pengusaha perempuan

Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Banyak orang menekuni profesi yang berbeda jauh dari latar belakang pendidikan formalnya, tak terkecuali seniman daur ulang Intan Anggita Pratiwie. Ia adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, yang kemudian meraih gelar master di bidang seni pertunjukan dari Institut Musik Daya Indonesia. Dunia daur ulang yang ditekuninya saat ini adalah passion sejak lama yang dipengaruhi oleh kegiatan kedua orang tuanya. 

brand setali indonesia

“Bapak saya refurbished mobil lama seperti baru lagi. Ibu saya melakukan vermak baju,” kata Intan melalui e-mail kepada Magdalene

Ketertarikannya terhadap isu pengurangan sampah fashion selalu didukung oleh sang suami, Aria Anggadwipa. Bersama Aria, Intan pernah mengadvokasi berbagai isu di Indonesia Timur, yang didokumentasikan di laman menujutimur.com (kini tidak aktif lagi). Untuk membiayai kegiatan tersebut, Intan mendirikan merek pakaian daur ulang Sight From The East, yang saat ini telah berubah nama menjadi Sight From The Earth.    

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

“Pada 2012, istilah sustainable fashion di Indonesia belum populer. Saat itu yang kami lakukan adalah mendaur ulang denim dan tenun,” ujar perempuan berusia 35 tahun ini.  

Salah satu kegiatan advokasi yang dilakukan Intan adalah mendampingi Papa Jo, seorang pegiat bank sampah dari Labuan Bajo, yang pada 2013 diundang oleh badan PBB untuk urusan lingkungan (UNEP) ke Workshop on Marine Litter di Okinawa, Jepang. 

Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Pada acara tersebut, Intan semakin memperluas wawasannya di isu keberlanjutan setelah berkenalan dengan aktivis pengelolaan sampah dari seluruh dunia. Lima tahun kemudian, dia berkontribusi dalam mendirikan Setali, sebuah yayasan yang bergerak di isu fashion berkelanjutan.  

“Saya diajak (penyanyi) Andien yang (saat itu) telah terlebih dahulu memiliki Salur Indonesia. Ada kemacetan bottle neck dalam mengelola barang donasi di Salur. Berhubung saya hobi mendaur ulang, akhirnya limbah fashion tersebut dikelola dan diperpanjang menjadi barang baru,” ujar Intan.  

“Kami akhirnya sepakat untuk mengubah misi menjadi lebih fokus di sustainable fashion dan mengganti nama menjadi Setali Indonesia,” ia menambahkan. 

Pada Oktober mendatang, Intan akan memamerkan karyanya di Paris Fashion Week. Kesuksesannya menembus salah satu pekan mode terbesar ini diraih setelah mendaftar di Fashion Division, melewati tahapan wawancara dan lainnya hingga kemudian terpilih.

Intan Membumikan Isu Sampah Fashion 

Intan Membumikan Isu Sampah Fashion

Industri mode adalah salah satu polutan terbesar di dunia. Menurut sebuah penelitian berjudul The environmental price of fast fashion yang diterbitkan oleh nature.com pada tahun 2020, industri ini menghasilkan 8-10 persen emisi karbondioksida global  (4-5 miliar ton per tahun). 

Industri ini juga menghabiskan banyak air (79 triliun liter per tahun), bertanggung jawab hampir 20 persen dari polusi air limbah seluruh industri setiap tahunnya, menyumbang 35 persen (190.000 ton per tahun) dari polusi mikroplastik di laut, dan menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah sangat besar (92 juta ton per tahun). 

Melihat begitu besarnya dampak sampah mode, Setali juga menerima sumbangan pakaian bekas, yang kemudian diperpanjang usianya dengan cara didaur ulang untuk dijadikan produk baru yang bernilai jual. 

Masyarakat yang ingin menyumbang harus menaati syarat-syarat yang telah ditetapkan. Misalnya, jika seseorang ingin mendonasikan kain atau pakaian tidak layak pakai, dia harus mengguntingnya untuk dijadikan perca agar lebih mudah didaur ulang. Kendati demikian, ada kalanya penyumbang melanggar ketentuan tersebut. 

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

“Banyak pula yang membuang sampah seperti boneka yang sudah tidak berbentuk lagi. Lalu, (untuk mengatasi hal ini), kami minta orang-orang mengirim foto terlebih dahulu, tapi tetap saja cara itu tidak efektif. Akhirnya, kami menjadikan (layanan ini) langganan berbayar supaya dapat mengelolanya lebih baik dan berkelanjutan,” ujar pebisnis perempuan ini.  

Mengurangi limbah fashion adalah kerja kolektif yang memerlukan kontribusi banyak pihak. Selain mengolah sampah pakaian hasil sumbangan ke Setali bersama rekan-rekannya sesama seniman daur ulang, Intan juga menjalin kerja sama dengan pihak lainnya untuk memfasilitasi agar masyarakat dapat menaruh pakaian bekas di kotak-kotak yang disediakan di tempat-tempat tertentu. 

