Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?


Masih ingat tahun lalu saat penyanyi Mulan Jameela melenggang ke Senayan? Pemilihannya sebagai anggota DPR ramai diperbincangkan karena dianggap mengorbankan hak kandidat lain yang dipandang lebih pantas terpilih.

Mulan mencalonkan diri di derah pilihan Jawa Barat XI dengan perolehan suara peringkat kelima. Namun, partai pengusungnya, Gerindra, memberhentikan beberapa orang kandidat yang mengalahkan Mulan sebelumnya. Alhasil, Mulan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Banyak yang mempertanyakan alasan Gerindra melakukan keputusan sepihak tersebut. Sebagian pihak berasumsi bahwa Mulan terpilih karena sebagai penyanyi, ia lebih populer dibanding dua kandidat yang digantikannya. Belum lagi pada saat itu sedang ramai pemberitaan soal suaminya, musisi Ahmad Dhani, yang dianggap rela mendekam di penjara karena membela Prabowo Subianto, ketua partai Gerindra sekaligus calon presiden 2019-2024.

Kendati para kandidat yang dipecat secara sepihak tadi menggugat kembali keputusan Gerindra ke pengadilan, Mulan sudah kadung ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai anggota DPR 2019-2024. Ia pun kini menjadi salah satu yang disorot media dalam menjalankan kerjanya di DPR.

Selain Mulan, penyanyi perempuan di dalam politik lain yang tak kalah mendapat sorotan karena berhasil menduduki kursi DPR adalah Krisdayanti yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banyak publik meragukan kapasitas Krisdayanti di DPR karena ia tidak punya rekam jejak politik. Bahkan pada Maret lalu, Krisdayanti mendapat kritikan besar karena pergi pelesiran ke Eropa di tengah krisis pandemi COVID-19. Hal tersebut disayangkan banyak pihak, Krisdayanti sebagai wakil rakyat pun makin dipertanyakan kredibilitasnya.

Baik kasus Mulan maupun Krisdayanti merupakan contoh nyata perempuan di dalam politik yang masih dijadikan sebagai vote-getter atau figur yang diperkirakan mampu mendapatkan banyak suara lebih karena popularitasnya dibanding kemampuan mereka di dunia politik.

Dalam penelitan yang diterbitkan New Mandala bertajuk “Why does a good woman lose? Barriers to women’s political representation in Indonesia” (2019), dikatakan bahwa fenomena ini mungkin sah secara Undang-Undang, tapi realitasnya menunjukkan cara ini terlalu pragmatis dan terkesan membodohi masyarakat kita yang sering kali terlalu terlena dengan popularitas seorang calon.

Baca juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Dunia politik masih maskulin

Kendati istilah vote-getter ini bisa dilekatkan baik kepada laki-laki maupun perempuan, kenyataan bahwa dunia politik masih maskulin ditambah angka politisi perempuan yang belum pernah mencapai 30 persen di DPR membuat perempuan di dalam politik mendapat atensi lebih dari publik. Karena itu, muncul anggapan bahwa perempuan kerap hanya dipilih oleh partai untuk mendongkrak popularitasnya saat Pemilu.

Survei nasional yang juga dilakukan New Mandala mengungkapkan bahwa sikap patriarkal yang mengakar di Indonesia membuat masyarakat berasumsi bahwa laki-laki lebih mampu menjadi pemimpin politik dibanding perempuan. Sebanyak 88,2 persen responden menyatakan setuju laki-laki lebih mumpuni. Tak heran bila selebritas laki-laki yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR biasanya lebih dipandang berwibawa dan mengerti politik, serta tidak mendapat sorotan seperti politisi perempuan di DPR.

“Elemen kualitatif dari penelitian kami menemukan bahwa sistem pemilihan Indonesia, dikombinasikan dengan beberapa elemen budaya partai politik, turut menentukan tipe kandidat perempuan yang direkrut oleh partai dengan cara-cara yang problematis. Dengan mengangkat mereka yang populer, partai tidak harus bekerja ekstra untuk mengenalkan calon kandidat ke masyarakat,” tulis Sally White dan Edward Aspinall, peneliti dari Department of Political and Social Change in the Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, dalam New Mandala.

