Perang selalu identik dengan kerusuhan, nyawa yang berjatuhan, serta kesedihan. Namun bila perang itu adalah bagian dari perjuangan meraih kemerdekaan, maka pengorbanan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, biarpun nyawa yang akan jadi taruhannya. Para Pahlawan Nasional Indonesia dahulu tidak ragu untuk berkorban dan terus berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.
Salah satu pahlawan perempuan Indonesia yang sudah berani untuk berjuang dan ikut berperang merebut kemerdekaan adalah Martha Christina Tiahahu, remaja perempuan pemberani dari Maluku Tengah, yang sudah ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional termuda di Indonesia. Martha dari masih remaja sudah ikut berjuang memerangi penjajah Belanda.
Biografi Martha Christina Tiahahu
Cerita pejuangan pahlawan perempuan ini di mulai saat berusia sekitar 17 tahun, Martha Tiahahu dengan gagah berani ikut berperang melawan para penjajah di dalam medan pertempuran. Perempuan yang lahir ditanggal 4 Januari 1800 di Kampung Abubu, Maluku Tengah ini merupakan anak perempuan tertua dari seorang Kapitan yang bernama Paulus Tiahahu, pemimpin pasukan rakyat di wilayah Maluku.
Biarpun masih sangat belia, ia diketahui sangat baik oleh para pejuang serta rakyat, malah para tentara musuh tahu kalau Martha ini merupakan perempuan muda yang sangat berani dan sangat memperjuangkan cita-citanya. Martha pun mendapat panggilan Srikandi dari wilayah Maluku.
Dengan rambut yang tergerai panjang, dihiasi kain ikat kepala dengan rona merah, Martha berjuang bersama sang ayah yang pegang senjata untuk mengusir para pasukan Belanda yang berada di Nusa Laut atau Saparua.
Pada waktu yang sama, Pattimura juga sedang berjuang memerangi dominasi pasukan Belanda yang ada di wilayah Saparua. Peperangan di Saparua meluas ke wilayah Nusa Laut serta daerah sekitarnya.
Peran Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu juga punya peranan dalam perang yang terjadi di wilayah Saparua, lebih tepatnya di Desa Ouw, Maluku Tengah dalam mengusir tentara penjajah.
Di tengah kebrutalan peperangan tersebut, sosok Martha memberikan semangat juang buat para tentara Nusa Laut buat melawan para penjajah. Teriakan semangat Martha sudah berhasil menaikkan semangat buat para perempuan yang ikut menemani kaum laki-laki di wilayah perang. Di waktu ini lah Belanda melawan langsung para perempuan militan yang ikut berperang.
Pada pertarungan tersebut, pemimpin pasukan Belanda yang bernama Richemont, berhasil dibunuh oleh tentara Martha Cristina Tiahahu. Dari segala sudut, para tentara Nusa Laut berhasil mengepung Belanda, dan teriakan mereka memecah udara serta membuat rasa takut pasukan Belanda.
Pemimpin mereka ditaklukkan membuat para pasukan penjajah jadi makin keras dalam memberikan serangan kepada rakyat Maluku. Pada tanggal 12 Januari 1817, komandan Belanda yang baru, Vermeulen Kringer, memerintahkan serangan umum terhadap tentara rakyat Indonesia. Peperangan yang sengit tidak bisa dihindari. Banyak korban yang gugur dari kedua kubu. Sampai satu titik saat tentara rakyat membalas serangan Belanda dengan lemparan batu, Tentara Belanda jadi sadar bahwa persediaan amunisi tentara rakyat sudah habis.
Kringer memberikan perintah untuk memberikan serangan lagi dengan bayonet terhunus. Tentara rakyat pun harus mundur dan berlindung di dalam hutan. Akhirnya seluruh wilayah Ulath serta Ouw harus menerima kekalahan, semua daerah dibakar dan dijarah.
Martha Christina Tiahahu dengan ayahnya serta para pejuang yang lain ditangkap dan digiring ke kapal Belanda, yaitu Eversten. Di dalam Eversten, para pejuang ini, yang berasal dari wilayah Tenggara berjumpa dengan sosok Pattimura serta tawanan yang lain.
Mereka diselidiki dan akhirnya diberikan vonis. Karena tergolong masih anak-anak, Martha akhirnya dilepas. Namun ayahnya yang bernama Paulus Tiahahu tetap diberikan vonis yaitu hukuman mati.
