cara meningkatkan kemampuan leadership di tempat kerja

Cara Efektif Tingkatkan Kemampuan ‘Leadership’ di Tempat Kerja

Jadi pemimpin di tempat kerja bukan cuma soal punya jabatan atau kekuasaan, tapi juga kemampuan untuk memotivasi, menginspirasi, dan mengawal tim untuk tumbuh bersama. Kepemimpinan yang solid sendiri jadi kunci untuk bikin lingkungan kerja yang produktif dan nyaman. 

Masalahnya, kemampuan jadi pemimpin yang baik enggak datang begitu saja. Leadership adalah keterampilan yang perlu terus diasah. Yuk, simak beberapa cara buat meningkatkan leadership di tempat kerja. 

Baca Juga: ‘Servant Leadership’ dan Pentingnya Jadi Bos yang Membumi 

Cara Meningkatkan Kemampuan Leadership 

Meningkatkan kemampuan leadership di tempat kerja butuh waktu dan usaha. Kamu harus berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang. Dikutip dari Indeed, How to Improve Your Leadership Skills: Steps and Tips, berikut ini adalah beberapa langkah praktis yang bisa kamu lakukan untuk jadi pemimpin yang lebih baik dan efektif di lingkungan kerja. 

Ikut Pelatihan Leadership 

Pelatihan leadership adalah salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kemampuanmu. Lewat pelatihan atau workshop, kamu bisa belajar berbagai pendekatan, teknik, dan strategi baru yang relevan dengan kepemimpinan zaman sekarang. Biasanya, pelatihan juga punya simulasi atau studi kasus yang membantu kamu mempraktikkan ilmu yang didapat secara langsung. 

Mendengarkan Feedback dari Tim 

Feedback itu penting banget buat tahu kelebihan dan kekuranganmu sebagai pemimpin. Mintalah umpan balik dari tim secara rutin, bisa lewat obrolan sehari-hari atau pakai cara formal seperti survei anonim. Ingat, mendengarkan saja enggak cukup, kamu juga harus menunjukkan kepedulianmu akan feedback tersebut dengan membuat perubahan nyata. 

Siap Terima dan Beri Kritik yang Membangun 

Pemimpin harus siap menerima kritik dan bisa memberi kritik yang membangun. Memang enggak selalu nyaman, tapi anggaplah kritik sebagai kesempatan untuk tumbuh. Ketika memberikan kritik, sampaikan secara positif dan fokus pada solusi, bukan hanya masalah. 

Latih Kemampuan Komunikasi  

Komunikasi yang baik adalah kunci kepemimpinan. Tanpa komunikasi yang jelas, pesanmu bisa saja enggak tersampaikan dengan baik. Kamu bisa belajar untuk menyampaikan informasi secara tepat dan jelas. Pun, cobalah mendengarkan secara aktif, biar kamu benar-benar memahami apa yang dikatakan tim tanpa buru-buru memberikan tanggapan. 

Belajar Mendelegasikan Tugas dengan Efektif 

Kamu enggak perlu mengerjakan semuanya sendiri. Dengan delegasi yang tepat, pekerjaan bisa jadi lebih efisien. Berikan kepercayaan kepada tim saat mendelegasikan tugas, tapi tetaplah terlibat dengan memberikan arahan yang jelas dan dukungan jika diperlukan. Hindari micromanagement agar tim merasa diberdayakan. 

Jaga Emosi Tetap Stabil 

Sebagai pemimpin, kamu harus punya kecerdasan emosional yang baik. Mampu mengendalikan emosi dan memahami emosi orang lain sangat penting. Kalau situasi lagi sulit, tetap tenang dan fokus, karena sikapmu akan memengaruhi tim. Cobalah lebih peka terhadap emosi diri sendiri dan orang lain, serta berempati terhadap tim. 

Asah Keterampilan Problem Solving 

Pemimpin harus bisa jadi pemecah masalah yang handal. Ketika ada masalah, kamu perlu bisa mengidentifikasi akar masalah dan mencari solusi terbaik. Bukan hanya soal mencari solusi cepat, tapi memahami situasi secara menyeluruh dan mendalam. 

Baca juga: Budaya Kerja Toksik Dimulai dari Kepemimpinan Medioker 

Kesalahan yang Harus Dihindari dalam Leadership 

Menjadi pemimpin memang penuh tantangan, dan kadang-kadang ada kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja. Kesalahan dalam memimpin bisa memengaruhi tim dan bahkan organisasi secara keseluruhan.  

Biar jadi pemimpin yang efektif, penting buat sadar dan menghindari beberapa kesalahan umum ini. Dikutip dari Forbes, 17 Common Mistakes Leaders Make That Can Destroy Team Trust, berikut beberapa kesalahan yang harus dihindari. 

Tidak Mendengarkan Tim 

Salah satu kesalahan besar yang sering dilakukan pemimpin adalah enggak mendengarkan anggota timnya. Kalau kamu terlalu fokus pada ide-ide sendiri dan nggak memperhatikan masukan tim, mereka bisa merasa tidak dihargai. Komunikasi yang cuma berjalan satu arah bikin tim frustrasi dan kehilangan semangat buat berkontribusi. 

Mendengarkan secara aktif itu penting. Buka telinga buat masukan dari tim bisa bikin suasana kerja lebih kolaboratif dan bikin semua orang merasa lebih dihargai. Plus, kamu jadi paham masalah yang mungkin enggak kelihatan. 

Micromanagement 

Kesalahan lainnya adalah micromanaging, di mana pemimpin terlalu banyak ikut campur dalam setiap detail pekerjaan tim. Ini bikin pemimpin sendiri kelelahan, dan anggota tim merasa kurang percaya diri karena enggak punya ruang untuk bekerja mandiri. 

Delegasi itu kuncinya. Percayalah pada tim kamu, biarkan mereka mengelola tugas mereka sendiri dengan otonomi. Hasilnya, mereka bisa berkembang lebih cepat, dan kamu bisa fokus pada hal-hal yang lebih strategis. 

Tidak Memberikan Umpan Balik yang Konstruktif 

Pemimpin yang baik harus bisa memberikan umpan balik yang membangun. Akan tetapi, kadang ada pemimpin yang terlalu takut buat kasih kritik karena khawatir bikin tim enggak nyaman. Ada juga yang malah sering mengkritik melulu tanpa memikirkan cara penyampaian yang etis. Ujung-ujungnya malah bikin tim jadi tidak semangat. 

Menghindari Keputusan yang Sulit 

Kadang, pemimpin sering ragu atau menunda pengambilan keputusan yang sulit. Ini bisa bikin tim bingung dan enggak tahu apa yang harus mereka lakukan. Menunda keputusan malah bikin masalah makin rumit. 

Sebagai pemimpin, kamu harus bisa ambil keputusan dengan tegas. Analisis situasi, pertimbangkan opsi, dan ambil langkah yang tepat. Meski kadang enggak populer, keputusan yang jelas bisa membangun kepercayaan di tim. 

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak? 

Kurang Memperhatikan Motivasi dan Penghargaan 

Pemimpin yang kurang memerhatikan motivasi dan penghargaan buat tim sering kali berhadapan dengan masalah semangat kerja. Semua orang ingin merasa dihargai, dan kurangnya apresiasi bisa bikin motivasi tim turun drastis. 

Jadi, jangan lupa untuk kasih apresiasi, sekecil apa pun. Bisa berupa pujian, ucapan terima kasih, atau bahkan pengakuan di depan tim. Hal sederhana seperti ini bisa bikin semangat tim meningkat dan produktivitas jadi lebih baik. 

Read More
alasan pria china jadi bapak rumah tangga

Ramai-ramai Cowok China ‘Resign’ dan Jadi Bapak Rumah Tangga

Fenomena “ayah penuh waktu” atau “bapak rumah tangga” lagi tren banget di China. Menurut survei 2019, lebih dari setengah pria di China setuju untuk jadi bapak rumah tangga, naik dari 17 persen di 2007, tulis Kompas

Fenomena ini membawa perubahan besar dalam norma sosial di China yang kental dengan kultur patriarkal. Diketahui, selama berabad-abad norma sosial setempat menjadikan lelaki sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan di rumah mengurus anak. 

Namun sekarang, banyak pria di China memilih resign dari pekerjaannya. Mereka dengan senang hati melakukan kerja domestik, seperti memasak, bersih-bersih, dan mengurus anak. Semua pekerjaan yang dikaitkan dengan perempuan. 

Apa sih yang membuat para pria di China melakukan itu? 

Baca Juga: 6 Peran Laki-laki dalam Mendorong Kepemimpinan Perempuan 

Penyebab Maraknya Bapak Rumah Tangga di China 

Dikutip dari The Straits Times, China’s ‘full-time dads’ challenge patriarchal norms, pendiri platform konseling psikologis daring di China, Pan Xingzh bilang, fenomena bapak rumah tangga muncul seiring dengan semakin diakuinya hak perempuan dan akses terhadap pendidikan tinggi di China. Di sisi lain, pasangan di China juga mulai lebih bijak soal uang. 

Para lelaki sadar walaupun tak mendapatkan gaji, tapi punya kesempatan mengurus anak sendiri. Hal ini secara keuangan sering kali membuat pengeluaran jadi lebih hemat daripada harus bayar pengasuh. 

Salah satu pria yang memutuskan resign dan fokus jadi bapak rumah tangga adalah Chen Hualiang. Dulu dia manajer proyek, tapi rela keluar dari persaingan dunia kerja dan memilih jadi bapak rumah tangga. 

Dia bilang, saat kerja, kita sering bermimpi punya karier cemerlang dan uangnya bisa digunakan untuk membantu keluarga. Kenyataannya, gaji belum tentu jadi hal yang paling dibutuhkan keluarga. Bapak dua anak itu merasa selama bekerja, dia cuma membantu keluarga dari segi finansial dan enggak banyak terlibat dalam mengurus anak. Hal itu yang bikin hubungannya dengan anak-anak jadi kurang dekat. Maka, dia mumutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jadi bapak rumah tangga. 

