Berasal dari keluarga yang tidak mampu yang memiliki enam anak, Soewarni Pringgodigdo sudah menunjukkan ketertarikan dengan isu sosial politik sejak dini. Lahir pada 31 Maret 1910 di Bogor, Soewarni pada usia 12 tahun sudah membaca buku karya Multatuli (Douwes Dekker) yang berisi tentang keserakahan Belanda serta kejahatan pemerintah kolonial yang terjadi di pertengahan abad 19.
Menginjak remaja kemudian berperan di organisasi perempuan Jong Jawa, dan selanjutnya memimpin Putri Indonesia, sayap keputrian lembaga Pemuda Indonesia pada 1926. Dari sana ia mulai senang membaca buku-buku mengenai hak pilih, feminisme, dan sosialisme. Soewarni juga sangat senang dengan ideologi dari tokoh perempuan pencetus gerakan sosial asal Amerika, seperti Charlotte Perkins Stetson.
Pada tahun 1931, ia menikah dengan pegawai Departemen Statistik bernama AK Pringgodigdo, yang kemudian menjabag sebagai pemimpin Kantor Pusat Perencanaan.
Pada 1947, Suwarni Pringgodigdo masuk ke dalam jajaran anggota Dewan Pertimbangan Agung RI di Yogyakarta. Lalu ia bergabung dalam parlemen sementara pada tahun 1950 sampai dengan 1955.
Ia pun berperan di Partai Sosialis Indonesia. Pada tahun 1959, rumah tangga yang ia bangun bersama Pringgodigdo kandas dan mereka memutuskan untuk berpisah.
Soewarni Pringgodigdo Mengkritik Soekarno dan Menentang Poligami
Soewarni adalah salah satu nama pahlawan perempuan Jawa yang keras dan tidak pernah ragu dalam menyampaikan pendapatnya. Ia selalu tegas saat menuntut perubahan serta kemerdekaan, termasuk soal hak dan kemerdekaan perempuan di dalam pernikahan.
Soewarni termasuk yang bersuara keras pada kongres Pemuda Indonesia tahun1927 di Bandung. Kongres yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir itu diwarnai berdebatan antara Soekarno dengan Soewarni Pringgodigdo, yang merupakan ketua organisasi Putri Indonesia pada waktu itu.
Soewarni mengkritik gaya pidato Sukarno yang senang menggabungkan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia-Melayu. Padahal lewat kesepakatan sebelumnya, setiap perundingan atau rapat pemuda harus memakai bahasa Indonesia-Melayu sebagai pengantar. Ia juga memprotes gaya Soekarno yang selalu meninggikan serta membesar-besarkan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang masih baru pada waktu itu.
Kritik Soewarni pada satu titik membuat Soekarno tidak bisa berkutik, sebelum ia membentak perempuan berusia 17 tahun dalam bahasa Belanda. Semua peserta rapat pun langsung tegang.
Sjahrir, sebagai pemimpin kongres, memukul meja dengan palu. Meski berusia lebih muda sembilan tahun dibandingkan Soekarno, ia dengan gamblang meminta seniornya untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar untuk perempuan Indonesia.
Soekarno terkejut atas aksi keras Sjahrir kepada dirinya. Ia kemudian meminta maaf kepada seluruh peserta kongres, khususnya kepada Soewarni Pringgodigdo.
Beberapa tahun kemudian, Soewarni juga menolak keras hasil kongres Aisyiyah pada Maret 1932 yang mendukung poligami dengan alasan bisa mengurangi pelacuran. Menurut Soewarni, pernikahan monogami akan menciptakan harmoni karena istri tidak akan bersaing dengan perempuan lain dalam sebuah rumah tangga.
Ibu Berdaya Ala Soewarni
Pada tanggal 22/03/1930, Soewarni merombak perkumpulan Putri Indonesia yang kemudian menjadi Isteri Sedar. Organisasi ini dibentuk untuk memberdayakan perempuan yang masih terbelenggu nilai-nilai tradisional supaya tidak merasa lebih rendah dari laki-laki.
Perkumpulan buatan Soewarni ini banyak mendapatkan kritik karena dianggap melanggar norma hidup orang Jawa. Kelompok tradisional sangat menentang karena kedekatan ideoloagi Isteri Sedar dengan pandangan Barat. Karena sangat menolak poligami, Isteri Sedar juga mendapatkan tentangan dari organisasi dan kelompok Islam.
Sebagaimana yang tertulis dalam anggaran dasarnya, organisasi Isteri Sedar berpondasi pada perasaan nasionalisme yang tinggi. Meskipun tidak pernah terjun ke dalam politik secara langsung, Isteri Sedar diketahui sering memberi dukungan kepada partai-partai pecahan PNI seperti Partai Indonesia (Partindo) dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1954, Isteri Sedar mengubah kebijakan organisasinya dan mengganti namanya menjadi Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Pada tahun keduanya, Gerwani berhubungan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjadi lembaga perempuan yang punya hubungan paling baik dengan pemerintahan Soekarno.
Polemik antara Soewarni dengan Soekarno pada zaman itu tak mengganggu hubungan keduanya. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, Soekarno bertemu secara empat mata dengan Soewarni dan memintanya untuk mengumpulkan tokoh-tokoh perempuan dalam ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan.
