women lead forum

Women Lead Forum 2021 Digelar untuk Dukung Karier, Kepemimpinan Perempuan

Magdalene, didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia, dan Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menggelar acara Women Lead Forum 2021 #KantorDukungPerempuan. Acara yang diselenggarakan secara daring ini diadakan pada 7 dan 8 April 2021, mulai pukul 13.30 WIB.

Inisiatif penyelenggaraan Women Lead Forum 2021 tidak lepas dari temuan studi dan fakta di lapangan bahwa perempuan masih menemukan berbagai kendala klasik kendati secara struktural, banyak dari mereka yang sudah dapat memasuki dunia kerja dengan lebih mudah.

Kendala-kendala tersebut disinggung oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah dalam keynote speech yang disampaikannya dalam Women Lead Forum 2021. Ia memaparkan bermacam kondisi ketimpangan gender yang masih ditemukan di kalangan pekerja Indonesia, mulai dari ketimpangan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), kesenjangan upah, hingga perlakuan diskriminatif berbasis gender.

Pernyataan Ida ini berangkat dari hasil studi, salah satunya dari survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada Juli 2020, yang menyatakan bahwa perempuan pekerja di Indonesia masih menerima upah 23 persen lebih rendah dari laki-laki. Selain itu, tidak sampai 50 persen perempuan bekerja sebagai profesional dan hanya 30 persen dari mereka yang mencapai posisi manajer.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Women Lead Forum Soroti Hambatan Perempuan Pekerja

Hambatan yang dihadap perempuan pekerja dipengaruhi beragam faktor, mulai dari budaya hingga sistem, fasilitas, dan kebijakan yang diterapkan di kantor-kantor.

“Hambatan [yang dihadapi pekerja perempuan] ini disebabkan oleh beban ganda, seksisme, dan stereotip dalam masyarakat, diskriminasi berbasis gender, hingga pelecehan seksual. Hambatan ini tidak hanya berdampak pada mereka secara individu dan keluarganya, tetapi juga pada potensi ekonomi negara dan Indeks Kesetaraan Gender Indonesia dalam peringkat dunia,” terang Ida.

Di samping itu, Ida juga menyoroti bagaimana pandemi COVID-19 membawa tambahan beban tersendiri bagi pekerja perempuan. Mereka yang mengemban peran gender tradisional untuk mengurus tugas domestik kerap kewalahan ketika harus membagi waktu dan tenaga untuk bekerja dari rumah serta membantu anak sekolah dari rumah. Tidak jarang tekanan yang terjadi selama pandemi juga mendatangkan kekerasan dalam rumah tangga dari pasangan bagi perempuan.

Sementara itu, pemimpin redaksi Magdalene, Devi Asmarani berkomentar bahwa hambatan-hambatan yang dihadapi pekerja perempuan telah membatasi kesempatan mereka dalam memaksimalkan potensinya. Kendati sudah ada kebijakan-kebijakan yang mendukung pekerja perempuan, dalam realitasnya implementasi kebijakan tersebut belum optimal.

“Perusahaan memiliki andil besar untuk mengubah situasi ini. Karena itu Women Lead Forum 2021 ini kami tujukan untuk menyatukan para pembuat kebijakan di pemerintahan, legislasi maupun di perusahaan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka, agar ada pembelajaran dan tercipta sinergi yang kuat untuk mencapai kesetaraan gender di tempat kerja,” ujar Devi.

women lead forum

Berangkat dari permasalahan ini, Women Lead Forum 2021 mengadakan empat diskusi panel yang menghadirkan berbagai narasumber kompeten dari pemerintah, sektor swasta, serta organisasi internasional. Adapun empat topik diskusi yang diangkat ialah “Antara Tanggung Jawab Rumah Tangga dan Kesempatan Kerja”; “Peran Perusahaan Mendukung Kesetaraan Gender di Tempat Kerja”; “Normalisasi Kesetaraan Gender lewat Media”; dan “Mendukung Kepemimpinan Perempuan: Kebijakan dan Perubahan Norma”.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Dukung Perempuan Berkarier, Jadi Pemimpin di Tempat Kerja

Women Lead Forum 2021 Angkat Isu Kepemimpinan Perempuan

Women Lead Forum 2021 menjadi acara puncak dalam rangkaian program Magdalene mendukung kepemimpinan dan karier perempuan. Sejak September 2020, Magdalene telah menerbitkan berbagai artikel terkait kehidupan perempuan pekerja dan upaya mendukung kepemimpinan perempuan melalui microsite womenlead.magdalene.co, podcast How Women Lead dan FTW Media, dan berbagai konten di media sosial.

Women Lead Forum 2021 dibuka dengan pidato dari Deputy Head of Mission dari Kedutaan Besar Australia, H. E. Allaster Cox.

“Memajukan perempuan dalam kepemimpinan dipandang sebagai salah satu pendorong utama kesetaraan gender. Kami tahu bahwa pemimpin perempuan juga lebih cenderung mendukung kesetaraan gender. Namun demikian, meningkatkan keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan tetap menjadi tantangan di seluruh dunia,” papar Cox.

Untuk itu, Australia merasa bangga bisa bergandengan tangan dengan Indonesia dalam perjalanan memperkuat keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan, dan mencapai kesetaraan gender yang lebih baik di tempat kerja.”

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Terkait perempuan di posisi kepemimpinan, Ida juga menyatakan bahwa ini masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan bersama. Sebagai contoh, di sektor aparatur sipil negara(ASN) yang mencapai 4,1 juta, 52 persennya adalah perempuan. Akan tetapi jumlah yang menduduki jabatan struktural relatif sedikit. Di jabatan tinggi madya, hanya ada 96 orang perempuan, jauh lebih sedikit dari laki-laki yang berjumlah 483 orang.

Kampanye #KantorDukungPerempuan Lewat Instagram

Di samping diskusi panel tersebut, dalam acara ini juga diumumkan para pemenang kompetisi video #KantorDukungPerempuan yang diadakan Magdalene di Instagram. Kompetisi ini telah diikuti oleh sekitar 100 peserta, di mana mereka sebagai pekerja menyatakan dengan bangga bagaimana kantor masing-masing mendukung pekerja perempuan.

“Harapan kami, kebijakan dan best practices yang kuat dapat direplikasi oleh tempat kerja lainnya,” ujar Devi.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Selain itu, terdapat pula berbagai acara lain seperti bincang-bincang inspiratif dengan perempuan wirausaha muda serta pertunjukan stand up comedy oleh Sakdiyah Ma’ruf dan Ligwina Hananto.

Women Lead Forum 2021 juga terselenggara berkat dukungan Citi Indonesia, Martha Tilaar Group, Women in Mining (WIME), The Body Shop Indonesia, Nipplets, WeWaw, Industrial Organizational Club, dan Go Works.

Read More

Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Secara global, dibutuhkan sekitar 99,5 tahun untuk mencapai kesetaraan gender secara optimal. Hal ini dinyatakan World Economic Forum (WEF) berdasarkan data Global Gender Gap Report 2020 yang mereka kumpulkan dari 153 negara.

Perjalanan panjang mewujudkan kesetaraan gender diakibatkan masih besarnya kesenjangan gender di berbagai subindeks. Dalam penelitian WEF, ditemukan bahwa kesenjangan gender paling terlihat pada subindeks Politik dan Ekonomi. Tercatat hanya 24,7 persen kesenjangan gender yang bisa tertutupi pada subindeks ini dengan hanya hanya 25 persen dari 35.127 kursi global ditempati oleh perempuan, dan hanya 21 persen dari 3.343 menteri perempuan. Bahkan di beberapa negara, perempuan tidak terwakili sama sekali.

