Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Maulani Rotinsulu telah berhasil lolos sampai tahap terakhir sebuah proses rekrutmen di sebuah perusahaan. Namun, ketika dalam sesi wawancara perusahaan tersebut mengetahui dirinya adalah penyandang disabilitas, namanya hilang dari daftar kandidat. Padahal, pada setiap tahapan, ia selalu berhasil menduduki peringkat 10 besar.

“Intelektualitas saya yang sebelumnya sangat diapresiasi mendadak hilang setelah saya mengatakan bahwa saya adalah penyandang disabilitas. Itu tidak terlepas dari stigma kalau penyandang disabilitas itu berbeda, dan bahwa orang harus sama kalau mau diperlakukan setara,” kata Maulani, 61, yang menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).

Ia berbicara dalam webinar bertajuk ‘Sudahkah Setiap Orang Punya Kesempatan Kerja yang Sama?’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja (28/4).

Pengalaman Maulani terjadi bertahun-tahun lalu, namun situasi belum berubah saat ini. Stigma masih menghalangi kesempatan dan akses untuk bekerja di sektor formal, membuat mayoritas penyandang disabilitas mengandalkan pekerjaan di sektor informal.

Ada masalah struktural di mana kebanyakan perusahaan tidak memiliki kebijakan rekrutmen dan kepegawaian yang mendukung para difabel untuk bekerja, ujar Maulani. Padahal, sudah seharusnya negara dan perusahaan swasta memberikan fasilitas pendukung bagi para difabel agar mereka bisa berkembang seperti halnya orang-orang lain.

“Standar perusahaan juga kebanyakan tidak inklusif. Tidak ada tuh yang mempromosikan kalau penyandang disabilitas bisa bekerja di pekerjaan-pekerjaan mainstream. Tidak pernah dipromosikan pemerintah bahwa penyandang disabilitas bisa meraih kehidupan atau posisi yang lebih,” kata Maulani, yang kehilangan tangan kanannya karena diamputasi akibat kecelakaan waktu dia masih kanak-kanak.

Baca juga: Memimpikan Dunia Kerja di Indonesia yang Bebas Pelecehan Seksual

“Harusnya ada asesmen kebutuhan karyawan. Ini wajar banget, merefleksikan partisipasi tenaga kerja di dalam perusahaan. Misalnya, penyandang disabilitas netra, agar bisa bekerja harus diberi laptop dengan aplikasi yang bisa mengeluarkan suara untuk arahan di komputer.”

Maulani mengatakan, sistem pendidikan bagi penyandang disabilitas turut mempengaruhi sempitnya peluang mereka menjadi unggul di pasar kerja. Menurut Maulani, sekolah khusus tempat para difabel disekolahkan (sekolah luar biasa) itu belum memiliki standar yang sama dengan sekolah reguler. Akibatnya, pasar kerja tidak melihat para lulusannya memiliki kualitas yang sama dengan lulusan sekolah reguler.

“Saya pernah duduk bersama dinas pendidikan sebuah daerah yang mengatakan bahwa mereka sudah membuat sekolah inklusif yang juga menerima banyak murid dengan disabilitas. Tapi, banyak orang tua yang protes, katanya takut (para difabel) berdampak buruk pada anak-anak mereka,” ujar Maulani.

Baca juga: Perempuan dengan Disabilitas Hadapi Kesulitan Ganda dalam Bekerja

Kesempatan Kerja Bagi Kelompok Minoritas Kurang

Jessica Ayudya Lesmana, seorang transpuan yang aktif berkegiatan di Cemeti Art Institute, mengatakan bahwa komunitas transpuan mengalami nasib serupa dengan kelompok disabilitas, yaitu mengandalkan pekerjaan di sektor informal karena tak bisa masuk ke sistem formal.

“Kebanyakan transpuan tidak punya ijazah dan pengalaman mumpuni. Itu juga karena sistem yang membuat mereka tersisihkan. Kami tidak punya kesempatan yang sama dengan teman-teman heteronormatif,” ujarnya.

“Ketika masuk ke ruangan HRD, akan dipertanyakan ekspresi gendernya. Kami akan diminta memakai pakaian yang seperti laki-laki kalau mau bekerja di sana. Sedangkan transpuan kan masuk ke dalam diskursus gender, dia pasti akan berpenampilan sebagai perempuan. Itu salah satu hal yang membuat transpuan susah masuk ke ranah kerja formal,” ia menambahkan.