Soewarni lalu diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dari bulan September tahun 1945 sampai dengan bulan Desember tahun 1949.
Maria Ulfah Santoso adalah salah satu contoh bagaimana feminisme itu sudah ada di Indonesia sejak Indonesia belum terbentuk, alih-alih sebuah produk impor dari Barat sebagaimana diyakin banyak pihak. Aktivis hak perempuan dan politisi itu memiliki buah pikiran penting bagi perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ia pintar dan kritis serta berdaya juang tinggi, berkontribusi besar pada pergerakan nasional.
Lahir pada 18 Agustus 1911 di Serang, Banten, Maria yang bernama lengkap Hajjah Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo itu merupakan perempuan Indonesia pertama yang memiliki gelar bidang hukum, sekaligus perempuan Indonesia pertama yang menjadi anggota kabinet.
Berlawanan dengan keinginan sang ayah, R.A.A. M. Achmad, seorang bupati Kuningan yang berada, Maria Ulfah tidak mengambil pendidikan dokter. Ia lebih memilih ilmu hukum karena khawatir melihat nasib kurang baik perempuan saat menghadapi perceraian.
Saat Maria Ulfah Santoso bersama keluarganya berkunjung ke Belanda pada tahun 1920-an, ia memutuskan untuk masuk ke Fakultas Hukum Universitas Leiden. Saat berkuliah Maria tinggal di rumah keluarga Belanda dan menetap bersama Siti Soendari, yang merupakan adik bungsu Soetomo, dokter dan kemudian menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Empat tahun berlalu, Maria Ulfah Santoso berhasil menjadi perempuan Indonesia pertama yang berhasil mendapatkan gelar meester in de rechten (Mr) atau sarjana hukum. Ia lulus di usianya 22 tahun dan langsung kembali ke Indonesia. Pernah bekerja di wilayah Cirebon sebagai pegawai honorer dan dikontrak selama enam bulan di Cirebon.
Sosok Maria Ulfah yang Belajar dari Sjahrir
Maria Ulfah pertama kali bertemu dengan Sutan Sjahrir di Belanda pada tahun 1930. Waktu itu, Maria diundang oleh dokter Djoehana yang merupakan saudara dari Sjahrir.
Meski kontak mereka hanya sebentar karena Sjahrir harus kembali ke Indonesia lebih dahulu tugas dari Bung Hatta, Maria Ulfah mendapat pelajaran banyak dari Sjahrir. Setelah Maria kembali ke tanah air pada tahun 1933, ia dan Sjahrir tidak bisa langsung bertemu karena Sjahrir ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Cipinang.
Kontribusi Maria Ulfah Santoso
Maria Ulfah Santoso memiliki jasa besar bagi pergerakan nasional. Pada tahun 1934, ia mulai bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Muhammadiyah dan Pergerakan Rakyat. Ia juga sangat giat membangun kursus untuk menghilangkan tingkat buta huruf di kalangan ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban.
Kontribusinya buat berjuang mendapatkan hak kaum perempuan dimulai saat ia ikut Konferensi Perempuan Indonesia II tahun 1935 di Jakarta, yang waktu itu masih bernama Batavia. Setelah konferensi tersebut, Maria Ulfa Santoso diminta memimpin Biro Konsultasi yang membawahi isu perkawinan, terutama membantu perempuan-perempuan yang memiliki masalah dalam perkawinannya.
Peran Ulfah pada Zaman Jepang
Pada zaman penjajahan Jepang, Maria Ulfah memutuskan untuk bekerja di Departemen Kehakiman atau shikoku.
Pada saat itu, Maria Ulfah masuk ke dalam Majelis Pertimbangan yang dibuat oleh tentara Jepang pada tanggal 16 April 1943 dan dikepalai oleh empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh Hatta, Kyai Haji Mas Mansyur, serta Ki Hajar Dewantara.
Maria Ulfah juga diminta oleh Prof. Soepomo untuk bekerja di Departemen Kehakiman dari 1942 sampai dengan 1945. Maria Ulfah bertugas untuk menerjemahkan undang-undang serta peraturan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Inggris.
Waktu itu, semua kegiatan masyarakat berfokus untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Tercatat juga kaum perempuan terlibat dalam organisasi Fujinkai. Fujinkai dibuat pada Agustus 1943 dan berkiprah di seluruh bidang sosial yang menyokong Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Kiprah Maria Ulfah Santoso Menjelang Proklamasi
Saat menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia, Maria Ulfa Santoso bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sukses memasukkan Pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian.
BPUPKI merupakan kumpulan dari orang-orang yang memberikan gagasan mengenai pembentukan negara Republik Indonesia. Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, keadaan berubah dengan munculnya pasukan sekutu yang bertugas untuk melakukan komunikasi dengan Pemerintah Indonesia yang sudah terbentuk pada 18/8/1945.
Namun, menurut kelompok pimpinan Soekarno serta Moh Hatta merupakan figur bentukan Jepang hingga tidak mau berdiskusi dengan mereka.
Setelah Indonesia merdeka dan para pemimpin giat membenahi pemerintahan, Sutan Sjahrir menunjuk Maria Ulfah Santoso menjadi “liaision officer“, yang merupakan penghubung antara pemerintahan Republik Indonesia dengan Sekutu.
