Seorang pekerja di perusahaan startup mengaku orang-orang di jajaran atas kantornya sering mengingatkan pentingnya melayani konsumen sepanjang waktu, sekalipun tugas tersebut tidak tertera dalam deskripsi pekerjaan yang dilamarnya. Namun, hal itu tetap saja rela dia lakukan atas dasar pemikiran bekerja dengan orang-orang di kantornya perlu dianggap sebagai kerja untuk “keluarga” yang mendukung satu sama lain.
Kepada Cosmopolitan, ia menceritakan aktivitas di luar pekerjaan yang dilakukan bersama rekan kerjanya. Mulai dari mempelajari kebiasaan dan ketakutan mereka, menghadiri pernikahan, makan bersama, hingga membantu istri bosnya mengatur acara ulang tahun.
Awalnya, ia menganggap atasannya suportif. Namun, ketika ia tidak diizinkan mengundurkan diri, ia menyadari relasi mereka bukan sebagai keluarga.
Untuk memperjelas, prinsip kekeluargaan di kantor berbeda dengan menjalin pertemanan dekat bersama teman sekantor atau hubungan yang dilandaskan kepercayaan. Ini lebih kepada sebuah konsep yang digunakan pemimpin perusahaan untuk menjaga loyalitas pekerjanya, dan mempertahankan mereka sebagai sumber daya.
Selain itu, terdapat berbagai aspek dalam kultur kekeluargaan di perusahaan, seperti empati, kepedulian, rasa hormat, dan sense of belonging. Kultur tersebut juga memiliki manfaat psikologis sebagaimana ditemukan dalam riset oleh akademisi asal Norwegia, Rudi Kirkhaug bertajuk “Charisma or Group Belonging as Antecedents of Employee Work Effort?” (2010). Misalnya, membangun pertemanan dan memenuhi kebutuhan untuk memiliki dalam suatu lingkungan.
Sebetulnya, tidak ada salahnya menjalin keakraban dengan teman kantor dan menyukai pekerjaan yang dilakukan. Namun, budaya kekeluargaan yang mengikat pekerja bisa lebih membebani dirinya dibandingkan kepuasan secara psikologis.
Baca Juga:Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?
Apa saja sisi buruk penerapan prinsip kekeluargaan di kantor? Berikut kami rangkum beberapa di antaranya.
1. Kaburnya Batasan Kehidupan Personal dan Profesional
Selain menjadi tempat untuk memperoleh penghasilan, lingkungan kerja bisa menjadi tempat para pekerja mendapatkan dukungan dari koleganya, saling peduli satu sama lain, dan memiliki hubungan menyenangkan. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan dari sini.
Ketika perusahaan menerapkan prinsip kekeluargaan di kantor, pekerja akan mempertimbangkan keterbukaan terhadap kolega maupun atasannya. Kehidupan pribadi yang sebenarnya menjadi pilihan untuk tidak diketahui, justru diungkapkan sebagai salah satu cara bersosialisasi, meskipun mereka tidak ingin menjalin hubungan lebih dalam di luar urusan pekerjaan.
Studi “Organizational Family Culture: Theoretical Concept Definition, Dimensions and Implication to Business Organizations” (2018) oleh Onyebuchi Obiekwe menyebutkan, bisnis yang menggunakan metafora kekeluargaan memperlakukan pekerjanya bukan sebagai kolega, melainkan kakak dan adik.
Obiekwe menjelaskan metafora itu menciptakan budaya positif yang memotivasi dan meningkatkan moral, pun dapat mengurangi konflik dan perselisihan di dalam perusahaan.
Namun, sisi emosional pekerjanya bisa saja dikorbankan karena ia terikat dengan perusahaan. Dikhawatirkan, pekerja merasa harus memberikan informasi apa pun yang diminta atasannya, lantaran relasi mereka seperti orang tua dan anak.
Di dalam perusahaan yang menggunakan kultur kekeluargaan, seluruh aspek pekerjaan diperlakukan dan terasa personal. Karena disamakan dengan hubungan keluarga, ikatan yang terbentuk dirasa tidak memiliki batasan.
Baca Juga:5 Cara Keluar dari ‘Likeability Trap’ Bagi Pekerja Perempuan
2. Keengganan Melaporkan Sesuatu yang Tak Beres
Karena relasi antara pekerja dan atasan bisa dianggap layaknya anak dan orang tua, akan muncul kecenderungan relasi hierarkis: Atasan yang mengambil keputusan sedangkan anak mengikuti perintah. Otomatis, pekerja tidak dapat membela diri sendiri maupun keluar dari zona tersebut, dan relasi cenderung bersifat satu arah dari atasan ke mereka.
