keberagaman di tempat kerja

Ada LGBT dan Minoritas di Kantormu? Ini 6 Manfaatnya

keberagaman di tempat kerja – Bayangkan jika kantor tempatmu bekerja saat ini dipenuhi orang dengan latar belakang yang beragam, tidak hanya dari latar belakang suku, agama dan ras, tetapi juga identitas gender serta orientasi seksual? Pasti akan sangat banyak sekali hal-hal positif yang bermunculan karena keberagaman tersebut.

Sayangnya di Indonesia sendiri hal ini sepertinya masih menjadi angan-angan belaka, sebab masih banyak stigma dan diskriminasi terhadap komunitas marjinal, seperti LGBT di Indonesia. Memang, beberapa kantor ada yang tidak memedulikan identitas gender atau seksual karyawannya, dan selalu melihat prestasi mereka.

Namun, jika melihat tren global, berkat kemajuan teknologi dan perubahan zaman akibat pandemi Covid-19, membuat tempat kerja yang lebih inklusif untuk semua pekerja  itu sudah menjadi sebuah keharusan. Jika, perusahaan tidak melakukan hal ini, akan sulit bagi perusahaan tersebut untuk bertahan ke depannya. 

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Keberagaman di dunia kerja bukan hanya perlu diberlakukan di bagian karyawannya saja tetapi juga di level-level strategis seperti level pengambil keputusan.  Kok gitu? Semakin beragam orang-orang di dalam level pengambil keputusan, maka semakin baik pula keputusan yang dihasilkan. 

Nah berikut ini beberapa manfaat keberagaman di tempat kerja yang mesti kamu tahu, yuk disimak. 

1. Keberagaman di Tempat Kerja akan Meningkatkan Produktivitas Pekerja dan Inovasi

Saat perusahaan memutuskan untuk menerima karyawan baru dari berbagai latar belakang dan identitas, hal ini akan membawa perusahaanmu pada banyak keuntungan salah satunya meningkatkan produktivitas kerja. Memang, membawa perspektif baru ke perusahaan terlihat  menyeramkan untuk HRD, tetapi beberapa riset mengatakan, tim yang beragam memperlihatkan perbaikan dalam mengambil keputusan sebesar 60 persen.

Selain itu, coba deh kamu bayangkan jika tim kamu itu isinya orang-orang yang homogen, misalnya, dari suku yang sama, atau jenis kelamin yang sama, tentunya ide-ide yang dihasilkan juga  tidak terlalu menarik. Nah, jika tim-mu komposisinya beragam, seperti dari segi gender, latar belakang pendidikan, dan lain sebagainya, pastinya akan banyak banget inovasi yang diciptakan, dan hal ini berujung pada keuntungan untuk perusahaan juga deh. 

 2. Meningkatkan Reputasi Perusahaan

Kita semua tahu, bahwa saat ini dunia sudah berubah dan kesetaraan gender dan inklusivitas tempat kerja menjadi topik hangat untuk semuanya. oleh sebabnya jika perusahaanmu mulai memperbaiki hal ini, maka reputasi perusahaanmu akan mulai membaik.

Baca Juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Orang-orang akan mengenal perusahaanmu inklusif, dan yang pasti mereka juga akan senang membeli produk atau jasa yang perusahaan tawarkan. Keberagaman di tempat kerja ternyata semakin membawa cuan loh ke perusahaan. 

3. Menciptakan Ruang yang Nyaman dan Aman bagi Semua Pekerja

Baru-baru ini beredar kabar di media sosial, bahwa terjadi kekerasan seksual saat perekrutan di salah satu startup besar di Jakarta Selatan. Hal ini tentunya bukan cuma terjadi satu-dua kali saja, tetapi sebelumnya sudah banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja. 

Faktanya, memang sebagian besar perusahaan masih belum memiliki SOP untuk menangani kekerasan seksual. Nah, untuk membuat lingkungan kerja yang aman dan nyaman, tentunya SOP kekerasan seksual saja tidak cukup, namun, dibutuhkan juga perubahan budaya serta inklusivitas dalam ruang kerja. 

4. Meningkatkan Performa Kerja Karyawan

Ketika lingkungan kerja  nyaman dan aman serta  memiliki talent yang beragam, hal ini tentunya berpengaruh juga terhadap performa kerja karyawan. Dikutip dari HBR, dalam sebuah riset menunjukan jika tim kamu homogen, mulai dari identitas gender hingga cara pandangnya, akan melumpuhkan keragaman kognitif alami sebab individu mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri. 

Baca Juga: Pemimpin Perempuan: Perkara Kesempatan

Ketika karyawan tidak bisa menjadi dirinya sendiri, tentunya hal ini akan berpengaruh pada kesehatan mental karyawan tersebut dan akhirnya tidak bisa menghasilkan pekerjaan terbaik mereka. 