Maria Ulfah sampai pada puncak karier berpolitik di Indonesia saat Sutan Sjahrir memilihnya menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II dan III. Waktu ia menjabat sebagai menteri sosial itulah Maria mengeluarkan Maklumat Kementerian Sosial mengenai Hari Buruh.
Pada tanggal 19 Agustus 1947 sampai dengan September 1962, ia menjadi Sekretaris Perdana Menteri dan Sekretaris Dewan Menteri yang selanjutnya jabatan tersebut diubah menjadi Direktur Kabinet RI.
Dari tahun 1950 sampai dengan 1961 Maria Ulfah Santoso mengemban jabatan sebagai Ketua Sekretariat Kongres Wanita Indonesia.
Dedikasi dan perjuangannya dalam memenuhi hak-hak kaum perempuan, apalagi dalam hukum keluarga dan perkawinan yang diwujudkan pada waktu Pemerintah RI mengesahkan UU No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2/01/1974.
Maria Ulfah Santoso juga merupakan tokoh dan pahlawan perempuan Indonesia yang melawan poligami. Ia selalu mendorong perempuan untuk lebih maju dan berani berekspresi dalam mengeluarkan idenya dan pandangan kebangsaan yang lebih luas.
Ada banyak sekali nama pahlawan perempuan Indonesia yang telah berjasa memperjuangkan nasib negara ini. Tapi, yang jauh lebih banyak diperkenalkan, baik di instansi pendidikan (sekolah), dan instansi-instansi lainnya adalah pahalawan Indonesia yang berjenis kelamin laki-laki. Sedikitnya yang diperkenalkan, pasti lagi-lagi R. A. Kartini, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, dan Rasuna Said. Padahal, kalau dicermati lewat beragam literatur yang ada, ada banyak sekali nama pahlawan perempuan Indonesia yang belum kita ketahui dan jarang diperkenalkan.
Pahlawan nasional perempuan Indonesia itu tidak terbatas pada pahlawan yang berjuang memerdekakan Indonesia dari penjajah ratusan tahun silam, tapi juga pahlawan yang berjasa di masa modern seperti sekarang ini. Perjuangan para pahlawan perempuan ini juga beragam, dimulai dari perjuangan fisik di medan perang, sampai perjuangan ideologi di bidang pendidikan, diplomasi, pengembangan komunitas, dan lain-lain. Tanpa jasa mereka, tentu saja kemerdekaan yang dicapai tidak akan seluas sekarang.
Berikut ini adalah daftar nama pahlawan perempuan Indonesia yang perlu kamu ketahui:
kemudian ada Martha Christina Tiahahu, pejuang perempuan yang berasal Desa Abubu, Pulau Nusa Laut yang lahir pada tanggal 4 Januari 1800.
Waktu itu, saat baru menginjak umur 17 tahun, seorang Martha sudah percaya diri untuk mengangkat senjata untuk melawan para penjajah. Martha juga diketahui tidak pernah bolos dalam memberikan energi buat kaum perempuan untuk mendukung laki-laki saat di medan peperangan.
Dibalik perlawanannya selama masih remaja, Martha harus menetap dengan sang ayah yaitu Kapitan Paulus Tiahahu yang diberikan hukuman mati oleh tetara Belanda. Martha pun mulai terganggu kesehatan fisiknya serta mental, dan akhirnya Martha pun ditangkp bersama rekannya yang ada 39 orang. Lalu digiring ke Pulau Jawa dengan kapal Eversten untuk dijadikan pekerja paksa di kebun kopi.
Keadaan fisik Martha yang terus memburuk di dalam kapal. Kejadian ini diketahui karena ia tidak mau makan atau di beri obat. Sampai akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, Martha pun meninggal dan dikuburkan dengan diberikan penghormatan secara militer ke Laut Banda.
Satu lagi nama pahlawan perempuan Indonesia asal Aceh, Keumalahayati. Malahayati termasuk perempuan kelahiran Aceh Besar pada tahun 1550. Dengan kegagahannya serta keberaniannya, Malahayati menjadi pemimpin buat dua ribu orang tentara Inong Balee atau para janda pahlawan yang sudah meninggal akibat perang.
Dengan ketabahan hatinya, pahlawan perempuan ini bersama pasukannya bertempur melawan kapal serta benteng pertahanan Belanda sekaligus berhasil membunuh Cornelis de Houtman yang terjadi pada tahun 1599 tepatnya tanggal 11 September. Karena keberaniannya tersebut, akhirnya Malahayati mendapatkan sebuah gelar Laksamana.
Akan tetapi, pada tahun 1615 Malahayati harus meninggal ketika sedang dalam sebuah misi yang harus melindungi Teluk Krueng Raya dari gempuran tetara Portugis yang dikepalai oleh Laksamana Alfonso De Castro.
Pahlawan perempuan yang berasal dari keturunan Sunan Kalijaga yaitu R. A. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, atau biasa diketahui dengan nama Nyi Ageng Serang.
Perempuan yang lahir di tahun 1752 ini merupakan putri dari Natapraja yang merupakan seorang Pangeran dan ikut berperang melawan para penjajah bersama anggota keluarganya seperti kakak dan ayahnya. Seiring dengan keluarganya, ia terus bersemangat saat membela rakyat apa lagi waktu kematian kakaknya karena melindungi Pangeran Mangkubumi waktu berperang dengan Paku Buwono I yang didukung Belanda.
