Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Buku pelajaran atau buku teks memegang peranan dalam mentransfer nilai-nilai dalam hidup bermasyarakat. Akan tetapi sayangnya, salah satu nilai yang penting ditanamkan kepada anak-anak sekolah yakni kesetaraan gender, masih sering luput dimasukkan ke dalam buku-buku tersebut.

Hal ini dikemukakan oleh Sugeng Ariyanto dalam jurnalnya yang bertajuk “A Portrait of Gender Bias in the Prescribed Indonesian ELT Textbook for Junior High School Students”(2013). Dalam penelitiannya terhadap buku teks bahasa Inggris yang dipakai anak sekolah, ia menemukan sejumlah gambar dan teks di sana yang masih mengusung stereotip gender dan peran gender tradisional. Contohnya, perempuan masih dilekatkan dengan peran mengurus keluarga atau urusan ke pasar, tetapi tidak demikian dengan laki-laki. Selain itu, ada pula sejumlah sifat berdasarkan stereotip gender yang diperlihatkan dalam percakapan antara guru dan siswa-siswinya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh M. Niaz Asadullah dan Kazi Md. Mukitul Islam dan diterbitkan di jurnal PLOS ONE (2018) sejalan dengan penelitian Sugeng. Dalam sebuah artikel di The Conversation, Asadullah menyatakan bahwa buku pelajaran di empat negara mayoritas Muslim (Malaysia, Pakistan, Bangladesh) masih kental dengan bias gender.

Asadullah dan Islam mengamati, dari indikator kualitatif seperti proporsi gender yang ditampilkan, buku pelajaran Indonesia cenderung lebih seimbang menampilkan laki-laki dan perempuan dalam konten tekstual dibanding buku di negara lain.  

Namun, dari indikator kualitatif mereka menilai penggambaran perempuan di buku pelajaran masih jauh dari setara. Dalam buku teks bahasa Inggris yang dipakai murid kelas 9 misalnya, karakter laki-laki masih mendominasi dalam hal bidang pekerjaan. Mereka digambarkan punya lebih beragam pekerjaan dibanding perempuan, serta menjalankan profesi yang erat dengan maskulinitas dan kekuatan seperti pemadam kebakaran atau raja.

Selain itu, ada banyak penekanan pada identitas perkawinan yang ditunjukkan oleh seringnya penggunaan istilah “Mrs.”, sementara dalam buku-buku di Malaysia dan Bangladesh, mayoritas tokoh perempuan disebut dengan “Miss”.  

Bias Gender dalam Buku Sains

Tidak hanya dalam buku teks bahasa Inggris seperti disebutkan dua penelitian di atas, bias gender juga tampak dalam buku sains anak.

Dalam sebuah penelitian di Inggris oleh Susan Wilbraham dan Elizabeth Caldwell, yang menyoroti buku-buku sains bergambar untuk anak di dua perpustakaan publik, ditemukan bahwa secara umum, representasi perempuan dalam buku sains anak tiga kali lebih sedikit dibanding laki-laki.

Dari aspek foto dan ilustrasi di sana, khususnya di bidang fisika, gambar sering kali gagal mengomunikasikan kemampuan teknis atau pengetahuan perempuan. Sebanyak 87 persen gambar di buku fisika menunjukkan sosok laki-laki. Saat bicara tentang astronot pun, rujukan menyebut astronot masih kerap dihubungkan dengan laki-laki (“his”). Ketika menyinggung astronot perempuan, mereka tidak digambarkan punya kemampuan seperti halnya astronot laki-laki.

Baca juga: Buku-buku Sains Anak Masih Bias Gender, Kurang Representasi Perempuan

“Tempat-tempat program pelatihan astronot NASA sangat kompetitif dengan ribuan lamaran setiap tahunya. Namun dalam buku [sains anak] tersebut, pelatihan, keahlian, dan pengetahuan perempuan tersebut tidak disinggung,” tulis Wilbraham dan Caldwell.

“Sebagai gantinya, keterangan gambar tersebut justru berbunyi ‘Dalam gravitasi 0, setiap hari adalah hari gaya rambut yang buruk’. Komentar seperti itu yang terfokus pada penampilan perempuan gagal menganggap serius kontribusi mereka.”

Dari hal seperti ini, muncul impresi bahwa sains adalah subjek untuk laki-laki dan kurang ada penghargaan bagi perempuan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).  Wilbraham dan Caldwell berpendapat, perempuan dalam buku sains sering digambarkan pasif, berstatus rendah, tidak terlatih, atau keberadaan mereka tidak diketahui sama sekali.

Dampak Bias Gender dalam Buku Teks

Bias gender dalam buku-buku teks atau konten edukasi untuk anak masih sering diwajarkan oleh banyak pihak, mulai dari guru, orang tua, hingga peserta didik sendiri. Padahal, hal tersebut berdampak negatif terhadap kesetaraan gender, tidak hanya di dunia pendidikan saja, tetapi sampai dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat bagi anak di masa depan.

Wilbraham dan Caldwell mengungkapkan, gambaran laki-laki dan perempuan berpengaruh terhadap harapan anak-anak tentang hal yang akan mereka dapatkan atau jalani di kemudian hari. Penggambaran tersebut mengajarkan mereka “aturan” mengenai pekerjaan yang cocok bagi tiap gender sehingga mereka terdorong untuk mengikuti stereotip karier gender yang berlaku.

Dalam buku panduan keluaran UNESCO berjudul Promoting Gender Equality through Textbooks (2009), dikatakan bahwa ada kaitan antara capaian anak perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki dan buku teks. Lewat konten yang masih bias dan penuh stereotip gender, ketimpangan gender dan diskriminasi dikuatkan.

Panduan UNESCO tersebut mencatat bahwa buku-buku teks tidak hanya berkontribusi pada penyebaran pengetahuan, tetapi juga memegang peran penting dalam mendidik anak tentang perilaku, norma, dan nilai sosial. Karena itu, buku-buku teks berperan sebagai alat pendidikan sekaligus perubahan sosial.  

Bagaimana Mendorong Perubahan?

Ada sejumlah aspek yang bisa diperhatikan untuk mengetahui apakah buku teks sudah menampilkan gambaran gender secara setara atu belum. Panduan UNESCO menyebutkan beberapa di antaranya seperti: Bagaimana pahlawan dan peran minor ditampilkan; fungsi sosial, keluarga, atau pekerjaan yang dijalankan laki-laki dan perempuan; atribut gender baik dari segi fisik maupun hal-hal yang dikenakan; sifat atau karakter gender; aktivitas yang dilakukan kedua gender; serta interaksi antarkarakter dalam buku teks.

Hal ini menjadi catatan penting bagi para pembuat buku teks anak berikutnya untuk membuat konten pendidikan anak yang lebih mengedepankan kesetaraan gender. Cerita dari sosok-sosok perempuan panutan di berbagai bidang pekerjaan menjadi salah satu hal yang dapat dimasukkan dalam buku-buku teks. Lewat teladan seperti itu, anak-anak dapat belajar bahwa segala peluang kerja atau melakukan sesuatu terbuka baik untuk laki-laki maupun perempuan. Terlebih untuk siswi, mereka dapat terdorong untuk mempunyai cita-cita dan capaian yang sama seperti tokoh-tokoh perempuan panutan tersebut.  

Baca juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan  

Bukan tugas para penulis buku teks saja untuk menanamkan pendidikan yang lebih setara gender. Para guru dan orang tua perlu berpartisipasi aktif untuk mendorong inklusivitas gender dalam mendidik anak. Ketika ada buku teks yang masih mempertahankan stereotip gender dalam konten visual maupun verbalnya, mereka perlu lebih aktif dan kritis menyikapi hal tersebut sehingga anak juga terlatih untuk tidak hanya mengikuti apa yang tergambar di sana.

Read More

Kekerasan Seksual pada AOC Bukti Kerentanan Perempuan Bahkan di Level Pemimpin

Sebulan setelah penyerangan di Gedung Capitol, anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) membuat pengakuan bahwa dirinya merupakan penyintas kekerasan seksual. Hal itu disampaikannya 2 Februari lalu lewat Instagram Live tentang apa yang terjadi di Capitol dan disaksikan lebih dari 150 ribu penonton. Video tersebut disimpan dalam Instagram TV (IGTV) dan telah ditonton lebih dari 5 juta kali serta mendulang ribuan komentar.

 “Saya adalah penyintas serangan seksual dan saya belum menceritakan soal ini ke banyak orang. Tetapi saat kita melalui suatu trauma, ia akan berkelindan dengan trauma-trauma lainnya,” kata Cortez.

Ia bercerita bahwa dalam serangan perusuh di Capitol 6 Januari silam, ia sempat bersembunyi di kamar mandi di dalam kantornya. Dari dalam situ, ia mendengar suara gebrakan pada tembok serta teriakan seseorang, “Di mana dia [Cortez]?”.

Rasa takut menyergap dirinya saat itu dan membangkitkan trauma akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Tak hanya itu, bagaimana orang-orang bereaksi terhadapnya, seperti meminta dia untuk segera melanjutkan hidup pasca-serangan tersebut, juga mengingatkannya pada pengalamannya dulu.

“Alasan saya mengatakannya dan menjadi emosional sekarang ini adalah karena orang-orang menyuruh kita untuk meneruskan hidup, menganggap hal ini bukan perkara besar, kita harus melupakan apa yang terjadi, atau bahkan menyuruh kita untuk meminta maaf. Ini adalah taktik sama yang dipakai pelaku kekerasan,” ujar politisi berdarah Puerto Rico ini.

Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Pulih Bersama dalam ‘House of The Unsilenced’

Perempuan Pemimpin Tak Lepas dari Kejahatan Seksual

Cortez memang tidak mengisyaratkan kapan kekerasan seksual yang menimbulkan trauma mendalam itu dialaminya dan oleh pelaku di posisi apa. Namun, ia menambah panjang daftar perempuan anggota Kongres AS yang bersuara tentang hal tersebut.

Pada 2017, Vox membuat laporan tentang sejumlah anggota kongres perempuan AS yang pernah mengalami pelecehan seksual dari rekan kerjanya di Capitol. Mary Bono dari Partai Republik misalnya, mengaku pernah mendapat beberapa komentar sugestif secara seksual dari seorang anggota kongres laki-laki. 

Dalam Vox dinyatakan, peristiwa pelecehan seksual yang sudah berkali-kali terjadi di Capitol ini dapat terjadi karena lingkungan kerja yang didominasi laki-laki. Pelecehan seksual lebih mungkin dialami perempuan yang baru bekerja di sana atau berada di level bawah karena mereka tidak punya posisi tawar tinggi untuk melawan.

Namun, sebuah penelitian yang dirilis pada 2020 oleh Swedish Institute for Social Research (SOFI), Stockholm University, yang melibatkan studi di AS, Jepang, dan Swedia, menemukan bahwa perempuan di posisi tinggi pun tidak lepas dari pelecehan seksual. Di sana dikatakan, perempuan supervisor mengalami sekitar 30-100 persen lebih banyak pelecehan seksual dibanding karyawan perempuan lain.

Perempuan di posisi tinggi tidak lepas dari pelecehan seksual. Perempuan supervisor mengalami sekitar 30-100 persen lebih banyak pelecehan seksual dibanding karyawan perempuan lain.