Jessica juga mengatakan, ketika hendak atau sudah memasuki dunia kerja, akuntabilitas dan profesionalisme para transpuan akan terus dipertanyakan karena stigma bahwa semua transpuan adalah pekerja seks dan pengamen, dua pekerjaan yang selalu dikonotasikan dengan hal negatif.

Jessica menganggap dirinya memiliki privilese karena bisa bekerja di sektor formal. Meski begitu, privilese itu baru bisa dia dapatkan setelah melalui waktu dan perjuangan yang sangat panjang.

Baca juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

“Agar bisa mengirim lamaran kerja dulu, saya harus berulang kali menggunakan komputer yang disediakan di Perpustakaan Kota Yogyakarta karena ia tidak memiliki uang untuk membeli laptop,” ujarnya.

Maulani mengatakan satu-satunya alternatif untuk keluar dari masalah ekonomi bagi kelompok penyandang disabilitas adalah dengan menjadi wirausaha.

“Banyak teman-teman disabilitas yang berhasil dengan berjualan online. Tapi mereka masih mendapatkan kendala karena ketika butuh dana untuk mengembangkan usaha mereka, mereka sulit mendapatkan akses modal. Bank masih diskriminatif dan sering menolak penyandang disabilitas,” ujarnya.

Read More
FTW Media Episode 12

Menjadi Konsumen Media yang Berdaya

Enggak terasa FTW Media sudah sampai episode terakhir aja, nih. Dari perjalanan kami mengupas representasi perempuan di media, ternyata masih banyak di antaranya yang nggak sensitif gender dalam pemberitaannya. 

Masalahnya beragam banget, mulai dari seksisme, seksualisasi, stereotipe, hingga yang suara perempuan yang masih minim terwakilkan di media. Memang sih, saat ini sudah ada beberapa perubahan dengan inisiatif menarik seperti Womenunlimited.id, sebuah database berisi narasumber peeempuan di berbagai sektor. Dalam iklan kita juha bisa melihat kampanye suami sejati dari kecap ABC, dan lain-lain. 

Tapi perubahan kayak gini nggak akan menjamur kalau konsumen kayak kita juga enggak mendukungnya. Kita bisa lho, mendorong produsen atau media untuk menggambarkan gender dengan lebih fair.

Yuk simak episode terakhir FTW Media ini! 

Nah, kamu punya komentar, masukan atau pertanyaan terkait bahasan ini? Kamu bisa sampaikan melalui [email protected] atau bisa melalui pesan di media sosial kami ya!

Read More

Di mana Suara Perempuan dalam Pemberitaan Media

Pernah nggak sih, kamu memperhatikan berapa jumlah narasumber perempuan dalam berita-berita yang kamu baca setiap hari? Satu? Dua? Memang jarang ya, kita melihat narasumber perempuan dikutip dalam artikel serius, apalagi terkait topik seperti politik dan ekonomi?

Ini bukan kebetulan, loh. Faktanya, fenomena macam ini terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia. Laporan dari Tempo Institute menyatakan bahwa dari 22.900 narasumber yang dikutip media, hanya 11 persen atau 2.525 orang di antaranya yang perempuan.


Kenapa ya, masih sedikit narasumber perempuan yang dikutip media? Kenapa sih, suara mereka penting untuk dimunculkan? Terus, gimana dong caranya meningkatkan suara narasumber perempuan dari berbagai sektor?

Read More

Marking dan Stereotyping Perempuan di Media

Pernah enggak sih kamu perhatiin orang-orang melanesia atau Indonesia Timur lebih sering digambarkan sebagai preman, atau orang jahat di sinetron dan film.

Kalau pun mereka tidak digambarkan jahat, biasanya dijadikan bahan olok-olokan dan digambarkan tidak bisa tertib dan suka membuat onar. Penampilan mereka pun biasanya digambarkan sebagai orang berkulit gelap dengan rambut yang keriting.Padahal tidak semua Melanesia berpenampilan seperti itu loh.

Alih-alih memberikan edukasi dan representasi yang baik untuk teman-teman minoritas, media malah menyebarkan representasi keliru seperti ini yang ujungnya bakal sangat merugikan kelompok minoritas.

