Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan seksual di tempat kerja bukanlah hal langka yang kita dengar. Tetapi, sering kali korban-korbannya tidak melaporkan pelecehan yang mereka alami pada saat kejadian.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia di Australia (AHRC) pada 2018 mengenai pelecehan seksual di Australia menemukan bahwa sebagian besar pelecehan seksual terjadi di tempat kerja. Sebagai contoh, di industri media dan telekomunikasi, 81 persen pekerjanya dilaporkan mengalami pelecehan seksual dalam lima tahun terakhir.

Sementara, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewan Balai Perdagangan Victoria (VTHC) di tahun 2016 menemukan sebesar 64 persen responden perempuan pernah mengalami pelecehan seksual atau kekerasan berbasis gender di tempat kerjanya.

Di Australia, sebagian besar pelecehan seksual di tempat kerja tidak dilaporkan. Survei AHRC menemukan bahwa hanya 17 persen orang yang pernah mengalami pelecehan seksual membuat pengaduan resmi.

Mengapa Korban Pelecehan Seksual di Kantor Tak Melapor?

Mereka yang mengalami pelecehan seksual tidak yakin tempat kerja mereka dapat mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Beberapa menyatakan bahwa mereka merasa hal tersebut akan dilihat sebagai reaksi yang berlebihan. Beberapa juga melihat bahwa akan lebih mudah bagi mereka untuk diam.

Sebuah survei pada tahun 2017 terhadap pekerja di industri media dan seni menemukan bahwa sebagian besar orang enggan melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami karena takut melukai karier mereka. Studi VTHC menemukan 19 persen dari perempuan yang pernah mengalami pelecehan meninggalkan pekerjaan mereka karena merasa tidak aman di tempat kerja. Dengan kata lain, mereka lebih suka meninggalkan tempat kerja yang berisiko daripada mengambil langkah-langkah untuk memastikan kasus pelecehan tidak terjadi lagi.

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh mereka yang menyaksikan untuk menghentikan pelecehan seksual. Hampir 70 persen mereka yang menyaksikan terjadinya pelecehan atau mereka yang sadar akan pelecehan tersebut tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjadinya pelecehan tersebut atau mengurangi dampak negatif yang dihasilkan.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Akar Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Maraknya pelecehan seksual di tempat kerja menunjukkan sebuah budaya di mana kekerasan berbasis gender telah dianggap sebagai suatu hal yang normal. Hal ini juga tentunya menggarisbawahi masih berlangsungnya ketidaksetaraan gender baik di tempat kerja maupun secara umum.

Ketidaksetaraan gender di tempat kerja mencerminkan bahwa hal tersebut ada dan nyata di masyarakat. Sikap dan perilaku seksis yang mengarah kepada kekerasan di luar pekerjaan tidak berhenti sebatas gerbang pabrik atau pintu keluar kantor.

Our Watch, sebuah badan nasional Australia yang bergerak di pencegahan kekerasan terhadap perempuan, mengidentifikasi bahwa ketidaksetaraan gender berada di tengah-tengah berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan Australia di rumah mereka, dalam hubungan personal mereka dan di dalam komunitas yang lebih luas.

Riset yang dilakukan oleh Our Watch mendokumentasikan penyebab utama kekerasan terhadap perempuan:

  • Normalisasi kekerasan terhadap perempuan;
  • Kontrol pria terhadap pengambilan keputusan dan batasan untuk independensi perempuan;
  • Konstruksi sosial tentang maskulinitas dan feminitas;
  • Rasa tidak hormat terhadap perempuan; dan
  • Hubungan teman sebaya pria yang menekankan agresi. Pemicu ini tercermin dalam struktur dan budaya tempat kerja.

Dalam sebuah artikel ilmiah yang saya tulis bersama kolega saya, Sally Weller dan Tom Barnes, kami berpendapat bahwa peraturan di tempat kerja yang dirancang untuk melindungi perempuan tidak efektif karena peraturan tersebut gagal menjawab masalah ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan.

Ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan termasuk juga ketidaksetaraan upah berbasis gender, kerugian, dan diskriminasi karena tanggung jawab perempuan untuk merawat keluarganya, dan sebagai korban kekerasan berbasis gender.

Pada akhirnya, ketidaksetaraan ini merusak kapasitas perempuan untuk mengajukan keluhan, merampas hak pilihan dan suara mereka dan menciptakan rasa tidak aman. Tanpa kapasitas untuk mengajukan keluhan dan menuntut hak-hak mereka, hak-hak ini tidak dapat terealisasi. Karena itu, setiap strategi yang dirancang untuk mengakhiri pelecehan seksual dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan gender di tempat kerja harus membahas struktur dan budaya ketidaksetaraan dan seksisme yang ada.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Bagaimana Mengatasi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja?

Langkah pertama yang penting adalah pengakuan perusahaan bahwa ada masalah ketidaksetaraan gender di kantor mereka. Mengingat banyaknya kasus pelecehan seksual yang terdokumentasi, akan sangat membantu jika pengusaha memulai dengan mengakui bahwa kekerasan gender mungkin ada di organisasi mereka.

Penerimaan ini akan mempromosikan pendekatan proaktif untuk mengatasi faktor-faktor yang mendorong kekerasan daripada pendekatan reaktif saat ini yang melihat mereka menangani keluhan ketika korban maju. Mengubah peraturan di tempat kerja untuk memastikan bahwa organisasi memiliki tugas untuk menghilangkan risiko kekerasan gender akan memperkuat ini. Namun, perubahan struktur, perilaku dan sikap yang mendorong ketimpangan juga penting.

Gerakan serikat buruh Victoria telah mengembangkan strategi yang komprehensif untuk menghentikan kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Program mereka berfokus pada, salah satunya adalah, penerapan aksi-aksi yang mendukung kesetaraan gender.

Pertama-tama, mereka memasukkan masalah kekerasan berbasis gender ke bidang kesehatan dan keselamatan, mewajibkan WorkSafe–semacam BPJS di Victoria, Australia–untuk menjadi lebih aktif mengidentifikasi dan memberantas risiko terjadinya kekerasan berbasis gender.

Kedua, serikat buruh Victoria membangun jalur pengaduan kolektif pelecehan seksual dan kekerasan gender ke hadapan komisi pekerja yang adil melalui penjaminan hak-hak mereka dalam perjanjian bersama.

Akhirnya, serikat buruh Victoria juga membahas seksisme dan meningkatkan kapasitas gerakan serikat pekerja untuk proaktif dalam ruang ini dengan mengadopsi program pendidikan komprehensif untuk perwakilan kesehatan dan keselamatan, delegasi serikat pekerja dan pejabat serikat pekerja.

Sistem hukum untuk menangani pelecehan seksual di tempat kerja bergantung pada pengaduan orang-orang yang telah mengalami pelecehan. Jika mereka tetap enggan melapor, tidak akan ada banyak perubahan. Untuk perubahan nyata, kita harus mengatasi penyebab mendasar pelecehan seksual dan kekerasan gender yaitu masalah ketidaksetaraan gender.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.Lisa Heap adalah Adjunct Professor di Institute of Religion, Politics and Society, Australian Catholic University. Ia juga merupakan anggota Dewan Menteri Pemerintah Victoria untuk Kesetaraan perempuan. Antara 2015 dan Januari 2018 Lisa memimpin unit Hak dan Keselamatan perempuan di Victorian Trades Hall Council (VTHC). Saat ini ia adalah kandidat Phd di RMIT University.

Read More

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Kayla Pospisil tidak pernah menyangka bahwa mimpinya untuk menjadi seorang pembaca berita akan mengantarkannya menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja. Kala itu, Kayla yang polos datang menghampiri atasannya untuk memperbincangkan kemungkinannya naik jabatan dan menjadi seorang pembawa berita. Sang atasan lalu mengatakan bahwa Kayla bisa menjadi pembawa berita asalkan dia mau “berdiri dan mengangkat ujung roknya lebih tinggi dan lebih tinggi” sampai menampakkan celana dalamnya.