“Ada alasan-alasan logis mengapa ini terjadi: Seorang supervisor terpapar dua kelompok orang yang potensial jadi pelaku. Dia bisa dilecehkan baik oleh orang di posisi subordinatnya, maupun orang di level manajemen yang lebih tinggi di perusahaan,” kata Johanna Rickne, profesor ekonomi di SOFI.

Sementara itu, dari riset LeanIn.Org dan McKinsey di AS ditemukan bahwa 55 persen perempuan di posisi pemimpin senior mengalami pernah pelecehan seksual di tempat kerja. Hal itu mungkin terjadi karena mereka mendobrak norma gender tradisional yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki dalam berkarier.

Akibat lingkungan kerja yang masih rawan pelecehan seksual, perempuan yang mau buka suara tentang itu harus mengambil risiko kehilangan kesempatan naik jabatan atau bahkan pekerjaan. Dalam penelitian Chloe Grace Hart, kandidat PhD bidang Sosiologi Stanford University yang dimuat di The Conversation, ditemukan bahwa para partisipan survei ragu untuk mempromosikan seorang perempuan apabila melaporkan pelecehan seksual di kantornya.

Lebih lanjut dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa perempuan yang melaporkan pelecehan seksual di kantor sering dilihat tidak bermoral, penipu, atau terlalu sensitif. Ia juga dipandang membuat-buat cerita hanya untuk menyabotase rekan kerjanya atau bereaksi berlebihan terhadap sebuah “komentar ramah”.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Pentingnya Ruang Aman untuk Penyintas

Suara yang Menguatkan Penyintas Kekerasan Seksual

Suara Cortez dan berbagai perempuan berpengaruh lainnya, mulai dari pejabat publik, tokoh perempuan pemimpin, hingga selebritas, memiliki dampak besar terhadap para penyintas kekerasan seksual lain. Salah satu yang menyebabkan demikian adalah karena mereka memiliki banyak pengikut di media sosial. Semakin banyak orang terpapar, semakin mungkin kesadaran akan isu kekerasan seksual dan penyintas yang terdorong untuk berbicara bertambah.

Atas tindakan Cortez tersebut, banyak pihak mengapresiasinya karena dianggap memberi kekuatan bagi para penyintas lainnya, terlebih dari kalangan ras minoritas di AS.

“Banyak orang berjuang dan menderita dalam kesunyian, dan kadang ketika kamu melihat satu orang muncul dan terlihat di publik, itu  memberikan kekuatan bagi yang lainnya,” ungkap Tarra Bates-Duford, perempuan kulit hitam yang juga seorang terapis dan pendiri Family Matters Counseling Group kepada The Lily.

Hal ini tecermin dari gerakan #MeToo yang diinisiasi Tarana Burke di AS pada 2006, dan diamplifikasi selebritas seperti Alyssa Milano pada 2017. Sejak hal itu disoroti media, banyak orang di mancanegara mulai dari pesohor sampai orang-orang biasa yang tidak ragu membuka hal yang masih dianggap aib oleh masyarakat, bahkan menuntut si pelaku.

Seiring dengan itu, makin banyak bermunculan ruang aman dan kelompok pendukung para penyintas yang membantu mereka berkumpul dengan sesama penyintas lainnya dan berusaha saling menguatkan, serta mencari keadilan atas peristiwa yang mereka alami.

Read More

Gelap-Terang Rekam Jejak Aung San Suu Kyi dalam Politik Myanmar

Pada Senin (1/2) lalu, perempuan pemimpin nasional Myanmar peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1991, Aung San Suu Kyi, serta Presiden U Win Myint ditangkap seiring kudeta pemerintahan oleh pihak militer.

Ini bukanlah kali pertama Suu Kyi dan presiden kesepuluh Myanmar itu ditangkap. Sejak 1989 hingga 2010, Suu Kyi sempat berkali-kali dijadikan tahanan rumah, sementara Win Myint telah beberapa kali dipenjara saat militer memerintah, salah satunya akibat protes terhadap penguasa yang ia lakukan pada 1988.

Meskipun National League for Democracy (NLD)—partai yang dipimpin Suu Kyi dan tempat Win Myint tergabung–berhasil menang telak pada pemilihan umum November lalu, militer Myanmar membuat narasi bahwa kemenangan tersebut adalah hasil penipuan. Dilansir BBC, ketegangan antara militer dan pemerintah telah lama berlangsung dan semakin menjadi seiring kekalahan partai yang digawangi militer, Union Solidarity and Development Party (USDP) di parlemen.

Akhirnya pada awal Februari ini, militer mengambil alih listrik di bawah komando Jenderal Ming Aung Hlaing, yang kini menjadi pemimpin Myanmar. Jalan menuju ibu kota, Naypidaw, dan Yangoon diblokade. Siaran dari saluran televisi lokal dan internasional diputus, sementara koneksi internet dan telepon juga dikendalikan militer. Bank pun dipaksa menghentikan kegiatannya. Seiring dengan kudeta ini, 24 menteri dan deputi dicopot dari jabatannya serta jam malam diberlakukan mulai dari pukul 20.00 hingga 6.00.  

Demokrasi Myanmar kembali di bawah ancaman karena keadaan ini. Sejumlah pemimpin negara lain mengecam kudeta militer di sana. Banyak warga Myanmar marah mendapati keadaan negara mereka tetapi sejauh ini, belum ada protes terlihat sebagaimana pada dekade-dekade lalu. Sebagian dari mereka takut berurusan dengan militer, terlihat dari orang-orang yang enggan menyebutkan nama mereka saat memberi testimoni pada BBC.

Awal Mula Perjuangan Aung San Suu Kyi Meraih Demokrasi

Seperti sejumlah perempuan pemimpin di Asia, termasuk Indira Gandhi, Benazir Bhutto, dan Megawati Soekarnoputri, Suu Kyi adalah putri pemimpin negara. Perempuan kelahiran 19 Juni 1945 ini merupakan putri dari Jenderal Aung San, pejuang kemerdekaan yang secara de facto menjadi pemimpinBurma (nama negara sebelum menjadi Myanmar). Aung San mati dibunuh pada tahun 1947 bersama enam orang lainnya dalam rapat dewan eksekutif (pemerintah bayangan yang dibentuk Inggris sebelum transfer kekuasaan) sekitar enam bulan sebelum Burma merdeka.

Baca juga: Perempuan Pembela HAM Mangsa Empuk Kekerasan

Sejak tahun 1960, Suu Kyi tinggal di India seiring penunjukan ibunya sebagai duta besar Myanmar di sana. Pada 1964, Suu Kyi melanjutkan studi di Inggris bidang Filsafat, Ekonomi, dan Politik di St. Hugh’s College of Oxford Academy, lalu meraih gelar PhD dari School of Oriental and African Studies, University of London pada 1985. Saat di Inggrislah ia bertemu dengan Michael Aris, akademisi Inggris yang kemudian menjadi suaminya.

Ia sempat hendak melanjutkan studi di New York, AS, pada 1969, tetapi menundanya karena memilih bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).    

Pada 1988, Suu Kyi pulang ke Myanmar karena ibunya jatuh sakit, sementara suami dan anak-anaknya tetap tinggal di Inggris. Kala itu, militer sudah berkuasa sejak tahun 1962. Pada tahun kepulangan Suu Kyi, terjadi pembunuhan massal terhadap warga yang memprotes pemerintahan militer di bawah U Ne Win seiring munculnya krisis ekonomi dan politik. Hal itulah yang mendorong Suu Kyi untuk bangkit bersuara dan memperjuangkan demokrasi serta hak asasi manusia di sana dengan jalan nonkekerasan.

Aung San Suu Kyi Menjadi Tahanan Rumah dan Terancam

Pada 1989, Suu Kyi bersama beberapa orang lainnya yang juga pro-demokrasi mendirikan NLD dan menjabat sebagai sekretaris jenderal. Partai tersebut menjalin kerja sama dengan beberapa partai politik berbasis etnis seperti Shan Nationalities League for Democracy (SNLD) dan Arakan League for Democracy (ALD) untuk membangun rekonsiliasi nasional.

Pada 20 Juli 1989, Suu Kyi dijadikan tahanan rumah di Rangoon (sekarang Yangoon) tanpa diadili. Pemerintah militer sempat menawarkan kebebasan untuknya asalkan ia hengkang dari Myanmar, tetapi Suu Kyi menolak sampai militer mau membebaskan tahanan politik dan mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan sipil.

Tahun berikutnya, NLD memenangi Pemilu dan meraih lebih dari 80 persen kursi parlemen, tetapi pemerintahan militer tidak mau mengakui hal tersebut dan lanjut menguasai negara sampai tahun 2011. Berita mengenai Hadiah Nobel Perdamaian kepada Suu Kyi pada 1991 semakin membuatnya ditekan oleh pemerintah militer.

Pada 1995, Suu Kyi sempat dibebaskan. NLD kembali menunjuknya sebagai sekretaris jenderal partai tersebut, mengabaikan larangan dari pemerintah untuk mengganti siapa pun di posisi kepemimpinan partai. Pada tahun inilah Suu Kyi terakhir kali melihat suaminya karena setelah itu, izin berkunjung ke Myanmar yang Aris ajukan berkali-kali ditolak pemerintah. Tahun 1999, Aris meninggal di Inggris karena kanker dan tanpa kehadiran Suu Kyi yang masih berada dalam situasi pelik. 

Baca juga: Alami Intimidasi dan Kekerasan, Perempuan Pembela HAM Harus Dilindungi

Suu Kyi terus aktif menyuarakan demokrasi walaupun aktivitasnya sangat dibatasi pemerintah sejak 1997. Pada 2000 sampai 2002, Suu Kyi kembali menjadi tahanan rumah karena melanggar larangan militer baginya untuk meninggalkan Rangoon. Setelah dibebaskan, Suu Kyi memang bisa bepergian ke beberapa kota, tetapi tetap diawasi pemerintah.

Serangan dari pihak pro-pemerintah kepadanya kembali muncul pada 2003 ketika NLD berkonvoi di Depayin. Dalam kerusuhan antara pihak NLD dan pendukung pemerintah, sejumlah orang tewas. Karena kejadian itu, Suu Kyi ditahan di penjara Insein, Rangoon, kemudian lagi-lagi menjadi tahanan rumah. Awalnya, masa tahanan Suu Kyi berlangsung sampai 2007, tetapi militer memperpanjangnya berkali-kali sampai akhirnya ia dibebaskan pada November 2010.

Tahun 2009, seorang laki-laki Amerika bernama John Yettaw sempat nekat berenang sejauh 2 kilometer menyeberangi Danau Inya menuju rumah Suu Kyi untuk bertemu dengannya. Kendati Suu Kyi tidak mau menemuinya dan meminta dia untuk pergi, Yettaw memohon untuk tinggal sejenak karena kelelahan.

Akibat kejadian ini, hukuman untuk Suu Kyi diperpanjang. Sejumlah upaya di pengadilan untuk mengadvokasi Suu Kyi dilakukan, tetapi pemerintah tetap bersikukuh menghukumnya. Suu Kyi bahkan sempat dijatuhi vonis penjara tiga tahun karena insiden Yettaw, tetapi hukuman tersebut diganti menjadi 18 bulan tahanan rumah.  

