Akademisi Perempuan

Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Pandemi COVID-19 telah banyak membawa dampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kegiatan di universitas. Hal itu membawa krisis yang sebelumnya tidak pernah terjadi di institusi pendidikan tersebut, dan akademisi perempuan di Indonesia memikul tantangan tambahan karena pandemi ini.

Di berbagai belahan dunia, studi-studi awal mengonfirmasi bahwa pandemi COVID-19 telah membuat akademisi perempuan menanggung beban mengajar lebih berat. Akibatnya, mereka hanya memiliki waktu sedikit untuk melakukan riset dan menerbitkan publikasi dibanding akademisi laki-laki. Di seluruh dunia, jumlah artikel jurnal yang dipublikasikan oleh akademisi perempuan menurun secara signifikan selama pandemi.

Di Indonesia, perempuan tidak memegang jabatan-jabatan eksekutif tertinggi di universitas. Ini berakibat pada pembuatan kebijakan universitas yang bias gender.

Kita harus berhati-hati dalam memahami ketimpangan gender yang sudah sangat mengakar di pendidikan tinggi dan di luar itu. Kami melakukan studi eksploratori pada 27 akademisi perempuan Indonesia yang bekerja pada bidang humaniora dan ilmu sosial.

Informan kami berasal dari berbagai wilayah dan perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Keberagaman ini memungkinkan kami untuk memahami bagaimana ketimpangan ini dialami dan dipraktikkan di ranah publik dan domestik.

Kami menemukan bahwa akademisi perempuan Indonesia harus menanggung beban dan tanggung jawab tambahan karena bekerja dari rumah dan juga semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh universitas.

Beban Akademisi Perempuan Lebih Berat Karena Tugas Domestik

Pandemi ini telah memaksa para akademisi untuk mengubah cara mengajar mereka dari tatap muka menjadi daring.

Perubahan yang cepat ini berarti para akademisi harus meluangkan waktu berjam-jam untuk merancang ulang perkuliahan, memeriksa tugas-tugas mahasiswa, serta memastikan alat-alat penunjang pekerjaan (seperti jaringan internet dan perlengkapan mengajar daring lainnya) tersedia dengan baik.

Seperti halnya para pekerja perempuan dan penyedia jasa perawatan dan pengasuhan yang tidak memiliki pekerjaan yang stabil, akademisi perempuan Indonesia harus menanggung beban ganda pekerjaan berbayar dan tidak berbayar.

Pergeseran ke kegiatan belajar daring untuk mahasiswa mereka dan anak-anak mereka sendiri ini menambah beban kerja domestik dan pengasuhan yang sering kali tidak dibagi secara adil kepada pasangan. Sayangnya, masyarakat dan universitas di Indonesia acapkali melihat ketimpangan ini sebagai sesuatu yang normal.

Pada banyak kasus, tanggung jawab yang berlipat ini terasa sangat berat sehingga informan kami harus mempekerjakan pekerja rumah tangga atau pengasuh untuk membantu mereka.

Seorang dosen di Aceh yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak mengatakan, “Jika pekerjaan bisa saya selesaikan di rumah sambil menjaga anak, maka saya akan bekerja dari rumah; namun jika saya harus ke kampus, maka anak pertama (9 tahun) akan ikut bersama saya, dan anak kedua (1 tahun 6 bulan) akan saya titipkan ke pengasuh.”

Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Tambahan Pekerjaan Lain Bagi Akademisi Perempuan

Mengaburnya batas antara tempat kerja dan rumah selama pandemi ini menambah kompleksnya perjuangan akademisi perempuan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga.

Tekanan ini semakin berat ketika universitas harus mengikuti perkembangan perubahan kebijakan nasional dalam bidang pendidikan tinggi pada masa pandemi yang makin memburuk.

Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) mengharuskan universitas untuk mengubah kurikulum yang cukup besar. Universitas harus bisa mengimplementasikan kebijakan ini paling lambat pada awal 2021.

Tambahan pekerjaan untuk merancang ulang kurikulum di tengah kondisi pandemi yang memburuk membuat akademisi perempuan makin tidak mungkin untuk menyelesaikan tugas-tugas pokok yang bisa menopang promosi karier mereka, seperti menulis publikasi.

Kebanyakan informan kami adalah lulusan dari universitas-universitas di negara maju. Sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan waktu menulis pada masa normal, apalagi pada masa pandemi.

Seorang dosen yang juga menjabat sekretaris program studi di sebuah universitas Islam negeri di Jawa Barat mengungkapkan bahwa dia tidak bisa menghasilkan publikasi selama pandemi.

