‘Beauty Privilege’ di Tempat Kerja, Bukti Standar Kecantikan Tak Masuk Akal

Kita memang benar-benar punya masalah serius tentang standar kecantikan. Khususnya bagi perempuan, tuntutan agar seseorang bertubuh langsing, tinggi, berwajah mulus tanpa cela, dan berpenampilan feminin sesuai standar yang banyak beredar, selalu membayang-bayangi keseharian sejak dini. Mereka yang dinilai cantik akan mendapatkan banyak keuntungan, sebaliknya, perempuan berwajah biasa saja, tidak pernah mendapat akses akan keuntungan itu.

Penelitian Langlois dkk. berjudul ‘Infant Attractiveness Predicts Maternal Behaviors and Attitudes’ (1995) menunjukkan, bayi yang tampilannya lucu dan menggemaskan (terutama berkulit putih) mendapat lebih banyak ungkapan kasih sayang dari para orang dewasa, termasuk orang tuanya, dibanding bayi yang tampilannya biasa aja.

Beranjak kanak-kanak dan remaja, hal itu semakin kentara, bahkan divalidasi oleh lembaga pendidikan formal termasuk sekolah. Riset Ritts dkk. yang berjudul ‘Expectations, Impressions, and Judgments of Physically Attractive Students: A Review’ (1992) menunjukkan, para guru di sekolah memiliki ekspektasi yang lebih tinggi kepada murid-murid yang penampilannya menarik, cantik, atau tampan, ketimbang murid-murid yang dianggap terlihat biasa saja.

“Bahkan, murid-murid yang punya penampilan menarik cenderung mendapat nilai yang lebih tinggi dan berpeluang lebih besar untuk mendapatkan gelar di universitas ketimbang mereka yang memiliki penampilan fisik biasa saja,” ujar Rachel A. Gordon dkk. dalam penelitiannya yang berjudul ‘Physical Attractiveness and the Accumulation of Social and Human Capital in Adolescence and Young Adulthood Assets and Distractions’ (2013).

Tahukah kamu, hal itu bahkan turut merembet ke dunia kerja profesional? 

Menurut Dario Maestripieri dkk. dalam penelitian mereka ‘Explaining financial and prosocial biases in favor of attractive people: Interdisciplinary perspectives from economics, social psychology, and evolutionary psychology’ (2016), orang-orang yang berpenampilan menarik berpeluang untuk mendapatkan kesempatan kerja lebih besar daripada orang-orang yang berpenampilan biasa saja. Mereka juga memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan kariernya melalui berbagai promosi, bahkan mendapatkan gaji yang lebih banyak. Ketertarikan fisik dalam hal ini juga mencakup orang-orang yang penampilannya mewakilkan standar normalitas dalam kehidupan sosial.

Baca juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan

Kita mungkin akrab dengan teman-teman kita atau orang-orang di luar sana yang memiliki gaya berpakaian unik. Bukan blus dan rok, ataupun kemeja, dasi, dan celana bahan, ketika berangkat kerja, mungkin mereka lebih memilih mengenakan jaket warna hijau neon yang dipadukan dengan celana kulot berwarna ungu, atau, para lelaki yang menggunakan pakaian berwarna pink dengan model feminin, lengkap dengan tato tubuh yang tampak jelas. Mereka ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang tidak memenuhi standar penampilan masyarakat, atau tidak sesuai kriteria estetika dominan masyarakat dalam istilah Maestripieri, sehingga kesempatannya di dunia kerja tak sebanyak mereka yang dianggap sesuai standar tadi. 

Hal ini menunjukkan, beauty privilege atau privilese kecantikan di dunia kerja memang benar-benar ada, dan itu turut menyuburkan lookism, istilah untuk merujuk pemikiran dan kebiasaan yang diskriminatif dalam memperlakukan orang-orang yang dianggap tidak menarik, aneh, dan tidak sesuai standar masyarakat. Pada dasarnya, lookism adalah bentuk lain dari perilaku mengkotak-kotakan manusia serta kebiasaan menghakimi orang lain hasil kemalasan berpikir untuk melihat suatu hal dari berbagai sisi. Mereka yang dinilai superior mendapatkan keuntungan, sementara yang dinilai inferior kehilangan hak-hak mereka, bahkan mengalami kerugian.

Dilanggengkannya hal tersebut oleh perusahaan dan dunia kerja profesional secara umum menunjukkan bagaimana celah ketidakadilan bagi kelompok minoritas itu selalu ada. Hal itu disebabkan karena dunia selalu terkungkung atau bahkan sengaja mengungkung dirinya sendiri dengan cara pandang yang hitam putih, selalu mencari yang salah di antara yang benar. Padahal, tak pernah ada Standar Operasional Prosedur (SOP) ataupun kriteria cantik atau tampan, layak atau tidak layak, yang benar-benar merepresentasikan ide-ide masyarakat tersebut.

