Trauma Finansial Bebani Perempuan, Apa Jalan Keluarnya?

Besarnya kesenjangan gender membuat perempuan cenderung mengalami stres finansial dibandingkan laki-laki. Artinya, mereka lebih berisiko mengkhawatirkan kesejahteraan di hari tua, karena tidak memiliki uang yang cukup.

Akademisi Australia, Gary Neil Marks mencatat dalam risetnya yang bertajuk Income Poverty, Subjective Poverty and Financial Stress (2005), penyebab kekhawatiran ini memang karena pendapatan perempuan lebih rendah. Hal ini tak berlaku bagi laki-laki.

Berdasarkan riset Salary Finance, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yang membantu pekerja mengembangkan kesehatan keuangan, 68 persen dari perempuan generasi milenial, tidak menabung lantaran penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup.

Melihat kondisi tersebut, Dan Macklin, CEO Salary Finance menyampaikan beberapa faktornya.

“Perempuan menerima penghasilan lebih sedikit dibandingkan laki-laki, tidak diberikan akses pinjaman, memiliki dampak dari cuti hamil, dan berpotensi mengalami serangan panik akibat masalah keuangan,” tuturnya dilansir NBC News.

Karena itu, perempuan juga cenderung mengalami trauma finansial, yakni menurunnya kondisi fisik, emosional, dan kognitif akibat mengalami kerugian finansial, atau stres akut karena sumber penghasilannya tidak mencukupi.

Umumnya, seseorang mulai mempertanyakan keamanannya secara finansial, walaupun sebenarnya mereka memiliki dana yang mencukupi kebutuhan hidup dalam beberapa bulan. Penyebabnya adalah pengeluaran yang lebih besar dibandingkan pendapatan dalam jangka waktu berkepanjangan. Contoh konkretnya adalah pandemi yang memengaruhi seluruh sektor pekerjaan.

Hal ini dialami oleh Etun, 32, wiraswasta yang perusahaannya bekerja sama dengan pemerintah, termasuk dalam menyelenggarakan acara. Namun, pandemi membuat semuanya terhenti. Sampai di pertengahan, event hybrid seperti wisuda online bermunculan, meskipun nilainya tidak besar.

Awalnya, kondisi ini tidak begitu memengaruhi Etun dan suaminya, tetapi pandemi yang tak kunjung selesai, membuatnya terpaksa merumahkan sebagian karyawan, dan menggaji sisanya berdasarkan proyek.

“Dulu kami masih bisa gaji 12 karyawan pakai tabungan, tapi setengah tahun berjalan, akhirnya nyerah. Malah Mei kemarin kita shock tahu-tahu punya utang hampir dua miliar,” ceritanya pada Magdalene, (29/11). Karenanya, tidak ada harta yang tersisa selain rumah, motor, mobil, dan perhiasan.

Melansir Refinery29, trauma finansial tidak melulu terjadi setelah mengalami sebuah insiden.

Fenomena ini pun dialami people pleaser, atau seseorang yang berusaha menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Karena tak dimungkiri, sebagian orang melihat uang sebagai kekuatan, kekuasaan, jaminan hidup, dan penanda kesuksesan.

Alhasil, keberhargaan diri sering diartikan dengan jabatan pekerjaan dan jumlah uang yang dimiliki, hingga berusaha menunjukkannya ke kerabat. Misalnya mentraktir di restoran mewah atau membelikan barang bernominal tinggi.

Pada kesehatan, baik fisik maupun mental, trauma finansial berdampak pada sistem saraf, memicu stres dalam wujud sesak napas, kecemasan, kelelahan, sakit kepala, hingga hilang ingatan.

Baca Juga: Anak Muda Rentan Terjerat Utang Saat Pandemi, Ini Cara Hindarinya

Etun menceritakan, saat itu kesejahteraan hidupnya sangat terganggu. Perempuan yang juga bekerja sebagai peneliti di sebuah perguruan tinggi itu merasa energinya terkuras, tidak tenang, dan tidak terpikirkan untuk melakukan aktivitas menyenangkan.

“Bayangkan aja, saya sampai meninggalkan pekerjaan itu selama tiga bulan untuk jadi full-time mother, karena asisten rumah tangga harus diberhentikan,” ucapnya.

Sementara bagi keuangan, dampaknya berupa kurangnya penghasilan, berlebihan dalam menggunakan uang, serta menghindar dan menolak dari perbincangan finansial untuk mengurangi ketidaknyamanan.

Namun, kondisi tersebut bukan sesuatu yang tidak dapat dicegah atau ditangani. Untuk mengatasinya, berikut kami merangkum lima cara agar perempuan terlepas dari jeratan trauma finansial.

1. Kenali Emosi dan Perasaan

Langkah awal adalah mengenali emosi dan perasaan, penyebab seseorang mengalami stres dan trauma atas peristiwa yang terjadi. Ini karena ia perlu memahami cara pandangnya dan bagaimana selama ini ia memperlakukan uang, apakah derajatnya dilihat berdasarkan status sosial dan kekayaan, atau alat pembayaran ini bukan tolok ukur harga diri.

Pun stres berpengaruh pada kesehatan tubuh dan cara berperilaku. Oleh sebab itu, Chantel Chapman, peneliti trauma finansial, pendidik, dan Co-Founder The Trauma Money Method, mengatakan, hal-hal yang terjadi pada tubuh juga perlu diperhatikan agar seseorang dapat meregulasi sistem saraf.

“Napas perlahan, sadari lingkungan sekitar dengan kelima panca indera; apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan,” ujarnya kepada Refinery29. Setelah itu, barulah seseorang mampu mengevaluasi pola pikir dan relasinya dengan uang. 

Kemudian, ia menyalurkan perasaannya di dalam jurnal dan menemukan ada banyak hal yang ingin disampaikan. Berdasarkan pengalamannya, kini Chapman menganggap uang sebagai bagian kecil dalam hidupnya, dan tidak mendefinisikan keberhargaannya.

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan di Industri Jasa Keuangan

2. Belajar Mengontrol Pikiran

Saat mengalami trauma finansial, seseorang cenderung khawatir dan fokus terhadap materi yang tidak dimiliki, sehingga menimbulkan rasa takut tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Untuk mengatasinya, diperlukan abundance thinking atau cara berpikir yang melihat adanya sumber daya dan potensi bagi setiap orang, agar dapat menemukan peluang dalam kesulitan dan hambatan, serta mengubahnya menjadi kreativitas.

Menurut Psychology Today, langkah awal mengontrol pikiran adalah menyadarinya berpotensi untuk mengelabui atau mempertanyakan hal-hal yang dipikirkan. Dengan demikian, ketenangan bisa didapatkan dan mulai berpikir rasional. Pun ini salah satu cara memulai mindfulness, atau memusatkan perhatian pada situasi saat ini.

Sementara, Ted DesMaisons, penulis dan mindfulness teacher di Stanford University’s Continuing Studies Program AS mengatakan, pikiran kita berdampak pada tubuh, sehingga kesadaran merupakan kunci untuk memberdayakan diri. Itulah sebabnya melatih mindfulness dapat mengubah regulasi emosi dan pengambilan perspektif.

Karena stres menyita pikiran dan membuat lelah, terdapat beberapa aktivitas yang dapat dilakukan agar lebih rileks, seperti olahraga selama 30 menit, meditasi, mengobrol dengan orang lain, atau aktivitas apa pun yang menyenangkan.

3. Cari Dukungan dari Teman atau Profesional

Bukan hanya sebagai teman berbagi, membuka diri kepada orang-orang di sekitar mampu memperluas perspektif dan bersikap optimis, bahwa setiap orang memiliki masanya dalam menghadapi kesulitan finansial.

Apalagi, memiliki dukungan sosial mampu mengubah reaksi seseorang terhadap stres yang disebabkan trauma finansial. Selain itu, pengalaman dan cara mereka mengatasinya dapat dijadikan pembelajaran.

Linda Gallo, ilmuwan dan akademisi di San Diego State University, AS menjelaskan kepada American Psychological Association, “Secara keseluruhan, dukungan sosial penting untuk mengatasi stres, sekaligus menjaga kesehatan dan kesejahteraan.”

Karena itu, Etun dan suaminya mencoba rekonsiliasi dengan berdiskusi untuk mencari jalan keluar, mengingat sebelumnya mereka cenderung emosional dan berargumentasi dengan kuat dalam menghadapi permasalahannya.

Namun, bantuan profesional dapat menjadi opsi lainnya apabila stres dan kepanikan sudah mendominasi pikiran dan kesehatan mental.

