuna bahkan berhasil membawa Menara Poetri yang berbasis di Medan, Sumatera Utara, beredar hingga terkenal ke berbagai daerah di Indonesia sampai menembus Pulau Jawa, salah satunya di daerah Surabaya.

Kekritisan Rasuna bahkan mengantarkannya menjadi perempuan Indonesia pertama yang dipenjara atas tuduhan ujaran kebencian, karena sering berorasi untuk menentang pemerintahan dan politik praktis Belanda di Indonesia. Jurnalis Rosihan Anwar lewat bukunya Sejarah Kecil: Jilid 1 (2004) menyebut Rasuna Said sebagai perempuan yang cerdik berbicara dan mampu menguasai massa. Dua hal itulah yang menjadikan Rasuna ahli politik sekaligus orator yang kuat.

Soewarni, Sang “Feminis Galak”

Selain Rasuna Said, pada periode yang sama, ada pula pejuang perempuan bernama Soewarni Pringgodigdo yang beraliran sekuler. Alkisah, Kongres Perempuan Indonesia pertama yang dilaksanakan pada tahun 1928 mengecualikan isu politik dan keterlibatan perempuan di ruang publik dari pembahasan mereka. Kongres tersebut memutuskan untuk fokus membahas isu-isu sosial dan domestik. Perserikatan Perempuan Indonesia, asosiasi yang terbentuk di dalam kongres tersebut, juga kemudian mendeklarasikan dirinya netral secara politis dan religiositas. Hal ini membuat pemerintah kolonial merasa “tenang” karena konservatisme dan kenaifan perempuan bumiputera.

Tapi, pada tahun 1930, PPI yang diganti namanya menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII) mulai menjadikan penderitaan perempuan sebagai bahan kajiannya. Mereka mulai menyinggung isu eksploitasi pekerja perempuan dan perdagangan anak dan perempuan. Inilah awal mula gerakan perempuan yang bersifat politis secara eksplisit lahir. Salah satunya  dipengaruhi oleh organisasi perempuan bernama Isteri Sedar yang didirikan oleh Soewarni sendiri.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya yang berjudul Women and The Colonial State (2000) menyebutkan, berbeda dengan kebanyakan organisasi perempuan yang saat itu ada, di bawah kepemimpinan Soewarni, Isteri Sedar secara eksplisit menunjukkan ideologi organisasinya yang feminis-demokratis. Isteri Sedar menerbitkan majalah Sedar, yang memuat tulisan-tulisan mengenai kesetaraan gender, khususnya perlawanan terhadap poligami, kesetaraan peran dalam pernikahan, serta keadilan bagi perempuan di ranah publik dan domestik.

“Hanya orang-orang yang tidak modern dan tidak idealis-lah yang setuju bahwa laki-laki bisa mengikuti nafsu mereka dan mendukung poligami,” kata Soewarni dalam bukunya yang berjudul Perlindoengan dalam Perkawinan (1937).

Dalam salah satu tulisannya yang terbit tahun 1930, Istri Sedar mengkritisi pandangan arus utama mengenai pekerja perempuan, dengan mengatakan bahwa perempuan kelas-pekerja di Indonesia harus bekerja dalam jam-jam yang panjang menjadi pekerja rumah tangga di rumah-rumah untuk mendapatkan uang, dengan konsekuensi meninggalkan anaknya sendiri menderita.

Lewat bukunya yang berjudul Women and The State in Modern Indonesia (2004), Susan Blackburn menyebutkan, Istri Sedar di bawah pimpinan Soewarni juga gencar mengkritik konsepsi ibuisme di Indonesia yang hanya menekankan peran domestik ibu, tanpa banyak memperhitungkan realitas hidup perempuan kelas pekerja yang harus bekerja siang dan malam untuk menghidupi anak dan keluarganya.

Pemberian label galak dan ngegas terhadap para feminis ternyata sudah terjadi sejak zaman perjuangan Soewarni ratusan tahun silam. Seperti dikisahkan Blackburn dalam bukunya yang sama, Soewarni yang sangat membenci poligami dan sejak awal terang-terangan menyuarakannya, pernah berdebat dengan seorang delegasi Permi di dalam Kongres Perempuan Indonesia II tahun 1935. Waktu delegasi Permi itu menyampaikan pandangan setujunya terhadap poligami, Soewarni langsung menyanggahnya. Perdebatan berlangsung sampai suasana memanas dan membuat Soewarni dan delegasi Isteri Sedar lainnya nyaris meninggalkan tempat acara, yang akhirnya berhasil dihentikan panitia setelah menjanjikan bahwa isu persetujuan terhadap poligami itu tidak akan diungkit lagi di dalam kongres.