Pada bulan Desember tahun 1817, Martha dengan pejuang lain ditangkap lagi dan dikirim ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di kebun kopi. Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, tetap terjadi perlawanan terhadap tentara Belanda di dalam kapal Eversten.
Akhir Hayat Martha
Dalam kapal, kesehatan fisik Martha makin menurun, ia tidak mau makan serta minum obat. Akhirnya pada 2 Januari 1818, setelah melewati Sulawesi Selatan, Martha kemudian mengembuskan nafas terakhir. Jenazahnya diberikan sebuah penghormatan terakhir secara militer tepat di perairan Banda.
Ada banyak sekali nama pahlawan perempuan Indonesia yang telah berjasa memperjuangkan nasib negara ini. Tapi, yang jauh lebih banyak diperkenalkan, baik di instansi pendidikan (sekolah), dan instansi-instansi lainnya adalah pahalawan Indonesia yang berjenis kelamin laki-laki. Sedikitnya yang diperkenalkan, pasti lagi-lagi R. A. Kartini, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, dan Rasuna Said. Padahal, kalau dicermati lewat beragam literatur yang ada, ada banyak sekali nama pahlawan perempuan Indonesia yang belum kita ketahui dan jarang diperkenalkan.
Pahlawan nasional perempuan Indonesia itu tidak terbatas pada pahlawan yang berjuang memerdekakan Indonesia dari penjajah ratusan tahun silam, tapi juga pahlawan yang berjasa di masa modern seperti sekarang ini. Perjuangan para pahlawan perempuan ini juga beragam, dimulai dari perjuangan fisik di medan perang, sampai perjuangan ideologi di bidang pendidikan, diplomasi, pengembangan komunitas, dan lain-lain. Tanpa jasa mereka, tentu saja kemerdekaan yang dicapai tidak akan seluas sekarang.
Berikut ini adalah daftar nama pahlawan perempuan Indonesia yang perlu kamu ketahui:
kemudian ada Martha Christina Tiahahu, pejuang perempuan yang berasal Desa Abubu, Pulau Nusa Laut yang lahir pada tanggal 4 Januari 1800.
Waktu itu, saat baru menginjak umur 17 tahun, seorang Martha sudah percaya diri untuk mengangkat senjata untuk melawan para penjajah. Martha juga diketahui tidak pernah bolos dalam memberikan energi buat kaum perempuan untuk mendukung laki-laki saat di medan peperangan.
Dibalik perlawanannya selama masih remaja, Martha harus menetap dengan sang ayah yaitu Kapitan Paulus Tiahahu yang diberikan hukuman mati oleh tetara Belanda. Martha pun mulai terganggu kesehatan fisiknya serta mental, dan akhirnya Martha pun ditangkp bersama rekannya yang ada 39 orang. Lalu digiring ke Pulau Jawa dengan kapal Eversten untuk dijadikan pekerja paksa di kebun kopi.
Keadaan fisik Martha yang terus memburuk di dalam kapal. Kejadian ini diketahui karena ia tidak mau makan atau di beri obat. Sampai akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, Martha pun meninggal dan dikuburkan dengan diberikan penghormatan secara militer ke Laut Banda.
Satu lagi nama pahlawan perempuan Indonesia asal Aceh, Keumalahayati. Malahayati termasuk perempuan kelahiran Aceh Besar pada tahun 1550. Dengan kegagahannya serta keberaniannya, Malahayati menjadi pemimpin buat dua ribu orang tentara Inong Balee atau para janda pahlawan yang sudah meninggal akibat perang.
Dengan ketabahan hatinya, pahlawan perempuan ini bersama pasukannya bertempur melawan kapal serta benteng pertahanan Belanda sekaligus berhasil membunuh Cornelis de Houtman yang terjadi pada tahun 1599 tepatnya tanggal 11 September. Karena keberaniannya tersebut, akhirnya Malahayati mendapatkan sebuah gelar Laksamana.
Akan tetapi, pada tahun 1615 Malahayati harus meninggal ketika sedang dalam sebuah misi yang harus melindungi Teluk Krueng Raya dari gempuran tetara Portugis yang dikepalai oleh Laksamana Alfonso De Castro.
