Atlet Paralimpiade

Nasib Atlet Paralimpiade Dianaktirikan oleh Publik dan Media

Leani Ratri Oktila dan Khalimatus Sadiyah, atlet paralimpiade baru saja mencetak sejarah bagi Indonesia usai memborong emas Paralimpiade Tokyo 2020. Pada laga final yang digelar di Yoyogi National Stadium, (4/9), keduanya membungkam jagoan asal Tiongkok Cheng Hefang dan Ma HuiHui dengan dua set langsung. Medali emas yang mereka dapatkan sendiri adalah kado pertama untuk Indonesia sejak Paralimpiade Arnhem 1980 di Belanda. Sebuah kemenangan yang akhirnya kita dapatkan kembali setelah puasa selama empat dekade. 

Sayangnya, di tengah gemilangnya prestasi atlet paralimpiade, apresiasi dari publik dan media masih terbilang minim. Buktinya, kemenangan atlet paralimpiade ini bahkan tidak masuk dalam jajaran atas trending Twitter di Indonesia. Berbeda ketika kemenangan Greysia dan Apriani sebelumnya, yang bertengger di trending topic dunia.

Banyak sekali para pengusaha kaya, influencer, pengurus klub, dan para pejabat ikut mengapresiasi prestasi Greysia dan Apriani. Hadiah pun meluncur untuk keduanya. Tak tanggung-tanggung, sejumlah politisi tak tahu malu juga meresponsnya dengan memasang wajah atlet perempuan itu, bersebelahan dengan potret narsis masing-masing. Sebelas dua belas, media pun juga memberitakan kemenangan kedua perempuan ini dengan luar biasa meriah. Pada (3/8) saja misalnya, koran Kompas mempersembahkan satu halaman penuh untuk foto Greysia-Apriyani dengan judul dicetak besar:  “Terima Kasih Greysia/Apriyani”. Kita tentu tak bisa menemukan itu di koran yang sama, usai kemenangan kemenangan Leani/ Khalimatus.

Dalam wawancaranya bersama Kumparan saat bersiap bertanding di 2018 Asian Para Games, Leani sendiri mengungkapkan bagaimana publikasi terhadap atlet-atlet difabel masih dirasa kurang. Leani bahkan mengatakan ada rasa iri yang timbul ketika melihat publikasi atlet normal.

“Publikasi untuk atlet Para Games, kita masih kadang merasa ngiri sama-sama atlet yang di Asian Games. Padahal kita sama”, tuturnya.

Leani menambahkan, betapa minimnya pemberitaan mengenai atlet-atlet difabel, berpengaruh pada pengakuan prestasi mereka di depan publik. Hal ini terlihat dari masih asingnya ia di mata masyarakat daerahnya sendiri, Riau. Tidak jarang bahkan ia diajak ngobrol oleh orang lain yang tidak menyadari bahwa yang ia ajak bicara adalah atlet difabel pembawa emas untuk Indonesia.

Baca juga:  Profil Ni Nengah Widiasih yang Raih Medali Pertama di Paralimpiade Tokyo 2020

Jurnalis Tak Menganggapnya Isu Seksi

Dalam sebuah penelitian An Analysis of the Dissimilar Coverage of the 2002 Olympics and Paralympics: Frenzied Pack Journalism versus the Empty Press Room (2003) yang diterbitkan oleh Disability Studies Quarterly, Anne V. Golden dari Universitas Brigham Young, disebutkan alasan minimnya pemberitaan mengenai paralimpiade. 

Selama Olimpiade ada 9.000 reporter terakreditasi yang meliput 2.399 atlet, dengan rasio 3,75 reporter untuk setiap atlet. Angka ini belum termasuk ribuan reporter yang tidak terakreditasi yang juga datang untuk meliput kompetisi Olimpiade. Selama Paralympic Games, daftar akreditasi berisi 700 nama reporter, fotografer, staf berita televisi, dan teknisi terkait dengan 421 atlet Paralimpiade dengan rasio 1,66 reporter untuk setiap atlet. Dari sedikitnya jumlah reporter yang dikerahkan inilah, Golden kemudian melakukan wawancara mendalam. Dalam wawancaranya bersama 20 reporter, beberapa memvalidasi paralimpiade sebagai kompetisi, tetapi mengaku takkan meliputnya karena faktor penonton.