Pekerjaan administratif yang melekat pada jabatan sebagai sekretaris program studi hampir tidak memungkinkan dia untuk memiliki waktu untuk menulis, “Saya hanya bisa menulis pada malam hari dengan sisa-sisa energi yang saya miliki,” ujarnya.

Kebanyakan dari informan kami memegang jabatan struktural tingkat menengah. Kondisi ini memunculkan tantangan lainnya.

Pada saat yang sama, mereka harus menanggung beban tambahan di ranah domestik selama pandemi, mereka harus memastikan bahwa staf, terutama yang kurang beruntung, di bawah supervisi mereka sehat dan aman.

Misalnya saja, seorang ketua program studi di sebuah universitas negeri di Jakarta menganjurkan staf tenaga kependidikan di bawah supervisinya untuk bekerja dari rumah mengikuti pengaturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan oleh pemerintah provinsi. Pada saat itu, universitas tempatnya bekerja masih belum mengeluarkan kebijakan kerja dari rumah.

Terlebih lagi, kebijakan-kebijakan yang diinisiasi akademisi perempuan di tingkat menengah ini sering kali tidak diarusutamakan di level universitas.

Baca juga: Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

Kebijakan di Universitas Perlu Dukung Perempuan

Pandemi ini telah mengungkapkan permasalahan yang lebih besar dan mendalam terkait pengaturan pekerjaan yang kaku dan mengeksploitasi perempuan serta orang-orang yang bekerja di sektor pengasuhan dan perawatan melalui penumpukan pekerjaan yang tidak proporsional dan pekerjaan yang tidak berbayar.

Ironisnya, kami menemukan hal ini terjadi di universitas dan kalangan akademisi – komunitas yang harusnya lebih progresif dan merupakan sumber perubahan sosial.

Penelitian kami menunjukkan bahwa diskursus kesamaan gender, khususnya yang terkait dengan promosi perempuan di jabatan tinggi strategis di universitas, ternyata tidak cukup untuk mengatasi kesenjangan sistemis yang dialami oleh akademisi perempuan.

Ketimpangan gender sering kali dianggap sebagai masalah yang sudah selesai, jika ditilik dari penampakan statistik tentang perbandingan jumlah dosen laki-laki dan perempuan, dan juga jumlah mahasiswa laki-laki dan perempuan.

Namun dimensi gender dalam profesi akademisi menunjukkan betapa dalamnya kesenjangan struktural yang terjadi.

Universitas harusnya menjadi tempat yang bisa memberdayakan perempuan melalui perkembangan kritik-kritik feminis dan pascakolonial. Namun ternyata, universitas-universitas juga menjadi tempat eksploitasi berbasis gender direproduksi.

Untuk memastikan agar kita bisa selamat dalam melawan pandemi dan bisa kembali produktif setelahnya, para pemimpin, termasuk di universitas, harus siap menghadapi tantangan untuk menelurkan kebijakan-kebijakan yang dapat menjamin distribusi sumber daya yang berkeadilan.

Hal ini harus dilakukan dengan mengakui kerja tidak berbayar yang dilakukan oleh pekerja perempuan.

Kesetaraan gender hanya akan bermakna bila perempuan dan penyedia jasa pengasuhan dan perawatan bisa terlibat dalam pengambilan keputusan di institusi mereka untuk memastikan kebijakan yang melindungi kelompok yang paling rentan.

Perempuan kepala negara di berbagai negara memang muncul menjadi panutan dalam penanganan pandemi. Namun, kami yakin bahwa mendorong akademisi perempuan menjadi pucuk pimpinan hanya karena faktor gender mereka hanyalah sebuah solusi teknis untuk permasalahan yang sebenarnya bersifat struktural ini.

Universitas memerlukan pemimpin menghasilkan yang kebijakan berbelas kasih: Belas kasih kolektif dan organisasi dihargai seiring dengan cita-cita produktivitas dan keunggulan.

Mereka adalah pemimpin yang memahami konteks dan tahu kebijakan redistribusi yang mana yang harus diterapkan sehingga sistem tidak mengistimewakan golongan tertentu dan menindas golongan lainnya.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Inaya Rakhmani adalah asisten profesor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Evi Eliyanah adalah pengajar di Universitas Negeri Malang. Zulfa Sakhiyya adalah asisten profesor di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Read More
standar ganda perempuan di tempat kerja

Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Secara kasat mata, mungkin kita melihat dunia profesional hari ini sudah ramah-ramah saja pada perempuan. Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan hak dan perlakuan berdasarkan jenis kelamin. Tapi kenyataannya, masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan bekerja. Ada banyak nilai-nilai seksis sebagai produk budaya patriarki yang mengakar, seperti standar ganda kepada kaum perempuan. Akibatnya, perempuan memiliki lebih banyak hambatan untuk berkarier atau naik ke posisi yang lebih tinggi ketimbang laki-laki.

