Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso, Sosok Menteri Perempuan Pertama di Indonesia

Maria Ulfah Santoso adalah salah satu contoh bagaimana feminisme itu sudah ada di Indonesia sejak Indonesia belum terbentuk, alih-alih sebuah produk impor dari Barat sebagaimana diyakin banyak pihak. Aktivis hak perempuan dan politisi itu memiliki buah pikiran penting bagi perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ia pintar dan kritis serta berdaya juang tinggi, berkontribusi besar pada pergerakan nasional.

Lahir pada 18 Agustus 1911 di Serang, Banten, Maria yang bernama lengkap Hajjah Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo itu merupakan perempuan Indonesia pertama yang memiliki gelar bidang hukum, sekaligus perempuan Indonesia pertama yang menjadi anggota kabinet.

Baca Juga: Ongkos Politik Tinggi, Proses Pemilihan Elitis Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Berlawanan dengan keinginan sang ayah, R.A.A. M. Achmad, seorang bupati Kuningan yang berada, Maria Ulfah tidak mengambil pendidikan dokter. Ia lebih memilih ilmu hukum karena khawatir melihat nasib kurang baik perempuan saat menghadapi perceraian.

Saat Maria Ulfah Santoso bersama keluarganya berkunjung ke Belanda pada tahun 1920-an, ia memutuskan untuk masuk ke Fakultas Hukum Universitas Leiden. Saat berkuliah Maria tinggal di rumah keluarga Belanda dan menetap bersama Siti Soendari, yang merupakan adik bungsu Soetomo, dokter dan kemudian menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.

Empat tahun berlalu, Maria Ulfah Santoso berhasil menjadi perempuan Indonesia pertama yang berhasil mendapatkan gelar meester in de rechten (Mr) atau sarjana hukum. Ia lulus di usianya 22 tahun dan langsung kembali ke Indonesia. Pernah bekerja di wilayah Cirebon sebagai pegawai honorer dan dikontrak selama enam bulan di Cirebon.

Sosok Maria Ulfah yang Belajar dari Sjahrir

Maria Ulfah pertama kali bertemu dengan Sutan Sjahrir di Belanda pada tahun 1930. Waktu itu, Maria diundang oleh dokter Djoehana yang merupakan saudara dari Sjahrir.

Baca Juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Meski kontak mereka hanya sebentar karena Sjahrir harus kembali ke Indonesia lebih dahulu tugas dari Bung Hatta, Maria Ulfah mendapat pelajaran banyak dari Sjahrir. Setelah Maria kembali ke tanah air pada tahun 1933, ia dan Sjahrir tidak bisa langsung bertemu karena Sjahrir ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Cipinang.

Kontribusi Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso memiliki jasa besar bagi pergerakan nasional. Pada tahun 1934, ia mulai bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Muhammadiyah dan Pergerakan Rakyat. Ia juga sangat giat membangun kursus untuk menghilangkan tingkat buta huruf di kalangan ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban.

Kontribusinya buat berjuang mendapatkan hak kaum perempuan dimulai saat ia ikut Konferensi Perempuan Indonesia II tahun 1935 di Jakarta, yang waktu itu masih bernama Batavia. Setelah konferensi tersebut, Maria Ulfa Santoso diminta memimpin Biro Konsultasi yang membawahi isu perkawinan, terutama membantu perempuan-perempuan yang memiliki masalah dalam perkawinannya. 

Peran Ulfah pada Zaman Jepang

Pada zaman penjajahan Jepang, Maria Ulfah memutuskan untuk bekerja di Departemen Kehakiman atau shikoku.

Baca Juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Pada saat itu, Maria Ulfah masuk ke dalam Majelis Pertimbangan yang dibuat oleh tentara Jepang pada tanggal 16 April 1943 dan dikepalai oleh empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh Hatta, Kyai Haji Mas Mansyur, serta Ki Hajar Dewantara.

Maria Ulfah juga diminta oleh Prof. Soepomo untuk bekerja di Departemen Kehakiman dari 1942 sampai dengan 1945. Maria Ulfah bertugas untuk menerjemahkan undang-undang serta peraturan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Inggris.

