‘Bye Job Hopping, Halo Job Hugging’: Realitas Pasar Kerja Indonesia yang Kian Tak Pasti

Ini adalah tahun keempat “Andrea” bekerja di kantor yang sama. Selepas menamatkan strata satunya (S1), ia berkesempatan meniti karier di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.  

Seperti kebanyakan orang, mulanya Andrea senang lantaran beruntung bisa langsung mendapat kerja selepas kuliah. Tanpa proses yang sulit, ia bisa merasakan gaji pertama yang cukup dan tempat berkembang baru di usianya yang masih 20 tahunan. 

Sayang, euforia mendapat pekerjaan tak berlangsung lama. Di tahun keempat, Andrea merasa kariernya stuck dan bingung mau melangkah ke mana. Lama-kelamaan ia memutuskan tetap bertahan demi melanjutkan hidup semata. Pengembangan diri jadi barang mahal yang sulit digapai karena ia tak bisa bergerak ke mana-mana. 

Gue sebenernya mempertahankan pekerjaan ini biar ada pemasukan aja, biar gue tetep hidup, gitu. Soalnya gue udah merasa apa ya? Stuck kali ya. Kayak bingung ini mau ngembangin diri kayak gimana lagi?,” kata Andrea. 

Tak hanya Andrea, “Bima”, salah satu pekerja di badan usaha milik negara (BUMN) juga merasakan hal yang sama. Meskipun orang bilang pekerjaan yang ia dapat adalah cita-cita para orang tua, Bima belum merasa demikian. Setelah lebih dari tiga tahun bekerja di sana, ia tak punya alasan lain selain gaji untuk bertahan. Tak ada pengembangan diri yang signifikan, katanya. Mau mencari ke luar pun pilihannya tidak ada.  

“Lebih ke sekarang opsinya enggak ada. Kalau mau pindah harus ke entry level lagi karena ketersediaan untuk level-level menengah gini hampir enggak ada. Bisa dibilang bertahan emang lebih aman,” ungkap Bima.   

Seperti Andrea dan Bima, “Nisrina” pun punya keluhan yang sama. Hanya saja, keluhan Nisrina tak hanya soal karier yang stuck atau pengembangan diri yang nihil. Dalam kasusnya, Nisrina juga harus berhadapan dengan atasan yang toxic untuk bertahan hidup. Kerja lembur pun jadi makanannya sehari-hari. 

“Kayaknya kalau enggak buat makan sehari-hari, aku better cabut sih dari kantor yang sekarang. Kerjaannya tuh betul-betul overload banget. Belum lagi atasan juga baperannya minta ampun. Rasanya enggak sepadan gitu gaji dengan apa yang dikerjain. Mau pindah tapi enggak juga ada pilihannya,” cerita Nisrina.  

Belakangan pengalaman ketiga orang ini ramai dibahas di media sosial. Salah satu perusahaan aplikasi personalia di Amerika Serikat, Resume Builder, memotret fenomena ini sebagai job hugging. Maksudnya, para pekerja berupaya bertahan di posisi mereka kini, bukan karena loyalitas apalagi kepuasan kerja. Mereka cuma takut akan kehilangan pendapatan karena ketidakpastian pasar kerja. 

Melansir CNBC, berbeda dengan job hopping yang sempat jadi tren di Indonesia pada 2021-2022 lalu, job hugging merupakan fenomena di mana pekerja tidak punya pilihan untuk meningkatkan karier mereka. Akibatnya, mereka pun hanya berupaya menikmati pekerjaan yang sekarang–meski tanpa pengembangan diri, dan bahkan harus menelan lingkungan kerja yang juga tidak sehat.  

Baca juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z

Bergelut di Antara Rasa Aman dan Karier yang Stagnan 

Di Amerika, survei Resume Builder menemukan bahwa hampir setengah pekerja di sana berada dalam kondisi job hugging. Mereka yang memeluk pekerjaannya bilang, bertahan adalah pilihan yang paling masuk akal dan aman di tengah situasi yang tidak pasti. Sebagian dari mereka bahkan berupaya keras untuk mempertahankan posisinya saat ini. Upaya tersebut termasuk menelan jam kerja yang berlebih, sampai mengambil tugas tambahan dari rekan kerja yang lain. 

