What to Know About Disclosing Mental Illness at Work

What to Know About Disclosing Mental Illness at Work

Deciding to disclose information about a non-obvious disability such as mental ilness at work is complicated and potentially risky, no matter what you do for a living. For people with a mental health issue, like bipolar disorder or PTSD where stereotypes and bias are prevalent, the risk can be even greater.

This has become an important topic as employers try to reach voluntary affirmative action goals around disability employment. Employers are required to try to achieve a workforce including people with disabilities (these include conditions like major depression and bipolar disorder). As a result, employers are considering how to handle disability disclosure like never before.

Affirmative action goals aside, there is a business case to make for disclosure. In USA, workers with depression, for example, cost employers an estimated US$44 billion per year due to absence and reduced on-the job-productivity. Letting employees come forward about their condition to find better work arrangements and support makes financial sense.

Also read: What We Don’t Talk About When We Talk About Mental Illness

Disclosure and Risk

Along with other researchers, I examined disclosure in a study of 600 people with disabilities, half of whom had mental or emotional health conditions. We learned about the perceived risks and actual consequences of disclosure as well as about what may facilitate the decision to disclose and the role employers play.

We found that the concerns of those with mental health issues were not so different from those with other disabilities. People with all types of disabilities feared being fired, of losing out on future opportunities, and of possible ridicule or harassment by coworkers or managers. One respondent said, “I do not want to be viewed as a disabled person and then as an employee … I want to ensure that I am viewed as a valued employee who happens to have a disability.”

Also read: 5 Simple Ways to Approach People With Mental Health Problems

Why Disclose?

Under the Americans with Disabilities Act (ADA), a person must disclose their disability in order to get support or what’s formally known as an accommodation. For an individual with mental illness, this could be time, place or schedule flexibility, a service animal or another easy-to-implement, low-cost or free accommodation. They can help an employee to be more productive and engaged at work and are the biggest reasons people decide to disclose a non-visible disability in the workplace.

The dialogue between employees and their employers about accommodation should be ongoing because what works best may change over time. A flexible, creative and interactive dialogue during the accommodation process can make it more successful.

In fact, respondents rated having a supportive relationship with their supervisor as the second most important factor in deciding to disclose a mental illness. From other research, we know that individuals are much more likely to disclose a disability to a supervisor than to someone from human resources or on equal employment opportunity survey.

But supervisors need support and education to confront biases. Training on disability awareness, the ADA, and accommodation can help prepare supervisors for the disclosure conversation. Knowledge of disability-related resources both within the organization and in the community can build supervisor confidence.

Also read: Mental Health Issue a Feminist Issue Too

Respect and Trust

Despite fears of limited opportunities or harassment, the vast majority of people in our survey had neutral or even positive experiences with their disclosure. We found that those who reported positive disclosure experiences often said things like, “My boss respected me and understood the difficulties I have” and that “[disclosure] depends on the responsiveness of co-workers, supervisors, and general work environment.”

Respondents indicated that visible employer commitment to disability was important in their decision to disclose. Seeing other employees with disabilities succeed, seeing their employer actively recruit people with disabilities, or seeing disability included in a company diversity statement made the decision to disclose easier. However, company policies are not enough.

As one person said, “I would be wary of disclosing until I saw how the employer actually treated employees with mental health issues, not just their stated policy. There would have to be trust in my supervisors and colleagues.”

What and When to Disclose

A colleague compared disability disclosure to peeling an onion: There may be lots of layers to disclosure. What is shared with a coworker may be different from what is shared with human resources. Someone may choose to disclose only one of multiple disabilities to an employer – perhaps only the disability where a workplace accommodation would help. There is also the decision of when to disclose.

In our survey, people said they felt disclosure could be safer later in the employment process. This might mean waiting until after they are hired or have had a chance to prove their value. But, it can be stressful to put off this conversation, as one respondent said, “It is certainly less stressful to have it out in the open than to be concerned about having to hide it and not wanting anyone to find out”.

Disclosure can also have a positive impact for others with similar disabilities. One person said, “I am not ashamed of my disability, and I would hope that my disclosure would help someone else with a disability in seeking employment.”

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More
perempuan gig worker

Sulitnya Jadi ‘Gig Worker’ Perempuan Selama Pandemi

Klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa tekanan ekonomi lebih membebani pekerja perempuan, tampaknya bukan pesan kosong. Buktinya, sektor bisnis paling banyak yang terdampak pandemi, diisi oleh para pekerja perempuan. Menurut catatan CNN Indonesia, 40 persen pekerja perempuan, seperti asisten rumah tangga, restoran, perhotelan, hingga akomodasi jadi jauh lebih miskin belakangan. Oleh The New York Times, ini disebut shecession, sebuah kondisi di mana kemerosotan pendapatan ekonomi lebih banyak dialami perempuan, berbeda dengan mancession 2008 di Amerika yang menimpa mayoritas lelaki

Jika sudah begini, perempuan pun terpaksa untuk pontang-panting bertahan hidup. Untungnya, kemajuan teknologi internet sedikit banyak mempermudah akses perempuan untuk memperoleh pendapatan. Tak heran jika kemudian istilah gig economy muncul sebagai ekses kemajuan tersebut. Dalam gig economy, perempuan bisa mencicipi lapangan kerja beragam, mulai dari mitra ojek online, kurir jasa pengiriman, dan kerja kontrak independen lainnya.

Baca Juga: Biru Terong Initiative: Berdayakan Perempuan, Picu Perubahan Sosial Lewat Video

Gig Worker Berawal dari Tuntutan

Bekerja sebagai gig worker menjadi satu-satunya pilihan bagi Natalia (40), seorang pengantar jasa titip makanan UMKM di Jakarta. Ia memilih tempat makan yang terkenal melalui Instagram @darihalte_kehalte. Mulanya, pekerjaan tersebut dilakukan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Namun, setelah seminggu tidak menerima penghasilan dari jasa ojek online-nya hingga diputus mitra, ia memutuskan untuk fokus bekerja sebagai jasa titip.

“Saya sudah mempromosikan jasa titip ini sejak 2 bulan sebelum pandemi, cuma sama sekali nggak ada yang pernah beli. Di hari saya putus mitra, kok ya Tuhan kasih jalan, langsung banyak pesanannya,” cerita Natalia.

Pekerjaan ini membuka berbagai peluang baginya. Kini ibu dua anak itu memiliki banyak pelanggan yang sering meminta tolong untuk mengantarkan paket, berbelanja ke pasar, sampai mencari 30 kaleng susu beruang yang sedang langka.

Berbeda dengan Natalia yang bekerja untuk menafkahi keluarga, Citra (30) seorang pedagang kue basah yang menjajakan dagangannya di Instagram @jajanan_salamah, memiliki tujuan berbeda dalam melakukan pekerjaannya. 

“Sebenarnya uang yang diberikan suami sudah cukup, tetapi sebagai perempuan kita harus tetap punya uang pegangan. Hitung-hitung ya penghasilan tambahan sekaligus menutupi kekurangan kalau sewaktu-waktu dibutuhkan,” tuturnya. 

Ia memberlakukan sistem pre-order setiap minggunya dan memilih untuk mengantar pesanan secara langsung ke stasiun terdekat pelanggannya.

“Kalau pelanggan tinggalnya di Cilebut, saya naik Transjakarta lalu lanjut KRL. Nanti di Stasiun Cilebut baru saya pesankan ojek online untuk mengantar pesanan,” ujarnya. Citra mengaku memilih untuk mengantar langsung lantaran ingin mempertahankan kualitas kue sehingga ongkos produksinya di atas rata-rata.

“Setidaknya saya bantu mengurangi pengeluaran konsumen dengan cara seperti itu,” jelasnya.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Suka dan Duka

Selama 18 bulan terakhir, pekerjaan Natalia dalam layanan jasa titip mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Bahkan, ada sebuah peristiwa yang sangat berkesan baginya.

“Waktu itu saya pasrah banget karena harus bayar uang semesteran anak. Eh, selama 3 hari berturut-turut ada pesanan dari Kementerian, seenggaknya sudah bisa membayarkan Rp700 ribu. Enggak lama, ada seseorang yang pesan makanan di Muara Karang, akhirnya saya ambil dengan perjanjian belanja ongkir Rp75 ribu untuk antar sampai Ragunan. Pas pelanggan ini ambil pesanannya, dia kasih uang Rp400 ribu. Jadi kuliah anak saya lunas dibayar sama pelanggan tersebut. Itu saya langsung duduk dan menangis di depan rumah orang,” cerita Natalia.

Baca Juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Nasib berbeda dialami Citra yang justru memikirkan ketidakpastian di masa pandemi ini. Ia mempertimbangkan kehidupannya tidak bisa terus menerus bergantung dengan usaha kue, terlebih selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Keadaan ini membuatnya harus menghentikan pekerjaannya untuk sementara waktu. Keputusan itu diambil karena pekerjaannya yang mengharuskan untuk berbelanja ke pasar hingga mengantar pesanan, sehingga terlalu berisiko untuk kesehatan.

“Sekarang saya mau fokus ikut CPNS tahun ini. Syukur-syukur kalau nanti lolos, uangnya bisa memperluas usaha dan mempekerjakan orang lain. Jadinya kan bisa sekalian memberdayakan perempuan,” ucapnya menaruh harapan.

Baca Juga: ‘Female Gaze’ dan Cara Pandang Dunia Lewat Lensa Perempuan

Masa Depan Gig Worker di Tangan Perempuan

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Hyperwallet pada 2017, 61% perempuan gig workers di Amerika Serikat ingin menjadikan pekerjaannya sebagai karier full-time. Gig work pun dinilai lebih fleksibel, dapat memiliki work life balance yang baik, dan berpotensi mendapatkan pendapatan yang lebih besar serta setara dengan laki-laki.