Baca Juga: ‘Squid Game’: Mereka yang Bertaruh Nyawa demi Cuan

4. Cari Sumber Pendapatan Baru dan Rencanakan Masa Depan

Ketika seseorang berada dalam kondisi trauma finansial, mereka akan mengupayakan cara bertahan hidup dan melihat jangka panjang, seperti mencari sumber pendapatan baru. Cara ini dilakukan oleh Etun dan suaminya, dengan investasi crypto pada Agustus lalu.

“Kita mulai dengan modal Rp20 juta, itu cukup untuk bertahan sehari-hari dan ambil keuntungan Rp2 juta per bulan. Tapi kan masih ada kewajiban besar untuk bayar utang, akhirnya sertifikat rumah digadaikan, motor dan mobil juga ditarik sama pihak yang kita utangi,” katanya. Pada akhirnya, di pertengahan September, utang tersebut telah dilunaskan dan asetnya dapat dikembalikan, sehingga kini kondisi finansialnya jauh lebih baik.

Namun sebelumnya, susun daftar kesulitan finansial yang paling mencemaskan, rencana anggaran belanja, serta langkah-langkah yang bisa menghasilkan stabilitas keuangan. Pun saat ini Etun tengah riset dan mengupayakan bisnis yang bertahan, meskipun terdapat kejadian besar seperti pandemi.

Apabila tetap tidak mampu membayar tagihan, Verywell Mind menyarankan menghubungi bank atau perusahaan kartu kredit, untuk menjelaskan kondisi finansial agar mereka mengatur rencana pembayaran sesuai kemampuan.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah membuat rencana keuangan dan menabung untuk masa pensiun, sekalipun jumlahnya kecil. Tidak hanya mempersiapkan kebutuhan hidup, melansir Forbes, menabung juga memberikan harapan akan berhasil melalui kesulitan finansial sekaligus mempersiapkan diri apabila tidak ada penghasilan yang diperoleh.

Pun mengetahui keinginan dan menyadari kondisi finansialnya membuat trauma finansial lebih mudah diatasi.

Read More
akibat buruk terlalu percaya diri

11 Akibat Buruk Terlalu Percaya Diri di Tempat Kerja

Dalam situasi apa pun, khususnya di dunia kerja, memiliki rasa percaya diri merupakan suatu hal yang positif. Banyak orang berpendapat bahwa untuk bisa sukses, kita harus bisa percaya pada diri kita sendiri. Namun, bagaimana jadinya kalau kita terlalu percaya diri? Akankah ini menimbulkan banyak hal positif, atau sebaliknya?

Di kebanyakan kasus, mengetahui kemampuan serta berani mengambil risiko merupakan kualitas diri yang mengagumkan. Namun, saat rasa percaya diri yang dimiliki malah membuat seseorang tersebut jadi tidak fleksibel, tidak mau untuk mencoba sesuatu yang baru, dan malah cenderung mengambil keputusan yang tergesa-gesa, tentu saja itu bisa merusak hal-hal yang sudah dia raih.

Tidak cuma itu, sifat ini bisa membahayakan kariermu kedepannya. Berikut ini dampak buruk dari sifat terlalu percaya diri yang sudah dirangkum dari berbagai sumber.

Dampak Terlalu Percaya Diri

Dikutip dari Corporate Finance Institute, sikap terlalu percaya diri atau overconfidence datang waktu seseorang merasa dirinya jauh lebih baik dibanding kenyataan. Ini dapat membuat kamu jadi kurang tepat dalam menganalisis dan tidak hati-hati waktu mengambil keputusan.

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Menurut Halodoc, percaya diri berlebihan juga dapat membuat seseorang merasa putus asa karena tidak sanggup menjalankan pekerjaannya lagi. Ini disebabkan karena mereka sering mengiyakan atau mengambil pekerjaan apa pun meski faktanya mereka belum punya keterampilan yang mumpuni. Bukan hanya itu, orang yang punya rasa percaya diri berlebih terkadang mengasingkan rekan kerja mereka sehingga kerap dikira sombong.

Berikut ini beberapa dampak atau akibat yang bisa terjadi karena terlalu percaya diri di pekerjaan.

1. Terlalu percaya diri bisa menimbulkan kecelakaan kerja

Terlalu percaya diri menurut Small Business bisa menyebabkan kecelakaan kerja. Ini disebabkan orang yang merasa punya kepercayaan diri berlebihan menganggap dirinya tidak akan melakukan kesalahan.

Contohnya, sebagian pekerja tambang yang tidak mau memakai pelengkapan safety seperti helm kerja sesuai peraturan karena merasa sudah biasa melakukan pekerjaan tersebut.

Nah, hal ini dapat membuat mereka jadi lebih lalai dalam mematuhi peraturan. Bahkan, hal ini tidak cuma membahayakan diri mereka sendiri, tetapi orang-orang di sekitar.

2. Produktivitas menurun

Akibat percaya diri berlebih, produktivitas kerja seseorang dapat menurun. Tidak cuma terjadi pada orang tersebut, dampak buruk ini bisa merembet ke divisi di mana ia berada.

Baca Juga: 5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema

Overconfidence ini bisa menciptakan konflik seperti adu argumen, yang ujung-ujungnya membuat suasana canggung atau drama di tempat kerja. Ini yang akhirnya berpengaruh pada produktivitas kerja.

3. Menciptakan konflik

Terlalu percaya diri juga bisa membuat seseorang jadi terlihat arogan. Biasanya, ini lebih sering dirasakan oleh orang yang bekerja sama dengannya.

Orang yang overconfidence punya kebiasaan untuk omong besar, tidak peduli, dan suka meremehkan orang lain. Hal ini semakin memungkinkan terjadinya konflik dan membuat lingkungan kerja toksik.

4. Terlalu percaya diri bisa membuat kualitas kerja menurun

Orang yang terlalu percaya diri biasanya teramat yakin kalau hasil pekerjaannya akan sempurna. Kepercayaan diri seperti ini tentu tidak jelek kalau diimbangi dengan kenyataan yang sesuai.

Akan tetapi, hal ini akan berubah jadi masalah ketika kualitas pekerjaannya buruk.

Keyakinan bahwa mereka enggak melakukan kesalahan membuat orang yang terlalu percaya diri susah mendengarkan masukan atau kritik yang membangun. Hal ini dapat berdampak pada kinerja perusahaan secara menyeluruh.

5. Orang yang terlalu percaya diri suka menyalahkan orang lain

Sudah dijelaskan di atas, mereka yang punya kepercayaan diri berlebih amat yakin dirinya tidak pernah salah sekalipun bukti-bukti mengatakan sebaliknya.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Jadi, mereka akan selalu mencari alasan dan menyalahkan orang lain. Manajemen perusahaan harus bisa bersikap tegas untuk bisa menanggulangi permasalahan ini.

6. Tidak menghargai orang lain

Kerja sama tim yang baik pastinya butuh yang namanya sikap saling menghargai. Orang yang punya kepercayaan diri berlebih sering kali merasa semua keberhasilan di kantor disebabkan oleh usahanya sendiri dan tidak ragu menerima pujian atas pekerjaan rekan kerjanya.

Akhirnya, hal ini bisa membuatnya jadi sosok yang sering melupakan kinerja orang lain. Kalau orang tersebut berada di posisi yang lebih tinggi, tentu ini membuat anggota tim merasa sia-sia dan tidak diapresiasi.

7. Merendahkan orang lain

Menurut The Muse, orang yang terlalu percaya diri akan sering merendahkan orang lain, apalagi kalau orang tersebut tidak sengaja melakukan kesalahan.

Bukannya memberikan masukan yang membangun, orang yang punya rasa percaya diri berlebih malah menganggap orang lain tidak becus dalam melakukan pekerjaannya.

Alhasil, kesalahan yang terjadi tidak diperbaiki. Malah, hal ini menciptakan konflik.

8. Tidak punya persiapan yang matang

Mengingat bahwa orang yang overconfidence terlalu yakin dengan kemampuan dirinya, mereka sering sekali tidak punya persiapan, contohnya dalam sebuah presentasi bisnis.

Percaya diri berlebih ujung-ujungnya akan membuat seseorang luput memperhatikan hal-hal yang sebenarnya penting.

9. Sering kehilangan kesempatan berharga

Tidak punya percaya diri dan terlalu percaya diri sama-sama dapat membuat kamu kehilangan kesempatan berharga.

Baca Juga: Ketika Pekerjaan yang Kita Impikan Tak Sesuai dengan Harapan

Orang yang overconfidence akan cenderung meremehkan dan menolak pekerjaan yang ia anggap terlalu mudah atau tidak sepadan dengan kemampuannya.

Padahal, hal-hal yang diremehkan tersebut bisa saja berlanjut menjadi sesuatu yang lebih besar dan menguntungkan buat kariernya ataupun kehidupan personal.