Meskipun sang ayah, kakak, serta sang suami akhirnya meninggal lebih dulu dalam perlawanannya, Nyi Ageng Serang dengan gagah tetap memimpin para pasukan yang masih ada pada usia 73 tahun.
Kegagahan serta kehebatan Nyi Ageng Serang juga mendapat pembenaran dari Pangeran Diponegoro karena sukses membuat strategi sampai dipercaya menjadi salah satu penasehatnya. Akan tetapi, sebelum perang Dipenoegoro usai, Nyi Ageng Serang harus menghembuskan napas terakhirnya diumur 76 tahun karena pandemi penyakit malaria yang diidapnya.
Jika Kartini serta Dewi Sartika merupakan pahlawan perempuan dari Jawa Barat, ada pula pahlawan emansipasi perempuan dari Minahasa yaitu Maria Walanda Maramis. Perempuan yang lahir pada tanggal 1 Desember 1872 ini juga berjuang dalam membebaskan perempuan dari kurangnya pendidikan.
Setelah pernah bersekolah di Melayu di Maumbi, lebih tepatnya di wilayah Minahasa Utara, selama 3 tahun dan tidak bisa meneruskan bangku pendidikan ke level yang lebih lagi, Maria akhirnya memutuskan untuk membikin semacam lembaga yang kasih nama yaitu Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya atau kalau di singkat menjadi PIKAT, dengan tujuan untuk mengembangkan pendidikan buat para kaum perempuan.
Lewat PIKAT, perempuan pribumi mendapatkan dasar dari berbagai ilmu buat berumah tangga misalnya masak, menjahit, mengasuh bayi, dan yang lain. semasa ia hidup, Maria sibuk bekerja di PIKAT sampai akhirnya ia meninggal pada tanggal 22 April 1924.
Perempuan yang lahir di Jakarta bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau lebih populer dengan panggilan Rasuna Said juga merupakan seorang pejuang perempuan yang berjuang untuk persamaan hak perempuan dengan laki-laki.
Menurut Rasuna Said, kaum perempuan tidak cuma didapat dari hasil mendirikan sekolah, tetapi juga dapat berjuang ke dalam politik. Rasuna Said pun terus bekerja serta berjuang dengan membuat pidato politik saat membela negara.
Akan tetapi saat pidatonya yang melawan pemerintah Belanda, dia dikenakan Speek Delict Law, yaitu peraturan atau hukum yang berasal dari Belanda buat orang yang berpidato atau berbicara memusuhi Belanda. Rasuna Said akhirnya dibekuk bersama dengan temannya, Rasimah Ismail, lalu di jatuhi hukuman penjara di daerah semarang pada tahun 1932.
Indonesia akhirnya bisa merebut kemerdekaan pada tahun 1945, Rasuna Said langsung aktif menjadi Dewan Perwakilan Sumatra untuk menjadi wakil rakyat Sumatra Barat dan pernah dijadikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat atau DPR RIS.
Rasuna Said juga pernah menjabat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai akhirnya ia meninggal pada tanggal 2 November 1965 karena ia mengidap penyakit kanker darah.
Terakhir yang kita bahas adalah Andi Depu, merupakan seorang perempuan yang punya nama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa yang juga seorang pahlawan perempuan berasal dari Tinambung, Sulawesi Barat.
Karena keberanian serta kekuatannya, seorang Andi Depu sukses mempertahankan daerahnya dari gempuran Belanda. Tidak sampai situ saja, Andi Depu juga dengan gagah berhasil menaikan bendera Merah Putih waktu tentara Jepang menyerbu Mandar waktu tahun 1942.
Kegigihan seorang Andi Depu yang bisa kita jadikan contoh ini kemudian diberikan sebuah tanda Bintang Mahaputra Tingkat 4 dari Pak Soekarno langsung. Dan juga, Pak Jokowi juga memberikan sebuah gelar Pahlawan Nasional buatnya serta 5 tokoh bangsa yang lain tertuang pada dektrit Presiden Republik Indonesia Nomor 123 pada tahun 2018 mengenai pemberian Gelar Pahlawan Nasional.
7. Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risaju merupakan salah satu anggota Partai Sarekat Islam yang sangat berberpengaruh, khususnya di Sulawesi Selatan. Dia menjadi anggota PSII cabang Pare-Pare, lalu mendirikan dan memimpin PSII cabang Palopo pada tahun 1930. Dia aktif menjadi seorang perempuan yang melawan penjajahan dengan cara modern, yaitu dengan gencar memperkenalkan ide tentang kemerdekaan bangsa Indonesia ke kerabat dan tetangga-tetangganya.
Ketidak sukaan Belanda pada upaya Opu Daeng Risaju ini membuat dirinya ditangkap selama 12 bulan dengan tuduhan bahwa ia telah menghasut rakyat. Pada tahun 1933, ia kembali ditangkap karena gerakan-gerakannya dianggap semakin membahayakan. Ia divonis kerja paksa selama 14 bulan. Tak berhenti sampai di situ, perjuangan Opu Daeng Risaju masih berlanjut sampai masa penjajahan Jepang, di mana ia mempengaruhi pembentukan cabang PSII di berbagai wilayah lain.