Terkait lapangan kerja bagi gig worker ini turut dibahas dalam penelitian Katherine Lim dkk. berjudul “Independent Contractors in the U.S.: New Trends from 15 years of Administrative Tax Data” (2019). Mereka menunjukkan kemungkinan adanya pergeseran struktural yang luas di pasar tenaga kerja, terutama bagi perempuan yang diwakili oleh tren pertumbuhan untuk kontraktor independen.

Dengan bekerja sebagai gig worker, perempuan memiliki independensi dan kebebasan dalam menentukan pekerjaan, sehingga dapat menyesuaikan dengan peran dan tanggung jawabnya di dalam keluarga.

Read More

‘Beauty Privilege’ di Tempat Kerja, Bukti Standar Kecantikan Tak Masuk Akal

Kita memang benar-benar punya masalah serius tentang standar kecantikan. Khususnya bagi perempuan, tuntutan agar seseorang bertubuh langsing, tinggi, berwajah mulus tanpa cela, dan berpenampilan feminin sesuai standar yang banyak beredar, selalu membayang-bayangi keseharian sejak dini. Mereka yang dinilai cantik akan mendapatkan banyak keuntungan, sebaliknya, perempuan berwajah biasa saja, tidak pernah mendapat akses akan keuntungan itu.

Penelitian Langlois dkk. berjudul ‘Infant Attractiveness Predicts Maternal Behaviors and Attitudes’ (1995) menunjukkan, bayi yang tampilannya lucu dan menggemaskan (terutama berkulit putih) mendapat lebih banyak ungkapan kasih sayang dari para orang dewasa, termasuk orang tuanya, dibanding bayi yang tampilannya biasa aja.

Beranjak kanak-kanak dan remaja, hal itu semakin kentara, bahkan divalidasi oleh lembaga pendidikan formal termasuk sekolah. Riset Ritts dkk. yang berjudul ‘Expectations, Impressions, and Judgments of Physically Attractive Students: A Review’ (1992) menunjukkan, para guru di sekolah memiliki ekspektasi yang lebih tinggi kepada murid-murid yang penampilannya menarik, cantik, atau tampan, ketimbang murid-murid yang dianggap terlihat biasa saja.

“Bahkan, murid-murid yang punya penampilan menarik cenderung mendapat nilai yang lebih tinggi dan berpeluang lebih besar untuk mendapatkan gelar di universitas ketimbang mereka yang memiliki penampilan fisik biasa saja,” ujar Rachel A. Gordon dkk. dalam penelitiannya yang berjudul ‘Physical Attractiveness and the Accumulation of Social and Human Capital in Adolescence and Young Adulthood Assets and Distractions’ (2013).

Tahukah kamu, hal itu bahkan turut merembet ke dunia kerja profesional? 

Menurut Dario Maestripieri dkk. dalam penelitian mereka ‘Explaining financial and prosocial biases in favor of attractive people: Interdisciplinary perspectives from economics, social psychology, and evolutionary psychology’ (2016), orang-orang yang berpenampilan menarik berpeluang untuk mendapatkan kesempatan kerja lebih besar daripada orang-orang yang berpenampilan biasa saja. Mereka juga memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan kariernya melalui berbagai promosi, bahkan mendapatkan gaji yang lebih banyak. Ketertarikan fisik dalam hal ini juga mencakup orang-orang yang penampilannya mewakilkan standar normalitas dalam kehidupan sosial.

Baca juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan

Kita mungkin akrab dengan teman-teman kita atau orang-orang di luar sana yang memiliki gaya berpakaian unik. Bukan blus dan rok, ataupun kemeja, dasi, dan celana bahan, ketika berangkat kerja, mungkin mereka lebih memilih mengenakan jaket warna hijau neon yang dipadukan dengan celana kulot berwarna ungu, atau, para lelaki yang menggunakan pakaian berwarna pink dengan model feminin, lengkap dengan tato tubuh yang tampak jelas. Mereka ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang tidak memenuhi standar penampilan masyarakat, atau tidak sesuai kriteria estetika dominan masyarakat dalam istilah Maestripieri, sehingga kesempatannya di dunia kerja tak sebanyak mereka yang dianggap sesuai standar tadi. 

Hal ini menunjukkan, beauty privilege atau privilese kecantikan di dunia kerja memang benar-benar ada, dan itu turut menyuburkan lookism, istilah untuk merujuk pemikiran dan kebiasaan yang diskriminatif dalam memperlakukan orang-orang yang dianggap tidak menarik, aneh, dan tidak sesuai standar masyarakat. Pada dasarnya, lookism adalah bentuk lain dari perilaku mengkotak-kotakan manusia serta kebiasaan menghakimi orang lain hasil kemalasan berpikir untuk melihat suatu hal dari berbagai sisi. Mereka yang dinilai superior mendapatkan keuntungan, sementara yang dinilai inferior kehilangan hak-hak mereka, bahkan mengalami kerugian.

Dilanggengkannya hal tersebut oleh perusahaan dan dunia kerja profesional secara umum menunjukkan bagaimana celah ketidakadilan bagi kelompok minoritas itu selalu ada. Hal itu disebabkan karena dunia selalu terkungkung atau bahkan sengaja mengungkung dirinya sendiri dengan cara pandang yang hitam putih, selalu mencari yang salah di antara yang benar. Padahal, tak pernah ada Standar Operasional Prosedur (SOP) ataupun kriteria cantik atau tampan, layak atau tidak layak, yang benar-benar merepresentasikan ide-ide masyarakat tersebut.

Baca juga:  Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

info grafik beauty privilege di Indonesia

Langgengkan Seksisme dan Rasisme

Kita bisa sepakat penampilan hanyalah satu (bukan kunci) dari banyak hal yang menentukan kualitas diri seorang manusia, terutama dalam dunia kerja profesional. Menjaga dan memperhatikan penampilan memang hal yang penting sebagai bentuk penghargaan dan kasih sayang pada diri sendiri. Namun, penampilan bukanlah satu-satunya penentu kualitas diri seseorang.

Kompetensi dia dalam pekerjaannya, latar belakang pendidikan, soft skill dan hard skill, kemampuan berkomunikasi, empati, dan kerja tim adalah hal-hal yang jauh lebih layak mendapat perhatian besar dalam menilai atau merekrut seorang karyawan.

Namun, kenyataannya tentu tak sesederhana itu. Terlebih bagi perempuan, kompetensi mereka di dunia kerja dan aspek lain dalam ranah publik selalu dibenturkan dengan narasi penampilan ideal, standar kecantikan, dan pembawaan sikap yang submisif dan lemah lembut. 

Ketiga hal tersebut tak selalu, bila tidak sama sekali, menentukan kompetensi seseorang di dunia kerja. Hal itu tercermin dalam lahirnya narasi lowongan karyawan baru yang tak masuk akal, seperti menyertakan kriteria berat badan maksimal, tinggi badan minimal, belum menikah, atau belum mempunyai anak. Padahal, merujuk kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO), berjudul ‘ABC of women workers’ rights and gender equality’ (2007) sudah menetapkan larangan bagi perusahaan untuk melakukan rekrutmen pekerja dengan melakukan diskriminasi seks termasuk membuat spesifikasi yang mengatur tinggi dan berat badan minimal, atau status pernikahan dan kehamilan. 

Selain lowongan pekerjaan, beberapa perusahaan bahkan memberlakukan standar pakaian yang sangat seksis. Misalnya, mengharuskan para pekerja perempuan untuk mengenakan sepatu hak tinggi atau high heels untuk menunjang penampilan tubuh menjadi lebih tinggi, kurus, dan menonjolkan bentuk bokongPadahal alas kaki yang tidak nyaman untuk dikenakan serta memiliki dampak buruk bagi kesehatan otot dan tulang kaki. 

Salah satu negara yang memberlakukan peraturan ketat terkait busana para pekerja perempuannya adalah Jepang. Menurut riset the Japanese Trade Union Confederation (Rengo), lebih dari 11 persen perusahaan di Jepang memiliki aturan yang mengharuskan pegawai perempuannya untuk mengenakan high heels

Baca juga: ‘Effortless Beauty’: Standar Ganda Kecantikan yang Mustahil Dicapai

Beauty Privilege Melanggengkan Rasisme

Karena penampilan fisik dan cara berpakaian merupakan ekspresi minat, konsep diri, hingga gender, bawaan lahir dan keturunan, bahkan latar belakang sosial dan ekonomi seseorang, tidak adil rasanya membebankan standar yang sama pada setiap perempuan pekerja. Pada akhirnya, kecantikan menjadi sebuah privilese yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Beauty privilege memberikan akses lebih bagi sekelompok perempuan, tapi menutup akses pada perempuan-perempuan lainnya. 

Beauty privilege juga bekerja dalam melanggengkan rasisme. Standar kecantikan yang beredar di masyarakat di hampir seluruh belahan dunia hari ini berpatokan pada penampilan fisik perempuan dan orang-orang Eropa. Kita akrab menyebut ini dengan standar kecantikan eurocentrist, yang merupakan manifestasi, juga hal yang melanggengkan, rasisme dan kolonialisme.

Kulit putih dan cerah, tubuh tinggi dan langsing, rambut lurus atau ikal pirang, bahkan mata biru, adalah fitur-fitur perempuan Eropa yang berusaha dijadikan acuan oleh masyarakat, bahkan terus-menerus direproduksi oleh berbagai produk di media dan media massa, termasuk di Indonesia. Alhasil, 22 persen orang Indonesia tak merasa puas dan bahagia dengan tubuhnya sendiri, menurut riset YouGov yang dipublikasikan dalam tulisan berjudul ‘Over a third of Brits are unhappy with their bodies’ (2015).