Meskipun di Indonesia survei sejenis belum dilakukan, kisah Andrea, Bima, dan Nisrina, bisa jadi gambaran bagaimana pekerja di Indonesia juga tengah memeluk erat pekerjaannya untuk saat ini. Meskipun berat dan tidak dapat memberikan pengembangan diri, ketiganya bertahan setidaknya untuk menyambung hidup dari hari ke hari. 

Celaka dua belas, rasa aman ini juga dibarengi dengan tekanan yang sering kali menyerang kesehatan mental. Pada Andrea hal ini bahkan berujung pada kelelahan emosional (burn out) yang hampir dirasakan setiap hari. Karena kerja untuk sekadar menjaga cashflow, Andrea bingung untuk memastikan apa yang benar-benar sedang ia kerjakan. 

I’m questioning myself, my purpose everyday. Gue merasa setiap hari itu berat. Kayak gue bikin to-do list nih, tapi jadi overwhelmed juga kalau enggak semua terselesaikan. Ujung-ujungnya jadi nyalahin diri sendiri, ‘kok gue nggak perform kayak dulu ya?’, gitu.” 

Senada, bagi Bima bertahan untuk gaji sama saja dengan menggadaikan proses perkembangan kariernya ke depan. Bukan tidak bersyukur, sebutnya. Masalahnya Bima merasa kehilangan momentum untuk bertumbuh karena terpentok kesempatan kerja lain yang kosong dan usia yang terus bertambah. Ia pun kian merasa lesu ketika melakukan aktivitasnya sehari-hari.  

“Mungkin tepatnya unfulfilled ya. Karena ya itu, merasa kehilangan banyak momentum aja untuk dapat kesempatan lain. Tapi di sisi lain, usia terus nambah,” katanya.  

Kondisi ini pun dikonfirmasi Dr. Kaitlin Harkess, psikolog klinis, dalam wawancaranya bersama NT News pada (14/9). Ia bilang job hugging memang bisa menyebabkan kualitas hidup yang buruk, frustrasi, sampai gejala stres macam kelelahan dan kurang tidur. 

Baca juga: Nasib Perempuan Pekerja: Batas Umur di Loker Lebih Merugikan Perempuan? 

Bagaimana dengan Pekerja Perempuan? 

Meskipun fenomena job hugging baru muncul belakangan, nyatanya, para pekerja perempuan tercatat sudah melalui rintangan ini jauh sebelum konsep tersebut ramai dibicarakan. Hariati Sinaga, Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, bilang hal ini berkaitan dengan stigma dan bias di dunia kerja yang sudah ada sejak dulu.  

Ia bilang mayoritas perempuan memang terpaksa bertahan pada pekerjaannya karena tak banyak pilihan yang bisa dicoba untuk mencari peruntungan. Banyaknya syarat yang tercantum dalam lowongan pekerjaan jadi penyebab mengapa perempuan lebih memilih memeluk pekerjaannya meski tak semenguntungkan itu. 

“Sebenarnya kalau membicarakan job hugging, hal ini mungkin sudah dirasakan perempuan dari dulu karena memang pilihannya terbatas,” kata Hariati pada Magdalene (16/9).   

Pernyataan ini selaras dengan temuan riset “Penggambaran Tubuh Perempuan dalam Iklan Lowongan Pekerjaan” (2017). Di sana dijelaskan lowongan pekerjaan masih memuat syarat yang mengobjektifikasi tubuh perempuan, seperti harus berpenampilan menarik, atau bertubuh kurus.  