Waktu itu, semua kegiatan masyarakat berfokus untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Tercatat juga kaum perempuan terlibat dalam organisasi Fujinkai. Fujinkai dibuat pada Agustus 1943 dan berkiprah di seluruh bidang sosial yang menyokong Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Kiprah Maria Ulfah Santoso Menjelang Proklamasi

Saat menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia, Maria Ulfa Santoso bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sukses memasukkan Pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

BPUPKI merupakan kumpulan dari orang-orang yang memberikan gagasan mengenai pembentukan negara Republik Indonesia. Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, keadaan berubah dengan munculnya pasukan sekutu yang bertugas untuk melakukan komunikasi dengan Pemerintah Indonesia yang sudah terbentuk pada 18/8/1945.

Namun, menurut kelompok pimpinan Soekarno serta Moh Hatta merupakan figur bentukan Jepang hingga tidak mau berdiskusi dengan mereka.

Setelah Indonesia merdeka dan para pemimpin giat membenahi pemerintahan, Sutan Sjahrir menunjuk Maria Ulfah Santoso menjadi “liaision officer“, yang merupakan penghubung antara pemerintahan Republik Indonesia dengan Sekutu.

Baca Juga: Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Maria Ulfah sampai pada puncak karier berpolitik di Indonesia saat Sutan Sjahrir memilihnya menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II dan III. Waktu ia menjabat sebagai menteri sosial itulah Maria mengeluarkan Maklumat Kementerian Sosial mengenai Hari Buruh.

Pada tanggal 19 Agustus 1947 sampai dengan September 1962, ia menjadi Sekretaris Perdana Menteri dan Sekretaris Dewan Menteri yang selanjutnya jabatan tersebut diubah menjadi Direktur Kabinet RI.

Dari tahun 1950 sampai dengan 1961 Maria Ulfah Santoso mengemban jabatan sebagai Ketua Sekretariat Kongres Wanita Indonesia.

Dedikasi dan perjuangannya dalam memenuhi hak-hak kaum perempuan, apalagi dalam hukum keluarga dan perkawinan yang diwujudkan pada waktu Pemerintah RI mengesahkan UU No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2/01/1974.

Maria Ulfah Santoso juga merupakan tokoh dan pahlawan perempuan Indonesia yang melawan poligami. Ia selalu mendorong perempuan untuk lebih maju dan berani berekspresi dalam mengeluarkan idenya dan pandangan kebangsaan yang lebih luas.

Read More
Titi Anggraini dukung perempuan berkarier

Titi Anggraini: Perempuan Dukung Perempuan untuk Karier yang Lebih Baik

Titi Anggraini percaya bahwa salah satu kunci keberhasilan perempuan dalam kariernya adalah dengan adanya dukungan dari sesama perempuan itu sendiri. Perempuan kelahiran Palembang, 12 Oktober 1979 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia merupakan aktivis dan juga pengamat pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi, yang juga sanga tertarik pada isu perempuan dalam politik. 

Baca Juga: Gelap-Terang Rekam Jejak Aung San Suu Kyi dalam Politik Myanmar

Saat ini Titi Anggraini menjabat sebagai Dewan Pembina Organisasi Perkumpulan Pemilu untuk pemilu dan Demokrasi (Perludem), setelah  10 tahun menjabat sebagai direktur eksekutif dari organisasi tersebut. Sejak di bangku perkuliahan, Titi memang memiliki minat terhadap isu pemilihan umum, dan sejak berkuliah ia sudah banyak terjun dan membantu dalam isu pemilu.  

Wawancara Titi Anggraini bersama How Women Lead Soal Perempuan dalam Politik

Dalam episode 5 podcast How Women Lead, Titi Anggraini banyak bercerita tentang pengalaman selama berkecimpung di dunia pemilu serta politik. Salah satu isu yang ia sorot adalah soal representasi perempuan dalam dunia politik.  Titi memahami bahwa ranah politik memang sangat maskulin dan masih belum ramah terhadap politisi perempuan. Banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh perempuan, saat ia ingin terjun ke dalam ranah politik, mulai dari ongkos politik, pengetahuan soal politik, dan lain-lain. 

