Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan

pelecehan seksual dalam industri film

Keharusan atau Pilihan? Pentingnya Kewenangan Produser

Apa yang disampaikan oleh Sari Mochtan dan Lisabona Rahman konsisten dengan apa yang diharapkan dari pihak produser dalam konteks pencantuman klausul soal pelecehan seksual pada kontrak kerja. Dalam konteks film, yang paling berwenang adalah produser karena memiliki legitimasi untuk melakukan rekrutmen berdasarkan kontrak kerja.

Produser Mandy Marahimin dari Tanakhir Films menekankan perlunya ada kesadaran dari sisi produser untuk menciptakan dan memastikan lingkungan kerja yang aman dan nyaman, khususnya untuk perempuan. Sayangnya, belum semua produser menyadari hal ini.

“Memang perlu ada upaya antar produser untuk mulai membicarakan hal ini. Karena produser berwenang penuh untuk memasukkan pasal perlindungan terhadap pelecehan seksual di dalam kontrak,” ujarnya.

Produser Nia Dinata dari Kalyana Shira Films termasuk yang sejak dini mengantisipasi adanya isu perundungan seksual terkait profesi film dengan menerapkan hal-hal berikut:

  • Memberikan jaminan tertulis dalam kontrak kerja pada pasal khusus tentang keamanan dan kenyamanan bekerja yang mencantumkan larangan keras melakukan segala bentuk pelecehan seksual, termasuk catcall, perundungan sampai elevator eyes (melihat tubuh dari atas sampai bawah), dan kekerasan seksual;
  • Mencantumkan pada kontrak langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pelaporan apabila terjadi pelecehan seksual;
  • Melakukan respect training pada seluruh jajaran produksi sebelum proses praproduksi yang melibatkan seluruh pemain dan kru;
  • Melakukan ulasan mingguan di lokasi shooting untuk mengevaluasi kenyamanan lingkungan kerja dan meyakinkan semua pemain dan kru untuk terbuka jika ada kejadian yang membuat tidak nyaman;
  • Memberikan teguran atau pengingat khusus setiap hari pada lembar call sheet tentang code of conduct yang menjunjung tinggi respect, equality dan professionalism.

Meiske Taurisia dari Palari Films juga sudah memasukkan klausul terkait pelecehan seksual di dalam kontrak kerja dengan kru, dan pihaknya sudah membahas isu ini dan bagamaina menyikapinya sejak masa persiapan produksi.

“Kami memulai diskusi soal ini dengan tim produksi, yang kerap berhubungan erat dengan semua lapisan kru di lapangan, juga dengan para Head of Department. Merekalah yang melanjutkan informasi kepada kru yang lain. Kami memperjelas sikap untuk senantiasa berpihak dan percaya pada penyintas bila ada laporan perundungan seksual,” ujarnya.

Meiske mengatakan semua pihak perlu terbiasa mengomunikasikan soal isu pelecehan seksual karena sejauh ini sebagian besar masih canggung membicarakannya. Selain itu, pihak Palari Films juga sudah menyiapkan mekanisme pelaporan sesuai dengan prosedur hukum yang melindungi korban bila perundungan seksual masih juga terjadi.

“Kami juga tidak sungkan memberlakukan sanksi sosial, yakni dengan tidak mempekerjakan pihak tertentu yang memiliki rekam jejak sebagai pelaku perundungan seksual,” kata Meiske.

Lola Amaria mengatakan klausul dalam kontrak kerja penting, namun belum memadai jika tidak diatur dalam regulasi pemerintah sebagai bentuk perlindungan di semua lingkungan kerja.

“Karena kalau hanya mengandalkan kewenangan produser, produser punya pilihan untuk tidak memasukkan klausul terkait pelecehan seksual pada kontrak, karena belum menganggap klausul tersebut sebagai keharusan,” ujarnya.

Baca juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin