skill manajemen waktu pengertian

‘Skill’ Manajemen Waktu buat Kamu dengan Beban Kerja Bejibun

Dear sobat hustle culture

Kamu pernah enggak merasa kewalahan dengan pekerjaan yang menumpuk? Terkadang bahkan kamu merasa waktu 24 jam sehari pun tidak pernah cukup? Bergulat dengan pekerjaan satu dan lainnya atau kerja tunggal tapi bebannya terlalu banyak. Sementara, menjadi multitasking setiap hari, tentu sangat melelahkan. 

Jika itu yang dirasakan, maka sudah saatnya kamu belajar tentang manajemen waktu. Menguasai skill manajemen waktu tidak cuma membantu kamu bekerja lebih efisien, tetapi bisa menjaga kesehatan mental. 

Lalu bagaimana caranya bisa mengatur waktu dengan baik? 

Apa itu Manajemen Waktu? 

Dikutip dari Mind Tools, What Is Time Management? manajemen waktu adalah proses perencanaan seseorang dalam menghabiskan waktu untuk kegiatan tertentu. Manajemen waktu melibatkan proses menetapkan tujuan, membuat daftar tugas, mengatur jadwal, dan menentukan prioritas. 

Dalam konteks dunia kerja, manajemen waktu adalah kemampuan untuk menggunakan waktu dengan produktif dan efisien guna mencapai tujuan. 

Baca Juga: Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar 

Manfaat dari Manajemen Waktu yang Efektif 

Manfaat manajemen waktu yang efektif sangat beragam. Berikut beberapa di antaranya: 

  • Peningkatan Produktivitas: Dengan manajemen waktu yang baik, kamu jadi bisa menyelesaikan lebih banyak tugas dalam waktu yang lebih singkat. Ini berarti lebih banyak keluaran dalam waktu yang sama. Hal ini tentu bakal dihargai dalam dunia kerja. 
  • Mengurangi Stres: Ketika kamu punya kontrol yang baik atas waktu, kamu bisa menghindari tenggat yang ketat dan pekerjaan menumpuk. Ini membantu mengurangi tingkat stres dan kecemasan terkait pekerjaan. 
  • Keseimbangan Kehidupan Kerja: Manajemen waktu yang baik memungkinkan kamu untuk menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi atau work-life balance. Dengan demikian, kamu dapat menikmati waktu luang tanpa harus terganggu oleh pekerjaan yang belum selesai. 
  • Pencapaian Tujuan Lebih Cepat: Dengan mengelola waktu dengan baik, kamu jadi lebih fokus pada tugas-tugas yang penting, sehingga kamu bisa mencapai tujuan lebih cepat dan efisien. 
  • Peningkatan Kualitas Kerja: Ketika kamu memiliki waktu yang cukup untuk setiap tugas, kamu bisa memastikan pekerjaan dilakukan dengan kualitas yang lebih baik tanpa terburu-buru. 

Komponen Time Management yang Efektif 

Untuk mengelola waktu dengan baik, ada beberapa komponen penting yang harus diperhatikan: 

  • Perencanaan: Ini melibatkan membuat jadwal harian atau mingguan, menentukan tugas-tugas yang harus diselesaikan, dan merencanakan cara untuk menyelesaikannya. 
  • Prioritization: Memutuskan tugas mana yang paling penting dan harus diselesaikan terlebih dahulu. Teknik seperti matriks Eisenhower bisa membantu menentukan prioritas berdasarkan urgensi dan kepentingan. 
  • Pengendalian: Mengendalikan gangguan dan menghindari kegiatan yang tidak produktif. Ini bisa melibatkan menonaktifkan notifikasi, menetapkan batasan waktu untuk setiap tugas, dan fokus pada satu tugas pada satu waktu. 
  • Evaluasi: Melakukan penilaian rutin terhadap bagaimana waktu dihabiskan dan mencari cara untuk meningkatkan efisiensi. Evaluasi ini bisa membantu mengidentifikasi kebiasaan yang buruk dan mencari solusi yang lebih baik. 
  • Fleksibilitas: Meskipun penting untuk memiliki rencana, fleksibilitas juga diperlukan untuk menangani kejadian tak terduga dan perubahan prioritas. 

Baca Juga: Pindah Kerja ke Tempat Baru? Perhatikan Tanda-tanda Ini untuk Tahu Atasanmu ‘Toxic’ Atau Enggak 

Skill Manajemen Waktu yang Penting 

Melansir Jobstreet, How to manage your time so it doesn’t manage you, berikut ini contoh skill manajemen waktu yang bisa kamu cantumkan di CV. 

  • Prioritizing Tasks 

Memprioritaskan tugas adalah skill dasar dalam manajemen waktu. Ini berarti menentukan tugas mana yang paling penting dan harus diselesaikan terlebih dahulu. Untuk melakukan ini, kamu bisa menggunakan metode seperti matriks Eisenhower yang membagi tugas berdasarkan urgensi dan kepentingannya. Dengan memprioritaskan tugas, kamu bisa memastikan waktu digunakan untuk hal-hal yang benar-benar penting dan mendesak. 

  • Time Blocking 

Time blocking adalah teknik di mana kamu mengalokasikan waktu tertentu untuk kegiatan atau tugas yang berbeda untuk meningkatkan produktivitas kerja dan mempertahankan fokus. Dengan metode ini, kamu menetapkan waktu yang spesifik di kalender untuk mengerjakan tugas tertentu dan hanya fokus pada tugas itu selama periode tersebut. 

Time blocking membantu mengurangi gangguan dan meningkatkan fokus, sehingga kamu bisa menyelesaikan tugas dengan lebih efisien. Misalnya, kamu bisa menetapkan time blocking dari jam 9 pagi hingga 11 pagi hanya untuk menangani email, sehingga kamu tidak terganggu oleh email sepanjang hari. 

  • Delegating Tasks 

Delegasi adalah keterampilan penting yang melibatkan pendelegasian tugas kepada orang lain. Ini memungkinkan kamu untuk fokus pada tugas yang lebih strategis dan penting, sementara tugas-tugas yang lebih sederhana atau bisa dilakukan oleh orang lain didelegasikan. Untuk mendelegasikan dengan efektif, kamu perlu memahami kemampuan dan beban kerja tim, serta memberikan instruksi yang jelas dan dukungan yang diperlukan. 

  • Goal Setting 

Goal setting adalah kunci untuk mengarahkan upaya kamu ke arah yang tepat. Tujuan yang jelas membantu kamu tetap fokus dan termotivasi. Dalam menetapkan tujuan, pastikan kamu menggunakan prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) agar tujuan kamu jelas dan dapat dicapai dalam waktu yang ditentukan. Menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang juga bisa membantu kamu tetap berada di jalur yang benar dan memonitor kemajuan tersebut. 

Baca Juga: Pulanglah ‘Teng Go’, Terlalu Lama Kerja Bisa Bikin Stroke 

  • Avoiding Procrastination 

Menghindari penundaan adalah keterampilan yang membutuhkan disiplin. Ini berarti menyelesaikan tugas sesuai jadwal tanpa menunda-nunda. Supaya pekerjaan tidak tertunda, kamu bisa menggunakan teknik seperti ‘Pomodoro Technique‘, di mana kamu bekerja selama 25 menit kemudian istirahat selama 5 menit. Teknik ini membantu menjaga fokus dan mencegah kelelahan. Mengidentifikasi alasan di balik penundaan kamu dan mencari cara untuk mengatasi hambatan tersebut juga bisa sangat membantu. 

  • Staying Organized 

Tetap terorganisasi membantu kamu mengatur tugas dan jadwal dengan lebih efisien. Ini termasuk menjaga lingkungan kerja yang rapi dan sistem pengarsipan yang baik. Menggunakan alat bantu seperti to-do list, kalender digital, dan aplikasi manajemen proyek seperti Trello atau Asana bisa membantu kamu untuk tetap terorganisasi. 

Selain itu, kebiasaan seperti merapikan meja kerja setiap hari dan menyortir email masuk juga bisa membuat kamu lebih terstruktur dan siap menghadapi tugas sehari-hari. 

Read More
atasan di tempat kerja toxic

Pindah Kerja ke Tempat Baru? Perhatikan Tanda-tanda Ini untuk Tahu Atasanmu ‘Toxic’ Atau Enggak

Kamu pernah gak merasa cemas menghadapi atasan baru? Memastikan atasanmu tidak toxic adalah langkah penting demi kenyamanan dan produktivitas kerja. Atasan toxic bisa merusak suasana kerja dan berdampak negatif pada kesehatan mental. Jadi, bagaimana cara memastikan atasan di tempat kerja baru kamu tidak toxic?

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Mengidentifikasi Tanda-Tanda Atasan Toxic

Dikutip dari The Muse, 6 Signs of a Toxic Boss and How to Deal With Them, atasan toxic adalah individu yang menciptakan lingkungan kerja tidak sehat melalui perilaku mereka yang merusak. Mereka cenderung menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan dan memanipulasi karyawan, mengakibatkan stres, kecemasan, dan ketidakpuasan di tempat kerja. Berikut ini adalah beberapa tanda-tanda atasan toxic yang harus diwaspadai.

Perilaku Manipulatif

Perilaku manipulatif adalah salah satu ciri khas atasan toxic. Mereka sering kali menggunakan strategi seperti:

  • Gaslighting: Membuat karyawan meragukan diri sendiri atau realitas mereka. Atasan ini mungkin akan menyangkal pernah mengatakan sesuatu atau membuat karyawan merasa salah.
  • Memecah Belah Tim: Atasan toxic mungkin akan memecah belah tim dengan menyebarkan gosip atau informasi yang tidak benar, menciptakan persaingan yang tidak sehat di antara anggota tim.
  • Menggunakan Rasa Takut: Mereka sering kali mengandalkan rasa takut untuk mengendalikan karyawan, misalnya dengan ancaman pemecatan atau pengurangan gaji.