8. Sri Mangunsarkoro
Sri Mangunsarkoro merupakan ketua pertama dari organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Sri Mangusarkoro berhasil menjadikan Perwari sebagai organisasi yang vokal memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pernikahan dengan pendekatan liberal-feminis.
Perwari memfokuskan perjuangan untuk mewujudkan terciptanya regulasi yang mengatur keadilan bagi perempuan di dalam pernikahan, seperti mendorong adanya ketentuan monogami, usia minimal pernikahan, kesetaraan ketentuan dalam perceraian, hak milik dan warisan, serta hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan. Di bawah pimpinan Sri Mangunsarkoro juga Perwari gencar melakukan forum publik, mengadakan petisi, demonstrasi di jalanan, dan delegasi dengan pemerintah untuk melancarkan agenda mereka.
Sebelum menjadi ketua Perwari, Sri Mangunsarkoro sudah aktif menginisiasi dan mengetuai berbagao gerakan dan organisasi perempuan. Seperti memimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga, ketua Keputrian Jong Java pada 1920, ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta, Ketua Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta pada tahun 1935, sampai ketua Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI).
Soewarni Pringgodigdo merupakan pendiri organisasi perempuan sekuler yang progresif bernama Isteri Sedar. Soewarni berhasil membawa Isteri Sedar menjadi organisasi perempuan yang secara eksplisit menunjukkan ideologi organisasinya yang feminis-demokratis.
Lewat majalah terbitan organisasi itu yang bernama Sedar, Soewarni gencar menyampaikan kritik dan perlawanannya terhadap ketidak setaraan gender, poligami, pentingnya kesetaraan peran dalam pernikahan, serta keadilan bagi perempuan di ranah publik dan domestik. Soewarni yang sangat membenci poligami sempat mendapat penilaian buruk dari berbagai golongan, sampai dicibir karena dianggap terlalu galak. Tapi ia tetap konsisten memperjuangkan ideologinya tersebut melalui berbagai medium.
Lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911, Maria Ulfah Santoso adalah perempuan pertama dari Hindia Belanda yang lulus dari sekolah hukum di Belanda. Begitu pulang ke Indonesia, ia pun aktif membela hak-hak perempuan, terutama dalam hal pernikahan di mana mereka mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari laki-laki yang menjadi suami mereka.
Setelah Indonesia merdeka pada Desember 1945, Maria menjadi salah satu inisiator Kongres Perempuan Indonesia di Klaten, Jawa Tengah dan menjadi ketua untuk badan yang membahas perumusan Undang-Undang Perkawinan.
Nah, kita sudah membahas nama Pahlawan perempuan Indonesia yang sudah punya jasa besar serta keberaniannya bisa kita jadikan contoh serta pembelajaran buat anak muda. Semoga generasi sekarang bisa mempunya jiwa seperti para pahlawan Indonesia ya.
Kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan perempuan dapat terwujud berkat para perempuan hebat di masa-masanya. Terlepas dari norma-norma masyarakat yang membuat perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan dan berdikari, banyak pahlawan perempuan yang sangat berjasa dalam kemajuan kaum perempuan.
Pahlawan Perempuan dari Berbagai Daerah Indonesia
Sering kali kita hanya berfokus pada daerah Jawa dalam konteks perjuangan para pahlawan perempuan Indonesia. Padahal, banyak sekali pahlawan-pahlawan perempuan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan kaum perempuan di daerah mereka. Berikut ini beberapa pahlawan perempuan ini perlu kamu ketahui cerita dan juga asalnya.
Andi Depu lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Perempuan yang bernama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa ini sempat merasakan bangku pendidikan hingga tingkat Volkschool (Sekolah Rakyat). Pada tahun 1939, ia diangkat menjadi Raja Balanipa ke-52 dan hal ini mempertegas posisinya untuk melawan Belanda.
Ia tidak lama duduk dalam tampuk kekuasaan karena memilih untuk berjuang bersama rakyat di luar istana. Dengan berani serta gigih, Andi Depu berhasil mempertahankan daerahnya dari serangan Belanda.
Aksinya yang paling diingat adalah ketika ia berani menaikkan bendera merah putih di depan istananya, meskipun Belanda sudah mengancam dan mengepungnya sedemikian rupa pada 28 Oktober 1945
2. Ruhana Kudus Pahlawan asal Koto Gadang, Sumatra Barat
Lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat, Ruhana Kudus adalah wartawan perempuan Indonesia dan aktif dalam dunia pendidikan. Ruhana giat menulis dalam surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Saat Belanda membredel media tersebut, Ruhana turut mendirikan surat kabar bernama Sunting Melayu, yang juga tercatat sebagai koran perempuan pertama di Indonesia.
Meskipun ia tidak bisa mendapatkan pendidikan secara formal, Ruhana belajar dengan tekun dari ayahnya yang rajin membawakan bahan bacaan dari kantor. Semangatnya yang tinggi untuk belajar hal-hal baru membuat Ruhana mudah menyerap segala pelajaran. Ia belajar membaca, menulis, lalu bahasa Belanda hingga aksara Arab. Ketika mengikuti ayahnya dinas ke Alahan Panjang, Ruhana bertetangga dengan seorang pejabat Belanda, yang istrinya mengajari Ruhana segala bentuk kerajinan tangan.