Selain itu, temuan lain dalam riset bertajuk “Bias Gender dalam Iklan Lowongan Pekerjaan” (2022), juga menemukan pekerjaan untuk perempuan masih terbatas pada bidang-bidang tertentu, seperti bisnis pelayanan. Enggak hanya itu, tuntutan kriteria terkait batas usia sampai status pernikahan juga jadi alasan sulitnya perempuan untuk mendapat opsi pekerjaan lain.  

Fenomena ini pun tergambar dalam kisah Nisrina yang terjebak dalam job hugging. Ia bilang pilihannya untuk menjaga profesi saat ini dipengaruhi oleh kondisinya yang sudah menikah dan memiliki anak. Menurut Nisrina, tak banyak perusahaan yang mau menerima perempuan yang sudah berkeluarga.  

Kayaknya enggak banyak juga ya yang mau nerima perempuan beranak kayak gue gini. Susah lagi nyarinya. Bertahan aja udah, cicilan terlalu banyak,” ungkapya. 

Hariati menambahkan, kondisi akan semakin parah apabila hal ini terjadi pada pekerja perempuan dengan pendapatan rendah. Pasalnya, mereka yang bertahan dengan gaji minim biasanya terjebak dalam situasi tanpa pilihan atas pekerjaan yang lebih baik.  

Bagi mereka, pilihannya adalah bekerja atau tidak makan sama sekali. Hal ini bukan hanya membuat mereka terjebak dalam pengembangan diri yang nihil. Para pekerja, termasuk perempuan, bakal menerima semua konsekuensi kerja yang bisa merusak kesehatan mereka.  

“Sebenarnya ini menunjukkan secara lintas kelas sosial, job hugging itu memberi dampak yang berbeda tapi sama-sama parah. Karena buat pekerja di kelas ekonomi yang lebih rendah, mungkin terlalu privilege gitu kalau ngomongin mental health atau pengembangan karier. Alasannya ya karena memang pilihannya kerja atau tidak makan sama sekali. Jadi mungkin banyak hak mereka yang bahkan enggak terpenuhi,” jelas Hariati.  

Baca juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’ 

Double Kill’ Pemerintah Egois, Lapangan Kerja Minim 

Kesulitan mencari pekerjaan kini dirasakan hampir semua lapisan masyarakat. “Kondisi ini menggambarkan bagaimana kesulitan ekonomi kian dirasakan lebih meluas di semua lapisan masyarakat,” ujar Hariati. 

Pernyataan itu diamini Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Ia menilai perekonomian Indonesia tengah terguncang dan berpotensi mengalami perlambatan pertumbuhan. 

Terkait fenomena job hugging, Bhima menjelaskan hal ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya ketersediaan lapangan kerja. Akar masalahnya, menurut dia, terletak pada keegoisan pemerintah yang lebih memilih mendorong investasi di industri padat modal dibandingkan padat karya. Dampaknya, penyerapan tenaga kerja pun menurun secara berkala. 

“Sekarang ini investasi makin tidak berkualitas. Klaim serapan kerja per investasi yang masuk makin turun. Tahun 2015 setiap Rp1 triliun investasi menyerap 2.632 tenaga kerja, sedangkan semester 1 2025 cuma menyerap 1.273 orang tenaga kerja. Padahal banyak industri existing yang butuh suntikan modal, tapi karpet merah insentif diberikan ke investasi padat modal yang baru,” jelas Bhima (17/9). 

Apa Solusinya? 

Menurut Bhima, langkah cepat yang bisa diambil pemerintah adalah kembali melirik sektor padat karya untuk meningkatkan serapan tenaga kerja, agar industri yang masih bertahan tidak sampai gulung tikar. 

“Sebetulnya bisa mulai dengan menyelamatkan industri existing dari gelombang penutupan. Jangan boros kasih insentif pajak ke sektor padat modal,” ucapnya. 

Sebagai alternatif, Bhima menyebut masyarakat bisa mencoba berwirausaha dan menggerakkan perputaran ekonomi mandiri. Namun, ekosistem yang mendukung mutlak diperlukan, sehingga beban tidak sepenuhnya jatuh pada individu. 