Pebisnis Perempuan Intan Anggita Pratiwie

“Kami sempat bekerja sama dengan Carsome (tempat jual beli mobil bekas), Kirei Wash and Beyond (laundry ramah lingkungan), dan Ease (sebuah merek lokal yang menerapkan prinsip sustainable fashion) cabang Plaza Indonesia, tetapi ini hanya proyek sementara. Sekarang dropbox hanya ada di Subo Jakarta, tempat workshop upcycle kami, dan terbatas untuk pelanggan Subo saja,” tutur Intan. 

Intan mengakui bahwa hal paling sulit dari kegiatannya adalah mengedukasi masyarakat dalam memilah-milah dan memanfaatkan kembali pakaian bekas. Meskipun demikian, dia juga berpendapat bahwa kesadaran masyarakat sudah terbentuk. Untuk itu, komunitasnya tak pernah lelah memberikan edukasi mengenai apa pun yang bisa dilakukan untuk mengurangi limbah dan memperpanjang usia pakaian. 

“Kami menyebarkan (informasi) melalui media sosial, meminta tolong influencer untuk terlibat, dan membuat acara workshop yang menarik. Anak-anak muda lebih tertarik dengan sesuatu yang menyenangkan, berbeda, dan kreatif. Kami juga mengajak masyarakat untuk bisa mendaur ulang secara mandiri dengan memberikan kelas dasar upcycling melalui workshop,” tuturnya. 

Baca Juga: Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Limbah fashion berdampak serius pada lingkungan sehingga pemerintah perlu menaruh perhatian secara sungguh-sungguh. Intan berpendapat, hal yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan penanganan secara lebih holistik. 

“Pemerintah perlu menjadikan ini sebagai suatu kebijakan, yaitu melarang  masyarakat membuang limbah fashion. Berikan mereka pilihan dengan mempercayakan pengelolaan sampah kepada lembaga seperti kami, menjual kembali ke e-commerce atau menyalurkan kepada yang membutuhkan,” katanya. 

Read More
Dian Eka Purnama Sari Pengusaha Perempuan

Dian Eka Purnama Sari: Perempuan Pengusaha yang Lawan Stereotip

Dian Eka Purnama Sari adalah perempuan pengusaha berusia muda yang kini sedang sibuk mengembangkan sebuah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) miliknya, yang sebelumnya masih dikelola oleh kedua orang tuanya.

Alih-alih memilih banyaknya alternatif pekerjaan yang ditawarkan kota-kota besar bagi lulusan universitas seperti dia, perempuan 23 tahun itu malah mengambil jalan berliku penuh tantangan di lingkaran ekonomi dengan spektrum lokal, yakni di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam semangat yang dibawanya, Dian ingin memulai terobosan digital dari pelaku UMKM, yang menurutnya tidak banyak dilakoni oleh pengusaha Lombok. 

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

Ketergantungan para pelaku UMKM pada acara-acara kerajinan yang diselenggarakan pemerintah–dan kini agak sepi karena pandemi–membuat banyak UMKM perlu memutar otak dalam bertahan di situasi penuh kemungkinan ini. Tak jarang, Dian harus terjebak dalam perdebatan dengan orang tuanya yang masih menganggap pasar digital belum hal yang sekarang mesti disentuh.

Pengusaha Perempuan Di Balik Brand Ketak Nusantara

Pengusaha Perempuan Di Balik Brand Ketak Nusantara

Dian adalah sosok yang pengusaha muda yang kritis meski terkadang cenderung “gegabah.” Ia pun akhirnya tetap memasuki pasar digital dengan Ketak Nusantara, sebuah brand UMKM yang mengembangkan karya-karya fashion dan berbagai furniture dengan bahan dasar rumput alam bernama Ketak. Berbeda dengan rotan–meski keduanya masuk dalam kategori tanaman paku-pakuan, ketak lebih kuat dan tahan lama. Bila rotan akan mudah lapuk setelah terkena air, ketak justru sebaliknya—akan semakin kuat dan antik seiring perjalanan usianya.

Dalam semangatnya, Dian tak sekadar ingin karyanya dibeli. Lebih daripada itu, ia ingin memosisikan karyanya sebagai simbol perjuangan, terutama bagi para korban perundungan dan terkhusus para perempuan yang sering kali berada pada level terancam.

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

“Saya tidak ingin sekadar karya saya dibeli, lantas sudah, apa lagi? Ada hal yang ingin saya kampanyekan, yakni betapa pentingnya mental yang sehat, dan betapa pentingnya perempuan yang independen,” ujar Dian, yang lulus dari Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung jurusan Tenaga Penyuluh Lapangan itu.

Menurut Dian, nasib karya-karya UMKM dan posisi perempuan memiliki kesamaan. Selama ini, setidaknya dalam ukuran pengalamannya, karya-karya UMKM sering kali dipandang sebagai karya-karya yang kolot, serta sulit berinovasi dan beradaptasi dengan modernitas. Sekadar kerajinan yang tak memuat unsur estetik. Semacam ada aturan tak tertulis di lingkungan konsumen industri kreatif modern bahwa karya UMKM jauh dari kebutuhan zaman. Hal ini mengakibatkan UMKM bergerak di tempat yang “itu-itu melulu”.