Di tengah-tengah perdebatan, Soewarni ditanyai mengenai alasan mengapa dirinya sangat menentang poligami, dan bagaimana bila suaminya sendiri memutuskan untuk menikah lagi. Dengan berapi-api, Soewarni menjawab bahwa dia akan “membunuh suaminya, lalu membunuh dirinya sendiri.” Alhasil, oleh banyak pihak, Soewarni disebut perempuan yang galak. Padahal, sikap kerasnya dalam menentang poligami dilandasi oleh keinginan untuk memiliki pernikahan yang aman dan stabil, yang diharapkannya juga bisa dimiliki oleh perempuan Indonesia lainnya.

Read More
kepemimpinan perempuan orde baru

Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru – Salah satu ciri khas rezim Orde Baru adalah penyeragaman, termasuk penyeragaman peran dan gerakan perempuan. Melalui sistem yang dibentuk oleh pemerintah dan penanaman nilai-nilai patriarkal, perempuan dipusatkan di ranah domestik sekalipun celah-celah untuk berkiprah di ranah publik bagi mereka terbuka. Perempuan bisa bekerja, memimpin usaha ataupun organisasi, tetapi peran mereka masih tidak terpisahkan dari predikat “istri” atau “ibu”.

Dalam pemerintahan Soeharto, aktivisme perempuan sangat dibatasi. Lewat organisasi seperti Dharma Wanita dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani), pemerintah mendefinisikan peran perempuan.

Dalam Dharma Wanita, yakni organisasi untuk para istri pegawai negeri sipil, terdapat nilai-nilai bernama Panca Dharma Wanita yang ditanamkan bagi perempuan-perempuan Indonesia: (1) Wanita sebagai istri pendamping suami; (2) Wanita sebagai ibu rumah tangga; (3) Wanita sebagai penerus keturunan dan pendidik anak; (4) Wanita sebagai pencari nafkah tambahan; dan (5) Wanita sebagai warga negara dan anggota masyarakat.

Peran-peran ini berlawanan dengan semangat perjuangan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan progresif pada periode pemerintahan Soekarno. Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010), peneliti Belanda Saskia Wieringa mengungkapkan bahwa Gerwani menentang cara pandang perempuan sebagai pelengkap suami, dan menganggap penting akses pendidikan bagi perempuan.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Sementara itu, terkait Kowani, semula organisasi ini merupakan turunan dari Perikatan Perempoean Indonesia, yaitu badan pemufakatan yang terbentuk setelah Kongres Perempuan I yang kini diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia. Menurut Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011), berbagai kepentingan organisasi-organisasi perempuan dipayungi oleh Kowani pada masa awal berdirinya. Namun saat Soeharto memimpin, independensi Kowani mulai pudar.

Tujuan menanamkan peran tradisional perempuan mencuat dalam pidato Soeharto bertepatan dengan Hari Ibu pada 1978 di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Ia mengatakan, “…betapa pun kemajuan yang ingin dicapai kaum wanita, namun kaum wanita tidak ingin kehilangan sifat-sifat kewanitaan dan keibuannya. Kemajuan wanita Indonesia haruslah berarti penyempurnaan sifat dan kodratnya sebagai wanita, sebagai ibu. Wanita yang kehilangan sifat dan peranan kewanitaan dan keibuannya pasti tidak akan mengalami kebahagiaan sejati.”

Selain Dharma Wanita, juga dibentuk Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang awalnya bernama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga dan sempat berganti menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. Sosialiasi gerakan PKK ini digagas oleh Isriati Moenadi, istri gubernur Jawa Tengah yang menjabat pada tahun 1967, setelah melihat kondisi masyarakat yang mengalami busung lapar.

PKK menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam mengontrol dan membentuk perempuan di level akar rumput. Dalam studi terhadap kelompok PKK di Desa Buniwangi, Jawa Barat, Julia melihat PKK berusaha menciptakan standar perempuan Indonesia ideal lewat berbagai programnya seperti pelajaran mengenai peran perempuan menurut agama Islam, cara berpakaian, memasak, atau menanamkan nilai Pancasila.

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Program-program PKK dirancang sedemikian rupa untuk meneguhkan nilai-nilai patriarkal yang mendorong perempuan tenggelam dalam ranah domestik, seperti urusan pengasuhan atau kesehatan anak dan ibu, serta berpartisipasi mendukung agenda pembangunan lewat penerapan massal program Keluarga Berencana (KB).

