Herawati Sudoyo Ilmuwan Perempuan

Herawati Sudoyo Bicara Soal Tantangan Menjadi Ilmuwan Perempuan

Salah satu ilmuwan perempuan yang ikut andil dalam penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia adalah Herawati Sudoyo, Wakil Kepala Lembaga Eijkman untuk Bidang Penelitian Fundamental. Sejak awal pandemi, keberadaannya di deretan Tim Pakar Medis Gugus Tugas Penanganan Covid-19 menjadi sangat penting. Namun, dalam mencapai posisinya saat ini, Herawati mengalami banyak tantangan menjadi seorang ilmuwan perempuan. 

Baca Juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19

Berbicara dalam Podcast Indonesia  soal tantangan sebagai Ilmuwan Perempuan 

Dalam sebuah podcast Indonesia How Women Lead, Herawati menceritakan perjalanannya menjadi seorang ilmuwan perempuan dan bagaimana ia berkecimpung dalam keilmuan biologi molekuler yang saat itu terbilang bidang baru.

Sebetulnya, sejak kecil Herawati  Herawati memang menyukai dunia sains, tapi ia sebetulnya lebih menyukai bidang arsitektur dan desain interior. Namun, ia kemudian didorong keluarga untuk lebih memilih bidang medis dan Herawati akhirnya berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Setelah mendapat gelar dokter, Herawati, yang saat itu bekerja di bagian biologi, Fakultas Kedokteran UI, merasa perlu melanjutkan studinya di dunia pendidikan. Ketika ia menempuh studi doktoral di Departemen Biochemistry Monash University pada 1990, untuk pertama kalinya ia jatuh hati dengan cabang ilmu baru yaitu biologi molekuler.

Podcast Indonesia Tentang Tantangan Sebagai Ilmuwan Perempuan

Biologi molekuler adalah cabang ilmu yang mempelajari keunikan makhluk hidup melalui bagian paling kecil, yaitu DNA dan RNA. Saat mempelajari ilmu ini, Herawati merasa benar-benar dibentuk dan berkembang secara optimal, dan ia merasa ini lah jalan untuknya. Namun, ketika menekuni keilmuan baru ini, ada tantangan yang dihadapi oleh Herawati. 

Baca Juga: Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

“Bekerja di bidang yang baru ini membuat saya tidak memiliki panutan. Pada saat itu, orang banyak yang menganggap penelitian itu enggak penting,” ujar Herawati dalam wawancara bersama How Women Lead. 

Ilmuwan Perempuan Herawati Sudoyo Berjasa dalam Identifikasi Tersangka Bom Bunuh Diri Kedubes Australia

Salah satu pencapaian terbesar Herawati adalah ketika ia berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di depan Kedubes Australia pada 2004. Pada saat itu, Kepolisian Republik Indonesia ditantang untuk mengidentifikasi secara cepat siapa pelaku di balik bom bunuh diri ini.

Tragedi itu menewaskan 10 korban dan  melukai lebih dari 180 orang. Pelaku bom bunuh diri tersebut menggunakan mobil boks untuk mengangkut bom. Mobil tersebut hancur total dan tidak ada bagian badan yang memungkinkan untuk diidentifikasi menggunakan metode konvensional seperti sidik jari, gigi, hingga pengenalan wajah. 

Karenanya, identifikasi DNA-lah jawabannya. DNA merupakan singkatan dari deoxyribonucleic acid, sebuah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti berisi tentang informasi-informasi dari orang tua.

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Setelah metode ditentukan, untuk membedakan mana pelaku dan korban, tim identifikasi mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan bagian-bagian kecil dari tubuh dengan basis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi keberadaan pelaku. Pelaku yang pasti dekat dengan bom, serpihan tubuhnya akan terlontar lebih jauh daripada korban.

Teknik yang dikembangkan oleh tim Herawati dengan Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) ternyata terbukti ampuh. Jaringan tubuh dari tempat-tempat jauh memiliki profil yang sama dengan profil DNA keluarga yang dicurigai. Dalam waktu kurang dari dua minggu, tim Eijkman dan Polri berhasil mengidentifikasi pelaku. 