Merespons stereotip ini, Dian melakukan riset secara mandiri, demi mengembangkan inovasi dan konsep yang melampaui anggapan-anggapan itu. Bukan sekadar karya yang dibutuhkan zaman, ia pun secara selektif memilih bentuk karya yang akan dianyamnya–begitu juga serta filosofinya. Metode riset yang diterapkan Dian pun terbilang sederhana dan unik. Ia mengajak perempuan-perempuan yang pernah menjadi korban perundungan karena ekspresi fashion-nya dianggap buruk. Perempuan-perempuan itu diberikan ruang untuk berpendapat, dan dari pendapat merekalah, Dian mengembangkan berbagai konsep.

Salah satu karya yang dibuatnya diberi nama Katana, yakni pedang tradisional di Jepang, Dian mengembangkan sebuah konsep pada karyanya yang menghasilkan tas dengan pola melengkung pada sudut-sudutnya. Pedang katana di Jepang merupakan simbol untuk memperjuangkan keadilan, juga digunakan oleh perempuan-perempuan Jepang zaman dulu untuk melindungi dirinya saat sedang terjebak dalam situasi yang berbahaya.

Sosok Dian Eka Purnama Sari yang Peduli Dengan Isu Gender dan Kesehatan Mental

Dian berharap, Katana buatannya dapat memiliki arti filosofi yang sama dengan yang ada di Jepang; menjadi simbol keadilan, terutama bagi perempuan yang sering kali menjadi korban perundungan lingkungan patriarki yang membatasi ekspresi fashion bagi setiap gender. Dian ingin Katana bisa menjadi milik siapa saja, dan berekspresi dengan bagaimana saja.

Selain isu gender, pebisnis perempuan ini pun mengampanyekan persoalan kesehatan mental yang menurutnya tak kalah penting. Menurut Dian, kebanyakan orang yang memiliki gangguan kesehatan mental adalah perempuan. 

“Saya mengatakan ini bukan tanpa alasan, saya pernah berada di posisi itu. Saya berhasil lepas karena memang saya merasa sudah lelah, dukungan dari lingkungan yang sehat itu memang penting. Walaupun saat ini banyak yang meremehkan dan menganggap gerakan yang berkutat pada gerakan kesehatan mental atau pun gender sudah seperti polusi,” tegasnya.

Baca Juga: GOLD ISMIA Bantu Perempuan Penambang Emas Kurangi Risiko Penggunaan Merkuri

Pengusaha perempuan muda ini yang ternyata dulunya pernah menjadi seorang santri di sebuah pondok di Lombok, memahami betul semua situasi yang dihadapinya. Dian, dari apa yang diketahuinya di masa lalu, dan apa yang didapatkannya di masa sekarang, memberikannya semacam modal pengetahuan penting. Ia berhasil memformulasikan bagaimana seharusnya gerakan gender dalam industri fashion dihadirkan. Mengingat selama ini industri fashion dianggap sebagai penyumbang terbesar standar kecantikan.

Dian, di tengah ketabuan posisi perempuan dalam lingkungan ekonomi, kini sedang berhadapan dengan tantangan yang begitu besar. Di satu sisi ia berdiri sebagai pelaku UMKM, di sisi lain ia bergerak sebagai penyemangat bagi korban perundungan dan perempuan-perempuan yang membutuhkan kesetaraan. Dian bukan sekadar perempuan pengusaha, ia adalah orang yang terus bergerak melawan stereotip. Betapa pun sulit membayangkan konskuensinya. 

“Sekali dayung, dua-tiga pulau harus dilewati,” pungkasnya.

Read More
pebisnis perempuan grace tahir

Pebisnis Perempuan Grace Tahir dan Passion di Bidang Kesehatan

Mengawali karier sebagai direktur di Siloam Healthcare, Grace Tahir juga memiliki ketertarikan dalam bidang teknologi digital. Sejak 2012, anak kedua dari Dato Sri Tahir, pendiri dari grup bisnis Mayapada, ini juga mengabdikan dirinya di Rumah Sakit Mayapada.

Kecintaannya pada sektor kesehatan, terlihat dari bagaimana Grace konsisten mengembangkan inovasi-inovasi dalam dunia kesehatan. Di umur 37 tahun, ia mulai mengembangkan bisnisnya sendiri di bidang teknologi dengan membuat sebuah aplikasi Blackberry bernama Bibby Cam. Walaupun saat itu Blackberry bersaing ketat dan mulai kalah pamor dengan iPhone, Bibby Cam tetap banyak digemari para pengguna Blackberry.

Baca Juga: Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Setelah proyek tersebut, Grace yang memang memiliki latar belakang  bisnis kesehatan pun mendirikan dua startup bernama Dokter.id dan Medico. Dokter.id merupakan sebut platform untuk masyarakat yang menyediakan konsultasi dokter gratis lewat chat dan berita. Sementara itu, Medico bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit dan klinik untuk meningkatkan pelayanan kesehatan mereka.

Pemimpin Perempuan Berintegritas

Sebagai seorang pemimpin juga seorang ibu dari tiga anak perempuan, ada banyak tantangan yang dihadapi oleh Grace. Dalam wawancaranya bersama Angin (Angel Investor), ia mengatakan bahwa meskipun sudah berada pada posisi puncak, sering kali Grace menghadapi situasi-situasi di mana hanya ia saja yang seorang perempuan.