“Saya kepingin jadi teman buat anak-anak saya, biar mereka bisa cerita banyak,” ujarnya. 

Baca Juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier 

Alasan Lelaki Memilih Jadi Bapak Rumah Tangga 

Fenomena pria yang memilih menjadi bapak rumah tangga di China tak muncul tanpa sebab. Ada berbagai faktor, baik sosial, ekonomi, maupun personal, yang mendorong pria untuk mengambil peran ini. Dikutip dari Forbes, The Rise Of The Stay-At-Home Dad, di bawah ini adalah beberapa alasan utama mengapa pria memutuskan untuk meninggalkan dunia kerja dan mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga. 

  1. Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja 

Salah satu alasan yang sering muncul adalah ketidaksetaraan gender yang masih menjadi masalah di banyak sektor kerja, baik di China maupun di negara lain. Pria, terutama mereka yang bekerja di sektor dengan kompetisi ketat, sering kali merasa terjebak dalam ekspektasi tradisional yang mengharuskan mereka untuk terus-menerus bekerja keras tanpa memerhatikan keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga

Beberapa pria mungkin merasa sulit untuk berkembang atau merasa tertekan oleh tuntutan pekerjaan yang tinggi, sehingga mereka memilih untuk keluar dari situasi ini dan mengambil peran yang lebih terfokus pada rumah tangga. 

Di sisi lain, peningkatan jumlah perempuan yang lebih berhasil dalam karier juga turut memengaruhi keputusan ini. Dalam banyak keluarga, perempuan sekarang mampu menjadi pencari nafkah utama, sementara pria mengambil alih tanggung jawab mengurus rumah tangga. Ini mencerminkan perubahan dalam peran tradisional gender yang sudah berlangsung bertahun-tahun. 

  1. Keseimbangan Kehidupan Kerja dan Keluarga 

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi faktor penting lainnya. Semakin banyak pria yang merasa penting untuk memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga, terutama anak-anak mereka. Kehidupan kota besar, dengan jadwal kerja yang padat dan kompetitif, sering kali membuat para pekerja kehilangan momen-momen penting dalam kehidupan anak-anak mereka. 

Dengan menjadi bapak rumah tangga, mereka bisa mengatur waktu lebih fleksibel untuk menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga, mendampingi anak dalam tumbuh kembang mereka, dan bahkan mendukung pasangan yang mungkin sedang mengejar karier. 

  1. Biaya Hidup dan Efisiensi Keuangan 

Selain itu, biaya hidup yang semakin tinggi di kota-kota besar juga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ini. Beberapa keluarga mendapati, mengelola rumah tangga dengan hanya satu orang yang bekerja dapat lebih efisien secara finansial. Menghindari biaya besar seperti daycare, pengasuh anak, atau layanan rumah tangga dapat menghemat pengeluaran keluarga. 

Dalam situasi seperti ini, jika istri memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi, maka logis bagi pria untuk memilih tinggal di rumah dan mengurus keluarga, ketimbang kedua pasangan bekerja dan mengeluarkan biaya besar untuk pengasuhan anak. 

Baca Juga: Demi Anak, Aku Berhenti Bekerja 

  1. Peran Gender yang Semakin Fleksibel 

Seiring dengan perkembangan zaman, konsep peran gender mulai mengalami perubahan yang lebih dinamis. Dulu, peran pria sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Namun, dengan munculnya gerakan kesetaraan gender dan pemahaman yang lebih luas tentang peran dalam keluarga, pria sekarang merasa lebih nyaman untuk mengambil peran yang dulu dianggap hanya milik perempuan. 

Generasi Milenial dan Gen Z lebih terbuka terhadap gagasan bahwa pria bisa sama baiknya dalam mengurus rumah tangga dan merawat anak. Hal ini mendorong banyak pria untuk mencoba peran tersebut tanpa merasa terikat oleh ekspektasi tradisional. 

  1. Peningkatan Kualitas Hidup dan Kesejahteraan 

Ada juga alasan yang lebih bersifat emosional dan psikologis, yaitu keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Menjadi bapak rumah tangga memungkinkan pria untuk keluar dari tekanan pekerjaan yang sering kali menyebabkan stres berlebihan, burnout, dan kelelahan mental. Mengambil jeda dari rutinitas pekerjaan dan berfokus pada keluarga dapat memberikan rasa damai dan kepuasan yang mungkin tidak didapatkan dari bekerja di kantor. 

Bagi sebagian pria, menjadi lebih terlibat dalam kehidupan keluarga dan melihat tumbuh kembang anak-anak secara langsung memberikan makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan pencapaian karier. 

Read More
bentuk kekerasan di tempat kerja

Kenali Bentuk Kekerasan yang Sering Terjadi di Tempat Kerja

Belum lama ini, di media sosial viral dengan berita kasus dugaan kekerasan dan pelecehan terhadap karyawan studio game Brandoville. Beberapa pekerjanya, lewat akun X yang beredar, mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari fisik, emosional, verbal, sampai diskriminasi, rasisme, seksisme, dan eksploitasi.

Kekerasan di tempat kerja itu sebenarnya bisa muncul dalam berbagai bentuk. Enggak melulu soal perkelahian fisik seperti yang kita sering lihat di film, tapi bisa lebih luas dari itu. Kekerasan di tempat kerja bisa terjadi secara verbal, psikologis, bahkan dalam bentuk pelecehan seksual. Intinya, segala tindakan yang bikin orang enggak nyaman, tersakiti, atau tertekan di tempat kerja bisa dibilang sebagai bentuk kekerasan.

Kekerasan di tempat kerja juga bisa terjadi dalam situasi di mana seseorang menggunakan posisinya yang lebih tinggi (misalnya bos ke bawahan) buat memanfaatkan orang lain dengan cara yang enggak wajar. Ini bukan cuma soal bos marah-marah, tapi lebih ke situasi di mana kamu merasa enggak aman dan dihargai.

Bisa dibilang, kekerasan di tempat kerja adalah segala bentuk perilaku yang bikin orang merasa terancam, tersudut, atau tidak berdaya. Baik itu karena perkataan, perlakuan, atau tindakan yang diterima di tempat kerja. Terlepas dari apakah itu dilakukan secara sengaja atau tidak, dampaknya tetap aja bikin stres dan tidak sehat.

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Penyebab Terjadinya Kekerasan di Tempat Kerja

Kekerasan di tempat kerja enggak terjadi begitu saja tanpa alasan. Biasanya ada beberapa faktor yang memicu munculnya tindakan kekerasan, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis.

Dikutip Canadian Centre for Occupational Health and Safety, Violence and Harassment in the Workplace, berikut ini beberapa penyebab umum yang dapat memicu kekerasan di lingkungan kerja:

Faktor Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja punya pengaruh besar terhadap perilaku karyawan. Tempat kerja yang enggak mendukung suasana nyaman atau aman bisa memicu terjadinya kekerasan. Misalnya, tempat kerja yang penuh tekanan, atau minim fasilitas keamanan. Kondisi tersebut bisa meningkatkan tingkat stres karyawan, yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan untuk terlibat dalam konflik.

Selain itu, jika perusahaan enggak punya kebijakan yang jelas untuk menangani kekerasan atau pelecehan, karyawan mungkin merasa tidak ada perlindungan, sehingga pelaku kekerasan merasa bebas untuk melakukan tindakan tersebut tanpa takut dikenai sanksi.

Faktor Individu

Setiap individu punya latar belakang dan masalah masing-masing, dan kadang-kadang, masalah personal bisa terbawa ke tempat kerja. Ada beberapa individu yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan kekerasan karena karakter atau masalah pribadi yang mereka hadapi. Misalnya, seseorang yang memiliki masalah emosi yang tidak terkontrol atau sedang berada dalam tekanan emosional dari kehidupan pribadinya, lebih mungkin untuk meledak dan berperilaku agresif di tempat kerja.

Konflik Antar Rekan Kerja

Tempat kerja sering kali menjadi ladang konflik, terutama ketika ada persaingan yang tidak sehat di antara rekan kerja. Misalnya, perebutan posisi, perbedaan pandangan atau gaya kerja. Konflik yang enggak diatasi dengan baik dapat berubah menjadi tindakan kekerasan, baik secara verbal, emosional, maupun fisik.

Tekanan dan Tuntutan Kerja

Stres yang berlebihan akibat tekanan kerja yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab utama kekerasan di tempat kerja. Karyawan yang merasa terbebani dengan target yang nggak realistis, deadline yang ketat, atau tugas yang berlebihan sering kali merespons dengan kemarahan atau frustrasi yang bisa meledak ke arah kekerasan.

Tekanan dari atasan yang terus-menerus menuntut hasil tanpa memperhatikan kondisi karyawan juga bisa memicu kekerasan.

Tekanan kerja yang tinggi ini tidak cuma datang dari manajemen, tapi juga dari harapan diri sendiri yang terlalu tinggi atau tuntutan dari lingkungan kerja yang kompetitif. Ketika seseorang merasa tidak mampu memenuhi harapan, mereka bisa merasa terpojok dan reaktif, bahkan sampai melakukan kekerasan.

Budaya Kerja yang Tidak Sehat

Budaya kerja juga punya peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman atau sebaliknya. Jika perusahaan memiliki budaya yang terlalu kompetitif tanpa memperhatikan kesejahteraan karyawan, kekerasan lebih mungkin terjadi. Di tempat kerja di mana pelecehan atau intimidasi dianggap hal yang biasa, karyawan akan merasa tidak berdaya dan kekerasan akan terus berlanjut.