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak?

Komunikasi Buruk

Komunikasi yang buruk dapat mencakup berbagai bentuk, seperti:

  • Tidak Ada Feedback yang Konstruktif: Alih-alih memberikan masukan yang membantu, atasan toxic mungkin memberikan kritik yang tidak membangun atau tidak memberikan feedback sama sekali.
  • Komunikasi Pasif-Agresif: Menggunakan nada atau kata-kata yang secara tersirat merendahkan atau menghina karyawan, tanpa mengungkapkan secara langsung apa yang diinginkan atau yang salah.
  • Kurangnya Transparansi: Tidak memberikan informasi penting atau menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui oleh tim, yang bisa menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian.

Ekspektasi Tidak Realistis

Menetapkan ekspektasi yang tidak masuk akal tanpa mempertimbangkan kapasitas dan sumber daya yang tersedia merupakan tanda lain dari atasan toxic. Beberapa contoh perilaku ini adalah:

  • Deadline yang Tidak Masuk Akal: Meminta pekerjaan diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat tanpa mempertimbangkan beban kerja yang sudah ada.
  • Volume Kerja yang Berlebihan: Memberikan tugas yang jauh melebihi kapasitas kerja normal, menyebabkan karyawan harus bekerja lembur terus-menerus.
  • Ketidakpedulian terhadap Keseimbangan Kerja-Hidup: Tidak menghormati waktu pribadi karyawan, misalnya dengan mengharapkan mereka menjawab email atau panggilan di luar jam kerja.

Kurangnya Pengakuan dan Penghargaan

Atasan yang toxic sering kali tidak mengakui atau menghargai usaha dan pencapaian karyawan. Ini bisa meliputi:

  • Tidak Memberikan Penghargaan: Mengabaikan atau mengklaim hasil kerja karyawan sebagai milik mereka sendiri.
  • Mengabaikan Prestasi: Tidak memberikan pujian atau pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik.
  • Fokus pada Kesalahan: Selalu mencari kesalahan dan mengkritik, tanpa mengakui upaya atau keberhasilan karyawan.

Micromanaging

Atasan yang terlalu mengendalikan setiap aspek pekerjaan karyawan menunjukkan kurangnya kepercayaan dan bisa sangat memberatkan. Micromanaging bisa meliputi:

  • Kontrol Berlebihan: Mengawasi setiap detail kecil pekerjaan karyawan, tidak memberikan ruang untuk kreativitas atau otonomi.
  • Kurangnya Kebebasan: Tidak mengizinkan karyawan membuat keputusan sendiri atau mengambil inisiatif, yang bisa menghambat pertumbuhan profesional mereka.
  • Selalu Mengawasi Karyawan: Terus-menerus mengecek pekerjaan karyawan, yang bisa mengganggu alur kerja dan menambah stres.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Strategi Menghadapi Atasan yang Toxic

Menghadapi atasan yang toxic bisa menjadi tantangan besar, namun ada beberapa strategi yang dapat kamu terapkan untuk menjaga kesejahteraan dan produktivitasmu. Dikutip dari Forbes, 13 Effective Tactics For Dealing With A Toxic Boss, berikut adalah beberapa langkah yang bisa kamu ambil:

  • Berkomunikasi dengan Efektif

Komunikasi yang jelas dan tegas: Pastikan kamu berkomunikasi secara jelas dan tegas. Jangan biarkan perasaan takut atau tidak nyaman menghalangi kamu untuk menyampaikan pendapat atau masalah yang kamu hadapi. Gunakan bahasa yang sopan namun tegas, dan pastikan untuk mendengarkan respons atasanmu.

Menyampaikan feedback secara konstruktif: Jika ada sesuatu yang mengganggu, coba sampaikan feedback secara konstruktif. Fokuslah pada perilaku dan dampaknya, bukan pada pribadi atasan. Misalnya, “Saya merasa kesulitan ketika arahan tidak jelas, mungkin kita bisa mendiskusikan lebih detail di awal proyek.”

  • Menetapkan Batasan

Kenali batasan pribadimu: Menetapkan batasan adalah kunci untuk melindungi kesehatan mentalmu. Ketahui batasanmu dan pastikan kamu tidak melewatinya demi pekerjaan. Ini termasuk waktu kerja, beban kerja, dan cara atasan berkomunikasi denganmu.

Beri tahu batasanmu secara diplomatis: Jangan ragu untuk mengomunikasikan batasanmu dengan cara yang diplomatis. Misalnya, jika atasan sering menghubungi di luar jam kerja, kamu bisa mengatakan, “Saya akan segera bereskan hal ini saat jam kerja dimulai besok pagi.”

  • Mencari Dukungan

Cari dukungan dari rekan kerja: Kadang-kadang, rekan kerja bisa menjadi sumber dukungan yang kuat. Mereka mungkin menghadapi situasi yang sama dan bisa memberikan saran atau sekadar menjadi teman bicara.

Cari Bantuan ke HRD: Jika perusahaan memiliki departemen HR, tidak ada salahnya untuk meminta bantuan HRD. Mereka ada untuk membantu menyelesaikan masalah seperti ini. Jangan ragu untuk melaporkan perilaku yang tidak pantas dan mencari bantuan mereka untuk mediasi atau solusi.

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

  • Membangun Hubungan Positif di Tempat Kerja

Jalin hubungan baik dengan rekan kerja: Membangun hubungan yang positif dengan rekan kerja bisa menjadi sumber dukungan emosional yang penting. Selain itu, hubungan yang baik bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

Cari mentor: Mentor bisa memberikan bimbingan dan dukungan yang kamu butuhkan. Mereka bisa membantu kamu menghadapi situasi sulit dan memberikan nasihat berdasarkan pengalaman mereka.

  • Fokus pada Pengembangan Diri

Tingkatkan Skill: Alihkan perhatianmu pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan. Mengikuti kursus atau pelatihan bisa memberikanmu kepercayaan diri dan peluang karier yang lebih baik kedepannya.

Tetap positif: Cobalah untuk tetap positif dan fokus pada hal-hal yang bisa kamu kontrol. Menghadapi atasan yangtoxic memang sulit, tetapi menjaga sikap positif bisa membantu kamu bertahan dan mencari solusi yang lebih baik.

Read More
Bekerja Setelah Melahirkan

Dear Mama, Ini Tips untuk Kembali Kerja Setelah Cuti Melahirkan

Kembali bekerja setelah cuti melahirkan bisa jadi tantangan tersendiri buat kebanyakan perempuan karier. Tantangan ini enggak cuma melibatkan aspek profesional tetapi juga personal. Persiapan yang matang sangat penting agar proses transisi ini berjalan dengan lancar. 

Dalam artikel ini, kita bakal kupas tuntas berbagai tips yang dapat membantu perempuan karier mempersiapkan diri kembali bekerja. 

Tips Kembali Bekerja Setelah Melahirkan 

Berikut beberapa tips kembali bekerja setelah melahirkan, sebagaimana dilansir dari beberapa sumber: 

Mengelola Ekspektasi 

Dikutip dari Motherly, How to make going back to work after maternity leave a smooth transition, setelah cuti melahirkan, kamu mungkin akan kembali ke lingkungan kerja yang sedikit berbeda. Tugas dan tanggung jawab mungkin telah dialihkan sementara kepada rekan kerja lain. Mungkin juga ada perubahan dalam tim atau struktur organisasi. Ini adalah hal yang wajar dan perlu dihadapi dengan pikiran terbuka dan fleksibel. 

Salah satu cara untuk mengelola ekspektasi adalah dengan menerima adaptasi sebagai bagian dari proses ini. Kamu mungkin memerlukan waktu untuk kembali menyesuaikan diri dengan ritme dan dinamika pekerjaan. 

Selain itu, kehidupan pribadimu juga pasti berubah. Kehadiran anak membawa rutinitas baru yang memengaruhi waktu dan energi. Dengan dukungan suami, kamu bisa menempa kesabaran dan penerimaan diri. Tak perlu langsung berekspektasi kembali ke performa kerja yang sama seperti sebelum cuti. Berikan diri kamu waktu untuk beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu sekaligus pekerja. Jangan terlalu keras pada dirimu. 

Komunikasi yang terbuka dan jujur dengan atasan dan rekan kerja sangat penting untuk mengelola ekspektasi. Sebelum kembali bekerja, ada baiknya untuk mengatur pertemuan dengan atasan untuk mendiskusikan status proyek yang sedang dikerjakan, serta perubahan yang terjadi selama kamu cuti. Jelaskan kondisi dan kebutuhan kamu, seperti mungkin memerlukan jam kerja fleksibel atau kesempatan untuk bekerja dari rumah sesekali. 

Dengan rekan kerja, penting untuk memperbarui hubungan profesional dan menunjukkan kamu siap untuk kembali berkontribusi. Tanyakan tentang perkembangan proyel yang sedang berjalan dan cari tahu bagaimana kamu bisa membantu. Ini akan menunjukkan inisiatif dan komitmen kamu untuk kembali terlibat sepenuhnya. 

Baca Juga: ‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang 

Merencanakan Kembali ke Rutinitas Kerja 

Ketika kembali bekerja setelah cuti melahirkan, salah satu langkah terpenting adalah membuat jadwal yang fleksibel. Dikutip dari Indeed, 10 Tips for Returning to Work After Parental Leave, fleksibilitas dalam jadwal kerja bisa membantu kamu menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan keluarga. Bicarakan dengan atasan kamu tentang kemungkinan bekerja dari rumah beberapa hari dalam seminggu. Bisa juga mempertimbangkan opsi untuk menyesuaikan jam kerja agar lebih cocok dengan rutinitas baru kamu di rumah. 