10. Gagal dalam interview kerja

Kalau dilihat, perbedaan perlalu percaya diri dengan sombong sangat tipis. Hal ini justru bisa memberi kesan negatif ke HRD. Bukannya mereka jadi terkesan, sikap ini malah mengakibatkan kamu jadi gagal dalam interview kerja.

11. Lingkungan kerja yang tidak menyenangkan

Pada akhirnya, segala hal yang dilahirkan dari sikap overconfidence bisa menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman alias toksik.

Lingkungan kerja yang toksik ini ke depannya bisa memberikan efek domino, mulai dari menurunnya kualitas kerja, kesejahteraan karyawan, sampai berpotensi terjadi turn over tinggi.

Itulah beberapa akibat jika terlalu percaya diri. Kepercayaan diri memang merupakan sikap yang positif. Akan tetapi, ini bisa jadi suatu sikap yang buruk kalau kamu memilikinya terlalu berlebihan.

Read More
Helping Men Get Work life Balance Can Help Everyone

Helping Men Get Work-life Balance Can Help Everyone

Women’s increased participation in the labour force over the past 50 years has outpaced changes to work organization and social attitudes. This is true for issues of work life balance, which continue to polarize workers and managers.

But work life balance and gender equality are not only women’s issues. They belong to men, too.

Times Are Changing

In 2001, the Australian Bureau of Statistics declared that the model of a male breadwinner with a wife at home looking after the family was no longer the Australian norm. Having more women in the workforce is certainly a good thing. Gender equality is not only a matter of social justice, but it has also been shown to create business benefits, when managed properly.

Of course, the increase in the number of women in paid employment, particularly mothers, and the changing composition of families over the past 50 years has made the organization of paid work and care more diverse and complex.

Also read: Work-life Balance: What Really Makes Us Happy Might Surprise You

Flexible work has been identified as a significant way for employees to balance their work and outside life. Flexible work entails a variety of measures that may include reduced hours, working from home, a compressed working week and taking time in lieu. Working flexibly can be beneficial for both employees and employers, such as through increased commitment and productivity, and reduced absenteeism.

But Our Thinking Hasn’t Really Changed

Yet despite these clear changes in family and work structure, those with caring responsibilities are marginalized in many workplaces. The “ideal worker” is still conceptualized as someone who works full-time and does not let outside responsibilities impinge on their work availability or duties. Australians work long hours, in places where being present and seen is still often equated with being productive.

This may be one reason why employees often have difficulty accessing flexible work. And where it is made available, working flexibly may still have career repercussions, since using such arrangements is often equated with a lack of career ambition, meaning flexible workers are overlooked for promotion. Indeed, flexible working in poor quality jobs may increase, rather than relieve, stress about work life balance.

Actually, Maybe Times Haven’t Changed So Much

Not surprisingly, research shows that women are more likely to request and be granted flexible work than men, particularly women with children, to accommodate their caring responsibilities. Women continue to do more unpaid household work than men, often doing a “second shift” of housework after paid work, though men are doing more work than in the past, particularly in relation to childcare. 

Plus, women working flexibly often experience “gendered trade-offs”, where career is sacrificed for care, stalling progress on workplace gender equality more broadly.

So Let’s Really Change The Way We Think

An article in The Conversation discusses the need to challenge how we perceive women and men’s roles in society, starting with how we talk to our children (and especially our boys).

Also read: ‘Work-Life Balance’ for Women – Is It Even Possible?

Similarly, to change our ingrained social and workplace attitudes, we need to assert the value of life outside work and normalize working flexibly for both women and men alike. A large part of this change therefore involves encouraging and helping more men achieve equilibrium between work and life, through flexible working arrangements.

The Australian Government Workplace Gender Equality Agency is encouraging this with its Equilibrium Challenge campaign. The first initiative of the campaign is the production of a series of micro-documentaries. The series follows the journeys of five corporate men embarking on flexible work arrangements. Each week features a new short episode about their pursuit of equilibrium between work and life, whether that entails spending more time with family, less time commuting, or just more time pursuing their dreams.

Increasing flexibility for men is not the entire answer to workplace gender inequality, but it is a necessary and often neglected piece of breaking down the norms and beliefs that impede our progress towards a more just and productive society. Conversations like those taking place in the Equilibrium Man Challenge make a promising start in challenging our preconceptions about work and workers, ultimately dismantling the illusory trade-off between career success and life outside work.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More
Pertanyaan Tepat ke Atasan Waktu Performance Review

Bertanya pada Bos Saat ‘Performance Review’, Kenapa Tidak?

Performance review, performance appraisal, atau penilaian kinerja akan jadi salah satu tahapan yang harus dilewati setiap karyawan. Hal ini dilakukan pihak kantor untuk menilai produktivitasnya. Penilaian ini juga bisa jadi penentu karyawan tersebut ke depannya, apakah akan mendapatkan promosi, mutasi atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Buat para HR, melakukan performance review sudah menjadi salah satu tugas yang wajib dikerjakan. Ini mengingat salah satu tugas HRD adalah memastikan setiap karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut bisa produktif dan memberikan hasil terbaik.

Setelah melalui proses ini, HR dan atasan dapat menilai performa karyawan secara objektif selama kurun waktu tertentu, sekaligus menentukan rute pengembangan karier yang tepat untuk setiap karyawan.

Nah waktu kamu menghadapi performance review, sebenarnya ini merupakan momen yang bagus untuk mengajukan pertanyaan kepada atasan, loh. Dengan memberikan pertanyaan yang tepat, kamu bisa memperoleh gambaran lebih baik tentang karier kamu ke depannya.

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Kali ini, kami akan memberikan beberapa contoh pertanyaan yang dapat kamu ajukan waktu performance review tiba. Yuk, simak beberapa poin penting berikut.

1. “Apa perkembangan yang diinginkan dari departemen atau perusahaan ini?”

Saat performance review, kamu dapat memberikan pertanyaan ini kepada atasan untuk mengetahui peluang perkembangan kariermu nanti kedepannya.

Hal sangat penting, apalagi kalau kamu memang berencana untuk bertahan di perusahaan tersebut dalam waktu yang lama.

Dengan pertanyaan ini, kamu bisa tahu apakah atasan kamu memiliki rencana buat mengembangkan departemenmu atau malah berencana buat mengurangi karyawannya.

2. Waktu Performance Review Penting TanyakanSkill apa yang perlu saya kembangkan lagi?”

Dikutip dari TheMuse, pertanyaan ini bisa diajukan untuk mengetahui ke mana arah perkembangan yang bagus bagi diri kamu.

Baca Juga: Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

Idealnya, atasan bisa memberikan dua sampai tiga aspek yang bisa kamu kembangkan dalam waktu tiga sampai enam bulan ke depan.

Nah, dari jawaban yang diberikan, kamu bisa memulai membuat rencana untuk mempelajari skill-skill tersebut supaya kamu bisa semakin andal dalam bidang pekerjaanmu.

3. “Bagaimana saya dapat menunjang keberhasilan tim ini?”

Jika kamu menanyakan hal ini ke atasan, kamu akan dinilai sebagai salah satu karyawan yang baik.Tentunya, ini merupakan kualitas positif yang diinginkan perusahaan ada di dalam diri setiap karyawannya.

Jawaban dari atasanmu akan menjadi acuan andil apa yang dapat kamu tunjukkan untuk mencapai goals dari departemen tempatmu bekerja.

4. “Apa yang perlu saya lakukan supaya mendapatkan kenaikan jabatan?”

Sesudah bekerja sekian lama di sebuah perusahaan, sangat wajar jika kamu ingin memperoleh kenaikan jabatan. Nah, pertanyaan ini dapat ditanyakan pada atasan waktu performance review.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Akan tetapi, menurut situs Grove, kamu tidak boleh sampai terburu-buru. Kamu harus tahu waktu yang paling tepat untuk melontarkan pertanyaan ini. Jangan sampai terlalu cepat, misalnya waktu kamu baru bekerja setengah tahun di perusahaan tersebut.

Dari pertanyaan ini, paling enggak kamu sudah bisa tahu jenjang karier ke depannya dan apa saja skill yang perlu kamu kuasai atau tingkatkan lagi untuk bisa memperolehnya.

5. Saat Performance Review Kamu Bisa Bertanya “Apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan saya?”

Menurut Jennifer Kraszewski dari SDM online Paycom, kamu tidak perlu malu meminta feedback kepada atasan, bahkan untuk hal-hal kecil. Mengetahui kelebihanmu merupakan cara tepat untuk menumbuhkan motivasi kerja, supaya kamu bisa berkerja lebih baik lagi ke depannya.