Strategi mendompleng ketenaran calon wakil rakyat digunakan terutama untuk menyasar pemilih di daerah yang kurang terjangkau selama masa kampanye. Daftar nama caleg dari puluhan partai akan membuat orang-orang bingung. Karenanya, mereka cenderung akan memilih figur-figur familier yang biasa mereka lihat di layar kaca dan mengesampingkan visi dan kemampuan figur-figur tersebut walau itu merupakan pertimbangan yang fundamental.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Dari penghibur saat kampanye sampai jadi politisi

Fenomena para selebritas berbondong-bondong masuk ke dunia politik sebetulnya bukanlah hal baru. Dalam jurnal bertajuk From Celebrity to Politician: The Indonesian Women Celebrity in House of Representative (DPR RI) 2004-2007 yang ditulis oleh Nyarwi (2011), dinyatakan bahwa tren pelibatan selebritas perempuan dalam kampanye politik sudah terjadi sejak Orde Baru.

Awalnya, pelibatan mereka hanya sebatas artis penghibur selama kampanye. Dengan memanfaatkan popularitas mereka, partai berharap dapat mengundang banyak pemilih. Peran yang terbatas sebagai penghibur tersebut tidak lepas dari iklim politik di Indonesia dikuasi satu partai yaitu Golongan Karya (Golkar). Baru pada Pemilu 2004, para selebritas ini mulai terjun ke dunia politik seiring dengan iklim politik Indonesia yang semakin terbuka.

“Salah satu tren besar pada pemilihan umum 2004 adalah komodifikasi popularitas selebritas. Pada tahun, tersebut tujuh selebritas terpilih menjadi anggota DPR, dua diantaranya adalah perempuan yaitu Nurul Arifin dan Angelina Sondakh. Meski pada saat itu partai politik hampir memberi 22-40 persen kandidat perempuan tapi para selebriti cenderung mendapat suara lebih karena popularitasnya,” tulis Nyarwi. 

Perempuan Di Dalam Bagian Politik Dinasti

Tak hanya sebatas dari kalangan dunia hiburan, istilah vote-getter ini juga bisa berasal dari orang-orang yang berafiliasi dengan menteri atau pejabat lain yang punya pengaruh besar di panggung politik. Pada Pemilu tahun lalu, misalnya, Hillary Brigitta Lasut terpilih sebagai perempuan termuda yang lolos menjadi anggota DPR 2019-2024.

Perbincangan publik seputar dirinya kerap berkisar soal penampilan fisiknya serta catatan prestasinya di umur 23 kala itu: Menjadi lulusan luar negeri dan berhasil lolos masuk DPR. Padahal, setelah ditelusuri, terpilihnya Hillary tidak lepas dari latar belakangnya sebagai anak Bupati Kepulauan Talaud Elly Engelbert Lasut (2004-2009, 2009-2012, 2019-2024). Sementara itu, Ibu Hillary, Telly Tjanggulung, adalah Bupati Minahasa Tenggara periode 2008-2013.

Baca juga: Ruang (Ny)aman: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik

Selain Hillary, ada juga Puteri Komaruddin, yang baru berusia 27 tahun dan memiliki kekayaan puluhan miliar. Puteri adalah anak politisi senior Ade Komaruddin yang sudah lima kali masa jabatan duduk di DPR.

Dalam kedua kasus itu, dapat dilihat secara gamblang bagaimana orang yang dekat dengan kekuasaan bisa melenggang ke DPR meski ia belum begitu lama terjun ke politik. Di sisi lain, politisi seumuran mereka yang tidak berafiliasi dengan kekuasaan harus mengeluarkan upaya ekstra untuk dikenal masyarakat serta mendapat suara.

Dalam rangka memenuhi kuota 30 persen dan meningkatkan perolehan suara kandidat perempuan, partai melihat calon kandidat perempuan yang memiliki kekerabatan dengan politisi laki-laki yang berkuasa di daerah pemilihan terkait berpotensi mendongkrak suara. Selain itu, calon kandidat seperti itu juga biasanya memiliki jaminan akses ke sumber dana yang memadai untuk menutup ongkos kampanye.

Para peneliti dari Pusat Studi Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menemukan 41 persen perempuan yang memenangkan kursi DPR pada 2019 terkait dinasti politik. Persentase tersebut melonjak signifikan dari 36 persen pada 2014.

White dan Aspinall mengakui bahwa sebagian perempuan yang punya koneksi dinasti merupakan politisi yang cakap dan berbakat. Tetapi, bukan hal itu yang membuat mereka menang.

“Banyak di antara mereka menang bukan karena kualitas dan kompetensi pribadi, tetapi murni karena koneksi keluarga mereka,” tulis mereka.

Read More