Baca Juga: Stop Bullying: Langkah-langkah Cegah di Tempat Kerja

Tindakan yang Harus Dilakukan Ketika Mengalami Kekerasan

Mengalami kekerasan di tempat kerja tentu bukan hal yang mudah. Baik itu kekerasan fisik, verbal, emosional, maupun seksual, semuanya bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik seseorang. Namun, ada langkah-langkah penting yang bisa dilakukan untuk melindungi diri dan menghadapi situasi tersebut dengan tepat. Psychology Today, Violence in the Workplace, berikut adalah beberapa tindakan yang bisa diambil ketika mengalami kekerasan di tempat kerja:

1. Tetap Tenang dan Jangan Panik

Langkah pertama yang harus dilakukan ketika menghadapi kekerasan adalah mencoba untuk tetap tenang. Meskipun ini sangat sulit, panik hanya akan memperburuk situasi. Dengan kepala dingin, kamu bisa lebih jernih dalam mengambil keputusan dan menyusun langkah berikutnya.

2. Kumpulkan Bukti

Saat kamu menjadi korban, sangat penting untuk mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Bukti ini bisa dalam bentuk rekaman percakapan, email, pesan teks, atau bahkan saksi mata. Semakin lengkap bukti yang kamu miliki, semakin kuat kasus kamu jika nantinya perlu melapor kepada pihak berwenang atau HRD.

3. Cari Dukungan dari Rekan Kerja

Dukungan dari rekan kerja bisa sangat membantu dalam menghadapi situasi kekerasan di tempat kerja. Teman-teman di kantor bisa menjadi saksi yang memperkuat laporan kamu, sekaligus memberikan dukungan emosional yang kamu butuhkan. Jangan ragu untuk berbicara kepada rekan kerja, terutama jika mereka juga mengalami situasi serupa.

Baca Juga: Apa itu ‘Power Harassment’, Kekerasan yang Dinormalisasi di Dunia Kerja

4. Pertimbangkan Bantuan Hukum

Jika perusahaan tidak menindaklanjuti laporan kekerasan atau jika kekerasan yang kamu alami sangat serius, mencari bantuan hukum mungkin menjadi pilihan yang tepat. Banyak organisasi yang menyediakan dukungan hukum bagi korban kekerasan di tempat kerja, termasuk konseling gratis dan pendampingan hukum.

Kamu dapat mencoba menghubungi lembaga perlindungan tenaga kerja untuk mendapatkan saran tentang langkah hukum yang bisa diambil. Mereka bisa membantu kamu dalam memahami hak-hak sebagai pekerja dan apa yang bisa dilakukan jika perusahaan tidak melindungi kamu sebagai karyawannya.

Read More
apa itu slow productivity

Bekerja Lebih Efektif dengan ‘Slow Productivity’, Apa Itu?

Slow productivity adalah pendekatan bekerja yang lebih lambat tetapi lebih efisien. Dikutip dari Forbes, The Rise Of The ‘Slow Productivity’ Movement, fokus utama dari slow productivity adalah meningkatkan kualitas daripada kuantitas pekerjaan yang dilakukan. Ini bertentangan dengan pendekatan hustle culture yang menekankan kecepatan dan produktivitas tanpa henti. Slow productivity mendorong seseorang untuk bekerja dengan cara yang lebih berkelanjutan, menghindari burnout, dan memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang.

Berbeda dengan Hustle Culture

Hustle culture adalah gaya hidup yang menekankan kerja keras tanpa henti, dengan fokus pada pencapaian hasil yang maksimal dalam waktu singkat. Dikutip dari Forbes, Is The Hustle Culture and Mentality Out of Control, dalam hustle culture, keberhasilan diukur dari seberapa banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan, seberapa cepat target bisa dicapai, dan seberapa sibuk seseorang terlihat. Hustle culture sering kali mempromosikan gagasan bahwa semakin banyak dan semakin cepat seseorang bekerja, semakin sukses hidupnya.

Pada intinya, hustle culture tidak memberi ruang bagi keseimbangan hidup. Orang-orang yang terjebak dalam pola pikir ini biasanya merasa harus terus “bergerak,” sering kali tanpa mempertimbangkan kesehatan fisik atau mental mereka.

Baca Juga: ‘Lazy Girl Job’: Tren Kerja Santai yang Viral di TikTok

Dampak Negatif Hustle Culture

Meskipun sekilas hustle culture tampak mengagungkan produktivitas, banyak dampak negatif yang muncul dari penerapan gaya hidup ini. Salah satu dampak paling umum adalah burnout, yaitu kondisi fisik dan mental yang sangat kelelahan akibat tekanan kerja yang berlebihan. Burnout dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja, kualitas pekerjaan yang buruk, hingga masalah kesehatan serius seperti gangguan tidur, depresi, dan kecemasan.

Bagaimana Slow Productivity Menjadi Solusi Alternatif?

Berbeda dengan hustle culture, slow productivity menekankan keseimbangan, fokus, dan kualitas daripada kecepatan dan kuantitas. Pendekatan ini mendorong seseorang untuk bekerja secara efisien namun tetap menjaga kesehatan mental dan fisiknya. Dikutip The New Yorker, It’s Time to Embrace Slow Productivity, slow productivity berangkat dari gagasan bahwa bekerja secara lambat dan penuh perhatian tidak hanya memberikan hasil yang lebih baik, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

Dalam slow productivity, fokus tidak lagi pada seberapa banyak pekerjaan yang diselesaikan dalam waktu tertentu, melainkan pada kualitas pekerjaan itu sendiri. Alih-alih menyelesaikan banyak tugas sekaligus, slow productivity mendorong individu untuk bekerja lebih selektif, memilih tugas yang benar-benar penting dan memberikan dampak terbesar. Dengan cara ini, setiap tugas bisa diselesaikan dengan lebih baik, tanpa tekanan untuk terus-menerus beralih ke pekerjaan berikutnya.

Slow productivity juga memberikan ruang bagi istirahat yang cukup dan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam slow productivity, istirahat dilihat sebagai bagian integral dari produktivitas itu sendiri, bukan sebagai penghambat. Dengan memberikan waktu untuk istirahat, seseorang bisa bekerja dengan pikiran yang lebih segar dan hasil kerja yang lebih baik.

Baca Juga: Cara Tepat Mengatasi Demotivasi Kerja Buat Karyawan

Langkah-Langkah Menerapkan Slow Productivity

Slow productivity menekankan pada kerja yang lebih lambat namun fokus, dengan tujuan mencapai kualitas tinggi tanpa terburu-buru atau tekanan berlebihan. Masih dikutip dari The New Yorker, berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk menerapkan slow productivity dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Memahami Prioritas

Langkah pertama dalam slow productivity adalah memahami prioritas . Ini berarti mengidentifikasi tugas atau proyek yang paling penting dan memberikan dampak terbesar pada pekerjaan. Terlalu banyak pekerjaan tanpa fokus yang jelas bisa membuat kamu jadi merasa kewalahan.

  1. Membuat Jadwal yang Fleksibel

Jadwal yang kaku sering kali menambah tekanan, terutama jika Anda mencoba menyesuaikan banyak hal dalam waktu terbatas. Oleh karena itu, dalam slow productivity, jadwal yang fleksibel sangat dianjurkan. Buatlah jadwal yang memungkinkan kamu untuk menyesuaikan ritme kerja sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental.

Berikan ruang bagi perubahan, karena kondisi setiap hari bisa berbeda-beda. Dengan jadwal yang fleksibel, kamu juga bisa merespons hal-hal mendadak tanpa merasa kehilangan kendali atas tugas-tugas yang telah direncanakan.

  1. Mengatur Waktu Istirahat

Istirahat merupakan bagian penting dari slow productivity. Banyak orang menganggap bahwa produktivitas berarti bekerja terus-menerus tanpa henti, namun hal ini justru bisa menyebabkan kelelahan dan menurunkan kualitas kerja. Mengatur waktu istirahat dengan baik membantu memulihkan energi dan menjaga fokus dalam jangka panjang.

Baca Juga: ‘Skill’ Manajemen Waktu buat Kamu dengan Beban Kerja Bejibun

  1. Fokus pada Satu Tugas (Single-Tasking)

Multitasking mungkin terlihat produktif, tetapi sebenarnya justru dapat mengurangi efisiensi dan meningkatkan kesalahan. Slow productivity mendorong single-tasking, yaitu fokus pada satu tugas dalam satu waktu. Ini memungkinkan kamu untuk memberikan perhatian penuh pada setiap tugas, sehingga hasilnya lebih berkualitas.

Single-tasking juga membantu mengurangi stres karena kamu tidak perlu berpindah-pindah antara berbagai tugas yang berbeda. Alih-alih terburu-buru menyelesaikan banyak hal sekaligus, kamu bisa lebih menikmati proses setiap tugas yang sedang dikerjakan. Setelah satu tugas selesai, barulah pindah ke tugas berikutnya.

  1. Menetapkan Batasan yang Jelas

Dalam era di mana teknologi memungkinkan kita bekerja di mana saja dan kapan saja, menetapkan batasan yang jelas menjadi sangat penting. Slow productivity menekankan pada pentingnya membatasi jam kerja dan tidak membawa pekerjaan ke dalam waktu pribadi. Setelah jam kerja berakhir, berhenti sejenak dan beristirahatlah.

  1. Berlatih Mindfulness dalam Bekerja

Mindfulness, atau kesadaran penuh, adalah teknik yang dapat sangat membantu dalam slow productivity. Mindfulness mengajarkan kamu untuk hadir secara penuh dalam setiap tugas yang sedang dikerjakan, tanpa terganggu oleh hal-hal lain di luar pekerjaan tersebut. Dengan fokus penuh pada saat ini, kamu dapat bekerja lebih efisien dan tenang.

