Gaya kepemimpinan yang secara umum dianggap baik adalah gaya kepemimpinan maskulin dan tegas. Hal ini juga karena posisi-posisi kepemimpinan masih diisi sebagian besar oleh laki-laki dengan gaya maskulin, sehingga kepercayaan umum adalah bahwa kepemimpinan yang tegas dan maskulin itu lebih efektif. Padahal pandangan semacam itu terbukti keliru. Salah satu podcast Indonesia berjudul How Women Lead memberikan pemaparan panjang soal ini.
Dalam masyarakat, gaya kepemimpinan maskulin lebih akrab ditemui sehari-hari, padahal belum tentu lebih efektif dalam memimpin sebuah perusahaan, komunitas, atau gerakan.
Berbeda dari kepemimpinan maskulin seperti yang kita lihat dari beberapa pemimpin dunia saat ini, kepemimpinan feminin memiliki ciri membangun penilaian diri perempuan untuk memperkokoh kepemimpinannya, serta membekali mereka dengan kemampuan, sumber daya, dan akses sehingga mereka dapat membuat sebuah perubahan untuk komunitasnya.
Baca Juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan
Selain itu, kepemimpinan feminin lebih berfokus pada redistribusi kekuasaan serta tanggung jawab. Tujuan lain dari gaya kepemimpinan ini alih-alih berfokus pada kompetisi, ia lebih mengutamakan kerja sama dan membangun relasi, sehingga terbentuklah tim yang solid.
Gaya kepemimpinan feminin terbukti lebih efektif karena memiliki spektrum yang patut diseimbangkan. Sebagai seorang pemimpin yang baik, tentu saja dalam memimpin tidak boleh hanya terpatok dengan satu gaya saja. Seorang pemimpin perlu menyeimbangkan antara gaya feminin serta maskulinnya.
Di kehidupan nyata, sudah banyak sekali contoh-contoh kasus kegagalan sebuah perusahaan, komunitas, bahkan satu negara akibat gaya kepemimpinan super maskulin. Contoh paling baru bisa kita lihat bagaimana kegagalan Amerika Serikat dan Brasil menangani pandemi COVID-19 ketika awal-awal virus tersebut menyebar. Nah sebelum ini, sebetulnya ada contoh nyata banget ini bagaimana kepemimpinan macho atau maskulin menghancurkan sebuah negara, yakni di Islandia.
Pada 2008, ketika seluruh dunia mengalami krisis ekonomi, Islandia menjadi salah satu negara yang paling terimbas krisis tersebut. Nilai tukar mata uang melemah, angka pengangguran melonjak, bahkan pasar sahamnya karam. Lebih parah lagi, tiga bank utama di negara tersebut, Kaupthing, Glitnir dan Landsbankinn dibiarkan gagal.
Dalam situasi yang sangat genting itu, ada satu perusahaan investasi yang tidak terkena imbas krisis keuangan besar itu, yakni Audur Capital. Padahal perusahaan ini baru saja setahun berdiri, dibentuk oleh dua orang perempuan, Halla Tómasdóttir dan Kristín Pétursdóttir.
Baca Juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan
Ada empat kunci keberhasilan dari perusahaan tersebut dalam melewati krisis itu. Dalam Ted Talk di London, Tomasdottir menyampaikan bahwa pertama, kita harus menyadari risiko. Tomasdottir melihat ada perbedaan antara menghindari risiko, tidak mau mengambil risiko, dan menyadari risiko yang akan dihadapi, yang berarti tidak ingin mengambil risiko yang belum sepenuhnya dipahami.
Kedua, komunikasi publik yang baik. Tomasdottir mengatakan para pemimpin harus berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat soal aspek bagus dan aspek buruk dalam mengambil keputusan dan hasilnya. Hal ini penting dilakukan agar selamat dari krisis.
Ketiga, kita boleh memikirkan laba tapi tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan. Tomasdottir mengatakan, buat apa mendapat laba tetapi merugikan kondisi sosial serta lingkungan. Ia juga mengatakan bahwa kita perlu melihat jangka panjang dan definisi laba yang lebih luas.
Prinsip yang terakhir adalah modal emosional, yakni memotivasi, mendukung, dan berhubungan dengan orang-orang yang dia investasikan. Seperti yang ia katakan, “Ketika Anda hanya menginvestasikan uang, tidak banyak yang terjadi.”
Nilai-nilai yang disebutkan oleh Tomasdottir ini termasuk ke dalam gaya kepemimpinan feminin.
Dalam salah satu episode podcast Indonesia yang berjudul “Bye Kepemimpinan Macho!” salah satu narasumbernya yaitu dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, memaparkan mengapa kepemimpinan super maskulin masih saja dianut padahal jelas-jelas sudah terbukti banyak gagal.
Saras menjelaskan bahwa masyarakat dalam memahami ekonomi, politik,serta budaya lebih mengarah pada perlombaan untuk berkompetisi, menguasai satu di atas lainnya. Padahal seharusnya, alih-alih berkompetisi, kita perlu meniru cara kerja siklus yang mengandung kerja sama, saling menguntungkan, dan saling menciptakan kehidupan yang seimbang serta selaras.
Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan
Saras mencontohkan beberapa perjuangan perempuan Indonesia di basis akar rumput seperti perjuangan ibu-ibu Kendeng, dan gerakan menenun yang dilakukan Mama Aleta Baun.
Dalam sejarahnya, perjuangan yang dilakukan oleh perempuan memang dua kali lebih keras dari laki-laki dalam meraih posisi di dalam mengambil keputusan. Tidak hanya soal status pendidikan, lingkar keluarga, dan lain-lain, perempuan pun juga harus berjuang melawan segala macam prasangka bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk memimpin.
Read More