Kesenjangan gender juga masih terjadi pada subindeks Kesempatan dan Partisipasi Ekonomi Berusaha. Dalam subindeks ini, tercatat hanya 55 persen perempuan yang bekerja di pasar tenaga kerja, dengan hanya 36 persen dari mereka yang menjabat manajer senior sektor swasta dan pejabat sektor publik.  Hal ini diperparah dengan adanya lebih dari 50 persen kesenjangan upah.

Dari indeks secara keseluruhan (Politik, Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan), Indonesia menempati posisi 85. Keterwakilan perempuan di parlemen menurun (17,4 persen turun dari 19,8 persen), begitu juga di kabinet (24 persen, turun dari 26 persen). Di samping itu, partisipasi angkatan kerja perempuan masih cenderung stagnan, yaitu 54 persen dengan hanya 40,1 persen perempuan yang menduduki posisi strategis dan posisi yang membutuhkan tenaga profesional.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Budaya Patriarki, Tantangan Utama Atasi Kesenjangan Gender

Dalam diskusi bertajuk “Pemimpin Perempuan: Mengapa Penting?” yang diselenggarakan oleh Jalastoria Indonesia pada Jumat (26/21), Nur Aini, Ketua Serikat Sindikasi yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa hal yang menjadi tantangan utama dalam merealisasikan kesetaraan gender di Indonesia adalah karena masih mengakarnya budaya patriarki di masyarakat. Hal ini melanggengkan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki.

“Budaya patriarki inilah masalahnya, [lingkungan kerja] masih maskulin, kepemimpinan perempuan masih dipertanyakan,” ujar Nur Aini.

“Pertanyaan bagaimana perempuan membagi waktu ke keluarga, lalu bagaimana jika mereka hamil, bagaimana nanti kalau harus rapat sampai malam, pertanyaan-pertanyaan yang kerap diajukan kepada perempuan ini sebenarnya tidak bersifat substansial dan tidak pernah dipertanyakan kepada laki-laki.”

Menambahkan pendapat Nur Aini, Masruchah, Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan dan Dewan Pengawas Indonesian Feminist Lawyer Club mengatakan bahwa kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan perempuan di ranah domestik masih menjadi tantangan besar yang sulit dikikis.

“Di hadapan publik, masyarakat meyakini bahwa rumah urusan perempuan. Hal ini terlihat dari bagaimana UU Perkawinan juga secara jelas membagi peran gender perempuan dan laki-laki, bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, dan perempuan adalah seorang ibu rumah tangga,” kata Masruchah.

Menurutnya, konstruksi sosial ini memiliki sumbangsih besar pada pemberian beban sepihak dan ekspektasi berlebihan kepada perempuan.

“Dalam pandangan publik, sering kali perempuan itu diharuskan lebih sukses dua kali lipat dari laki-laki. Mereka harus bisa sukses dalam mengurus keluarganya, dan mereka harus bisa sukses juga di ruang publik, dari situ perempuan baru dianggap layak menjadi pemimpin,” imbuh Masruchah.

Hak Pekerja Perempuan Terabaikan

Di samping itu, tantangan lain yang menghambat penurunan kesenjangan gender di Indonesia ialah masih disepelekannya hak-hak perempuan sebagai pekerja

“Hak-hak pekerja perempuan masih banyak yang belum dipenuhi. Misalnya, saya bekerja di Tempo sejak 2008, tapi status saya masih kontrak. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan sudah jelas batasnya [status kerja kontrak] tiga tahun,” papar Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas dalam diskusi tersebut.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

“Posisi sebagai pekerja kontrak, kontributor, atau koresponden membuat pekerja tidak diberikan gaji tetap, dan tidak punya cuti haid atau melahirkan. Ukuran batasan jam kerja juga enggak ada. Mau kamu sedang hamil atau sedang haid, ya kalau kamu enggak kerja, kamu enggak akan dapat gaji,” Ika menambahkan.

Tidak hanya hak khusus perempuan dan status kerja yang tidak pasti saja yang masih menyandung perempuan pekerja. Ika mengatakan bahwa bagi jurnalis perempuan, ketidakadilan dan kekerasan gender yang mereka alami lebih berlapis. Mereka juga rentan mengalami kekerasan seksual dalam meliput atau dalam perjalanan meliput berita. Hambatan-hambatan seperti inilah yang membuat jurnalis perempuan lebih sedikit.

“Kalaupun ada biasanya hanya bertahan sampai lima tahun bekerja. Kalau sudah menikah dan punya anak, mereka pasti akan berhenti sebagai jurnalis,” kata Ika.

Hal ini kemudian berdampak pada miminmya perempuan menjabat di posisi struktural. Posisi perempuan di dalam media pun terlihat seperti piramida, semakin ke atas jumlah mereka semakin sedikit.

Affirmative Action Solusi Kesenjangan Gender

Salah satu jalan mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan gender yang dialami perempuan di ruang publik adalah dengan membuat affirmative action. Hal ini merupakan kebijakan khusus untuk meningkatkan representasi kelompok termarginalkan seperti perempuan.

Menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati, seharusnya affirmative action tatarannya tidak hanya terfokus pada tataran legislatif, tetapi juga di ranah ranah lainnya.

“Butuh ada evaluasi gerakan perempuan dalam affirmative action. Dengan begitu, jika kita berbicara mengenai bagaimana caranya memosisikan perempuan dalam posisi-posisi strategis, kita bisa beralih dari birokrasi ke lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, bahkan private sector,” kata Mike.

Ia berpendapat, upayamembuat affirmative action di luar ranah legislatif juga mampu mendorong penghentian anggapan keliru mengenai keadilan dan kesetaraan gender secara lebih luas. Di tubuh pemerintahan dan badan negara saja, isu gender masih kerap dipandang sebagai persoalan tunggal perempuan semata, bukan kepentingan bersama.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Mendorong Perempuan Menjadi Pemimpin

Nur Aini mengatakan bahwa affirmative action di lintas sektor dapat dimulai dengan hal termudah, yaitu dengan mendorong kepercayaan diri perempuan dan meyakinkan mereka bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin. Hal ini perlu dibarengi  dengan memberikan kesempatan pada perempuan untuk menduduki posisi strategis.

Menurut dosen Ilmu Politik FISIP dan Pascasarjana Kajian Gender UI, Dr. Nur Iman Subono, mendorong kepercayaan diri perempuan ini begitu penting karena perempuan telah mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa mansplaining dalam ruang kerja, atau perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan aspirasi atau ide-idenya.

“Mendorong kepemimpinan perempuan sangat penting, karena sebelum mencapai substantive representation, number representation harus terpenuhi terlebih dahulu untuk membantu tercapainya kesetaraan dan keadilan gender,” kata Nur Iman.

Masruchah memandang, dibandingkan gaya kepemimpinan laki-laki, gaya kepemimpinan perempuan terbukti lebih berorientasi pada kesejahteraan bersama.

“Umumnya, model kepemimpinan perempuan baik di organisasi atau parlemen punya gaya transformasi, mencoba banyak mendengarkan, memberikan ruang baik bagi tim kerja mereka, basis sosialnya untuk mendialogkan. Sementara laki-laki, karena sejak kecil dilihat seorang individu yang super dan berdaya, sering kali ketika dia mempimpin cenderung hierarkis, dengan cara memerintah dan menugaskan seseorang,” papar Masruchah.

Selain itu ia menilai, pemimpin perempuan lebih banyak memberi motivasi pada tim kerjanya karena ia ingin maju bersama.

“Mereka yang biasanya memulai ruang berbagi, ruang mendengar. Laki-laki pada umumnya mau maju sendiri, ‘aku bisa lho’. Kalau perempuan tidak, perempuan bergerak secara perlahan namun pasti, ‘aku bisa melakukan perubahan-perubahan ini bersama-sama’,” ujarnya.

Read More