Selain melalui dua organisasi ini, pelanggengan domestifikasi perempuan semasa Orde Baru juga tersurat dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974. Dalam bab IV mengenai hak dan kewajiban suami-istri, Pasal 31 Ayat 3 menyebutkan, “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Sementara dalam Pasal 34 Ayat 2 menetapkan bahwa “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Bila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, pihak lainnya bisa mengajukan gugatan ke pengadilan sebagaimana ditulis di Pasal 34 Ayat 3.

Minim Kursi bagi Perempuan, Kecuali Ada Pengaruh Jabatan Suami

Dalam tubuh organisasi Dharma Wanita, perempuan memang bisa menduduki pucuk kekuasaan di sana. Namun hierarki dalam Dharma Wanita senantiasa mengikuti struktur negara sehingga, seperti ditulis Julia Suryakusuma dalam Jurnal Perempuan, organisasi ini tidak lain dari replika negara. Istri menteri akan mengetuai Dharma Wanita pada level kementerian, begitu pula istri-istri pejabat lain hingga level desa. Dengan demikian, posisi perempuan yang memimpin bukan terkait oleh kemampuan personalnya, melainkan posisi suaminya di ranah politik. 

Posisi perempuan yang memimpin semasa Orde Baru bukan terkait oleh kemampuan personalnya, melainkan posisi suaminya di ranah politik. 

Begitu pun dengan PKK. Perempuan istri pejabat wilayah setempat (di tingkat provinsi/kota/kabupaten) yang ditunjuk menjadi pembina maupun pelindung. Masa jabatan Ketua Tim Penggerak PKK tingkat provinsi hingga kelurahan bergantung pada masa jabatan suami masing-masing.

Di luar organisasi-organisasi ini, kepemimpinan perempuan masih jauh dari kata menonjol. Dalam pemerintahan saja, selama Soeharto memimpin, kurang dari sepuluh perempuan pernah menduduki jabatan menteri. Itu pun terbatas pada bidang urusan peranan wanita, sosial, dan pertanian.

Sementara dalam lembaga legislatif, keterwakilan perempuan juga masih sangat minim. Aturan mengenai kuota 30 persen bagi perempuan untuk menjadi wakil rakyat baru muncul di era Reformasi, lewat UU No. 31/2002 tentang Partai Politik, UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD.

Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Peran Ganda, Beban Berlapis

Perempuan yang terlibat dalam PKK didorong untuk menjalankan peran-peran tradisional seiring dengan peran mendukung pembangunan yang digadang-gadang pemerintah. Dalam Modul Jilid 1 Kepemimpinan Perempuan di Desa yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2017 lalu, tertulis bahwa PKK pada awalnya diarahkan untuk mendorong kemajuan perempuan agar dapat memainkan peran gandanya secara baik, yaitu pengelola keluarga, pencari nafkah, dan pelaku pembangunan.

Baca juga: Mengapa Keberagaman dalam Kepemimpinan di Organisasi itu Penting

Peran ganda yang muncul sebagai konsekuensi keterlibatan atau kepemimpinan perempuan era Orde Baru dan dalam organisasi ini mendapat kritik banyak pihak. Dalam agenda pemerintah, khususnya terkait PKK, peran ganda ini justru didukung, atau bahkan dilihat sebagai hal yang wajar dalam upaya pemberdayaan perempuan maupun demi pembangunan negara. Namun penelitian Sari Andajani dkk. yang berjudul “Women’s Leadership in Indonesia: Current Discussion, Barriers, and Existing Stigma” memperlihatkan sisi gelapnya.

Mereka menilai, konsep peran ganda yang beriringan dengan “superwoman” di mana perempuan bisa menjalankan peran publik dan domestik sekaligus, akan mudah sekali membuat perempuan terjebak dalam perasaan tereksploitasi dan terbebani luar biasa. Perempuan yang mengejar hal ini merasakan tuntutan untuk senantiasa berhasil baik di ranah domestik sebagai ibu dan istri yang sempurna, maupun ranah publik.  

Peran ganda juga menjadi problematik karena tolok ukur kesuksesannya yang ambigu, khususnya di ranah domestik. Andajani dkk. menulis, kesuksesan di ranah publik memang ada ukurannya yang cukup jelas, namun di ranah domestik, takaran kesuksesan kerap kali tidak berujung, penuh tuntutan, dan ukuran yang jelas.

Meskipun Orde Baru sudah berakhir, nilai-nilai patriarkal yang dilanggengkan saat itu dan menghalangi kepemimpinan perempuan seperti era Orde Baru untuk berkiprah dan memimpin di ranah domestik, masih sering ditemukan dalam masyarakat. Tumbuh suburnya pandangan ini sampai sekarang menunjukkan keberhasilan dikte Orde Baru terhadap perempuan Indonesia mengenai peranan dan batasan-batasannya. Hal itu dilakukan dengan sangat terstruktur sampai level paling bawah, dan hidup sebagai kesadaran sebagian perempuan yang menurut mereka tidak terbantahkan karena didukung oleh pandangan banyak orang dan institusi lainnya.    