Tantangan dalam Menciptakan Keragaman di Tempat Kerja

Berbicara tentang keberagaman di tempat kerja tentunya lebih mudah ketimbang mengimplementasikannya. Banyak sekali tantangan yang akan dihadapi oleh manajemen terutama dalam hal melatih karyawan serta HRD-nya. Berikut ini beberapa tantangan yang akan perusahaan hadapi setelahnya, dikutip dari laman Culture Amp. 

  1. Melakukan pelatihan rutin dan masif untuk semua karyawan. 
  2. Belajar dan mengurangi bias-bias pada identitas-identitas tertentu, seperti identitas gender, orientasi seksual, serta ras.
  3. Perusahaan kemungkinan akan mengalami resistensi dari karyawan-karyawan yang tidak menginginkan adanya perubahan. 
Read More

Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Impian untuk menciptakan tempat kerja yang beragam dan inklusif tentu tidak akan terwujud tanpa pembaruan dalam kebijakan sumber daya manusia (SDM)di perusahaan. Layaknya induk dalam perusahaan, kebijakan SDM akan melahirkan proses perekrutan yang lebih berkeadilan yang tidak mencantumkan standar ganda pada gender maupun kelompok tertentu berasal.  

Di tatanan global, jargon Keberagaman dan Inklusi sudah mulai menjadi tren dalam beberapa dekade terakhir. Buku Global Diversity and Inclusion yang dikeluarkan oleh The Economist pada 2009 menunjukkan jika tren menciptakan keberagaman dan inklusivitas akan menjadi topik yang terus dibahas di masa depan. Banyak organisasi dan perusahaan sadar akan pentingnya membangun kebijakan yang merayakan keragaman identitas, latar belakang ras, dan gender.

The Economist melakukan survei pada 500 eksekutif di perusahaan dan organisasi seluruh dunia termasuk Asia Pasifik. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 55 persen eksekutif perusahaan, termasuk kepala bagian SDM, sudah mulai menerapkan konsep keberagaman dan inklusivitas. Sedangkan 79 persen di antaranya percaya jika harus lebih banyak lagi presentasi perempuan di tempat kerja, dan 39 persen representasi ras minoritas. Dalam bukunya, The Economist juga merekomendasikan untuk memulai pengaplikasian konsep keberagaman dan inklusivitas dengan mengidentifikasi nilai keberagaman itu sendiri di tiap negara dan wilayah.

Baca juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

“Setelah kita paham isu besar apa yang dihadapi di negara kita kerja, baru kita bisa bikin kebijakan. Kita enggak mungkin menerapkan konsep keberagaman orang Amerika ke negara Asia misalnya, karena jelas punya budaya yang berbeda,” tulisnya.

Kebijakan SDM untuk mendorong keberagaman dan kesetaraan di tempat kerja juga masuk dalam rencana aksi global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sampai 2030 mendatang, sebuah agenda besar para pemimpin dunia untuk menciptakan laju perekonomian yang merata dan setara. Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga menerbitkan sebuah buku saku bertajuk Promoting Diversity And Inclusion Through Workplace Adjustments A Practical Guide yang berisi berbagai rekomendasi dan cara-cara praktis yang bisa diimplementasikan di perusahaan, agar kebijakannya bisa mendorong lebih banyak perempuan untuk tampil dan memberi ruang untuk kelompok minoritas.

Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dunia juga sudah banyak yang secara terang-terangan mendukung keberagaman dan menyampaikan keterbukaan bagi komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ). Kemajuan progresif juga ditunjukkan oleh perusahaan multinasional seperti Unilever dan Danone yang baru-baru ini mengganti logonya dengan warna pelangi, sebagai simbol dukungan terhadap kelompok LGBTQ. Bahkan Unilever membuat kebijakan tersendiri bagi pekerjanya yang sedang melakukan transisi gender.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Kebijakan SDM di Indonesia

Di Indonesia, kebijakan SDM yang ramah LGBTQ masih mendapat serangan dari banyak pihak. Tidak lama setelah Unilever mengganti logo, muncul gerakan yang memboikot produk-produk Unilever dan Danone. Pada 2018 lalu, Gojek mendapat kecaman setelah salah satu manajernya mengatakan bahwa orientasi seksual apa pun akan diterima di Gojek selama dia punya kemampuan. Tagar #UninstallGojek ramai di sosial media, sebagai bentuk boikot Gojek yang dianggap mendukung LGBTQ.

Meskipun demikian, menurut Floribertus, seorang praktisi SDM yang sudah berkecimpung di dunia SDM selama 15 tahun, Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam kebijakan SDM, termasuk perekrutan. Data diri calon pelamar, misalnya, cenderung lebih singkat dibandingkan zaman dulu yang mesti mencantumkan hal-hal bersifat pribadi seperti agama, jenis kelamin, dan surat berkelakuan baik.