Suu Kyi Tak Bisa Jadi Presiden

Tahun 2012, pada pemilu sela, yang khusus diadakan di antara pemilu reguler saat ada jabatan politik yang kosong, Suu Kyi dan NLD meraih 43 kursi dari total 45 kursi di parlemen, membuatnya menjadi pemimpin pihak oposisi. Kemenangan pun kembali diraihnya atas partai militer pada 2015, tetapi ia tidak bisa menjadi pemimpin negara karena

memiliki anak-anak berkebangsaan Inggris. Meski demikian, Suu Kyi tetap dipandang sebagai pemimpin Myanmar secara de facto.

Di tengah kepemimpinan presiden yang sekarang menjabat (sampai sebelum kudeta), Suu Kyi berperan sebagai penasihat negara (state counselor). Posisi ini disahkan secara hukum oleh presiden kesembilan Myanmar, Htin Kyaw pada 2016.

Posisi yang diduduki Suu Kyi ini dianggap setara dengan posisi perdana menteri dan berpotensi lebih kuat dibanding posisi presiden. Sementara mayoritas warga menyambut baik peran Suu Kyi tersebut, pihak militer menolak mengakui undang-undang yang melegalisasi posisi penasihat negara. 

Baca juga: Meneladani Kepemimpinan Jacinda Ardern di Tengah Pandemi

Aung San Suu Kyi Dikecam Masyarakat Global Karena Masalah Rohingya

Selain Hadiah Nobel Perdamaian, Suu Kyi juga sempat menerima gelar kehormatan Freedom of the City of Oxford pada 1997, diikuti dengan gelar yang sama dari beberapa kota lainnya di Inggris Raya, karena ia dianggap berjasa menentang penindasan militer di negaranya. 

Suu Kyi juga menerima honorary degree dari banyak universitas di berbagai negara, serta gelar warga negara kehormatan dari pemerintah Kanada pada 2007. Tahun 2009, Amnesty International memberikan penghargaan tertinggi Ambassador of Conscience Award kepadanya.

Sejak 2017, situasi berubah 180 derajat. Konflik etnoreligius terjadi di negara bagian Rakhine dan menyebabkan tewasnya banyak warga Rohingya, kelompok Muslim minoritas di Myanmar. Seiring dengan itu, ratusan ribu warga Rohingya dipaksa meninggalkan Rakhine dalam operasi militer dan mayoritas hidup terkatung-katung sebagai pengungsi di beberapa negara.

Pihak militer memegang peran besar dalam pembersihan etnis Rohingya dan Suu Kyi dianggap menutup mata terhadap kejadian tersebut. Kegagalan Suu Kyi dalam menghentikan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya pada akhirnya mendorong berbagai pihak untuk menarik simpati terhadap Suu Kyi, bahkan mencopot penghargaan-penghargaan yang pernah diterimanya.

Dalam kurun 2017-2018, Suu Kyi telah kehilangan gelar Freedom of the city dari sejumlah kota, Elie Wiesel Award dari United States Holocaust Memorial Museum, Honorary Presidency dari London School of Economics, serta UNISON honorary membership (serikat perdagangan). Pemerintah Kanada juga mencabut gelar warga negara kehormatannya pada 2018. Pada tahun yang sama, Amnesty International pun mencopot gelar yang pernah mereka berikan pada Suu Kyi.

Nama Suu Kyi, yang sempat dijadikan titel junior common room di St. Hugh, University of Oxford, dicabut, begitu juga dengan lukisan wajahnya yang dipajang di sana. Ratusan ribu orang telah menandatangani petisi untuk meminta Yayasan Nobel untuk mencabut Hadiah Nobel Perdamaian yang dimiliki Suu Kyi, tetapi permintaan tersebut ditolak.

Penangkapan Suu Kyi saat ini membelah opini publik menjadi dua. Sebagian menyayangkan hal tersebut terjadi karena itu menandakan cederanya demokrasi yang sudah susah payah dibangun di sana. Namun, sebagian lainnya tidak merasa bersimpati, bahkan malah merayakan penangkapan Suu Kyi tersebut, seperti yang dilakukan pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Foto diambil dari Post-Conflict Research Center.

Read More
Guru hapus stereotip gender

Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Di banyak bidang pekerjaan, mulai dari pendidikan, sains dan teknologi, kesehatan, birokrasi, hingga macam-macam industri, perempuan masih kerap tertinggal dari laki-laki dalam hal kepemimpinan.

Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, salah satunya bagaimana pendidikan mengenai peran gender dan kepemimpinan ditanamkan oleh masyarakat sejak seseorang masih kanak-kanak.

Keluarga adalah Pendidik Pertama

Sebagai unit terkecil masyarakat dan terdekat bagi seorang anak, keluarga, khususnya orang tua, memainkan peran penting dalam menanamkan pendidikan mengenai peran gender yang setara; bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama-sama bisa punya cita-cita atau terjun dan memimpin di bidang apa pun.

Pendidikan mengenai peran gender ini dapat diterapkan orang tua mulai dari hal-hal sederhana sesuai kemampuan kognitif anak pada usianya. Misalnya terkait mainan, sikap kritis orang tua untuk tidak langsung membedakan mana mainan untuk laki-laki (seperti robot, mobil, bola) dan mainan untuk perempuan (boneka, alat masak, alat dandan) berpengaruh terhadap persepsi anak mengenai apa yang wajar dan tak wajar dilakukan orang-orang berjenis kelamin sama dengannya.

Demikian juga terkait peminatan terhadap bidang tertentu. Menurut penulis Sex and the Office: Women, Men and the Sex Partition that’s Dividing the Workplace, Kim Elsesser, orang tua atau guru kerap menyetir anak untuk masuk atau tidak masuk ke bidang tertentu sesuai stereotip gender yang ada.

“Anak laki-laki misalnya, lebih didorong dibanding perempuan untuk menguasai bidang sains dan Matematika, bidang yang menghasilkan uang lebih banyak,” kata Elsesser dalam Forbes.

Dorongan dan kesempatan lebih besar bagi laki-laki untuk menguasai bidang-bidang tertentu dan lantas mendatangkan penghasilan lebih tinggi tidak lepas dari anggapan masyarakat bahwa laki-lakilah yang kelak memimpin keluarga dan menjadi pencari nafkah utama.

Baca juga: Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender

“Karena itu, laki-laki akan diutamakan dalam pendidikan. Jika sebuah keluarga memiliki dana yang terbatas, maka keluarga tersebut akan mengutamakan anak laki-laki untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi karena dianggap akan bertanggung jawab atas keluarganya,” kata Niken Savitri, pengajar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum dan Gender Indonesia, seperti dikutip dalam laman Pusat Informasi Pembelajaran Unpar.

Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kebutuhan, banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama atau sama seperti pasangannya, terjun banyak ke ranah publik. Hal seperti ini perlu dipandang sebagai hal yang wajar alih-alih sesuatu yang harus disalahkan dari perempuan.

Bahkan menurut Nadia Sarah, seorang entrepreneur dan founder komunitas bisnis perempuan SheStarts.id, terjunnya perempuan di dunia profesional bisa menjadi hal positif dalam mendidik anak.

“Kalau dalam satu keluarga ibunya pandai berbisnis atau memiliki kemampuan, artinya ibunya punya suara dalam keluarga. Ini merupakan pendidikan buat anaknya bahwa perempuan juga sosok yang tangguh, punya posisi di rumah,” kata Nadia.

Dalam interaksi sehari-hari pun, berbagai hal yang dikaitkan dengan sifat perempuan atau laki-laki ideal dapat dikritisi kembali dalam keluarga untuk menggeser stereotip gender dan mendukung kepemimpinan perempuan. Sebagai contoh, sifat ambisius yang dirasa wajar dipunyai laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan.

“Kalau perempuan ambisius, seolah-olah itu sesuatu yang buruk. Padahal, perempuan dan laki-laki bisa punya ambisi. Kenapa perempuan punya ambisi dan kompetitif dianggap enggak bagus? Itu sesuatu yang tertanam secara tak sadar sejak kecil,” ujar Dini Widiastuti, Direktur Yayasan Plan International Indonesia, dalam wawancara dengan Magdalene untuk podcast “How Women Lead”.

Peran Guru Hapus Stereotip Gender dalam Kepemimpinan Anak Perempuan

Sebagaimana orang tua, guru juga dapat mendorong kepemimpinan anak perempuan lewat berbagai contoh dan respons dalam keseharian.

Dalam tulisan bertajuk “How schools can encourage girls to be leaders – from day one” di situs Ark, Kepala Deputi bidang Pengajaran, Pembelajaran, dan Kurikulum di Ark Greenwich Free School, Inggris Laura Yandell menjabarkan hasil risetnya mengenai kepemimpinan di kalangan siswi. Salah satu hal menarik dari temuannya adalah pendapat para siswi yang merasa jarang menemukan perempuan pemimpin, terlebih sebagai kepala sekolah perempuan.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

“Ini mendorong mereka merasa bahwa menjadi pemimpin adalah suatu tantangan bagi perempuan dan akhirnya mereka berkecil hati untuk bisa seperti itu kelak,” tulis Yandell.

Tidak hanya di Inggris, situasi kepala sekolah perempuan yang lebih sedikit juga ditemukan di banyak negara lain termasuk Indonesia. Dalam studi yang dilakukan peneliti dari INOVASI, program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan hasil belajar siswa, meski kinerja guru perempuan mengungguli guru laki-laki, hanya 30 persen perempuan di SD dan 13 persen di madrasah yang menjabat kepala sekolah.

Mengubah representasi macam ini tentu tidak mudah dan sebentar. Namun, para pendidik di sekolah tetap dapat mendorong kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan lewat cara mereka berinteraksi dengan murid dan menyampaikan konten-konten pelajaran.

Dalam sebuah tulisan di Magdalene, seorang guru menceritakan pengalamannya melihat murid yang menerapkan stereotip gender dalam kesehariannya. Contohnya tentang anggapan anak laki-laki tidak boleh menangis. Alih-alih langsung menegur dan mencekoki muridnya dengan materi kesetaraan gender yang rumit, sang guru memilih pendekatan berdialog dengan bahasa yang mudah mereka terima. Ia menyatakan bahwa menangis adalah hal yang normal dan sehat bagi setiap orang sehingga menangis bagi laki-laki bukan pertanda ia lemah.

“Sebagai guru, saya percaya bahwa kita [para guru] punya peran penting dalam mendidik para murid di luar hal akademis. Bila hal-hal seksis seperti ini tetap dibiarkan, itu akan mendorong masalah lebih besar yang kita hadapi sekarang yakni patriarki,” tulisnya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Sementara terkait konten pelajaran, Niken dari Unpar mengatakan, kerap kali guru meneruskan materi berstereotip gender yang dibentuk masyarakat dan ini perlu direkonstruksi.

“Di sekolah dasar, misalnya, ditanamkan pola: ibulah yang pergi ke pasar sedangkan ayah pergi ke kantor. Pilihan jurusan di universitas atau kepanitiaan mahasiswa juga (biasanya perempuan menjadi seksi konsumsi sedangkan laki-laki di bagian logistik) tidak terlepas dari konstruksi masyarakat atas gender,” kata Niken.

