Ines Atmosukarto, Perempuan di Bidang Sains, dan Segala Hal tentang Vaksin

Dr. Ines Atmosukarto
Mbak Ines aktif mendidik masyarakat tentang vaksin dan imunologi melalui media sosial. Peneliti lain juga melakukan hal yang sama. Nah, bagaimana sih seharusnya para ilmuwan melawan hoaks yang beredar tentang situasi kita saat ini?

Seandainya saja saya tahu [tertawa]. Ini sulit, saya masih belajar gimana caranya. Yang pasti, kalau kita hanya melawan dengan fakta dan data saja tidak akan mempan dalam beberapa kasus, karena mereka sudah dibekali dengan fakta-fakta dari sumber lain yang mereka percayai, jadi sulit untuk mengubah keyakinan mereka.

Yang saya coba lakukan sekarang adalah mencoba mengerti kenapa mereka mempercayai klaim ini, sehingga kita dapat memulai diskusi untuk mencoba mengubah pendirian mereka tentang masalah ini, dengan cara yang sopan tentunya. Kalau kita bilang langsung bahwa mereka salah saya rasa tidak efektif. Kita perlu melanjutkan diskusi berbasis bukti secara paralel, sehingga orang juga paham sudut pandang kami.

Sebagai ilmuwan, kita harus rendah hati juga. Kita tidak tahu segalanya, kita bisa saja salah. Kita harus belajar dari ilmuwan sosial. Peneliti ilmu pasti itu sebenarnya harus bersinergi dengan antropolog atau ilmuwan sosial untuk bisa menemukan cara [untuk mengatasi ini].

Saya mencoba memantau isu yang sedang dibahas seputar keraguan terhadap vaksin. Tantangannya adalah mencari cara untuk mengubah pendirian mereka tanpa memberi fokus kepada diri mereka. Saya sendiri belajar dari anak saya yang berusia 22 tahun, dia lebih berpengalaman di media sosial dan studinya kebetulan tentang kesehatan masyarakat. Memang sebagai ilmuwan, kita harus rendah hati juga. Kita tidak tahu segalanya. Kita bisa saja salah. Kita harus belajar dari ilmuwan sosial. Peneliti ilmu pasti itu sebenarnya harus bersinergi dengan antropolog atau ilmuwan sosial untuk bisa menemukan cara [untuk mengatasi ini].

Baca juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM

Saat ini kan vaksin COVID-19 sudah didistribusikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Tapi bagaimana kita bisa memastikan bahwa distribusi vaksin ini adil dan merata? Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dengan daerah-daerah terpencil, dan kesenjangannya pun lumayan tinggi. Sejauh ini saja hanya sekitar 5 persen saja orang Afrika-Amerika yang telah menerima vaksin di Amerika. Apa pendapat Mbak tentang ini?

Sebenarnya ini adalah hal yang paling saya khawatirkan: keadilan dan kesamarataan distribusi vaksin COVID-19. Apalagi di Indonesia banyak daerah yang sulit diakses, misalnya di kota-kota kecil. Pemerintah lah yang seharusnya memastikan vaksin didistribusikan secara adil. Itu sebabnya dari awal sudah dibuatkan daftar prioritas.

Prioritas Indonesia pada awalnya sedikit berbeda dengan negara lain. Tentunya, daftar prioritas masing-masing negara bergantung pada keadaan sosial ekonomi negara tersebut. Kalau di Amerika Serikat, mungkin yang harus diperhatikan adalah kaum Afrika-Amerika. Kalau di Australia, yang diperhatikan kaum Aborigin.

Menurut saya, potensi Indonesia mengalami masalah itu ada, karena masih ada celah dalam program vaksinasinya. Misalnya, salah satunya yang saya tanyakan, kalau pendaftaran vaksin harus secara online, apakah semua orang mampu untuk melakukannya? Ada baiknya semua kelompok masyarakat memperhatikan dan bersuara dengan cara yang positif.

Kritik itu tidak negatif, asalkan kita melakukannya dengan niat baik. Pemerintah juga berada di bawah tekanan besar dan harus mengambil keputusan cepat. Namun, dengan adanya dialog dan masukan dari masyarakat, mudah-mudahan program vaksinasi dapat disempurnakan.

Saya juga ingin mengajak semua orang untuk peduli dengan komunitasnya dan saling membantu orang-orang di sekitar kita untuk mendapatkan vaksin. Misalnya, kita bisa membantu mendaftarkan para lansia atau membawa mereka ke rumah sakit untuk divaksinasi.

Saat ini situasinya kan partisipasi perempuan dalam dunia sains dan STEM ini masih sedikit ya, Mbak – menurut sebuah studi UNESCO, kurang dari 30% ilmuwan perempuan di dunia adalah perempuan. Menurut Mbak Ines mengapa ini masih terjadi?

Benar, sayangnya ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di negara-negara di seluruh dunia. Saya rasa semuanya kembali ke kodrat perempuan sebagai yang melahirkan dan menjaga anak. Karena perempuan yang harus mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak setidaknya dalam beberapa tahun pertama, pada akhirnya itu menjadi beban bagi perempuan dalam mengejar karir dibandingkan laki-laki.

Menurut Mbak apakah seharusnya ada kebijakan untuk peneliti atau ilmuwan perempuan agar tidak mengalami beban ganda seperti ini?

Saya rasa perlu, tetapi itu hal yang sulit juga karena banyak faktor yang harus diperhitungkan, seperti childcare, tempat kerja yang fleksibel, dan supporting system lainnya. Pada akhirnya keberagaman gender itu sangat penting.

Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Nah, berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam bidang STEM, Mbak Ines kan juga membantu membuat program fellowship untuk perempuan Indonesia dalam bidang sains. Boleh nggak Mbak ceritakan sedikit tentang ini dan apa saja tantangan yang dihadapi?

Jadi pada tahun 2004 ketika saya menerima fellowship internasional, L’Oreal Indonesia berinisiatif memulai program-program fellowship nasional untuk mendukung dana penelitian perempuan muda dan juga program lainnya untuk meningkatkan minat perempuan-perempuan yang masih di sekolah menengah terhadap dunia keilmuan. Tujuannya adalah untuk memberi gambaran bahwa perempuan juga dapat berkarier sebagai ilmuwan dan peneliti.

Tantangannya banyak, salah satunya pendanaan. Tetapi L’Oreal internasional dan nasional benar-benar membantu dalam aspek tersebut. Tantangan lainnya adalah mencoba mematahkan stigma. Kita ingin menciptakan lingkungan di mana anak-anak muda merasa diberdayakan dan bisa berdiskusi dengan mentor mereka juga.