Dengan hal-hal yang ia pelajari itu, Ruhana pun kembali ke kota asalnya dan mendirikan sebuah sekolah bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah ini mengajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, serta mengelola keuangan, baca tulis, hingga bahasa Belanda. Saat itu masih banyak yang menentang keberadaan sekolah ini, namun Ruhana tetap tegar dan terus berjuang untuk kemajuan para perempuan.
Ia lahir di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Saat masih anak-anak, Dewi Sartika suka bermain peran sebagai guru dengan teman-temannya. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika tinggal bersama pamannya, dan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda dari sang paman.
Pada tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan sebuah sekolah bernama Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah itu kemudian dipindahkan ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Kaoetaman Istri pada 1910. Sekolahnya semakin berkembang dan di tahun 1912, ia sudah memiliki sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Pada tahun 1920, lembaga ini berkembang menjadi satu sekolah di setiap kota dan kabupaten. Sembilan tahun kemudian, sekolah tersebut berubah nama menjadi Sekolah Raden Dewi.
4. Maria Walanda Maramis pahlawan perempuan asal Minahasa, Sulawesi Utara
Perempuan bernama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis ini lahir di Kema, Minahasa Utara pada 1 Desember 1872. Setiap 1 Desember, orang-orang Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis yang dikenal sebagai tokoh pahlawan perempuan yang memperjuangkan kemajuan perempuan.
Ketika ia pindah ke Manado, Maria mulai aktif mengirimkan artikel opini ke surat kabar lokal bernama Tjahaja Siang. Dalam opininya, ia sangat vokal menyuarakan pentingnya peran ibu dalam keluarga dalam menjaga kesehatan keluarga serta pendidikan anak-anak.
Maria menyadari, saat itu perempuan-perempuan muda butuh sekali pendidikan untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga. Ia pun mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917, untuk mendidik kaum perempuan yang tamat sekolah dasar.
Selain mengadvokasi pendidikan untuk perempuan, Maria juga mendorong agar perempuan mendapatkan hak suara dalam memilih wakil rakyat untuk sebuah badan perwakilan di Minahasa bernama Minahasa Raad. Saat itu, hanya laki-laki yang memiliki hak untuk memilih dan menjadi anggota, sehingga Maria mengupayakan agar ada perempuan yang masuk ke dalam badan tersebut. Usahanya pun berbuah hasil di tahun 1921, saat keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan perempuan untuk memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad.
Setelah menamatkan pendidikan SD, Rasuna dikirim ayahnya ke sebuah pesantren bernama Ar-Rasyidiyah, yang merupakan satu-satunya santri perempuan. Setelah itu Rasuna kembali melanjutkan pendidikannya di Diniyah (SMA) Putri dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan pendidikan Islam, Thawalib.
Rasuna Said dikenal sebagai salah satu nama pahlawan perempuan Indonesia yang sangat memperhatikan kemajuan kelompok perempuan dalam hal pendidikan dan politik. Ia pernah menjadi guru di Diniyah Putri, namun ketika ia ingin memasukkan pendidikan politik di sekolah tersebut, idenya ditolak. Setelah ia tidak lagi menjadi guru, Rasuna sangat aktif menulis di media.
Pada 1935, Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya. Tulisan-tulisannya dikenal tajam dan membuat Belanda geram. Rasuna juga pernah mendirikan sebuah majalah mingguan di Sumatra Utara, Menara Poetri, dan menyebarluaskan gagasan-gagasannya serta isu-isu perempuan.
Sesudah Indonesia merdeka, Rasuna Said aktif dalam Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia juga menduduki kursi Dewan Perwakilan dan mewakili daerah Sumatra Barat. Rasuna kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rayat RI dan kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga ia wafat.
6. Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta
Lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872, Siti Walidah atau yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan merupakan anak dari Kyai Haji Muhammad Fadli, ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Ia bersekolah di rumah serta diajarkan beragam aspek soal Islam termasuk bahasa Arab dan Al Quran.
Ia menikah dengan Ahmad Dahlan yang juga merupakan sepupunya. Ketika itu, Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah. Namun karena beberapa pemikiran Ahmad Dahlan dianggap radikal, pasangan ini kerap mendapatkan ancaman dari kelompok Islam lain.
Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi pendidikan Sopo Tresno. Ia beserta suaminya bergantian mengajarkan membaca Al-Qur’an dan mendiskusikan maknanya. Menariknya, Nyai Ahmad Dahlan lebih berfokus pada ayat-ayat yang berhubungan dengan isu perempuan.
Sopo Tresno kemudian diresmikan dan berganti nama menjadi Aisyiyah. Melalui organisasi ini, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah perempuan, dan ia pun berkhotbah menentang kawin paksa. Nyai Ahmad Dahlan juga berpendapat bahwa istri adalah mitra suami dan menentang budaya patriarki.
Nama pahlawan perempuan dari wilayah Aceh tak cuma Cut Nyak Dhien serta Cut Meutia saja yang teguh dalam bertempur memerangi penjajah. Aceh juga punya Laksamana Malahayati, yang bertempur dengan berani melawan tentara Belanda di perairan lepas, dengan tentaranya yang merupakan kumpulan para janda, yang disebut Inong Balee.