Baca juga:  Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

info grafik beauty privilege di Indonesia

Langgengkan Seksisme dan Rasisme

Kita bisa sepakat penampilan hanyalah satu (bukan kunci) dari banyak hal yang menentukan kualitas diri seorang manusia, terutama dalam dunia kerja profesional. Menjaga dan memperhatikan penampilan memang hal yang penting sebagai bentuk penghargaan dan kasih sayang pada diri sendiri. Namun, penampilan bukanlah satu-satunya penentu kualitas diri seseorang.

Kompetensi dia dalam pekerjaannya, latar belakang pendidikan, soft skill dan hard skill, kemampuan berkomunikasi, empati, dan kerja tim adalah hal-hal yang jauh lebih layak mendapat perhatian besar dalam menilai atau merekrut seorang karyawan.

Namun, kenyataannya tentu tak sesederhana itu. Terlebih bagi perempuan, kompetensi mereka di dunia kerja dan aspek lain dalam ranah publik selalu dibenturkan dengan narasi penampilan ideal, standar kecantikan, dan pembawaan sikap yang submisif dan lemah lembut. 

Ketiga hal tersebut tak selalu, bila tidak sama sekali, menentukan kompetensi seseorang di dunia kerja. Hal itu tercermin dalam lahirnya narasi lowongan karyawan baru yang tak masuk akal, seperti menyertakan kriteria berat badan maksimal, tinggi badan minimal, belum menikah, atau belum mempunyai anak. Padahal, merujuk kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO), berjudul ‘ABC of women workers’ rights and gender equality’ (2007) sudah menetapkan larangan bagi perusahaan untuk melakukan rekrutmen pekerja dengan melakukan diskriminasi seks termasuk membuat spesifikasi yang mengatur tinggi dan berat badan minimal, atau status pernikahan dan kehamilan. 

Selain lowongan pekerjaan, beberapa perusahaan bahkan memberlakukan standar pakaian yang sangat seksis. Misalnya, mengharuskan para pekerja perempuan untuk mengenakan sepatu hak tinggi atau high heels untuk menunjang penampilan tubuh menjadi lebih tinggi, kurus, dan menonjolkan bentuk bokongPadahal alas kaki yang tidak nyaman untuk dikenakan serta memiliki dampak buruk bagi kesehatan otot dan tulang kaki. 

Salah satu negara yang memberlakukan peraturan ketat terkait busana para pekerja perempuannya adalah Jepang. Menurut riset the Japanese Trade Union Confederation (Rengo), lebih dari 11 persen perusahaan di Jepang memiliki aturan yang mengharuskan pegawai perempuannya untuk mengenakan high heels

Baca juga: ‘Effortless Beauty’: Standar Ganda Kecantikan yang Mustahil Dicapai

Beauty Privilege Melanggengkan Rasisme

Karena penampilan fisik dan cara berpakaian merupakan ekspresi minat, konsep diri, hingga gender, bawaan lahir dan keturunan, bahkan latar belakang sosial dan ekonomi seseorang, tidak adil rasanya membebankan standar yang sama pada setiap perempuan pekerja. Pada akhirnya, kecantikan menjadi sebuah privilese yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Beauty privilege memberikan akses lebih bagi sekelompok perempuan, tapi menutup akses pada perempuan-perempuan lainnya. 

Beauty privilege juga bekerja dalam melanggengkan rasisme. Standar kecantikan yang beredar di masyarakat di hampir seluruh belahan dunia hari ini berpatokan pada penampilan fisik perempuan dan orang-orang Eropa. Kita akrab menyebut ini dengan standar kecantikan eurocentrist, yang merupakan manifestasi, juga hal yang melanggengkan, rasisme dan kolonialisme.

Kulit putih dan cerah, tubuh tinggi dan langsing, rambut lurus atau ikal pirang, bahkan mata biru, adalah fitur-fitur perempuan Eropa yang berusaha dijadikan acuan oleh masyarakat, bahkan terus-menerus direproduksi oleh berbagai produk di media dan media massa, termasuk di Indonesia. Alhasil, 22 persen orang Indonesia tak merasa puas dan bahagia dengan tubuhnya sendiri, menurut riset YouGov yang dipublikasikan dalam tulisan berjudul ‘Over a third of Brits are unhappy with their bodies’ (2015).

Jadi, bayangkan kalau kamu adalah seorang perempuan Indonesia, berwarna kulit gelap, memiliki tubuh berisi yang tidak terlalu tinggi, berambut keriting, dan berwajah sedikit berjerawat, tapi kamu memiliki segelintir prestasi dan pengalaman kerja yang sesuai dengan kualifikasi posisi sebuah perusahaan.

Apakah adil bila kamu tak diterima bekerja, atau tak mendapatkan promosi di kantor, hanya karena penampilanmu dinilai tak menarik, sementara peluang itu diberikan kepada temanmu yang kurang kompeten tapi dinilai lebih cantik?

Entah budaya, mentalitas, bahkan hasil kerja seperti apa yang akan terbentuk bila kebiasaan ini terus dilestarikan. 

Read More