Pahlawan perempuan yang berasal dari keturunan Sunan Kalijaga yaitu R. A. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, atau biasa diketahui dengan nama Nyi Ageng Serang.
Perempuan yang lahir di tahun 1752 ini merupakan putri dari Natapraja yang merupakan seorang Pangeran dan ikut berperang melawan para penjajah bersama anggota keluarganya seperti kakak dan ayahnya. Seiring dengan keluarganya, ia terus bersemangat saat membela rakyat apa lagi waktu kematian kakaknya karena melindungi Pangeran Mangkubumi waktu berperang dengan Paku Buwono I yang didukung Belanda.
Meskipun sang ayah, kakak, serta sang suami akhirnya meninggal lebih dulu dalam perlawanannya, Nyi Ageng Serang dengan gagah tetap memimpin para pasukan yang masih ada pada usia 73 tahun.
Kegagahan serta kehebatan Nyi Ageng Serang juga mendapat pembenaran dari Pangeran Diponegoro karena sukses membuat strategi sampai dipercaya menjadi salah satu penasehatnya. Akan tetapi, sebelum perang Dipenoegoro usai, Nyi Ageng Serang harus menghembuskan napas terakhirnya diumur 76 tahun karena pandemi penyakit malaria yang diidapnya.
Jika Kartini serta Dewi Sartika merupakan pahlawan perempuan dari Jawa Barat, ada pula pahlawan emansipasi perempuan dari Minahasa yaitu Maria Walanda Maramis. Perempuan yang lahir pada tanggal 1 Desember 1872 ini juga berjuang dalam membebaskan perempuan dari kurangnya pendidikan.
Setelah pernah bersekolah di Melayu di Maumbi, lebih tepatnya di wilayah Minahasa Utara, selama 3 tahun dan tidak bisa meneruskan bangku pendidikan ke level yang lebih lagi, Maria akhirnya memutuskan untuk membikin semacam lembaga yang kasih nama yaitu Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya atau kalau di singkat menjadi PIKAT, dengan tujuan untuk mengembangkan pendidikan buat para kaum perempuan.
Lewat PIKAT, perempuan pribumi mendapatkan dasar dari berbagai ilmu buat berumah tangga misalnya masak, menjahit, mengasuh bayi, dan yang lain. semasa ia hidup, Maria sibuk bekerja di PIKAT sampai akhirnya ia meninggal pada tanggal 22 April 1924.
Perempuan yang lahir di Jakarta bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau lebih populer dengan panggilan Rasuna Said juga merupakan seorang pejuang perempuan yang berjuang untuk persamaan hak perempuan dengan laki-laki.
Menurut Rasuna Said, kaum perempuan tidak cuma didapat dari hasil mendirikan sekolah, tetapi juga dapat berjuang ke dalam politik. Rasuna Said pun terus bekerja serta berjuang dengan membuat pidato politik saat membela negara.
Akan tetapi saat pidatonya yang melawan pemerintah Belanda, dia dikenakan Speek Delict Law, yaitu peraturan atau hukum yang berasal dari Belanda buat orang yang berpidato atau berbicara memusuhi Belanda. Rasuna Said akhirnya dibekuk bersama dengan temannya, Rasimah Ismail, lalu di jatuhi hukuman penjara di daerah semarang pada tahun 1932.
Indonesia akhirnya bisa merebut kemerdekaan pada tahun 1945, Rasuna Said langsung aktif menjadi Dewan Perwakilan Sumatra untuk menjadi wakil rakyat Sumatra Barat dan pernah dijadikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat atau DPR RIS.
Rasuna Said juga pernah menjabat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai akhirnya ia meninggal pada tanggal 2 November 1965 karena ia mengidap penyakit kanker darah.
Terakhir yang kita bahas adalah Andi Depu, merupakan seorang perempuan yang punya nama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa yang juga seorang pahlawan perempuan berasal dari Tinambung, Sulawesi Barat.
Karena keberanian serta kekuatannya, seorang Andi Depu sukses mempertahankan daerahnya dari gempuran Belanda. Tidak sampai situ saja, Andi Depu juga dengan gagah berhasil menaikan bendera Merah Putih waktu tentara Jepang menyerbu Mandar waktu tahun 1942.