  1. Menciptakan Ruang Kerja yang Mendukung

Lingkungan kerja kamu memainkan peran besar dalam produktivitas. Untuk menerapkan slow productivity, penting untuk menciptakan ruang kerja yang nyaman, rapi, dan minim gangguan. Ruang yang bersih dan terorganisir membantu kamu tetap fokus dan merasa lebih rileks saat bekerja.

Read More
plus minus jadi kutu loncat

Kutu Loncat dalam Dunia Kerja: Untung atau Buntung?

Kamu tentu enggak mau karier mandek di situ-situ saja. Masalahnya, meniti karier sering kali butuh konsistensi di bidang yang sama. Namun, tak semua orang bisa bertahan di bidang kerja yang sama. Ada yang justru berganti pekerjaan yang sesuai dengan passion dan tujuan hidup. 

Mereka inilah yang dikenal dengan “kutu loncat”. Istilah ini mungkin terdengar negatif bagi sebagian orang, tetapi sebenarnya ada keuntungan yang perlu kita perhatikan. Apa saja plus minusnya? 

Apa itu Kutu Loncat? 

Dikutip dari Indeed, What Is Job Hopping? (Plus Advantages and Disadvantages), kutu loncat atau job hopping menggambarkan seseorang yang memiliki kebiasaan berpindah pekerjaan dalam waktu relatif singkat. Biasanya, kutu loncat akan bekerja di satu perusahaan selama kurang dari satu atau dua tahun sebelum memutuskan untuk mencari peluang baru di tempat lain.  

Konsep ini tidak terbatas pada satu bidang atau industri tertentu; kutu loncat dapat berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari fresh graduate yang baru lulus hingga mereka yang telah berpengalaman di dunia kerja selama bertahun-tahun. 

Baca Juga: Generasi Milenial Sering Jadi Kutu Loncat, Apa Alasannya? 

Kenapa Istilah ini Digunakan? 

Dikutip dari Kompas, dalam konteks pekerjaan, kutu loncat kerap merasa tak puas dengan posisi terkini dan terus mencari pekerjaan lebih baik atau sesuai dengan keinginan mereka.  

Kutu loncat sering dianggap sebagai orang yang tidak memiliki komitmen jangka panjang terhadap perusahaan tempat mereka bekerja, yang sering kali menciptakan stigma negatif di kalangan rekruter dan manajer HR. 

Baca Juga: Pindah Kerja ke Tempat Baru? Perhatikan Tanda-tanda Ini untuk Tahu Atasanmu ‘Toxic’ Atau Enggak 

Plus (Keuntungan) Jadi Kutu Loncat 

Menjadi kutu loncat dalam karier memiliki sejumlah keuntungan yang dapat bermanfaat bagi individu, baik pengalaman profesional maupun pengembangan pribadi. Dikutip dari Forbes, The Pros And Cons Of Rapid Job Hopping, yuk, kita bahas lebih dalam mengenai beberapa keuntungan utama menjadi kutu loncat. 

1. Pengalaman Beragam 

Salah satu keuntungan terbesar dari menjadi kutu loncat adalah pengalaman beragam yang didapatkan. Setiap kali seseorang berpindah pekerjaan, mereka berkesempatan untuk: 

  • Belajar dari Berbagai Budaya Kerja: Setiap perusahaan memiliki budaya kerja dan nilai-nilai yang berbeda. Dengan berpindah tempat, individu dapat memahami berbagai pendekatan dalam berbisnis, manajemen, dan interaksi antar tim. 
  • Menghadapi Tantangan yang Berbeda: Setiap pekerjaan baru biasanya datang dengan tantangan unik. Hal ini memungkinkan individu untuk mengasah kemampuan problem-solving dan beradaptasi dengan situasi baru. 
  • Mendapatkan Perspektif yang Luas: Dengan bekerja di berbagai industri, seseorang dapat melihat bagaimana praktik terbaik diterapkan di berbagai sektor. Ini juga membantu memperluas wawasan dan cara berpikir yang lebih kreatif. 

2. Jaringan yang Luas 

Ketika berpindah-pindah pekerjaan, individu juga memiliki kesempatan untuk membangun jaringan yang lebih luas. Beberapa manfaat dari jaringan yang luas meliputi: 

  • Peluang Kolaborasi: Jaringan yang besar memungkinkan individu untuk menemukan peluang kolaborasi di masa depan, baik dalam proyek kerja maupun dalam pengembangan bisnis. 
  • Referensi yang Berharga: Membangun hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan dapat membuka jalan untuk referensi yang dapat membantu dalam pencarian pekerjaan berikutnya. 
  • Informasi Terkini: Memiliki jaringan yang luas juga berarti mendapatkan akses ke informasi terbaru tentang tren industri, peluang kerja, dan perkembangan karier. 

3. Fleksibilitas dalam Karier 

Kutu loncat sering kali menikmati fleksibilitas lebih dalam karier mereka. Beberapa aspek fleksibilitas ini adalah: 

  • Kemampuan Menyesuaikan Diri dengan Peluang Baru: Dengan tidak terikat pada satu perusahaan, individu dapat dengan mudah mengeksplorasi berbagai peluang yang datang, baik itu pekerjaan baru atau proyek freelance. 
  • Mencari Pekerjaan yang Sesuai dengan Passion: Kutu loncat memiliki kebebasan untuk mencari posisi yang lebih sesuai dengan minat dan nilai-nilai pribadi mereka, sehingga meningkatkan kepuasan kerja. 
  • Kemampuan Mengatur Waktu: Dalam beberapa kasus, kutu loncat dapat memilih untuk bekerja paruh waktu atau dalam proyek sementara, memberikan mereka lebih banyak waktu untuk mengejar hobi atau pendidikan lanjutan. 

4. Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan 

Setiap kali seseorang pindah pekerjaan, mereka juga mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka. Beberapa cara di mana kutu loncat dapat berkembang meliputi: 

  • Pelatihan dan Pengembangan: Banyak perusahaan menawarkan program pelatihan dan pengembangan yang berbeda. Dengan berpindah pekerjaan, individu dapat mengakses berbagai jenis pelatihan yang dapat meningkatkan kompetensi mereka. 
  • Memperoleh Keterampilan Baru: Setiap posisi baru sering kali membutuhkan keterampilan baru. Kutu loncat yang proaktif dalam belajar akan memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar kerja. 
  • Adaptasi Terhadap Teknologi Baru: Dengan kemajuan teknologi yang cepat, bekerja di berbagai perusahaan memungkinkan individu untuk lebih cepat beradaptasi dengan alat dan teknologi terbaru. 

5. Kesempatan Meningkatkan Gaji 

Dalam banyak kasus, berpindah pekerjaan dapat menjadi cara efektif untuk meningkatkan gaji. Beberapa alasan mengapa hal ini bisa terjadi adalah: 

  • Negosiasi yang Lebih Baik: Saat berpindah pekerjaan, individu memiliki kesempatan untuk bernegosiasi gaji yang lebih baik dengan perusahaan baru, sering kali dengan basis penawaran yang lebih tinggi. 
  • Menghindari Kenaikan Gaji yang Lambat: Terkadang, perusahaan memiliki kebijakan kenaikan gaji yang lambat. Dengan berpindah pekerjaan, individu bisa menghindari proses ini dan mendapatkan kenaikan gaji yang lebih cepat. 
  • Menemukan Perusahaan dengan Paket Manfaat Lebih Baik: Selain gaji pokok, banyak perusahaan menawarkan berbagai manfaat. Kutu loncat dapat mencari pekerjaan yang tidak hanya memberikan gaji tinggi tetapi juga manfaat tambahan yang lebih menguntungkan. 

Baca Juga: 6 Alasan Pindah Kerja yang Bisa Kamu Pakai 

Minus (Kerugian) Jadi Kutu Loncat 

Meskipun menjadi kutu loncat dalam berkarier memiliki banyak keuntungan, ada juga sejumlah kerugian yang perlu dipertimbangkan. Masih dikutip dari Forbes, berikut adalah beberapa kerugian utama yang mungkin dihadapi seseorang yang sering berpindah pekerjaan. 

1. Risiko Stabilitas Kerja 

Salah satu kerugian paling signifikan dari menjadi kutu loncat adalah kurangnya stabilitas kerja. Banyak perusahaan lebih suka karyawan yang dapat bertahan dalam jangka panjang karena: 

  • Kepastian dalam Perencanaan: Perusahaan membutuhkan karyawan yang dapat membantu dalam perencanaan jangka panjang. Karyawan yang sering berpindah kerja membuat perusahaan sulit merencanakan strategi dan pengembangan tim. 
  • Mengganggu Proyek yang Sedang Berlangsung: Ketika seseorang pergi sebelum menyelesaikan proyek penting, hal ini dapat mengganggu jalannya proyek dan mempengaruhi kinerja tim secara keseluruhan. 
  • Resiko Penurunan Kinerja: Karyawan yang terus berpindah pekerjaan mungkin mengalami kesulitan untuk beradaptasi dan mempelajari proses kerja di perusahaan baru, yang dapat menyebabkan penurunan kinerja. 

2. Persepsi Negatif dari Rekruter 

Banyak rekruter dan manajer HR cenderung melihat kutu loncat dengan skeptis. Persepsi negatif ini dapat berdampak pada kesempatan kerja seseorang: 

  • Kurangnya Komitmen: Rekruter mungkin berpikir bahwa kutu loncat tidak berkomitmen untuk perusahaan dan hanya mencari pekerjaan yang lebih baik tanpa mempertimbangkan kontribusi yang dapat diberikan. 
  • Kekhawatiran akan Keterampilan yang Dangkal: Ada anggapan bahwa karyawan yang sering berpindah pekerjaan mungkin tidak memiliki keterampilan yang mendalam dalam satu bidang tertentu, sehingga kurang berharga bagi perusahaan. 
  • Kesulitan Membangun Kepercayaan: Dalam proses perekrutan, penting untuk membangun kepercayaan dengan rekruter. Jika seorang kandidat terlihat sering berpindah kerja, hal ini bisa merugikan reputasinya dan mempersulit mendapatkan pekerjaan. 