Di berbagai meeting Grace sering kali melihat jumlah laki-laki lebih besar daripada jumlah perempuan. Ketika ia menghadapi situasi tersebut, Grace mengatakan selalu ada persepsi bahwa bidang ini akan didominasi oleh laki-laki. Walaupun demikian, atmosfer tersebut tidak membuat Grace gentar. Ia mengatakan, masih banyak laki-laki yang memperlakukan perempuan dengan baik.

Baca Juga: Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Menjadi seorang pemimpin bagi Grace harus mengutamakan integritas. Sebagai seorang perempuan pemimpin, Grace selalu membuka mata dan telinga terhadap masukan-masukan dari karyawan juga rekan kerjanya. Ia mengatakan, dengan cara ini, seorang pemimpin dapat melihat berbagai sudut pandang yang mungkin belum terpikirkan

Grace Tahir Ingin Memajukan Kesehatan Indonesia

Kecintaannya pada dunia kesehatan juga terlihat dari bagaimana ia bercita-cita untuk memajukan pelayanan kesehatan di Indonesia.  Dalam wawancara bersama Femina, ia mengakui tantangan yang ia hadapi cukup besar agar hak kesehatan dapat diakses oleh semua orang. Sebagai seorang pemimpin, ia harus memutar otak dan berstrategi untuk meningkatkan efisiensi, serta memperbaiki perawatan preventif, dan ia  percaya salah satu yang dapat mendorong itu lebih baik dengan memperbaharui teknologinya.

Bukan Hanya Sekadar Penerus Bisnis Keluarga Tahir

Sebagai anak dari pengusaha besar di Indonesia, Grace mengakui bahwa dirinya sering kali diremehkan oleh orang-orang di sekitarnya. Walaupun begitu, ia tetap berusaha untuk menjadi lebih baik. Ayahnya, Dato Sri Tahir, merupakan salah satu inspirasinya untuk berjuang. Ia mengatakan selalu mengambil hal-hal positif dari ayahnya salah satunya dalam hal bekerja keras. Maka dari itu, ia tetap bersikap rendah hati, terus bertanya, serta selalu mendengarkan pendapat karyawannya, untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.

Baca Juga: Catherine Hindra Sutjahyo Sukses Berbisnis Karena Menjawab Kebutuhan Konsumen

Ia selalu menekankan, untuk menjadi yang terbaik di bidang apapun baik di dalam kesehatan maupun di luar bidang ini, Kita jangan mudah puas dengan keahlian kita saat ini, ujarnya. Selalu tingkatkan keahlian kita agar tidak tertinggal oleh perubahan-perubahan di bidang yang kita tekuni.

Grace Tahir Mengajarkan Anaknya Mandiri

Dalam wawancara bersama Femina, sebagai seorang pengusaha perempuan juga ibu, Grace mengakui bahwa ada beragam tantangan yang ia hadapi. Ia selalu mengalokasikan malam hari serta waktu akhir pekan untuk keluarga, khususnya anak-anaknya. Akibatnya, memang ada hal-hal yang ia lewatkan yang mungkin saja bisa menguntungkan. Di kantor pun juga demikian, dikarenakan jadwal kantor, ia terkadang harus melewati acara-acara sekolah anaknya.

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

Dalam mendidik ketiga putrinya, Grace selalu mengajarkan mereka untuk bersikap mandiri. Ia mengatakan bahwa ketiga putrinya harus bisa bekerja untuk diri sendiri juga untuk keluarganya. Selain itu, ia juga menuturkan bahwa mereka harus memilih pekerjaan yang dapat membuat mereka bahagia.

Read More
pengusaha perempuan sukses Susi Pudjiastuti

Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

Terkenal dengan pembawaanya yang tegas dan komentar-komentar kritisnya terhadap pemerintah, perempuan yang memiliki nama lengkap Susi Pudjiastuti ini dikenal masyarakat sejak ia diberi mandat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) pada periode lalu.

Susi lahir di Pangandaran, Jawa Barat, pada 15 Januari 1965. Ia mengawali kariernya sebagai pengusaha perempuan pada tahun 1983 sebagai distributor makanan laut. Dari situ, bisnisnya pun berkembang dan pada tahun 1996 meluncurkan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan nama produk “Susi Brand”. Ia juga mulai mengembangkan sayapnya di Asia dan Amerika.

Permintaan yang semakin besar atas produk PT ASI Pudjiastuti menimbulkan kebutuhan untuk transportasi udara  untuk distribusi. Pada tahun 2004, Susi mengakuisisi pesaat Cessna 208 Caravan dan mendirikan PT ASI Pudjiastuti Aviation. Pesawat Cessna tersebut diberi nama Susi Air. Pesawat ini digunakan Susi untuk distribusi makanan laut segar ke Jakarta, serta Singapura, Hong Kong, dan Jepang.

Susi Pudjiastuti Membantu Korban Tsunami Aceh 2004

Ketika gempa dahsyat dan tsunami menghantam Aceh tahun 2004, Susi Air yang saat itu hanya terdiri dari dua pesawat Cessna Caravan, menjadi salah satu penanggap pertama yang mendistribusikan makanan untuk korban di daerah terpencil. Dalam wawancaranya bersama The Jakarta Post, Susi mengatakan bahwa saat itu ia memutuskan untuk masuk ke Aceh walaupun asuransi pesawatnya tidak mencakup provinsi tersebut.