Kegigihan seorang Andi Depu yang bisa kita jadikan contoh ini kemudian diberikan sebuah tanda Bintang Mahaputra Tingkat 4 dari Pak Soekarno langsung. Dan juga, Pak Jokowi juga memberikan sebuah gelar Pahlawan Nasional buatnya serta 5 tokoh bangsa yang lain tertuang pada dektrit Presiden Republik Indonesia Nomor 123 pada tahun 2018 mengenai pemberian Gelar Pahlawan Nasional.
7. Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risaju merupakan salah satu anggota Partai Sarekat Islam yang sangat berberpengaruh, khususnya di Sulawesi Selatan. Dia menjadi anggota PSII cabang Pare-Pare, lalu mendirikan dan memimpin PSII cabang Palopo pada tahun 1930. Dia aktif menjadi seorang perempuan yang melawan penjajahan dengan cara modern, yaitu dengan gencar memperkenalkan ide tentang kemerdekaan bangsa Indonesia ke kerabat dan tetangga-tetangganya.
Ketidak sukaan Belanda pada upaya Opu Daeng Risaju ini membuat dirinya ditangkap selama 12 bulan dengan tuduhan bahwa ia telah menghasut rakyat. Pada tahun 1933, ia kembali ditangkap karena gerakan-gerakannya dianggap semakin membahayakan. Ia divonis kerja paksa selama 14 bulan. Tak berhenti sampai di situ, perjuangan Opu Daeng Risaju masih berlanjut sampai masa penjajahan Jepang, di mana ia mempengaruhi pembentukan cabang PSII di berbagai wilayah lain.
8. Sri Mangunsarkoro
Sri Mangunsarkoro merupakan ketua pertama dari organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Sri Mangusarkoro berhasil menjadikan Perwari sebagai organisasi yang vokal memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pernikahan dengan pendekatan liberal-feminis.
Perwari memfokuskan perjuangan untuk mewujudkan terciptanya regulasi yang mengatur keadilan bagi perempuan di dalam pernikahan, seperti mendorong adanya ketentuan monogami, usia minimal pernikahan, kesetaraan ketentuan dalam perceraian, hak milik dan warisan, serta hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan. Di bawah pimpinan Sri Mangunsarkoro juga Perwari gencar melakukan forum publik, mengadakan petisi, demonstrasi di jalanan, dan delegasi dengan pemerintah untuk melancarkan agenda mereka.
Sebelum menjadi ketua Perwari, Sri Mangunsarkoro sudah aktif menginisiasi dan mengetuai berbagao gerakan dan organisasi perempuan. Seperti memimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga, ketua Keputrian Jong Java pada 1920, ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta, Ketua Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta pada tahun 1935, sampai ketua Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI).
Soewarni Pringgodigdo merupakan pendiri organisasi perempuan sekuler yang progresif bernama Isteri Sedar. Soewarni berhasil membawa Isteri Sedar menjadi organisasi perempuan yang secara eksplisit menunjukkan ideologi organisasinya yang feminis-demokratis.
Lewat majalah terbitan organisasi itu yang bernama Sedar, Soewarni gencar menyampaikan kritik dan perlawanannya terhadap ketidak setaraan gender, poligami, pentingnya kesetaraan peran dalam pernikahan, serta keadilan bagi perempuan di ranah publik dan domestik. Soewarni yang sangat membenci poligami sempat mendapat penilaian buruk dari berbagai golongan, sampai dicibir karena dianggap terlalu galak. Tapi ia tetap konsisten memperjuangkan ideologinya tersebut melalui berbagai medium.
Lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911, Maria Ulfah Santoso adalah perempuan pertama dari Hindia Belanda yang lulus dari sekolah hukum di Belanda. Begitu pulang ke Indonesia, ia pun aktif membela hak-hak perempuan, terutama dalam hal pernikahan di mana mereka mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari laki-laki yang menjadi suami mereka.
Setelah Indonesia merdeka pada Desember 1945, Maria menjadi salah satu inisiator Kongres Perempuan Indonesia di Klaten, Jawa Tengah dan menjadi ketua untuk badan yang membahas perumusan Undang-Undang Perkawinan.
Nah, kita sudah membahas nama Pahlawan perempuan Indonesia yang sudah punya jasa besar serta keberaniannya bisa kita jadikan contoh serta pembelajaran buat anak muda. Semoga generasi sekarang bisa mempunya jiwa seperti para pahlawan Indonesia ya.