“Karena gender merupakan konstruksi budaya, maka pandangan tentang gender yang bias harusnya bisa direkonstruksi. Di sinilah pendidikan berperan sangat besar untuk mengubah pola dan persepsi tersebut.”

Upaya lain yang dapat dilakukan guru hapus stereotip gender adalah dengan menyoroti kontribusi-kontribusi penting para perempuan di berbagai spektrum akademis, serta menyebutkan tokoh-tokoh perempuan pemimpin dari mancanegara yang patut jadi panutan. Dengan melakukan ini, para guru bisa membantu murid-muridnya mematahkan persepsi negatif tentang perempuan dan anak perempuan dalam kepemimpinan.

Selain itu, penting pula bagi guru untuk mengajak murid untuk mengkritik pola pikir kaku di sekolah serta menantang ekspektasi sosial yang meminggirkan peran perempuan di bidang-bidang tertentu. Yandell mencontohkan, dalam cerita tentang Marie Curie, ilmuwan peraih Nobel bidang Kimia dan Fisika, kerap digambarkan bahwa capaiannya adalah hal langka dan “tidak normal” didapatkan seorang perempuan.

“Perempuan panutan seperti Marie Curie yang dipelajari oleh para siswi dikenal sebagai pemberontak dan mereka mencapai sesuatu karena mereka tidak mengikuti ekspektasi sosial. Ini sangat berbeda dengan banyak pelajaran di sekolah yang sangat mendorong para murid untuk selalu mengikuti aturan dan ekspektasi sosial,” ungkap Yandell.

Read More

4 Cara Hadapi ‘Mansplaining’ dan Interupsi dari Rekan Kerja

Sudah sepuluh bulan ini kantor media tempat “Laura” bekerja menerapkan sistem kerja dari rumah (work from home/WFH). Sistem kerja tersebut membawa tantangan tersendiri baginya, bukan karena ia harus bekerja ganda, mengurus anaknya yang masih balita sambil melakukan tugas-tugas kantor, tetapi juga karena situasi kerja yang membuatnya tidak nyaman semakin menjadi.

“Setiap minggu ada meeting lewat Zoom yang dihadiri sepuluh orang termasuk bos saya. Di setiap meeting itu, saya merasa tidak diberi banyak kesempatan untuk bicara atau memberi ide,” ujar ibu satu anak berusia 29 tahun itu.

“Tapi sebetulnya ini juga sudah terjadi sebelum pandemi dan WFH, waktu masih kerja di kantor,” ia menambahkan.

Laura mengisahkan bagaimana setiap ia mulai berbicara, ada saja kolega laki-lakinya yang memotong. Kalaupun ia berhasil mengungkapkan pendapatnya, mereka sering kali mengkritik atau bahkan meremehkan Laura.

“Misalnya waktu saya mengajukan diri untuk meliput satu isu untuk artikel investigasi. Teman cowok ada yang berkomentar liputan itu akan berat banget untuk saya, apalagi karena saya punya anak,” kata karyawati media daring ini.

Laura merasa aktualisasi dirinya terhambat di kantornya yang didominasi laki-laki tersebut. Semakin lama, ia merasa semakin kecil hati bisa banyak berkontribusi dan diapresiasi di sana.

“Kelihatan sekali perbedaan perlakuan terhadap saya dan kolega laki-laki. Setiap bicara saya malah dipotong atau tidak didengar. Kelihatannya seolah-olah saya enggak kontribusi apa-apa di meeting,” ujar Laura.

“Sementara, teman yang cowok sering banget dipuji karena rajin memberi ide. Padahal, salah satu ide yang dia ajukan itu hasil obrolan saya sama dia.”

Sempat terpikirkan olehnya untuk pindah tempat kerja. Tapi, Laura ragu apakah di tempat kerja lainnya situasi yang akan ia hadapi berbeda dengan kantornya sekarang.

Perempuan Tidak Didengarkan di Tempat Kerja dan Dampaknya

Pengalaman Laura ini senada dengan temuan survei dari Catalyst, sebuah lembaga nonprofit yang mendukung kepemimpinan perempuan di Amerika Serikat, yang dikutip dalam artikel di situs World Economic Forum. Sebanyak 45 persen perempuan pemimpin bisnis mengatakan bahwa sulit bagi perempuan untuk bisa bicara di tengah meeting virtual.

Selain itu, riset Catalyst tersebut juga menemukan satu dari lima perempuan merasa diabaikan oleh koleganya saat melakukan panggilan video, dan tiga dari lima karyawati merasa prospek mendapat promosi bagi mereka semakin buruk saat bekerja jarak jauh.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Lebih sedikitnya kesempatan berbicara bagi perempuan di dunia profesional tidak lepas dari anggapan miring terkait perempuan yang vokal.

“Kami telah melihat hal itu terjadi lagi dan lagi. Ketika seorang perempuan berbicara di konteks profesional, dia berada di situasi rentan. Entah dia tidak akan didengar atau dia dinilai terlalu agresif. Waktu laki-laki melakukan hal yang sama, banyak orang yang mengapresiasi idenya,” demikian pendapat Chief Operating Officer Facebook dan pendiri LeanIn.Org, Sheryl Sandberg dan profesor sekolah bisnis, Adam Grant dalam artikel opini mereka di The New York Times. 

Sandberg dan Grant mengutip riset-riset yang temuannya menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit berbicara dan lebih sering diinterupsi, serta dicecar idenya oleh koleganya yang lain. Lebih lanjut, ada pula riset yang mereka sebutkan menyatakan bahwa sementara laki-laki yang berbicara dipandang 10 persen lebih kompeten, perempuan yang melakukan hal yang sama dinilai 14 persen kurang kompeten.

Mendorong Perempuan Lebih Didengarkan

Untuk mengubah situasi di kantor seperti ini, baik para pekerja perempuan maupun pihak pimpinan perusahaan perlu membuat inisiatif-inisiatif. Dari sisi pimpinan perusahaan, Sandberg dan Grant menyarankan supaya mereka lebih berfokus pada ide-ide yang diusulkan dibanding siapa yang mengusulkannya. Dengan begini, peluang bagi perempuan untuk berkontribusi akan menjadi lebih besar.

Kesadaran untuk membuka ruang bagi pekerja perempuan juga harus lebih ditingkatkan oleh para pemimpin perusahaan. Selain itu, mereka juga perlu menekankan bahwa dalam rapat, para anggotanya tidak diperkenankan untuk menginterupsi siapa pun yang sedang berbicara.

Mantan Presiden AS Barack Obama pernah melakukannya saat ia baru menjabat, membuat kesepakatan bersama timnya untuk memberi kesempatan lebih banyak pada perempuan untuk berbicara dan tidak menolerir ‘mansplaining’.

Dalam jangka panjang, menurut Sandberg dan Grant, strategi yang bisa dilakukan untuk memperbesar ruang bicara bagi perempuan adalah meningkatkan jumlah perempuan di posisi pimpinan. Meningkatnya jumlah perempuan di berbagai posisi pekerjaan pada akhirnya memungkinkan terciptanya normalisasi perempuan berbicara di tengah rapat atau diskusi.

Lantas, apa yang bisa perempuan lakukan untuk mengurangi tindakan laki-laki menginterupsi atau membungkam mereka dalam rapat?

1. Sadari bahwa kita sedang diinterupsi dan itu hal yang tidak benar

Sering kali perempuan tidak sadar bahwa kolega laki-lakinya, entah dengan sengaja atau tidak, menghentikan upaya mereka berkontribusi dengan menyela omongannya. Selain itu, budaya di masyarakat juga kerap menekankan perempuan untuk lebih bersikap mengalah atau pasif dibanding laki-laki.

Langkah pertama untuk membuka ruang bicara lebih lebar bagi perempuan adalah dengan menyadari hal ini. Alih-alih mengamini norma gender yang mendorong perempuan menjadi pasif, kita perlu mendobrak pemikiran tersebut dan terus berusaha mengemukakan gagasan-gagasan kita di tengah rapat.

Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan

2. Cara Hadapi Mansplaining Selanjutnya dengan Bersikap Lebih Asertif

Ketika kita diinterupsi oleh kolega laki-laki, kita tidak boleh lagi membiarkannya terjadi di kemudian hari. Konsultan pengembangan kepemimpinan dan penulis The Power of Presence and The Inspiration Code, Kristi Hedges menulis di Forbes, salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah dengan cepat menanggapi si kolega laki-laki begitu ada tanda dia menginterupsi.

Sebagai contoh, kita bisa mengatakan kepadanya, “Bambang, saya hargai pendapatmu dan saya bisa menangani ini”, “Izinkan saya melanjutkan dulu dan kalau masih ada pertanyaan atau tanggapan, kita bisa bicarakan nanti”, atau “Komentarmu membuat saya penasaran, apakah akan membantu bila kamu mengetahui latar belakang saya?”.

3. Maju terus, Abaikan Interupsinya

Penulis buku Feminist Fight Club: An Office Survival Manual (For a Sexist Workplace) Jesssica Bennet menyarankan kepada perempuan untuk tidak ragu meneruskan pembicaraannya ketika terlihat upaya menginterupsi dari laki-laki.

“Tugasmu adalah menjadi tetap kuat dan terus berbicara. Usahakan jeda yang kamu buat sesebentar mungkin. Jaga momentum kamu. Tidak peduli bila dia [kolega laki-laki] melambaikan tangannya, menaikkan suaranya, bergelagat gelisah di kursinya, lakukanlah yang perlu kamu lakukan. Pura-pura tuli saja kalau kamu harus demikian; itu berguna membantumu menyampaikan gagasan. Kuncinya adalah mencegah dia berbicara sembari kamu bertingkah seolah orang yang paling santai di ruangan itu,” tulis Bennet dalam artikel “How to win against manterrupter” di Business Chicks.

4. Dukung Sesama Perempuan Berbicara Cara Hadapi Mansplaining yang Tepat

Dalam tulisannya yang lain di Time, Bennet menyarankan agar kita tidak ragu untuk mendukung sesama perempuan bila ide yang dia berikan bagus. Dengan demikian, kita akan mendapat efek timbal balik yang positif di kemudian hari selagi menunjukkan diri sebagai pekerja dalam tim yang baik.

Seiring dengan itu, saat menyadari ada kolega perempuan yang diinterupsi, biasakan diri untuk berusaha menyetopnya. Entah dengan menyenggolnya saat rapat, memberi kode untuk tidak memotong, atau bahkan secara gamblang berkata, “Tunggu, biarkan dia [si perempuan yang sedang berbicara] selesai dulu,” atau “Saya mau mendengarkan apa yang mau disampaikan Jess”. Kata-kata yang bisa kita gunakan saat itu bisa bermacam-macam. Yang terpenting adalah tidak diam saja ketika melihat perempuan diinterupsi dalam rapat.

Read More

Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Dari berbagai sektor pekerjaan yang ada, pertambangan adalah salah satu sektor yang kerap diidentikkan dengan maskulinitas. Di berbagai negara, jumlah pekerja perempuan di sektor ini masih kalah jauh daripada laki-laki.

Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017, jumlah pekerja perempuan di sektor pertambangan sekitar 115 ribu orang, sementara laki-laki 1,28 juta orang. Sementara di sektor listrik, air, dan gas, hanya ada sekitar 46 ribu pekerja perempuan, sedangkan laki-laki sekitar 347 ribu orang. Kedua sektor ini merupakan sektor-sektor dengan jumlah pekerja perempuan terendah.