Read More
kantor berbudaya maskulin

Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Penulis: Kanti Pertiwi dan Riani Rachmawati

Kantor Berbudaya Maskulin – Pandemi COVID-19 yang mendera dunia saat ini telah berdampak pada seluruh sendi kehidupan, termasuk kehidupan para pekerja perempuan. Beberapa laporan dan studi menyoroti bagaimana pekerja perempuan di seluruh dunia semakin terbebani selama pandemi karena mereka kini harus menyelesaikan pekerjaannya sambil melakoni peran-perannya sebagai ibu rumah tangga.

Riset yang sedang penulis pertama (Kanti Pertiwi) lakukan menunjukkan kondisi yang serupa juga dialami oleh pekerja perempuan di Indonesia. Pengumpulan data berlangsung sejak Juni hingga Agustus 2020 dengan melibatkan total 96 perempuan pekerja kantoran yang berusia antara 20 dan 50 tahun.

Hasil wawancara dan penelusuran dalam riset tersebut menunjukkan bahwa perempuan pekerja menghadapi beban mental yang cukup berat selama pandemi. Kondisi tersebut bertambah buruk pada perempuan yang bekerja di kantor yang mengedepankan perspektif laki-laki dan sering mengabaikan kebutuhan perempuan. Kami menyebutnya sebagai organisasi maskulin.

Kantor Berbudaya Maskulin: Beban Mental Bertambah

Hampir setengah populasi Indonesia adalah perempuan, namun tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia masih rendah yaitu 53 persen pada 2019. Artinya, dari seluruh perempuan usia produktif, hanya setengahnya yang bekerja. Hampir 40 persen pekerja perempuan bekerja di sektor formal termasuk di dalamnya pekerja kantoran.

Riset yang penulis pertama lakukan terhadap pekerja perempuan kantoran menunjukkan mayoritas responden riset mengakui bahwa beban mental mereka bertambah selama pandemi. Mereka harus menyelesaikan pekerjaan kantor sambil mendampingi anak belajar dari rumah pada siang hari.

Belum lagi berurusan dengan tugas-tugas rumah tangga yang biasa mereka pikul. Situasi konflik dan emosi-emosi negatif dan menjadi hal yang jamak dirasakan perempuan.

Pada malam hari, beberapa perempuan mengaku harus begadang hingga larut untuk memenuhi permintaan atasan yang sejak munculnya pandemi semakin tidak mengenal batas waktu.

Bekerja dari rumah kini artinya bekerja kapan saja di mana saja nyaris tanpa henti. Hal ini diperparah dengan asumsi bahwa pekerja banyak yang tidak produktif dan bermalas-malasan ketika bekerja dari rumah selama pandemi.

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Ketiadaan ruang kerja khusus di rumah serta keterbatasan gawai dan akses internet turut membuat kondisi semakin rumit. Kebijakan memberikan opsi kepada ibu yang punya anak di bawah lima tahun untuk bekerja dari rumah tapi tidak untuk para bapak, malah semakin menambah beban para perempuan.

Namun, meski dengan beban mental yang bertambah, tingkat kebahagiaan perempuan cukup baik. Mayoritas perempuan mengakui bahwa mereka cukup bahagia bisa bekerja dari rumah selama pandemi karena adanya kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu bersama anak-anak di rumah.

Kebersamaan bersama anak berkontribusi besar dalam membangun pengalaman positif bagi perempuan terutama bagi mereka yang bekerja di kota besar seperti Jakarta. Kebanyakan pekerja perempuan kantoran di Jakarta harus menghabiskan banyak waktu untuk melaju.

Temuan yang terkesan kontradiktif tersebut menggarisbawahi pentingnya memahami pengalaman subjektif perempuan misalnya terkait bagaimana mereka menilai karier dan peranan mereka di keluarga.

Sebagian perempuan memandang bahwa beban tambahan tersebut bukan sesuatu yang menjadi masalah karena hal tersebut sejalan dengan ideologi gender tradisional yang mengajarkan bahwa laki-laki seharusnya berperan sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengelola rumah tangga. Sementara, sebagian perempuan lainnya melihat pentingnya menegosiasikan pembagian tugas dan mempertanyakan ideologi tersebut.