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

Meski demikian, Susi tetap mendorong orang-orang untuk mengasuransikan pesawatnya. Akhirnya Susi Air mendapat asuransi dan menjadi pesawat pertama yang mendarat di Meulaboh dan Simeleu. Setelah dua minggu memberikan jasa secara gratis, ketika meninggalkan Aceh, LSM asing pun menyewa pesawat Susi Air selama setahun. Sejak saat itu Susi semakin fokus untuk mengembangkan bisnis penerbangannya, karena ia menyadari betapa pentingnya transportasi ini apalagi untuk lalu lintas ke daerah terpencil.

Kebijakan yang Berani Sebagai Menteri KKP

Pada tahun 2014, Susi mendapatkan mandat dari Presiden Joko Widodo untuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP). Sepanjang menjabat sebagai Menteri KKP pada periode 2014-2019, Susi banyak membuat gebrakan yang berani, salah satunya adalah ia tidak segan-segan menghancurkan kapal-kapal nelayan ilegal yang berlayar di laut Indonesia. Ketika ia menjabat, sebanyak 10.000 kapal nelayan ilegal dari luar Indonesia sudah hengkang dari perairan Indonesia. Sejak 2013 hingga 2017, berkat kebijakannya, persediaan ikan meningkat lebih dari dua kali lipat.

Baca Juga: Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Kebijakan-kebijakan tersebut tidak hanya berani tetapi juga memberikan efek kejut bagi banyak pihak. Akibat kebijakannya yang super tegas tersebut, Susi pernah mendapatkan ancaman dari orang tidak dikenal perihal kebijakan ekspor kepiting bertelur. Ia pun tak gentar dengan ancaman tersebut, karena menurutnya kebijakan ini akan akan menambah  populasi kepiting dan membawa keuntungan pada nelayan serta penambak.

Dipertanyakan Kredibilitasnya Hanya Karena Lulusan SMA

Ketika ditunjuk sebagai Menteri KKP, banyak pihak yang meremehkan Susi akibat dari latar belakang pendidikannya yang tidak lulus SMA.  Dalam salah satu wawancara dengan media, Susi tidak mempermasalahkan pihak-pihak yang meremehkan latar belakangnya, ia mengatakan, “Just go through and do it!”

Baca Juga: Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Di tahun 2015, ia pun mulai mengambil pendidikan Paket C yang setara dengan ijazah SMA. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai Menteri, Susi dengan tekun menjalankan pendidikannya dan tidak malu dengan kondisi tersebut. Pada 2018, Susi dinyatakan lulus Paket C dengan nilai total 429.

Seorang Susi Pudjiastuti Diremehkan Karena Penampilan

Selain latar belakang pendidikannya, Susi juga sering diremehkan dan dicemooh karena penampilannya yang dianggap urakan dan juga bertato. Beberapa kali orang mencemooh Susi dengan kata preman hanya karena ia merokok dan bertato. Walaupun sering dicemooh dan diremehkan karena penampilannya, Susi tetap tidak gentar dan terus bekerja dengan baik sebagai Menteri KKP pada periode lalu.

Read More
diajeng lestari seorang pengusaha muslimah sukses

Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Jika kamu seorang hijabers, mungkin kamu sudah tidak asing lagi dengan brand  e-ccomerce muslimah HIJUP. Merek ini didirikan oleh seorang pengusaha muslimah, Diajeng Lestari yang sudah penat dan jenuh menjadi seorang karyawan. Keinginannya membangun e-commerce ini juga didukung oleh sang suami, Achmad Zaky, yang juga pendiri dari Bukalapak.

Baca Juga: Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Kecintaannya dalam dunia usaha tidak serta-merta datang begitu saja. Lingkungan Diajeng yang memang sangat dekat dengan dunia usaha, bisa dilihat dari bagaimana ibu Diajeng yang sering mengajaknya untuk berjualan dan berkunjung ke bazaar-bazaar. Diajeng yang memang tertarik dengan dunia kreatif sejak kecil, sudah mengikuti langkah orang tuanya, dan iseng-iseng menjual kerajinan tangan kepada teman-temannya ketika ia berada di sekolah dasar.

Di saat keluarganya mengalami kesulitan ekonomi, Diajeng pun berusaha membantu keuangan orang tuanya dengan cara berjualan kue, hijab, hingga menjadi guru les privat bahkan bekerja lepas sebagai pewawancara.

Terinspirasi dari Kehidupan Sehari-hari

Selain sudah penat dengan keseharian sebagai pekerja kantoran, alasan lain Diajeng membangun HIJUP dilandaskan pada pengalamannya sehari-hari sebagai seorang hijaber. Dikutip dari dari media Bisnis.com, Diajeng mengatakan ia kesulitan memilih hijab dan pakaian yang cocok untuk menyesuaikan berbagai situasi.