“Penyederhanaan bentuk resume ini harus dilihat sebagai kemajuan karena secara perlahan, hal ini mengeliminasi kemungkinan bias penilaian terhadap hal-hal yang bersifat pribadi, alih-alih kemampuan. Beberapa perusahaan bahkan sudah mulai menerapkan aturan agar pelamar tidak memakai foto dalam resumenya, sehingga tim SDM bisa menilai kelayakan mereka mendapat kerja secara objektif tanpa mempertimbangkan ras maupun suku tertentu,” kata Floribertus, yang sudah bekerja di berbagai sektor, mulai dari otomotif, farmasi, sampai tambang dan perbankan.

Namun menciptakan sistem yang berimbang secara gender masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam bidang SDM perusahaan, ujarnya.

“Nah, di sinilah seharusnya (divisi) SDM ditantang supaya bisa melihat potensi dari perempuan kalau sudah terlalu banyak laki-laki. Sistem yang baik juga harus bisa melihat ini sebagai sebuah masalah,” kata Floribertus.

“Saat ada pekerja perempuan yang harus mengundurkan diri setelah menikah, pembuat kebijakan SDM lebih baik menawarkan alternatif posisi lain yang bisa lebih terjangkau oleh perempuan, sehingga perempuan tidak melulu harus meninggalkan karier saat terjepit keadaan dan tanggung jawabnya sebagai ibu.”

Selain itu, dorongan eksternal yang mengharuskan perusahaan membuat kebijakan SDM yang inklusif dan tidak diskriminatif juga merupakan implikasi dari masyarakat yang semakin kritis dan budaya spill up di media sosial yang bisa saja menghancurkan reputasi perusahaan secepat kilat. Di Twitter misalnya, ada akun @HRDBacot dengan 377 ribu pengikut, yang selalu menjadi tempat keluh kesah para pekerja yang merasa perusahaannya tidak adil.

“Orang sekarang semakin kritis. Apa-apa pasti dikritik, kalau salahnya besar pasti viral. Ya sebetulnya SDM juga harus hati-hati banget bikin kebijakan. Apalagi kita ada obligasi buat bikin pekerja stay, kan enggak kayak zaman dulu yang orang cenderung akan stay puluhan tahun. Sekarang bisa hengkang kapan saja,” ujar Floribertus.

Kemajuan juga masih lambat di instansi-instansi pemerintahan, misalnya, yang masih menggunakan standar-standar normatif seperti gender, umur, agama, dan orientasi seksual. Perusahaan yang punya birokrasi yang kompleks cenderung lebih sulit menerima konsep keberagaman dan inklusivitas.

“Perusahaan swasta yang multinasional sudah mulai aware sama hal-hal begini. Tapi lembaga formal yang mengikuti protokol pemerintah kan enggak gampang mengubah alur kebijakan SDM,” ujarnya.

Mendukung Fleksibilitas SDM

Selain mendukung keberagaman saat proses perekrutan, aturan fleksibilitas kerja menjadi hal yang tak kalah krusial dalam menciptakan tempat kerja yang lebih ramah terhadap perempuan. Adanya peran ganda perempuan antara bekerja dan mengurus rumah tangga menjadikan jam kerja fleksibel penting. Dalam banyak kasus, perempuan sering kali memilih keluar dari pekerjaannya karena tidak memungkinkan waktu kerja yang fleksibel.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Hasil penelitian lembaga riset AS Corporate Leadership Council pada 2014 menunjukkan, fleksibilitas kerja meningkatkan aspirasi karier perempuan hampir 30 persen, sehingga perempuan tidak harus meninggalkan atau menurunkan ambisinya di tempat kerja setelah berkeluarga. Buku saku yang ILO bertajuk Work And Family Creating a family-friendly workplace menggarisbawahi bahwa fleksibilitas kerja dan keterbukaan perusahaan menjadi kunci menciptakan tempat kerja ramah perempuan yang punya beban mengurus keluarga.

Floribertus mengatakan di saat pandemi seperti sekarang inilah kapasitas perusahaan dalam membuat keputusan yang berpihak pada pekerja perempuan diuji. Perusahaan harus melihat permasalahan bekerja dari rumah lebih sulit dilakukan oleh perempuan yang harus mengurus anak sekaligus mencari waktu untuk bekerja.

“Semuanya harus didasari komunikasi yang terbuka juga ya. Kita harus mau menanyakan dan mendengarkan keadaan pekerja. Peduli dengan support system-nya, misalnya dia harus jagain anak karena hari ini pengasuhnya sakit, kita sebisa mungkin harus kasih solusi yang terbaik,” ujar Floribertus.

“Saat ada kasus pekerja perempuan yang harus mengundurkan diri setelah menikah, pembuat kebijakan SDM lebih baik menawarkan alternatif posisi lain yang bisa lebih terjangkau oleh perempuan, sehingga perempuan tidak melulu harus meninggalkan karier saat terjepit keadaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.”

Read More