Tekanan dari Kantor yang Maskulin

Beban perempuan semakin berat ketika mereka harus bekerja untuk organisasi, perusahaan, atau kantor berbudaya maskulin. Di sana, alat ukur produktivitas dan beban kerja tidak mengalami penyesuaian meski dalam kondisi wabah.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Perempuan tak jarang berada dalam situasi terjepit antara harus melakukan pekerjaan yang datang, di saat ia juga harus berperan sebagai istri dan ibu di keluarga. Mereka juga dituntut selalu tampil prima di layar daring dan mempertahankan identitas profesional tertentu, dan harus mampu melakoni berbagai tugas sekaligus pada saat yang bersamaan.

Para perempuan juga mengeluhkan adanya mekanisme pengawasan yang berlebihan dan melanggar batas-batas privasi dan kemanusiaan selama bekerja dari rumah. Para pekerja, baik perempuan maupun laki-laki, harus mengisi kehadiran secara daring dan mengaktifkan kamera untuk menunjukkan lokasi real-time mereka. Sedikit saja kendala teknis dapat berakibat pada dipotongnya penghasilan.

Studi terdahulu mengungkap bagaimana keberadaan organisasi maskulin dan praktik-praktik represifnya pada pekerja perempuan tidak dapat dilepaskan dari warisan kolonialisme yang berdampak pada lingkungan kerja yang tidak ramah perempuan.

Proses kolonialisme turut menyebarkan paham patriarki yang mengistimewakan laki-laki dibanding perempuan. Kolonialisme yang berkelindan dengan kapitalisme berkontribusi pada praktik kerja yang meminggirkan perempuan.

Kolonialisme juga menciptakan kelas-kelas di antara pekerja perempuan itu sendiri. Hal ini membuat ada sebagian perempuan yang menikmati penghasilan dan kondisi kerja yang relatif lebih baik. Sementara, perempuan-perempuan yang dikategorikan sebagai pekerja dengan keterampilan rendah seperti para pekerja pabrik cenderung bernasib sebaliknya.

Perlunya Regulasi

Indonesia adalah salah satu negara yang paling ketat mengatur ketenagakerjaan melalui ratifikasi 19 konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO). Perlindungan terhadap pekerja perempuan diatur dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Dalam UU tersebut, hak-hak perempuan untuk hamil, mendapatkan cuti melahirkan, cuti keguguran, dan menyusui diatur.

Baca juga: Beban Timpang antara Ibu dan Ayah dalam Pendampingan Belajar dari Rumah

Namun sayangnya, selama pandemi pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan peraturan yang mengikat mengenai kondisi kerja, baik di sektor swasta maupun di sektor pemerintah sendiri, apalagi khusus mengatur tentang pekerja perempuan.

Peraturan yang dikeluarkan selama ini hanya terkait tentang gaji dan jaminan sosial buruh saat pandemi. Sementara, kebijakan terkait kesehatan dan kondisi kerja pekerja selama COVID-19 tidak diatur dengan tegas, hanya berbentuk surat edaran dan sangat terbatas pelaksanaannya karena bergantung pada perusahaan atau pengusahanya. Akibatnya banyak hak-hak pekerja yang tidak terpenuhi, terlebih para pekerja perempuan.

Untuk mengatasinya, peran serikat pekerja perlu dioptimalkan untuk melindungi hak-hak pekerja pada masa krisis. Namun, struktur serikat pekerja yang saat ini masih didominasi laki-laki. Karena itu, perempuan harus lebih aktif dalam kegiatan dan kepengurusan serikat pekerja untuk menyampaikan aspirasinya. Jika organisasi tempat perempuan bekerja belum memiliki serikat pekerja, maka mereka harus memulainya.

Pada tataran pembuat kebijakan, pemerintah harus membuat aturan yang bisa mengubah praktik-praktik ketenagakerjaan yang maskulin menjadi lebih peka terhadap berbagai isu yang dihadapi oleh pekerja perempuan. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong lebih banyak studi yang lebih fokus pada isu gender di kantor berbudaya maskulin. Dengan adanya studi yang komprehensif, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang berbasis bukti untuk melindungi pekerja perempuan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.


Kanti Pertiwi adalah pengajar bidang Organisation Studies, Universitas Indonesia. Riani Rachmawati adalah pengajar bidang Hubungan Industrial dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Universitas Indonesia.

Read More

Episode 2 – Bye Kepemimpinan Macho!

Era kepemimpinan macho sudah tamat. Perempuan-perempuan yang teropresi dalam sebuah negara bernama Gilead itu melakukan perlawanan. Anda sudah membaca novel The Handmaid’s Tale karya Margaret Atwood, atau menonton serial televisi dengan judul yang sama? Film ini memang dipenuhi penggambaran nilai-nilai maskulinitas tradisional yang ditegakkan dan ditentukan oleh karakter-karakter laki-laki di dalam sebuah rezim. Nah, dalam kehidupan nyata, perlawan perempuan terhadap ketidakadilan dan diskriminasi bisa kita temukan dalam sejarah.