Fakta menarik lain dari Laksamana Malahayati adalah bahwa ia merupakan perempuan pertama di dunia yang berhasil menjadi seorang laksamana. Dan apakah kalian sudah tahu siapa Malahayati ini? Ia merupakan keturunan dari keluarga bangsawan saat Aceh sedang berjaya.
Biografi Laksamana Malahayati
Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Malahayati merupakan anak perempuan dari Laksamana Mahmud Syah. Ia juga memiliki kakek yang bernama Laksamana M. Said Syah, anak dari Sultan Salahuddin yang berkuasa di Aceh dari tahun 1530 sampai dengan 1539. Ayah serta sang kakek merupakan panglima armada laut pada di zamannya.
Semangat yang dipunyai ayah serta kakeknya ternyata menurun ke Malahayati. Meskipun perempuan mungkin tidak diharapkan menjadi laksamana laut, dia bercita-cita menjadi seorang pelaut atau laksamana yang kuat serta berani, persis seperti sang ayah serta kakeknya.
Saat ia beranjak dewasa, Malahayati memiliki keleluasaan untuk memilih sekolah. Ia akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan sekolah angkatan bersenjata milik kesultanan yang bernama Mahad Baitul Maqdis. Sekolah ini terdiri dari armada darat serta armada laut.
Dari sekolah inilah kemampuan ketentaraan Malahayati terbentuk, dididik oleh para guru yang merupakan perwira dari wilayah Turki. Pada zaman itu Aceh memang memperoleh dukungan dari Kesultanan Turki Utsmani. Di sekolah ini, ia akhirnya berjumpa dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief yang akhirnya menjadi suaminya.
Peran Laksamana Malahayati
Laksamana Malahayati tak cuma memimpin tentara laki-laki, tetapi ia juga mengumpulkan kekuatan kaum perempuan, terlebih para janda yang ditinggalkan suaminya yang gugur dalam peperangan di Teluk Haru, persis seperti dirinya. Armada janda yang sangat berani dipimpin oleh Malahayati ini populer dengan panggilan Inong Balee seperti yang sudah kita bahas di atas.
Mulanya, tentara Inong Balee cuma terdiri dari seribu orang. Akan tetapi kemudian anggotanya berkembang menjadi dua ribu orang. Laksamana Malahayati menjadikan wilayah Teluk Lamreh Krueng Raya menjadi basis prajuritnya, dan daerah bukit yang berada tak jauh dari sana dibuat sebagai area pertahanan sekaligus menara untuk untuk mengawasi pergerakan musuh.
Malahayati memang sangat berpengaruh pada zaman itu. Selain mengatur tentara, ia juga memantau seluruh pelabuhan dan wilayah perdagangan yang ada di Aceh, beserta kapal-kapal yang berlabuh. Waktu itu, kesultanan punya tak kurang dari 100 buah kapal dengan ukuran besar yang satu kapalnya bisa membawa lebih dari empat ratus awak kapal.
Sampai dengan tanggal 21 Juni 1599, kumpulan penjelajah dari Belanda yang dipimpin oleh de Houtman bersaudara—Frederick dan Cornelis. Mereka berlabuh di dermaga Aceh dengan dua kapal berukuran besar yang diberi nama de Leeuw dan de Leeuwin. Frederick dan Cornelis de Houtman berlaku sebagai nakhoda dari dua kapal tersebut.
Awalnya, interaksi antara pendatang asal Eropa dengan rakyat Aceh baik-baik saja. Sampai akhirnya, karena sikap dari orang-orang Belanda serta tambahan hasutan dari seorang Portugis yang diyakini oleh Sultan Alauddin, mulailah terbentuk bibit kericuhan.
Saat sadar situasi mulai memanas, Frederick serta Cornelis membuat strategi dari kapal mereka, dan bersiap untuk menyambut serangan yang mungkin akan datang. Dan ternyata benar saja, Sultan Alauddin membuat perintah kepada Laksamana Malahayati untuk menyerang dua kapal Belanda yang masih berlabuh di Selat Malaka tersebut.
Pecahlah peperangan hebat di laut. Tentara Belanda ternyata kesulitan dalam menghentikan kekuatan dari tentara Malahayati, deretan para janda yang tidak takut kehilangan nyawa. Sampai akhirnya Laksamana Malahayati sukses masuk ke kapal Cornelis de Houtman dan saling berhadap-hadapan.
Malahayati memegang kuat senjatanya yang berupa rencong, sementara si nakhoda Belanda dipersenjatai sebilah pedang. Perkelahian satu lawan satu pun berlangsung. Pada satu titik di tengah pertempuran tersebut, Malahayati menusuk Cornelis sampai akhirnya tewas. Kejadian bersejarah ini terjadi pada tanggal 11 September 1599.
Tentara Belanda akhirnya kalah dan banyak yang meninggal. Sedangkan yang tersisa berhasil ditangkap dan dibawa ke penjara, termasuk saudara Cornelis, yaitu Frederick.
Akhir Hayat Malahayati
Laksamana Malahayati menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1615. Peristirahatan terakhirnya berada di Desa Lamreh, Aceh, Indonesia. Malahayati akhirnya diberikan titel sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 Oktober 2017 oleh Pemerintah, bersama-sama dengan beberapa pahlawan lainnya.