Herawati Sudoyo dan Beban Ganda Perempuan 

Sebagai seorang ilmuwan perempuan, Herawati mengatakan, tantangan lain yang ia hadapi adalah bagaimana ia bekerja dan meraih gelar doktornya sembari tetap mengurus anak. Ketika bersekolah di Australia, ia harus membawa kedua anaknya ke kampus. Saat itu ia mengambil gelar doktor di satu lab yang pada saat itu merupakan salah satu empat lab di dunia yang mengerjakan topik doktoralnya. 

“Saat itu yang saya rasakan benar-benar sangat kompetitif. Kita diminta untuk benar-benar berkonsentrasi pada pekerjaan. Tetapi di saat yang sama saya pun perlu mengurus anak. Kita harus belajar sendiri bagaimana berbagi konsentrasi pada pekerjaan kita. Saya menjalankan itu selama empat tahun,” ujar Herawati

Herawati “Kantor Perlu Dukung Ilmuwan Perempuan untuk Berkarier”

Dari pengalamannya itu, Herawati banyak sekali mendapat pengalaman dan bagaimana ia harus bersikap dalam memimpin anak buahnya. Ia paham bagaimana perjuangan-perjuangan ilmuwan perempuan untuk meraih posisinya dan terus berkarier.

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Ketika pertama kali memulai karier, banyak ilmuwan perempuan yang ia kenal mengundurkan diri dan memilih untuk mengurus keluarga. Hal ini menurutnya dapat diatasi dengan adanya dukungan dari kantor tempat ilmuwan tersebut bekerja.

“Ilmuwan perempuan harus di dukung dari luar serta dari dalam, yaitu keluarganya sendiri. Kalau itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi dia. Sebab di dalam dunia yang masih konservatif ini, walaupun perempuan memiliki karier tinggi ya tetap harus ingat tempatnya. Itu kata-kata yang dipakai untuk saya,” kata Herawati.  

Read More

Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

Ditulis oleh Ika Krismantari dkk.

Ketekunan Adi Utarini, seorang ilmuwan perempuan Indonesia dan Guru Besar Bidang Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam meneliti sejak 2011 membuahkan hasil manis. Ia berfokus pada pembasmian demam berdarah di Indonesia dan hasil penelitiannya tersebut telah berhasil menurunkan 77 persen kasus demam berdarah di area Yogyakarta pada Agustus lalu.

Penelitian Prof Uut, panggilannya, mampu merekayasa dan membiakkan nyamuk penyebar virus demam berdarah, Aedes aegypti, yang mengandung bakteri Wolbachia. Bakteri ini terbukti membuat nyamuk tidak bisa mentransfer virus demam berdarah ke manusia.

“Jadi kita sudah berawal dari telur yang sudah ber-wolbachia, yang kemudian ini kita ternakkan dan kembangkan dengan nyamuk lokal sedemikian rupa, sehingga secara fisik dan genetik, ini memang match nyamuk lokal dan kemudian, they fall in love to each other,” tutur Prof Uut disusul tawa kecilnya.

Berkat keberhasilan proyek penelitian kesehatan ini, Prof Uut dianugerahi Habibie Awards, sebuah penghargaan yang diberikan kepada ilmuwan yang aktif dan berjasa dalam penemuan, pengembangan, dan penyebarluasan inovasi pada tahun 2019.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Kata menyesal tidak pernah tersirat dalam pikiran Prof Uut dalam setiap perjalanan hidupnya. Suka duka penelitian demam berdarah hingga pengalaman harus menjadi pasien COVID-19 yang akhirnya merenggut nyawa suaminya, Guru Besar UGM Iwan Dwiprahasto, mengajarkannya tentang hal itu.

Mengingat kembali peristiwa itu, terasa berat bagi Prof Uut untuk bisa menerima keadaan dan juga harus memberi penjelasan kepada keluarga dan lingkungan sekitar. Ia harus melakukan berbagai cara untuk bisa menghadapi dan menerima cobaan tersebut secara tulus. Menulis jurnal adalah salah satu hiburan dalam kesehariannya di ruang isolasi ketika menjadi pasien COVID-19.

