Karakter Pemimpin Perempuan
Kerap kali, perempuan diasosiasikan dengan karakter tertentu ketika memimpin seperti lebih emosional. Bagi banyak pihak, ini dianggap tidak menguntungkan sehingga laki-laki diberi kesempatan lebih besar untuk memimpin.
Dini berpendapat bahwa karakter tersebut nyatanya tidak hanya ditemukan pada pekerja atau pemimpin perempuan, laki-laki pun juga ada yang demikian. Namun alih-alih melihatnya sebagai persoalan, Dini justru memandang karakter tersebut sebagai hal baik yang dibutuhkan dalam perusahaan.
“Menjadi pemimpin itu kan esensinya mengatur orang. Manusia tidak cukup hanya diatur dengan sistem atau peraturan, tetapi perlu empati, perlu emosi di dalamnya,” kata Dini.
Dalam penelitian lembaga konsultansi McKinsey yang dimuat di situs Consultancy.eu dinyatakan, berbagai riset terdahulu menemukan bahwa karakteristik yang diasosiasikan dengan perempuan seperti empati, kolaborasi, dan menjauhi risiko menjadi kemampuan dalam kepemimpinan yang dibutuhkan suatu organisasi dalam menghadapi perubahan dan gangguan.
Kepemimpinan yang memperlihatkan empati tampak misalnya dari cara Perdana Menteri Selandia Baru Jacinta Ardern memimpin rakyatnya pada masa pandemi. Peneliti dari Amerika Serikat Jacqueline dan Milton Mayfield menemukan dari risetnya bahwa komunikasi dalam kepemimpinan yang efektif melibatkan empati sebagai salah satu kunci pemimpin untuk memotivasi orang-orang yang dipimpin. Ardern menunjukkan hal ini pada saat ia turut mengakui tantangan untuk berdiam di rumah selama pandemi kepada publik. Dengan cara inilah ia mencerminkan keberelasiannya dengan pengalaman orang-orang yang ia pimpin.
Baca juga: Meneladani Kepemimpinan Jacinda Ardern di Tengah Pandemi
Gaya kepemimpinan yang hanya mengadopsi nilai-nilai maskulin tak pelak mendatangkan kerugian juga bagi orang-orang yang dipimpin. Menurut pengajar Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, gaya kepemimpinan di pemerintahan yang maskulin cenderung berfokus pada kompetisi sehingga kesejahteraan rakyat luput dari perhatian.
“Saat Jacinta buru-buru lockdown, buru-buru langsung menyelamatkan masyarakatnya, membuka jaringan sosial, itu menurut saya kesigapan seorang perempuan yang memimpin di masa pandemi. Coba kita bandingkan dengan kepemimpinan yang toxic banget gitu ya, pandemi itu justru ditunggangi dan jadi isu pemecah belah masyarakat global, dari soal kepemimpinan Xi Jin Ping di Tiongkok, Putin di Rusia, Amerika Serikat dengan Trump, tidak terkecuali di Indonesia masih sangat kental maskulinitas itu. Mereka memusingkan perlombaan ekonomi. Nah itu, contoh-contoh nafsu yang sangat maskulin,” papar Saras.
Kebijakan Berperan Penting
Beberapa kebijakan perusahaan dapat menolong perempuan untuk mengatasi tantangan-tantangan mereka. Salah satunya ialah penerapan sistem flexible working, menurut Dini. Dengan adanya sistem ini, pekerja perempuan akan lebih terfasilitasi untuk menjalankan perannya di ranah publik maupun domestik.
Di samping itu, kebijakan untuk melakukan pelatihan selama beberapa hari atau minggu juga bisa berdampak pada karier perempuan. Di sebagian perusahaan, mengikuti pelatihan menjadi prasyarat untuk pekerja naik jabatan. Ini menjadi hambatan besar apabila pekerja, terutama perempuan, telah berkeluarga dan tidak bisa meninggalkan atau menitipkan anak-anaknya selama mengikuti pelatihan.
Lingkungan kerja yang kondusif juga menjadi alasan lain perempuan bertahan dan berniat menapaki jenjang karier lebih tinggi. Maraknya perundungan dan pelecehan di tempat kerja merupakan hal yang perlu dientaskan perusahaan melalui kebijakan nol toleransi untuk tindakan-tindakan tersebut. Kenyamanan dalam bekerja yang bisa dijamin oleh kebijakan macam ini dapat mempengaruhi performa seseorang yang kemudian berelasi dengan kesempatannya menapaki posisi lebih tinggi.
Tidak hanya di level perusahaan, kebijakan di tataran pemerintahan pun berpengaruh terhadap nasib para perempuan yang dipimpin. Dini mencontohkan, ketika kepemimpinan didominasi oleh nilai yang sangat maskulin, baik yang dijalankan laki-laki maupun perempuan, akan sangat mungkin produk kebijakan yang dikeluarkan hanya relevan untuk separuh populasi saja.
“Kebijakan yang demikian pada akhirnya menghilangkan kesempatan untuk memunculkan potensi atau benefit yang bisa diciptakan oleh perempuan,” kata Dini.