“Dari situ, saya pun membangun ­e-commerce dengan cita-cita menawarkan beragam pilihan baju muslimah dan hijab untuk berbagai situasi,” ujarnya pada bisnis.com

Membangun HIJUP dari Nol

Di tahun 2011, dengan dukungan dan bantuan sang suami, Ajeng pun memulai brand HIJUP yang khusus menjual busana-busana muslimah. Diajeng, yang lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, ini menghadapi banyak sekali tantangan di awal merintis HIJUP. Saat memulai, ia bekerja hanya berdua dengan satu petugas administrasi, dan harus merangkap beragam pekerjaan.

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

Tantangan lainnya juga muncul ketika ia harus mencari investor untuk HIJUP. Ia teringat sekali saat itu ia  membawa anaknya untuk bertemu investor. Saat investor tersebut melihat Diajeng dengan anaknya, si investor urung menanamkan modalnya untuk HIJUP karena Diajeng yang sudah memiliki anak. Mungkin ini terdengar seperti lelucon, tetapi hal ini merupakan fakta yang kerap terjadi pada pengusaha perempuan saat ingin mencari modal.

Namun, lewat kegigihan perempuan yang akrab disapa Ajeng ini, HIJUP akhirnya mendapatkan investor dan perlahan-lahan membawa HIJUP menjadi brand fesyen muslimah besar di Indonesia.

Keberhasilan Diajeng Lestari Sampai ke London Modest Fashion Week

Keberhasilan Diajeng tidak hanya dicapai di Indonesia saja, tapi sudah menembus pasar dunia. HIJUP telah banyak merangkul banyak mitra di tingkat Indonesia hingga Asia Tenggara, yaitu Malaysia. Nama brand HIJUP pun semakin dikenal ketika 2018 lalu melenggang di panggung London Modest Fashion Week.

Dalam pagelaran busana tersebut, HIJUP menggandeng lima desainer muslimah ternama yaitu, Dian Pelangi, Ria Miranda, Aidijiuma, Vivi Zubaedi, dan Jenahara yang diberi tajuk HIJUP PROFOUND.

Baca Juga: Catherine Hindra Sutjahyo Sukses Berbisnis Karena Menjawab Kebutuhan Konsumen

London Modest Fasihion Week adalah pagelaran pertama  yang memiliki tujuan untuk  memperkenalkan  produk fesyen yang peruntukannya untuk perempuan berjilbab.

HIJUP Tengah Mengembangkan Produk Sustainable

Dalam wawancaranya bersama dengan CNBC Indonesia awal tahun lalu, Diajeng mengatakan bahwa saat ini HIJUP membuat beberapa produk pakaian muslimah yang ramah lingkungan bernama “Infreenity” yang terbuat dari serat tencel.

Baca Juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

“Kita ingin memperkenalkan bahwa busana muslimah ini juga bisa loh mengikuti perkembangan produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ujarnya.

Tips Kembangkan Bisnis Ala Diajeng Lestari

Selama 10 tahun menjalankan bisnis fesyen muslimah, banyak pelajaran yang diambil oleh Diajeng untuk  tetap berkelanjutan dan berkembang. Salah satu yang menjadi tantangannya adalah  brand lokal masih  bersaing dengan banjirnya produk dari luar Indonesia dengan harga yang murah.

“Kami selalu mengutamakan produk yang bagus, kreatif, dan harga yang terjangkau. Untuk mencapai hal ini, kami selalu berusaha meningkatkan  efisiensi value chain mulai dari bahan mentah hingga menjadi produknya,” ujar Diajeng pada CNBC Indonesia.

Baca Juga: Tantangan Perempuan dalam Sektor Bisnis dan Pemerintahan

Dari kaca mata Diajeng, saat ini persaingan antara fesyen muslimah di Indonesia sendiri sudah sangat bagus dan ekosistem pasarnya sendiri sudah sangat terbangun.

“Tren fesyen muslimah di Indonesia itu sangat beragam, dari modest hingga yang stylish banget. dan masing-masing memiliki ciri khas dan fans masing-masing. Tren di Indonesia tidak selalu  didikte oleh tren di luar negeri,”

Read More

Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Menjadi pengusaha perempuan di dunia yang maskulin ini memang tidak pernah mudah. Ada saja tantangan dan hambatan yang datang, baik dari dalam maupun luar lingkungan kita sendiri. Hal itu juga dihadapi oleh Martha Tilaar, pendiri perusahaan kosmetik dan berbagai layanan kecantikan Martha Tilaar Group.

Martha merintis usahanya dari nol, memulai dari modal yang sedikit, dengan menyulap garasi rumahnya. Meski ia lulusan akademi kecantikan di Amerika Serikat, yang dijalaninya ketika mengikuti suami, akademisi H.R. Tilaar, melanjutkan studi, jalan ketika pulang ke tanah air tidak mudah.

Martha, yang lahir pada 1937 dengan nama Martha Handana, mengatakan bahwa cara pandang, sistem, dan budaya di masyarakat terkait perempuan sering kali menyandung langkah mereka dalam berkarier. 

“Dulu kalau mau utang ke bank itu perempuan enggak boleh. Susah. Mereka tidak percaya. Makanya saya ke Singapura. Di Indonesia justru aneh, ya. Perempuan enggak boleh usaha sekuat tenaga. Padahal ada prestasinya. Ada income, bisa nyicil,” katanya saat diwawancarai Magdalene awal tahun ini.