Lewat ujian ini, ia pun semakin menyadari betapa pentingnya setiap dukungan, termasuk relasi yang lebih intens kepada Sang Pencipta.

“Yang tadinya tidak terlalu ‘padat’ hubungannya dengan Tuhan, sekarang jadi lebih macetmungkin”, tuturnya.

Selama menjalani isolasi, Prof Uut menyadari pentingnya dukungan dari orang-orang sekitar seperti teman, keluarga, kolega, dan bahkan tenaga kesehatan dalam kesembuhan pasien COVID-19. Pengalamannya itu menginspirasi dia untuk menulis dan menerbitkan artikel ilmiah tentang pelayanan kesehatan pada pasien COVID-19 yang berpusat pada orang-orang terdekat.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Setelah sembuh dari COVID-19, banyak yang berubah dalam diri Prof Uut. Salah satunya adalah muncul kebiasaan baru untuk mengikuti senam bersama dengan tetangga sekitar.

“Saya sangat berterima kasih ke ibu-ibu tetangga saya yang selama pandemi mempunyai kebiasaan senam di luar, di jalan saban hari, saban hari, lho!” ujarnya.

Profesor Adi Utarini Merupakan Ilmuwan Perintis

Prof Uut menjelaskan bahwa dia tertarik menjadi dokter karena ingin jalan-jalan ke daerah terpencil di Indonesia.

“Awalnya sih pengen jadi dokter seperti biasa, itu kan artinya bekerja di klinik ya, bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan gitu. Nah, saat itu saya pengin banget kerja di Puskesmas. Asyik aja, bisa pergi agak jauh kemudian bisa bergaul dengan masyarakat,” ujar Profesor Adi Utarini.

Namun, kenyataan bahwa dia adalah putri paling kecil di keluarga membuatnya harus berpikir ulang. Akhirnya, berkat inspirasi dari mendiang ayahnya, Muhammad Ramlan, yang juga merupakan guru besar di Fakultas Sastra UGM, Prof Uut menjadi dosen dan akhirnya memutuskan terjun di bidang kesehatan masyarakat.

Selama perjalanannya menempuh pendidikan ini, ia punya berbagai kenangan manis. Salah satunya ketika dia melakukan perjalanan ke daerah pelosok di Sumatra Barat.

“Perjalanan setengah hari nonstop dan melewati sungai, batu-batuan, dan sebagainya untuk bisa sampai ke Puskesmas yang paling pinggir. Nah, itu kayak gitu tuh, haduh, sangat seru!” kata Prof Uut.

Baca juga: Bias Kelas dalam Diskursus Pemerintah soal COVID-19

Dengan jiwa petualangnya yang tidak pernah mati, ibu dari satu anak ini juga menekuni kebiasaan barunya yakni bersepeda. Perlahan dari 3-10 menit, 15 menit, hingga bisa menempuh jarak paling jauh yakni dari Yogyakarta ke Madiun, Jawa Timur, sejauh 180 kilometer.

Bersepeda membuat Prof Uut lebih memaknai filosofi kehidupan untuk terus maju dan mengayuh meski ada suatu tantangan atau kendala.

“Kadang-kadang hidup ada tanjakan, ada turunan, but it’s everything will be okay as long kita mencoba keep rolling,” kata dia.

Setelah sembuh dari COVID-19, Profesor Adi Utarini pun kembali menata mimpi-mimpinya yang lain. Ia kini punya tekad untuk bisa naik haji, menulis, dan fokus pada keluarga. Ia juga ingin memperluas proyek Wolbachia ke berbagai daerah.

“Ya kita merencanakan yang terbaik, tapi nanti Tuhan yang menentukan.”

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ika Krismantari adalah Deputi Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Prodita Sabarini adalah Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Wiliam Reynold adalah Editor, The Conversation Indonesia.

Read More