Selain itu, kamu juga dapat menanyakan apa yang jadi kelemahanmu ketika performance review. Dengan mengetahui kelemahan diri selama ini, kamu bisa belajar memperbaiki hal tersebut dan termotivasi untuk mengembangkan diri.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Memang tidak gampang untuk bisa menerima kekurangan diri, tetapi jawaban dari atasan harus kamu jadikan sebuah dorongan agar kamu bisa menjadi lebih baik lagi.

6. “Apa yang menjadi tantangan paling besar bagi perusahaan sekarang ini?”

Jawaban dari pertanyaan ini sangat perlu kamu catat. Setelah mengetahui permasalahan perusahaan, kamu bisa mencari cara untuk berkontribusi sebaik mungkin dalam memecahkan permasalahan tersebut.

Selain itu, pertanyaan ini juga dapat memberikan gambaran tentang masa depan perusahaan. Hal ini juga merupakan bahan pertimbangan untuk kariermu selanjutnya.

Jika perusahaan kelihatan tidak bisa menjadi tempat yang bagus untuk berkarier jangka panjang, kamu dapat mulai memikirkan resign dan mencari tempat kerja yang baru.

7. “Siapa orang lain yang bisa memberi saya masukan?”

Selain atasanmu langsung, kamu juga dapat dinilai oleh orang lain yang bekerja denganmu, loh.

Baca Juga: Kalau Kamu Lelah Bekerja, Ambil Jeda Jangan Berhenti

Memperoleh feedback dari orang lain atau rekan kerja bisa memperdalam pemahamanmu tentang performa diri sendiri serta mengoreksi kinerja supaya lebih maksimal.

Mengajukan pertanyaan ini juga memperlihatkan kepada atasan kalau kamu memang sungguh-sungguh dalam menjadi bagian dari tim serta perusahaan.

Nah, itulah tujuh pertanyaan yang dapat menjadi referensimu untuk performance review ke depannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membuat sesi penilaian dengan atasanmu menjadi lebih bermanfaat dan berarti.

Read More
meningkatkan produktivitas kerja

6 Cara Tepat dan Mudah Meningkatkan Produktivitas Kerja

cara meningkatkan produktivitas kerja – Dalam bekerja, kita selalu dituntut untuk bisa produktif supaya pekerjaan bisa cepat terselesaikan dan kita bisa mengerjakan perkerjaan yang lain. Kita mungkin sering mengakalinya dengan membuat semacam planner, to-do-list, mencatat di sticky notes, bahkan menyetel alarm atau reminder untuk mengingatkan kita. Namun, hal ini ternyata tidak selalu efektif.

Tampaknya, ada saja kejadian di mana kita sangat terdistraksi dan ujung-ujungnya membuat produktivitas kerja menurun.

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Lalu, bagaimana cara meningkatkan produktivitas supaya kita dapat bekerja dengan maksimal? Dan, apa sih, arti dari produktivitas itu sendiri?

Pengertian Produktivitas Kerja

Dikutip dari SmallBusiness, pengertian produktivitas adalah ukuran perbandingan kualitas dan kuantitas dari seorang tenaga kerja dalam satuan waktu untuk dapat mencapai hasil atau performa kerja secara efektif dan efisien dengan sumber daya yang digunakan.

Jadi, produktivitas kerja punya dua aspek. Aspek yang pertama adalah efektivitas yang mengacu pada pencapaian kerja maksimal (berhubungan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu). Aspek yang kedua adalah efektivitas yang berkenaan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya.

Cara Meningkatkan Produktivitas Kerja

Di antara kita pasti ada yang sering banget merasa sedang tidak produktif dalam bekerja. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor, seperti mood, gangguan dari luar, dan sebagainya.

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Kalau kamu merasakan itu, jangan khawatir. Produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara-cara sederhana yang selama ini kita tidak sadari. Dikutip dari Entrepreneur, ada beberapa cara sederhana untuk kamu meningkatkan produktivitas kerja. 

1. Hindari multitasking 

Apakah kamu sering banget kerja multitasking? Mungkin kamu merasa sangat produktif bila melakukan multitasking, namun faktanya ternyata tidak sama sekali.

Mengerjakan beberapa pekerjaan bersamaan dalam satu waktu ternyata malah bisa membuat kamu merasa lebih lelah. Kamu akan menjadi kurang fokus dengan pekerjaan yang sedang kamu kerjakan dan akhirnya justru membuat produktivitas kamu menurun. Selain itu, multitasking juga bisa mendorongmu membuat banyak kesalahan dan pada akhirnya kreativitasmu pun jadi menurun.

Maka dari itu, lebih bagus fokus pada satu hal, selesaikan, dan baru kerjakan perkerjaan yang lain.

2. Jangan lupa bersihkan meja kerja

Supaya bisa tetap merasa nyaman dan tidak mudah terditraksi waktu bekerja, rapikan dan bersihkan meja yang biasa kamu gunakan. Rapikan dokumen atau kertas-kertas yang berantakan di atas meja, yang bisa membuat kamu merasa kurang nyaman dalam bekerja. 

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Atur dokumen di atas meja kerjamu sesuai dengan project yang sedang kamu kerjakan.

Supaya meja kerjamu tetap terlihat rapi, sediakan waktu kurang lebih 10 menit sebelum bekerja untuk menyortir dokumen apa saja yang dibutuhkan pada hari itu.

3. Membuat to-do-list penting buat meningkatkan produktivitas kerja

Meningkatkan produktivitas kerja bisa dilakukan dengan membuat semacam catatan kecil atau to-do-list. Usahakan untuk mengerjakannya satu per satu, supaya kamu bisa berkerja lebih fokus.

Tulis secara berurutan, pekerjaan mana yang harus segera di selesaikan di hari tersebut. Ingat, dalam membuat to-do-list, kamu harus tetap rasional untuk menentukan goals serta tugas yang akan diselesaikan.

To-do-list sangat membantu kamu supaya tetap berada di jalur saat menyelesaikan hal-hal yang mesti kamu kerjakan.

Hindari memaksakan diri untuk bisa menyelesaikan pekerjaan di hari yang sama. Hal ini akan membuat kamu bekerja di luar kemampuan.

Buatlah tugas menjadi poin-poin kecil, spesifik, dan simpel untuk membantu kamu mengukur sampai di mana batas kemampuanmu.

4. Menghilangkan gangguan

Mungkin kamu sering merasa tidak produktif karena ada beberapa gangguan yang memecahkan konsentrasimu. Kamu bisa melakukan beberapa cara mudah untuk meminimalisasi gangguan tersebut, seperti men-silent handphone dan menjadwal ulang meeting atau kegiatan yang dirasa kurang penting.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Kamu juga bisa menghindari rekan kerja yang malas-malasan, karena umumnya rasa malas dapat menular. Rekan kerja yang malas biasanya akan mengajakmu mengobrol hal-hal yang kurang penting, sehingga bisa menghilangkan konsentrasi dan fokus kamu dalam bekerja.

5. Seminggu sekali melakukan evaluasi

Untuk meningkatkan produktivitas kerja, kamu juga dapat melakukan evaluasi setiap minggu. Ini bertujuan untuk melihat kembali pekerjaan mana yang sudah berhasil diselesaikan sesuai target dan mana yang belum. Dengan melakukan evaluasi, diharapkan kamu bisa tahu penyebab kenapa kamu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai target.

6. Tips terakhir untuk meningkatkan produktivitas kerja: rutin berolahraga

Stamina yang baik juga sangat membantu meningkatkan produktivitas kerja kamu. Oleh karena itu, kamu disarankan untuk rutin berolahraga. Enggak harus melakukan olahraga yang berat-berat, kamu dapat melakukan aktivitas olahraga ringan seperti jogging atau jalan kaki selama 30 menit.

Itulah beberapa informasi yang perlu kamu ketahui tentang produktivitas kerja dan cara meningkatkannya. Semoga kamu bisa terus produktif ya, saat bekerja.

Read More

Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

likeability trap – Keinginan untuk disukai orang lain cenderung muncul ketika berada di lingkungan baru. Ini mendorong seseorang untuk mempertanyakan kemampuan, penampilan, sikap, dan caranya berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.

Di tempat kerja, keinginan tersebut menjadi tekanan bagi pekerja perempuan, yang disebut likeability trap. Celakanya, tekanan ini kerap kali membuat perempuan justru menjadi terhambat karena ada unsur bias gender di sini. Masyarakat menciptakan karakter perempuan sebagai sosok lemah lembut dan sopan, sedangkan laki-laki dikenal ambisius dan kompetitif.

Oleh sebab itu, dalam negosiasi upah atau meminta promosi jabatan, laki-laki dianggap tegas karena mampu mengekspresikan dirinya, dan percaya diri dalam menyuarakan hak yang pantas didapatkan. Namun, jika pekerja perempuan melakukannya dianggap menuntut dan ingin memerintah.