3. Ketidakpastian dalam Perencanaan Karier  

Bagi kutu loncat, merencanakan masa depan karier bisa menjadi tantangan. Beberapa alasan mengapa ini terjadi adalah: 

  • Kesulitan Menetapkan Tujuan Jangka Panjang: Dengan sering berpindah pekerjaan, individu mungkin kesulitan untuk menetapkan tujuan jangka panjang yang jelas, sehingga dapat membingungkan arah karier mereka. 
  • Risiko Kelelahan Mental: Pindah-pindah pekerjaan terus menerus dapat menjadi melelahkan secara mental. Proses adaptasi ke lingkungan baru dan mengatasi tantangan baru bisa menguras energi dan mengurangi motivasi. 
  • Kurangnya Rencana Pensiun yang Stabil: Kutu loncat sering kali tidak memiliki rencana pensiun yang solid, karena mereka tidak bekerja cukup lama di satu perusahaan untuk memanfaatkan manfaat pensiun atau program loyalitas. 

4. Dampak Emosional 

Pindah pekerjaan dapat membawa dampak emosional yang signifikan bagi individu. Beberapa dampak ini termasuk: 

  • Perasaan Kesepian: Pindah ke lingkungan baru berarti meninggalkan teman dan rekan kerja yang telah dibangun hubungan. Hal ini dapat menyebabkan perasaan kesepian dan kehilangan. 
  • Stres Beradaptasi: Setiap kali seseorang berpindah pekerjaan, mereka harus beradaptasi dengan budaya, proses, dan orang-orang baru. Proses ini bisa menjadi sumber stres yang signifikan. 
  • Kekhawatiran akan Identitas Profesional: Terus menerus berpindah pekerjaan dapat membuat seseorang merasa kehilangan identitas profesional mereka, terutama jika mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan reputasi di satu tempat. 
Read More
tren lazy girl job viral di media sosial

‘Lazy Girl Job’: Tren Kerja Santai yang Viral di TikTok

Sekarang muncul kesadaran di tengah generasi muda untuk mulai keluar dari siklus overworking dan mulai menerapkan rutinitas yang lebih seimbang, antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Gerakan ini populer dengan istilah lazy girl job. Meski namanya terdengar negatif, sebenarnya nama tersebut sarat akan sarkasme dan perlawanan dari hustle culture. Tren ini merefleksikan keinginan para generasi muda yang ingin kehidupan profesional jadi lebih seimbang dan fleksibel serta memperoleh penghasilan yang stabil.

Sejarah Tren Lazy Girl Job

Dikutip dari The Wall Street Journal, tren Lazy Girl Job sebenarnya adalah cerminan dari perubahan besar dalam pandangan masyarakat terhadap dunia kerja, terutama setelah pandemi COVID-19 yang memaksa banyak orang bekerja dari rumah. Meski tren ini baru populer di media sosial dalam beberapa tahun terakhir, akarnya bisa ditelusuri lebih jauh ke arah pergeseran sosial yang menekankan keseimbangan hidup dan kerja.

Baca Juga: Budaya Kerja Toksik Dimulai dari Kepemimpinan Medioker

Asal Usul Nama Lazy Girl Job

Nama Lazy Girl Job berasal dari tren di media sosial yang menyindir pandangan tradisional tentang kerja keras yang diharapkan dari seorang pekerja. Muncul sebagai reaksi terhadap stigma bahwa bekerja keras sepanjang hari dan berambisi untuk mencapai puncak karier adalah satu-satunya cara untuk sukses.

Stereotip “lazy” dalam konteks ini tidak merujuk pada kemalasan secara harfiah, melainkan menantang ide bahwa produktivitas selalu diukur berdasarkan intensitas dan durasi waktu yang dihabiskan untuk bekerja. Sebaliknya, Lazy Girl Job lebih menekankan pada cara kerja yang cerdas, efisien, dan tidak membebani secara fisik maupun mental.

Pengaruh Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 memainkan peran penting dalam mempercepat popularitas tren ini. Dengan banyaknya orang yang dipaksa bekerja dari rumah, pandangan tentang apa yang benar-benar penting dalam pekerjaan mulai berubah. Selama masa karantina, banyak pekerja yang menyadari bahwa mereka bisa tetap produktif tanpa harus bekerja dari kantor atau mengikuti jam kerja yang ketat. Selain itu, banyak yang mulai menghargai lebih banyak waktu bersama keluarga, kesempatan untuk menjaga kesehatan mental, serta pentingnya keseimbangan hidup yang lebih baik.

Keberadaan pandemi juga mengungkap fakta bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dengan lebih fleksibel tanpa harus berada di lingkungan kerja tradisional. Hal ini menjadi pemicu utama bagi orang-orang untuk mencari model pekerjaan yang lebih santai dan tidak menuntut komitmen waktu yang berlebihan, sehingga muncullah tren ini.

Kemunculan di Media Sosial

Platform media sosial, terutama TikTok dan Instagram, menjadi kendaraan utama dalam menyebarkan tren ini ke seluruh dunia. Di TikTok, misalnya, tagar seperti #LazyGirlJob mulai digunakan oleh banyak pengguna untuk berbagi pengalaman mereka dalam menemukan pekerjaan dengan tuntutan rendah tetapi tetap menghasilkan pendapatan yang layak. Video-video pendek yang menampilkan gaya hidup santai namun tetap produktif ini kemudian menjadi viral, dan dengan cepat memikat perhatian generasi muda, terutama perempuan, yang lelah dengan budaya kerja keras atau hustle culture.

Konten yang diproduksi oleh para influencer seperti Gabrielle Judge dan kreator di media sosial juga memainkan peran penting. Mereka sering menunjukkan bagaimana menjalani Lazy Girl Job bisa memberi lebih banyak waktu untuk menjalani hobi, merawat diri sendiri, atau sekadar menikmati hidup tanpa harus terjebak dalam rutinitas yang monoton.

Baca Juga: Kadang WFH, Kadang WFO: Tips Atasi Tantangan dalam Sistem Kerja ‘Hybrid’

Karakteristik Lazy Girl Job

Tren Lazy Girl Job menonjol dengan sejumlah karakteristik unik yang membedakannya dari model kerja tradisional. Fokus utama dari Lazy Girl Job adalah menciptakan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan dengan cara yang lebih santai dan fleksibel. Dikutip dari BBC, How the ‘lazy girl job’ took over work TikTok, berikut adalah beberapa karakteristik utama dari tren ini:

  • Fokus pada Keseimbangan Hidup dan Kerja

Inti dari tren ini adalah menempatkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan sebagai prioritas. Pekerjaan yang dipilih biasanya tidak mengharuskan karyawan untuk menghabiskan banyak waktu atau energi, memungkinkan mereka menikmati waktu luang.

  • Tuntutan Pekerjaan yang Minimal

Pekerjaan dalam kategori ini cenderung memiliki tuntutan yang rendah, baik dari segi tekanan maupun tanggung jawab. Biasanya, pekerjaan seperti ini melibatkan tugas-tugas administratif, customer service, atau pekerjaan berbasis proyek dengan jadwal yang fleksibel.

  • Bekerja dari Rumah sebagai Pilihan Utama

Banyak yang memilih Lazy Girl Job karena bisa dikerjakan dari rumah. Bekerja secara remote memberikan kebebasan yang lebih besar dalam mengatur jadwal dan rutinitas sehari-hari.

Manfaat Lazy Girl Job

Tren Lazy Girl Job menawarkan berbagai manfaat yang menarik bagi banyak orang yang mencari keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Dengan fokus pada fleksibilitas, efisiensi, dan kesejahteraan, DIkutip dari Forbes, How ‘Lazy Girl Jobs’ Contribute To Work-Life Balance And Burnout Prevention, berikut adalah beberapa manfaat utama dari Lazy Girl Job:

  1. Keseimbangan Hidup dan Kerja yang Lebih Baik

Salah satu manfaat terbesar dari Lazy Girl Job adalah kemampuannya untuk membantu pekerja mencapai keseimbangan hidup dan kerja yang lebih baik. Dengan pekerjaan yang memiliki tuntutan rendah dan fleksibilitas tinggi, pekerja dapat mengatur jadwal mereka sedemikian rupa sehingga mereka memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga, hobi, dan kegiatan pribadi lainnya. Ini membantu mengurangi stres dan kelelahan yang sering dikaitkan dengan pekerjaan yang menuntut dan jam kerja yang panjang.

  • Peningkatan Kesehatan Mental

Bekerja dalam lingkungan yang lebih santai dan tidak terlalu menekan dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mental. Banyak pekerja mengalami penurunan tingkat kecemasan dan stres karena mereka tidak lagi harus menghadapi tekanan untuk bekerja lembur atau memenuhi ekspektasi yang tinggi. Dengan lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan kesempatan untuk mengelola waktu kerja sesuai dengan kebutuhan pribadi, pekerja dapat menjaga kesehatan mental mereka dengan lebih baik.

  • Fleksibilitas dalam Jam Kerja

Fleksibilitas adalah salah satu fitur utama dari tren ini. Dengan kemampuan untuk menentukan jam kerja mereka sendiri, pekerja bisa bekerja pada waktu-waktu yang mereka rasa paling produktif. Fleksibilitas ini memungkinkan mereka untuk menyesuaikan pekerjaan dengan jadwal pribadi, seperti mengurus anak-anak atau menghadiri kegiatan keluarga, tanpa harus khawatir tentang konflik jadwal atau ketidaknyamanan.