Selain itu, perencanaan harian yang baik juga dapat membantu. Buatlah to-do list untuk setiap hari kerja, urutkan berdasarkan prioritas, dan pastikan kamu memiliki waktu istirahat yang cukup. Dengan jadwal yang terstruktur namun fleksibel, kamu dapat mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas kerja

Menentukan prioritas adalah kunci untuk mengelola pekerjaan secara efektif setelah kembali dari cuti melahirkan. Identifikasi tugas-tugas yang paling penting dan mendesak untuk diselesaikan. Fokus pada tugas-tugas tersebut terlebih dahulu sebelum beralih ke pekerjaan lain yang kurang prioritas. 

Membangun Dukungan Keluarga 

Ketika kembali bekerja setelah cuti melahirkan, dukungan dari keluarga menjadi sangat krusial. Mereka adalah fondasi utama yang dapat membantu kamu menjalani transisi ini dengan lebih lancar. 

Diskusikan dengan pasangan tentang bagaimana kalian berdua dapat berbagi tugas rumah tangga dan tanggung jawab pengasuhan anak. Misalnya, siapa yang akan mengurus anak di pagi hari, siapa yang menyiapkan makanan, atau siapa yang akan mengurus pekerjaan rumah tangga tertentu. Kerja sama yang baik dengan pasangan, membagi tugas perawatan, dapat mengurangi beban dan stres yang kamu rasakan. 

Selain pasangan, kamu juga bisa meminta bantuan dari anggota keluarga lainnya seperti orang tua atau saudara. Mereka bisa membantu mengurus anak atau tugas rumah tangga lainnya. Dukungan dari keluarga besar dapat memberikan kamu waktu tambahan untuk beristirahat atau fokus pada pekerjaan. 

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba 

Menjaga Kesehatan Mental 

Kesehatan mental adalah aspek yang sering kali terlupakan ketika seseorang kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Padahal, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Dikutip dari Linkedin, Navigating the Transition: Tips for Maintaining Positive Mental Health When Returning to Work from Maternity Leave, berikut adalah beberapa cara untuk menjaga kesehatan mental kamu selama proses ini: 

Mencari Dukungan Emosional 

Setelah melahirkan, perasaan cemas, stres, bahkan depresi postpartum bisa muncul. Sangat penting untuk mencari dukungan emosional dari orang-orang terdekat seperti pasangan, keluarga, atau teman. Berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang yang kamu percayai bisa membantu mengurangi beban emosional yang kamu rasakan. 

Berbicara dengan Profesional 

Jika perasaan cemas atau depresi terasa berat dan berkepanjangan, jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog atau psikiater. Mereka bisa memberikan terapi dan dukungan yang tepat untuk membantu kamu mengatasi perasaan tersebut. Banyak perusahaan juga menyediakan program bantuan karyawan yang bisa kamu manfaatkan. 

Baca Juga: Hak Pekerja Perempuan di Indonesia yang Perlu Diketahui 

Melakukan Aktivitas Relaksasi 

Luangkan waktu untuk melakukan aktivitas yang dapat membantu kamu lebih rileks dan meredakan stres. Meditasi, yoga, dan latihan pernapasan dalam adalah beberapa contoh aktivitas yang bisa kamu coba. Aktivitas ini tidak hanya membantu menenangkan pikiran, tetapi juga memberikan waktu untuk diri sendiri di tengah kesibukan sehari-hari. 

Read More

Seperti Apa Rasanya Bekerja di Tahun 2030?

Kita sudah mencicil masa depan hari ini. Tepatnya ketika semakin banyak orang bekerja dari rumah atau dari belahan dunia lain. Kondisi di masa depan takkan jauh berbeda. Terlebih dengan teknologi digital, dunia wirausaha, orang-orang yang memiliki beberapa pekerjaan, pendapatan universal, atau bentuk-bentuk baru dari manajemen dan pemerintahan, bekerja di masa depan jadi kian fleksibel.

Perdebatan-perdebatan di atas yang fokus pada ketenagakerjaan, jenis-jenis pekerjaan, dan penerapan manajemen, memiliki satu manfaat: Memperjelas kemungkinan-kemungkinan pekerjaan di masa depan.

Baca Juga: Merayakan Perempuan Masa Depan

Kondisi Pekerjaan Masa Depan

Dalam penelitian berjudul “The future of work in 2030: four atmospheres?” atau “Masa depan dunia kerja di 2030: empat kondisi?”, lembaga riset internasional RGCS menawarkan beberapa pandangan mengenai pekerjaan di masa depan.

Kami mulai dengan menyajikan beberapa hal yang bertolak belakang yang terjadi dalam dunia kerja. Paradoks-paradoks ini menyoroti ketegangan dan dilema yang menyebabkan perubahan dalam dunia kerja, seperti: mobilitas versus kehidupan yang mapan; kewirausahaan versus ketergantungan; kebebasan versus keamanan; otonomi versus kontrol; digitalisasi versus dunia nyata, dan lain-lain.

Atas dasar ini, kami memperbarui gagasan mengenai kondisi dunia kerja, baik dalam konteks yang sederhana maupun yang bertolak belakang, untuk mendeskripsikan pekerjaan di hari ini dan masa depan.

Kondisi dunia kerja mengacu pada tempat, konteks, suasana hati, juga segala hal yang sulit untuk dijelaskan dalam sebuah lingkup kehidupan atau pekerjaan. Pada waktu yang bersamaan, komponen-komponen yang terlibat sangat konkret, yaitu; gestur, alat, tempat, praktik, sensasi, emosi, dan lain-lain. Namun mereka juga berbentuk “kuasi-materi” dan dapat dirasakan melalui cahaya, kata-kata, suara, dan tekstur yang menjadi perantara hubungan kita dengan pekerjaan. Kondisi di mana kita bekerja sangat menentukan ruang dan waktu saat kita hendak melakukan pekerjaan.

Karena itu, kami kemudian mengembangkan empat skenario, terkait dengan empat kondisi kerja, untuk membayangkan bagaimanakah dunia kerja pada tahun 2030;

  • Freelancing atau bekerja lepas. Bayangkan sebuah masyarakat yang sebagian besar terdiri dari pekerja lepas yang terhubung oleh platform global. Hal lain berupa transaksi. Suasana kerja menjadi lebih cair seperti yang dijelaskan oleh Z. Bauman;
  • Salaried atau bekerja di kantor dengan gaji tetap. Mereka menggambarkan sebuah dunia di mana pekerjaan bergaji tetap menjadi pusat operasi sebuah perusahaan. Kontrak kerja permanen dan dalam jangka waktu tertentu mengalami pengembangan dari sisi hukum, akan tetapi kontrak kerja tetap menjadi kunci dunia kerja dan ketenagakerjaan. Hal lain yang penting adalah kontrak. Kondisi menjadi bersifat teritorial dan mengakar;
  • Hybridisation atau hibridisasi. Hal ini mewakili terobosan yang lebih lanjut dari bentuk pekerjaan saat ini. Berbagai bentuk aktivitas pekerjaan kemudian diakomodasi. Setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda di satu waktu atau sesudahnya menjadi pekerja tetap atau wiraswastawan. Kondisi pekerjaan semacam itu memiliki sensasi yang berbeda-beda. Kebalikannya, hal yang lain yang penting adalah munculnya pribadi yang baru yang memunculkan manajemen pribadi yang bermacam-macam. Untuk beberapa hal, kondisi kerja tipe ini bersifat skizofrenik;
  • Pendapatan universal. Kondisi ini menggambarkan sebuah situasi yang mengutamakan aktivitas dibandingkan kinerja dan status. Bentuk-bentuk dari pekerjaan dengan gaji tetap dan kewirausahaan akan tetap ada, di samping juga ada solidaritas antar pekerja yang menyeluruh. Kondisi pekerjaan semacam ini ditandai dengan tindakan untuk memberi dan menciptakan kembali diri sendiri.

Tentu saja, skenario-skenario dan kondisi kerja yang terkait dapat dikombinasikan. Kita dapat membayangkan penggabungan antara bekerja lepas dan bekerja dengan gaji tetap bersamaan dengan kontrak jangka panjang. Kondisi kerja yang didominasi pekerja lepas dan pendapatan universal pun tampaknya cocok untuk kita. Empat kemungkinan ini memberikan kemungkinan praktis dan emosional yang dapat kita coba terapkan di masa depan.

Untuk menegaskan keyakinan ini, kami percaya bahwa masa depan dari dunia kerja akan penuh dengan kejutan. Dunia kerja di masa depan akan terus berkembang secara kreatif lebih dari telah dibicarakan di atas.

Baca Juga: 8 Pekerjaan yang Cocok untuk Kamu Si Kutu Buku

Dengan Masa Depan–atau Tidak dengan Masa Depan?

Suatu malam di musim panas pada 2025 di Montpellier’s Place de la Comédie, bayangkan ada empat orang yang mewakili empat kondisi pekerjaan di masa depan–Freelancia, Salaria, Hybridia, dan Solidaria, yang mewakili pendapatan universal. Empat karakter tersebut semuanya perempuan. Mereka masing-masing membawa masa depan pekerjaan. Kemiripan dengan orang lain, hidup atau mati, atau peristiwa nyata, bukan kebetulan. Dialog di bawah ini (yang dirinci dalam catatan riset kami) antara keempat individu iyetseniy menggambarkan pilihan-pilihan hidup yang spesifik, terkadang eksklusif, juga proyek sosial yang berkaitan dengan setiap skenario yang ada. Begini contohnya:

Hybridia: “Tiga tahun yang lalu, saya masih menjalani menjadi pekerja lepas. Dan apakah kamu ingat setelah SMA, saya memulai bisnis kecil kolaborasi seni itu? Tapi, saya pikir kamu terlalu resistan terhadap banyak hal, Freelancia! Mengapa tidak menikmati semua yang bisa kamu dapatkkan: waktu yang lebih bebas tapi juga ada jaminan rasa aman?

Freelancia: “Hanya ada 24 jam dalam sehari […]. Dengan adanya aktivitas lain yang saya lakukan, saya merasa berkhianat pada aktivitas saya yang pertama.”