Dilansir Harvard Business Review, adanya kekuasaan di perusahaan juga membuat pekerja sulit melaporkan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan rekan kerjanya. Ini disebabkan mereka mengkhawatirkan hukuman yang diterima pelaku, dan berharap dapat menarik pengaduannya.
Pun berdasarkan National Business Ethics Survey pada 2019, 45 persen orang di seluruh dunia pernah menyaksikan pelanggaran di tempat kerjanya, tetapi sepertiga di antaranya tidak melakukan tindakan. Mereka merasa bersalah seolah melaporkan anggota keluarganya sendiri dan tidak dapat melindungi.
Baca Juga:4 Fakta Kamu Budak Korporat dan Cara Mengatasinya
3. Menciptakan Loyalitas Berlebihan
Setelah mengetahui berbagai aspek pribadi pekerjanya, atasan cenderung mengharapkan pekerja memprioritaskan kewajibannya dan loyal pada perusahaan. Loyalitas yang diharapkan ini dapat berujung pada jam kerja lebih panjang, pekerja melakukan pekerjaan yang tidak terdapat dalam deskripsi pekerjaannya, sementara ia menerima penghasilan tidak sepadan.
Dalam The Character of a Corporation (1998) oleh Rob Goffee dan Gareth Jones dijelaskan, di perusahaan yang melanggengkan budaya kekeluargaan, pekerjanya berinisiatif tinggi untuk membantu rekan kerjanya. Bahkan, secara sukarela menolong sebelum diminta hingga mengesampingkan kepentingannya sendiri.
Tentu atasan menyukai karakter pekerja demikian. Namun, di balik kultur kekeluargaan tersebut, pekerja dieksploitasi demi memajukan perusahaan, meskipun di sisi lain loyalitas diberikan untuk mempertahankan posisi mereka.
Mungkin dapat dikatakan pantas apabila pekerja menerima haknya dengan setimpal. Sayangnya, dalam realitasnya tak selalu demikian dan tidak sedikit dari mereka yang mengajukan komplain, tetapi diabaikan. Alasannya, menurut mereka di dalam keluarga tidak ada permintaan kenaikan gaji atau waktu kerja fleksibel.
Bagaimana Mewujudkan Kultur Perusahaan yang Positif?
Untuk menavigasikan budaya tersebut, menurut penulis dan work advice columnist Alison Green, hal terpenting yang perlu dilakukan untuk mengubah kultur ini ialah tidak menginternalisasi prinsip kekeluargaan di kantor, meskipun perusahaan menerapkannya.
“Sebagai pekerja, kita perlu memastikan diri sendiri untuk memperjelas bahwa perusahaan ini perkara bisnis, bukan keluarga. Tidak perlu mempertimbangkan yang dikatakan atasan,” tuturnya kepada The New York Times.
Hal tersebut akan membantu pekerja memisahkan relasi pribadi dan profesional, sehingga mereka dapat belajar memprioritaskan diri dan mengatakan “tidak” apabila atasan menuntut pekerjaan yang dinilai berlebihan. Green menambahkan, apabila tindakan ini dilihat oleh kolega, mereka dapat menirunya dan secara tidak langsung telah menciptakan pengaruh baik di lingkungan kerja.
Selain itu, lingkungan kerja perlu dilakukan seperti sebuah tim. Artinya, pekerja dapat dikeluarkan apabila kinerjanya tidak cukup baik. Mungkin kedengarannya kejam, tetapi tindakan itu menegaskan batasan yang sehat di perusahaan.
Dan tidak dimungkiri, baik perusahaan maupun pekerja saling membutuhkan satu sama lain. Maka itu, apabila salah satu pihak tidak memperoleh yang dibutuhkan, mereka dapat mencarinya dari pihak lain.
John Feldmann, seorang spesialis komunikasi di sebuah perusahaan di AS menjelaskan, perusahaan perlu menekankan work-life balance kepada pekerjanya. Ia menyarankan, sebaiknya atasan menyadari bahwa peran bawahannya hanya bekerja, membutuhkan istirahat, dan memiliki kehidupannya sendiri.
Sependapat dengan Feldmann, Green menuturkan hal serupa, “Perlakukan pekerjaan layaknya pekerjaan. Lagi pula, keberadaan kita di sana karena dibayar untuk bekerja, bukan kepentingan lain.”
Pun sebenarnya tidak perlu memiliki relasi mendalam yang mengikat dengan atasan dan rekan kerja. Pasalnya, ini bisa membuat pekerja sulit menarik diri dari pekerjaan ketika seharusnya ia dapat menikmati waktu senggangnya untuk kepentingan personalnya.