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

  • Penghematan Biaya dan Waktu

Bekerja dari rumah, salah satu aspek umum dari Lazy Girl Job, dapat menghemat biaya transportasi dan waktu perjalanan. Pekerja tidak perlu mengeluarkan uang untuk transportasi atau mengalami kemacetan lalu lintas yang memakan waktu. Penghematan biaya dan waktu ini dapat digunakan untuk keperluan pribadi atau untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan

  • Penurunan Risiko Burnout

Burnout atau kelelahan kerja adalah masalah serius yang sering dihadapi oleh pekerja dengan tuntutan tinggi dan jam kerja yang panjang. Lazy Girl Job mengurangi risiko burnout dengan menawarkan pekerjaan yang memiliki tuntutan lebih rendah dan jam kerja yang lebih fleksibel. Dengan adanya waktu yang cukup untuk istirahat dan kegiatan pribadi, pekerja dapat menghindari kelelahan yang disebabkan oleh pekerjaan yang terlalu menuntut.

Read More
menghadapi senioritas di tempat kerja

Tips Ampuh Hadapi Senioritas di Kantor untuk ‘Fresh Graduate’

Senioritas di lingkungan kerja memang tak terhindarkan. Meski biasanya dibicarakan diam-diam, tapi senioritas termasuk faktor penting yang mendukung kenyamanan kerja seseorang. Dengan alasan senioritas, orang bisa mengalami perundungan. Dengan alasan senioritas pula, suasana kerja menjadi tak produktif dan kurang egaliter. 

Sebenarnya apa, sih senioritas itu? Apa dampaknya yang perlu kita khawatirkan? Lalu bagaimana cara terbaik untuk menghadapinya? Magdalene telah merangkumkan faktanya buatmu, dikutip dari berbagai sumber. 

Apa itu Senioritas di Tempat Kerja? 

Dikutip dari Indeed, What Does Seniority Mean at Work?, senioritas di tempat kerja adalah konsep di mana karyawan dianggap memiliki otoritas atau hak istimewa tertentu karena telah bekerja lebih lama atau memiliki jabatan lebih tinggi dalam perusahaan. Senioritas sering kali dikaitkan dengan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang diperoleh selama bertahun-tahun bekerja Di banyak tempat kerja, senioritas bisa memengaruhi banyak hal, seperti kesempatan promosi, pengambilan keputusan, bahkan hubungan antar-karyawan. 

Namun, senioritas tidak selalu hanya tentang masa kerja. Ada beberapa faktor lain yang bisa memengaruhi persepsi senioritas, seperti jabatan, usia, dan status sosial di tempat kerja. Dalam beberapa organisasi, senioritas bahkan bisa mencakup karyawan yang lebih lama bergabung dalam proyek tertentu atau yang memiliki koneksi lebih kuat dengan pimpinan perusahaan. 

Baca Juga: Bos Dilarang Kontak Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia 

Jenis Senioritas di Tempat Kerja 

Senioritas bisa terbagi dalam beberapa jenis, tergantung bagaimana hal ini dipahami dan diterapkan di tempat kerja: 

  • Senioritas Berdasarkan Masa Kerja: Ini adalah bentuk senioritas yang paling umum. Karyawan yang telah bekerja lebih lama sering kali dianggap memiliki lebih banyak pengetahuan tentang budaya perusahaan, proses kerja, dan hubungan internal. 
  • Senioritas Berdasarkan Jabatan: Karyawan dengan posisi atau jabatan lebih tinggi sering kali mendapatkan otoritas lebih besar. Meskipun mereka mungkin belum lama bekerja di perusahaan, status jabatan mereka memberikan pengaruh dan kekuatan yang signifikan. 
  • Senioritas Sosial: Ini terjadi ketika seseorang dianggap lebih “senior” karena faktor-faktor sosial seperti usia atau status sosial di luar tempat kerja. Dalam budaya yang sangat menghargai usia, misalnya, karyawan yang lebih tua seringkali dipandang lebih senior meskipun tidak memiliki masa kerja yang lebih lama. 

Dampak Senioritas di Tempat Kerja 

Dikutip dari Chron, What Is the Seniority System and How Has It Declined in Importance?, senioritas di tempat kerja bisa memberikan dampak yang beragam, baik positif maupun negatif, tergantung bagaimana hal ini dikelola oleh perusahaan dan dipahami oleh karyawan.  

Senioritas bisa menjadi alat yang efektif untuk menjaga ketahanan organisasi, tetapi di sisi lain, bisa menimbulkan masalah jika menciptakan kesenjangan atau ketidakadilan. 

  • Dampak Positif 

Senioritas dapat menjadi sumber bimbingan dan mentoring. Karyawan yang lebih senior sering kali memiliki banyak pengalaman yang bisa membantu karyawan baru belajar dan berkembang. 

  • Dampak Negatif 

Namun, senioritas yang tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan lingkungan kerja yang tidak sehat. Karyawan baru bisa merasa diintimidasi atau diabaikan, dan hal ini bisa menghambat perkembangan karier mereka. 

Baca Juga: Jadi Korban ‘Bullying’ di Kantor? Lakukan Hal ini 

Mengapa Senioritas Bisa Bermasalah? 

Senioritas bisa menjadi masalah ketika karyawan senior menggunakan posisinya untuk mengendalikan atau menekan karyawan yang lebih junior. Ini bisa menyebabkan ketidakpuasan, rasa tidak adil, bahkan konflik terbuka di tempat kerja. 

Cara Menghadapi Senioritas di Tempat Kerja 

Menghadapi senioritas di tempat kerja bisa menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi karyawan baru yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sudah lama terbentuk. Namun, dengan pendekatan yang tepat, kamu bisa menghadapi situasi ini dengan bijak dan menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan kerja yang lebih senior. Masih dikutip dari Indeed, berikut adalah beberapa strategi yang bisa kamu terapkan untuk menghadapi senioritas di tempat kerja. 

  1. Tetap Profesional 

Salah satu cara paling penting dalam menghadapi senioritas adalah dengan tetap bersikap profesional dalam segala situasi. Meskipun kamu mungkin menghadapi situasi di mana senioritas membuatmu merasa diabaikan atau diperlakukan tidak adil, penting untuk tidak terbawa emosi.  

Bersikaplah profesional dalam berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi dengan rekan-rekan yang lebih senior. Sikap profesionalisme ini akan menunjukkan bahwa kamu serius dan kompeten dalam menjalankan tugasmu, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan konflik. 

  1. Bangun Hubungan Baik dengan Senior 

Membangun hubungan yang baik dengan rekan kerja yang lebih senior dapat menjadi langkah penting untuk mengurangi ketegangan yang mungkin timbul akibat senioritas. Kamu bisa memulainya dengan bersikap ramah dan terbuka terhadap saran atau masukan dari mereka.  

Tunjukkan bahwa kamu menghargai pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, dan jadikan itu sebagai kesempatan untuk belajar. Selain itu, cobalah untuk aktif dalam kolaborasi atau proyek bersama, karena ini bisa menjadi cara untuk memperkuat hubungan kerja dan membangun rasa saling percaya. 

  1. Jangan Mudah Terintimidasi 

Saat berhadapan dengan karyawan yang lebih senior, terutama jika mereka memiliki sikap yang dominan, sangat mudah untuk merasa terintimidasi. Namun, penting untuk diingat meskipun mereka lebih lama bekerja di perusahaan, kamu tetap memiliki hak yang sama untuk dihargai dan berpartisipasi dalam lingkungan kerja. Jangan biarkan senioritas membuatmu merasa minder atau takut untuk menyuarakan pendapatmu. Yakinlah pada kemampuan dan nilai yang bisa kamu berikan kepada tim atau perusahaan. 

Baca Juga: Cara Memberikan Feedback pada Rekan Kerja dengan Tepat 

  1. Berkomunikasi dengan Baik 

Komunikasi adalah kunci dalam menyelesaikan berbagai masalah di tempat kerja, termasuk senioritas. Jika kamu merasa ada sesuatu yang mengganggu atau membuatmu tidak nyaman karena senioritas, cobalah untuk berbicara secara terbuka namun sopan dengan pihak terkait.  

Komunikasi yang baik dan jelas dapat mencegah kesalahpahaman dan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif. Jika merasa sulit untuk berkomunikasi langsung dengan senior, kamu bisa mencari cara lain, seperti diskusi informal di luar kantor atau melalui pertemuan kecil yang lebih santai. 

  1. Ambil Inisiatif untuk Belajar dari Senior 

Senioritas tidak selalu berarti sesuatu yang negatif. Sebaliknya, kamu bisa memanfaatkannya sebagai peluang untuk belajar. Senior sering kali memiliki banyak pengalaman yang bisa menjadi pelajaran berharga bagimu. Ambil inisiatif untuk bertanya, belajar, dan mendapatkan wawasan dari mereka. Dengan pendekatan ini, kamu tidak hanya akan memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga membangun hubungan yang lebih baik dengan senior, yang pada gilirannya bisa memudahkanmu dalam bekerja bersama mereka. 

Read More
Larangan Hubungi Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia

Bos Dilarang Kontak Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia

Apakah kamu merasa lelah karena sering dapat panggilan telepon, pesan singkat, atau email dari kantor di luar jam kerja? Buat para karyawan di Australia, hal ini enggak lagi jadi persoalan. Sebab, negara itu baru saja mengesahkan Undang-undang yang melarang pihak pemberi kerja atau perusahaan menghubungi karyawan di luar jam kerja. 

Dikutip dari Reuters, Australian employees now have the right to ignore work emails, calls after hours, UU yang berlaku sejak (26/8) ini, memastikan karyawan tidak bisa dihukum karena menolak membaca atau membalas kontak dari kantor di luar jam kerja. 

Buat atasan atau perusahaan yang tetap bersikeras, pihak berwenang bisa mengintervensi, bahkan memberikan denda sampai ribuan dolar. Mengapa kebijakan ini begitu penting? Artikel ini akan membahas secara lebih dalam tentang kebijakan ini, mengapa diterapkan, dan apa dampaknya bagi pekerja dan perusahaan. 