Hal itu diawali dari segregasi atau pemisahan gender dalam pekerjaan, bagaimana laki-laki bertugas di ranah publik, seperti di pemerintahan, pekerja kasar, dan sebagainya. Sementara itu, perempuan bertugas di ranah privat/domestik dengan tanggung jawab utama untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, termasuk merawat anak dan keluarga. Karena yang menghasilkan uang/alat tukar lainnya adalah pekerjaan di ranah publik, maka laki-laki lagi-lagi mendapatkan lebih banyak kekuasaan dalam kehidupan sosial. Mereka bisa membeli dan membayar banyak hal untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

Hal ini mengakar pada kehidupan sosial masyarakat Yunani kuno.  Keran keterlibatan perempuan dalam urusan publik dan pembuatan keputusan tidak pernah dibuka. Peran perempuan pun semata-mata untuk fungsi reproduksi. Seorang istri harus menerima ketika suaminya memiliki selir atau perempuan lain dari “hadiah perang” dan budak yang selalu diasosiasikan untuk kegiatan seksual.

Pola pikir ini masih terpatri di benak banyak orang sampai hari ini, yang menimbulkan tantangan bagi perempuan bekerja. Akibatnya, jumlah perempuan yang memiliki pekerjaan di sektor formal rendah. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan berjudul “Women at Work” (2015), hanya 1,3 miliar perempuan di dunia yang dipekerjakan, sementara laki-laki sebanyak 2 miliar orang. Rasio perekrutan perempuan hanya mencapai sebesar 46 persen, sementara laki-laki hampir mencapai 72 persen. Belum lagi kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki yang dieprkirakan mencapai angka 23 persen. 

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Standar Ganda dalam Pekerjaan Bersifat Feminin

Tak mendapat dukungan dari suami dan keluarga adalah salah satu tantangan perempuan bekerja. Selain itu, mereka juga harus menghadapi berbagai bentuk diskriminasi di kantornya. Rania Salem dan Kathryn M. Yount dalam penelitian “Structural accommodations of patriarchy: Women and workplace gender segregation in Qatar” (2019) menyatakan, pekerja perempuan kerap ditempatkan di pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya feminin dan/atau berada di tingkatan hierarki dan jabatan yang lebih rendah dari pekerja laki-laki.

Satu alibi yang kerap dipakai perusahaan dengan kebijakan seperti ini adalah karena bobot pekerjaan rumah tangga dan merawat anak bagi perempuan lebih besar. Dalam hal ini, bias agama juga berperan memberikan sumbangan yang memvalidasi subordinasi perempuan atas laki-laki sebagai “pemimpin”.

Di negara-negara Timur Tengah, dengan pengaruh ajaran Islam yang kental, banyak sekali tantangan bagi perempuan bekerja yang sulit mendapatkan promosi di kantornya. Mereka dianggap tidak bisa berinteraksi secara fleksibel dengan kolega laki-lakinya atau pihak-pihak lain di luar kantor. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama di balik tingginya angka perempuan yang menganggur dan sulit mendapat pekerjaan.

Para perempuan pekerja juga harus menghadapi pahitnya standar ganda dan dangkal yang membayang-bayangi penilaian orang terhadap kualitas diri mereka. Misalnya standar mengenai cara bersikap. Di satu sisi, “pekerjaan laki-laki” yang sifatnya maskulin dan dianggap sulit lebih dihargai. Tapi perempuan yang memilih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ini malah menghadapi tantangan baru, yaitu standar ganda yang mengharuskan mereka kapabel dalam pekerjaan tapi juga ramah dan disukai banyak orang. Entah di dunia pekerjaan ataupun di keseharian, perempuan selalu saja dituntut untuk bersikap lemah lembut, tidak terlalu ambisius, dan tidak terlampau menunjukkan emosi agresif seperti laki-laki.

Tentu saja standar ini tidak berlaku buat para pekerja laki-laki, dan ini sangat terlihat menjadi standar ganda dalam perusahaan. Perempuan yang menunjukkan sikap-sikap agresif atau mengarah pada maskulinitas akan mendapatkan banyak kritik atau bahkan dikucilkan perusahaan. Sementara itu, menurut Gorman dalam penelitiannya “Gender Stereotypes, Same-Gender Preferences, and Organizational Variation in the Hiring of Women” (2005), semakin banyak sikap-sikap maskulin yang ditunjukkan seorang calon pekerja laki-laki, maka akan semakin besar kemungkinannya untuk diterima bekerja.