Awal Karier Titi Anggraini 

Awal karier Titi memang sudah fokus dalam isu pemilihan umum. Pada tahun 1999 ia menjadi anggota panitia pengawas pemilu tingkat pusat pada 1999, mewakili Universitas Indonesia. Saat itu panas diisi oleh orang-orang berlatar belakang dosen dan mahasiswa. 

Di tahun 2005, bersama dengan para tokoh besar lainnya, Titi Anggraini mendirikan organisasi Perludem yang berfokus pada isu pemilihan umum dan demokrasi. Tokoh lainnya yang berada di balik Perludem adalah Topo Santoso, Prof. Aswanto, Didik Supriyanto, serta Prof. Komarudin Hidayat. Saat itu Titi ditunjuk untuk menjadi sekretaris eksekutif. 

Baca Juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Namun, tentu saja dalam perjalanannya Perludem banyak mengalami hambatan, salah satunya karena orang-orang di balik Perludem memiliki kesibukan juga di luar organisasi. Pada 2008-2010, ketika Titi membantu Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) sebagai koordinator Tim Ahli, ia merasa bawa ia perlu membesarkan Perludem. Akhirnya setelah itu Titi diminta untuk fokus mengurus Perludem.  

Male Panel dan Kurangnya Representasi Perempuan dalam Politik

Semenjak mendalami isu pemilihan umum, Titi memang memberi perhatian pada isu perempuan dalam politik. Di periode 2019-2024 saja, dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya ada 118 anggota perempuan atau 20,52 persen. Memang jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, jumlah ini bisa dibilang meningkat, tetapi tetap saja kuota perempuan yang seharusnya 30 persen atau yang sering kali kita sebut politik afirmasi masih belum terpenuhi. 

Peraturan ini sudah tertera jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat. Sering kali perempuan dilihat hanya sebagai syarat jenis kelamin dan mengabaikan kapasitas, potensi, dan perspektif perempuan. 

Baca Juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Tidak hanya soal kuota 30 persen, dalam podcast How Women Lead, Titi juga bercerita soal keprihatinannya terhadap rekan-rekan yang mengabaikan pentingnya representasi perempuan dalam panel-panel diskusi soal pemilu. Yang paling ia ingat adalah salah satu pengalamannya dengan  Hadar Gumay, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga memiliki perhatian dengan isu inklusivitas ini. Saat itu, pak Hadar menghubungi Titi untuk menjadi narasumber, sebab panel tersebut lebih banyak narasumber laki-laki. 

“Saya sengaja mengundurkan diri agar mbak Titi bisa menjadi narasumber di forum itu,” ucap Hadar pada Titi kala itu. 

Pentingnya Sisterhood untuk Karier Perempuan dalam Politik 

Di dalam lingkup politik, Titi menyadari pentingnya dukungan dari sesama perempuan agar karier perempuan dalam politik tersebut berkembang. Inklusivitas menjadi salah satu hal penting di dalam politik, baik perempuan maupun laki-laki berhak masuk dalam ranah politik. 

Sifat-sifat seperti welas asih dan merawat atau nurture menjadi salah satu hal yang Titi pegang dalam mengembangkan Perludem. Sejak ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Perludem, Titi dikenal sebagai pemimpin perempuan yang berempati, dan peduli terhadap para koleganya. Titi juga selalu memberikan arahan serta mengajak seluruh teman-teman di Perludem untuk sama-sama mengembangkan Perludem. 

Titi merasakan betul bagaimana manfaat sisterhood dalam pengembangan kariernya. Ia mengakui bahwa penguatan di antara sesama perempuan itu sangat penting dalam berorganisasi. 

“Maka dari itu revitalisasi sisterhood itu jadi sangat penting buat saya, dalam arti untuk saling mengingatkan pada konsep integritas,  memberi ruang akses kepada sesama perempuan, tidak saling menjatuhkan, nah ini yang betul-betul harus dihadirkan,” ujar Titi Anggraini. 