Jadi, bayangkan kalau kamu adalah seorang perempuan Indonesia, berwarna kulit gelap, memiliki tubuh berisi yang tidak terlalu tinggi, berambut keriting, dan berwajah sedikit berjerawat, tapi kamu memiliki segelintir prestasi dan pengalaman kerja yang sesuai dengan kualifikasi posisi sebuah perusahaan.

Apakah adil bila kamu tak diterima bekerja, atau tak mendapatkan promosi di kantor, hanya karena penampilanmu dinilai tak menarik, sementara peluang itu diberikan kepada temanmu yang kurang kompeten tapi dinilai lebih cantik?

Entah budaya, mentalitas, bahkan hasil kerja seperti apa yang akan terbentuk bila kebiasaan ini terus dilestarikan. 

Read More
pengusaha perempuan sukses di dunia

6 Pengusaha Perempuan Sukses dan Ternama Dunia, Idolamu Termasuk?

Menjadi pengusaha sukses memang bukan pilihan mudah, apalagi jika kamu seorang perempuan. Ini dilatarbelakangi oleh maraknya stereotip yang menyebutkan, perempuan kurang cocok terjun di dunia bisnis. 

Ada banyak sekali hambatan yang perempuan hadapi saat ia memutuskan jadi pengusaha, termasuk kesulitan mendapatkan investor. Hambatan lainnya berupa beban ganda sebagai ibu sekaligus pekerja. Selain itu, ada juga hambatan, seperti masalah kepercayaan diri pada pengusaha perempuan akibat stereotip dan diskriminasi yang terus-menerus dialami.

Meskipun banyak hambatan yang dihadapi oleh pengusaha perempuan, ada beberapa perempuan yang membuktikan dirinya mampu terjun dalam dunia bisnis. Bahkan nama mereka sudah dikenal di seluruh dunia. Berikut ini daftar pengusaha perempuan tersukses di dunia.  

Huda Kattan, Pengusaha dan Pemilik Kosmetik Huda Beauty

Lahir di Kota Oklahoma, Amerika Serikat, Huda Kattan merupakan seorang makeup artist  dan juga pendiri bisnis kosmetik Huda Beauty. Untuk mencapai posisinya saat ini, perjalanan Kattan terbilang panjang. 

Dikutip dari USA Today, sebelum menjadi makeup artist, pebisnis perempuan ini pernah bekerja di bidang keuangan dan menjadi HRD, tetapi dia merasa pekerjaan itu bukan untuknya. Beberapa tahun mencari pekerjaan yang pas, Huda pun melabuhkan pilihannya pada makeup. Hal ini membuatnya kembali ke Los Angeles untuk belajar makeup.

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Setelah lulus, ia pun kembali ke Dubai dan mulai bekerja keras di bidang ini. Di 2010, atas saran dari adik perempuannya, Huda memulai blog kecantikan yang ia namakan Huda Beauty. Dari blog tersebut kariernya semakin moncer, ia bisa bertemu dengan klien besar seperti artis dan keluarga kerajaan Dubai. 

Kariernya yang semakin meroket membuat Huda ingin membuka bisnis kecantikannya sendiri. Ia pun mulai mengamati pasar yang ada, dan memutuskan untuk membuat bulu mata palsu, yang dikeluarkan melalui brand Sephora. Hal ini pun menjadi awal dari perjalanan bisnis Huda Kattan hingga saat ini. 

Wang Laichun, Pemimpin Produsen Elektronik Luxshare Precision Industry

Dikutip dari  Forbes, Wang Laichun merupakan pemimpin dari produsen elektronik Luxshare Precision Industry, perusahaan yang menyuplai onderdil produk Apple. Pada 2014, The Daily Telegraph mengumumkan, Wang Laichun merupakan salah satu miliarder perempuan termuda di dunia.

Sebelum ini, Wang Laichun berkarier di perusahaan milik Miliarder Taiwan, Terry Gou, Hon Hai Precision Industry (dikenal juga dengan foxconn) selama 10 tahun. Ia keluar pada 1999 dan pada 2004 bersama dengan adiknya, Wang Laisheng ia membeli perusahaan Luxshare. 

Pengusaha Perempuan Sukses Asia Cher Wang, Pendiri HTC

Pengusaha perempuan yang lahir di Taipei, Taiwan ini adalah salah satu perempuan pertama dalam sejarah yang mendirikan perusahaan teknologi (startup) pada akhir 1990-an. Pada 1997, bersama dengan Peter Chou dan H.T Chou, mereka membangun perusahaan teknologi HTC, yang berfokus pada elektronik laptop dan komputer.

Baca Juga: Dian Eka Purnama Sari: Perempuan Pengusaha yang Lawan Stereotip

Perusahaan ini pun mulai berinovasi dan menciptakan produk ponsel pintar. Di 1998, HTC mengeluarkan produk Personal Digital Assistant (PDA), dan menjadi ponsel sentuh nirkabel pertama di dunia. Produk ini menjadi gerbang pertama HTC untuk terjun ke dalam bisnis ponsel pintar.

Dikutip dari TechTimes, beberapa tahun belakangan HTC tengah berada dalam situasi sulit. Untuk mengatasi hal ini, pada 2020 lalu, Cher Wang kembali dipanggil untuk membantu perusahaan ini bangkit kembali. Kembalinya Wang sebagai CEO dan Ketua Dewan perusahaan, membawa  peningkatan sebesar tiga persen pada saham HTC. 

Pengusaha Perempuan Sukses Kiran Mazumdar-Shaw

Lahir di Bangalore, Karnataka, India, Kiran Mazumdar- Shaw seorang pengusaha perempuan yang juga pendiri dari perusahaan Biocon India Group. 

Dikutip dari laman Britannica, awalnya Mazumdar ingin mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi seorang pembuat bir. Namun, ketika ia lulus pendidikan pascasarjana dalam pembuatan bir pada 1975, tak ada perusahaan yang mau menerima pembuat bir perempuan. Saat ia menjalani pekerjaan sebagai konsultan, ia bertemu dengan Leslie Auchincloss, pemilik perusahaan berbasis di Irlandia, Biocon Chemicals. 

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

Auchincloss yang terkesan dengan cara kerja serta semangat dari Mazumdar akhirnya merekrut ia sebagai rekan dalam usaha baru, Biocon India pada 1978. Perusahaan ini memproduksi enzim yang digunakan untuk minuman beralkohol, kertas, dan produk lainnya.

Banyak tantangan yang dilalui oleh Mazumdar pada awal-awal ia mendirikan BIocon India Group. Ia banyak mendapatkan pandangan skeptis dan diskriminasi. Saat itu ia kesulitan mencari karyawan yang mau bekerja untuk perempuan dan investor pun juga enggan menanam modal. 

Meskipun tantangannya berat, Mazumdar berhasil membuktikan bisa memimpin perusahaan itu hingga mencapai kesuksesan. Di 2000, The World Economic Forum mengakui Mazumdar sebagai seorang pionir dalam bidang  teknologi.   

Jennifer Hyman CEO Rent The Runway

Hyman merupakan CEO dan pendiri perusahaan mode Rent The Runway, yang berfokus pada jasa penyewaan baju dan aksesoris merek terkenal. Dikutip dari The New York Times, Jennifer Hyman mendapat ide bisnisnya dari pengalaman sang adik yang tersiksa sebab harus membeli merek pakaian mahal untuk ke acara pernikahan. Ia memulai bisnis ini pada 2009.

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

Hyman juga dikenal peduli dengan isu-isu sosial, terutama isu kekerasan seksual di industri teknologi. Dalam sebuah kolom opini yang ia tulis di The New York Times, Hyman berujar, di perusahaannya akan menyamakan tunjangan untuk semua karyawan. Selain itu, semua karyawannya, mulai dari bagian gudang, toko, dan tim pelayanan pelanggan, akan mendapat cuti orang tua, cuti sakit untuk keluarga, dan cuti berkabung. 

Yang Lan, Pendiri Sun Media Group

Mengawali kariernya sebagai seorang presenter televisi, pengusaha perempuan sukses ini banyak menaruh perhatian pada industri media. Ia kemudian membangun Sun Media Group pada 1999, dan saat ini menjadi salah satu grup media swasta terkemuka di Cina 

Bersama dengan suaminya, pada 2000, mereka meluncurkan Sun TV, sebuah saluran televisi satelit pertama dalam sejarah Cina. Atas prestasinya, Yang banyak mendapatkan penghargaan di antaranya, “Chinese Women of The Year”, “Top Ten Women Entrepreneurs Award”, dan “She Made It” award dari The Paley Center for Media, Columbia University.

Read More
Menjadi Perempuan Karier

Perempuan di Simpang Jalan: Pilih Bekerja atau IRT?

Tak ada lagi pakem bahwa perempuan harus berdiam di rumah dan mengurus kerja-kerja domestik. Perempuan juga berhak meniti karier tinggi, memiliki kemandirian finansial, dan menorehkan prestasi di sana-sini.

Anggapan bahwa perempuan, mau setinggi apapun pendidikannya, cuma akan berakhir di dapur sudah kadaluarsa. Jika perempuan memilih untuk di rumah, tak masalah sepanjang ia memilihnya tanpa tekanan. Toh, kerja-kerja di rumah juga terbilang lebih berat ketimbang mereka yang bergumul di sektor non-domestik. Bayangkan saja, mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, semua dilakukan tanpa bayaran selama 24 jam penuh. Beruntung jika perempuan-perempuan ini memiliki support system yang memadai, tapi jika tidak, makin bertambah malang lah mereka.

Baca Juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Di sisi lain, jika perempuan memilih berkarier di luar pun, itu tak mengurangi ke-perempuan-an dirinya. Yang bermasalah adalah ketika perempuan tak berada dalam kondisi ideal untuk menentukan nasibnya sendiri. Misalnya, dikungkung norma agama, tak diberi kesempatan oleh keluarga, dalam hal ini suami, dan kondisi-kondisi tak setara lainnya.

Di dalam Islam sekalipun, soal perempuan karier juga telah dijelaskan dengan gamblang. Perempuan punya hak untuk memiliki harta dan membelanjakan, memakai, menyewakan, menjual, atau menggadaikan hartanya. Bahkan, tak ada satu pun fatwa atau ketetapan dalam agama Islam yang menyebutkan, perempuan dilarang bekerja di luar rumah apalagi jika tugas tersebut membutuhkan penanganan perempuan. 

Jika memilih menjadi perempuan karier, tentu ada pertimbangan tersendiri. Misalnya, perempuan ingin lebih berdaya menghidupi dirinya beserta keluarga. Pun, perempuan ingin mengerek kualitas dirinya di sektor-sektor non-domestik. Pilihan ini tak keliru, dan sebagai sesama perempuan, kita wajib memberi dukungan.

Berikut beberapa pertimbangan, kenapa perempuan menjadi perempuan pekerja.

Kapasitas Diri 

Teknologi yang terus berkembang membantu semua orang, termasuk perempuan dan lelaki untuk bisa mengerjakan urusan rumah tangga secara instan dan efisien. Layanan pekerja rumah tangga panggilan pun bisa dengan mudahnya ditemui hari-hari ini. Dengan kondisi ini, baik perempuan dan lelaki bisa memilih untuk mengembangkan dirinya di sektor non-domestik. Selain demi mengetahui potensi dalam diri, bekerja di tempat yang tepat juga bisa membantu kita menggali potensi diri.

Pendidikan Tinggimu Tak Pernah Sia-sia

Menjadi sarjana atau bisa kuliah merupakan kebanggaan tersendiri untuk sebagian kalangan. Jika mengikuti konstruksi publik, mereka dengan pendidikan tinggi, biasanya akan memperoleh pekerjaan yang didukung basis keilmuan cukup. Sebagai perempuan, maupun laki-laki, kamu tentu tak ingin gelar sarjanamu menguap begitu saja bukan? Entah kamu gunakan untuk bekerja sendiri atau untuk orang lain, pendidikan yang susah payah kamu jalani tak pernah jadi hal yang sia-sia. Bahkan jika kamu memilih bekerja sebagai ibu rumah tangga sekalipun, pendidikanmu berguna untukmu mengasuh anak dan mengelola keluarga.

Baca Juga: Women Lead Forum 2021 Digelar untuk Dukung Karier, Kepemimpinan Perempuan

Passion Dalam Menjalani Hidup

Ada anggapan seorang pekerja perempuan dituntut untuk mengejar passion dalam hidupnya. Passion yang dimaksud bisa berwujud antusiasme untuk mendapatkan kesuksesan. Secara spontan, seorang perempuan karier sebaiknya menetapkan tujuan dan memiliki hasrat untuk belajar tanpa henti, dan semangat untuk menjalani hidupnya.

Belajar Berpikir Positif

Selalu punya pikiran positif akan membikin seseorang lebih gampang mendapatkan solusi saat menemukan masalah. Melihat sisi positif dalam setiap tugas, tentu bakal berpengaruh terhadap kenyamanan bekerja seseorang. Rasa nyaman seseorang saat bekerja, akan membikin lebih semangat waktu bekerja. Pastinya kalian akan bekerja dengan hati yang riang.

Perempuan Karier adalah Sosok yang Mandiri

Perempuan karier akan punya kecenderungan sikap yang mandiri. Tak cuma mandiri untuk masalah finansial tapi juga dalam setiap kesehariannya. Inilah bentuk komitmen dari seorang perempuan karier. Perempuan pekerja diharapkan punya pendirian yang kuat akan membuat mereka lebih fokus dengan pekerjaan yang dikerjakannya. Mereka sudah terbiasa untuk melakukan pekerjaan apapun tanpa harus menunggu orang lain. 

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Solutif dan Pengendalian Emosi

Di dunia pekerjaan, tak cuma masalah kecerdasan dan keterampilan yang menjadi evaluasi dalam merekrut karyawan. Emotional Quotient (EQ) menjadi salah satu pertimbangan dari perusahaan untuk memintamu bergabung. Mereka sadar betul, emosi negatif yang tak diolah dengan baik, berpotensi menjatuhkan, baik menjatuhkan orang lain atau menjatuhkan dirinya sendiri. Tekanan pekerjaan yang terasa berat membikin seseorang gampang stress. Kesulitan akan datang setiap harinya, hingga kamu ditempa lebih kuat dan terbiasa melaluinya.

Seorang perempuan karier lebih condong punya pola pikir yang terbuka dan solutif saat menghadapi permasalahan. Mereka akan lebih gampang saat menyelesaikan masalah, karena mengutamakan ketenangan emosi saat mencari solusi. Karakter ini bisa dibilang merupakan hal yang positif yang harus dipunyai oleh seorang perempuan karier.

Komunikasi dan Negosiasi Kemampuan yang Dimiliki Perempuan Karier

Dibutuhkan ide yang terbuka, cara berbicara yang baik, serta kecakapan bernegosiasi jika kamu ingin makin maju sebagai perempuan karier. Dengan kemampuan tersebut, permasalahan relatif lebih mudah diselesaikan. Pun, untuk punya karier yang bagus, seorang perempuan karier harus punya kemampuan ini. 

Perempuan Karier Harus bisa Menyesuaikan Diri

Dalam lingkungan pekerjaan memang terasa sangat dinamis. Keadaan yang terus bergerak ini akan memaksa seseorang untuk bisa terus menyesuaikan diri. Namun, sebenarnya setiap orang bisa beradaptasi, hanya saja ia mau atau tidak keluar dari zona nyamannya.

Baca Juga: Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja

Memilih menjadi perempuan karier memang tidak gampang. Kalian harus punya keinginan untuk mampu beradaptasi. Karena bila kalian ingin punya karier dan posisi yang baik, kalian harus punya kemampuan beradaptasi karena untuk bisa menyesuaikan diri dengan dunia pekerjaan yang terus bergerak.

Read More

Diskriminasi Penerimaan Kerja Berdasarkan Zodiak, Memang Ada?

Pantes aja kerjanya enggak benar. Gemini, sih!”

“Oh, dia ngebohongin atasannya? Enggak heran, sih. Dia kan Virgo.”

Kamu pernah mendengar hal-hal seperti itu saat nongkrong bareng teman atau mungkin, di kantormu sendiri? Kalau pernah, berarti kamu adalah bukti yang mendukung hasil penelitian soal diskriminasi di tempat kerja berdasarkan zodiak.

Hah? Masa beneran ada yang kayak gini?

Berdasarkan riset Jackson G. Lu dkk. berjudul “Disentangling stereotypes from social reality: Astrological stereotypes and discrimination in China” (2020), hal itu memang sungguh terjadi di Cina dan beberapa negara lainnya.

Meski terdengar konyol, tak sedikit perusahaan yang  menjadikan zodiak calon karyawan sebagai pertimbangan besar sebelum menerima mereka untuk bekerja. Setidaknya, 40 persen perekrut di Cina sering mendiskusikan dan mempertimbangkan untuk menerima karyawan berdasarkan zodiak mereka. Penelitian itu juga mengungkapkan, di Cina, ada stereotip kepribadian seseorang berhubungan langsung dengan zodiaknya.

Lu dan kawan-kawan kemudian menguji anggapan tersebut pada 351 perekrut profesional dari 24 industri berbeda di Cina. Mereka menempatkan para perekrut dalam sebuah eksperimen, di mana mereka diminta untuk memilih satu dari beberapa lamaran kerja milik calon pegawai yang mereka nilai cocok untuk dipekerjakan.

Baca juga: Hak untuk Bekerja Tidak Bergender, Stop Larang Perempuan Melakukannya

Lamaran-lamaran kerja yang diberikan itu secara umum serupa dan mengandung elemen pembahasan yang sama, tapi dibuat mengandung keterangan tanggal lahir kandidat. Sebagian calon pegawai memiliki zodiak Virgo, sebagian lagi berzodiak Leo. Ternyata, para perekrut lebih memilih untuk mempekerjakan orang-orang berzodiak Leo daripada Virgo.

Beberapa perekrut secara sengaja tidak memilih orang-orang berzodiak Virgo (lahir antara 23 Agustus sampai dengan 22 September) sebagai teman, pasangan, atau bahkan pegawai, karena stereotip bahwa orang-orang Virgo dianggap memiliki kepribadian yang banyak protes dan sering tidak menyetujui banyak hal.

Bukan hanya Virgo, melansir NBC News, seorang perekrut di sebuah perusahaan pelatihan bahasa bernama Chutian Metropolis Daily di Wuhan, Cina, berkata bahwa dia memiliki pengalaman buruk dengan pekerja berzodiak Scorpio dan Virgo. Kedua zodiak tersebut dinilainya cenderung kritis dan agresif, dan hal itu membuat mereka jadi tidak akrab dengan rekan-rekan kerja lain, sehingga tak bertahan lama bekerja di perusahaan itu. Hal itu membuat sang perekrut memiliki preferensi tertentu dalam merekrut karyawan, yaitu memilih mereka yang memiliki zodiak Capricorn, Libra, dan Pisces.

Kepribadian Manusia Tak Ditentukan oleh Zodiak

Untuk menguji temuan secara lebih lanjut, Lu dkk. dalam penelitian yang sama kemudian menguji, apakah benar zodiak dan astrologi memengaruhi kepribadian seseorang, bahkan menentukan etos dan cara kerjanya di kantor.

Mereka memilih 173.309 sampel yang terdiri atas orang-orang dewasa di Cina untuk melakukan eksperimen. Sampel diminta untuk mengisi serangkaian tes kepribadian yang juga berisi karakteristik kepribadian manusia yang diselaraskan dengan stereotip dari tiap-tiap zodiak. Misalnya, menguji bahwa orang-orang Virgo itu sering mengungkapkan kritik, dan bahwa Gemini itu temperamental dan emosional. Ternyata, hasil penelitian berkata lain. Zodiak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepribadian seseorang.

Itu juga diperkuat oleh penelitian berjudul “Psychology of Astrology (The relationship between zodiac signs and the personality of an individual)” yang digagas oleh Aaron Arthur G. Azucena, dkk. Penelitian itu menunjukkan, penggambaran kepribadian atau sifat manusia dalam tiap-tiap zodiak memiliki jangkauan yang sangat luas dan general. Misalnya, label “temperamental” sebagai cerminan dari sebuah zodiak itu memuat indikasi yang terlalu umum, karena siapa saja bisa menjadi temperamental tanpa harus memiliki zodiak tertentu.

Baca juga: 3 Alasan Penyandang Disabilitas Intelektual Masih Sulit Dapat Kerja

Hal ini berkaitan dengan The Barnum effect, sebuah istilah dalam psikologi yang mengungkap manusia menerima dan memaknai label maupun deskripsi kepribadian yang diberikan orang-orang kepada mereka, karena label itu sebenarnya juga berlaku pada diri banyak orang lain. Meski begitu, banyak orang yang tidak menyadari label dan deskripsi kepribadian berdasarkan zodiak itu sangat umum dan bisa ditemukan pada diri orang lain. Karena merasa menemukan kesamaan antara kepribadiannya dengan deskripsi bawaan dari sebuah zodiak, akhirnya banyak orang mempercayai bahwa sikap mereka ditentukan oleh bawaan-bawaan sikap dari zodiaknya.

“Kami menyimpulkan zodiak dan astrologi tidak akurat untuk memprediksi kepribadian seseorang karena tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua hal tersebut,” demikian catat Azucena dkk. dalam penelitian mereka.

Potensi Diskriminasi Kerja yang Lebih Besar

Temuan dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan diskriminatif dalam perekrutan. Hal itu bahkan dilatar belakangi oleh kepercayaan dan anggapan yang pseudoscientific dalam dunia profesional. Baik rasisme maupun astrologi berangkat dari cara pandang yang serupa, yaitu bahwa manusia bisa dikelompokkan serta dinilai berdasarkan karakteristik individual, seperti warna kulit dan tanggal lahir, alih-alih dinilai berdasarkan kualitas dirinya sebagai manusia atau kualifikasinya sebagai pekerja di bidang tertentu. Seperti halnya seperti orang Afrika-Amerika yang sering dianggap pemalas ataupun kriminal, atau orang-orang berzodiak Scorpio yang sering dianggap hanya memikirkan seks ketika hendak memilih pasangan.

Bila terus-menerus diterapkan, hal ini akan melahirkan alasan-alasan baru untuk membeda-bedakan perlakuan terhadap manusia berdasarkan kelompok atau karakteristik dirinya. Ini tak ubahnya melanggengkan stereotip terhadap kelompok tertentu tanpa alasan mendasar yang kuat.

Baca juga: Perempuan Pengungsi di Indonesia dalam Belenggu Diskriminasi

Padahal, bicara tentang dunia kerja berarti bicara tentang dunia profesional, yang setiap hal dan perkara di dalamnya seharusnya diputuskan berdasarkan pertimbangan logis, ilmiah, dan tidak melanggengkan label-label tidak masuk akal. Keyakinan ini seharusnya jadi pengetahuan mendasar bagi setiap manusia, terlebih pekerja profesional, untuk bisa membangun iklim kerja serta perusahaan yang berkelanjutan dan dapat bekerja optimal berkat kontribusi sumber daya manusianya yang berkualitas.

Banu Guler, chief executive officer di sebuah aplikasi astrologi yang berhasil meraih pendanaan dan modal sebesar lima juta dollar Amerika bernama Co-Star berkata, “Kita lahir di bawah langit yang sama dan di planet yang sama. Astrologi adalah alat yang bisa membantu manusia melihat perannya di dunia, bukan untuk melarang orang-orang lain berpartisipasi di dalamnya.”

Read More

5 Karakter Netflix yang Merepresentasikan Realitas Ibu Bekerja

Nestapa rasanya saat mendengar omongan tetangga dan kerabat yang menilai karakter ibu bekerja sebagai sosok yang kurang menyayangi anaknya, hanya karena mereka memutuskan untuk kembali berkarier. Situasi ini membuat perempuan pekerja seolah dihadapkan pada pilihan antara keluarga dan pekerjaan, lantas dianggap lebih mencintai kariernya dibandingkan sang buah hati. Padahal, setiap ibu pasti ingin hadir untuk anak-anaknya pada setiap kesempatan.

Tak hanya memperlihatkan kapabilitas perempuan dengan karier mereka yang melesat, sebagai sebuah medium, berbagai serial televisi mencoba merepresentasikan realitas yang dihadapi ibu bekerja melalui karakternya. Mulai dari kesulitan mereka untuk memahami anak, bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhan mereka, hingga rela mengorbankan kehidupannya sendiri.

Berikut lima karakter dalam serial Netflix yang menggambarkan realitas ibu bekerja, sekaligus menjadi pengingat bagi kita untuk lebih mengapresiasi peran ibu dalam hidup sehari-hari.

(Spoiler alert)

1. Kate Mularkey – Firefly Lane

Dalam proses perceraiannya, Kate Mularkey (Sarah Chalke) mencoba untuk kembali bekerja di dunia jurnalisme. Walaupun berhasil kembali bekerja di sebuah majalah, perjalanan karakter ibu pekerja ini untuk memperoleh posisinya tidaklah mudah karena ia sudah tidak bekerja selama satu dekade terakhir. Selain itu, ia hampir melewatkan proses wawancara lantaran harus menjemput putrinya yang berulah di sekolah karena sedang melewati fase pemberontakan akibat perceraian orang tuanya.

Kate pun harus bekerja di bawah kepemimpinan seorang editor yang sangat mementingkan penampilan. Terlebih lagi, ia dimanfaatkan untuk mewawancarai Tully Hart (Katherine Heigl), seorang presenter ternama sekaligus sahabatnya, secara eksklusif.

Sumber: IMBD

Di tengah rumitnya kehidupan Kate sebagai individu, Firefly Lane menunjukkan kompleksnya realitas seorang ibu yang berusaha memberikan segalanya untuk seorang anak, mulai dari mengupayakan kehadirannya, menjalin hubungan baik dengan mantan suami, hingga kembali bekerja untuk mencari nafkah. Meskipun tak berjalan mulus, Kate tetap mencoba untuk memahami putrinya dan menunjukkan bahwa putrinya tersebut adalah prioritasnya.

Baca Juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu

2. Jen Harding – Dead To Me

Setelah kematian sang suami, Jen Harding (Christina Applegate) harus berperan sebagai ibu tunggal untuk kedua anaknya. Kesehariannya semakin sulit untuk dijalani karena perempuan yang bekerja sebagai agen real estate di California ini masih dalam tahap kesedihan dan terus menyelidiki sosok yang membunuh suaminya dalam insiden tabrak lari. Belum lagi, ia harus menghadapi karakteristik para klien yang membuatnya harus menahan diri saat emosinya tak stabil.

Karakter Jen menampilkan bagaimana seorang ibu harus bersikap tegar di depan keluarganya, meskipun sebenarnya ia membutuhkan ruang untuk berkabung. Ditambah lagi, ia tidak memiliki teman bercerita sebelum bergabung dengan support group, yang akhirnya mempertemukannya dengan Judy Hale (Linda Cardellini).

Dalam menjalani peran sebagai ibu, Jen harus berurusan dengan tingkah laku putra sulungnya, Charlie, yang menginjak usia remaja. Ia terlibat dalam pengedaran narkoba, membawa senjata tersembunyi, pergi meninggalkan rumah, hingga mengendarai mobil tanpa SIM dan tanpa seizin Jen. 

Melalui serial ini, kita juga diingatkan untuk sebisa mungkin bersedia menjadi pendengar bagi orang-orang terdekat yang membutuhkan dukungan dan perhatian agar mereka tidak merasa sendirian.

Baca Juga: Seruan Agar Perempuan Berkarya Jangan Kecilkan Perempuan Tak Berdaya

Sumber: Netflix

3. Kang Hye-soo – Marriage Contract

Dalam drama Korea Marriage Contract, Kang Hye-soo (Uee) berjuang untuk merawat anaknya sekaligus membayar utang suaminya yang telah meninggal. Untuk menanggungnya dan memenuhi kebutuhan hidup, ia bekerja di restoran milik Han Ji-hoon (Lee Seo-jin) yang merupakan seorang konglomerat. Nahasnya, Hye-soo menderita tumor otak yang tak bisa dioperasi. Hal ini membuatnya memikirkan masa depan anaknya.

Kemudian, ia mengetahui bahwa ibu dari atasannya itu membutuhkan transplantasi hati. Ji-hoon pun berencana untuk menikahi si pendonor secara kontrak agar prosesnya terjadi secara legal. Oleh karena itu, Hye-soo menawarkan diri untuk menikahi Ji-hoon dengan sebuah imbalan, yakni menerima sejumlah uang yang cukup untuk menafkahi anaknya hingga dewasa agar ia tak perlu khawatir jika meninggal akibat penyakitnya.

Keputusan yang diambil oleh Hye-soo menggambarkan ketulusan cinta seorang ibu terhadap anaknya dan bersedia melakukan apa saja untuk masa depan yang terjamin, meskipun jalan yang dipilih berisiko untuk nyawanya.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Kang Hye-soo karakter ibu bekerja dalam Marriage Contract
Sumber: MBC

4. Karakter Ibu Bekerja Choi Won-deok dalam Serial Start-Up

Sejak kedua orang tua Seo Dal-mi (Bae Suzy) bercerai dan sang ayah meninggal, Choi Won-deok (Kim Hae-sook) yang merupakan neneknya memberikan figur ibu untuk perempuan tersebut. Agar cucu kesayangannya tidak kesepian, ia rela berbohong sepanjang hidup dengan meminta Han Ji-pyeong (Kim Seon-ho) berperan sebagai teman penanya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Won-deok bekerja sekaligus memiliki sebuah gerai corn dog. Ia pun memutuskan untuk menjual gerainya agar Dal-mi dapat melanjutkan pendidikan, meski pada akhirnya cucunya itu memilih untuk keluar dan melakukan berbagai pekerjaan paruh waktu untuk memberikan neneknya sebuah food truck.

Selelah apa pun Won-deok usai mencari nafkah dan mempersiapkan dagangan untuk keesokan harinya, ia selalu memberikan Dal-mi ruang untuk menceritakan keluh kesahnya. Dengan setia, Won-deok mendukung cucunya dalam merealisasikan ide dan mimpi-mimpinya, serta percaya akan kesuksesan yang akan diraih.

Karakter ibu bekerja Won-deok
Sumber: Neflix

Karakter Won-deok dalam drama Korea Start-Up merefleksikan bagaimana seorang ibu—dalam cerita ini nenek—akan bersikeras untuk memberikan yang terbaik bagi masa depan anaknya, dan memberikan dukungan yang tak melulu bersifat materi, tetapi juga moral. 

5. Georgia Miller – Ginny and Georgia

Dalam serial Netflix Ginny and Georgia, karakter Georgia Miller (Brianne Howey) tampaknya menjadi ibu idaman bagi setiap anak. Cara pendekatannya yang santai dan memosisikan diri sebagai teman dalam menyikapi kehidupan sosial anak sulungnya, Ginny Miller (Antonia Gentry), telah membangun kepercayaan di antara mereka. Bahkan, dengan mudahnya Ginny dapat menceritakan pengalaman mabuk pertamanya dan Georgia meminta agar mereka berdiskusi sebelum putrinya melakukan hubungan seks untuk pertama kali.

Walaupun demikian, masa remajanya yang kelam—saat ia dilecehkan dan harus berjuang untuk bertahan hidup—membuat Georgia bersikap protektif terhadap putrinya. Sesulit apa pun situasinya, Georgia berusaha untuk menghidupi dan melindungi Ginny, sekalipun ibu dari kekasihnya ingin mengambil hak asuh karena menilai dirinya belum siap menjadi orang tua.

GINNY & GEORGIA (L to R) DIESEL LA TORRACA as AUSTIN, BRIANNE HOWEY as GEORGIA, and ANTONIA GENTRY as GINNY in episode 101 of GINNY & GEORGIA Cr. COURTESY OF NETFLIX © 2020

Pengalamannya itu memotivasi Georgia untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia mengajak kedua anaknya hidup nomaden dan pindah ke Wellsbury, Massachusetts, kota tempat ia bekerja di kantor walikota. Pekerjaan itu didapatkannya berkat kecerdikannya dalam memberikan solusi atas sebuah permasalahan dalam diskusi orang tua.Sosok cool mom seperti yang direpresentasikan oleh Georgia tentunya kerap didambakan. Namun, caranya menyikapi kehidupan anak-anaknya kembali menarik kita untuk melihat latar belakangnya yang menjadi salah satu faktor dirinya bersikap demikian. Sama seperti para ibu lainnya, Georgia ingin memiliki keterikatan dengan anak-anaknya melalui caranya sendiri dan menjamin mereka menjalani kehidupan yang lebih baik.

Read More

Mengenal Adora, Perempuan Kunci di Balik Kesuksesan BTS

Adora – Saat debut delapan tahun lalu, grup idola BTS identik dengan lagu dan konsep hip-hop yang membuat mereka sedikit berbeda dari boyband lainnya. Berasal dari agensi kecil, mereka harus bersaing dengan berbagai grup idola baru menarik lainnya yang debut setiap bulan. BTS pun mesti menemukan strategi untuk membesarkan nama mereka. 

Pada 2015, mereka merilis The Most Beautiful Moment in Life,Pt.1 dan 2 dengan galeri musik yang lebih beragam, seperti genre pop, EDM, dan R&B, tanpa menghilangkan identitas sebagai grup bergenre hip-hop. Lagu-lagu dari kedua album tersebut melejitkan nama mereka di industri K-pop. Namun, pada 2016 dengan album Wings yang juga memiliki genre beragam, kepopuleran BTS meledak dan mendapatkan pengakuan dari industri musik global. 

Salah satu produser yang ikut berkontribusi untuk kesuksesan itu ialah Adora, komponis musik perempuan pertama BigHit Entertainment yang sekarang dikenal sebagai HYBE Labels. Adora yang bernama asli Park Soo-hyun juga ikut memproduseri, menulis, dan menjadi backing vocal, untuk beberapa lagu populer BTS, seperti “Spring Day”, “Not Today”, “Seesaw”, dan “Anpanman” yang menjadi kesukaan penggemar BTS, ARMY, sampai publik umum di Korea Selatan. 

Perempuan berusia 23 tahun itu membawa warnanya sendiri ke dalam lagu-lagu BTS dengan teknik harmonisasi vokal yang membuat musik menjadi lebih lembut, misalnya “Euphoria”, lagu solo oleh anggota BTS, Jungkook. Selain itu, kemampuan Adora dalam memproduseri lagu juga berbeda dengan komposer HYBE yang mayoritas laki-laki. 

Baca juga: The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme

Jika Pdogg, produser musik andalan HYBE, identik dengan lagu upbeat dengan tempo yang cepat, sedangkan Slow Rabbit yang sedikit melankolik dengan tempo lambat, Adora bak bunglon yang bisa beradaptasi semua tempo musik. Contohnya, “Epiphany”, sebuah lagu balada yang dinyanyikan Jin dari BTS, “Moonlight” dari proyek solo hip-hop dari Suga, dan  “134340” yang mencampurkan R&B, hip-hop, dan ritme musik salsa.

Oleh karena itu, Adora memanen penggemarnya sendiri di antara ARMY, yang juga antusias atas representasi perempuan di balik musik BTS. Meskipun begitu, Adora tetap menjadi enigma atau sosok yang misterius yang bekerja di balik layar dan hanya menunjukkan sekilas tentang kehidupan pribadi lewat akun Instagram miliknya.

Baca juga: Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Adora Hampir Jadi Idola K-pop

Adora memiliki hak cipta atas 32 lagu yang dicatat oleh Korea Music Copyright Association (KOMCA), di antaranya 21 lagu BTS, sembilan dari TXT, satu lagu dari Gfriend saat masih di bawah naungan HYBE, dan satu untuk boyband, ToppDogg, yang berganti nama menjadi Xeno-T. 

Sebelum menjadi produser dan penulis lagu, Adora sudah terjun ke dunia musik sebagai trainee K-pop di K Entertainment dan direncanakan debut bersama girl group The Ark. Meskipun begitu, sebelum grup idola tersebut debut pada 2015, Adora keluar tanpa alasan yang diketahui oleh publik. 

Pada 2016, ia kemudian mengikuti audisi “2016 Next New Creator” oleh BigHit yang sedang mencari produser musik. Walaupun tidak menjadi idola K-pop, Adora tetap bekerja di industri itu dengan tugas yang berbeda. 

Sumber: BigHit Music

Belum lama ini, HYBE juga memperkenalkan dua wajah baru untuk bergabung dalam tim komponis musik, Kim Chorong sebagai sound engineer dan Summergal di posisi digital editor. Adora, Kim, dan Summergal memang tidak sendiri sebagai perempuan di skena produser musik K-pop, ada Kenzie, komponis dan penulis lagu di bawah naungan SM Entertainment, yang menciptakan musik untuk Girls’ Generation, Red Velvet, hingga Twice dari agensi JYP Entertainment.

Selain itu, ada Kim Eana yang memiliki lebih dari 300 lagu yang tercatat di KOMCA, penyanyi solo IU dan Suran yang menulis lagunya sendiri. Ada juga idola K-pop yang aktif dalam menciptakan lagu untuk grupnya, seperti Soyeon dari (G)I-DLE, LE anggota girl group EXID, dan keempat anggota MAMAMOO. Kehadiran perempuan di balik layar serta idola yang memiliki agensi dan kendali atas musik mereka menjadi angin segar karena memberikan lagu yang diciptakan lewat sudut pandang perempuan atau female gaze. 

Sayangnya, nama-nama produser dan komposer perempuan itu belum cukup untuk menghapuskan ketidaksetaraan gender yang sistemik, terutama karena industri tersebut masih sarat seksisme, sering mengobjektifikasi, dan mengeksploitasi perempuan. Apalagi di tengah masyarakat Korea Selatan yang masih menolak gerakan feminisme karena disamaratakan dengan misandry atau kebencian terhadap laki-laki. 

Baca juga: Bias Gender dan Objektivitas di Dunia Kesehatan

Produser Musik Perempuan Masih Minim

Secara umum, representasi perempuan di kursi produser musik juga masih minim. Dalam laporan Inclusion in the Recording Studio? oleh USC Annenberg Inclusion Initiative, sebuah studi tahunan tentang musik menyebutkan, bahwa profesi sebagai produser juga masih didominasi laki-laki.

adora
Sumber: BigHit Music

Jumlah perempuan produser musik untuk lagu dalam daftar HOT 100 Billboard tahun lalu hanya mencapai 2 persen. Sementara itu, untuk tahun 2012, 2015, 2017, 2018-2020 secara kolektif, produser perempuan hanya mencapai 2,6 persen. Skalanya ialah 38 produser laki-laki dibanding satu produser perempuan. Sedangkan untuk penulis lagu perempuan selama 2020 hanya mencapai 12,9 persen. Laporan itu menunjukkan bahwa representasi perempuan menjadi isu krusial untuk mencapai kesetaraan. 

Begitu pula di industri K-pop, representasi perempuan produser juga masih dibutuhkan walaupun sudah ada beberapa nama yang dikenal publik. HYBE yang mayoritas dipegang oleh laki-laki juga perlahan-lahan membuka jalan untuk inklusivitas perempuan di industri musik, seperti membajak Min Hee-jin untuk menjadi Chief Brand Officer-nya. Namun, kehadiran “Adora-adora” lainnya yang bisa menetapkan nama mereka di industri karena kemampuan menciptakan lagu juga semakin ditunggu oleh penggemar K-pop, yang terkenal melek isu sosial atau woke.  

Read More

6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Siapa sih Jacqueline Carlyle? Dia adalah tokoh fiktif dalam serial The Bold Type yang berperan sebagai pemimpin redaksi majalah Scarlet, sebuah publikasi yang mengangkat isu-isu sosial, terutama tentang pemberdayaan perempuan. Karakter bos perempuan berkarisma ini diperankan oleh Melora Hardin. 

Sejak awal kehadirannya dalam sorot kamera, karakter Jacqueline mengundang decak kagum. Dalam pilot episode The Bold Type, visual Jacqueline tidak langsung diekspos. Di menit ke 2, dia hanya digambarkan sebatas kaki yang dinaikkan di atas meja kerja dengan kuku berkuteks dan high heels merah bertali. 

Pada adegan selanjutnya, kemunculan Jacqueline dicicil sedikit demi sedikit. Wajah masih belum terlihat. Setelah kamera menyorot Jacqueline dari bawah menunjukkan langkah-langkah kakinya, adegan bergerak menyoroti tangannya yang sedang mengetik pesan, mengisyaratkannya bahwa pikirannya bekerja setiap saat bahkan ketika dia berjalan. 

Terlihat juga di layar balutan blazer merah, celana kulit yang trendi, dan tidak ketinggalan aksesoris bling-bling yang Jacqueline kenakan. Beberapa detik berikutnya, berdirilah dia di tengah ruang rapat berisi berbagai macam persona (perempuan, laki-laki, muda, tua, berpakaian kasual dan formal), “menaklukkan” para peserta rapat dengan ucapan “Good morning, everyone”. Keren!

Kemunculan pertama Jacqueline tidak menjadi “the only wow factor” dalam serial ini. Sepanjang cerita selama 4 musim (yang segera dilanjutkan ke musim 5), ada lebih banyak hal keren lainnya! Penasaran apa saja? Simak, yuk!

Baca juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

1. Jacqueline Carlyle Sosok yang Pengertian 

Dalam menghadapi kemarahan pegawainya, Jacqueline Carlyle tidak defensif. Ini terjadi ketika salah satu penulisnya, Jane Sloane (diperankan oleh Katie Stevens), “meledak” di kantor karena terbawa emosi berkaitan dengan cerita artikel yang sedang dikerjakannya. Jacqueline menyadari bahwa Jane butuh waktu untuk mengelola emosinya sehingga dia menyuruh Jane untuk menenangkan diri. Malamnya, Jacqueline mengundang Jane ke apartemennya untuk makan malam dan di situlah terjadi pembicaraan heart-to-heart antara bos dan bawahannya, yang saya rasa, jarang sekali terjadi di dunia nyata (koreksi saya kalau salah). Dari obrolan hangat itu, akhirnya Jane bisa meredam emosi dan menulis artikelnya dengan perspektif yang baru.

2. Jacqueline Carlyle Punya Karakter yang Berintegritas

Tidak semua orang mempunyai integritas, dan tidak semua orang yang mempunyai integritas bisa mempertahankannya. Soal integritas memang bukan hal yang bisa dipermainkan seenaknya. Ini terbukti ketika Jacqueline pasang badan untuk Kat Edison (diperankan oleh Aisha Dee) yang ditegur oleh dewan redaksi karena melakukan endorsement terhadap suatu produk dengan kata-kata yang ofensif. 

Kat sengaja melakukannya karena mengetahui bahwa ternyata produk yang dipromosikannya bertentangan dengan visi yang diemban Scarlet, yaitu memperjuangkan persamaan hak termasuk untuk kaum LGBTQ. Jacqueline pun membela Kat dan berkata, “Integritas Kat atau Scarlet tidak boleh dijual.” 

Siapa yang tidak jatuh hati mendengar kalimatnya itu? Nasihat Jacqueline menunjukkan bahwa integritas adalah nomor wahid. Kata-kata itu terlontar dari seorang pemimpin sejati. Kita tidak bisa menggadaikan integritas kita dengan apa pun. 

3. Menghargai Kerja Keras 

To be honest, berapa dari kita para pekerja yang sudah bekerja keras setengah mati tapi yang dipuji orang lain yang bahkan tidak ikut andil apa-apa? Sakit hati, kan? Pasti! 

Dalam suatu episode, Sutton Brady (diperankan oleh Meghann Fahy) yang berkerja sebagai penata gaya merasa diperlakukan tidak adil oleh rekan kerjanya Cassie (diperankan oleh Jess Salgueiro). Cassie frustrasi dengan keadaan di kantor, lalu seenaknya kabur dari sesi foto yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, meninggalkan Sutton sendirian mengatur sesi tersebut. 

Saat Jacqueline melihat hasil foto-fotonya, dia sangat terkesan dan memberikan pujian kepada Cassie yang—Jacqueline pikir—berperan besar dalam sesi pemotretan. Belakangan Jacqueline mengetahui kebenarannya, dan kemudian ia memanggil dan menasihati Sutton, “Jangan biarkan siapa pun dipuji karena pekerjaanmu. You need to start speaking up for yourself.” Sebagai pucuk pimpinan, Jacqueline menyadari betul makna dari kerja keras dan sangat mengapresiasi proses dan hasilnya. Yang paling tepat menerima apresiasi dari suatu hasil adalah orang yang benar-benar bekerja di baliknya.

Jacqueline Carlyle pemimpin perempuan keren

Foto: IMDB

4. Mentor yang Sempurna

Dalam beberapa episode di musim 3, diceritakan bahwa Jane dan Jacqueline Carlyle bekerja sama dalam menggarap suatu artikel tentang seorang fotografer terkenal, Pamela Dolan (diperankan oleh Laila Robins), yang sering menyiksa para model fotonya secara psikis dan fisik supaya bisa mendapatkan foto yang fantastis. 

Jacqueline dengan tekun membimbing Jane dalam penulisan artikelnya, mulai dari meyakinkan narasumber untuk berani angkat bicara, melakukan wawancara, mengerjakan sesi foto bersama, hingga menyiapkan kemungkinan terburuk bahwa Pamela Dolan akan menuntut Scarlet. Jacqueline, yang dalam hal ini lebih superior dari Jane, tetap ikut andil dalam setiap detail pekerjaan. Dia tidak meninggalkan Jane mengurus segalanya sendirian. Malahan, ia sangat mendukung Jane dalam pekerjaannya merangkai cerita. Dia tidak menutupi kebenaran yang pahit, tapi menyarankan anak buahnya untuk bersiap-siap karena hal buruk bisa terjadi di kemudian hari. 

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Perusahaan Perlu Rekrut Pemimpin yang Berpihak pada Perempuan

5. Jacqueline Carlyle Berani Menghadapi Risiko Demi Menegakkan Prinsip

Jacqueline menyadari posisinya dalam media dapat menjadi saluran bagi suara-suara—terutama perempuan—yang selama ini tenggelam. Dalam suatu edisi musim gugur, Jacqueline dengan berani mengubah Scarlet menjadi media yang lebih mengedepankan isu-isu pemberdayaan perempuan, bukan mengeksploitasi perempuan. 

Edisi musim gugur itu—walaupun mendapat pertentangan dari dewan direksi—menampilkan orang-orang yang termarginalkan dan menjadikan mereka sebagai fokus utama yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan selama hidupnya. Jacqueline puas dengan edisi tersebut karena akhirnya Scarlet mampu menyampaikan pesan bermakna seputar pemberdayaan perempuan.

  1. Memikirkan Nasib Karyawan

Di episode pertama pada musim 4, Jacqueline Carlyle dipecat dari Scarlet karena membuat edisi musim gugur yang bertentangan dewan direksi. Jane, Sutton dan Kat bertekad membantu Jacqueline supaya bisa kembali ke Scarlet dengan menyusup ke percetakan dan mencuri beberapa eksemplar majalah untuk mereka edarkan kepada orang-orang yang berperan di baliknya. 

Gelombang dukungan kepada Scarlet pun mulai mengalir sehingga dewan direksi meminta Jacqueline kembali pada pekerjaannya. Jacqueline mengiyakan dengan syarat, “Saya butuh jaminan bahwa semua karyawan saya aman” (merujuk kepada Jane, Sutton dan Kate yang belakangan sudah terbukti mencuri).” Sikap Jacqueline ini mencerminkan empati pemimpin kepada bawahannya. 