“Kalau fresh graduate mau jadi wirausaha silahkan, tapi ekosistemnya harus dibangun pemerintah. Soalnya banyak karyawan takut jadi wirausaha karena mitos wirausaha bisa dilakukan semua orang mulai banyak yang meragukan itu. Korupsi perizinan usaha itu juga harus diberantas, bukan cuma gimik digitalisasi aja,” terangnya. 

Di sisi lain, bagi mereka yang masih merasa terjebak dalam pekerjaan sekarang, ada cara lain untuk tetap bertahan. Neuropsikolog Theo Tsaousides lewat tulisannya di Psychology Today menyarankan pekerja untuk membuat tujuan hidup di luar pekerjaan. Langkah ini, menurutnya, bisa membantu menemukan keseimbangan di tengah kebingungan karier. Meski bukan solusi utama, setidaknya pekerja dapat merasa lebih tenang di kondisi yang serba terimpit. 

Read More
batas usia dan syarat penampilan akan dihapus pemerintah

Kemenaker Dorong Rekrutmen Tanpa Batasan Usia dan Syarat ‘Good Looking’

Buat banyak pencari kerja di Indonesia, batas usia masih jadi tembok tinggi yang susah ditembus. Enggak sedikit lowongan yang menyantumkan syarat maksimal umur, misalnya 30 tahun, bahkan ada yang cuma sampai 27 tahun. Padahal zaman sudah berubah, masa iya standar kayak gitu masih dipakai?

Dikutip dari Kompas, Kenapa Mencari Pekerjaan di Indonesia Ada Batasan Umur?, menurut Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), alasan kenapa batas usia masih dijadikan syarat adalah karena jumlah pelamar sering kali jauh lebih banyak daripada posisi yang tersedia.

“Bayangin aja, buka lowongan untuk 10 orang tapi yang daftar sampai 1.000. Masa iya semuanya dites satu-satu? Ya susah juga. Jadi akhirnya dipilih cara paling cepat: saring dari usia dulu,” kata Bob.

Dia juga membandingkan dengan situasi di Singapura. Di sana, nyaris enggak ada batasan usia dalam lowongan kerja. Kenapa? Karena jumlah lapangan kerja lebih banyak dari pelamarnya.

“Di Singapura, usia 70 tahun pun masih bisa kerja bersih-bersih. Karena lowongan kerja banyak, sementara pelamarnya sedikit. Jadi sebenarnya bukan soal usia yang produktif atau enggak, tapi karena di Indonesia lowongan kerja yang tersedia memang belum banyak,” jelasnya.

Baca Juga: Masih Sulit Cari Kerja? Mungkin Beberapa Trik Ini Bisa Dicoba

Menuju Lowongan Kerja Tanpa Batasan Usia

Kabar baiknya, pemerintah mulai mempertimbangkan buat menghapus batas usia dari syarat perekrutan kerja. Seperti dikutip dari Detik Finance, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, berencana mendorong perusahaan agar enggak lagi membatasi usia dalam proses rekrutmen.

Menurutnya, batas usia justru jadi salah satu penghambat terbesar buat penyerapan tenaga kerja. Tapi rencana ini masih akan bersifat imbauan, belum berupa regulasi yang mengikat.

“Nanti Insyaallah kita akan respons segera dengan suatu imbauan,” ujar Yassierli saat ditemui usai pembukaan Job Fair di Kantor Kemnaker, Kamis (22/5/2025).

Untuk tahap awal, kebijakan ini rencananya akan dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran (SE). Tapi belum dipastikan kapan tepatnya SE tersebut akan dirilis, karena Kemnaker juga baru saja mengeluarkan SE soal larangan penahanan ijazah.

Langkah Awal Menuju Rekrutmen Tanpa Diskriminasi

Sebenarnya wacana ini sudah sempat disampaikan Yassierli awal Mei lalu. Dalam pernyataannya, dia menekankan pentingnya proses rekrutmen yang bebas dari diskriminasi, termasuk soal usia.

“Kita ingin semua orang punya peluang yang sama untuk masuk ke dunia kerja, tanpa dibatasi faktor usia,” tegasnya dalam acara di Plaza BPJAMSOSTEK, Jakarta Selatan.

Kemnaker pun berjanji akan mulai menyisir satu per satu hambatan yang bikin akses kerja jadi enggak merata. Salah satunya ya syarat umur ini.

“Kalau ada hal-hal yang berpotensi jadi penghalang, itu yang akan kita evaluasi. Supaya setiap orang punya kesempatan yang setara,” tutup Yassierli.

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Kemenaker Bakal Larang Syarat “Good Looking” di Lowongan Kerja

Tidak cuma penghapusan batas usia di lowongan kerja, tapi ada wacana juga syarat good looking akan dihapuskan. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) punya rencana besar: syarat “good looking” alias harus menarik secara fisik bakal dilarang dicantumkan di lowongan kerja.

Dikutip dari Kompas, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel, menyampaikan hal ini saat menutup Job Fair 2025. Selain penampilan, syarat lain seperti batas usia dan status pernikahan juga bakal ikut dihapus dari daftar kriteria rekrutmen.

“Kita enggak mau lagi ada pencari kerja yang dibebani syarat berat kayak harus cantik, ganteng, belum nikah, atau usia tertentu. Itu semua akan dihapus lewat surat edaran yang segera kami keluarkan,” ujar Noel dalam siaran daring, Jumat (23/5/2025).

Kenapa Syarat-Syarat Ini Harus Dihapus?

Menurut Noel, langkah ini sangat penting buat bantu para pencari kerja, khususnya generasi muda, bisa lebih mudah masuk ke dunia kerja. Soalnya, Indonesia saat ini tengah menikmati bonus demografi. Artinya, penduduk usia produktif kita lagi tinggi-tingginya. Tapi kalau akses kerja dibatasi hal-hal enggak relevan kayak penampilan atau status, sayang banget potensinya bisa kebuang sia-sia.

Baca Juga: 4 Tips Buat ‘Fresh Graduate’ yang Sulit Mendapat Kerja

Stop Pelecehan dan Praktik Rekrutmen Toxic

Noel juga menyinggung masalah yang lebih serius: pelecehan dalam proses rekrutmen. Ia menegaskan agar perusahaan stop melakukan praktik tidak pantas seperti menanyakan ukuran bra ke pelamar perempuan.

“Maaf ya, saya bukan maksud jorok. Tapi ini serius. Kalau ada HRD nanya ukuran BH, itu pelecehan. Dan bisa dipidana. Kemenaker enggak akan tinggal diam kalau ada hal kayak gitu,” tegasnya.

Penahanan Ijazah = Pemerasan

Masalah lain yang juga jadi perhatian Noel adalah soal penahanan ijazah karyawan. Menurutnya, praktik ini sudah enggak bisa ditoleransi. Apalagi kalau ijazah ditahan dan karyawan diminta tebusan uang buat mengambilnya.

“Kalau masih ada perusahaan yang nahan ijazah dan minta uang buat nebus, itu bisa kita jerat dengan pasal pemerasan. Kami siap bawa ke jalur hukum pakai pasal penggelapan di KUHP,” kata Noel.

Read More
fresh graduate cari kerja

10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Tahun ini merupakan tahun kedua bagi para fresh graduate melamar pekerjaan di tengah pandemi. Dalam situasi serba tak pasti dan krisis seperti sekarang, anak-anak muda yang baru lulus atau fresh graduate menghadapi tantangan lebih besar. 

Ketika fresh graduate melamar kerja, perusahaan akan lebih selektif dan barangkali juga menawarkan upah yang tidak seperti dikehendaki si pencari kerja. Jumlah lowongan kerja pun menurun sampai 75 persen pada April 2020, seperti yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS). 

Pada akhirnya, hal ini bisa berkontribusi negatif pada kesehatan mental orang-orang yang baru di-PHK, pengangguran, termasuk para fresh graduate. Mereka rentan stres, apalagi jika mereka menghadapi kesulitan dan kegagalan dalam proses rekrutmen.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Untuk meningkatkan kesempatan lamaran dibaca oleh perekrut, saat fresh graduate melamar kerja, sebaiknya kamu menerapkan sikap sopan dan etika. Kedua hal tersebut perlu dibangun sejak mengirimkan lamaran untuk membentuk kesan yang baik dan menjadi pertimbangan untuk melanjutkan ke tahap rekrutmen selanjutnya. Perekrut pun dapat melihat cerminan karakter pelamar saat bekerja berdasarkan sikap dan etika yang terbentuk dari awal.

Beberapa tips berikut ini dapat diterapkan oleh para fresh graduate dalam mencari pekerjaan. Dengan menerapkan strategi yang tepat dalam melamar kerja, kesempatan yang digunakan akan lebih efektif dan bermanfaat.

Do’s

1. Tips Pertama untuk Fresh Graduate: Kenali Tujuan Karier

Setelah lulus dari bangku perkuliahan, seorang fresh graduate sebaiknya mengenali tujuan karier serta strategi yang dapat dilakukan untuk mencapainya. Hal ini akan membantu dalam menentukan tempat kerja yang akan dilamar agar sesuai dengan karakteristik dan diperkirakan akan membantu mencapai tujuan tersebut.

Umumnya, tujuan karier menjadi salah satu pertanyaan dalam wawancara kerja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang fresh graduate memiliki rencana dalam hidupnya yang juga memberikan motivasi dalam bekerja.

2. Fresh Graduate Harus Bisa Menulis Body Email yang Baik

Cara seorang pelamar kerja menuliskan body email dapat menentukan impresi perekrut. Bagian ini akan menunjukkan bagaimana seseorang berusaha membangun interaksi yang baik dengan pihak perekrut.

Ada beberapa hal yang perlu ditulis pada body email. Pertama, sapaan pembuka untuk HRD perusahaan yang namanya dapat ditulis jika memang diketahui. 

Baca Juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Kedua, pada paragraf pertama, kita dapat mengutarakan tujuan mengirimkan email tersebut dan dari mana informasi lowongan pekerjaan itu diperoleh.

Ketiga, penjelasan diri terkait relevansi diri dengan perusahaan dan posisi yang dilamar, apa saja yang dapat diberikan ke perusahaan, dan menceritakan kembali pengalaman bekerja yang sesuai, tetapi tidak dijelaskan dalam CV.

Keempat, utarakan antusiasme untuk bergabung dengan perusahaan tersebut, ucapan terima kasih pada penerima email, dan menyertakan kontak yang dapat dihubungi.

3. Menjelaskan Garis Besar Job Description di Pengalaman Kerja Sebelumnya

Dalam menyebutkan pengalaman kerja di CV, tak cukup jika hanya menyebutkan profesi yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, detail dari cakupan pekerjaan yang pernah dilakukan perlu dijelaskan secara singkat agar perekrut dapat memahami pengalaman tersebut.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Format penulisannya dapat ditulis dalam bullet point supaya lebih mudah dibaca dan tidak memakan waktu lama bagi perekrut untuk membacanya.

4. Susun Portofolio di Platform yang Mudah Diakses

Pada pekerjaan tertentu, portofolio dibutuhkan agar perekrut mengetahui kualitas dan kapabilitas pelamar kerja melalui berbagai proyek yang pernah dikerjakan. Agar terlihat profesional dan memudahkan perekrut mengaksesnya, pelamar kerja dapat memanfaatkan berbagai layanan blog gratis seperti WordPress, Wix, dan lain-lain.

Selain bermanfaat untuk perekrut, menyusun portofolio dalam sebuah platform juga mampu memudahkan pelamar kerja dalam memantau perkembangannya dalam setiap proyek yang dikerjakan.

5. Memeriksa Kesalahan Ketik dan Ejaan 

Mungkin terlihat sederhana, tetapi hal ini dapat berpengaruh besar karena mencerminkan ketelitian. Impresi yang dimiliki oleh perekrut akan kurang baik apabila dari penulisan berkas lamaran saja sudah tidak teliti. Kemungkinan mereka akan mempertanyakan kecakapan pelamar dalam melakukan pekerjaan.

Lakukan pengecekan beberapa kali untuk memastikan tidak terdapat kesalahan ketik dan ejaan saat dokumen selesai ditulis dan sebelum dikirimkan.

Don’ts

1. Hanya Mengirimkan CV Tanpa Surat Lamaran dan Portofolio

CV merupakan dokumen yang dapat merepresentasikan perjalanan karier seseorang. Namun, gambaran dari pekerjaan yang pernah dilakukan tidak dapat dipahami dengan baik apabila tidak disertakan dokumen pendukung yang menunjang kelengkapannya.

Baca Juga: Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja

Portofolio dan surat lamaran merupakan dokumen yang dapat membantu perekrut dalam mengenal kapabilitas dan pengalaman kerja secara lebih detail. Mereka akan lebih mudah menilai apakah pelamar kerja yang bersangkutan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan.

2. Menggunakan Surat Lamaran Template untuk Semua Perusahaan

Setiap perusahaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Tentunya kemampuan yang tertulis pada surat lamaran perlu disesuaikan dengan kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, penting bagi pelamar untuk menyesuaikan setiap surat lamaran yang dikirim ke beberapa perusahaan. 

Selain itu, menggunakan template surat lamaran juga kurang menunjukkan besarnya antusiasme untuk bekerja di perusahaan yang bersangkutan, bukan sekadar melamar demi untuk mendapatkan pekerjaan. 

Hindari pula copy paste contoh surat lamaran yang beredar di internet.

3. Fresh Graduate Biasanya Melebih-lebihkan Kemampuan Diri

Penting bagi seorang pelamar kerja untuk memastikan bahwa yang tertulis dalam dokumen yang dikirimkan sesuai dengan kompetensi dalam diri, kualifikasi pekerjaan yang dilamar, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Di samping itu, kejujuran merupakan sikap yang perlu ditekankan saat melamar kerja. Lebih baik memiliki kemampuan yang terbatas dengan keinginan untuk mengembangkannya dibandingkan melebih-lebihkan, tetapi tidak dapat membuktikan kapabilitas yang sebenarnya.

4. Melamar ke Perusahaan Tanpa Melakukan Background Checking

Melakukan sebuah pekerjaan diharapkan dapat dilakukan dalam jangka panjang. Untuk mengenal budaya dan lingkungannya, pelamar kerja perlu melakukan riset untuk menelusuri latar belakang perusahaan yang ingin dituju. Langkah ini berguna untuk memastikan apakah perusahaan tersebut sesuai dengan kepribadian dan gol mereka dalam dunia karier.

5. Tidak Mengecek/Menyesuaikan Konten Media Sosial Kita

Para perekrut di berbagai perusahaan sudah kerap mengecek profil atau rekam jejak digital pelamar sebagai bahan pertimbangan tambahan untuk merekrut seseorang. Karenanya, jika media sosial kita tidak digembok, tidak ada salahnya melihat lagi apa ada yang perlu dihapus/simpan dalam rangka melamar kerja. 

Tidak jarang seseorang punya pencitraan  yang jauh berbeda antara di dunia nyata (misal, lewat lamaran kerja) dan di dunia virtual. Misalnya, saat wawancara kita mengaku mendukung keberagaman, tapi ternyata kita menyimpan konten merendahkan komunitas/orang tertentu. 

Kita tidak mau kan, memberi kesan buruk saat pertama kali melamar/wawancara kerja? Karenanya, penting memperhatikan aspek media sosial yang sering dianggap remeh banyak pelamar.  

Read More