Jurnalis dan penulis asal Amerika Serikat (AS), Alicia Menendez, menjelaskan Goldilocks conundrum sebagai salah satu faktor perempuan terjebak dalam likeability trap. “Perempuan dianggap berkepribadian terlalu hangat atau dingin, dan keduanya tidak menguntungkan,” jelasnya kepada NPR.

Umumnya, perempuan yang berkepribadian terlalu hangat disukai rekan kerjanya, tetapi dinilai tidak cukup berkompeten dalam melakukan pekerjaan. Sementara, perempuan yang bersikap dingin, meskipun memiliki kemampuan memimpin, mereka dilihat terlalu kuat, tegas, menuntut banyak hal, dan pandai melobi. Karena itu, mereka diminta agar tidak terlalu dominan.

Artinya, di lingkungan kerja perempuan sulit menunjukkan citra diri yang sebenarnya, karena menyesuaikan tuntutan orang-orang di sekitar. Pun ketika perempuan memiliki jabatan tinggi, cenderung dikritik dan disalahkan karena perempuan dinilai tidak perlu mengejar kesuksesan karier.

Namun, bukan berarti perempuan harus terjerat dalam likeability trap yang menahan perkembangan kariernya. Berikut kami merangkum beberapa langkah yang dapat dilakukan.

Baca Juga: 6 Tantangan Perempuan Bekerja dari Dulu Sampai Sekarang

1. Pertahankan Integritas Diri

Studi berjudul “Negotiating gender roles: gender differences in assertive negotiating are mediated by women’s fear of backlash and attenuated when negotiating on behalf of others” (2010) oleh akademisi asal US, Emily Amanatullah dan Michael Morris menunjukkan penemuan terhadap perempuan penurut.

Berdasarkan penelitian tersebut, perempuan yang cenderung meminta maaf dan tunduk, hanya melemahkan diri mereka sendiri. Karena itu, integritas perlu dipertahankan melalui nilai-nilai dalam diri, misalnya dengan bertanggung jawab, berbicara dengan konsisten, menjaga pembicaraan, menghindari sikap defensif dan menyalahkan orang lain, serta mampu mempertahankan argumen.

“Integritas artinya jujur pada diri sendiri, dan tidak melakukan tindakan yang merendahkan diri,” ujar Dr. Kavita Makan, seorang reumatologi asal Bara, Nepal, kepada The Daily Vox. Dengan membangun integritas, kepercayaan yang merupakan kunci kesuksesan dan kepemimpinan juga dapat dipertahankan.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

2. Bangun Koneksi dengan Rekan Kerja

Memupuk kepercayaan dan dukungan dari rekan kerja dapat dilakukan lewat membangun koneksi dengan mereka. Mengutip Forbes, kemanusiaan merupakan fondasi kuat sebagai dasar kepemimpinan dan relasi.

Dengan membuka diri, rekan kerja mengetahui karakter, keinginan, dan aspirasi lawan bicaranya. Pun sebaliknya, mendengarkan kisah mereka menunjukkan kepedulian dan keinginan untuk memahami, sekaligus melatih empati dan menguatkan kecerdasan emosional.

Terlepas dari penilaian mereka yang tidak bisa diubah, setidaknya dapat dipengaruhi melalui cara berpikir dan perilaku. “Nantinya, Anda akan menemukan rekan yang dapat dipercaya, mampu melihat kemampuan dan nilai dalam diri Anda, serta memberikan pandangannya tentang apakah kepribadian Anda benar seperti dikatakan rekan-rekan kerja tersebut,” kata Menendez.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

3. Kesalahan Bukan pada Anda

Adanya bias gender membuat perjalanan mencapai kesuksesan karier lebih sulit bagi perempuan. Tak dimungkiri, bias tersebut memengaruhi cara berpikir dan bersikap sebagian orang, sehingga timbul kesan tidak suka melihat perkembangan perempuan yang signifikan.

Menurut Menendez, perempuan dapat mendorong tanggapan yang konkret dan lebih subjektif. “Ketika disebut terlalu vokal misalnya, tanyakan dengan siapa kita dibandingkan, apakah ada rekan kerja lain yang bisa memberikan saran lebih baik, atau meminta diberikan seseorang yang patut dicontoh dalam bekerja,” ujarnya.

Dengan demikian, seseorang yang mengkritik secara subjektif akan mempertimbangkan dirinya bias atau tidak. Karena itu, berusahalah untuk tidak menginternalisasi hingga menyalahkan diri sendiri. Pun terdapat gambaran lebih besar yang perlu diperhatikan dan dilakukan, yakni pekerjaan dan tujuan yang ingin dicapai.

4. Tidak Perlu Merasa Kecil

Rekan kerja yang tidak menyukai mungkin akan bersikap mengintimidasi. Namun, tidak seharusnya mereka memengaruhi kinerja. Justru gunakan kekuatan yang dimiliki dalam memberikan kontribusi bermakna, untuk membuktikan adanya kapabilitas diri dalam meraih kesuksesan karier. 

Joan C. Williams, seorang penulis, feminis, dan profesor hukum, mengutarakan opininya dalam New York Times. Menurutnya, perempuan harus berperilaku asertif dan apa adanya, untuk melihat apakah menjadi dirinya sendiri memicu ketidaksukaan dari rekan kerja. Dengan demikian, ada kemungkinan perempuan akan didengar, dilihat sebagai sosok yang tegas dan berani.

Namun, apabila itu penyebab ketidaksukaan, perempuan dapat memutuskan langkah selanjutnya, apakah ia ingin menjadi dirinya sendiri atau “berlindung” di balik tuntutan rekan kerja. Pun Menendez menyebutkan, perempuan sebaiknya mempertimbangkan perkembangannya di tempat kerja tersebut. Apabila ingin bekerja secara maksimal, lebih baik mereka mengutamakan tempat kerja yang mendukung dirinya berperan sebagai diri sendiri.

Read More
resign untuk Mulai Bisnis

7 Pertimbangan Sebelum Memutuskan resign untuk Mulai Bisnis

Punya bisnis dan menjadi bos untuk diri sendiri memang menjadi cita-cita sebagian orang. Nah, sebelum akhirnya kamu memutuskan buat resign dari pekerjaan sekarang untuk mulai bisnis, kamu harus mempertimbangkan berbagai hal lebih dulu.

Yang pasti, kamu tidak boleh terburu-buru memutuskan berhenti dari pekerjaan sekarang. Kamu perlu memastikan bahwa melepas stabilitas finansialmu sebagai karyawan akan jadi keputusan tepat dalam hidupmu, bukan malah nantinya membuat kamu menyalahkan diri sendiri karena kurangnya persiapan.

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

Kamu juga perlu ingat bahwa menjalankan usaha sendiri enggak berarti kamu bisa lebih santai dibanding menjadi karyawan di perusahaan. Tanggung jawab serta pekerjaan kamu bukan malah jadi berkurang, loh. 

Berikut ini beberapa pertimbangan yang sudah kami rangkum sebelum kamu memutuskan resign untuk mulai bisnis.

Pertimbangan resign untuk Mulai Bisnis

1. Apakah kamu benar-benar resign karena ingin mulai bisnis?

Dikutip dari Forbes, ini adalah pertimbangan pertama sebelum resign yang harus kamu tanya ke diri sendiri.

Apakah alasan kamu resign karena jenuh bekerja? Atau karena kamu menemukan masalah di kantor dan tidak bisa kamu selesaikan?

Sebaiknya, jangan membuat perpindahan karier jika alasanmu adalah punya masalah dengan orang lain. Karena dalam dunia bisnis, kamu pun nantinya harus berhubungan atau berhadapan dengan banyak orang.

2. Apakah kamu yakin dengan memulai bisnis akan membuatmu lebih bahagia?

Sebelum memberanikan diri menjadi wirausahawan, perlu dipastikan lagi bahwa memulai usaha sendiri merupakan suatu hal yang benar-benar kamu inginkan. Ya, banyak orang yang ternyata tidak suka dengan pekerjaan di kantornya sekarang. Namun, itu bukan alasan yang tepat untuk akhirnya langsung banting setir ke dunia wirausaha.

Pastikan bahwa dengan menjadi wirausahawan, kamu akan dapat menemukan kebahagiaan dan aktualisasi diri. Jika kamu masih merasa ragu, mungkin kamu perlu waktu lebih banyak untuk melihat ke dalam dirimu sendiri dan cari tahu pekerjaan apa yang benar-benar membuat kamu enjoy mengerjakannya.

Memulai usaha sendiri tidaklah gampang. Ketika kamu akhirnya sangat yakin bahwa memang ini yang kamu mau, saat nantinya berada di masa sulit pun, kamu akan bisa bertahan.

