Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan

pelecehan seksual dalam industri film

Spektrum Pelecehan Seksual: Tidak Ada Pelanggaran ‘Enteng’

Kerapnya tindakan pelecehan seksual di industri film telah mendorong sejumlah perempuan sutradara dan produser film di Indonesia untuk meningkatkan tindakan pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual. Produser Lola Amaria dari Lola Amaria Production mengatakan, seharusnya produser atau pimpinan produksi bertindak lebih proaktif, setidaknya dengan segera membuka jalur komunikasi dalam bentuk teguran kepada pelaku.

“Jangan tunggu sampai ada kru yang melapor karena terganggu. Justru saat di awal ada indikasi pelanggaran ‘boundaries’ itu artinya perlu ada teguran ke pelaku yang pada titik itu mungkin belum paham apa yang salah,” ujar Lola.

Sampai di sini mungkin kita sudah lebih jelas soal “pekerjaan rumah” yang harus diemban jajaran produser, sutradara, dan pimpinan produksi dalam upaya meniadakan pelecehan seksual dalam konteks produksi film-film kita.

Selama masih banyak yang mengira pelecehan seksual haruslah berbentuk tindakan pelanggaran “kelas berat” sekelas pemaksaan fisik, sementara di luar itu dimasukkan ke dalam kategori “cuma bercanda,” bisa dibayangkan seberapa tinggi urgensi para pembuat keputusan terkait produksi untuk mengedukasi seluruh jajaran kru untuk memahami spektrum perundungan seksual. Bukan hanya mengeluarkan aturan tapi mensosialisasikan dalam bentuk komunikasi. Karena, pembiaran pada tingkatan yang kerap dianggap “enteng” itu justru bisa secara akumulatif berkembang menjadi pelanggaran-pelanggaran yang lebih serius.

Produser Sari Mochtan  dari BASE Entertainment mengatakan, sesama kru yang terlibat pada produksi idealnya memahami tiga hal: Saling menghormati, toleransi, dan senantiasa bersikap profesional. Profesionalisme yang dimaksud oleh Sari termasuk tata cara berkomunikasi antar kru yang mengutamakan kejelasan dan penghargaan antar profesi.

“Cara berkomunikasi termasuk tidak membiarkan candaan yang sifatnya merendahkan, menghina atau mempermalukan. Misalnya, body shaming,” ujarnya.

Senada dengan Sari, pengarsip, pemrogram, dan periset film Lisabona Rahman meyakini perlunya ada kesepakatan bersama terkait etika, bahwa pelecehan seksual, mulai dari kelakuan diskriminatif berdasarkan penampilan atau bentuk tubuh, ucapan seksis sampai perhatian atau sentuhan yang tak diinginkan, tidak ditoleransi di lingkungan kerja.

“Ini harus menjadi bagian dari etika perilaku di tempat kerja dan saya harap diadopsi institusi atau manajemen kerja,” ujar Lisabona, yang juga salah satu pendiri Sekolah Pemikiran Perempuan ini.

Karenanya, ia menekankan perlunya peran kolega dan pemimpin unit kerja yang mau percaya dan bertanggung jawab menerima laporan serta bertindak jika ada yang mengalami pelecehan seksual. Selain itu, ia juga berharap ada sanksi profesional yang tegas pada pelaku perundungan seksual atas dasar pelanggaran etika.

Baca juga: ‘Raya and The Last Dragon’: Pesan Kolaborasi dalam Kepemimpinan Perempuan