Read More

Ongkos Politik Tinggi, Proses Pemilihan Elitis Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Selain soal keterwakilan perempuan di tubuh partai politik, ongkos politik yang mahal untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat menjadi alasan lain mengapa eksistensi perempuan di panggung politik kurang.

Bupati Jember, Faida, pernah menggambarkan sulitnya mendapatkan rekomendasi partai karena sebagai perempuan dan ia menolak membayar mahar politik dengan jumlah miliaran kepada partai politik. Menurutnya, dukungan publik dan kontribusi besar untuk partai tidak serta merta memberikannya peluang untuk mencalonkan diri kembali.

“Saya pernah merasakan enggak dikasih rekomendasi oleh partai karena saya perempuan dan katanya tokoh agama enggak mau punya pemimpin perempuan. Belum lagi saya enggak mau ngasih mahar bermiliar-miliar untuk dapat rekomendasi,” ujar Faida dalam Diskusi Publik Perempuan Kepala Daerah: Pola Kepemimpinan dan Pola Kebijakan yang diselenggarakan oleh Cakra Wikara Indonesia (CWI) tahun lalu.

“Mungkin saya bisa terpilih meski enggak bayar mahar tapi itu juga jarang terjadi kepada yang lain. Sementara gaji bupati itu cuman Rp6 jutaan. Dengan puluhan miliar itu sulit jadi pemimpin yang tegak lurus. Itu cara-cara yang tidak terhormat dengan membeli suara,” ia menambahkan.

Mahar politik dengan jumlah fantastis ini sudah menjadi rahasia umum di dunia politik Indonesia. Dari banyak pengakuan para politisi yang gagal ke Senayan, ongkos kampanye bisa mencapai Rp2-3 miliar, sedangkan untuk calon kepala daerah dan bupati bisa mencapai Rp20-25 miliar.

Baca juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Padahal Undang-undang No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) hanya memperbolehkan dana kampanye dari dua sumber, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dana perseorangan untuk calon anggota legislatif adalah maksimal Rp750 juta, sedangkan sumbangan dari badan hukum dan usaha Rp1,5 miliar. Di tingkat pemilihan presiden, dana dari badan hukum maksimal Rp25 miliar serta perseorangan Rp2,5 miliar.

Tanpa Mahar Pun Biaya Politik Sudah Besar

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, tanpa adanya biaya-biaya ilegal seperti mahar dan biaya lain-lainnya pun ongkos kampanye sebetulnya sudah cukup besar. Hal ini karena populasi pemilih yang besar di Indonesia dan kondisi geografis yang luas akan menguras kantong, ujarnya.

“Mahar-mahar politik itu tentu bukan uang yang sedikit. Ditambah dengan biaya operasional kampanye, bayar saksi lah, bayar petugas, belum kalau ada serangan fajar. Meski sebetulnya itu tanda politik yang tidak sehat, namun hal-hal seperti itu sulit sekali dihilangkan,” ujar Titi kepada Magdalene

Dana-dana ilegal tersebut tentu tidak dibayar oleh partai. Semua ongkos politik yang membengkak itu sepenuhnya datang dari uang pribadi para calon kandidat, sehingga tidak heran jika banyak kandidat yang jor-joran mengeluarkan dana agar bisa berkompetisi di panggung politik, ujar Titi.

“Iklim politik yang tidak sehat sepeti ini membuat para politisi kebanyakan datang dari pengusaha atau para elite yang berduit, bukan dari orang-orang yang benar-benar punya visi untuk memajukan rakyat,” ia menambahkan.

Baca juga: Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Struktur Partai Politik Maskulin dan Elitis

Selain fakta ongkos politik yang selangit, struktur partai politik yang maskulin dan elitis membuat rekomendasi pencalonan kandidat di pemilihan umum maupun Pilkada cenderung elitis, meski sebetulnya setiap anggota memiliki hak yang sama, termasuk perempuan.

“Proses pencalonan politisi dalam partai itu sangat elitis. Rasa kepemilikan terhadap kontestan dan anggota partai itu enggak begitu kuat. Seharusnya dalam proses pencalonan itu ada unsur gotong royong, dan dilihat mana yang punya kapasitas mumpuni,” ujar Titi.

“Proses pencalonan ini menjadikan para anggota yang tidak punya kekuasaan yang kuat dan dana yang kuat cenderung mundur, apalagi kalau perempuan,” ia menambahkan.

Kesadaran politik di Indonesia yang masih rendah menjadi faktor lain sulit terwujudnya proses pemilihan yang murni mempertimbangkan visi misi kandidat. Berbeda dengan negara-negara maju yang memiliki kesadaran politik besar dan mau berkontribusi untuk perubahan. Di Amerika Serikat misalnya, kandidat yang punya misi untuk perubahan masyarakat yang lebih baik bisa maju dengan dukungan dari donasi publik. Hal ini terjadi pada mantan Presiden Barack Obama dan anggota Kongres Alexandria Ocasio Cortez.

Cortez terpilih sebagai perempuan anggota Kongres termuda mewakili New York. Ia mendapat simpati publik karena memiliki pengalaman politik di akar rumput, serta cukup vokal memperjuangkan kelompok-kelompok termarginalkan dan hak perempuan. Kultur politik yang lebih sehat seperti ini lebih membuka ruang bagi orang-orang yang secara serius ingin terjun ke dunia politik untuk perubahan.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

“Di sana politik itus udah jadi persoalan personal dan keseharian. Orang mau mendengarkan dan berkontribusi, jadi orang-orang yang bukan berasal dari elite atau pengusaha punya ruang untuk maju. Sayangnya, Indonesia belum sampai pada tahap itu,” ujar Titi.

Di Indonesia anggapan para kandidat yang maju dalam pemilihan otomatis punya uang untuk membiayai dirinya sendiri, turut melanggengkan masalah ini, tambah Titi.

Menyuburkan Politik Dinasti

Persoalan partai politik yang elitis ini juga berpotensi menyuburkan politik dinasti. Banyak pemimpin daerah perempuan terpilih karena suami ataupun keluarganya punya kekuasaan. Karenanya, tidak bisa dikatakan bahwa perempuan berhasil naik ke posisi atas di dunia politik itu murni punya kepentingan untuk membela hak perempuan. Alasan itu pula yang menjadikan perempuan semakin enggan masuk politik.

“Padahal sebetulnya kalau iklim politik lebih sehat dan partai politiknya mendukung para anggota yang punya misi besar, mungkin akan lebih banyak lagi orang-orang dari akar rumput atau perempuan yang tidak segan terjun ke politik,” ujar Titi.

Konsekuensi lainnya dari ongkos politik yang besar selain meminggirkan perempuan adalah makin suburnya benih-benih korupsi ketika kandidat terpilih. Korupsi menjadi jalan pintas untuk menutupi pengeluaran selama masa kampanye yang membengkak.

“Semuanya itu elitis, selama ikatan proses elitis dengan struktur/anggota partai itu enggak kuat dan dana operasional politik yang mahal, dunia politik akan terus menjadi arena mereka yang punya uang saja,” kata Titi.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More

Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Jumlah perempuan di DPR belum mencapai kuota 30 persen, demikian juga di partai politik. Hal ini berhubungan dengan dunia politik yang masih sangat maskulin. Perempuan dalam politik baru mendapat ruang untuk diakui kehadirannya pada masa Reformasi. Adanya pembungkaman kelompok-kelompok yang berseberangan dengan penguasa dan hilangnya suara kelompok terpinggirkan selama masa otoriter Orde Baru membuat salah satu prioritas utama Reformasi dalam ranah politik adalah memperbaiki kualitas representasi politik. Sebagai kelompok yang paling terabaikan kepentingannya, perempuan masuk menjadi agenda prioritas tersebut.  

Keseriusan negara dalam mendorong keterlibatan perempuan di ranah publik terlihat dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang kemudian diikuti dengan politik afirmasi dengan memperbarui aturan partai politik dan pemilihan umum (Pemilu).