Kisah Kayla dan perempuan-perempuan lain yang mengalami peristiwa serupa diangkat secara apik dalam film Bombshell (2019) yang menunjukkan bagaimana pelecehan seksual di tempat kerja terhadap perempuan sudah dinormalisasi, menyebar, dan menjadi sebuah fenomena struktural.

Di sebuah adegan, sambil menangis dan menyesali apa yang terjadi, Kayla menceritakan bagaimana bosnya melecehkan dia sambil berkata, “Good girl. Be a good soldier. Earn your place.” Kalimat ini mampu merangkum sekaligus menggarisbawahi persoalan yang disoroti, yaitu bagaimana perempuan dianggap dan diperlakukan sebagai objek sekssebagai nilai utama yang melekat pada dirinya.

Nilai-nilai lain seperti kecerdasan atau loyalitas “hanya” menjadi pertimbangan nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya, ketika masyarakat terutama laki-laki memandang sosok perempuan di dunia profesional. Alih-alih dinilai berdasarkan kompetensinya dalam wicara publik, penguasaan masalah, atau pembuatan konten jurnalistik, kelayakan Kayla dalam menjadi pembaca berita dinilai dari apa yang ada di balik pakaiannya serta kesediaan dia untuk memperlihatkan itu pada laki-laki.

Lewat narasi bahwa ada banyak Kayla-Kayla lain di perusahaan itu, film ini menggambarkan bahwa relasi kuasa, merupakan sebuah hal manipulatif yang bisa memvalidasi berbagai perlakuan buruk laki-laki terhadap perempuan. Ini juga mencerminkan bagaimana masih banyak laki-laki yang mengadaptasi nilai dari sistem patriarki ke dalam kehidupannya dengan menilai perempuan sebagai barang murah yang harus menjual seksualitasnya untuk mencapai posisi tertentu. Selain mengecilkan harga diri perempuan sebagai manusia, ini juga menunjukkan bagaimana di masyarakat yang patriarkal ini, perempuan tidak pernah diharapkan untuk menjadi orang-orang yang berada di depan laki-laki. Mereka selalu dipaksa untuk mendiami tempat yang berada di belakang laki-laki.

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Ancaman untuk Menghambat Perempuan

Menurut riset inisiatif sosial yang bertujuan mencegah pelecehan seksual di tempat kerja bernama Never Okay Project bekerja sama dengan Scoop Asia yang berjudul “Kondisi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja” tahun 2018, hanya 4 persen perempuan pekerja yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sebanyak 40 persen responden bahkan pernah mengalami pelecehan seksual fisik di tempat kerjanya. Dan pelaku paling banyak merupakan atasan atau rekan kerja senior.

Di dunia kerja, cerminannya bahkan semakin nyata dalam bentuk ketidakpercayaan pada perempuan yang menjadi pemimpin. Laki-laki pun berusaha mempertahankan posisinya dengan melecehkan rekan atau bawahan perempuannya, sebagai bentuk ancaman yang sengaja dibuat dan dilakukan untuk menghambat perempuan mencapai posisi yang lebih tinggi dan menjanjikan.

Menurut Heather McLaughlin, Christoper Uggen, dan Amy Backstone dalam penelitian berjudul “Sexual Harassment, Workplace Authority, and the Paradox of Power” (2012), pelecehan seksual di tempat kerja merupakan bentuk hukuman yang diberikan laki-laki kepada perempuan yang mereka nilai tidak berperilaku sesuai dengan “kodrat” femininitas yang seharusnya dilakukan perempuan. Bila perempuan itu berasal dari ras atau kelompok minoritas lainnya, maka kerentanannya untuk menjadi sasaran akan meningkat.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Pelecehan yang berbasis seks juga disinyalir muncul karena dorongan laki-laki untuk mempertahankan kekuasaan dan kedudukan yang masyarakat bebankan pada mereka. Yaitu posisi laki-laki sebagai pihak yang dominan, sementara perempuan submisif, dalam hubungan seksual.