Narasi seksis lowongan pekerjaan

Standar-standar ini juga kerap membuat perusahaan menjebak perempuan melalui narasi lowongan pekerjaan untuk karyawan baru. Banyak sekali kita temui lowongan pekerjaan yang menyertakan kriteria-kriteria tak masuk akal, seperti berat badan maksimal, tinggi badan minimal, belum menikah, atau belum mempunyai anak. Mirisnya, kriteria-kriteria ini banyak diberikan pada para calon pekerja perempuan. Ini merupakan cerminan lain mengenai bagaimana perempuan selalu ada di bawah bayang-bayang standar kecantikan yang semu, bahkan di dunia profesional sekalipun yang mana dihuni oleh orang-orang mayoritas berpendidikan.

Padahal, ILO bahkan sudah menetapkan larangan bagi perusahaan untuk melakukan rekrutmen pekerja dengan melakukan diskriminasi seks. Misalnya dengan membuat spesifikasi yang mengatur tinggi dan berat badan minimal, atau status pernikahan dan kehamilan. Hal itu dituliskan dalam kajiannya yang berjudul “ABC of women workers’ rights and gender equality” (2007).

Pemahaman bahwa penampilan fisik, bentuk tubuh, maupun cara bersikap setiap manusia pasti berbeda-beda dan sama sekali tidak bisa ditakar berdasarkan satu-dua standar yang absolut, seharusnya sudah mereka miliki. Apalagi, kriteria fisik itu sama sekali tidak mempengaruhi performa dan kualitas kerja perempuan. Sedikit banyak ini juga mengindikasikan bagaimana pandangan-pandangan masyarakat kuno mengenai perempuan masih bisa ditemukan di kehidupan hari ini.  Misalnya dengan menganggap perempuan sebagai perhiasan, sehingga mereka harus selalu terlihat cantik sesuai dengan keinginan laki-laki.

Beberapa perusahaan bahkan memberlakukan standar pakaian yang lebih tidak masuk akal dan sangat seksis. Misalnya mengharuskan para pekerja perempuannya untuk mengenakan sepatu hak tinggi atau high heels untuk “menunjang” penampilan tubuh menjadi lebih tinggi, kurus, dan menonjolkan bentuk bokong. Padahal alas kaki yang tidak nyaman untuk dikenakan serta memiliki dampak buruk bagi kesehatan otot dan tulang kaki. Perusahaan seharusnya mempertimbangkan para pekerja yang harus menempuh jarak jauh antara rumah dengan kantornya, harus menaiki kendaraan umum, serta melalui medan perjalanan yang berat.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Salah satu negara yang memberlakukan peraturan ketat terkait busana para pekerja perempuannya adalah Jepang. Menurut riset the Japanese Trade Union Confederation (Rengo), lebih dari 11 persen perusahaan di Jepang memiliki aturan yang mengharuskan pegawai perempuannya untuk mengenakan high heels. Bertahun-tahun menghadapi ini, akhirnya pada tahun 2019, lebih dari 19 ribu orang di Jepang menandatangani petisi untuk menghentikan aturan perusahaan yang mengharuskan perempuan untuk mengenakan high heels di tempat kerja. Kampanye dengan tuntutan serupa juga muncul di Inggris pada tahun 2016 yang diikuti lebih dari 100 ribu orang.

Itu membuktikan bahwa tempat kerja juga belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, sama seperti tempat-tempat lain di keseharian. Mereka dituntut untuk memenuhi standar agar bisa mencapai posisi tertentu yang lebih baik, entah standar itu cocok atau tidak dengan tiap-tiap individunya. Sementara itu, mereka yang tidak bisa memenuhi standar akan dijadikan objek lelucon atau kritik yang berlebihan dan sering kali menjelma menjadi bentuk pelecehan seksual.

Bentuk yang banyak digunakan adalah lelucon seksis (sexist jokes). Lelucon ini mengakomodasi subordinasi perempuan, kerap mengandung unsur seksual non-konsensual, serta kerap kali sengaja dibuat untuk mempermalukan perempuan.  Menurut penelitian Hemmasi, Graf, dan Russ yang berjudul ‘Gender-Related Jokes in the Workplace: Sexual Humor or Sexual Harassment?’ (1994), meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kemungkinan untuk melontarkan lelucon, tapi lelucon seksual yang seksis lebih banyak dilontarkan laki-laki kepada perempuan di tempat kerja. Dibandingkan perempuan, laki-laki juga menganggap lelucon-lelucon seksis yang mendiskreditkan perempuan ini lebih lucu.

Read More