Kebijakan afirmatif ini merupakan tindakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perempuan agar secara aktif terlibat dalam politik formal, termasuk jabatan-jabatan politik dan struktur politik dalam partai politik, lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif serta level kementerian.

Perwujudan kebijakan politik afirmasi ini, ditetapkan lewat Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum serta UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di mana dalam berbagai aturan perundangan itu tercantum jika partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat serta daerah.

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (Pasal 65).

Jumlah perempuan di DPR belum 30 persen sebenarnya. Angka 30 persen sendiri mengacu pada penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen adalah angka yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak signifikan pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Upaya ini merupakan bagian dari kesepakatan internasional pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, yang ditandatangani oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia.

Baca juga: Salah Paham Atas Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan

Jumlah Perempuan di DPR Serta Politik afirmasi yang masih belum efektif

Kendati sudah ada aturan tersebut, peningkatan representasi jumlah perempuan di DPR serta di ranah politik masih jauh dari harapan. Hasil penelitian dari Cakra Wikara Indonesia, organisasi yang berfokus pada kajian sosial politik berperspektif gender, yang bertajuk Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah (2018), menunjukkan, sejak diberlakukannya aturan tersebut hingga sekarang ini, angka perempuan yang berhasil duduk di legislatif belum pernah mencapai angka 30 persen.

Menurut data, pada periode 1999-2004 kursi perempuan di DPR hanya mencapai 9,09 persen, meningkat dua persen pada periode 2004-2009. Baru pada Pemilu 2009 ada kemajuan signifikan di angka 18 persen, namun kembali menurun pada Pemilu 2014 dengan angka 17,32 persen.  

“Hal itu karena saat pertama kali diadopsi pada pemilihan umum 2004, kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu masih bersifat imbauan dan tidak ada aturan sanksi jika dilanggar. Baru menjelang Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 ada penguatan aturan tersebut dengan diberlakukannya sanksi kepada partai politik jika tidak memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan,” tulis CWI.

Tak jauh berbeda dari pusat, di tingkat provinsi (DPRD) menunjukkan kecenderungan yang sama. Hasil Pemilu Legislatif 2009 memperlihatkan bahwa rata-rata perolehan kursi perempuan adalah 16 persen. Hal tersebut seolah kembali membuktikan jika pemenuhan syarat 30 persen keterwakilan tidak berbanding lurus dengan kemenangan calon wakil rakyat perempuan di ranah politik.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Artikel The Conversation bertajuk Bagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR? menganalisis bagaimana masalah UU Pemilu, sistem partai, dan sistem hukum di sebuah negara merupakan faktor sistematik. Sementara faktor terpenting yang memengaruhi perempuan secara langsung, seperti, ideologi serta aturan internal partai yang menentukan motivasi perempuan sebagai calon anggota legislatif seharusnya mendapat perhatian lebih.

Hal itu dibuktikan dari data hasil Pemilu 2009 dan 2014 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI merupakan calon yang ditempatkan di nomor urut atas, sehingga prioritas kader perempuan merupakan hal yang tak kalah krusial.

“Mayoritas caleg yang berhasil melenggang ke Senayan pada pemilu adalah mereka yang dinominasikan pada nomor urut satu,” menurut artikel tersebut.

Namun sayangnya, politik afirmasi yang bercita-cita memajukan perempuan ini belum sepenuhnya menjadi agenda sebagian besar partai politik di Indonesia. Dalam kesimpulan penelitiannya, CWI juga menggarisbawahi bahwa politik afirmasi ini cenderung sekedar menjadi pemenuhan syarat administratif mengikuti pemilu bagi partai-partai. Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

Selain itu, kebanyakan partai tidak melihat lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas yang dimiliki, dan potensi yang dihadirkan untuk bisa mencapai tujuan lebih besar yaitu melakukan transformasi kebijakan yang lebih inklusif.

Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

“Fakta memperlihatkan bahwa dalam hal pengalaman berpolitik kader dan caleg perempuan tertinggal dibanding caleg laki-laki. Partai mencalonkan perempuan, tetapi tidak secara khusus melakukan program penguatan kapasitas kader dan caleg perempuan serta tidak memberikan dukungan khusus dalam proses pencalonan dan kampanye yang dapat meningkatkan kesempatan perempuan untuk terpilih,” tulis CWI.

Kebijakan yang tak berpihak pada perempuan

Dampak dari kebijakan afirmasi yang ditempatkan hanya sebagai syarat administrasi semata tanpa memikirkan cita-cita awalnya yaitu mendorong kebijakan yang mendukung lebih banyak perempuan ini tentu punya implikasi yang sangat besar.

Menurut Ketua CWI Anna Margret, persoalan representasi perempuan di ranah institusi politik formal bukan sekedar urusan jumlah, melainkan juga substansi yang dibawa oleh para perempuan di institusi-institusi tersebut, sehingga arah kebijakan, program, bahkan anggaran yang disusun tidak abai terhadap kekhasan pengalaman dan kepentingan perempuan. Dengan demikian, politik tidak hanya menjadi urusan formal prosedural, tetapi betul-betul mampu menawarkan solusi bagi permasalahan riil dalam masyarakat, termasuk di dalamnya masalah yang dialami perempuan.

“Satu hal yang perlu kita catat juga, peraturan itu penting, kita ngomong tentang aturan-aturan formal. Tapi yang namanya aturan itu diimplementasi oleh manusia secara kolektif, entah oleh sebuah organisasi atau partai politik. Jadi ya itu balik lagi si partai politiknya ngerti enggak esensi politik afirmasi ini, sejalan enggak? Kebijakan afirmasi 30 pencalonan di legislatif ada aturannya, dijalankan enggak? Iya dijalankan. Tapi ada hasilnya? Enggak,” ujar Anna kepada Magdalene.

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Implikasi paling nyata dari permasalahan ini tercermin dari bermunculan Rancangan Undang-undang (RUU) yang justru jauh dari cita-cita politik afirmasi sendiri dan sebaliknya berusaha meminimkan gerakan perempuan, RUU Ketahanan Keluarga misalnya yang berusaha kembali menempatkan perempuan ke ranah domestik. Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang jelas menyangkut hajat hidup perempuan malah tidak diprioritaskan serta tidak dilihat sebagai masalah serius.

Anna mengatakan bahwa impian akan ada solidaritas otomatis terhadap perempuan setelah perempuan lainnya berhasil naik di pucuk kepemimpinan merupakan asumsi dan mitos. Kita harus melihat secara jeli latar belakang perempuan yang mengisi angka keterwakilan itu seperti apa, karena bisa jadi mereka ada karena pengaruh dari laki-laki atau kepentingan lain, tambahnya.

“Identitas perempuan itu beragam. Perempuan yang mana akan dukung perempuan mana? Ada sisterhood atau solidaritas itu bagus harus didukung. Kepekaan sama isu perempuan didapat dari pengalaman berjejaring dengan kelompok yang berbeda dan tersisihkan tapi kalau enggak gimana?,” ujar Anna.

“Mungkin kita punya pemimpin DPR perempuan pertama, tapi otonomi dia dalam membuat kebijakan itu ada enggak? Atau dia harus kompromi dengan struktur kuasa yang lebih luas? Kalau kebijakan dia enggak pro perempuan, kita harus lihat dia ada di institusi macem apa? Apakah institusinya udah demokratis? Dia betul punya kuasa apa enggak? Apakah dia punya kuasa secara otonom untuk mengambil kebijakan? Jangan-jangan dia hanya dijadikan sebagai sesuatu yang simbolik aja,” tambah Anna.

Read More

Episode 5 – The Builder

Panggung politik adalah kawah Candradimuka bagi perempuan. Budaya super maskulin dan patriarkal menghambat keterlibatan dan keterwakilan perempuan di sektor ini.

Titi Anggraini dari Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) termasuk yang paling aktif dan vokal dalam menyuarakan isu ini. Apa saja tantangan yang dihadapinya selama satu dekade memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam politik?

Read More