3. Apakah kamu siap untuk bekerja tak kenal waktu?

Mulai berbisnis setelah resign memang terkesan ideal. Namun, apakah kamu sudah siap bekerja lebih keras dan tidak kenal waktu? Hal ini harus kamu pikirkan sebelum memutuskan buat resign dan mulai mengembangkan bisnis.

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Perlu digarisbawahi, ketika berbisnis, kamu akan bekerja tidak ditentukan oleh waktu kapan mulai dan selesai. Pasalnya, kamu perlu bekerja lebih keras tanpa ada jaminan pemasukan yang stabil.

Selain itu, untuk bisa menjadi entrepreneur yang berhasil, kamu harus punya dorongan untuk terus berkembang, baik terkait diri sendiri ataupun bisnis yang sedang digeluti.

4. Bagaimana kamu bisa pede bahwa sekarang merupakan waktu paling tepat memulai bisnis?

Memimpin usahamu sendiri memang harus punya keberanian. Namun, enggak cuma asal berani saja, kamu juga harus tahu waktu yang tepat dan paling kondusif untuk meninggalkan status karyawanmu dan beranjak menjadi pengusaha penuh waktu. Artinya, jangan pernah merasa bersalah menunda rencana resign untuk memulai usaha jika kamu yakin semua itu untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Waktu yang tepat enggak cuma masalah modal yang cukup atau kematangan rencana bisnis, tapi juga kesiapanmu mengemban semua tanggung jawab tanpa adanya pendapatan yang selama ini terjadwal masuk ke kantongmu. Jika kamu sudah berkeluarga atau kamu jadi seorang tulang punggung keluarga, pilihan meninggalkan jaminan finansial yang diberikan kantormu sekarang mungkin perlu dipertimbangkan lagi.

Bahkan sebelum memulai bisnismu pun, kamu harus sudah bisa membuat langkah secara realistis dan terbuka.

5. Apakah kamu sudah punya mindset yang tepat untuk mulai bisnis?

Menurut Jeffrey Shaw, penulis buku The Self-Employed Life, tantangan paling berat yang perlu dihadapi oleh self-employed adalah perubahan mindset.

Maksudnya, beralih dari lingkungan kerja yang terstruktur, di mana sudah ada jadwal setiap harinya, ke rutinitas mengerjakan sesuatu dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Baca Juga: Masalah Kepercayaan Diri Masih Hantui Perempuan Pemimpin Bisnis

Selain itu, kamu pun dituntut untuk terus bisa berkembang supaya bisnis yang sedang dijalankan tetap bisa berjalan dan menghasilkan uang.

Karena itu, memastikan bahwa kamu punya mindset yang tepat dan mampu mengatur waktu dengan baik merupakan sebuah keharusan sebelum memutuskan resign untuk memulai bisnis.

6. Apakah kamu senang menjual sesuatu dan berbicara dengan orang lain?

Hal ini memang terdengar klise, namun tetap harus kamu pikirkan untuk kamu sebelum resign dan mulai melakukan bisnis.

Ketika berbisnis, kamu harus berhasil menjual sebuah produk atau jasa ke orang lain agar menghasilkan uang. Hal ini tentu saja membutuhkan minat dan kemampuan tersendiri yang perlu diasah. Kalau kamu bisa membuat produk yang unik, logo menarik, atau social media presence yang mantap, tetap saja percuma bila tidak ada orang yang mau membeli produk yang kamu tawarkan.

Baca Juga: Suzy Hutomo dan Bisnis Ramah Lingkungan, Ramah Gender

Kamu juga perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kamu termasuk orang yang suka berbicara dengan orang lain? Biasanya, pada awal membuat usaha sendiri, kita belum mampu untuk memperkerjakan orang lain. Saat ada banyak konsumen yang bertanya di WhatsApp misalnya, kamu harus dengan sabar menjawab pertanyaannya satu per satu.

7. Apakah kamu sudah mempersiapkan business plan untuk mulai bisnis?

Penting buat kamu untuk sudah mempersiapkan business plan sebelum akhirnya resign dan menjadi pengusaha. Sebelum memulai bisnis, tentunya kamu harus membuat beberapa rencana, misalnya seperti apa target konsumen kamu nanti, produk kamu itu punya kelebihan apa dibanding kompetitor, hingga berapa target penjualan yang harus dicapai tiap bulannya, supaya bisnismu bisa terus berjalan.

Nah, itu adalah beberapa pertimbangan yang perlu kamu pikirkan sebelum memutuskan resign untuk mulai bisnis. Semoga setelah membaca artikel ini, keputusan kamu semakin mantap dan jelas, ya.

Read More
apa itu life skill

Apa itu ‘Life Skill’ dan Bagaimana Cara Mengembangkannya?

Waktu kamu akhirnya masuk ke dunia kerja, selain hard skill, kamu perlu memiliki kemampuan lain, yakni life skill. Mengapa demikian? Kemampuan ini akan sangat membantu kamu dalam menghadapi berbagai tantangan yang datang di tempat kerja.

Jenis skill ini bahkan dapat mendukung kemajuan kamu di dunia kerja seperti soal kenaikan jabatan. Sayangnya, kemampuan satu ini tidak bisa dibilang gampang buat diraih. Memang membutukan cukup waktu untuk kamu bisa menguasainya.

Nah, kali ini kami akan menjelaskan apa itu life skill, serta bagaimana cara yang tepat untuk bisa meningkatkannya. Yuk, simak selengkapnya dalam rangkuman di bawah ini.

Apa itu Life Skill?

Sebelum membahas apa saja jenisnya dan bagaimana cara supaya bisa meningkatkan life skill ini, kita perlu mengetahui definisinya terlebih dahulu.

Menurut WHO, keterampilan hidup (life skills) merupakan kemampuan untuk bisa beradaptasi dan memperlihatkan perilaku positif yang pada akhirnya memampukan seseorang untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari dengan efektif.

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Jika kamu memiliki kemampuan ini, nantinya kamu akan sangat terbantu untuk menangani hampir semua hal dengan lebih baik, mulai dari memproses emosi sampai berinteraksi dengan rekan kerja atau orang lain.

Keterampilan hidup yang diperlukan bisa sangat beragam sesuai dengan umur seseorang atau background budayanya. Bahkan, keterampilan apa pun yang sangat berguna buat hidupmu saat ini bisa dianggap sebagai life skill.

Life Skill yang Diperlukan dalam Dunia Kerja

Dikutip dari laman World Economic Forum (WEF), sebagian besar karyawan perusahaan perlu meng-update skill mereka. Hal ini diperlukan supaya mereka dapat terus bersaing sampai di tahun-tahun mendatang.

Dari hasil penelitian WEF, pada 2025 diperkirakan ada 85 juta pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh manusia atau mesin. Teknologi yang terus menerus berkembang menuntut manusia untuk terus belajar. Teknologi buatan seperti mesin sampai kecerdasan buatan atau AI juga akan dilibatkan dalam berbagai industri.

Kemungkinan ke depannya, akan ada perubahan sistem kerja yang tadinya dilakukan manusia, lalu dialihkan pada kecerdasan buatan. Walau demikian, kemampuan manusia yang melibatkan life skill mereka tetap dibutuhkan di dunia kerja. Karenanya, karyawan perlu membekali diri dengan kemampuan yang terus diperbaharui.

Nah, berikut ini beberapa jenis life skill yang akan kamu butuhkan di dunia kerja, berikut penjelasannya.

Komunikasi Menjadi Salah Satu Life Skill Penting Sebelum Terjun ke Dunia Kerja

Salah satu life skill yang harus kamu kuasai sebelum akhirnya terjun ke dunia kerja adalah komunikasi. Komunikasi mengacu pada kemampuanmu untuk bisa memberikan informasi kepada orang lain, baik secara verbal, tertulis, atau melalui bahasa tubuh.

Komunikasi merupakan salah satu kemampuan paling penting yang harus dipunyai setiap orang di tempat kerja.

Baca Juga: 7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Menurut The Balance Careers, kamu harus mempelajari beberapa jenis kemampuan komunikasi di bawah ini.

  • kemampuan presentasi
  • kemampuan public speaking
  • mendengarkan
  • komunikasi verbal
  • bahasa tubuh atau body language
  • literacy

Resiliensi

Jenis life skill selanjutnya yang harus kamu miliki di dunia kerja adalah resiliensi. Kemampuan ini mengacu pada kemampuanmu untuk bisa menangani segala bentuk rintangan dan bisa bangun lagi dari kegagalan.

Kalau di tempat kerja, kemampuan ini bisa diterapkan waktu kamu harus mengelola beban kerja yang berat sampai menghadapi rekan kerja yang toksik.

