“Waktu awal 1999 sampai 2003 justru lebih banyak perempuan produser. Sekarang jumlahnya sedikit sekali dibandingkan yang laki-laki, apalagi sutradara. Paling sampai tahun 2021 ini hanya bertambah dua sampai lima orang,” ujar Nia Dinata.
“Kru masih didominasi laki-laki tapi kru seperti asisten sutradara, wardrobe, cameraperson dan asisten cameraperson, editor, itu bertambah. Tapi itu kan keputusan produser dan sutradara untuk mempekerjakan mereka atau tidak,” ia menambahkan.
Nia dan sejumlah produser perempuan telah mendorong komposisi gender yang lebih berimbang dalam produksi film-film mereka. Nia mengatakan, jika dulu rasio kru tertinggi yang bisa dicapai adalah 40 persen untuk kru perempuan, sekarang dengan peningkatan jumlah perempuan pekerja film, kru perempuan bisa mencapai 60 persen.
Mandy Marahimin mengatakan, pada saat ia mulai memproduksi film dengan Tanakhir pada 2015, komposisi kru perempuan adalah sekitar 20 persen, kemudian perlahan meningkat sampai sekarang 50 persen.
Baca Juga: Kekerasan Seksual pada AOC Bukti Kerentanan Perempuan Bahkan di Level Pemimpin
Sari Mochtan saat ini tengah memproduksi sebuah film dengan komposisi kru perempuan pada kisaran 40 persen, sementara Lola Amaria sejauh ini mempekerjakan kru perempuan 50 persen hingga 70 persen pada setiap produksinya.
“Mungkin karena tema-tema filmku umumnya tentang perempuan, kawan-kawan kru perempuan kelihatannya jadi lebih tertarik dan proaktif untuk terlibat,” ujar Lola.
Mandy mengatakan ia berharap komposisi kru yang seimbang, atau idealnya didominasi oleh kru perempuan, tidak terbatas pada tema atau cerita film yang diproduksi, karena hal itu bisa menghambat keragaman film-film yang ditawarkan kepada penonton.
“Peran kru perempuan ini juga penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan terlindung dari pelecehan seksual,” ujarnya.
Proses untuk mencapai keseimbangan komposisi kru berbasis gender ini tentunya tidak mudah dan perlu waktu, tapi harus diupayakan. Secara teknis, tidak ada bidang kerja atau profesi terkait film yang tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Selain itu, kita tentu berharap agar klausul terkait pelecehan seksual dalam industri film kelak wajib tercantum sebagai bagian kontrak kerja yang diberlakukan oleh semua produser dan rumah produksi di Indonesia.
Prima Rusdi adalah penulis skenario dan produser yang bermukim di Jakarta. Ia telah meraih sejumlah penghargaan, termasuk skenario film terbaik pada Festival Film Indonesia untuk Eliana, Eliana, yang ditulis bersama sutradara Riri Riza. Ia juga menjadi produser untuk sejumlah film pendek dan dokumenter, kerap menjadi penulis kontributor untuk sejumlah media, dan pernah menerbitkan sejumlah buku antara lain Bikin Film Kata 40 Pekerja Film.