Dua tahun kemudian, dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2019, disebutkan bahwa jumlah pekerja perempuan di sektor tersebut hanya kurang dari 10 persen. 

Ketimpangan gender di sektor pertambangan tidak hanya terlihat dari segi jumlah. Dalam aspek upah pun, sebagaimana ditemukan dalam data BPS mengenai upah pekerja berdasarkan jenis kelamin dari semua sektor pekerjaan, perempuan menerima gaji yang lebih rendah dari laki-laki.

Berdasarkan data BPS per Februari 2019, rata-rata gaji yang diterima perempuan di sektor pertambangan dan penggalian ialah Rp4,26 juta, sementara laki-laki Rp5,12 juta. Ketimpangan serupa tampak di sektor pengadaan listrik dan gas, di mana perempuan hanya menerima gaji rata-rata Rp3,45 juta, sedangkan laki-laki Rp3,79 juta. 

Peran Tradisional dan Perempuan Pekerja Tambang

Peran gender yang melihat perempuan sebagai sosok yang lebih lemah dibanding laki-laki berpengaruh terhadap ketimpangan gender di sektor pertambangan. Dalam artikel bertajuk “Pengarusutamaan Gender di Industri Tambang di Indonesia” yang dipublikasikan Bank Dunia pada 6 Maret 2020, digambarkan ilustrasi kasus di mana pekerja perempuan dianggap tidak cocok melakukan pekerjaan fisik berat yang identik dengan industri pertambangan.

Baca juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Peran gender tradisional ini juga memengaruhi terjadinya bias dan diskriminasi gender dalam praktik perekrutan pekerja tambang. Berdasarkan laporan Responsible Mining Foundation (RMF) yang diluncurkan pada Mei 2019 terkait perempuan pekerja tambang, dinyatakan bahwa sejak lama perempuan dilarang bekerja di tambang bawah tanah dan baru-baru ini saja larangan itu dicabut. Contohnya, pada 2009 di Afrika Selatan dan 2019 di India.

Bias gender juga lah yang menyebabkan sedikitnya perempuan di posisi pemimpin di sektor pertambangan. Dalam tulisan Kassia Yanosek dkk. terkait hasil riset McKinsey tahun 2018 seputar perempuan di industri minyak dan gas di Amerika Serikat, disebutkan bahwa perempuan yang punya potensi tinggi atau setara kapasitasnya dengan laki-laki sering kali diabaikan dalam pengambilan keputusan perusahaan soal siapa yang menjadi pemimpin.

Selain itu, peran gender tradisional juga memberatkan perempuan dalam hal tanggung jawab mengurus rumah tangga yang akhirnya kerap berbenturan dengan karier. Yanosek dkk. mengungkapkan bahwa urusan keluarga menjadi faktor yang menghambat pekerja perempuan naik ke level atas perusahaan. Mereka menganalisis, tuntutan untuk bekerja di tempat jauh atau luar negeri dalam karier di sektor ini menjadi tantangan besar bagi perempuan.

“Dalam sebuah wawancara dengan satu CEO, kami mencatat bahwa pusat operasi industri minyak dan gas sering berada di tempat jauh atau terpelosok… Seorang mantan direktur berkata kepada kami, ‘Dalam perusahaan minyak dan gas global, kalau kamu tidak tinggal di luar negeri, kamu tidak bisa mencapai level tertentu,” tulis mereka. 

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Hasil riset McKinsey soal ketimpangan gender di posisi atas ini sejalan dengan temuan studi dalam laporan RMF. Hasil Responsible Mining Index (RMI) tahun 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar dari 30 perusahaan pertambangan berskala besar ternyata tidak atau hanya sedikit memiliki upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender pada tataran pimpinan dan manajemen. Skor rata-rata perusahaan-perusahaan tersebut hanya mencapai 4,5 persen dalam aspek penerapan intervensi untuk mendukung keberagaman dan inklusivitas di tingkat direksi dan manajemen senior.

Kerentanan Perempuan Pekerja Tambang

Pekerja perempuan di industri ini juga kerap mengalami perlakuan-perlakuan buruk yang menghambat performa kerja mereka. Dalam laporan tersebut, dikatakan bahwa ada perempuan-perempuan pejabat eksekutif pertambangan yang disisihkan, dikucilkan, atau dilecehkan pada awal perjalanan karier mereka. 

Sementara bagi pekerja perempuan di lapangan, kerentanan mereka alami karena berada di lingkungan kerja yang tidak aman. RMF mencatat, kebutuhan dasar untuk bekerja seperti alat pelindung diri serta fasilitas toilet dan kamar ganti yang aman bagi perempuan jarang tersedia. Hal ini diperparah dengan lingkungan remang-remang dan ruang gerak terbatas di bawah tanah yang meningkatkan risiko terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.

Menurut satu studi di Kanada tahun 2014, dalam lima tahun terakhir ada 40 persen perempuan pekerja di lokasi tambang yang mengalami pelecehan. Sementara dalam sebuah wawancara ABC pada 6 Maret 2020 dengan tiga perempuan Indonesia pekerja sektor pertambangan Australia Barat, kata-kata kasar menjadi tantangan yang sering mereka temukan dalam keseharian di lingkungan kerja mereka.   

Kondisi semacam ini pada akhirnya mendorong perusahaan-perusahaan tambang untuk membuat kebijakan sebagai upaya pencegahan pelecehan seksual. Namun dari segi implementasi, sayangnya 75 persen dari perusahaan yang disurvei tidak menunjukkan bukti upaya sistematis untuk mencegah hal tersebut.

Baca juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Inisiatif untuk Perubahan Bagi Perempuan Pekerja Tambang

Kendala-kendala yang dihadapi perempuan seperti ketimpangan gender di sektor pertambangan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab individu untuk diatasi. Kontribusi berbagai pihak diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan gender di sektor tersebut.

Beberapa contoh telah diperlihatkan berbagai perusahaan pertambangan sebagai inisiatif untuk melakukan perubahan. Misalnya, rencana perusahaan BHP untuk mencapai kesetaraan gender di seluruh perusahaannya pada 2025 dengan memberi bonus bagi staf paling senior yang mencapai target kenaikan jumlah staf perempuan sebesar 3 persen per tahun.

Ada juga inisiatif dari Goldcorp untuk membuat program pelatihan komprehensif bagi pekerja perempuan mereka. RMI 2018 juga mencatat bahwa perusahaan Newmont berupaya mencapai paritas gender di posisi manajemen senior pada 2030 dengan target minimal 30 persen perempuan menempati jabatan tersebut.

Menyikapi minimnya keamanan bagi pekerja perempuan di lapangan, Codelco, sebuah perusahaan tambang negara di Chile menetapkan panduan perusahaan tentang penyediaan kamar mandi, ruang ganti, dan perlengkapan keamanan kerja sesuai gender. Perusahaan itu juga menyediakan ruang laktasi bagi pekerja perempuan.

Inisiatif-inisiatif berbagai perusahaan tersebut seiring dengan hadirnya inisiatif kelompok pemangku kepentingan yang terdiri dari perwakilan beragam negara. Contohnya adalah Women’s Rights and Mining yang diprakarsai Kementerian Luar Negeri Belanda untuk mendukung hak perempuan di sektor pertambangan dan masyarakat yang terdampak di sekitar industri itu.

Ada juga inisiatif membentuk Me Too Mining Association pada 2018, seiring dengan gelombang besar kampanye #MeToo di Amerika Serikat sejak 2017. Asosiasi ini dibuat untuk memfasilitasi diskusi soal kekerasan dan pelecehan seksual, perundungan, serta diskriminasi di sektor pertambangan.

Read More

5 Perempuan Inspiratif di Bidang Energi dan Pertambangan

Meskipun dunia pertambangan sering diidentikkan dengan maskulinitas, semakin banyak perempuan Indonesia yang berani untuk terjun ke bidang tersebut. Jumlah mereka memang masih kalah jauh dibanding laki-laki: Hanya kurang dari 10 persen dari total pekerja di bidang tersebut menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019.

Namun segelintir perempuan tangguh berhasil meniti karier mereka di sektor ini selama bertahun-tahun hingga akhirnya bisa duduk di posisi atas. Ada juga dari mereka yang menginisiasi komunitas yang merangkul para perempuan yang bekerja di industri pertambangan.

Berikut ini beberapa profil perempuan inspiratif di bidang pertambangan yang kami rangkum.

1. Perempuan Inspiratif dalam Bidang Pertambangan: Retno Nartani

Alumni Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini telah terjun di bidang pertambangan selama lebih dari tiga dekade. Ia pernah menduduki beragam posisi di bidang tersebut, mulai dari engineer, superintendent, general manager, hingga direktur.

Sekarang, ia menjabat sebagai Direktur HSE Corporate di Sinar Mas Mining. Sebelumnya, perempuan inspiratif ini juga pernah menjadi direktur operasional di PT Borneo Indo Bara.

Retno Nartani, Corporate HSE Director PT. Golden Energy Mines Tbk. (Sumber: @sinarmas_mining)

Kiprah Retno di bidang pertambangan membuahkan penghargaan untuknya pada 2020 lalu sebagai Best Woman in Mining dalam ajang Temu Profesi Tahunan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) ke-29.

“Ini [bidang pertambangan] dunia laki-laki. Kita bisa kerja dan kita enggak manja. Ngerjain kerjaan laki-laki ya ngerjain, ngebor ya ngebor… Kita berusaha menjadi agent of change karena perempuan memegang kunci untuk generasi berikutnya,” kata Retno dalam sebuah video di kanal YouTube Sinar Mas Mining yang diunggah untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2019.

Baca juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

2. Febriany Eddy

Perempuan satu ini menuntaskan studi sarjananya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kemudian melanjutkan studi magister di National University of Singapore. Saat ini, Febriany menjabat sebagai Vice President Director/Deputy Chief Financial Officer di PT Vale Indonesia, Tbk. Ia sempat juga menjabat sebagai Chief Executive Officer di tempat yang sama.

Karier Febriany diawali dengan bekerja di sebuah kantor akuntan publik. Saat itu, ia mendapat kepercayaan untuk memegang klien dari industri energi dan pertambangan. Sejak itulah Febriany berkenalan dengan bidang tersebut hingga akhirnya melanjutkan kariernya di perusahaan pertambangan.

Vice President Director/Deputy Chief Financial Officer di PT Vale Indonesia, Tbk Febriany Eddy. (Sumber: Vale)

Nama Febriany tercatat sebagai salah satu dari dua perempuan Inspiratif Indonesia yang dinobatkan sebagai Asia’s Top Sustainability Superwomen 2019. Predikat ini diberikan oleh CSRWorks International, sebuah perusahaan konsultan berbasis di Singapura, kepada 27 pemimpin perempuan di Asia.

“Sebagai leader perempuan, saya punya visi untuk menyetarakan peluang karier di PT Vale. Bekerja di industri pertambangan yang didominasi oleh pria membuat penghargaan ini menjadi penting bagi leaders perempuan seperti saya,” ujar Febriany setelah menerima penghargaan seperti dikutip dari Antara Sultra (5/9/2019).