Intinya, resiliensi akan kamu butuhkan buat bertahan dalam dunia profesional yang penuh tekanan serta persaingan yang ketat.

Kooperatif

Kooperatif merupakan salah satu jenis life skill lainnya yang harus bisa kamu kuasai di dunia kerja. Agar karier kamu bisa berkembang, kamu harus dapat bekerja sama atau bersikap kooperatif dengan rekan kerja yang lain atau dengan atasan, dan bisa menjadi bagian dari sebuah tim.

Menaikkan keterampilan ini mengharuskan kamu buat memperkuat kemampuan manajemen konflik, komunikasi, dan empati.

Decision making

Decision making adalah salah satu life skill yang harus kamu kuasai juga karena bisa sangat membantu kamu dalam berkarier ke depannya. Setiap orang pasti pernah dalam hidupnya membuat keputusan atau decision making. Contoh gampangnya seperti memilih baju untuk dipakai hari ini atau menentukan makan siang.Dalam dunia kerja, pengambilan keputusan yang tepat dibutuhkan dalam beragam konteks, mulai dari memilih akan bekerja sama dengan klien yang mana, menangani krisis dalam perusahaan, menentukan cara menyikapi pelanggan yang komplain, dan sebagainya.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Menurut indeed.com, HRD umumnya mencari kandidat yang tahu bagaimana cara menganalisis situasi, bisa menimbang berbagai pilihan, dan membuat keputusan terbaik lewat informasi yang mereka punya.

Level kepercayaan diri juga diperlukan agar bisa membuat keputusan tegas dan menghindari menebak-nebak diri sendiri.

Keterampilan decision making sendiri bisa mencakup pemikiran yang kreatif, pemilihan prioritas, dan manajemen waktu.

Problem Solving

Problem solving merupakan sebuah kemampuan untuk membuat solusi atas segala hal yang menghalangi tujuan kamu.

Semakin baik kamu menguasai life skill ini, semakin cepat dan efektif pula permasalahan kamu terselesaikan.

Empati

Jenis life skill selanjutnya yang wajib kamu miliki di dunia kerja adalah empati. Kemampuan ini merujuk pada cara seseorang memahami dan peduli dengan perasaan serta pola pikir orang lain yang ada di sekitarnya.

Empati bisa membantu diri kita menerima orang lain yang mungkin berbeda dari diri kita sendiri. Keterampilan hidup ini nantinya bisa meningkatkan kemampuanmu dalam berinteraksi sosial, terutama dalam situasi atau tempat yang punya keragamanan etnis atau budaya.

Stress Management

Menurut Hellosehat.com, setiap orang membutuhkan kemampuan manajemen stres yang baik. Pasalnya, stres bisa datang dari mana saja. Mulai dari deadline pekerjaan yang harus dikejar, hubungan kurang baik dengan orang lain, hingga permasalahan lain. Jika tidak dikelola dengan baik, stres  memberikan dampak buruk terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental.

Baca Juga: Atas Nama Agama, Aku Dilarang Kerja

Maka dari itu, stress management merupakan life skill yang sangat kamu butuhkan di dunia kerja untuk bisa lebih produktif dan bahagia. Tujuan skill ini sendiri adalah supaya kamu punya kehidupan profesional dan personal yang seimbang atau work life balance.

Creative Thinking

Creative thinking merupakan salah satu life skill yang harus dimiliki semua pekerja di dunia profesional.

Mengapa demikian? Sebab, skill ini bisa sangat membantu kamu dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah secara terstruktur.

Berpikir kreatif juga akan membantu setiap individu dan perusahaan untuk jadi produktif dan siap dengan perubahan.

Karena sangat penting, kemampuan satu ini bahkan menjadi preferensi perekrut waktu mereka mencari karyawan baru.

Flexibility

Life skill selanjutnya yang harus kamu kuasai jika ingin berhasil di dunia kerja adalah flexibility. Skill ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk bisa beradaptasi dengan cepat pada keadaan baru. Ini juga berarti, kamu mampu mengerjakan tugas yang berada di luar jobdesc dan menangani berbagai masalah baru.

Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan yang Aktif Angkat Isu Perubahan Iklim

Menurut WeWork.com, karyawan yang fleksibel bisa dengan cepat mengubah rencana mereka untuk menavigasi atau mengatasi hambatan yang tak terduga.

Orang-orang yang fleksibel sangat dicari oleh perusahaan besar yang sering kali menemui permasalahan baru.

Resolusi Konflik

Suatu konflik terjadi waktu dua pihak atau lebih yang punya tujuan atau pendapat yang berbeda terhadap suatu hal.

Di tempat kerja,perbedaan pendapat sangat biasa terjadi . Namun, jika hal tersebut tidak mampu diselesaikan dengan baik, pastinya akan tercipta konflik yang berkepanjangan.

Itulah kenapa sangat penting buat para karyawan punya pengetahuan soal resolusi konflik. Dikutip dari Indeed.com, resolusi konflik sendiri adalah seni dalam mengatasi perbedaan tujuan dan pendapat untuk menemukan solusi agar setiap orang dapat bekerja sama secara damai.

Cara Meningkatkan Life Skill

Setelah kamu tahu definisi serta contoh dari life skill, kamu perlu mengetahui cara mengembangkan hal tersebut.

Baca Juga: Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya

Berikut ini beberapa cara  yang bisa kamu lakukan untuk menaikkan kemampuan life skill kamu.

  • Selalu berusaha berada di sekeliling orang yang positif
  • Jangan ragu untuk menambah jaringan dan berinteraksi dengan lebih banyak orang
  • Mau terus belajar keterampilan baru
  • Kembangkan dan perdalam self awareness.

Itulah pemaparan singkat yang bisa kami berikan mengenai definisi, jenis, dan cara menaikan life skill yang perlu kamu ketahui.

Intinya, life skill merupakan jenis kemampuan yang bisa buat kamu bertahan dalam dunia kerja dan karier. Makanya buat para fresh graduate, pastikan dulu bahwa kamu sudah menguasainya sebelum memasuki dunia kerja.

Read More
Apa Itu Toxic Productivity

Apa Itu ‘Toxic Productivity’, Kenapa Kamu Perlu Menghentikannya?

Apakah kamu berpikir sering lembur dan menghabiskan sebagian waktu untuk bekerja adalah hal yang baik? Apakah kamu kerap menelantarkan kesehatan dan relasi sosial demi pekerjaan? Hati-hati, bisa jadi kamu sedang berada dalam lingkaran produktivitas beracun atau toxic productivity. 

Apa itu Toxic Productivity?

Dikutip dari The Huffington Post, toxic productivity merupakan istilah yang merujuk pada orang-orang yang terlalu workaholic. Padahal situasi sesungguhnya, istilah ini merujuk pada orang-orang yang bekerja melebihi tanggung jawabnya bahkan melebihi kapasitasnya, 

Ketika mendengar istilah tersebut, awalnya saya juga bertanya-tanya memang ada ya? Setelah membaca sejumlah referensi, ternyata saya pun mengalami hal persis yang dijelaskan dalam artikel-artikel tersebut. Akibat pandemi COVID-19, rutinitas yang saya miliki berubah sangat drastis. 

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Saat work from home, saya merasa waktu kerja saya melebur dengan aktivitas di luar pekerjaan. Ketika saya menyelesaikan tugas-tugas lebih cepat, dan mendapatkan waktu istirahat banyak hari itu, saya merasa sangat bersalah. Padahal, pekerjaan yang saya selesaikan juga tak kalah banyaknya. Saya pun mulai menyelesaikan pekerjaan lain yang sebetulnya masih memiliki tenggat waktu lama.

Saya juga, jadi sering menunda melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan, misalnya, ketika ibu saya menyuruh untuk rehat, saya bakal menolak dengan halus dan berkata, “tanggung, dikit lagi kelar kok.”

Toxic productivity ini tentunya berakibat fatal pada kondisi kesehatan mental. Akhirnya itu berujung pada saya yang mengalami burnout. Beberapa teman juga mengalami hal yang sama persis dengan saya. Ketika mereka sudah selesai mengerjakan tugas mereka, alih-alih mengapresiasi diri karena telah berhasil menyelesaikan tugas sesuai deadline, mereka malah merasa hampa.

Parahnya, saat mereka diajak untuk beristirahat sebentar, mereka malah berkata bahwa itu sia-sia. Waduh, saya semakin khawatir dengan fenomena seperti ini.

Berikut beberapa tanda jika kamu sudah mulai masuk ke dalam lingkaran produktivitas beracun atau toxic productivity, dikutip dari laman The Healthy. 