[…]

Solidaria: “Anda tidak mau menghabiskan hidup anda dengan menjual omong kosong! Satu waktu Anda adalah “konsultan”, seorang “katalisator dalam inovasi” dan kini Anda “kepala dari unit bisnis wirausaha”. Apa langkah selanjutnya setelah itu? […] Apakah Anda tidak ingin melakukan sesuatu yang lebih bermakna? Untuk diri sendiri dan juga untuk orang lain?“

Salaria: “Aku tidak dapat hidup hanya makan cinta dan udara segar seperti Anda. Saya mengurus dua anak saya sendirian. Saya tahu berapa besar biaya yang akan saya keluarkan untuk pendidikan mereka. Saya ingin mereka mendapatkan pendidikan terbaik (…) yang akan memberikan mereka pendapatan yang cukup.”

Dialog ini terus berlanjut dengan hal yang lebih spesifik terkait aspek-aspek teknologi di balik skenario ini. Aspek tersebut mendiskusikan hubungan antara kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan bentuk-bentuk pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan biasa. Menggunakan sebuah metafora yang berhubungan dengan Mesir Kuno dan meminjam dari Michel Serres, kami menyarankan untuk mempertimbangkan telepon pintar dan kecerdasan buatan dari pekerja masa depan sebagai “ka”, seorang yang mirip kita tapi bersifat otonom. Kami pun mengangkat berbagai masalah masalah etika.

Sebagai kesimpulan, dengan tidak menggunakan bola kristal atau ramalan, penelitian kami bertujuan untuk menggarisbawahi pilihan-pilihan yang berhubungan dengan kehidupan kita, penggunaan teknologi, bentuk-bentuk pekerjaan (baik lama maupun baru), suara politik dan keterlibatan sipil yang, hingga saat ini, akan membuat skenario-skenario tertentu soal masa depan dunia kerja menjadi mungkin atau malah menghalanginya.

Baca Juga: 9 Pekerjaan Bergaji Tinggi yang Cocok untuk Orang Introvert

Artikel ini berdasarkan pada penelitian “Masa depan pekerjaan di 2030: empat kondisi?”_, yang ditulis oleh Francois-Xavier de Vaunjany (PSL, Paris-Dauphine University), Amelie Bohas (Aix-Marseille), Sabine Carton (Grenoble-Alpes University), Julie Fabbri (sekolah bisnis emlyon), dan Aurelie Leclercq-Vandelannoitte (CNRS, IESEG). Studi ini dilakukan dalam kerangka kerja jaringan penelitian internasional RGCS (Research Group on Collaborative Spaces), yang berfokus pada praktik-praktik kerja di masa depan.

François-Xavier de Vaujany, Professeur en management & théories des organisations, Université Paris Dauphine – PSL; Amélie Bohas, Maître de Conférences en Sciences de Gestion, Aix-Marseille Université (AMU); Aurélie Leclercq-Vandelannoitte, Chercheuse, CNRS, LEM (Lille Economie Management), IÉSEG School of Management; Julie Fabbri, Professeur en stratégie et management de l’innovation, EM Lyon Business School, dan Sabine Carton, Professeur en Management des Systèmes d’Information Grenoble IAE – CERAG, Grenoble IAE Graduate School of Management.

Read More
pengertian quarter life crisis

Pulanglah ‘Teng Go’, Terlalu Lama Kerja Bisa Bikin Stroke

Penelitian membuktikan banyak sekali risiko kesehatan yang mengintai orang yang bekerja terlalu lama. Misalnya, penelitian di Prancis menemukan bahwa bekerja terus-menerus selama sepuluh hari atau lebih dapat meningkatkan risiko terkena stroke.

Penelitian lain juga menemukan, pekerja yang memiliki jam kerja panjang cenderung memiliki kesehatan mental yang buruk dan kualitas tidur yang lebih rendah.

Orang dengan jam kerja yang panjang juga cenderung punya kebiasaan merokok, minum alkohol berlebihan, dan penambahan berat badan.

Baca juga: Tren Kaum Rebahan: Ada Pemberontakan, Ada Kenikmatan

Kerja Terlalu Lama Enggak Baik

Efek dari jam kerja yang panjang sangat beragam bagi kesehatan kita.

Studi dari Prancis yang melibatkan lebih dari 143.000 peserta itu menemukan bahwa mereka yang bekerja sepuluh jam atau lebih per hari selama setidaknya 50 hari dalam satu tahun berisiko terkena stroke 29% lebih tinggi.

Penelitian itu tidak menemukan hasil yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tapi menunjukkan risiko lebih tinggi pada pekerja kantoran di bawah usia 50 tahun.

Riset meta-analisis lain yang melibatkan data lebih dari 600 ribu orang, yang diterbitkan dalam jurnal medis Inggris The Lancet, ternyata menemukan efek yang sama. Karyawan yang bekerja 40 sampai 55 jam per minggu memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan mereka dengan jam kerja yang standar yaitu 35-40 jam per minggu.

bekerja terlalu lama tidak bagus
Jam kerja yang panjang dan risiko terkena stroke lebih tinggi pada pekerja kantoran. Bonneval Sebastien

Jam kerja yang tidak teratur, atau kerja shift, juga ditengarai berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan yang lebih buruk, termasuk gangguan jam biologis (yang menentukan kapan kita terbangun dan kapan kita tertidur), gangguan tidur, tingkat kecelakaan, kesehatan mental, dan risiko terkena serangan jantung.

Gangguan ini bukan pada fisik semata. Bekerja berjam-jam secara terus menerus juga menyebabkan ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang mengarah pada menurunnya kepuasan kerja dan kinerja, serta menurunnya kepuasan kehidupan dan hubungan pribadi.

Mengapa Kita Banyak Kerja?

Meskipun banyak negara telah memberlakukan batasan jumlah jam kerja per minggu, tetapi di seluruh dunia masih ada sekitar 22 persen pekerja yang bekerja lebih dari 48 jam seminggu. Di Jepang, jam kerja yang panjang adalah masalah yang begitu besar sampai-sampai karoshi – “kematian karena bekerja terlalu keras” – adalah penyebab kematian yang diakui secara hukum.

Australia berada di urutan ketiga terbawah dari negara-negara OECD – Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi – dalam hal jam kerja yang panjang, dengan 13% penduduknya memiliki jam kerja di atas 50 jam per minggu dalam pekerjaan berbayar.

Kekhawatiran seputar otomatisasi, pertumbuhan upah yang lambat, dan meningkatnya pengangguran menjadi alasan mengapa orang Australia bekerja lebih panjang. Sebuah studi pada 2018 menunjukkan bahwa orang Australia bekerja lembur tidak dibayar totalnya sekitar 3,2 miliar jam.

Pekerjaan sering tidak berakhir setelah mereka pulang kantor. Mereka melakukan pekerjaan ekstra di rumah, menerima telepon, atau menghadiri pertemuan online setelah jam kerja. Semakin banyak mereka yang tidak melakukan pekerjaan ekstra yang punya pekerjaan sampingan. Banyak orang Australia sekarang melakukan pekerjaan tambahan secara tidak tetap atau freelance.

Baca juga: #MerekaJugaPekerja: Jangan Biarkan Perempuan Kerjakan Semua Sendirian

Pengaruh Kendali Pekerjaan

Otonomi dan “keleluasaan keputusan” di tempat kerja–sejauh mana orang punya kendali dan dapat membuat keputusan atas pekerjaan mereka–adalah faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko masalah kesehatan.

Rendahnya keleluasaan keputusan dan juga kerja shift dikaitkan dengan risiko serangan jantung dan stroke yang lebih tinggi. Kendali individu memainkan peran penting dalam perilaku manusia; sejauh mana kita yakin kita memiliki kendali atas lingkungan kita, sangat mempengaruhi persepsi dan reaksi kita terhadap lingkungan itu.

Penelitian psikologi awal menunjukkan, misalnya, bahwa reaksi seseorang terhadap sengatan listrik sangat dipengaruhi oleh persepsi bahwa ia memiliki kendali atas sengatan itu (bahkan jika ia sebenar tidak punya kendali).

Pekerja yang memiliki sedikit kendali cenderung mengalami masalah kesehatan daripada mereka yang memiliki tingkat kendali yang tinggi. NeONBRAND

Temuan ini juga ada dalam data Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia. Semakin tinggi perbedaan antara jumlah jam kerja yang mereka inginkan dan jumlah jam kerja yang mereka lakukan, maka semakin turun tingkat kepuasan dan kesehatan mental. Hasil ini berlaku baik bagi pekerja yang bekerja berlebihan dan bagi mereka yang menginginkan jam kerja lebih lama.

Baca juga: Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan

Yang Bisa Dilakukan Perusahaan

Komunikasi yang efektif dengan karyawan itu penting. Karyawan bisa jadi tidak dapat menyelesaikan pekerjaan mereka dalam jam normal karena, misalnya, harus menghabiskan banyak waktu dalam rapat.

Perusahaan dapat mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan yang dapat memastikan bahwa jam kerja yang panjang tidak terjadi terus menerus. Di Australia, ada acara tahunan Go Home on Time Day, yaitu pulang ke rumah tepat waktu, untuk mendorong karyawan mencapai keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan. Walau inisiatif ini meningkatkan kesadaran akan jam kerja, orang seharusnya selalu pulang tepat waktu, bukan sekali-sekali.

Meningkatkan masukan karyawan ke dalam jadwal dan jam kerja mereka dapat memiliki dampak positif pada kinerja dan kesejahteraan mereka sendiri.

Merancang tempat kerja yang mengutamakan kesejahteraan juga penting. Penelitian tentang kerja shift menunjukkan bahwa memperbaiki tempat kerja dengan menyediakan makanan, perawatan anak, perawatan kesehatan, transportasi yang mudah diakses, dan fasilitas rekreasi dapat mengurangi efek buruk dari kerja shift.