Ia menambahkan, “Kita harus mandiri dan punya keterampilan untuk bisa berdiri sendiri. Jangan minta-minta.”

Perjalanan dan capaian kariernya tidak membuat Martha berhenti pada keinginan untuk membuat produk dan layanan kecantikan demi profit semata. Ia juga bertekad memberdayakan perempuan dan mengajarkan esensi kemandirian finansial sebagai sebuah hal penting yang bisa menyelamatkan mereka. Kata Martha, salah satu tujuannya adalah untuk mencegah perdagangan perempuan.

 “Saya tergerak dari kisah hidup kenalan saya di Hong Kong. Dia hidup dengan HIV. Waktu kecil, dia dijual ke germo-germo oleh ibu-bapaknya untuk menghidupi adik-adiknya. Itu yang melukai hati saya. Jadi perempuan enggak ada hak sama sekali untuk ngomong,” ujar Martha.

Martha meyakini bahwa pendidikan adalah jawabannya. Karena itu, pada tahun 1990-an, Martha mendirikan sebuah sekolah kecantikan di bilangan Kuta, Bali, dan mencari murid dari berbagai daerah di Indonesia.

“Semua [biaya pendidikan] gratis. Kita makan bareng-bareng, kerja bareng-bareng. Alumninya sudah 6.000 orang lebih. Ikatan dinas selama tiga tahun [bekerja di Martha Tilaar Group], setelah itu bebas mau lanjut atau buka usaha sendiri. Tujuannya supaya mereka punya keterampilan,” ujarnya.

Pada usia 83 tahun, Martha masih aktif berkegiatan, baik di dunia bisnis maupun melukis. Berikut kutipan obrolan Devi Asmarani dan Hera Diani dari Magdalene dengan Martha Tilaar, didampingi Head of Corporate Communication Martha Tilaar Group, Palupi Candrarini, awal tahun ini.

Simak juga episode podcast How Women Lead bersama Martha Tilaar dan putrinya Wulan Tilaar.

Magdalene: Bagaimana awal mula Ibu berpikir untuk menekuni bidang kecantikan?

Martha Tilaar: Pikiran kita, kita itu termasuk saya, itu enggak beres. Sebab berpikirnya, everything from the West is the best. Waktu saya sekolah di sekolah Belanda, pandangannya kalau you inlander, you underdeveloped. Waktu sekolah di Amerika juga. Sedih sekali saya. Pada saat itu, saya melihat kecantikan selalu yang mahal-mahal. Padahal belum tentu cocok buat kita. Jadi, saya kepingin identitasnya kecantikan Indonesia. Waktu saya pertama-tama cari buku, satu pun buku tentang kecantikan Indonesia, jamu-jamu, itu enggak ada di Indonesia. Kalau di luar negeri itu banyak.

Baca juga: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Akhirnya, eyang saya bilang, “Ya udah, kamu pergi aja ke dukun-dukun beranak. Biar kamu belajar langsung dari mereka.” Bagaimana setelah melahirkan biar lancar susu (ASI), slimming, pake parem (campuran herbal), pilis (campuran herbal yang ditempel di dahi),.

Tapi, teman-teman saya yang mengenal saya pada bilang, “Waduh, Martha Tilaar itu orang gila. Baru dari Amerika, dia kepingin belajar dari dukun-dukun. Dia kepingin cepet kaya. Kamu jangan ke salon dia. Nanti kamu dipelet.” Jadi, selalu negatif begitu.

Apa yang membuat Ibu ingin fokus pada dunia kecantikan khusus perempuan Indonesia dan dengan memanfaatkan bahan-bahan dari Indonesia?

Saya dapat shock therapy waktu saya kuliah di Amerika. Karena berpikir yang dari Barat itu paling bagus, jadi make up ludruk (seni drama tradisional dari Jawa Timur), wayang, itu dianggap kampungan. Padahal, itu justru value-nya besar. Seorang guru saya dulu bilang, “Martha, your end paper must be about the indigenous make-up from your country.” Kaget saya. Saya enggak tahu apa-apa.

Itulah kesalahan kita semua. (Budaya Indonesia) dianggap kampungan. Akhirnya, seorang teman saya dari Jepang menawarkan saya buat menulis tentang geisha. Saya sudah senang, berpikir tugas saya bagus tentang geisha itu. Tapi guru saya bilang, “Martha, you are from Indonesia. Why you wrote your paper in Japanese way?” Duh, saya bingung.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Akhirnya saya jujur, saya bilang, “Because I don’t know about my culture.” Dia bilang, “Shame on you. As an Indonesian you don’t know about your culture.” Dari situ, barulah saya sadar. Ya Tuhan, kalau pulang nanti, saya akan melestarikan budaya saya dalam bidang kecantikan. 

Setelah pulang ke Indonesia, bagaimana Ibu mulai merintisnya?

Waktu saya bilang saya punya mimpi besar mempercantik perempuan Indonesia, bapak saya mengumpulkan saudara-saudara saya untuk meminjamkan uang. Dari situ jadilah salon berukuran 4×6 meter di garasi rumah. Sekitar tahun 1970-an.

Apa tantangan yang Ibu hadapi saat merintis salon itu?