Selengkapnya kita simak cerita Devi Asmarani dan Hera Diani di episode ke dua How Woman Lead.
Selamat mendengarkan!

Credit: The Handmaid’s Tale (TV Series)
Read More

‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Penulis: Siti Parhani

Serial Unbelievable (2019) di Neflix, yang diangkat dari kisah nyata, memperlihatkan bagaimana nilai-nilai feminin dalam kepemimpinan memberikan hasil yang berbeda saat menangani kasus pemerkosaan berantai. Dalam memecahkan kasus yang pelik karena tidak adanya barang bukti, detektif laki-laki digambarkan cenderung cepat mengambil kesimpulan dan malah menyalahkan korban berbohong, sampai akhirnya korban dipaksa mengaku dirinya tidak diperkosa dan bahwa laporannya adalah palsu.

Sementara itu, ketika kasus tersebut diambil alih oleh detektif perempuan, mereka berempati, jujur, dan percaya pada korban. Kemudian mereka memilih berkolaborasi dengan sesama detektif perempuan yang sedang menangani kasus serupa, hingga akhirnya kasus itu bisa terungkap dan si pemerkosa diciduk lalu mendekam di penjara.

Ini sebuah contoh kecil dan anekdotal, namun beresonansi dengan situasi di kehidupan nyata. Hal ini tidak hanya menyangkut penanganan kekerasan seksual, tapi mengenai kepemimpinan perempuan. Bagaimana nilai-nilai feminin itu penting dalam kepemimpinan yang efektif.

Dalam penggalan cerita itu terlihat jelas bagaimana penanganan kasus bisa berujung sangat berbeda ketika mengedepankan empati, kolaborasi, dan kesabaran—sifat-sifat yang secara umum dikaitkan dengan perempuan, atau sifat-sifat “feminin”. Hal ini bertolak belakang dengan sikap arogan, tidak berempati, dan langsung memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan mendalam, yang dianggap sebagai sifat-sifat “maskulin”.

Perbedaan penanganan masalah dan hasilnya ketika menggunakan sifat-sifat tersebut mendorong John Gerzema dan Michael D’Antonio dari Amerika Serikat melakukan survei soal ini, yang hasilnya kemudian menjadi buku berjudul The Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule the Future (2013).

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Gerzema adalah CEO dari firma penelitian dan pemasaran The Harris Poll, yang berfokus pada ilmu sosial, sementara D’Antonio adalah penulis dan jurnalis. Pada 2010, keduanya merilis hasil penelitian di puluhan negara tentang krisis ekonomi global 2008 yang berjudul Spend Shift. Mereka menemukan fakta bahwa keberhasilan sebagian besar pebisnis, pemimpin, dan creator dunia dalam menangani krisis adalah karena menjalankan nilai-nilai yang secara luas dianggap feminin itu tadi. Padahal sebagian besar responden yang mereka teliti adalah laki-laki.

Keduanya melihat bahwa orang-orang yang beradaptasi dengan masa-masa kelam karena krisis ekonomi global 2008 lebih pragmatis dalam menjalani hidup, dan kurang mengejar “status” atau “jabatan”. Orang-orang ini sering disebut sebagai Silent Generation, yang menggapai kebahagiaan tanpa standar-standar umum soal kekayaan, jabatan, maupun koleksi properti.

Dalam Spend Shift disebutkan pula bahwa anak-anak muda sekarang ini lebih mengagumi tipe-tipe orang seperti Silent Generation itu karena fleksibilitas mereka. Gerzema dan D’Antonio kemudian mulai memikirkan kemungkinan bahwa nilai-nilai feminin, yang sering kali dianggap bukan karakteristik unggul dan bahkan menghambat keberhasilan kepemimpinan, justru merupakan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin laki-laki maupun perempuan di masa depan.

Fakta tersebut kemudian mendorong mereka untuk memperdalam penelitiannya, dengan melakukan survei kepada 54 ribu orang yang terdiri dari CEO, pemimpin negara, diplomat, ilmuwan, pendidik, pemimpin militer, dan pebisnis di 13 negara lintas benua Amerika, Eropa, dan Asia, termasuk Indonesia.

Selama dua tahun, Gerzema dan D’Antonio tidak hanya bertanya tentang aspek kesuksesan secara angka kepada orang-orang yang mereka temui. Mereka juga meneliti, apa yang membuat dunia menjadi lebih berarti dan membuat orang-orang bahagia selama proses pemulihan seusai krisis ekonomi.