3. Rara Nastiti

Perempuan inspiratif yang akrab disapa Inez ini juga merupakan lulusan Teknik Pertambangan ITB. Ia kini menjabat sebagai Mining Engineering Department Head di PT Adaro Jasabara Indonesia. Inez juga menjadi Mining Manager di PT Bhakti Energi Persada.

Pengalaman kariernya di luar negeri antara lain sebagai senior mining consultant di AMEC, di Santiago de Chile, Perth, Australia, dan specialist mining engineer di Rio Tinto Iron Ore di kota yang sama.

Inez Rara Nastiti, Mining Engineering Department Head di PT Adaro Jasabara Indonesia. (Sumber: IA Tambang ITB)

Rekam jejak Inez di dunia pertambangan tidak hanya sebagai pekerja di suatu perusahaan. Inez bersama beberapa rekannya juga menginisiasi Women in Mining and Energy (WIME) Indonesia. Komunitas ini bertujuan untuk melahirkan berbagai kerja sama dengan perusahaan, pemerintah, dan pemegang kepentingan lainnya untuk mendukung pengarusutamaan gender di sektor energi dan pertambangan lewat edukasi.

Baca juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM

4. Meidawati

perempuan inspiratif Meidawati
Meidawati, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE). (Sumber: @pertamina)

Sejak 2018, Meidawati ditetapkan sebagai Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Perempuan ini merupakan lulusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya.

Meidawati pernah menjabat bermacam-macam posisi strategis di perusahaan, salah satunya sebagai vice president bagian perencanaan dan manajemen risiko PT Pertamina EP tahun 2011. Sebelum menjadi direktur utama PHE, Meidawati menjabat sebagai senior vice president Upstreaming Strategic Planning and Operation Evaluation PT Pertamina (Persero) sejak 2014.

Meidawati menambah daftar perempuan pemegang jabatan penting di Badan Usaha Milik Negara tersebut di samping Nicke Widyawati (direktur utama Pertamina sekarang), dan sebelumnya ada Karen Agustiawan di posisi serupa Nicke.

5. Perempuan Inspiratif: Frila Berlini Yaman

perempuan inspiratif Frila Berlini Yaman
Frila Berlini Yaman, presiden direktur di PT Bonum Amicitia Internasional. (Sumber: Geni.com)

Frila merupakan presiden direktur di PT Bonum Amicitia Internasional, sebuah perusahaan konsultan yang bergerak di bidang energi. Sebelumnya Frila pernah menjabat sebagai presiden direktur PT Medco E&P Indonesia pada 2011-2015. Frila juga sempat menjadi general manager business development di Shell Indonesia Exploration & Production dan menjabat sejumlah posisi strategis selama bekerja di beberapa cabang mancanegara perusahaan minyak British Petroleum.

Dilansir Katadata, saat Frila pertama bekerja di industri energi, yakni di Arco Indonesia tahun 1982, hanya ada dua engineer perempuan di perusahaan tersebut. Situasi kompetitif di perusahaan yang didominasi laki-laki tersebut menuntutnya untuk bekerja lebih keras dan membuktikan diri mampu menjalani pekerjaan di sana.    “Kesetaraan itu harus dimunculkan. Kalau tidak, perempuan tetap harus bekerja dua tiga kali lebih keras dari laki-laki untuk mendapat kesempatan dan gaji yang setara,” kata Frila.

Read More
tokoh perempuan indonesia

5 Tokoh Perempuan Pembuat Kebijakan di Sektor Ekonomi dan Keuangan

Di sektor ekonomi dan keuangan, kehadiran perempuan diperlukan. Tidak hanya untuk memenuhi kuota representasi dalam kerangka kesetaraan gender di tempat kerja, hal tersebut juga penting untuk membantu terwujudnya pemenuhan kepentingan banyak perempuan di bawah mereka atau yang mereka wakili.

Baca Juga: Tantangan Perempuan dalam Sektor Bisnis dan Pemerintahan

Ada sejumlah sosok perempuan Indonesia di posisi pembuat kebijakan yang punya catatan kontribusi positif terhadap nasib perempuan. Berikut ini beberapa tokoh perempuan Indonesia pembuat kebijakan pada sektor ekonomi serta keuangan. 

1. Sri Mulyani Indrawati

Sri Mulyani Indrawati

Nama satu ini kerap muncul pertama kali ketika kita berbicara soal sosok perempuan menonjol di bidang ekonomi dan keuangan. Betapa tidak, rekam jejak kariernya yang panjang serta penghargaan-penghargaan yang telah diterimanya tidak hanya membuat Sri Mulyani dikenal di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.

Sri Mulyani merupakan tokoh perempuan Indonesia yang sudah beberapa kali menjabat sebagai Menteri Keuangan—pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahan Joko Widodo. Kiprahnya di dunia internasional tercatat salah satunya sebagai Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia.

Menyadari isu kesetaraan gender bukan hanya isu sosial, melainkan juga ekonomi dan pembangunan negara, Sri Mulyani kerap mengangkat hal tersebut dalam kebijakan dan program-program yang dibuatnya. Sebagai contoh, di lingkungan Kementerian Keuangan tempatnya bertugas, telah diterapkan cuti ayah untuk menekan angka ibu yang keluar dari pekerjaan demi mengurus bayi.

“Untuk pembuat kebijakan, kita perlu membuat kebijakan yang sensitif terhadap kebutuhan perempuan terutama generasi muda yang baru saja menjalani kariernya. Contohnya cuti hamil atau cuti bagi ayah yang mengurus bayi,” jelas Sri Mulyani seperti dilansir Kontan (24/4/2019).

Sejak 2017, menteri keuangan ini telah meluncurkan program pembiayaan ultra mikro untuk menyokong aktivitas ekonomi masyarakat. Diwartakan Medcom.id, sampai Juli 2020, pembiayaan ini telah disalurkan ke 2,26 juta debitur dan 93 persen di antaranya adalah perempuan. Lebih lanjut, menyadari besarnya dampak pandemi khususnya bagi pengusaha perempuan, Sri Mulyani membuat kebijakan berupa penundaan pembayaran cicilan pokok bagi pelaku ultra mikro selama enam bulan dan subsidi bunga kredit.

Tidak hanya kepada perempuan pengusaha kecil, perhatian Sri Mulyani juga diarahkan kepada nasib para pekerja perempuan selama pandemi. Ia membuat kebijakan di lingkungan Kementerian Keuangan untuk tidak mengadakan rapat kementerian selama jam sekolah anak pada hari kerja. Terobosan tersebut dipilihnya demi meringankan beban pekerja perempuan yang kerap lebih berat dari pekerja laki-laki.

“Saya menginstruksikan ke tim saya, sekarang jika Anda membuat rapat, jangan lakukan itu pada waktu jam sekolah, karena mereka harus mengurus pekerjaan kantor dan anak,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip CNN Indonesia

2. Tokoh Perempuan Indonesia Inspiratif: Mari Elka Pangestu

Mari Elka Pangestu
Mari Elka Pangestu

Perempuan yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan (2004-2011) dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011-2014) ini punya rekam jejak panjang terkait karier dan prestasinya di bidang Ekonomi.

Sebelum berkarier, Mari meraih gelar Bachelor dan Master of Economics dari Australian National University. Ia kemudian melanjutkan studi doktoral bidang perdagangan internasional dan ekonomi makro di University of California, Davis.

Baca juga: 11 Pengusaha Perempuan Indonesia Sukses Membangun Bisnis Sendiri

Di bidang pendidikan dan penelitian, ekonom ini adalah profesor Ekonomi Internasional di Universitas Indonesia serta senior fellow di Center for Strategic and International Studies (CSIS). Mari juga menjadi asisten profesor di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew dan Sekolah Kebijakan Publik Crawford, Australian National University.

Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2013, Marie pernah mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana, sebuah penghargaan untuk orang yang memberikan layanan terbaik bagi negara. Pada tahun berikutnya, ia menerima penghargaan seumur hidup dalam bidang kepemimpinan dalam ajang World Chinese Forum di Cina.

Kiprah Mari di dunia internasional antara lain menjabat sebagai penasihat Komisi Global Geopolitik Transformasi Energi Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) di Abu Dhabi, Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penelitian Kebijakan Makanan Internasional di Washington DC, dan anggota Dewan International Chamber of Commerce di Paris. Terhitung Maret 2020, ia menjadi Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia, posisi yang pernah ditempati Sri Mulyani.

3. Armida Alisjahbana

Armida Alisjahbana
Armida Alisjahbana

Perempuan lulusan Universitas Indonesia jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan ini punya kepakaran di bidang Ekonomi Internasional. Ia ditunjuk PBB menjadi Sekretaris Eksekutif untuk Economic and Social Commission for Asia and The Pacific (ESCAP) sejak 2018.

Sebelum sampai ke posisi tersebut, Armida telah menduduki berbagai posisi penting sebagai pengambil kebijakan. Salah satunya adalah sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2009-2014.

Di tataran internasional, Armida pernah ditunjuk sebagai alternate governor untuk World Bank dan Asian Development Bank. Ia juga sempat terlibat dalam high level independent team advisors yang mendukung Economic and Social Council (ECOSOC) PBB untuk membahas agenda Pembangunan Berkelanjutan tahun 2030.

Armida yang menyelesaikan studi master di Northwestern University dan doktoral di University of Washington, Amerika Serikat, ini juga aktif di bidang akademik. Tahun 1996, ia terpilih menjadi Ketua Departemen Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Padjajaran. Pada 2005, ia dinobatkan menjadi guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis di universitas tersebut.

Sebagai akademisi, Armida pernah ditunjuk sebagai Ketua Tim 5 Universitas untuk mengkaji Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada 2006. Sejak 2015, ia terdaftar sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Seperti halnya Mari Elka, Armida juga pernah dianugerahi Bintang Mahaputra Adiprana dari pemerintah. Beberapa penghargaan lain yang pernah diterimanya di antaranya Anugerah Padjajaran Utama dari Rektor Universitas Padjajaran (2014), Leadership Award dari harian Seputar Indonesia (2011), dan Satyalancana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden Republik Indonesia (2008).

Baca juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

4. Evi Afiatin

Evi Afiatin
Evi Afiatin

Perempuan lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung ini tercatat sebagai Direktur Keuangan BPJS Ketenagakerjaan sejak 2017. Sebelumnya, ia dipercaya sebagai Direktur Pelayanan dan Kepatuhan di instansi yang sama. Sekarang ini, dirinya tengah mengikuti proses seleksi calon Direksi BPJS Kesehatan bersama 15 calon lainnya.

Memiliki gelar Master of Applied Finance dari Melbourne University Australia, Evi telah menjalani karier di bidang keuangan selama kurang lebih setngah abad. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Manajemen Risiko dan Kepatuhan di Bank Muamalat Indonesia pada 2014-2016. Ia juga pernah berkarier di bidang manajemen risiko di beberapa bank lain pada tahun-tahun sebelumnya.

Evi juga tergabung dalam beberapa organisasi seperti Chief Financial Officer (CFO) Club Indonesia sebagai sekretaris jenderal, dan Masyarakat Ekonomi Syariah di mana ia menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum I.   