Dalam banyak kasus, perempuan yang melaporkan pelecehan seksual yang menimpa dirinya kepada pihak perusahaan malah akan balik disalahkan dengan alasan-alasan klise yang tidak masuk akal. Sebut saja, itu risiko perempuan yang sering bepergian ke luar rumah, sering sendirian di ruang kerja, atau memakai pakaian yang terlalu pendek.

Hal ini membentuk benang-benang merah yang mengantarkan pada simpulan atas fakta bahwa perempuan yang memiliki posisi penting dan memimpin rentan mengalami pelecehan seksual serta diskriminasi di tempat kerja, karena mereka dinilai mengancam dominasi laki-laki.

Absennya Aturan Membuat Terjadinya Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan seksual juga semakin dinormalisasi dengan absennya aturan yang tegas melarang pekerjanya untuk melecehkan satu sama lain sekaligus mengatur sanksi bagi mereka yang melakukannya. Menurut riset yang sama dari Never Okay Project, sebagian besar responden mengaku bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tidak mempunyai mekanisme yang mengatur penanganan pelecehan seksual secara jelas.

Pelecehan seksual di tempat kerja merupakan bentuk hukuman yang diberikan laki-laki kepada perempuan yang mereka nilai tidak berperilaku sesuai dengan “kodrat” femininitasnya.

Meskipun ini adalah nilai-nilai dasar kemanusiaan yang  seharusnya sudah dipahami dan diamini tanpa terkecuali, kehadiran peraturan itu akan menjamin dan menjaga kedudukan perempuan dari laki-laki yang menyalahgunakan kekuasaan mereka dan melakukan manipulasi untuk menemukan pembenaran untuk melakukan pelecehan seksual. Apalagi ketika pelecehan itu dilakukan seorang atasan laki-laki kepada bawahan perempuannya. Korban akan berada pada posisi terimpit dan terancam sehingga kesulitan untuk melaporkan kejadian yang menimpanya. Lagi-lagi, bias relasi kuasa bermain dan merugikan perempuan pada akhirnya.

Tapi bukan hanya perusahaan yang bersalah atas absennya regulasi ini. Sampai hari ini, Indonesia belum memiliki regulasi yang secara langsung dan jelas mengatur persoalan pelecehan seksual, termasuk prosedur pengaduan yang jelas, sampai sanksi bagi para pelakunya. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) belum menjadi angin segar bagi kasus ini, mengingat drafnya masih saja mandek setelah bertahun-tahun dikaji dan diajukan. Akibatnya, kecacatan sistem hukum terkuak setiap kali penyelesaian hukum kasus pelecehan seksual dilakukan.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Mungkin masih segar di ingatan kita akan putusan Pengadilan Negeri Mataram yang menghukum guru honorer Baiq Nuril atas tuduhan “menyebarkan konten asusila” yang disebut melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal, barang bukti yang dipersalahkan ini adalah rekaman suara atasan Baiq di kantor yang melecehkan dia secara seksual melalui sambungan telepon. Ketika Baiq justru sedang berusaha merekam bukti pelecehan seksual yang menimpa dia, Baiq malah dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Ini adalah bukti bagaimana sistem hukum dan perundangan di Indonesia secara umum tidak satu suara dalam mendefinisikan pelecehan seksual di berbagai spektrum. Tidak ada jeratan hukum yang secara pasti menunjuk kesalahan dan kebiadaban pelecehan seksual. Sampai pada akhirnya, nasib korban masih saja tidak jelas. Sementara para pelaku bisa berkeliaran bebas dan mengancam keselamatan perempuan-perempuan lain.

Menghindari tempat dan posisi yang sebenarnya berpotensi membantu mereka mengembangkan karier kerap kali menjadi pilihan para perempuan yang takut atau merasa terancam. Jelas, hal ini seharusnya tidak dijadikan solusi. Akar masalahnya masih tumbuh semakin subur dan sama sekali tidak terselesaikan. Mengapa yang tidak bersalah yang harus mundur perlahan?

Read More