Tanpa aksi nekat Jane, Kat dan Sutton, Jacqueline tidak akan bisa mendapatkan pekerjaannya kembali, dan Scarlet tidak bisa lagi menjadi media yang mengangkat isu-isu penting. Untuk itu, Jacqueline melindungi mereka, karena mereka bertiga merepresentasikan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Scarlet.

Karakter Jacqueline memang fiktif. Namun, teladan kepemimpinannya patut dicontoh. Adakah di antaramu sosok perempuan pemimpin layaknya Jacqueline Carlyle?

Read More

Perempuan Bertangan Delapan: Sulitnya Jadi Ibu Bekerja pada Masa Kini

Setelah menikah dan punya anak, mengambil pilihan sebagai ibu bekerja atau menjadi ibu rumah tangga ibarat memakan buah simalakama bagi banyak perempuan. 

Ketika ibu bekerja menghabiskan waktu dan energinya lebih banyak untuk urusan kantor, mau tak mau ia mengorbankan waktu dengan anak dan suaminya serta waktu mengurus rumah. Namun bila ia memilih merelakan kariernya, itu berarti ia kehilangan kesempatan aktualisasi diri sekaligus mencari nafkah seperti halnya laki-laki untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.   

Di satu sisi, akses untuk mengenyam pendidikan tinggi dan menjalani karier sebagaimana laki-laki semakin terbuka bagi mereka, terlebih bagi mereka yang tinggal di kota-kota urban. Namun di lain sisi, secara bersamaan, norma budaya yang mendorong perempuan untuk lebih banyak mengemban tanggung jawab rumah tangga masih tumbuh subur. Ini menyebabkan mereka mesti susah payah berpijak di dua titik  agar kehidupan keluarga dan kerja mereka seimbang. 

Tidak semua ibu bekerja memiliki privilese untuk dapat menyewa asisten rumah tangga, akses ke penitipan anak  (daycare) yang terjangkau dan memadai, support system seperti suami atau orang tua yang mendukung, atau kelonggaran sistem kerja dan jam kerja fleksibel dari kantor. Karenanya, banyak sekali dari mereka yang terpaksa “bertangan delapan” bak laba-laba untuk bisa memegang pekerjaan kantor serta rumah tangga. Perempuan dengan keadaan seperti ini dikenal sebagai “juggling mom”. 

Baca juga: Konsekuensi Buruk Stereotip Perempuan Lebih Jago Multitasking

Ibu Tidak Boleh Sakit, Ibu Harus Sempurna

Kawan saya, “Diana”, menceritakan bagaimana ia susah payah mengurus bayinya dalam kondisi long distance marriage selagi bekerja dari rumah setelah masa cuti melahirkannya habis. Suatu waktu, ia jatuh sakit, tetapi mesti tetap melakukan pekerjaan domestik, mengasuh, seraya mengerjakan tugas kantor. 

Yang membuat saya prihatin adalah saat ia menulis “ibu tidak boleh sakit” dalam story-nya tersebut. Saya pernah merasakan berada di posisinya, hanya saja sedikit lebih “beruntung” karena ketika saya sakit dan mesti mengasuh bayi, saya masih belum mengambil kerja tetap lagi. 

Saya ingat betul saya terkapar di kasur, di samping anak saya yang masih di bawah enam bulan, mesti menyusui dan menenangkannya ketika rewel sembari menahan sakit maag akut plus diare yang membuat saya kelelahan bolak-balik toilet. Tak ada pembantu, tak ada keluarga lain yang memegang bayi saya dulu. Itu kejadian sebelum pandemi sehingga suami saya masih bekerja dari kantor, baru pulang malam hari dan mengambil alih kerja domestik dan pengasuhan.

Kondisi seperti yang saya dan Diana alami barangkali lebih parah lagi sekarang, ketika pandemi melanda dan banyak ibu dengan anak kecil yang terpapar COVID-19. Tak terbayangkan betapa sulitnya menjalani hidup seperti mereka, apalagi jika tak ada yang membantu.

Terlepas dari kondisi sakit, peran gender normatif terus mendesak ibu bekerja untuk jadi sempurna. Sering sekali kita mendengar atau membaca di artikel pertanyaan, “Bagaimana ibu menyeimbangkan waktu dengan keluarga dan waktu bekerja?”. Pertanyaan macam ini langka dilontarkan pada pekerja laki-laki. Ketika si ibu bekerja kedapatan lebih banyak mendedikasikan diri untuk kariernya, ia berpotensi besar dicap “ibu tak sempurna”, “ibu gagal”, atau “terlalu ambisius”. 

Sementara mereka yang (tampak) berhasil memiliki waktu berkualitas dengan keluarga dan karier menjulang, ramai-ramai diberi aplaus. Padahal, baik cap maupun bentuk apresiasi macam itu hanya melanggengkan beban ganda perempuan yang seharusnya dihapuskan. 

Baca juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos

Stereotip Perempuan Jago Multitasking Semakin Membebani

Perempuan juga sering kali dianggap lebih piawai dalam hal multitasking dibanding laki-laki, termasuk urusan pekerjaan dan rumah tangga. Sebagian perempuan merasa itu kebanggaan, sementara lainnya merasa itu adalah label yang merugikan.

Dalam tulisan Leah Ruppaner yang dimuat di The Conversation, ia membantah anggapan klasik macam ini dengan menyebut salah satu hasil riset yang dimuat di jurnal PLOS One. Di sana dikatakan bahwa perempuan tidak lebih baik daripada laki-laki dalam hal mengerjakan tugas berbeda pada saat yang sama.

Label jago multitasking yang menyuburkan beban ganda perempuan menurut Ruppaner berdampak buruk pada kesehatan mental perempuan, terlebih saat mereka punya anak. 

Bagi sebagian ibu bekerja yang tidak kuat mengemban beban ini, melepaskan pekerjaan atau kesempatan mendapat promosinya menjadi pilihan tak terelakkan. Tidak hanya beban pikiran, waktu, dan tenaga untuk bekerja yang mendorong mereka melakukannya, tetapi juga beban keletihan berkomuter untuk kerja yang sering luput dari perhatian masyarakat dan pihak perusahaan.

Pada era working from home (WFH) seperti sekarang, keadaan kian memberatkan perempuan. Lagi-lagi karena anggapan perempuan jago multitasking, mereka lebih diharapkan bisa mendampingi anak sekolah dari rumah, mengikuti rapat-rapat daring yang sebagian tak kenal waktu dan membuat jam kerja tanpa disadari lebih panjang, serta memastikan soal makan atau stok kebutuhan rumah tangga terpenuhi. 

Zaman digital juga mendorong para bos untuk berorientasi pada target tanpa memperhatikan beragam faktor yang menyandung pekerja untuk berperforma optimal. E-mail dan pesan Whatsapp di tengah malam, pada hari libur, tidak terhindarkan dan menuntut ibu bekerja untuk menanggapinya demi mempertahankan kinerja atau memenuhi key performance index-nya di kantor.  

Ujungnya, ibu bekerja bisa meledak secara emosional, depresi dan dipenuhi kecemasan, sehingga tidak dapat berfungsi baik, entah itu sebagai pekerja maupun istri dan ibu. 

Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Bagaimana Cara Mengakhiri Problem Ini?

Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk mengurangi kesusahan ibu bekerja adalah membangun support system demi terpenuhinya kewajiban rumah tangga maupun kantor. Di rumah, suami perlu ambil andil dan lebih banyak berinisiatif terjun di urusan domestik. Pasalnya, bila mereka menunggu instruksi dari perempuan terlebih dahulu juga membuat para ibu bekerja tetap mengemban beban mental lebih berat. 

Support system semacam ini bisa diwujudkan bila pihak kantor suami juga menerapkan perspektif gender dan menyadari beban domestik karyawan yang sudah berkeluarga. Percuma saja mengharapkan peran suami apabila dari kantornya tidak menoleransi karyawan untuk mengurus rumah dan anak, berbeda dengan sikap mereka terhadap karyawati.

Pihak kantor pun perlu menerapkan kebijakan ramah perempuan yang memungkinkan ibu bekerja mendapat berbagai akses seperti jam dan tempat kerja fleksibel, fasilitas daycare atau ruang menyusui, atau izin membawa anak ke kantor. Mereka juga mesti menyadari ketimpangan garis start bagi karyawan dan karyawati sehingga dalam hal promosi kerja, mereka bisa menyiasati supaya perempuan juga mendapat kesempatan yang sama untuk meraih capaian atau jabatan tinggi di kantor. 

Satu pandangan menarik dituliskan Meredith Turits di BBC (21/6) terkait peran ibu bekerja. Sejumlah riset telah menunjukkan bahwa pemberi kerja merasa peran ibu berpengaruh buruk terhadap performa kerja individual dan perusahaan pada akhirnya. Misalnya, berdasarkan riset dari Harvard University’s Kennedy School of Public Policy, pemberi kerja menganggap para ibu bekerja 10 persen kurang kompeten dibanding pekerja tanpa anak. Mereka juga dianggap 12,1 persen kurang berkomitmen dibanding laki-laki pekerja.

Adanya anggapan seperti itu mendorong HeyMama, komunitas ibu bekerja di AS, untuk membuat kampanye “Motherhood on the Resume”. Alih-alih dipandang sebagai nilai minus, menjadi ibu semestinya menjadi hal plus yang  bisa dicantumkan di CV. 

Menurut co-founder HeyMama, Katya Libin, kampanye itu adalah upaya untuk meruntuhkan bias kultural yang merugikan perempuan di tempat kerja. Ibu justru merupakan sosok yang lebih baik dalam mendengarkan, lebih diplomatis, dan lebih baik dalam mengorganisasi sesuatu dari kacamata Libin. Karena itulah, kualitas dari seorang ibu itu yang layak dipertimbangkan oleh pemberi kerja.

Read More