Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Guru Bahasa Jepang saya waktu SMA adalah sosok yang mengagumkan: Ia pintar mengajar, cerdas, dan tegas, disegani murid yang paling nakal sekalipun. Suatu hari, ia bercerita di depan kelas bagaimana ia pernah ditawari kuliah S2 di Jepang, namun ia menolaknya karena bagaimanapun perempuan akan kembali ke rumah mengurus keluarga.

Saya terperangah mendengar hal itu terucap dari guru yang paling saya kagumi. Saat itu saya bahkan sempat berpikir, guru saya yang sangat pintar dan terlihat fearless saja enggak mengambil S2, apalagi saya yang banyak ketakutan dan enggak pintar-pintar amat. Dan teman-teman perempuan saya yang lain juga berpikir hal yang sama.

Sebagai anak daerah, saya merasakan dan mengamati betul betapa rapuhnya kepercayaan diri perempuan, dan bukan karena kesalahan mereka. Sebelum masuk kuliah beberapa tahun silam, salah satu saudara saya memilih tidak kuliah karena ketiadaan biaya. Ketika saya tanya, kenapa tidak coba mendaftar beasiswa dari pemerintah, ia mengatakan kalau perempuan paling pintar di kelasnya saja tidak mendaftar, jadi ia merasa malu dan tahu diri untuk tidak mencobanya.

Sejak SD sampai universitas, teman-teman saya yang paling berprestasi selalu perempuan, tapi sedikit sekali dari mereka sekarang ini menjadi pemimpin atau ada di posisi puncak dalam pekerjaan mereka. Hal ini tercermin dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 yang menunjukkan, 30,63 persen perempuan yang menduduki jabatan manajer, sementara laki-laki mencapai lebih dari dua kali lipatnya yaitu 69,37 persen.

Jika konsep glass ceiling dan sticky floor effect membahas tentang kendala-kendala perempuan di tempat kerja, sebetulnya jauh sebelum itu sudah ada hambatan-hambatan dalam diri perempuan yang dibentuk oleh lingkungan dan budaya.

Hasil penelitian Katherine B. Coffman dari Harvard Business School, yang bertajuk How Gender Steoreotypes Kill a Woman’s Self Confidence menunjukkan bahwa stereotip perempuan bisa mematikan kepercayaan diri perempuan, yang berakibat pada kemunduran perempuan di tempat kerja. Lebih parahnya lagi, stereotip gender juga bisa membuat perempuan terus mempertanyakan kemampuannya dalam melakukan pekerjaan. Hal tersebut, terutama banyak ditemukan dalam bidang pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki seperti bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Menurut Coffman, kepercayaan diri merupakan faktor penting karena berpengaruh pada semua keputusan-keputusan besar dalam hidup. Misalnya saat kita menentukan mau masuk jurusan apa, karier semacam apa yang ingin dijalani dan apakah kita hanya ingin berkontribusi memberikan ide ketika bekerja, atau mencoba bersaing untuk mendapatkan promosi ke top posisi. Hal-hal tersebut berawal dari kepercayaan diri yang dimiliki perempuan.

Lean in dan hambatan perempuan

Istilah Lean In atau bisa diartikan secara aktif menerima tantangan untuk menaikkan karier menjadi perbincangan sejak buku laris karya Sheryl Sandberg, Lean In: Women, Work, and the Will to Lead, diluncurkan pada 2013 lalu. Buku itu didasari pada pengalaman Chief Operating Officer Facebook itu setelah bekerja di perusahaan-perusahaan besar, termasuk Google.

Buku ini pada intinya mendorong perempuan untuk lebih proaktif di tempat kerja. Disebut juga sebagai aliran feminisme pemberdayaan mandiri, Lean In bahkan kemudian menjadi fenomena budaya dan sebuah gerakan.  

Menurut Sandberg, perdebatan antara hambatan perempuan dari eksternal dan internal ini seperti perdebatan ayam dan telur, mana dulu yang harus diselesaikan masih menjadi misteri. Ia melihat jika selama ini orang selalu fokus pada hambatan-hambatan di luar diri perempuan. Padahal stereotip gender tidak hanya memengaruhi bagaimana perempuan diperlakukan di tempat kerja, tapi juga membentuk pola pikir perempuan saat ia kecil, yang berimplikasi pada aktualisasi kepercayaan diri di tempat kerja.

“Banyak pesan-pesan yang kita internalisasi, yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh terlalu tegas bersuara, agresif, atau lebih kuat dari laki-laki. Kita menjadi menurunkan ekspektasi kita terhadap sesuatu yang bisa kita capai,” tulis Sandberg.

Sebagai seorang ibu, Sandberg juga menggarisbawahi tuntutan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan atau mengurus keluarga saat menikah. Norma gender yang disematkan kepada perempuan dari kecil tersebut secara tidak langsung membuat banyak perempuan berpikir lama atau menolak saat ditawari promosi naik jabatan.

“Makanya saya katakan, don’t leave before you leave, jangan mundur sebelum kamu memang harus mundur,” kata Sandberg.

Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak

Dalam bukunya Sandberg juga menyinggung perihal self doubt dan impostor syndrome yang cenderung dimiliki serta rentan terjadi pada perempuan. Self doubt merupakan keadaan di mana kita acap kali meragukan kemampuan kita, menghakimi pemikiran-pemikiran optimistik dan secara berkala menganggap diri akan gagal melakukan segala sesuatu. Sedangkan impostor syndrome bisa diartikan sebagai sindrom penipu atau kondisi di mana kita merasa pencapaian yang telah kita raih itu tidak berimplikasi pada kapasitas diri kita dan itu terjadi hanya sebatas keberuntungan semata, lalu ada perasaan takut bahwa orang akan menemukan hal itu.

Dalam artikel yang dimuat BBC, bertajuk Why imposter syndrome hits women and women of colour harder, disebutkan bahwa sindrom ini cenderung lebih banyak menimpa perempuan, serta kelompok minoritas dan marginal lainnya. Ketiadaan panutan di tempat kerja, kurangnya representasi serta kondisi sosial yang terus menempatkan mereka menjadi kelompok nomor dua dan terpinggirkan membuat kepercayaan terhadap diri lebih sulit dibangun.

Meski begitu, Sandberg bukannya tanpa kritik. Connie Schultz dalam artikelnya di The Washington Post, mengatakan buku Sandberg penuh dengan kontradiksi karena hanya mengangkat permasalahan dari scope mereka yang bekerja di perusahaan besar. Pesan-pesan Sandberg di buku itu pun dianggap hanya berkutat agar perempuan lebih berpikir seperti stereotip laki-laki, yaitu berani mengambil keputusan, tegas dan mengesampingkan ketakutannya agar bisa naik ke posisi atas.

Dorongan untuk ‘lean in’ juga akan menjadi sulit karena lagi-lagi hanya menekankan pada tanggung jawab perempuan secara individual untuk menjadi lebih asertif. Padahal hambatan yang dialami perempuan adalah bersifat struktural.

Gerakan lean in ini praktis jatuh pada 2018, saat Facebook dilanda banyak skandal, di mana Sandberg pun bertanggung jawab di dalamnya.

Membantu perempuan untuk lebih percaya pada dirinya

Adriana Amalia, Psikolog dan co-founder Asa Berdaya, perusahaan sosial yang fokus membangun mentalitas sumber daya manusia (SDM), mengatakan, ada yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk lebih menghargai diri sendiri dan mengatasi hambatan dalam segala situasi baik internal maupun eksternal bisa dihadapi.

“Bagaimana kita mau menghadapi hambatan yang muncul dari sana sini, dari berbagai sisi kalau kita itu enggak menghargai diri sendiri, enggak menghargai apa yang sudah kita lakukan,” ujar Adriana kepada Magdalene.

Baca juga: Standar Ganda dalam Masyarakat: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

Ia mengatakan dirinya sering mengalami berbagai hal yang cukup menguji mentalnya. Saat masih duduk di bangku kuliah dulu misalnya, ia sempat menjadi ketua kepengurusan yang tergolong sukses. Setelah turun jabatan ia mendengar kabar atau berita-berita tidak enak yang menyebutnya tidak begitu meyakinkan di awal jabatan, ia kerap diremehkan.

“Memang jadi harus ada semacam pembuktian terlebih dahulu kalau perempuan itu mampu dan punya kapasitas. Tapi yang terpenting itu pembuktian buat diri sendiri sih. Keberhasilan itu bisa jadi bahan bakar buat kita ke depannya lebih percaya diri buat membuktikan kalau kita ini bisa,” ujarnya.

Di dunia profesional, situasi yang meremehkan perempuan itu terus berlangsung. Saat mendirikan perusahaannya, sebagai ketua proyek, Adriana mengatakan kerap kali diremehkan, apalagi jika harus berhadapan dengan klienlaki-laki senior. Ketika mengetahui dirinya akan pemimpin proyek, biasanya diiringi dengan gestur tidak percaya atau kaget.

“Mungkin mereka berpikir karena saya perempuan bisa gampang dinegosiasi padahal itu keliru. Hal-hal kayak begitu biasanya yang bikin enggak percaya diri. Tapi jangan diambil secara personal. Kalau sudah merasa down, sebaiknya cari bantuan atau komunitas yang bisa mendongkrakrasa percaya diri kita lagi,” kata Adriana.

Dalam hasil penelitiannya, Katherine B. Coffman dari Harvard juga menambahkan harus ada dorongan aktif yang bisa membuat perempuan mau bersuara di forum-forum kecil atau pun besar. Penting bagi mereka untuk merasa didengarkan. Selain itu, para manajer atau pemimpin tim lain dalam perusahaan sudah seharusnya sadar dengan ketimpangan kepercayaan diri karena stereotip perempuan. Adanya pengakuan dan pelibatan perempuan bisa meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk terlibat dalam pembuatan keputusan besar di perusahaan.

“Saya mendorong agar para pemimpin perusahaan lebih berpikir tentang masalah kepercayaan diri ini bisa berpengaruh pada perusahaannya. Kalau melihat perempuan bertalenta, pastikan mereka merasa didukung, dan diakui,” tulis Coffman.

Read More