Baca Juga: Yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Mulai ‘Side Job’ 

Apa itu Larangan Menghubungi Karyawan di Luar Jam Kerja? 

Dikutip dari CNBC, You have a right to ignore your bosses — but only in these countries, and after work hours, larangan menghubungi karyawan di luar jam kerja adalah kebijakan yang dirancang untuk melindungi hak karyawan agar mereka dapat menikmati waktu pribadi tanpa gangguan dari pekerjaan setelah jam kerja resmi berakhir. Ini muncul dari kebutuhan untuk menciptakan batas yang jelas antara kehidupan profesional dan kehidupan pribadi di tengah berkembangnya teknologi yang memungkinkan komunikasi tanpa henti. 

Larangan ini mengatur jelas agar atasan tidak menghubungi karyawan di luar jam kerja kecuali dalam situasi yang benar-benar mendesak atau darurat. Ini mencakup segala bentuk komunikasi, baik melalui telepon, email, pesan teks, atau aplikasi pesan lainnya. Tujuannya adalah untuk memastikan karyawan memiliki waktu istirahat yang cukup dan tidak merasa tertekan untuk terus bekerja di luar jam kerja yang telah disepakati. 

Masih dikutip dari CNBC, gagasan untuk melarang kontak di luar jam kerja bukanlah hal baru. Kebijakan serupa telah diterapkan di berbagai negara, seperti Prancis dan Jerman, di mana UU memberikan hak bagi karyawan untuk “memutuskan koneksi” setelah jam kerja. Di Prancis, misalnya, kebijakan ini dikenal dengan istilah “le droit à la déconnexion” yang berarti “hak untuk memutuskan koneksi.” 

Asal usul kebijakan ini dapat ditelusuri kembali ke peningkatan penggunaan teknologi digital dalam dunia kerja. Dengan kemajuan teknologi, terutama smartphone dan internet, batasan antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi semakin kabur. Karyawan sering kali merasa harus selalu siap sedia, bahkan setelah jam kerja resmi berakhir. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya tingkat stres, kelelahan, dan masalah kesehatan mental lainnya. 

Selain itu, kebijakan ini juga berperan dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil. Dengan memberikan hak kepada karyawan untuk “memutuskan koneksi,” kebijakan ini memastikan bahwa semua karyawan, terlepas dari posisi atau status mereka, dapat menikmati hak yang sama untuk beristirahat dan menghabiskan waktu berkualitas di luar pekerjaan. 

Baca Juga: Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres 

Manfaat Kebijakan bagi Karyawan 

Kebijakan larangan menghubungi karyawan di luar jam kerja membawa berbagai manfaat signifikan bagi karyawan. Manfaat ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu karyawan, tetapi juga pada produktivitas dan hubungan kerja secara keseluruhan. 

  • Meningkatkan Keseimbangan Antara Kerja dan Kehidupan Pribadi 

Salah satu manfaat utama dari kebijakan ini adalah peningkatan keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi. Dikutip dari Harvard Business Review, Research shows that employees with a better work-life balance tend to be more productive and have higher job satisfaction, karyawan yang tidak merasa tertekan untuk selalu siap siaga terhadap pekerjaan setelah jam kerja resmi dapat lebih mudah memisahkan urusan pekerjaan dari kehidupan pribadi mereka. Ini berarti mereka memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga, teman, hobi, dan kegiatan lain yang penting bagi mereka. 

Dengan adanya batasan yang jelas antara jam kerja dan waktu pribadi, karyawan dapat menikmati waktu luang tanpa merasa terganggu atau bersalah. Mereka dapat memanfaatkan waktu tersebut untuk bersantai, berolahraga, atau melakukan aktivitas yang dapat menyegarkan pikiran dan tubuh. Keseimbangan ini penting untuk mencegah kelelahan dan menjaga motivasi kerja dalam jangka panjang. 

  • Mengurangi Stres dan Burnout 

Tekanan untuk selalu tersedia untuk pekerjaan, bahkan di luar jam kerja, dapat menyebabkan stres yang berlebihan dan pada akhirnya mengarah ke burnout. Dikutip dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Burnout is a state of emotional, physical, and mental exhaustion caused by excessive and prolonged stress, burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan mental yang dapat terjadi ketika seseorang terus-menerus merasa tertekan dan tidak mampu memenuhi tuntutan pekerjaan. 

Kebijakan larangan menghubungi karyawan di luar jam kerja membantu mengurangi risiko burnout dengan memberikan karyawan kesempatan untuk benar-benar beristirahat dan melepaskan diri dari tekanan pekerjaan. Dengan waktu istirahat yang cukup, karyawan dapat kembali bekerja dengan energi yang lebih segar dan fokus yang lebih baik. Ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan karyawan, tetapi juga berdampak positif pada kinerja mereka di tempat kerja. 

Baca Juga: Pangkas Jam Kerja Panjang untuk Hasil Lebih Optimal, Dorong Kesetaraan Gender 

  • Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik 

Kesehatan mental dan fisik adalah aspek penting yang sering kali terabaikan dalam lingkungan kerja yang menuntut. Karyawan yang terus-menerus dibebani dengan pekerjaan tanpa waktu istirahat yang memadai cenderung mengalami masalah kesehatan, seperti kecemasan, depresi, insomnia, dan masalah jantung. 

Dengan kebijakan yang memungkinkan karyawan untuk benar-benar memutuskan koneksi dari pekerjaan di luar jam kerja, mereka memiliki kesempatan untuk menjaga kesehatan mereka dengan lebih baik. Mereka dapat tidur dengan lebih nyenyak, berolahraga secara teratur, dan menjalani gaya hidup yang lebih sehat secara keseluruhan. Kesehatan yang baik tidak hanya bermanfaat bagi karyawan, tetapi juga meningkatkan produktivitas kerja di tempat kerja. 

Read More
hambatan atlet disabilitas

Hambatan Atlet Disabilitas: Dari Fasilitas hingga Stigma

Acara Paralimpiade Paris 2024 sudah dimulai pada Rabu, 28 Agustus 2024. Dikutip dari paralympic.org, Paralimpiade Paris 2024 akan diikuti oleh 4.400 atlet dari seluruh dunia. Paralimpiade Paris 2024 adalah rangkaian dari Olimpiade Paris 2024, tetapi diperuntukkan buat para atlet disabilitas.

Atlet disabilitas adalah individu yang memiliki keterbatasan fisik atau mental namun tetap berprestasi di bidang olahraga. Mereka menghadapi berbagai tantangan yang unik dan sering kali harus bekerja lebih keras dibandingkan atlet non-disabilitas. Penting bagi kita untuk mengenali dan memahami hambatan-hambatan ini agar dapat mendukung mereka secara efektif.

Baca Juga: Nasib Atlet Paralimpiade Dianaktirikan oleh Publik dan Media

Jenis-Jenis Hambatan Atlet Disabilitas

Atlet disabilitas di seluruh dunia menghadapi berbagai jenis hambatan yang dapat menghalangi perjalanan mereka menuju kesuksesan. Dikutip dari In Sport, Challenges and tips concerning sports and physical activity for people with disabilities or chronic conditions, hambatan-hambatan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup aspek psikologis, dan sosial. Mari kita telusuri lebih dalam setiap jenis hambatan ini untuk memahami tantangan yang mereka hadapi.

Hambatan Fisik

Hambatan fisik adalah tantangan yang paling jelas dihadapi oleh atlet disabilitas. Ini mencakup keterbatasan dalam mobilitas, penglihatan, pendengaran, atau fungsi lainnya yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk berlatih dan bersaing di tingkat yang sama dengan atlet non-disabilitas.

Beberapa contoh hambatan fisik meliputi:

  • Kekurangan Fasilitas Olahraga Khusus: Tidak semua fasilitas olahraga dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan atlet disabilitas. Misalnya, lapangan atau kolam renang mungkin tidak memiliki akses yang mudah bagi atlet dengan kursi roda. Alat-alat olahraga yang tersedia sering kali tidak disesuaikan dengan kebutuhan fisik mereka, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk berlatih secara efektif.
  • Kesulitan dalam Aksesibilitas: Aksesibilitas menjadi masalah besar, terutama di negara-negara berkembang di mana infrastruktur untuk disabilitas belum memadai. Jalan yang tidak rata, ketiadaan lift, dan kurangnya transportasi yang ramah disabilitas menjadi kendala sehari-hari yang harus dihadapi oleh para atlet. Hambatan-hambatan ini bisa sangat mengganggu, terutama ketika mereka harus menghadiri sesi latihan atau kompetisi.

Baca Juga: Profil Ni Nengah Widiasih yang Raih Medali Pertama di Paralimpiade Tokyo 2020

Hambatan Psikologis

Selain hambatan fisik, atlet disabilitas juga menghadapi tantangan psikologis yang bisa menghambat performa mereka. Hambatan psikologis ini sering kali terkait dengan persepsi negatif dari diri sendiri atau orang lain, serta tekanan mental yang besar. Beberapa contoh hambatan psikologis meliputi:

  • Stigma dan Diskriminasi: Masyarakat masih sering kali memiliki pandangan yang salah tentang kemampuan atlet disabilitas. Mereka mungkin dianggap “tidak mampu” atau “kurang kompetitif,” yang bisa menurunkan rasa percaya diri atlet dan memengaruhi kinerja mereka. Diskriminasi juga dapat terjadi dalam bentuk kurangnya kesempatan yang diberikan kepada atlet disabilitas untuk berkompetisi di ajang yang sama dengan atlet non-disabilitas.
  • Tekanan Mental dan Emosional: Atlet disabilitas sering kali menghadapi tekanan yang lebih besar untuk membuktikan kemampuan mereka. Tekanan ini bisa berasal dari harapan yang tinggi, baik dari diri mereka sendiri maupun dari masyarakat. Selain itu, pengalaman pribadi seperti kegagalan atau cedera bisa menambah beban emosional yang harus mereka tanggung, yang jika tidak ditangani dengan baik, bisa mengarah pada masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan.