1. Tanda toxic productivity yang pertama: Kamu merasa tidak bersemangat mengerjakan aktivitas selain pekerjaanmu

Tanda-tanda kamu sudah masuk ke lingkaran setan toxic productivity kamu akan merasa aktivitasmu selain bekerja tidak membuatmu senang atau rileks. Misalnya, kamu senang bermain gim setelah bekerja, namun belakangan kamu malah tidak ada selera memainkannya, dan lebih memilih untuk bekerja. Hati-hati. 

Baca Juga: 7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

2. Kamu lupa kapan terakhir kali merasa senang

Setelah kamu kehilangan kesenangan dalam melakukan aktivitas di luar pekerjaan, kamu jadi lupa kapan terakhir kamu bersenang-senang, entah itu bersama teman, atau me time sendirian. Toxic productivity membuat kamu jadi lupa untuk mencari kesenangan lain, bahkan lebih parahnya, kamu bisa jadi kurang bergairah dalam hidupmu. 

3. Waktu istirahat atau rehat membuatmu cemas

Pernah enggak ketika istirahat, kamu malah jadi cemas karena merasa perlu mengerjakan sesuatu? Jika iya, maka kamu sudah mengalami Toxic Productivity. Ingat, jika waktunya istirahat, kamu mesti istirahat, jangan malah sebaliknya. 

4. Kamu kesal ketika melihat orang-orang senang

Ketika melihat teman-temanmu jalan-jalan ke luar kota, atau me time sendirian, kamu malah merasa kesal dengan mereka. Jika kamu merasa seperti ini, kamu perlu mulai mewaspadai tanda-tanda toxic productivity.

5. Kamu jadi malas bersosialisasi merupakan tanda toxic productivity yang sering terjadi

Produktivitas toksik juga akan membuatmu merasa malas  untuk bersosialisasi atau bercengkrama dengan orang-orang terdekatmu. Padahal, berjeda dan menghabiskan waktu bersama orang-orang yang penting dalam hidupmu itu penting.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

6. Kamus sering merasa bersalah jika tidak produktif

Jika kamu sering merasa bersalah ketika mengambil cuti atau mungkin beristirahat sebentar sebelum bekerja lagi, kamu mesti mewaspadai hal itu sebagai tanda toxic productivity. Segera konsultasikan ke psikolog ya. 

7. Kamu merasa tidak mampu untuk menjauh dari pekerjaanmu

Ketika temanmu mengajak untuk bersantai sejenak, kamu malah menolak dan merasa tidak bisa lepas dari kerjaan kamu. Alih-alih melakukan jeda, kamu malah semakin membenamkan diri dalam pekerjaanmu untuk mencari ketenangan diri. Padahal, ini sudah masuk ke dalam toxic productivity. 

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Bagaimana menghentikan Toxic Productivity 

Jika kamu mengalami beberapa hal di atas, saya sarankan agar kamu segera mencari bantuan profesional, sebab ini bakal berakibat fatal bagi kesehatan mental kamu. Selain itu, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan juga, yaitu:

  • Buatlah waktu jeda di antara pekerjaanmu. Dengan berjeda kamu bisa sedikit bernapas lega, dan kembali mengumpulkan energi untuk melakukan pekerjaan selanjutnya. 
  • Mulailah mencoba untuk mengatur penggunaan gawai kamu seperti ponsel dan laptop, jika bisa buat jadwal untuk melakukan puasa gawai.
  • Terakhir, yang bisa kamu lakukan untuk menghancurkan kebiasaan toxic productivity ini adalah, jangan melakukan apa-apa. Gunakan waktu istirahatmu, untuk berleha-leha dan tidak melakukan aktivitas apapun, demi mengistirahatkan otak. 

Read More
karier yang tepat

Cara Menemukan Karier yang Tepat untuk Para Fresh Graduate

Ada banyak sekali pilihan karier yang dapat kamu pilih untuk menopang kehidupan di masa depan. Cuma permasalahannya, tidak semua orang mampu menentukan karier yang tepat untuk dijalankan, masih ragu, atau bingung memilihnya.

Dengan menemukan karier yang tepat, kamu akan lebih bisa menikmati pekerjaanmu serta bersemangat dalam menjajaki jenjang karier ke depannya. Berikut ini beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk menemukan karier yang tepat yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber.

1. Mengevaluasi Diri Sendiri Sebelum Kamu Memilih Karier yang Tepat

Sangat penting untuk bisa mengevaluasi diri sendiri sebelum kamu memilih karier yang tepat. Kamu harus paham minat, bakat, dan keterampilan kamu. Selain itu, memahami dan menilai kepribadian kamu sendiri juga tak kalah penting untuk kelangsungan karier kamu nantinya. Dengan bisa menilai diri sendiri, kamu jadi tahu profesi dan perusahaan seperti apa yang tepat untuk kamu.

Baca Juga: 4 Fakta Kamu Budak Korporat dan Cara Mengatasinya

2. Cara Menemukan Karier yang Tepat dengan Terus Belajar

Belajar merupakan sebuah keharusan, terlebih dengan perkembangan teknologi yang menuntut kamu untuk bisa terus beradaptasi serta inovatif.

Kamu bisa belajar dari rekan kerja atau senior di perusahaan tempat kamu sekarang bekerja. Dan, kamu juga perlu mencari tahu apa saja skill yang dibutuhkan supaya karier kamu bisa berkembang, baik itu hard skill atau soft skill.

Kamu juga bisa memilih untuk ikut pelatihan atau kursus untuk mengembangkan skill dan mendapatkan sertifikasi. Hal ini nantinya dapat membantu kamu melamar pekerjaan di tempat lain.

3. Melakukan Networking 

Dengan melakukan networking, kamu membangun dan menjaga hubungan profesional dengan orang lain. Hal ini akan membantu kamu dalam melihat dan memilih karier yang tepat untukmu. Pasalnya, kamu tidak akan pernah tahu siapa yang akan memberimu peluang untuk menaiki jenjang karier atau mencoba kesempatan baru.

4. Membuat Daftar Pekerjaan dan Pahami Deskripsi Pekerjaan Tersebut

Setelah mengevaluasi minat dan bakatmu, kamu dapat mulai membuat daftar pilihan karier yang menarik dan spesifik bagimu. 

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Berkarier dalam Islam? Ini Kata Prof. Etin Anwar

Lanjutkan dengan mencari tahu masing-masing deskripsi pekerjaan, persyaratan pendidikan, dan pelatihan yang diperlukan supaya kamu bisa lolos atau terpilih saat di seleksi HRD.

Untuk menambah motivasi kerja kamu, tidak ada salahnya mencari tahu informasi yang berkaitan tentang propsek pekerjaan di masa depan dan pendapatan yang bisa diperoleh.

5. Membuat Daftar Pekerjaan yang Terpilih

Setelah membuat daftar dan memahami berbagai informasi terkait pilihan-pilihan karier yang bisa kamu ambil, kamu dapat membuang pekerjaan dengan tugas yang kurang sesuai minat, karier yang kelihatannya tidak punya prospek di masa depan, atau pekerjaan dengan potensi pendapatan yang rendah.

Kamu juga dapat menyingkirkan pekerjaan yang membuat kamu tidak dapat memenuhi persyaratan pendidikan, keterampilan, dan yang lainnya.

6. Tentukan Pilihan Karier yang Tepat buat Kamu

Setelah semua hal di atas sudah kamu lakukan, maka inilah waktu yang tepat menentukan pilihan karier yang tepat buat kamu jalankan.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia

Segera pilih pekerjaan yang menurut kamu dapat memberikan kepuasan berdasarkan informasi yang sudah dikumpulkan.

7. Identifikasi Tujuan yang ingin Kamu Capai

Setelah menentukan karier,  kamu bisa mulai mengidentifikasikan tujuan jangka pendek dan panjang dalam menjalani kariermu nanti.

Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang membutuhkan waktu sekitar 3 – 5 tahun untuk mencapainya. Sedangkan, tujuan jangka pendek butuh waktu kira-kira 6 bulan sampai 3 tahun untuk mencapainya. Mempunyai tujuan dalam berkarier itu penting karena hal itu sangat membantu kamu untuk sukses di dalam karier yang kamu pilih.

8. Membuat Langkah-langkah yang Harus Dilakukan

Selanjutnya, kamu perlu merencanakan langkah-langkah tertentu untuk bisa mencapai tujuan tersebut.

Baca Juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Rencana itu bisa kamu buat dalam bentuk semacam list berisi apa saja yang perlu kamu kerjakan untuk bisa mencapai tujuan secara bertahap.

Perhatikan juga berbagai kendala dan hambatan yang dapat menghalangi kamu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Demikianlah 8 cara menemukan karier yang tepat. Semoga tulisan ini bisa memberikan banyak inspirasi dan manfaat buat kamu yang masih fresh graduate atau yang ingin mencari pekerjaan baru di tempat lain.

Read More