Terus terang, karena saya ke dukun, banyak yang tidak mau datang. Orang-orang kita kan kayak gitu. Jealous, gosip, selalu gosip. Saya sedih sekali. Tapi, saya lihat kiri kanan. Saya berinovasi. Harus kreatif. Kebetulan rumah saya dekat dengan Kedutaan Besar Polandia, jadi saya punya ide. Saya tawarkan bisnis saya. Saya bilang, “I’m an American-licensed beautician, would like to serve you from top to toe, for hair, facial, manicure, pedicure, lotion, massage. So, please call me, Dra. Martha Tilaar.

Saya punya kesempatan karena yang bisa bahasa Inggris sedikit waktu itu. Saya tidak akan lupa customer pertama saya itu istri duta besar Amerika. Dia provokator, mempromosikan usaha saya ke mana-mana. Jadi, dari situ dalam sekejap ramai sekali.

Saya bilang ke bapak saya, bagaimana kalau selain di garasi, rumahnya juga dijadikan salon? (sambil tertawa). Bapak saya selalu bilang, kamu boleh dream big, tapi start small and act fast. Kalau hanya ngomong, enggak jadi-jadi kan percuma. Kamu harus mulai dari dirimu sendiri. Jangan menyalahkan orang lain.

“Waktu saya bicara di World Islamic Economic Forum, banyak orang bilang, “No! Istri harus turut suami!” Saya sudah takut, tapi suami saya kalem saja karena dia enggak minder.” 

Agak ironis karena pelanggan pertamanya orang asing. Kapan pelanggan mulai switch jadi orang-orang Indonesia?

Iya. Dari situ mulai Ibu Moh. Hatta, Ibu Fatmawati Soekarno…

Palupi: Ibu Umar Wirahadikusumah juga.

Martha Tilaar: Iya. Kemudian Ibu Adam Malik. Nah, di situ problemnya. Kalau mereka janjinya jam delapan, datangnya jam sembilan. Saya kan sendiri. Akhirnya pembantu saya waktu itu saya sekolahkan (untuk membantu di salon).

Dengan menyekolahkan pembantu-pembantu Ibu, Ibu memang ingin memberdayakan perempuan?

Iya, betul. Harus educated biar dia enggak kesusahan. Harus punya keterampilan. 

Bagaimana dari salon itu kemudian jadi perusahaan sebesar sekarang?

Setelah salon, saya mendirikan sekolah (kecantikan) dulu.

Palupi: Namanya Puspita Martha.

Martha Tilaar: Karena it’s very important. Kalau kita mau mandiri, empower the women, is through education. Di situ pembantu-pembantu disekolahkan. Saya juga kumpulin waria-waria. Mereka itu talented. Diajarin, dia mau, ya udah.

Palupi: Jadi Ibu tuh inklusif sekali. Semua Ibu ajarin, waria, difabel. Itu tumbuh karena Ibu kan kuliahnya soal sejarah, bukan manajemen. Itu naluri seorang perempuan jadi entrepreneur. Dari mendirikan salon, sekolah, terus produk, salonnya terus bertambah. 

Ibu sudah membuat kosmetik untuk kulit sawo matang dari dulu. Padahal brand lain, termasuk di Amerika, baru melakukannya sekarang-sekarang ini. Apa yang membuat Ibu melakukan itu?

Konsisten, karena saya mau menciptakan the Asian color for Asian skin. Setiap tren warna Sariayu saya hubungkan dengan culture. Karena ini, pada tahun 2018, saya dipanggil ke New York (acara Intercolor, sebuah lembaga independen yang mewakili asosiasi nasional untuk pemain global dalam industri kosmetik, otomotif, tekstil, fashion, dan desain produk) sebagai pencipta Asian colors. Warna-warna yang belum ada di kosmetik lain, ada di sini.

Palupi: Ibu memulai tren warna pertama kali tahun 1987. Masih terbayang janjinya untuk beautifying Indonesia, makanya dia mau memberi identitas pada perempuan Timur. Makanya menciptakan warna yang berhubungan dengan budayanya.

Baca juga: Perempuan Wirausaha Butuh Dukungan, Kerja Sama di Tengah Pandemi

Ibu pernah mengalami disebut sibuk ngurusin bisnis jadi enggak ngurusin keluarga?

Iya, mengalami. Tapi, saya mempunyai seorang suami yang luar biasa. Jadi, kalau saya lagi sibuk, “Pah, tolong ya ambil rapor anak-anak.” Dia mau. Terus nanti dia cerita, “Eh, kamu tahu enggak. Aku satu-satunya laki-taki loh, tadi. Semua perempuan cantik-cantik.” Tukang goda, dia tuh. Lucu orangnya. Terus saya bilang, “Ya udah, nikmatilah ciptaan Tuhan.”

Setelah pensiun, suami saya bilang dia mau melamar jadi karyawan di perusahaan saya. Saya tanya, sebagai apa? Katanya, sebagai turis. Turis itu “turut istri”.

Waktu saya di World Islamic Economic Forum di Kazakhstan, setelah saya bicara turis turut istri, ada orang Malaysia, Brunei, dan Singapura bilang, “No! Istri harus turut suami!” Bener loh, itu terjadi. Saya sudah takut, tapi suami saya kalem saja karena dia enggak minder. 

Read More