Kemerdekaan Indonesia tidak serta-merta lahir hanya dari jerih payah para laki-laki saja, namun terdapat andil pahlawan perempuan juga di dalamnya. Sejak dahulu, perempuan juga sudah banyak berperan dalam berbagai gerakan untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajahan Belanda. Mereka dengan berani serta gigih berjuang di garis terdepan dan membantu dengan segala cara mereka.
Pahlawan Perempuan Berjuang di Berbagai Daerah
Dari Sabang sampai Merauke, banyak sekali patriot-patriot perempuan yang siap berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda serta Jepang. Tidak hanya di garis depan memegang senjata, mereka juga pandai mengatur strategi serta membantu menyuplai perbekalan para tentara yang berjuang di medan perang.
Walaupun dahulu mereka tidak mengenal istilah feminisme dan kesetaraan gender, para perempuan ini hanya memiliki satu tujuan yaitu merdeka. Mau laki-laki atau pun perempuan, mereka bekerja sama agar cita-cita untuk merdeka tercapai. Sebagai generasi penerus bangsa, kita perempuan juga perlu banyak belajar dari cerita-cerita para pahlawan perempuan Indonesia. Maka dari itu, berikut ini beberapa nama pahlawan perempuan beserta keahlian mereka, yang perlu kamu ketahui.
Siapa sangka Indonesia memiliki seorang laksamana perempuan. Ia bernama Keumalahayati, atau lebih dikenal sebagai Laksamana Hayati. Ia seorang alumni Akademi Ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam Ma’had Biatul Makdis, yang dilatih oleh instruktur perang dari Turki.
Laksamana Hayati merupakan perempuan panglima perang pertama di Nusantara. Saat itu, sebelum kolonialisme masuk ke Indonesia, prajurit perempuan merupakan hal yang biasa dimiliki oleh kerajaan.
Ketika suaminya, Laksamana Zainal Abidin, meninggal dalam perang melawan Portugis di Teluk Haru, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam perang.
Ia pun diangkat menjadi pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat Laksamana.
Laksamana Malahayati bersama dengan pasukannya pun berhasil memukul mundur Belanda pada 1559 dan menyebabkan tewasnya salah satu pemimpinnya, Cornelis De Houtman.
Martha Christina Tiahahu adalah remaja perempuan berusia 17 tahun yang melawan penjajahan Belanda di daerah Maluku. Christina lahir pada 4 Januari 1800 sebagai anak pertama dari Kapitan Paulus Tiahahu, seorang pemimpin tentara rakyat Maluku. Ia sangat dekat dengan ayahnya, bahkan sang ayah mewariskan keahlian berperang dan menggunakan tombak pada Christina.
Dengan berani, Martha mendampingi sang ayah memimpin pasukan di Pulau Nusalaut, Saparua. Ia juga turut andil dalam membakar semangat para perempuan Maluku lainnya untuk angkat senjata ddalami perang ini. Walaupun sempat menjatuhkan Benteng Duurstede bersama dengan kepemimpinan Pattimura, bagaimanapun juga laskar rakyat Maluku tetap kalah jumlah.
Ayah Martha ditangkap lalu dijatuhi hukuman mati. Nasib Martha sendiri awalnya dibebaskan namun, kembali ditangkap lalu dipekerjakan paksa sebagai budak di Pulau Jawa. Dalam perjalanan di kapal, kondisi kesehatan Martha memburuk dan ia menolak untuk diobati dan makan. Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1818.
3. Cut Meutia
Lahir di Keureutoe, Pirak Timur, Aceh Utara pada 15 Februari 1870, Cut Meutia adalah salah satu Pahlawan Nasional asal Aceh. Perlawanan Cut Meutia melawan penjajahan Belanda berawal dari membantu sang suami Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Sebelum meninggal dunia, Tjik Tunong memberikan wasiat pada teman dekatnya, Pang Nangroe agar bersedia menikahi istrinya dan merawat anak mereka.