Lantas, apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengurangi representasi keliru ini? Sebetulnya, sudah sejauh mana sih media memperbaiki isu ini agar mereka lebih inklusif terhadap kelompok minoritas?

Read More

Azizah Assattari dan Persepsi terhadap Perempuan di Dunia Game

Jika ada anak yang sangat senang main game, mungkin orang tua jangan apriori dulu dan melarangnya. Karena kegilaan main game sampai mengurung diri di kamar ternyata telah mendorong Azizah Assattari untuk menciptakan game yang disukai sampai mancanegara, dan mendirikan perusahaan pengembang permainan.

Tak hanya itu, sebagai perempuan gamer dan game developer, Azizah Assattari juga telah berkontribusi dalam memberikan keragaman karakter perempuan dalam permainan. Karakter Suri dalam Ghost Parade, permainan keluaran Lentera Nusantara Studio yang didirikan Azizah adalah hasil riset Azizah mendalam dan memakan waktu lama.

“Nama panjangnya Suri Utari Dirgadewi, yang artinya reinkarnasi dewi kehidupan. Ada dua nama dewi di dalamnya, yaitu Dewi Sri dan Dewi Durga,” kata Azizah Assattari, dalam wawancara dengan podcast FTW Media.

“Suri Utari itu maksudnya Bhatari Sri, Dewi Sri. Dirgadewi itu Bhatari Durga. Soalnya dari hasil riset saya, sebenarnya Dewi Sri dan Dewi Durga itu satu orang. Jadi ketika dunia sudah memasuki fase Kaliyuga, istilahnya akhir era dunia manusia lah, seluruh kitab akan ditarik ke langit. Dan di situ lah dewi kehidupan dan dewi kematian terlahir kembali jadi satu orang—jadi manusia,” ujar perempuan berusia 32 tahun itu.

Makna di balik nama tersebut memang menggambarkan karakternya: Suri adalah anak SD berambut keriting dan berkulit gelap, yang berteman dengan manusia dan juga hantu yang menghuni hutan suaka. Sebagai karakter anak perempuan indigo, ia dicintai oleh yang hidup dan yang mati.

Ghost Parade menjadi game yang mendunia sejak dirilis tahun 2019. Berkat kepopulerannya di negara-negara Asia hingga Eropa, permainan ini diadaptasi ke dalam serial komik yang terbit Februari lalu.

Azizah Assattari bermain game ghost parade
Ghost Parade

Detail dalam karakter Suri mencerminkan pentingnya konsep dan gambaran perempuan di dunia game. Menurut Azizah Assattari, penggambaran karakter perempuan dalam game telah mengalami perkembangan pesat. Apabila dulu mereka sering terlalu diseksualisasi dengan lekukan tubuh dan pakaian terbuka, kini aspek itu telah berkurang; representasi perempuan pun lebih beragam.

Namun, itu tidak membuat pekerjaan Azizah Assattari lebih mudah. Masih banyak tuntutan untuk karakter perempuan agar jadi sesempurna mungkin, lebih dari karakter laki-lakinya.

Di luar layar game, perempuan pemain dan pencipta game pun masih mengalami seksisme dan pelecehan di ruang kerja. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Azizah; tidak hanya dalam membuktikan dirinya sendiri, tetapi juga dalam membujuk perempuan lainnya untuk ikut berkarya di ranah multimedia. Berikut ringkasan perbincangan Azizah Assattari, yang berbasis di Bandung, dengan Redaktur Pelaksana Magdalene, Hera Diani.

Magdalene: Bisa diceritakan, apa yang mendorong Azizah untuk mendirikan Lentera Nusantara?

Aku kan dulu ngajar di bidang multimedia, games, animation, dan bergabung dalam riset juga, seperti dulu di Microsoft Innovation Center. Games itu memang my natural passion. Dari kecil memang sukanya main games, menonton animasi, dan bermimpi menciptakan dunia sendiri. Tapi masalahnya, ada titik di mana aku merasa bahwa Indonesia itu ada masanya kita tidak dianggap sama sekali, bahkan sebagai konsumen. Bahkan tahun 2011 pun belum.