Selama bekerja di BPJS Ketenagakerjaan, perempuan pemegang sertifikasi manajemen risiko dan charter financial analyst dari Harvard Business School ini berkontribusi dalam hal perbaikan proses bisnis di kantornya, khususnya terkait pembayaran iuran ataupun klaim. Pada 2019 silam, atas kiprahnya dalam memimpin dan membuat sejumlah inisiatif berkelanjutan, Evi diganjar penghargaan dari CSR Works International sebagai salah satu Asia’s Top Sustainability Superwomen dalam acara Asia Sustainability Reporting Summit di Singapura.

5. Tokoh Perempuan Indonesia: Destry Damayanti

Destry Damayanti
Destry Damayanti

Tokoh perempuan Indonesia selanjutnya merupakan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang ditunjuk sejak 2019. Ia menorehkan rekam jejak panjang di bidang ekonomi dan keuangan setelah menyabet gelar sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia dan Master of Science dari Cornell University, New York, Amerika Serikat.

Kariernya diawali sebagai peneliti di Harvard Institute for International Development pada 1989, serta peneliti di Institut Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1989-1990. Destry juga sempat menjadi peneliti Ekonomi di Pusat Antar Universitas sejak 1993 hingga 1995.

Mulai 1992 hingga 1997, ia bekerja di Badan Analisa Keuangan dan Moneter. Desrty juga pernah berkarier sebagai ekonom di beberapa bank seperti Citibank Indonesia dan Bank Mandiri.

Pada tahun 2002 sampai 2003, Destry sempat mendapat kepercayaan untuk menjabat Senior Economic Adviser Duta Besar Inggris untuk Indonesia.

Kapasitas Destry mengantarkannya ke berbagai posisi strategis di lembaga-lembaga pemerintahan. Sejak 2015, ia menjabat sebagai Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di sana, ia bertanggung jawab merumuskan dan menerapkan kebijakan serta melakukan pengawasan sesuai undang-undang LPS. Ia juga dipercaya menjadi Ketua Satuan Tugas Ekonomi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 2014-2015.

Read More
Kiprah Para Perempuan dalam Ekonomi dan Bisnis

Tantangan Perempuan dalam Sektor Bisnis dan Pemerintahan

Kendati dalam masyarakat Indonesia perempuan kerap dianggap sebagai pencari nafkah tambahan setelah laki-laki, sebagian dari mereka menunjukkan dirinya berdaya untuk menjadi setara atau bahkan memiliki pendapatan lebih tinggi lewat bisnisnya. Tidak sekadar untuk mencari uang, perempuan-perempuan yang terjun dalam dunia ekonomi dan bisnis juga memulai usaha untuk mewujudkan aktualisasi diri dan meningkatkan kemandirian finansialnya.

Imbas positif dari terjunnya perempuan dalam dunia ekonomi dan bisnis tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Orang-orang di sekitarnya mulai dari keluarga juga merasakan hasil pekerjaan mereka.

Menurut Nadia Sarah, pebisnis dan salah satu founder komunitas bisnis perempuan SheStarts.id, perempuan yang pandai berbisnis bisa menjadi panutan bagi anak-anaknya.

“Kalau dalam satu keluarga ibunya pandai berbisnis atau memiliki kemampuan, artinya ibunya punya suara dalam keluarga. Ini merupakan pendidikan buat anaknya bahwa perempuan juga sosok yang tangguh, punya posisi di rumah,” kata Nadia.

“Enggak usahlah sampai jadi CEO di bisnis besar, yang penting bisa menghasilkan uang sendiri, mandiri, dan percaya diri. Bisa ambil keputusan juga. Ini yang nanti akan ditularkan perempuan ke anak-anaknya,” tambah perempuan yang memiliki bisnis di bidang konsultasi manajemen dan sumber daya serta konsultasi pendidikan ini.

Selain itu, kiprah perempuan di sektor ekonomi dan bisnis berpengaruh pula pada negara.

“Partisipasi perempuan dalam ekonomi dapat memacu produktivitas dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, kita harus terus mendukung partisipasi perempuan dalam sektor ekonomi, salah satunya melalui kebijakan industri rumahan,” ujar Pribudiarta Nur Sitepu, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam acara The International South Pacific, Indonesia Enterpreneurship Camp pada Maret 2019.

Potensi dan Tantangan Perempuan dalam Berbisnis

Di sektor ekonomi, peran penting perempuan terlihat mulai dari level industri rumahan atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memang banyak dijalankan oleh perempuan. Dalam laporan berjudul “Women-owned SMEs in Indonesia: A Golden Opportunity for Local Financial Institutions” yang dibuat International Finance Corporation (2016), dikatakan bahwa di Indonesia, 51 persen usaha kecil dan 34 persen usaha menengah dimiliki oleh perempuan. Kelompok gender tersebut berkontribusi sebesar 9,1 persen dari total produk domestik bruto (GDP) negara ini.

Potensi perempuan dalam menyokong ekonomi tidak lepas dari karakteristik mereka. Menurut Sarah Diana Oktavia, pendiri usaha Roti Eneng, perempuan memiliki benefit berupa rasa empati yang tinggi dalam dirinya yang berpengaruh besar terhadap keberlangsungan bisnis.

Baca juga: Pelajaran Soal Kepemimpinan Perempuan dari Drakor ‘Start-Up’

“Itu modal yang oke banget untuk mencari insight dari pasar yang akan kita masuki. Waktu merintis usaha ini di awal, aku ngobrol sama banyak orang untuk tahu produk apa yang harus aku hasilkan nanti,” kata Diana dalam webinar bertajuk “Geliat Ekonomi UMKM Perempuan di Tengah Pandemi” (2/12), yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).

Potensi lain yang perempuan miliki adalah hadirnya inkubasi bisnis dan komunitas-komunitas yang menambah jejaring perempuan dalam menjalankan UMKM. Lewat mentoring dan proses belajar dan berjejaring yang dilakukan dalam komunitas, perempuan bisa meningkatkan kapasitasnya untuk mengembangkan bisnis.

“Di awal saya bangun usaha dengan teman-teman. Brainstorming dengan sesama pendiri dan belajar sama senior kuliah, silaturahmi ke mantan bos saya. Dalam bisnis kalau enggak ada networking, it will be painful,” kata Nadia.

Terkait mentoring, sebagian perempuan yang punya privilese lebih bisa menyewa jasa konsultan atau mentor. Tetapi bagi yang tidak punya, networking kembali lagi menjadi hal efektif untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kapasitas diri dalam bisnis, ujar Nadia. Banyaknya akses informasi terkait bisnis di dunia digital maupun lewat kenalan-kenalan di komunitas merupakan potensi yang perlu digali di tengah keterbatasan privilese tadi.

Dalam SheStarts.id, Nadia dan rekannya menekankan relasi sisterhood dalam memberi dukungan bagi sesama pebisnis perempuan. Tidak hanya menjadi wadah untuk berbagi cerita bisnis masing-masing, SheStarts.id juga dibuat sebagai wadah perempuan untuk berkonsultasi dengan sejumlah pengusaha dan banyak pihak lain yang membantu mereka mengembangkan bisnisnya.

“Kita perlu belajar dari siapa saja, bukan hanya dari yang berhasil, tetapi dari yang tidak berhasil juga,” imbuh Nadia.

Dalam menjalankan bisnis, lebih banyak tantangan yang mesti perempuan hadapi dibanding laki-laki. Salah satunya adalah pandangan negatif orang sekitarnya dan minimnya dukungan keluarga saat perempuan memutuskan membuka bisnis. Misalnya, anggapan perempuan tidak seharusnya berpendapatan lebih tinggi dari laki-laki, atau tidak lebih sibuk di urusan pekerjaan dan sebaiknya mengurus anak-anak saja.

“Tantangan memulai bisnis bagi perempuan paling banyak datang dari keluarga karena ada tuntutan peran ganda perempuan. Karena hal itu, sering kali perempuan kebingungan dalam hal time management antara bisnis dan keluarganya,” kata Nadia.

Peran laki-laki menjadi penting dalam mendukung perempuan di dunia ekonomi dan bisnis. Pribudiarta menyatakan, jika perempuan masuk ke ruang bisnis dan tidak didukung oleh laki-laki yang menjadi partnernya, besar kemungkinan usahanya akan mengalami kegagalan.

“Partisipasi laki-laki untuk perempuan telah menjadi suatu hal yang wajib, agar kesetaraan gender dapat terwujud dalam berbagai bidang,” kata Pribudiarta.

Sementara itu, menurut Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Tb. Fiki Satari dalam webinar serupa dengan yang dihadiri Diana, pandemi membawa kesulitan tersendiri bagi perempuan pelaku UMKM. Di antaranya adalah turunnya permintaan, berkurangnya likuiditas (kemampuan untuk membayar utang yang harus segera dibayar), minimnya kapasitas dan fasilitas digital, serta kurangnya sumber daya.

Masalah Keberanian dan Rasa Sungkan yang Besar

Tantangan lain kerap dihadapi perempuan saat mengembangkan bisnisnya dapat bersumber dari individu. Misalnya dalam hal meminjam modal, Nadia menilai bahwa hal ini dipengaruhi juga oleh keberanian perempuan dalam mengambil risiko.

“Dari segi kesempatan untuk mendapat modal dari perbankan, laki-laki dan perempuan sebenarnya sama. Kreditur atau investor membukanya sama. Tetapi, perempuan jarang yang risk taker, dia terlalu berhitung. Ah sudahlah, segini saja cukup,” jelas Nadia.

Padahal, kata Nadia, ada penelitian yang mengatakan bahwa kredit yang diberikan pada perempuan itu yang lebih lancar dibanding laki-laki. Dari segi risiko yang akan diambil pemberi kredit, risiko memberi kredit kepada perempuan sebenarnya cenderung lebih kecil.

“Perempuan di awal lebih tekun dalam memulai bisnis. Tapi masalahnya, ketika scale up usahanya, dia perlu modal, waktu dan pegawai lebih banyak, mereka cenderung berpikir lebih panjang. Laki-laki cenderung memulai usaha dengan skala dan risiko lebih besar dari awal,” ujar Nadia. 

Selain itu, sikap sungkan yang banyak sebagian perempuan pebisnis berpengaruh juga terhadap UMKM-nya. Misalnya, saat ia berelasi bisnis dengan keluarga atau teman-temannya.

“Rasa enggak enakannya perempuan harus dikurangi. Ia harus berani bilang tidak, berani mengatakan pemikirannya. Pada saat kita belajar menerima penolakan waktu mencoba menawarkan bisnis kita, kita juga belajar menolak,” tutur Nadia.

Tokoh-Tokoh Perempuan Sukses di Bidang Ekonomi dan Bisnis

Meski ada banyak tantangan bagi perempuan di dunia ekonomi dan bisnis, sebagian dari mereka berhasil mematahkan tantangan tersebut dan melesat dalam kariernya. Bahkan, kapasitas mereka sampai diakui oleh dunia internasional.

Beberapa nama pebisnis perempuan Indonesia yang disebutkan dalam Forbes 30 Under 30. Ada Fransiska Hadwidjana dengan bisnis aplikasi jual-beli barang bekasnya, Prelo, dan Laboratorium AugMi. Menyusul Eugenie Agus yang bersama kakaknya menjalankan bisnis puding Puyo dan telah memiliki 40 gerai di seluruh Indonesia. Lalu, ada Talita Setyadi dengan bisnis makanannya yang bernama Beau dan produknya telah masuk ke 100 kafe di Indonesia. 