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Dari responden tersebut, hampir 86 persen orang merasa terlalu banyak kekuatan ada di tangan institusi besar dan korporasi. Sebanyak 74 persen merasa dunia semakin tidak adil dan 51 persen responden menghawatirkan masa depan anak-anak mereka kelak.

Hasil survei dan analisis ini membuat Gerzema dan D’Antonio sampai pada sebuah kesadaran bahwa dunia memang sedang mengalami kecemasan tentang kepemimpinan.

Lahirlah The Athena Doctrine, yang kemudian langsung masuk ke daftar buku terlaris oleh The New York Times pada 2012. Buku ini berhasil menjabarkan apa itu nilai-nilai maskulin dan feminin secara lebih ilmiah dan nyata karena menekankan pada data.

Athenasendiri diambil dari nama dewi Yunani, yang disebut sebagai pemimpin yang mempunyai sifat empati, fleksibel, dan bijak, serta berintegritas, tegas, dan percaya diri namun tidak melupakan kewajiban untuk merangkul sesama.

Nilai-nilai feminin, yang sering kali dianggap bukan karakteristik unggul dan bahkan menghambat keberhasilan kepemimpinan, justru merupakan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin laki-laki maupun perempuan di masa depan.

Buku Athena Doctrine Serta Kekecewaan pada “Kepemimpinan Maskulin”

Di tengah krisis karena pandemi seperti sekarang, dengan anjloknya perekonomian, pekerja banyak yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja), dan sejumlah bisnis yang gulung tikar, kita masih sering disuguhi pemberitaan tentang para pemimpin yang korupsi, terlibat skandal pelecehan seksual, atau mengeluarkan pernyataan tidak berfaedah.

Isu-isu kepemimpinan laki-laki yang arogan ini menjadi subjek survei The Athena Doctrine. Hampir 57 persen orang dewasa, menurut buku itu, mengatakan tidak puas dengan kinerja pemimpin laki-laki di negaranya. Dan yang paling menarik 59 persen generasi Milenial secara keseluruhan tidak puas dengan kepemimpinan laki-laki.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Generasi Milenial cukup penting disebutkan di sini, karena generasi ini tumbuh dengan lingkungan yang lebih terbuka, toleran, dan tidak selalu terpaku pada peran gender normatif. Mereka lebih cenderung mengapresiasi nilai feminitas sebagai kemampuan, serta menerima kepemimpinan perempuan di masyarakat. Gerzema dan D’Antonio menemukan bahwa generasi ini lebih tertarik membangun koneksi dan komunitas dibandingkan menumpuk uang dan meraih jabatan.

“Hampir 66 persen orang dewasa menjawab jika dunia akan lebih baik jika laki-laki mempunyai pola pikir seperti perempuan. Sebanyak 63 persen laki-laki setuju, dan 65 persen generasi Milenial juga setuju,” tulis Gerzema.

Hasil survei di setiap negara sebagian besar setuju bahwa nilai-nilai feminin lebih berkorelasi dengan kebahagiaan. Para responden percaya, salah satu kunci menghadapi kondisi “new normal” pasca-pandemi adalah nilai kesabaran, loyalitas, dan fleksibilitas.

Gerzema dan D’Antonio percaya bahwa model kepemimpinan yang lebih ekspresif, lebih terbuka dan jujur dalam mengekspresikan perasaan serta emosinya, serta menghadirkan solusi dalam perspektif yang beragam, lebih diharapkan oleh masyarakat. Saat tengah menghadapi krisis misalnya, banyak pihak yang lebih ingin terkoneksi dengan pemimpin secara personal dan saling menguatkan satu sama lain. Hal ini lebih diinginkan daripada pemimpin yang menyembunyikan agendanya dan mengedepankan ideologinya sendiri–karakteristik yang sering diasosiasikan dengan nilai maskulin.

Siti Parhani merupakan reporter Magdalene. Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.

Read More

Episode 1 – Giliran Perempuan Memimpin

Laki-laki lebih pantas jadi pemimpin karena perempuan terlalu emosional? Itu pendapat yang so yesterday!

Sudah banyak sekali perempuan yang membuktikan mereka bisa menjadi pemimpin yang baik dan sangat efektif. Artinya, semua perempuan punya peluang berhasil memimpin, meskipun menghadapi tantangan berbasis gender dalam kehidupan personal maupun profesional mereka. Salah satu kuncinya adalah kebijakan tempat kerja yang inklusif, yang tidak hanya membantu karier perempuan, tetapi juga mendatangkan keuntungan lebih bagi perusahaan atau institusi.

Mengawali podcast How Woman Lead, Devi Asmarani dan Hera Diani membahas problem umum yang kerap dihadapi perempuan pekerja dan bagaimana hal itu mestinya direspons. Selamat mendengarkan!

Credit:
Christine Lagarde in conversation with Women In The World founder
and CEO Tina Brown (YouTube: Women in the World, 2018)
Read More
mitos soal perempuan

Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Kerja

Mitos Soal Perempuan – Pada akhir Juli lalu, sejumlah dokter perempuan memublikasikan foto mereka berbikini di media sosialnya dengan tagar #MedBikini. Foto-foto tersebut diunggah sebagai reaksi atas sebuah riset yang dirilis baru-baru ini di Journal of Vascular Surgery.

Dalam jurnal yang dibuat oleh para peneliti laki-laki tersebut, dinyatakan bahwa konten media sosial tak profesional seorang dokter bisa memengaruhi pilihan pasien terhadap dokter, rumah sakit, dan fasilitas medis yang hendak mereka akses. Salah satu konten tak profesional yang dinyatakan dalam riset tersebut adalah memakai pakaian dalam, kostum Halloween, dan pose provokatif dalam balutan baju renang atau bikini.  

Dilansir The Independent, sederet dokter perempuan membantah hal tersebut dan merasa memakai bikini adalah hal normal yang bisa dilakukan siapa saja, apalagi jika sedang berlibur. Salah satu di antara mereka menyatakan pula, “Ini [memakai bikini] tidak membuatku tak profesional atau tidak sepandai atau sesimpatik kolega laki-lakiku”. Seiring kecaman di media sosial, editor jurnal tersebut pun meminta maaf karena memublikasikan riset yang dianggap seksis oleh banyak orang tersebut.

Pandangan perempuan tidak profesional bila menunjukkan sejumlah konten media sosial seperti kasus tadi, serta berbagai anggapan atau mitos soal perempuan di dunia kerja tidak jarang menjadi hambatan untuk mereka berkarier atau menempati posisi lebih tinggi di kantornya. Ketika perempuan menunjukkan kepercayaan diri dan bertindak mengatur rekan kerjanya yang lain sebagai bagian dari pekerjaannya, ia sering dicap bossy, resek, atau cerewet, tetapi tidak demikian dengan laki-laki.

Hal ini terlihat dari cerita Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia mengenai pengalaman putrinya di tempat kerja.

Baca juga: Mengapa Keberagaman dalam Kepemimpinan di Organisasi itu Penting

“Anak saya cerita, ‘saya dibilang bossy sama temen-temen, jadi ya sudahlah, saya enggak mau lagi menggerakkan temen-temen, ngatur-ngatur seperti ini’. Padahal, dia punya jiwa kepemimpinan. Coba kalau itu anak laki-laki yang begitu, anggapannya ‘wah ini nih, calon pemimpin masa depan’. Itu anggapan dari kecil yang mesti kita dobrak,” ujar Dini.

Berikut ini adalah beberapa mitos atau generalisasi keliru lainnya soal perempuan di dunia profesional.

Karier Nomor Dua Setelah Rumah Tangga dan Anak

Ada perempuan yang memang menganggap karier nomor dua setelah rumah tangga dan anak, dan itu sah-sah saja. Tetapi malangnya, contoh-contoh dari perempuan yang mendahulukan keluarga menjadi bahan generalisasi untuk semua perempuan di dunia karier. Kenyataannya, perempuan juga bisa sama level dedikasinya dengan laki-laki di pekerjaan, sama-sama bisa berorientasi pada kariernya. Seiring dengan itu, dari segi kualitas dan kuantitas kerja yang dihasilkan pun juga bisa setara.

Ketika ada perempuan yang menonjol kariernya, orang-orang justru mengomentari masalah pribadinya, alih-alih berfokus pada pencapaiannya di pekerjaan. Misalnya, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE) Maya Juwita pernah ditanya perihal status pernikahannya.

Saya kan memang belum menikah. Lalu saya ditanya, belum menikah? Nanti keburu expired, loh. Saya merasa seperti sekaleng kornet, ada expiry date-nya. Oke memang jam biologisnya ada, tapi apakah nilai keperempuanan saya berkurang hanya karena saya memutuskan tidak punya anak? Enggak lah,” kata Maya.

Anggapan perempuan akan lebih mendahulukan keluarganya juga sering menghambat mereka untuk mendapat kesempatan promosi atau kerja di tempat jauh. Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena ada perempuan yang punya dukungan di rumah tangga, baik dari pasangan atau support system lain, sehingga berkarier dan mengejar capaian-capaian di dalamnya bisa beriringan dengan menjalankan rumah tangga. 

Read More