Sebelumnya aku mengajar di ITB dan di Binus Internasional, bidangnya juga sama, media interaktif, game, teknologi, dan animasi. Keduanya adalah benchmark university di Indonesia. Tapi di situ pun ada titik aku enggak puas. Rasanya itu semua masih sebatas wacana. Setiap ada riset di lab, itu kayak produk yang belum sampai. Belum benar-benar produk jadi yang dimainkan banyak orang.

Lalu ada mahasiswaku, dia bukan dari kampus yang kayak gimana, itu salah satu kampus yang aku diminta untuk mengajar. Tapi he’s bright dan kita sama-sama suka main game. Dan pada satu titik dia bilang, “Ibu tuh pernah enggak sih sebenarnya bikin game? Yang beneran, kayak Ubisoft dan lain-lain.” Ya sudah kuajak dia kerja bareng bikin game setelah tugas akhirnya beres. Aku akhirnya keluar dari ranah akademis dengan membawa prototipeyang waktu itu sempat dibuat.

Itu tuh baru resmi jalan tahun 2015 akhir, dan kita baru mencoba. Kita brainstorming terus dan lihat mana game yang lebih cepat diserap market. Kita coba tes aja Ghost Parade, salah satu konsep game kita. Cara ngetes-nya harus dimainkan banyak orang. Kebetulan waktu itu ada pameran Anime Festival Asia di Singapura, jadi game-nya kita coding tiga hari sebelum berangkat. Nekat aja masukin ke Steam. Ternyata di Singapura booth kecil kita malah heboh dan ramai banget, padahal cuma 3×3. Orang yang main itu betul-betul sudah kayak mengantre sembako. Ada yang hari pertama datang sendiri, hari kedua bawa suaminya, dan hari ketiga bawa suami dan anak.

Azizah Assattari
Azizah Assattari

Apa yang menarik mereka sampai mengantre begitu? Apa daya tariknya?

Indonesian culture, that’s for sure!

Jadi Ghost Parade ini dibuat dengan konsep yang mewakili semua mitologi Indonesia dalam satu platform. Karakternya itu anak SD, yang mewakili anak Indonesia, dan dia punya kemampuan indigo. Mythical things kan Indonesia banget tuh. Dia juga bisa berteman dengan 101 hantu, yang semuanya menghuni hutan suaka dan wujud-wujudnya mewakili banyak budaya Indonesia.

Aku menjalani riset terhadap budaya Indonesia dan mitologi tuh sudah cukup lama. Supernatural beings, mythological things, ghosts… mereka itu sebenarnya representasi bagaimana manusia berpikir pada satu era. Nah, hantu-hantu itu mewakili fase trauma kemanusiaan yang dilewati satu era dan tidak terjawab. Jadi aku melihat, pantas Indonesia masalahnya banyak, lihat saja, hantunya banyak.

Baca juga: Pro Player Perempuan: Selain Jago, Harus Cantik

Banyak baggage ya, haha.

Iya, hantu tuh semacam sebuah ketakutan, tabu, trauma yang tidak terjawab.

Jadi dengan game ini, I want to heal my country first. I want them to be proud of their culture. Karena setiap hantu itu menampilkan entitas budayanya, entah itu dari bagaimana cara dia mati, visualnya, namanya, eranya, kapan dia muncul. Ketika kita sudah berhasil membuat hantu itu lucu dan menertawakannya, itu kita sudah bisa menertawakan ketakutan kita. Dan kita akhirnya belajar mengenal satu sama lain. Kan itu prinsip negara kita: Bhinneka Tunggal Ika.

Sebenarnya kalau kita duduk di kelas dan sebelah kita kulitnya putih, gelap, rambutnya ikal lurus, dan sebagainya, itu harusnya biasa saja. Tapi di dunia kita, keberagaman budaya malah menjadi salah satu masalah terbesar saat ini. Dan di sini yang jadi korban, sama seperti saat aku meneliti tentang hantu di seluruh dunia, adalah perempuan. Hantu pun yang paling banyak adalah perempuan.

Read More

Seksploitasi Penyanyi Perempuan

Di dunia dangdut, bukan hal langka mendapati penyanyi perempuan bergoyang erotis dan kerap mendapat pelecehan dari penonton laki-laki. Mulai dari saweran yang diselipkan di belahan dada hingga aksi meraba bagian tubuh si penyanyi perempuan saat si penonton laki-laki berjoget bersamanya di panggung. Emang harus banget ya seperti ini? Bagaimana dengan genre musik yang lain?