Pertimbangan nilai berita menurut mereka penting. Topik kemenangan atlet di Olimpiade misalnya lebih memenuhi nilai berita, utamanya di aspek kedekatan (proximity), keunggulan (prominence), dan dampak (impact). Tidak sedikit dari mereka menyatakan para atlet difabel ini “tidak menarik” untuk diliput karena tidak ada yang mengetahui mereka siapa, pun mereka bukanlah selebriti yang layak diangkat beritanya.  

Hal ini pun sejalan dengan temuan penelitian Framing the Paralympic Games: A Mixed-Methods Analysis of Spanish Media Coverage of the Beijing 2008 and London 2012 Paralympic Games (2018) oleh Josep Solves, Athanasios Pappous, Inmaculada Rius, Geoffery Zain Kohe. Penelitian mereka menemukan bagaimana proses editorial sangat berpengaruh dalam liputan berita seputar paralimpiade dengan pandangan editorial yang masih kurang inklusif. Melalui wawancara dengan 15 reporter, semua reporter menjelaskan bagaimana mereka menyarankan topik mengenai pemberitaan paralimpiade dan angle pemberitaan kepada manajer senior di pusat editorial mereka. Namun, pada akhirnya para manajer senior inilah yang memutuskan berita apa yang sebaiknya dipublikasikan.

Baca juga:  Stigma dan Fasilitas Tak Memadai Hambat Pekerja dengan Disabilitas

Kurangnya pemberitaan juga karena adanya anggapan paralimpiade bukan merupakan kompetisi sungguhan. Dua orang reporter Amerika dalam penelitian Golden misalnya mengatakan, bagaimana Olimpiade dan Paralimpiade adalah dua hal yang berbeda dengan level yang berbeda pula. Sehingga, menurut mereka sudah seharusnya Paralimpiade tidak mendapatkan porsi sama dalam pemberitaan. Beberapa reporter bahkan membandingkan Paralimpiade dengan WNBA (Women’s National Basketball Association) dan berbicara tentang keduanya sebagai olahraga yang tidak populer dan berisi pemain amatiran.

Diliput Tetapi Masih Memasang Stereotip

Dalam Paralympics and Its Athletes Through the Lens of the New York Times (2012), Tyndal  dan Gregor Wolbring mengungkapkan bagaimana pemberitaan seputar paralimpiade dan atlet difabel masih sangat lekat dengan stereotip yang sebenarnya meminggirkan mereka, yaitu superscrip.

Narasi ini membingkai atlet difabel sebagai masalah individu yang harus “diatasi” seseorang untuk mencapai kesuksesan. Atlet difabel digembar-gemborkan sebagai “pahlawan super” karena mereka mampu “mengatasi” kecacatan mereka untuk berpartisipasi dalam Paralimpiade. Media sering menggunakan kata “berpartisipasi” bukan “bersaing” ketika menggambarkan Paralimpiade.

Baca juga:Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Oleh karena itu, media seringkali menyajikan acara olahraga disabilitas sebagai cerita human-interest alih-alih kompetisi olahraga tingkat elit. Cerita human-interest menggambarkan disabilitas sebagai tragedi pribadi yang terjadi pada individu secara acak dan mengharuskan mereka untuk beradaptasi. Narasinya menekankan pada bagaimana atlet mengerahkan upaya “manusia super” untuk berhasil melampaui kekurangan dan mereka pantas mendapatkan belas kasihan kita. Selain itu narasi ini juga berkutat pada usaha mereka untuk beradaptasi di tengah keterbatasan.

Erin Pearson, mahasiswa PhD dan Laura Misener Associate Professor And Director, School of Kinesiology, Universitas Western mengungkapkan dalam artikel mereka di The Conversation, bagaimana merayakan atlet paralimpiade dengan narasi “mengatasi” kecacatan mereka untuk “berpartisipasi” dalam olahraga, daripada merayakannya sebagai atlet berkinerja tinggi sebenarnya merendahkan kinerja atletik mereka. Jenis narasi ini mengabadikan gagasan, setiap individu difabel dapat mengatasi kekurangannya jika mereka berusaha cukup keras. Hal ini tentu saja berdampak pada salah kaprah dalam penggambaran pengalaman atlet paralimpiade dan kehidupan sehari-hari orang-orang yang hidup dengan disabilitas yang sebenarnya berbeda.

Read More