Baca juga: Pelajaran Penting tentang Jadi Perempuan Berdaya dari Martha Tilaar

Di level pemerintahan, ada Sri Mulyani Indrawati yang punya rekam jejak kesuksesan yang panjang dalam menduduki posisi-posisi strategis, baik di pemerintahan maupun lembaga dunia.

Selain menjabat sebagai Menteri Keuangan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, Sri Mulyani juga pernah menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia. Belum lama ini, Sri Mulyani juga dinyatakan sebagai Menteri dengan kinerja terbaik pada masa pandemi oleh lembaga survei Indikator Politik Indonesia. 

Namanya kerap tercatat dalam daftar perempuan berpengaruh dunia versi Forbes. Media lain seperti Finance Asia, majalah keuangan dari Hong Kong pun menobatkannya sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik. Sejumlah penghargaan dari tataran internasional pun diraihnya seperti Statepersons Awards dari Asian Business Leadership Forum tahun 2019 dan Penghargaan Menteri Terbaik di Dunia (Best Minister in the World Award) dalam World Government Summit 2018.

Tahun ini, ekonom Mari Elka Pangestu menambah daftar perempuan Indonesia di bidang ekonomi yang menduduki jabatan di Bank Dunia. Sejak Maret 2020, ia bertugas sebagai Direktur Pelaksana, Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan di sana.

Seperti halnya Sri Mulyani, Mari juga pernah menjabat di pemerintahan yakni sebagai Menteri Perdagangan tahun 2004-2011, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2011-2014. Dirinya juga tercatat sebagai penasihat Komisi Global Geopolitik Transformasi Energi Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) di Abu Dhabi.

Mari juga berkiprah dalam bidang pendidikan sebagai profesor ekonomi internasional di Universitas Indonesia, serta menjadi asisten profesor di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew dan Sekolah Kebijakan Publik Crawford, Universitas Nasional Australia.

Read More

Stigma Negatif Perempuan Ambisius Hambat Perkembangan Karier Perempuan

Stigma negatif terhadap perempuan dengan ambisi masih melekat dalam masyarakat, bahkan di kalangan intelektual sekalipun. Dalam sebuah wawancara dengan Okezone pada 2015 silam, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, mengatakan bahwa perempuan Indonesia mesti memiliki sifat tertentu agar menjadi pebisnis atau pemimpin sukses, salah satunya sifat tenang.

Bagi Rhenald, ambisi yang terlalu besar pada perempuan justru akan menjadi bumerang dan membuat mereka kesulitan bekerja jika terlalu penuh ambisi. Di samping itu, Rhenald juga berpendapat bahwa seorang perempuan yang sukses harus berpikir bahwa dia bukan perempuan.

Pernyataan Rhenald itu mencerminkan perspektif masyarakat terhadap sifat-sifat yang dilekatkan pada perempuan. Masyarakat menganggap feminitas seorang perempuan berasosiasi dengan kesetiaan, rasa pemalu, sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan mendahulukannya dibanding kepentingan sendiri, tidak berbahasa kasar, dan lembut. Masyarakat juga masih lebih kuat melekatkan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan istri dibanding sebagai pekerja kendati telah berdekade-dekade perempuan terjun ke ranah publik sebagaimana laki-laki.

Konstruksi masyarakat seperti ini, menurut psikiater Anna Fels dari Cornell University di AS, berkontribusi terhadap bagaimana perempuan memandang sikap ambisius. Dalam artikelnya “Do Women Lack Ambition” di Harvard Business Review, Fels menulis bahwa sejumlah perempuan yang menjadi informan penelitiannya membenci kata “ambisi” karena memiliki asosiasi dengan sifat egois, membesar-besarkan diri, atau sifat manipulatif demi mencapai kepentingan pribadi. Padahal sejatinya, kata ambisi sendiri lebih bersifat netral, punya arti keinginan kuat untuk mencapai harapan atau cita-cita.

Demi memenuhi ekspektasi masyarakat akan feminitas dirinya, ujar Fels, tidak jarang perempuan memilih mengorbankan karier mereka, atau memilih pekerjaan yang memungkinkan dirinya tetap mengemban tanggung jawab rumah tangga dengan baik, terlepas dari keinginan mereka sebenarnya.

Baca juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Konotasi negatif kata ambisi bagi perempuan ini bisa terjadi berkat konstruksi dalam masyarakat yang tertanam sejak kecil.

“Kalau perempuan ambisius, seolah-olah itu sesuatu yang buruk. Padahal, perempuan dan laki-laki bisa punya ambisi, tetapi bagaimana kemudian cara mencapai ambisi itu. Kenapa perempuan punya ambisi dan kompetitif dianggap enggak bagus? Itu sesuatu yang tertanam secara tak sadar sejak kecil,” ujar Dini Widiastuti, Direktur Yayasan Plan International Indonesia, yang bergerak di bidang pemenuhan hak dan kesetaraan anak perempuan serta perempuan.

Ketakutan perempuan untuk dicap ambisius diperparah dengan adanya artikel dan buku yang menyebutkan perempuan pekerja yang benar-benar mengejar kariernya akan susah menikah, atau kalaupun menikah, akan sulit mempunyai dan mengurus anak.

Stigma Negatif Perempuan: Cap bossy dan bitchy

Selain membahas stigma negatif ambisi pada perempuan, Fels juga menyinggung riset yang menemukan perempuan lebih cenderung mau berkompetisi, menunjukkan ambisi, dan mencari afirmasi dari pihak sekitar di lingkungan sesama perempuan.

“Contohnya dalam konteks olahraga atau sekolah khusus perempuan. Mereka tidak ragu bersikap agresif mengejar pencapaian atau kesempurnaan dalam konteks itu dibanding ketika mereka berkompetisi dengan laki-laki,” tulis Fels.

Walau demikian, tantangan lain mesti dihadapi perempuan saat berkompetisi dengan sesamanya di tempat kerja. Stigma negatif lain adalah bahwa perempuan ambisius itu bitchy atau bossy.

Dini mengambil contoh dari pengalaman putrinya sendiri mengenai kepemimpinan perempuan, yang sempat dicap bossy oleh rekan-rekannya ketika bekerja.

“Setelah itu anak saya bilang, ‘Saya enggak mau lagi menggerakkan teman-teman’. Padahal, dia punya jiwa kepemimpinan,” ujarnya.

“Nah, kalau laki-laki bersikap seperti dia, dibilangnya ‘Wah ini nih calon pemimpin masa depan’ dan dianggap enggak bossy. Sementara, waktu perempuan bersikap detail sekali saat memimpin misalnya, orang-orang bilang, ‘Aduh, bitchy banget, sih’,” sambungnya.  

Stigma negatif terhadap perempuan ambisius membuat perempuan sering merendahkan kesuksesannya, mengatakan hal itu adalah ‘keberuntungan’ atau ‘takdir’.

Alasan keberuntungan untuk sebuah kesuksesan

Adanya stigma negatif perempuan ambisius tak pelak membuat sejumlah perempuan sering merendah saat disinggung soal kesuksesannya. Dalam buku See Jane Win: The Rimm Report on How 1.000 Girls Became Sucessful Women, Sylvia Rimm dkk. menyebutkan bahwa seorang senator perempuan berprestasi mengaku dirinya sukses berkat keberuntungan. Pernyataan serupa juga ditemukan dari banyak perempuan lain yang mereka amati. Selain keberuntungan, diksi lain yang dilekatkan pada kesuksesan mereka adalah “takdir”.

Dalam pengamatan Fels, kondisi yang dipotret dalam buku Rimm dkk. tersebut menyiratkan, baik di ranah publik maupun privat, perempuan kelas menengah cenderung mengalah atau mengorbankan beragam hal, termasuk pengakuan publik, dan memberikannya kepada orang lain. Hal ini menegaskan upaya perempuan-perempuan tersebut untuk menerapkan feminitas ideal menurut masyarakat.

Tak hanya merendah saat ditanyai orang lain, sebagian perempuan sukses juga punya kecenderungan menganggap kemampuannya lebih rendah dari yang dipandang orang-orang sekitarnya.

“Terlepas dari beragam pencapaian yang diperoleh para perempuan, khususnya di bidang akademik, bahkan melebihi laki-laki, mereka kerap meremehkan kemampuannya sendiri,” tulis Fels.

Posisi yang serbasalah

Di satu sisi, perempuan enggan dianggap ambisius karena adanya cap negatif yang disematkan masyarakat kepada mereka. Tetapi di lain sisi, ada konteks di mana mereka tidak mau dianggap tak seambisius laki-laki dalam pekerjaan.

Contohnya dalam sebuah riset di Kanada, di mana perempuan pekerja bisa mengambil cuti melahirkan sampai 18 bulan, disebutkan bahwa perempuan yang mengambil cuti itu lebih dari 12 bulan dipandang oleh manajernya kurang ambisius atau berdedikasi pada pekerjaannya. Hal ini mengkhawatirkan bagi perempuan-perempuan pekerja di Kanada karena anggapan kurang ambisius itu berpengaruh terhadap kariernya, terutama soal promosi kerja yang didasarkan pada penilaian terhadap kualitas karyawan.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Kondisi macam ini menjadi simalakama bagi perempuan karena tuntutan peran tradisional dalam masyarakat tidak bisa mereka lepaskan begitu saja. Sementara sistem pendukung di sekitar perempuan pekerja yang punya anak, entah keberadaan pengasuh atau tempat penitipan anak, keterlibatan suami atau anggota keluarga lainnya belum mumpuni, mereka harus berjibaku lebih keras di dua ranah dalam rangka aktualisasi dirinya di samping mencari nafkah.

Menanggapi kepelikan perempuan yang dianggap kurang ambisius dalam kariernya seperti ini, CEO Opal Communication, Kokok Dirgantoro mengatakan bahwa kebijakan perusahaan dan keterlibatan suami adalah hal krusial untuk mengatasi masalah tersebut. Di perusahaannya sendiri, ia telah menginisiasi cuti ayah selama satu bulan dan cuti ibu melahirkan selama enam bulan.

Berkaca dari kebijakan cuti ayah dan ibu yang diterapkan di Swedia, Kokok memandang hal tersebut baik diterapkan di sini untuk mendukung karier perempuan.

“Di Swedia, cuti ayah itu mandatory, bukan hak lagi. Harus diambil. Nah, saat mereka mengambil cuti itu, si perempuan bisa kembali kerja sementara si laki-laki di rumah. Jadi gantian, setelah perempuan habis masa cuti melahirkannya, laki-laki kemudian mengambil cuti untuk mengurus anak dan rumah,” kata Kokok.

“Jangan semua [pekerjaan domestik] dibebankan ke istri, lalu dibilang perempuannya enggak punya ambisi dalam pekerjaan. Ya punya, cuma harus gantian [mengambil cutinya] sekarang,” imbuhnya.

Sejalan dengan pendapat Kokok, Wakil Kepala Lembaga Penelitian Eijkman Herawati Sudoyo juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam kelangsungan karier perempuan.

“Setiap perempuan pekerja harus didukung. Tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam, dari nuclear family. Kalau tidak didukung di dalam, dia akan sulit berkarier,” kata Herawati.

Read More