Sayangnya di genre lain pun, sebagian penyanyi perempuan enggak luput dari eksploitasi, mulai secara ekonomi sampai seksual.

Apa memang mustahil bagi penyanyi perempuan untuk mendapatkan ruang aman untuk berkarya? Apa saja yang bisa kita lakukan agar ruang aman tersebut dapat terwujud?

Read More

Realita, Cinta, dan Romantisasi Kekerasan di Layar Lebar

Tahun lalu, film asal Polandia “365 Days” sempat ramai diperbincangkan setelah tayang di Netflix. Bercerita tentang romansa antara mafia Italia Massimo Torricelli dengan Laura Biel, seorang direktur penjualan sebuah hotel di Warsawa, Polandia, film ini menuai banyak kritik

karena dianggap mengglorifikasi kekerasan seksual terhadap perempuan.

Kritik terhadap film tersebut juga berlaku untuk banyak film yang mengangkat tema kekerasan seksual lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Apa saja akibat pelanggengan kekerasan terhadap perempuan dalam film ya? Ada enggak sih, film-film lain yang ngomong soal kekerasan terhadap perempuan tapi enggak diglorifikasi?

Read More

Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron

Kamu pasti familiar banget dengan plot sinetron “Pintu Berkah” dan “Kisah Nyata”, di mana karakter istri di dalam sinetron tersebut selalu digambarkan teraniaya dan terlampau baik. Ketika ia digambarkan menjadi antagonis, sifat jahatnya tampak enggak realistis banget.

Makin ke sini, rasanya banyak sinetron Indonesia yang semakin seragam: Tokoh perempuan digambarkan entah sangat tipikal mulai dari super-pasrah dan terzalimi, tukang gosip, materialis, perayu, pelakor, atau mertua galak.

Ketika ada protes dari penonton soal kualitas plot dan karakter dalam sinetron, pihak industri sering berkilah “Loh kami kan cuma mengikuti selera pasar”. Alasan klasik banget.

Apa iya industri memang memotret selera pasar? Apakah memang benar selera masyarakat selalu monoton dan cenderung menyudutkan perempuan? Lalu apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa mendorong keberagaman cerita dalam sinetron?

Read More
gamer perempuan

Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

“Ngapain dah cewek maen pubg, nyusahin aja kalo kalah.”

“Cewek balik aja ke dapur, gausah maen game cowok”

Kamu sering mendengar kalimat-kalimat seperti ini ketika bermain game? Kamu enggak sendiri kok. Banyak banget gamer perempuan yang mengalami hal yang sama, bahkan yang sudah di tingkat profesional. Enggak cuma itu aja. Di dunia game yang memang masih terkesan maskulin, sering kali penggambaran karakter perempuannya cenderung dangkal, penuh stereotip, serta diseksualisasi.

Kalau begitu, apa ya yang bisa kita lakukan agar dunia game bisa lebih inklusif? Sudah sejauh mana sih dunia game menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua gamer?

Read More

Cerita Cinta Toksik Dalam Fiksi: Yay or Nay?

Siapa yang enggak kenal novel Fifty Shades of Grey dengan karakter Anastasia Steele dan pengusaha muda Christian Grey yang dibumbui aktivitas sadomasokis diterbitkan pada 2011 dan langsung booming di kalangan para pembaca perempuan. DI balik kesuksesan novel yang sudah diadaptasi ke layar lebar ini, banyak juga timbul perdebatan batas antara etika, kekerasan seksual dan emosional.

Ya berbicara soal kekerasan dan hubungan toksik di cerita fiksi romantis memang masih muncul dua kubu, ada yang bilang itu cuma fiksi doang santai dong, tapi ada juga yang bilang fiksi pun bisa jadi mempengaruhi para penikmatnya.

Semua memang kembali ke konsumen sih, tapi ada baiknya kita juga perlu punya saringan supaya cerita toksik semacam itu enggak memengaruhi kita sehingga enggak ada pemakluman terhadap kekerasan. Sebagai konsumen pun kita juga butuh percintaan lain yang enggak melulu toksik.


Nah apa saja yang bisa kita lakukan supaya cerita-cerita percintaah memiliki narasi yang beragam ya? Yuk simak cerita selengkapnya dalam podcast FTW Media episode terbaru ini!

Read More