Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Gaya Kepemimpinan Feminis

Tentang komunikasi dalam kepemimpinan yang efektif, profesor dari Amerika Serikat Jacqueline dan Milton Mayfield juga menekankan sisi empati dan pembangunan makna ketika pemimpin memberikan pengarahan kepada orang-orang sekitarnya. Berdasarkan penelitian mereka, hal-hal tersebut adalah kunci bagi seorang pemimpin dalam memotivasi para pengikutnya sehingga mereka bisa memberikan yang terbaik sesuai tujuan pemimpin itu sendiri.

Sejalan dengan ini, Dini dari Plan International Indonesia mengatakan, “Kalau terlalu mendikte dan menyuruh, itu enggak bagus, mau dia laki-laki atau perempuan. Yang lebih baik adalah yang consultative, bagaimana dia mempertimbangkan pendapat teman-temannya yang lain.”

Terbuka dengan Hal Baru

Ketika seseorang menjadi pemimpin, bukan berarti ia boleh berpuas diri dan berhenti mempelajari sesuatu. Seiring berjalan kepemimpinannya, pasti perubahan demi perubahan akan terjadi sehingga kemampuan belajar dan beradaptasi dengan situasi dan tuntutan yang ada menjadi hal yang wajib dia miliki. Belajar juga menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas, baik sesuatu yang dihasilkan perusahaan maupun kinerja orang-orang yang bekerja sama dengan si pemimpin. Kemampuan ini tidak hanya mesti dimilikinya sendiri, tetapi juga perlu ditanamkan kepada para pengikutnya agar menjadi bagian kekuatan lain dalam tim.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Dalam proses belajar, pemimpin juga sepatutnya terbuka terhadap ide dan pendekatan baru. Hal ini merupakan salah satu temuan riset Sunnie Giles, peneliti dan konsultan pengembangan kepemimpinan yang dimuat di Harvard Business Review 2016 lalu terkait 10 kompetensi pemimpin yang dianggap paling penting oleh karyawan. Yang perlu digarisbawahi ketika pemimpin belajar dan berusaha terbuka terhadap ide baru ialah menahan semua penilaian atau prasangka sehingga keberagaman pendapat bisa muncul. 

Dini menambahkan pula, kepercayaan diri memainkan peran penting dalam kepemimpinan, khususnya dari sisi perempuan pemimpin.

“Bisa aja [perempuan] mampu tapi enggak percaya diri. Misalnya ada 10 hal yang diminta di lowongan kerja posisi tertentu, kalau perempuan itu di-tick satu-satu, lalu tambah lagi hal yang dia bisa berdasarkan portfolionya, ada 12, baru dia daftar. Kalau laki-laki kebanyakan dari 10, saya udah punya 6, daftar nih. Biasanya begitu,” kata Dini. 

Menjadi pemimpin juga berarti menjadi pengambil keputusan, termasuk dalam situasi-situasi pelik. Misalnya, harus melepaskan sejumlah karyawan di masa krisis, memberitahukan atau tidak berita buruk kepada pihak-pihak berkepentingan, atau soal mengarahkan tujuan perusahaan.

Menurut doktor Psikologi dan pakar manajemen stres, kepemimpinan, dan kewirausahaan Larina Kase dalam Graziadio Business Review, pemimpin yang baik paham cara menyeimbangkan emosi dan alasan logis dalam membuat keputusan yang berdampak tidak hanya pada dirinya, tetapi juga karyawan, konsumen, pihak terkait lainnya, serta organisasi. Ini bukan perkara mudah karena biasanya mendatangkan perubahan, ketidakpastian, kecemasan, stres, bahkan reaksi negatif dari orang lain.