Dengan meningkatkan kondisi dan fungsi tempat kerja, pengusaha dapat membantu memperbaiki dampak negatif kesehatan dari pekerjaan shift. Asael Peña

Terakhir, menerapkan praktik kerja yang fleksibel sehingga karyawan memiliki kendali atas jadwal mereka untuk mendorong keseimbangan kehidupan kerja terbukti memiliki efek positif pada kesejahteraan mereka.

Inisiatif-inisiatif semacam ini membutuhkan dukungan berkelanjutan. Jepang mengadakan Jumat Premium, yaitu gerakan yang mendorong karyawan untuk pulang jam 3 sore sebulan sekali. Namun, hasil awal menunjukkan bahwa hanya 3,7 persen karyawan yang melaksanakan inisiatif tersebut. Hasil rendah ini dapat dikaitkan jam kerja panjang yang sudah jadi budaya dan pola pikir kelompok: karyawan tidak ingin merepotkan rekan kerja saat mereka mengambil cuti.

Dengan meningkatnya kekhawatiran tentang jaminan pekerjaan, dan budaya yang menganggap jam kerja panjang adalah hal wajar, perubahan mungkin tidak cepat terjadi. Padahal kita semua tahu bahwa jam kerja panjang tidak baik untuk kesehatan.

Libby (Elizabeth) Sander, Assistant Professor of Organisational Behaviour, Bond Business School, Bond University. Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Read More

Office Gossip isn’t Just Idle Chatter. It’s a Valuable but Risky

Gossip flows through the offices and lunchrooms of our workplaces, seemingly filling idle time. But perhaps, through these ubiquitous and intriguing conversations, we are influencing our workplace relationships more than we realise.

Is gossiping a route to friendship or a surefire way to make workplace enemies? It turns out the answer hinges on how the recipient of the gossip perceives the intentions of the gossiper.

Workplace gossip – defined as informal and evaluative talk about absent colleagues – is pervasive yet often misunderstood.

Traditionally frowned upon and branded as unproductive or even deviant, recent research paints a more complex picture of gossip.

While some studies imply that gossip leads to friendships between coworkers, others suggest it undermines workplace relationships. Our research indicates these apparently contradictory findings stem from misunderstanding the nuances of how gossip shapes workplace social relations.

We focused on gossip recipients – the listeners – and asked how they perceived these exchanges, and what effect receiving gossip had on their relationships with coworkers.

Also read: ‘The Power of Gossip’: Bisa Membunuh tapi Tak Melulu Buruk

Understanding Workplace Gossip

Researchers use three frameworks or concepts to make sense of workplace gossip.

The “exchange perspective” holds that gossip binds coworkers to one another through a sort of quid pro quo. A colleague may offer informational morsels, with an expectation of social support and inside information in return.

The “reputational information perspective” focuses on how gossip shapes recipients’ views of targets – the people the gossip is about. Vital information might be shared to warn others about toxic personalities or to signal someone as particularly trustworthy.

Finally, the “gossip valence” refers to whether gossip conveys positive or negative information about its target.

The Effect of Hearing Gossip

Our research looks at how gossip affects the recipient’s perception of the person sharing the gossip.

Data was collected from participants using two techniques: written incident reports and follow-up interviews. This approach provided the researchers with detailed descriptions of how workplace gossip incidents affected interpersonal relationships from the recipient’s perspective.

Our findings show that the recipients’ perceptions of these exchanges matter a great deal. In particular, their interpretation of the gossiper’s intentions can set off a chain reaction.

If the recipient judges the gossiper’s intentions as genuine and authentic – a way of opening up about one’s real views of coworkers – gossip can spark a new friendship or rekindle an old one.

When one person says, “I find it so frustrating when Mark talks down to me like that”, for example, the recipient has been trusted with the gossiper’s true feelings about Mark, a problematic colleague. This creates a stronger bond – especially if the recipient agrees with the opinion.

Curiously – and perhaps a little worryingly – we found negative gossip was a stronger way of building friendships than positive gossip, provided intentions were interpreted as genuine.

If the recipient evaluates the intention as prosocial – in other words, sharing accurate and valuable information that benefits people other than the gossiper – trust increases and collegial relationships are strengthened.

As one research participant explained:

I actually noticed that the source is the kind of guy that only really says positive things about people […] That’s why I think I began to trust him because he doesn’t run people down too much.

If the gossiper’s intentions are perceived as self-serving, the recipient’s trust in them goes down and there’s little likelihood of the two becoming friends.

One participant explained:

They said this to damage her reputation and cause drama in the workplace.

While another said:

After listening to him gossiping about another waitress, I felt very uncomfortable. I was afraid of him saying negative things about me if I make mistakes.

Also Read: Gosip, Penyihir, dan Usaha Mencabut Taring Perempuan

Not Just Idle Chatter

Our study supports the idea that gossip isn’t merely idle chatter but a valuable (and risky) social currency.

We often engage in gossip without even thinking about why we’re doing so. But our findings show other people pay a lot of attention to our motivations for gossiping.

Given we have little control over how our intentions are interpreted by others, this study is a timely reminder to think before you share gossip.

Rachel Morrison, Associate Professor, Auckland University of Technology; Helena Cooper Thomas, Professor, Auckland University of Technology, dan James Greenslade-Yeats, Research Fellow in Management, Auckland University of Technology.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More
Cara Mengatasi stres di tempat kerja

Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas

Stres di tempat kerja merupakan masalah umum yang sering dihadapi banyak orang. Ini bisa memengaruhi kesejahteraan mental dan fisik seseorang, serta berdampak pada produktivitas dan kebahagiaan di tempat kerja. Untuk memahami bagaimana mengatasi stres di tempat kerja, pertama-tama kita perlu memahami penyebab utamanya.

Dikutip dari Better Up, What is workplace stress, and what are its effects?, istilah “stres” sendiri mengacu pada respons tubuh terhadap tekanan atau tuntutan yang dialami seseorang di lingkungan kerja. Namun, penting untuk dipahami bahwa tingkat stres yang dialami setiap individu dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk jenis pekerjaan, lingkungan kerja, dan faktor personal.

Pada dasarnya, stres di tempat kerja dapat timbul dari berbagai sumber, mulai dari tuntutan pekerjaan yang berlebihan hingga konflik interpersonal. Misalnya, seorang pekerja mungkin merasa tertekan karena harus menyelesaikan banyak tugas dalam waktu yang singkat atau karena merasa kurang dihargai oleh atasan atau rekan kerja. Selain itu, adanya ketidakpastian dalam pekerjaan atau perubahan yang cepat di tempat kerja juga dapat meningkatkan tingkat stres seseorang.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua stres bersifat negatif. Sejumlah kecil stres dapat membantu meningkatkan performa seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Namun, masalah timbul ketika tingkat stress seseorang menjadi terlalu tinggi atau terus-menerus, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan fisik dan mental seseorang.

Oleh karena itu, pemahaman yang lebih baik tentang penyebab stres di tempat kerja serta cara mengelolanya menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu stres dan mengembangkan strategi untuk mengatasi serta mencegahnya, individu dan organisasi dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan dan keberhasilan bersama.

Baca Juga: Tanda Kamu ‘Workaholic’: Kerja Berlebihan Itu Baik atau Buruk?

Faktor-faktor yang Memicu Stres di Tempat Kerja

Dikutip dari Positive Psychology, 16 Causes of Workplace Stress & How to Prevent Its Effects, stres di tempat kerja bisa timbul dari berbagai faktor yang berbeda, baik yang terkait dengan tugas-tugas pekerjaan maupun dengan interaksi sosial di lingkungan kerja. Memahami faktor-faktor ini adalah langkah pertama dalam mengatasi dan mencegah stres di tempat kerja.

  1. Beban Kerja yang Berlebihan: Salah satu faktor utama yang memicu stres adalah beban kerja yang berlebihan. Ketika seseorang memiliki terlalu banyak tugas yang harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas, ini dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi. Rasa tertekan untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan cepat dan tepat bisa menjadi pemicu stres yang signifikan.
  2. Konflik Interpersonal: Konflik antar rekan kerja atau dengan atasan juga dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi di tempat kerja. Ketidakharmonisan dalam hubungan kerja bisa menciptakan lingkungan yang tidak menyenangkan dan membuat seseorang merasa tegang dan tidak nyaman saat bekerja.
  3. Kurangnya Dukungan dari Atasan: Ketika seorang karyawan merasa bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari atasan mereka, ini bisa menjadi sumber stres yang besar. Rasa tidak dihargai atau tidak didengarkan oleh atasan dapat menghasilkan perasaan ketidakpastian dan kecemasan tentang masa depan pekerjaan mereka.
  4. Tuntutan Deadline yang Ketat: Tuntutan untuk menyelesaikan proyek-proyek dalam waktu yang singkat atau dengan batas waktu yang ketat juga dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi. Ketika seseorang merasa terburu-buru atau tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik, ini dapat menciptakan tekanan tambahan yang sulit diatasi.
  5. Ketidakpastian dalam Pekerjaan: Ketidakpastian tentang masa depan pekerjaan atau perubahan yang cepat di tempat kerja juga bisa menjadi sumber stres. Misalnya, rencana restrukturisasi perusahaan atau pengurangan jumlah karyawan dapat menciptakan ketidakpastian dan kecemasan tentang keamanan pekerjaan seseorang.

Baca Juga: ‘Holiday Stress’: Memahami Stres yang Datang Menjelang Liburan

Strategi Mengatasi Stres di Tempat Kerja

Menghadapi stres di tempat kerja adalah bagian penting dari menjaga kesejahteraan fisik dan mental. Dikutip dari Verywell Mind, 9 Ways to Cope With Work Stress and Avoid Burnout, berikut adalah beberapa strategi yang dapat membantu mengatasi tingkat stres yang tinggi di lingkungan kerja:

  • Menetapkan Batas Waktu dan Prioritas: Penting untuk menetapkan batas waktu yang jelas untuk menyelesaikan tugas-tugas dan menetapkan prioritas dalam pekerjaan. Dengan membuat jadwal yang terorganisir dan realistis, seseorang dapat menghindari kelebihan beban dan merasa lebih teratur dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
  • Membangun Hubungan Kerja yang Sehat: Komunikasi terbuka dan kerja sama tim yang baik dapat membantu mengurangi tingkat stres di tempat kerja. Memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung dan memperkuat rasa keterikatan antar anggota tim.

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

  • Mengambil Istirahat yang Cukup: Penting untuk mengambil istirahat secara teratur selama jam kerja untuk menghindari kelelahan dan kelelahan yang berlebihan. Berjalan-jalan sebentar atau mengambil waktu untuk minum secangkir kopi dapat membantu mengembalikan energi dan memperbarui pikiran.
  • Mengelola Konflik dengan Bijaksana: Konflik interpersonal adalah bagian dari kehidupan di tempat kerja, tetapi cara kita mengelola konflik tersebut dapat membuat perbedaan besar dalam tingkat stres yang kita alami. Belajar untuk menghadapi konflik dengan kepala dingin dan mencari solusi yang baik bagi semua pihak dapat membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan suasana kerja yang positif.
  • Melakukan Teknik Relaksasi: Teknik-teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga dapat membantu mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas-aktivitas ini secara teratur dapat membantu seseorang mengatasi stres dengan lebih efektif.
Read More
pengertian quarter life crisis

‘Quarter Life Crisis’: Pengertian, Tanda, dan Cara Mengatasinya

Quarter Life Crisis, yang sering disebut sebagai krisis seperempat abad, adalah masa transisi yang dialami oleh sebagian besar individu di usia awal dewasa, biasanya di antara usia 20 hingga awal 30-an. Pada masa ini, seseorang sering merasa bingung, kehilangan, dan tidak pasti tentang arah hidup mereka. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi apa itu quarter life crisis, penyebab yang mendasarinya, tanda-tanda yang perlu diwaspadai, serta cara mengatasi dan menghadapinya.

Apa Itu Quarter Life Crisis?

Dikutip dari Verywell Mind, Surviving Your Quarter Life Crisis: Strategies and Support, Quarter Life Crisis adalah periode ketidakpastian dan kebingungan yang dialami oleh sebagian besar individu ketika mereka mencapai usia awal dewasa, biasanya di antara usia 20 hingga awal 30-an. Ini adalah masa di mana seseorang mulai mengevaluasi tujuan hidup, karier, hubungan, dan pencapaian pribadi mereka.

Mengapa Quarter Life Crisis Menjadi Perhatian?

Quarter Life Crisis menjadi perhatian karena dampaknya yang signifikan pada kesejahteraan psikologis dan emosional individu. Banyak orang yang mengalami quarter life crisis merasa cemas, stres, dan bahkan depresi karena mereka merasa tidak mampu menghadapi tekanan hidup dan menentukan arah yang tepat bagi masa depan mereka.

Penting untuk dipahami bahwa quarter life crisis bukanlah sesuatu yang terjadi pada setiap individu, tapi cukup umum terjadi di antara generasi muda sekarang ini. Oleh karena itu, memahami apa itu quarter life crisis dan bagaimana cara menghadapinya menjadi penting untuk membantu seseorang saat melewati masa transisi ini dengan lebih baik.

Baca Juga: Tips Manajemen Stres di Tempat Kerja yang Efektif

Penyebab Quarter Life Crisis

Quarter Life Crisis dapat dipicu oleh berbagai faktor yang kompleks dan beragam. Meskipun setiap individu memiliki pengalaman yang unik, ada beberapa penyebab umum yang seringkali menjadi pemicu. Dikutip dari Better Up, 4 ways to overcome your quarter-life crisis, berikut adalah beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami quarter life crisis:

Tekanan dari Lingkungan Sosial

Di usia awal dewasa, individu seringkali terpapar pada tekanan yang besar dari lingkungan sosial mereka, termasuk keluarga, teman sebaya, dan media sosial. Tekanan untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan seperti karier, hubungan, dan gaya hidup dapat menyebabkan stres dan kecemasan yang berlebihan.

Ketidakpastian Pekerjaan dan Karier

Masa awal dewasa seringkali diwarnai oleh ketidakpastian terkait pilihan karier dan pekerjaan. Dalam lingkungan ekonomi yang tidak stabil dan persaingan yang semakin ketat, banyak individu merasa sulit untuk menentukan arah karier yang tepat bagi mereka. Ketidakpastian ini dapat memicu rasa cemas dan kebingungan tentang masa depan.

Masalah Hubungan dengan Pasangan

Perkembangan hubungan dan pernikahan juga sering menjadi sumber stres dan kecemasan di usia awal dewasa. Individu mungkin merasa tertekan untuk menemukan pasangan hidup yang tepat atau merasa tidak puas dengan hubungan yang sedang mereka jalani. Ketidakpastian dalam hal ini dapat memicu perasaan tidak aman dan kebingungan.

Perasaan Tidak Puas dengan Prestasi dan Tujuan Hidup

Saat mencapai usia 20-an atau awal 30-an, banyak individu mulai mengevaluasi pencapaian dan tujuan hidup mereka. Mereka mungkin merasa tidak puas dengan apa yang telah mereka capai atau merasa tidak yakin tentang arah yang mereka inginkan dalam hidup. Perasaan ini dapat menyebabkan kebingungan dan kecemasan tentang masa depan.

Baca Juga: Tips Mengatasi ‘Work Anxiety’ atau Rasa Cemas di Tempat Kerja

Tanda dan Gejala Quarter Life Crisis

Mengenali tanda dan gejala quarter life crisis adalah langkah penting dalam mengatasi tantangan ini dengan lebih baik. Meskipun pengalaman setiap individu mungkin berbeda, ada beberapa tanda umum yang sering muncul saat seseorang mengalami quarter life crisis. Berikut adalah beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan:

Ketidakpastian tentang Tujuan Hidup

Salah satu tanda utama dari quarter life crisis adalah perasaan ketidakpastian tentang tujuan hidup. Individu mungkin merasa bingung atau tidak yakin tentang arah yang seharusnya mereka ambil dalam hidup, baik dalam hal karier, hubungan, atau tujuan pribadi.

Perasaan Kehilangan dan Bingung

Quarter life crisis seringkali ditandai oleh perasaan kehilangan atau bingung tentang identitas diri dan tempat dalam dunia. Individu mungkin merasa terjebak dalam keadaan di mana mereka tidak lagi merasa yakin tentang siapa mereka atau apa yang mereka inginkan.

Kecemasan akan Masa Depan

Kecemasan tentang masa depan sering menjadi gejala yang dominan dalam quarter life crisis. Individu mungkin merasa khawatir tentang kemungkinan gagal atau tidak mampu mencapai apa yang diharapkan oleh mereka sendiri atau oleh orang lain.

Perubahan Emosional dan Mood Swings

Perubahan emosional yang drastis dan mood swings dapat menjadi indikasi lain dari quarter life crisis. Individu mungkin mengalami fluktuasi perasaan dari kegembiraan yang tinggi hingga kecemasan atau depresi dalam waktu yang singkat.

Rasa Tidak Puas atau Tidak Bahagia

Rasa tidak puas atau tidak bahagia dengan keadaan hidup saat ini juga bisa menjadi tanda quarter life crisis. Individu mungkin merasa tidak puas dengan pencapaian mereka atau merasa bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan potensi mereka.

Kesulitan Mengambil Keputusan

Quarter life crisis seringkali membuat individu merasa kesulitan untuk mengambil keputusan yang penting dalam hidup mereka. Mereka mungkin merasa terjebak dalam lingkaran pikir yang berputar-putar dan sulit untuk membuat pilihan yang tepat.

Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku seperti penarikan diri sosial, peningkatan konsumsi alkohol atau obat-obatan, atau kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab juga bisa menjadi tanda quarter life crisis. Perubahan ini mungkin mencerminkan upaya seseorang untuk mengatasi stres dan ketidakpastian yang mereka rasakan.

Baca Juga: Apa itu ‘Mid-career Crisis’ dan Bagaimana Mengatasinya?

Cara Mengatasi Quarter Life Crisis

Meskipun quarter life crisis dapat menjadi pengalaman yang menantang, ada langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi dan menghadapinya dengan lebih baik. Dikutip dari Choosing Therapy, Quarter Life Crisis: Signs, Causes, & How to Cope, berikut adalah beberapa cara yang dapat membantu seseorang mengatasi quarter life crisis:

Berbicara dengan Orang yang Dipercaya

Salah satu langkah pertama dalam mengatasinya adalah dengan berbicara dengan orang yang dipercaya, seperti keluarga, teman dekat, atau bahkan profesional kesehatan mental. Berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang lain dapat membantu seseorang merasa didengar dan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.

Memahami Diri Sendiri dan Mengidentifikasi Prioritas

Mengambil waktu untuk merenungkan diri sendiri dan mengidentifikasi apa yang benar-benar penting bagi kita dalam hidup dapat membantu menetapkan tujuan yang lebih jelas. Dengan memahami nilai-nilai dan keinginan pribadi, seseorang dapat membuat keputusan yang lebih baik tentang arah hidup mereka.

Mengembangkan Keterampilan dan Hobi Baru

Menginvestasikan waktu dan energi dalam pengembangan keterampilan baru atau mengejar hobi yang menarik dapat membantu meningkatkan rasa pencapaian dan kepuasan diri. Hal ini juga dapat membantu seseorang menemukan minat baru dan memperluas jaringan sosial mereka.

Melakukan Terapi atau Konseling

Jika perasaan cemas, stres, atau kebingungan terkait quarter life crisis terasa terlalu berat, mencari bantuan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog atau konselor dapat menjadi langkah yang bijaksana. Terapi atau konseling dapat membantu seseorang mengidentifikasi sumber-sumber stres dan mengembangkan strategi untuk mengatasi mereka.