Cut Meutia akhirnya menikah dengan Pang Naggroe dan kembali berjuang di medan perang. Pang Nanggroe gugur pada 26 September 1910. Setelah itu Cut Meutia kembali melanjutkan perjuangan bersama dengan pasukan yang tersisa. Ia berhasil menyerang dan merampas pos-pos Belanda sambil bergerak maju melalui hutan belantara. Pada 24 Oktober 1910, Cut Meutia akhirnya gugur dalam bentrokan di Alue Kurieng.
4. Pahlawan perempuan ahli strategi Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1762. Ia merupakan keturunan Sunan Kalijaga yang mendapat wilayah di Serang. Sejak ia kecil, Nyi Ageng Serang menyukai latihan bela diri serta strategi perang. Ia menjadi orang kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam tiap serangan dalam Perang Jawa. Perang ini merupakan perang yang paling berpengaruh dalam membuat VOC atau kongsi dagang Belanda bangkrut.
Biang keladinya? Tentu saja Nyi Ageng Serang dan pasukannya, Semut Ireng. Taktik gerilya yang berhasil memorak-porandakan pasukan VOC menjadi salah satu inspirasi Jenderal Sudirman dan digunakan pada perang revolusi.
Nyi Ageng Serang juga dikenal dengan kesaktiannya dengan memberikan azimat lempeng logam yang dibalut ayat-ayat Al-Qur’an (rajah), dan banyak orang berguru padanya untuk mendapatkan ilmu strategi perang dan hal spiritual.
5. Erna Djajadiningrat
Perjuangan memerdekakan Indonesia tidak bakal berjalan mulus kalau tidak ada bantuan logistik untuk para prajurit. Hal ini tidak akan berhasil tanpa bantuan pasokan makanan dari Erna Djajadiningrat, seorang pahlawan perempuan dari Jawa Barat, bersama dengan organisasi Wani (Wanita Indonesia) yang didirikan pada 1945 bersama dengan Maria Ulfah beserta Suwarni Pringgodigdo.
Ia merupakan keturunan bangsawan Serang, Jawa Barat, dan di masa kemerdekaan ia membantu di bagian dapur umum untuk memasok logistik untuk para prajurit di garis depan. Dapur umum Wani bertugas untuk memasok nasi bungkus untuk beratus-ratus prajurit badan keamanan rakyat. Ketika rumahnya ditembaki tentara Belanda, NICA, ia tidak panik, malah sangat tenang sampai-sampai ia dijuluki sebagai si nona keras kepala.
Ketika Belanda mencium gelagat bahwa organisasi Wani membantu menyuplai Logistik untuk garis depan, Belanda pun melarang kegiatan mereka. Tidak tinggal diam, Erna mengubah nama Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik) dan tetap melakukan kegiatan dapur. Tidak hanya itu PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda.
Kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan perempuan dapat terwujud berkat para perempuan hebat di masa-masanya. Terlepas dari norma-norma masyarakat yang membuat perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan dan berdikari, banyak pahlawan perempuan yang sangat berjasa dalam kemajuan kaum perempuan.
Pahlawan Perempuan dari Berbagai Daerah Indonesia
Sering kali kita hanya berfokus pada daerah Jawa dalam konteks perjuangan para pahlawan perempuan Indonesia. Padahal, banyak sekali pahlawan-pahlawan perempuan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan kaum perempuan di daerah mereka. Berikut ini beberapa pahlawan perempuan ini perlu kamu ketahui cerita dan juga asalnya.
Andi Depu lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Perempuan yang bernama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa ini sempat merasakan bangku pendidikan hingga tingkat Volkschool (Sekolah Rakyat). Pada tahun 1939, ia diangkat menjadi Raja Balanipa ke-52 dan hal ini mempertegas posisinya untuk melawan Belanda.
Ia tidak lama duduk dalam tampuk kekuasaan karena memilih untuk berjuang bersama rakyat di luar istana. Dengan berani serta gigih, Andi Depu berhasil mempertahankan daerahnya dari serangan Belanda.
Aksinya yang paling diingat adalah ketika ia berani menaikkan bendera merah putih di depan istananya, meskipun Belanda sudah mengancam dan mengepungnya sedemikian rupa pada 28 Oktober 1945
2. Ruhana Kudus Pahlawan asal Koto Gadang, Sumatra Barat
Lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat, Ruhana Kudus adalah wartawan perempuan Indonesia dan aktif dalam dunia pendidikan. Ruhana giat menulis dalam surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Saat Belanda membredel media tersebut, Ruhana turut mendirikan surat kabar bernama Sunting Melayu, yang juga tercatat sebagai koran perempuan pertama di Indonesia.