Daerah Jawa Tengah memiliki sejumlah pahlawan perempuan yang ikut berjuang untuk mendapatkan kedaulatan serta kemerdekaan negeri ini waktu zaman penjajahan. Sebagian dari nama mereka mungkin sudah sering terdengar, tapi sisanya mungkin belum banyak kita kenal.
Saat kalian diminta untuk menyebutkan nama pahlawan perempuan dari Jawa Tengah, yang kalian ingat mungkin cuma Kartini. Padahal masih ada beberapa lagi pahlawan perempuan dari Jawa Tengah, dan semuanya memiliki kisah hidup yang luar biasa.
Yuk kita bahas pahlawan perempuan Jawa Tengah lainnya.
1. Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah: Nyi Ageng Serang
Pahlawan perempuan yang andal dalam membuat taktik dan strategi perang ini bernama lengkap R. A. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Pahlawan perempuan asal Jawa Tengah ini lahir di Serang, Jawa Tengah, pada tahun 1752. Pada awal abad 19, Belanda datang dan menggempur wilayah Jawa, menjarah tanah pribumi. Inilah yang mendorong terjadinya Perang Diponegoro dari tahun 1825 sampai dengan 1830.
Saat terjadinya pertempuran itu, seorang Nyi Ageng Serang memiliki andil untuk bertempur. Selain ikut membuat taktik perang, misalnya dengan mendukung Pangeran Diponegoro sebagai penasihat dalam siasat pertempuran, beliau juga ikut mengomando tentaranya dalam pertempuran secara gerilya di Kampung Beku. Padahal pada waktu itu umur beliau sudah menginjak 73 tahun!
Nyi Ageng Serang terus bertempur sampai energi terakhirnya. Karena ketahanan fisiknya terus mengendur, beliau akhirnya mundur dari medan perang dan meninggal dunia di usia 76 tahun.
2. Pahlawan Perempuan Indonesia: RA Kartini
Raden Ajeng Kartini merupakan nama pahlawan perempuan dari Jawa Tengah yang populer sebagai pejuang emansipasi perempuan Indonesia. Kartini lahir di kota Jepara tanggal 21 April 1879. Ia adalah tokoh perempuan Jawa serta pemrakarsa kebangkitan perempuan pribumi. Ia mendorong perempuan untuk mendapatkan hak yang sama untuk bisa mendapatkan ilmu pengetahuan atau pendidikan sama seperti laki-laki.
Kartini waktu kecil pernah bersekolah di Europese Lagere School (ELS) sampai usia 12 tahun. Ia harus berhenti sekolah karena ia akan dinikahkan. Meski demikian, walaupun sudah tidak bersekolah lagi, Kartini tetap terus belajar dan membuat surat dengan bahasa Belanda dan dikirimkan ke sahabatnya yang ada di Belanda.
Kartini sangat kagum dengan pola pikir perempuan yang tinggal di Eropa, serta kebiasaan mereka membaca buku, surat kabar, serta majalah. Dari sanalah semangatnya untuk memajukan harkat perempuan Indonesia semakin menyala. Ia ingin agar para perempuan bisa mendapatkan kemandirian, persamaan hukum, dan mendapatkan edukasi serta kedaulatan yang sama.
Kartini tak cuma populer di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, terutama Belanda. Sayangnya, pada 17 September 1904, Kartini menemui ajalnya setelah melakukan persalinan anak pertama. Bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang merupakan gabungan dari banyaknya tulisan yang dibuat Kartini secara pribadi untuk rekan-rekannya yang berada di Eropa, menginspirasi banyak perempuan. Sosok Kartini mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1962.
3. Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah: Siti Walidah
Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1872. Ia adalah anak perempuan dari tokoh muslim terkemuka dan penghulu keluarga keraton, yakni K.H. Fadhil.
Sejak belia, sosok Siti Walidah tidak memperoleh edukasi atau pendidikan formal. Ia hanya mendapatkan ilmu agama dari orang tua. Ia kemudian menikahi sepupunya yang bernama K. H. Ahmad Dahlan dan melahirkan enam orang anak.
Setelah menikah, sosok Siti Walidah lebih masyhur dengan panggilan Nyi Ahmad Dahlan. Suaminya dapat dibilang merupakan sosok pemimpin agama yang punya sikap sangat revolusioner, yang menuai kecaman dan bantahan akibat upaya modernisasi yang ia lakukan.
Masa Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan memiliki khazanah ilmu yang sangat luas, terutama karena ia sangat akrab dengan beberapa tokoh Muhammadiyah pelopor pemimpin bangsa yang lain sekaligus sahabat seperjuangan sang suami.
Sekitar tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mulai membuat kelompok pengajian perempuan Sopo Tresno, semacam organisasi keperempuanan yang didasari agama Islam. Organisasi itu berubah nama menjadi Aisyiyah, organisasi Islam buat para perempuan, tepat pada malam Isra Mi’raj, pada tanggal 22 April 1917. Setelah berjalan 5 tahun, Aisyiyah resmi menjadi elemen dari Muhammadiyah.
Akhir Hayat Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 31 Mei 1946. Untuk mengenang seluruh jasanya dalam mengenalkan dan memperluas ajaran Islam serta ikut membantu mendidik perempuan pribumi, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar kehormatan kepada Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Perempuan Indonesia didasari pada Keputusan Presiden RI.