Mengubah Pola Pikir dan Menerima Perubahan

Menerima bahwa perubahan adalah bagian alami dari kehidupan dan mengubah pola pikir untuk melihat tantangan sebagai peluang untuk pertumbuhan dapat membantu mengatasi quarter life crisis. Memahami bahwa tidak ada yang salah dengan merasa bingung atau tidak pasti tentang arah hidup dapat membantu seseorang merasa lebih tenang dan terfokus.

Menjaga Keseimbangan dan Kesehatan Mental

Menjaga keseimbangan antara pekerjaan, waktu luang, dan hubungan sosial atau work-life balance juga penting dalam mengatasi quarter life crisis. Merawat kesehatan fisik dan mental dengan olahraga, tidur yang cukup, dan pola makan yang sehat dapat membantu seseorang merasa lebih baik secara keseluruhan.

Read More
tanda kamu workaholic

Tanda Kamu ‘Workaholic’: Kerja Berlebihan Itu Baik atau Buruk?

Workaholic sering kali dianggap sebagai sebuah kata yang membanggakan dalam budaya kerja modern. Namun, di balik kegiatan kerja yang produktif, terkadang tersembunyi pola perilaku yang tidak sehat dan merugikan, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan fisik dan mental seseorang.

Dalam artikel ini, kita akan membahas tanda-tanda workaholic, dampak negatifnya, penyebabnya, serta strategi untuk mengatasinya.

Pengertian Workaholic

Dikutip dari Healthline, Work Addiction: Symptoms, Diagnosis, and Treatment, workaholic adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk terus bekerja tanpa henti, bahkan di luar jam kerja yang normal. Mereka cenderung mengalami dorongan internal yang kuat untuk terus produktif dan mencapai target, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu istirahat, waktu bersama keluarga, atau aktivitas hobi yang menyenangkan.

Workaholic sering kali merasa tidak nyaman ketika tidak sedang bekerja, merasa bersalah jika mengambil cuti atau waktu luang, dan cenderung meremehkan pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Mereka mungkin merasa bahwa identitas dan nilai diri mereka sangat terkait dengan pekerjaan mereka, sehingga mereka terus-menerus mencari validasi dan kepuasan dari pencapaian dalam pekerjaan.

Karakteristik lain dari workaholic adalah ketidakmampuan untuk sepenuhnya merelaksasi diri atau menikmati momen santai tanpa merasa bersalah atau cemas tentang pekerjaan. Mereka sering kali merasa perlu untuk terus bekerja demi mencapai kesuksesan, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu istirahat yang penting untuk kesehatan fisik dan mental mereka.

Baca Juga: Cara Memberikan Feedback pada Rekan Kerja dengan Tepat

Penyebab Seseorang Menjadi Workaholic

  • Tekanan Kerja

Masih dikutip dari Healthline, salah satu penyebab utama dari fenomena workaholic adalah tekanan yang tinggi di lingkungan kerja. Tekanan ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti atasan yang menuntut hasil yang tinggi dalam waktu yang singkat, deadline yang ketat, atau lingkungan kerja yang kompetitif. Individu yang merasa terus-menerus tertekan untuk mencapai target kerja atau memenuhi ekspektasi yang tidak realistis cenderung mengembangkan perilaku workaholic sebagai respons terhadap tekanan tersebut.

Tekanan kerja yang konstan dan berlebihan dapat menciptakan rasa kecemasan dan ketidakpastian dalam diri seseorang, memaksa mereka untuk terus bekerja tanpa henti dalam upaya untuk menghindari konsekuensi negatif seperti penurunan performa atau kehilangan pekerjaan. Dorongan untuk terus berkinerja dan mengejar kesempurnaan dalam pekerjaan seringkali mengakar dalam ketakutan akan kegagalan atau penolakan, yang dapat menjadi pemicu utama dari perilaku workaholic.

  • Kecanduan Pekerjaan

Selain tekanan kerja yang eksternal, beberapa individu juga dapat mengalami kecanduan terhadap pekerjaan mereka. Kecanduan ini terjadi ketika seseorang merasa bahwa pekerjaan adalah sumber utama kepuasan atau nilai dalam hidup mereka, dan mereka merasa tidak bahagia atau tidak lengkap tanpa adanya pencapaian dalam pekerjaan. Seiring waktu, kecanduan ini dapat menyebabkan individu tersebut terus-menerus mencari stimulus dari pekerjaan, bahkan jika itu berarti mengabaikan kebutuhan lainnya seperti istirahat, kesehatan, atau hubungan sosial.

Kecanduan pekerjaan seringkali dipicu oleh faktor-faktor seperti kurangnya kepuasan dalam kehidupan pribadi, kurangnya keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang, atau kurangnya dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Individu yang merasa tidak memiliki kontrol atas kehidupan mereka di luar pekerjaan atau yang menggunakan pekerjaan sebagai mekanisme untuk menghindari masalah atau stres lainnya juga rentan terhadap perkembangan perilaku workaholic.

Baca Juga: Diskriminasi Penerimaan Kerja Berdasarkan Zodiak, Memang Ada?

Dampak Negatif Workaholism

Meskipun terkadang dianggap sebagai tanda produktivitas yang tinggi, sebenarnya workaholic punya dampak yang merugikan pada kesejahteraan fisik dan mental seseorang. Dikutip dari Forbes, Being A Workaholic Negatively Impacts All Aspects Of Life, ketika seseorang terlalu terlibat dalam pekerjaan tanpa memperhatikan keseimbangan hidup, berbagai dampak negatif dapat muncul.

  1. Stres dan kelelahan

Workaholic cenderung mengalami tingkat stres yang tinggi akibat tekanan yang konstan untuk mencapai target dan mencapai kesempurnaan dalam pekerjaan mereka. Stres yang berkepanjangan dapat mengarah pada kelelahan mental dan fisik yang serius, mengurangi produktivitas kerja dan kualitas hidup secara keseluruhan.

  1. Gangguan kesehatan fisik dan mental

Workaholism dapat berkontribusi pada berbagai masalah kesehatan fisik, seperti gangguan tidur, peningkatan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pencernaan. Selain itu, dampaknya juga dapat terasa pada kesehatan mental, dengan kemungkinan munculnya depresi, kecemasan, atau bahkan kecanduan kerja.

  1. Masalah hubungan interpersonal

Ketika seseorang menjadi terlalu terikat dengan pekerjaan, waktu dan perhatian yang seharusnya dialokasikan untuk hubungan sosial dan keluarga dapat terabaikan. Hal ini dapat menyebabkan konflik dalam hubungan, kurangnya dukungan emosional, dan perasaan kesepian yang mendalam.

  1. Kurangnya waktu untuk diri sendiri

Workaholic seringkali mengorbankan waktu untuk diri sendiri, hobi, dan kegiatan rekreasi. Akibatnya, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk merawat diri sendiri, menyebabkan penurunan kesejahteraan secara keseluruhan.

Baca Juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Strategi Mengatasi Workaholic

Workaholism dapat menjadi tantangan yang signifikan dalam mencapai keseimbangan hidup yang sehat. Namun, dengan kesadaran akan pola perilaku tersebut dan adopsi strategi yang tepat, seseorang dapat mengatasi workaholic dan memulihkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Dikutip dari Linkedin, 10 Tips on How to Avoid Being a Workaholic, berikut adalah beberapa strategi yang dapat membantu:

  1. Tetapkan batas waktu

Tetapkan batas waktu yang jelas untuk bekerja dan berpegang teguh pada batasan tersebut. Misalnya, tetapkan jam kerja yang konsisten dan berkomitmen untuk tidak bekerja di luar jam tersebut kecuali dalam keadaan darurat.

  1. Prioritaskan keseimbangan

Berikan prioritas pada keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Sediakan waktu untuk kegiatan non-pekerjaan yang menyenangkan dan bermanfaat seperti berolahraga, berkumpul dengan keluarga dan teman, atau mengejar hobi yang disenangi.

  1. Cari dukungan

Jangan ragu untuk mencari dukungan dari orang-orang terdekat, baik itu keluarga, teman, atau rekan kerja. Berbicaralah tentang tantangan yang kamu hadapi dan minta saran atau dukungan dari mereka.

  1. Pelajari teknik manajemen stres

Pelajari teknik-teknik manajemen stres seperti meditasi, yoga, atau pernapasan dalam untuk membantu meredakan stres dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan. Praktikkan teknik-teknik ini secara teratur untuk membantu menjaga keseimbangan emosional dan mental.

  1. Beri diri Anda waktu untuk istirahat

Ingatlah pentingnya istirahat yang cukup untuk kesehatan fisik dan mental kamu. Sisihkan waktu untuk beristirahat secara teratur, baik itu dalam bentuk istirahat singkat di tengah hari atau liburan yang panjang untuk menyegarkan pikiran dan tubuhmu.

Read More

Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Pada 15 September 2021, Twitter sedang dihebohkan dengan rekrutmen kerja yang sarat akan unsur pelecehan seksual. Rekrutmen tersebut diunggah oleh akun Twitter @AREAJULID hasil curhatan sender yang tengah mencoba melamar kerja di KSP Mitra Niaga. Dalam proses pendaftaran, ia harus mengisi data diri di Formulir Pendaftaran Calon Pegawai melalui Google Form.

“Bagi kalian semua terutama cewek, tetap harus waspada sama lowongan kerja ya, jangan sampai kaya aku yang kegocek di web tempat loker, taunya malah balasan emailnya suruh isi form begini,” tulis sender pada caption unggahannya.