Meskipun ia tidak bisa mendapatkan pendidikan secara formal, Ruhana belajar dengan tekun dari ayahnya yang rajin membawakan bahan bacaan dari kantor. Semangatnya yang tinggi untuk belajar hal-hal baru membuat Ruhana mudah menyerap segala pelajaran. Ia belajar membaca, menulis, lalu bahasa Belanda hingga aksara Arab. Ketika mengikuti ayahnya dinas ke Alahan Panjang, Ruhana bertetangga dengan seorang pejabat Belanda, yang istrinya mengajari Ruhana segala bentuk kerajinan tangan.
Dengan hal-hal yang ia pelajari itu, Ruhana pun kembali ke kota asalnya dan mendirikan sebuah sekolah bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah ini mengajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, serta mengelola keuangan, baca tulis, hingga bahasa Belanda. Saat itu masih banyak yang menentang keberadaan sekolah ini, namun Ruhana tetap tegar dan terus berjuang untuk kemajuan para perempuan.
Ia lahir di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Saat masih anak-anak, Dewi Sartika suka bermain peran sebagai guru dengan teman-temannya. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika tinggal bersama pamannya, dan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda dari sang paman.
Pada tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan sebuah sekolah bernama Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah itu kemudian dipindahkan ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Kaoetaman Istri pada 1910. Sekolahnya semakin berkembang dan di tahun 1912, ia sudah memiliki sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Pada tahun 1920, lembaga ini berkembang menjadi satu sekolah di setiap kota dan kabupaten. Sembilan tahun kemudian, sekolah tersebut berubah nama menjadi Sekolah Raden Dewi.
4. Maria Walanda Maramis pahlawan perempuan asal Minahasa, Sulawesi Utara
Perempuan bernama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis ini lahir di Kema, Minahasa Utara pada 1 Desember 1872. Setiap 1 Desember, orang-orang Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis yang dikenal sebagai tokoh pahlawan perempuan yang memperjuangkan kemajuan perempuan.
Ketika ia pindah ke Manado, Maria mulai aktif mengirimkan artikel opini ke surat kabar lokal bernama Tjahaja Siang. Dalam opininya, ia sangat vokal menyuarakan pentingnya peran ibu dalam keluarga dalam menjaga kesehatan keluarga serta pendidikan anak-anak.
Maria menyadari, saat itu perempuan-perempuan muda butuh sekali pendidikan untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga. Ia pun mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917, untuk mendidik kaum perempuan yang tamat sekolah dasar.
Selain mengadvokasi pendidikan untuk perempuan, Maria juga mendorong agar perempuan mendapatkan hak suara dalam memilih wakil rakyat untuk sebuah badan perwakilan di Minahasa bernama Minahasa Raad. Saat itu, hanya laki-laki yang memiliki hak untuk memilih dan menjadi anggota, sehingga Maria mengupayakan agar ada perempuan yang masuk ke dalam badan tersebut. Usahanya pun berbuah hasil di tahun 1921, saat keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan perempuan untuk memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad.
Setelah menamatkan pendidikan SD, Rasuna dikirim ayahnya ke sebuah pesantren bernama Ar-Rasyidiyah, yang merupakan satu-satunya santri perempuan. Setelah itu Rasuna kembali melanjutkan pendidikannya di Diniyah (SMA) Putri dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan pendidikan Islam, Thawalib.
Rasuna Said dikenal sebagai salah satu nama pahlawan perempuan Indonesia yang sangat memperhatikan kemajuan kelompok perempuan dalam hal pendidikan dan politik. Ia pernah menjadi guru di Diniyah Putri, namun ketika ia ingin memasukkan pendidikan politik di sekolah tersebut, idenya ditolak. Setelah ia tidak lagi menjadi guru, Rasuna sangat aktif menulis di media.
Pada 1935, Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya. Tulisan-tulisannya dikenal tajam dan membuat Belanda geram. Rasuna juga pernah mendirikan sebuah majalah mingguan di Sumatra Utara, Menara Poetri, dan menyebarluaskan gagasan-gagasannya serta isu-isu perempuan.
Sesudah Indonesia merdeka, