Gaya Kepemimpinan Feminis

Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Ditulis oleh Patresia Kirnandita
Ilustrasi oleh Karina Tungari

Kendati banyak bermunculan pemimpin-pemimpin perempuan, omongan negatif mengenai mereka masih kerap ditemukan dibanding hal-hal positif yang ditangkap dari gaya kepemimpinan feminis. Namun bagi beberapa orang yang kami wawancarai, dipimpin oleh seorang perempuan mendatangkan beberapa keuntungan.

“Rezky”, seorang karyawan swasta, misalnya, mengatakan lebih suka dipimpin oleh bos perempuan karena efisiensi mereka.

“Di tempat gue bekerja sekarang, bos gue perempuan, manajer-manajernya mayoritas juga perempuan. Gue melihat, pemimpin perempuan itu lebih terukur dan terarah, dan gue suka yang terukur dan terarah,” kata Rezky.

Sementara menurut “Roland” yang bekerja di lembaga non-pemerintah, pemimpin perempuan sebagaimana yang ia temui cenderung lebih mumpuni dibandingkan laki-laki karena biasa menghadapi stigma dan menerobos batasan-batasan tradisional masyarakat.

“Jadi mereka cenderung punya sifat berani mengambil risiko, tapi juga di satu sisi mempertimbangkan dengan baik langkahnya. Hati-hati dan lebih detail. Mereka bisa sangat tegas, tapi juga mengayomi dan sensitif. Ini kualitas yang langka kita temukan di pemimpin laki-laki. Kepemimpinan perempuan itu lebih kolaboratif dan konstruktif,” jelas Roland.

Senada dengan dua orang ini, “Selfi” pun merasa pemimpin perempuan lebih cenderung membangun kesadaran kolektif yang mendorong orang bersama-sama bertindak demi kebaikan diri sendiri dan semua oran,g dibanding berfokus pada keinginan mendominasi atau memaksakan kehendak.

“Ini terlihat saat saya dipimpin mulai oleh mama saya sendiri, ketua OSIS saya, sampai ketua yayasan saya sekarang. Mereka bisa menyeimbangkan antara kinerja profesional dan urusan personal,” ucap perempuan yang berprofesi sebagai wartawan ini.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia soal Kepemimpinan Perempuan

Ia menambahkan, sekalipun ada teman-temannya yang menilai bosnya galak dan agak demanding, ia masih bisa melihat sisi positif dari gaya kepemimpinan bosnya yaitu punya kepedulian yang tinggi.

Gaya Kepemimpinan Feminis

Dari cerita-cerita para pegawai ini, kita dapat menangkap sejumlah sifat yang dilekatkan dengan gaya kepemimpinan feminis yang membuat mereka lebih senang berada di bawah komandonya. Namun, selain sifat-sifat feminin, kita juga perlu mengenal gaya kepemimpinan feminis yang bisa mendatangkan banyak keuntungan dalam kehidupan berorganisasi.

Jika ditilik dari definisinya, ada bermacam-macam pendapat mengenai kepemimpinan feminis. Akademisi dan aktivis India, Srilatha Batliwala, dalam tulisannya “Feminist Leadership for Social Transformation: Clearing the Conceptual World” tahun 2010 merangkum beberapa definisi sejumlah feminis mengenai hal ini.

Beberapa di antaranya adalah bahwa kepemimpinan feminis memiliki agenda untuk membangun penilaian diri perempuan untuk memperkuat kepemimpinannya, juga agenda untuk membekali perempuan dengan kemampuan, sumber daya, dan akses untuk mengambil keputusan sehingga mereka bisa punya kekuatan untuk membuat perubahan dalam komunitasnya.

Pengalaman Vice Chairwoman PT Martha Tilaar Group, Wulan Tilaar menunjukkan hal ini. Ia menyatakan bahwa perusahaannya memikirkan bagaimana industri kecantikan bisa membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi para perempuan agar mereka bisa mandiri dan percaya diri. Caranya adalah dengan membekali mereka dengan seperangkat kemampuan tertentu yang menurut Wulan merupakan senjata bagi para perempuan tersebut.

Read More
kepemimpinan perempuan

Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan Perempuan – “Setelah 35 tahun berkarier di politik Islandia, saya menyimpulkan bahwa perempuan umumnya lebih baik dari pada laki-laki dalam memastikan keadilan di masyarakat. Dunia akan menjadi lebih baik jika jumlah perempuan dan laki-laki dalam memimpin setara. Kebenaran teori tersebut saya buktikan di tahun 2009, ketika saya menjadi perdana menteri Islandia yang sedang menghadapi masa kekacauan ekonomi yang sangat parah.”

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Johanna Sigurdardotti, mantan perdana menteri Islandia yang berperan besar dalam pemulihan ekonomi negara tersebut, menyusul krisis finansial terburuk pada 2008.

Dalam tulisannya yang berjudul Give Women a Chance, and They Will Change The World di The New York Times, Sigurdardotti menggambarkan betapa buruknya situasi yang harus ia hadapi saat krisis ekonomi melanda Islandia. Sebagian besar orang kehilangan tabungan mereka. Utang tanggungan keluarga meningkat hingga proporsi yang tidak terkendali. Tingkat penggangguran naik drastis dari 2,5 persen ke angka 7,1 persen hanya dalam jangka waktu lima bulan. Perekonomian negara yang disebut The Land of Fire and Ice itu semakin meradang dengan inflasi yang mencapai 11,6 persen. Sebagai negara kecil dengan populasi hanya 330.000 orang, Islandia pada waktu itu berada di ambang kebangkrutan.

Malapetaka finansial tersebut dimulai sejak liberalisasi ekonomi Islandia pada 1990-an. Waktu itu, Islandia yang bergantung pada pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan mulai beralih pada sektor manufaktur, jasa, dan pariwisata. Pada 1994, Islandia memutuskan bergabung dengan European Economic Area (EEA), yang ternyata cukup mempengaruhi peningkatan ekonomi negara itu secara signifikan. Pada 2003, dunia perbankan berubah setelah mantan Perdana Menteri Davio Oddson yang sekaligus merangkap Gubernur Bank Sentral Islandia melakukan privatisasi tiga bank milik negara yaitu Lansbanki, Glitnie, dan Kaupthing.

Bank-bank tersebut awalnya meraup sukses besar dan membuka cabang-cabang baru di Inggris, Belanda, dan Jerman. Proses tersebut membuat pasar domestik Islandia semakin melejit, sampai Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Islandia di tahun 2007 menyentuh angka US$21.294 miliar. Islandia kemudian dinobatkan oleh PBB sebagai tempat terbaik untuk hidup di tahun tersebut.

Semua pencapaian itu sirna seketika saat krisis finansial global melanda pada 2008, yang dipicu kredit macet di pasar global. Islandia yang mengandalkan sektor perbankan langsung mengalami dampak besar karena pemasukan bank terbesar berasal dari pinjaman jangka pendek. Dalam waktu singkat ketiga bank tersebut dinyatakan bangkrut dan segera di nasionalisasi oleh pemerintah Islandia.

Saat pemerintah sedang kalang kabut, lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) menawarkan dana talangan, tentunya dengan bunga yang tinggi. Geir Haarde, Perdana Menteri Islandia saat itu, tak berpikir panjang dan langsung menyetujui proposal IMF. Rakyat Islandia tidak tinggal diam. Mereka menggelar aksi protes dengan turun ke jalan membawa panci dan alat-alat masak lainnya, menuntut pemerintah untuk mundur. Peristiwa ini dinamai dengan “Revolusi Panci” dan berhasil membuat Geir Haarde mungundurkan diri.

Pemerintah Islandia berbenah. Mereka tidak ingin lagi dipimpin oleh laki-laki sembrono yang tamak dan hanya mementingkan keuntungan pendapatan negara, sementara kesejahteraan rakyat dan kesenjangan sosial yang harusnya diprioritaskan luput dari perhatian.

Read More
kepemimpinan perempuan di organisasi

Mengapa Keberagaman dalam Kepemimpinan di Organisasi itu Penting

Keberagaman dalam Kepemimpinan – Di berbagai bidang pekerjaan, kendati partisipasi perempuan telah meningkat dari waktu ke waktu, persentase mereka yang menjadi pemimpin masih jauh di bawah laki-laki.

Di bidang pendidikan, misalnya, para peneliti dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) menyatakan bahwa dari total sekitar 1,4 juta guru SD di Indonesia, hampir satu juta di antaranya adalah perempuan, atau hampir 70 persen. Namun ketika berbicara soal perempuan kepala sekolah, hanya sepertiga SD yang memiliki kepala sekolah perempuan. Di madrasah, jumlahnya bahkan kurang dari 20 persen.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

Berikutnya, di bidang kesehatan. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), kendati perempuan mendominasi jumlah tenaga kesehatan, khususnya profesi perawat, hanya sedikit dari mereka yang menduduki posisi pemimpin dalam sistem kesehatan.

Pada akhir 2019, peneliti dari Universitas Airlangga melakukan riset terhadap 352 pejabat publik yang bekerja di organisasi dinas kesehatan di dua provinsi. Ia menemukan bahwa meskipun perempuan dan laki-laki tenaga kesehatan memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang sama, banyak pemimpin perempuan di bidang kesehatan yang jenjang kariernya terhenti sampai tingkat kepala seksi saja. Sementara, pemimpin laki-laki bisa melangkah sampai level kepala bidang hingga kepala dinas.

Tidak hanya itu, jika melihat dari sisi pemerintahan, pemimpin perempuan setingkat menteri masih kalah jauh jumlahnya dibanding laki-laki. Sampai sekarang, setidaknya Indonesia telah memiliki 20 orang menteri kesehatan, tetapi hanya empat di antaranya yang perempuan.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Dalam laporan Women in Business 2020 yang dirilis Grant Thornton International, firma akunting dan pajak internasional, disebutkan bahwa Indonesia menempati urutan keempat dalam jumlah perempuan di posisi manajemen senior dengan angka 37 persen. Hal ini dipandang sebagian pihak sebagai suatu prestasi dalam mewujudkan kesetaraan gender di tempat kerja.

Namun, Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia yang bergerak di bidang pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan, persentase tersebut dikatakan terlalu optimistis. Ia memandang, di level teratas pemimpin perusahaan, hanya sekitar lima persen perempuan yang menyandang jabatan seperti direktur atau komisaris.  

Adanya budaya yang menempatkan tanggung jawab lebih besar kepada perempuan untuk urusan rumah tangga menjadi kendala yang kerap kali menghambat perempuan menjadi seorang pemimpin atau mencapai level tinggi dalam tangga kariernya.

Selain itu, sekalipun seorang pekerja perempuan masih lajang dan mendapat tawaran posisi karier lebih tinggi, banyak orang tua yang merasa khawatir atau enggan bila anaknya ditempatkan di lokasi yang jauh dari rumah sehingga kesempatan itu akan dilewatkannya. 

Read More