Pertanyaan tak pantas, seperti “Apakah masih virgin?”, “Ukuran bra berapa” wajib dijawab oleh calon pelamar. Tak hanya itu, ia bahkan diminta mengirimkan foto memakai blazer dengan dalaman tanktop dan foto memakai hem putih dengan dua kancing atas dilepas. Pelamar juga disuruh membayar untuk bisa melanjutkan proses rekrutmen kerja di perusahaan tersebut. Sontak pertanyaan dan syarat yang diajukan oleh perusahaan itu membuat warganet geram. Banyak dari mereka yang akhirnya langsung memberikan imbauan bagi para perempuan yang hendak melamar kerja untuk tidak terjebak dalam rekrutmen kerja bodong seperti ini.

Hal senada juga kembali berulang dan viral tahun ini. Kejadian itu dialami oleh pencari kerja yang juga aktif di TikTok, berinisial DF, dilansir dari akun X @mallaschenee, (23/4). Saat menyatakan minatnya melamar sebagai sekretaris kepada seorang yang mengaku sebagai HR, korban justru diminta mengirim foto hanya memakai bra tanpa busana. Berukali-kali ia juga menanyakan kepada korban, apakah dirinya merasa seksi atau tidak.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Perempuan Menjadi Korban Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Dunia Kerja

Beruntung, karena kesigapan dari sender yang langsung dapat mengidentifikasi adanya unsur pelecehan seksual dari rekrutmen kerja tersebut, banyak perempuan lain yang akhirnya terhindar dari modus rekrutmen serupa. Meski begitu, sayangnya pelecehan seksual yang berkedok rekrutmen kerja seperti kasus di atas bisa dibilang hanya bagian dari lapisan atas gunung es saja. Nyatanya, perempuan masih terbilang rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dalam dunia kerja.

Hal ini misalnya hampir terjadi pada Annisa dan teman sesama perempuan pelamar kerja lainnya. Annisa membagikan kisahnya pada akun instagram pribadi yang diunggah kembali akun Line @iCampusIndonesia pada 2018 silam. Annisa mengaku melamar sebuah lowongan pekerjaan melalui email yang ia dapat dari koran ternama di Indonesia. Tidak berselang lama, ia dihubungi perusahaan untuk datang ke kantor apartemen dalam rangka melanjutkan proses rekrutmen kerja.

Setelah sampai di alamat tersebut, ia diminta menunggu di lobi dan bertemu dengan perempuan lain. Tidak disangka ternyata perempuan tersebut baru saja menjalani proses rekrutmen dari perusahaan yang sama dengannya. Perempuan yang ia temui ini pun langsung menyuruh Annisa untuk pulang dan tidak lanjut proses rekrutmennya. Usut punya usut, perempuan tersebut mengalami pelecehan seksual selama proses wawancara berlangsung. Selama 3 jam proses wawancara, perempuan tersebut ditanyai hal tidak senonoh oleh pewawancara dan dilecehkan oleh laki-laki perekrut kerja. Ia bahkan ditawari keringanan ganti rugi kursi sebesar Rp1,8 juta karena dituduh merusakkan kursi dengan menjadi pacarnya.

Pengalaman serupa terjadi pada 11 perempuan yang menjadi korban penipuan rekrutmen kerja yang berujung pada kekerasan seksual pada Agustus 2020. Pelaku bernama Suherman, supir angkot mengaku sebagai HRD tim kesehatan. Ia memasang iklan lowongan kerja di akun Facebook palsu. Dari iklan lowongan kerja ini, banyak perempuan yang kemudian tertarik ingin mendaftar.

Baca Juga:Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Mengutip pernyataan AKBP M Yoris Marzuki dari Kapolres Cimahi melalui Intisari online.com, dalam rekrutmen palsu ini, Suherman meminta korban membayar uang administrasi senilai  Rp1,5 juta sebagai biaya administrasi dan berfoto tanpa busana dengan alasan untuk tes kesehatan. Aksi Suherman ini dilakukan sejak Februari 2020 dan berujung pada pemerkosaan.  Sebanyak empat perempuan diperkosa olehnya dengan cara diancam. Ia mengancam para korban akan menyebarkan foto tanpa busana yang telah mereka kirim ke internet jika tidak mau menuruti kemauannya berhubungan seks. Beraksi hampir selama lima bulan, Suherman akhirnya ditangkap di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.

Apa yang dilakukan oleh Suherman pada perempuan korban adalah bukti nyata bagaimana rentannya perempuan sebagai korban pelecehan dan kekerasan seksual dalam proses rekrutmen kerja.

Dikutip dari laman firma hukum Lipsky Lowe asal Amerika Serikat, pelecehan dan kekerasan seksual dalam proses rekrutmen kerja dibagi menjadi dua bentuk, pelecehan seksual Quid Pro Quo (Quid Pro Quo Sexual Harassment) dan lingkungan kerja yang tidak bersahabat (Hostile Work Environment).

Quid Pro Quo Sexual Harassment mengacu pada pelecehan seksual yang dapat berujung kekerasan seksual yang terjadi dalam proses rekrutmen kerja. Dalam hal ini tawaran pekerjaan mungkin didasarkan pada persetujuan pelamar untuk melakukan tindakan seksual tertentu, misalnya berciuman, menyentuh, hubungan seksual. Jika pelamar tidak melakukan tindakan seksual tertentu yang diminta oleh perekrut kerja umumnya, pelamar kerja akan diancam. Sedangkan Hostile Work Environment mengacu pada pengalaman proses perekrutan di mana pelamar kerja mengalami perilaku verbal atau visual fisik yang tidak diinginkan yang bersifat seksual yang menciptakan suasana yang membuat pelamar kerja tidak nyaman atau cemas berlebih. Misalnya perekrut kerja membuat isyarat atau komentar bermuatan seksual tentang tubuh pelamar kerja.

Baca Juga:Jika Kantor Abai dengan Kekerasan Seksual, Apa yang Bisa Dilakukan?

Absennya Perlindungan Hukum bagi Perempuan Pelamar Kerja

Pertanyaannya, berapa banyak perempuan pelamar kerja yang telah menjadi korban sejauh ini? Dalam laporan PSBB (Pelecehan Seksual Bukan Bercanda) dari Never Okay Project, ditemukan, sepanjang 2018 hingga 2020 terbukti ada sebesar 5,98% pelecehan seksual terjadi sejak awal hubungan kerja terjalin atau saat proses rekrutmen kerja.

Berdasarkan data yang terkumpul,kekerasan dan pelecehan seksual  di dunia kerja kerap terjadi secara berulang, sehingga 1 kasus bisa mencakup beberapa jenis bentuk kekerasan dan pelecehan seksual. Selain itu, pada beberapa kasus ditemukan, kekerasan dan pelecehan seksual dilakukan bertahap di mana pelaku memulai dengan tindakan pelecehan yang biasanya sudah dinormalisasi, termasuk pelecehan seksual verbal, pelecehan seksual isyarat, dan lain-lain. Tindakan pelecehan yang dinormalisasi ini lalu meningkat ke tindakan dengan spektrum yang lebih berbahaya, seperti pelecehan seksual fisik dan pemerkosaan.

Sebanyak 52 kasus pelecehan dan kekerasan seksual dalam dunia kerja juga tercatat dalam laporan Never Okay Project  yang dilaporkan ke kepolisian. Sayangnya hanya ada 1 kasus di mana pelaku akhirnya divonis penjar,a sementara ada 1 kasus dengan pelaku yang divonis bebas, dan 1 kasus lain di mana korban divonis penjara. Lalu, terdapat 7 kasus yang tidak teridentifikasi kelanjutannya.

Dari data di atas maka dapat dilihat bagaimana pemerintah masih punya PR besar dalam memberikan ruang aman bagi perempuan pekerja. Selama ini, perempuan utamanya perempuan pelamar kerja tidak mendapatkan jaminan perlindungan hukum atas kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang mereka alami. Dikutip dalam laporan singkat Urgensi Ratifikasi Konvensi ILO Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang dikeluarkan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, rentannya perempuan menjadi korban karena pengaturan larangan dan sanksi kekerasan dan pelecehan seksual dalam hukum pidana baik hukum pidana khusus dan umum (termasuk di dalamnya pengaturan pidana dalam UU Ketenagakerjaan) telah ada, namun terbatas jenis dan cakupannya.

Sementara di KUHP, tidak diatur secara spesifik tentang kekerasan yang terjadi di wilayah mana, sepanjang  itu terjadi di Indonesia. Pun, dalam UU Ketenagakerjaan, tidak ada pengaturan sanksi dan perlindungan hak perempuan terhadap tindak kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.

Dikarenakan absennya perlindungan hukum yang diberikan negara pada perempuan pekerja, meratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menjadi sangat penting. Kerangka Konvensi ILO 190 mendefinisikan pekerja dan tempat kerja secara luas. Dikutip langsung dalam dokumen itu, tepatnya Pasal 2 ayat 1, konvensi ini melindungi pekerja dan orang lain di dunia kerja termasuk pencari dan pelamar kerja. Dalam ayat 2 dilanjutkan, konvensi ini juga berlaku untuk semua sektor, baik swasta maupun publik, baik di perekonomian formal maupun informal, di daerah perkotaan perdesaan.

Pada Pasal 3 ditegaskan, konvensi berlaku untuk pelecehan dan kekerasan di dunia kerja yang terjadi dalam perjalanan, terkait dengan atau timbul dari pekerjaan. Misalnya saja selama perjalanan, pelatihan, acara atau kegiatan sosial yang terkait dengan pekerjaan atau melalui komunikasi terkait pekerjaan, termasuk yang dimungkinkan oleh teknologi informasi dan komunikasi.

Dilansir dari Parapuan, Sri Wiyanti Eddyono, SH, LLM (HR), PhD, periset, aktivis, dan dosen Universitas Gadjah Mada dalam seminar daring Stop Kekerasan di Dunia Kerja pada (29/6) menyatakan, ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 bisa selaras dengan pengesahan RUU PKS sebagai bentuk perlindungan untuk para pekerja di dunia kerja. Dengan begitu, perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum menyeluruh dari negara.

Artikel ini telah diperbarui pada tanggal 23 April 2024 untuk tujuan pendidikan.

Read More