Hambatan Sosial

Di samping hambatan fisik dan psikologis, atlet disabilitas juga dihadapkan pada hambatan sosial. Hambatan ini terkait dengan bagaimana masyarakat memperlakukan dan memandang mereka, serta kurangnya dukungan sosial yang mereka terima. Beberapa contoh hambatan sosial meliputi:

  • Kurangnya Dukungan Masyarakat: Dukungan dari masyarakat sangat penting bagi keberhasilan seorang atlet. Sayangnya, atlet disabilitas sering kali tidak mendapatkan dukungan yang cukup. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang kemampuan mereka atau karena mereka dianggap “berbeda” dari atlet lainnya. Ketidakhadiran penonton di acara olahraga disabilitas dan kurangnya liputan media juga mencerminkan rendahnya perhatian publik terhadap atlet disabilitas.
  • Rendahnya Kesadaran Publik: Banyak orang yang tidak menyadari tantangan yang dihadapi oleh atlet disabilitas. Rendahnya kesadaran ini menyebabkan minimnya inisiatif untuk meningkatkan fasilitas dan aksesibilitas bagi mereka. Akibatnya, atlet disabilitas sering kali harus berjuang sendiri untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan yang mereka butuhkan.

Baca Juga: Prestasi Pesenam Simone Biles dan Sisi Gelap Kehidupan Atlet Perempuan

Solusi untuk Mengatasi Hambatan Atlet Disabilitas

Dikutip dari Recite Me, Identifying and Overcoming Disability Barriers in Sports, untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, diperlukan langkah-langkah nyata seperti peningkatan fasilitas dan aksesibilitas bagi atlet disabilitas. Selain itu, dukungan psikologis juga sangat penting untuk membantu mereka mengatasi tekanan mental yang mereka alami. Masyarakat perlu lebih diedukasi tentang disabilitas, agar dapat memberikan dukungan yang lebih baik kepada para atlet disabilitas.

Read More
aktivis perempuan yang berpengaruh di dunia

Daftar Aktivis Perempuan Paling Berpengaruh, Siapa Saja Mereka?

eski menghadapi berbagai tantangan, perempuan terus membuktikan bahwa mereka bisa menciptakan perubahan baik dalam kemanusiaan. Bahkan, beberapa perjuangan perempuan telah menginspirasi perempuan lain di dunia. Mereka jadi simbol perubahan dan optimisme. Mereka mengukir pencapaian di sejumlah bidang sekaligus mendobrak glass ceiling yang selama ini kerap menyandera. 

Di antara mereka, ada nama Malala Yousafzai yang memperjuangkan hak perempuan untuk tetap mengenyam pendidikan. Lalu ada pula Frida Kahlo yang sering dicap sebagai ikon seni perlawanan perempuan. Bagaimana kisah lengkap para perempuan tersebut? 

Baca Juga: Nawal El Saadawi Aktivis Perempuan Legendaris dari Mesir 

Apa itu Aktivis Perempuan? 

Dikutip dari UN Women, Women rising: Women’s activism that has shaped the world as you know it, aktivis perempuan adalah individu yang secara aktif memperjuangkan hak-hak perempuan dan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Mereka tidak hanya menyuarakan isu-isu perempuan, tetapi juga bekerja untuk mengatasi dan mengubah sistem yang menindas dan mendiskriminasi perempuan.  

Aktivis perempuan bisa berasal dari berbagai latar belakang, termasuk pendidikan, hukum, seni, lingkungan, kesehatan, dan politik. Mereka bekerja baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional untuk memastikan bahwa suara perempuan didengar dan hak-hak mereka dihormati. 

Aktivis perempuan sering kali berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan kesetaraan gender, kekerasan berbasis gender, hak-hak reproduksi, akses terhadap pendidikan, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Mereka juga bisa terlibat dalam upaya-upaya untuk melawan stereotip gender, meningkatkan kesadaran tentang masalah kesehatan perempuan, dan mendorong kebijakan yang mendukung pemberdayaan perempuan. 

Baca Juga: Perjuangan Naomi Osaka yang Layak Dijadikan Panutan Perempuan 

Peran Aktivis Perempuan dalam Masyarakat 

Peran aktivis perempuan sangat penting dalam menciptakan kesadaran akan isu-isu yang dihadapi oleh perempuan. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai suara bagi yang tertindas, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mendorong perbaikan dalam hukum, kebijakan, dan norma sosial. 

Aktivis Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia 

  1. Malala Yousafzai: Pejuang Pendidikan dan Hak Perempuan 

Dikutip dari BBC, Malala Yousafzai: Portrait of the girl blogger, Malala Yousafzai adalah aktivis simbol perjuangan untuk hak pendidikan bagi anak perempuan. Lahir di Mingora, Pakistan, Malala mulai menarik perhatian dunia pada usia 11 tahun melalui blognya di BBC Urdu, di mana ia berbicara tentang kehidupan di bawah kekuasaan Taliban dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Pada 2012, ketika berusia 15 tahun, Malala menjadi sasaran serangan Taliban karena vokalnya dalam memperjuangkan hak pendidikan. Meskipun mengalami luka serius, Malala pulih dan melanjutkan perjuangannya di panggung internasional. 

Malala kemudian mendirikan Malala Fund, organisasi non-profit yang bertujuan untuk memastikan setiap anak perempuan di dunia memiliki akses ke pendidikan selama 12 tahun. Pada tahun 2014, Malala menjadi penerima Hadiah Nobel Perdamaian termuda dalam sejarah. Malala Yousafzai telah menginspirasi jutaan orang dengan keberaniannya dan dedikasinya untuk memperjuangkan pendidikan dan hak-hak perempuan. 

  1. Rosa Parks: Simbol Perlawanan terhadap Rasisme dan Diskriminasi Gender 

Rosa Parks dikenal sebagai “Ibu Gerakan Hak Sipil” di Amerika Serikat. Pada 1 Desember 1955, Rosa Parks menolak memberikan tempat duduknya di bus kepada penumpang kulit putih di Montgomery, Alabama, tindakan yang melanggar hukum segregasi pada saat itu. Tindakan sederhana ini memicu boikot bus Montgomery, yang berlangsung selama lebih dari satu tahun dan menjadi titik balik dalam gerakan hak sipil di Amerika Serikat. 

Rosa Parks tidak hanya memperjuangkan hak-hak sipil bagi orang kulit hitam, tetapi juga memperjuangkan hak-hak perempuan. Dikutip dari Tirto, Rosa Parks, Ibu dari Pergerakan Hak-Hak Sipil, Ia bekerja sama dengan organisasi seperti National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) dan berjuang melawan ketidakadilan rasial dan gender sepanjang hidupnya. Rosa Parks adalah contoh luar biasa bagaimana tindakan individu dapat memicu perubahan besar dalam masyarakat. 

  1. Wangari Maathai: Pelopor Gerakan Lingkungan dan Pemberdayaan Perempuan 

Wangari Maathai adalah aktivis lingkungan dan politisi asal Kenya yang mendirikan Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement) pada 1977. Gerakan ini berfokus pada penanaman pohon, konservasi lingkungan, dan pemberdayaan perempuan melalui pembangunan berkelanjutan. Maathai melihat hubungan erat antara degradasi lingkungan dan kemiskinan serta kurangnya akses perempuan terhadap sumber daya alam. 

Dikutip dari Green Belt Movement, Wangari Maathai, pada 2004, ia menjadi perempuan Afrika pertama yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian dalam pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian. Maathai menginspirasi banyak orang di seluruh dunia dengan komitmennya terhadap lingkungan dan pemberdayaan perempuan, serta dedikasinya untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. 

Baca Juga: 10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia 

  1. Frida Kahlo: Ikon Seni dan Aktivisme Gender 

Frida Kahlo adalah seniman asal Meksiko yang dikenal dengan karyan kuat dan penuh emosi. Ia juga populer berkat perannya sebagai ikon dalam perjuangan hak-hak perempuan dan identitas gender. Karya-karya Kahlo sering kali mengeksplorasi tema-tema tentang tubuh perempuan, rasa sakit, identitas, dan ketidakadilan sosial. Meskipun Kahlo lebih dikenal sebagai seniman, pengaruhnya sebagai simbol feminisme dan keberanian individu tidak bisa diabaikan. 

Frida Kahlo menantang norma-norma gender dan sosial melalui gaya hidup dan karyanya, menjadikannya inspirasi bagi banyak aktivis perempuan. Dia juga memperjuangkan hak-hak pekerja dan masyarakat adat di Meksiko, memperlihatkan bagaimana seni dapat digunakan sebagai alat untuk perubahan sosial dan politik. 

  1. Simone de Beauvoir: Pemikir dan Penulis Feminisme Modern 

Simone de Beauvoir adalah filsuf, penulis, dan feminis asal Prancis yang karyanya memiliki pengaruh besar dalam perkembangan teori feminisme modern. Dikutip dari Britannica, Buku Simone de Beauvoir yang paling terkenal, The Second Sex (1949), menjadi landasan penting bagi gerakan feminisme di seluruh dunia. Dalam buku tersebut, Beauvoir mengeksplorasi bagaimana perempuan secara historis dikonstruksi sebagai “yang lain” dalam masyarakat patriarkal dan menyoroti pentingnya kesetaraan gender. 

Simone de Beauvoir tidak hanya menulis tentang feminisme, tetapi juga hidup sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia terlibat dalam berbagai gerakan feminis dan advokasi untuk hak-hak perempuan di Prancis dan internasional. Pemikirannya tentang eksistensialisme dan kebebasan perempuan telah menginspirasi generasi aktivis feminis berikutnya dan terus berpengaruh hingga saat ini. 

Read More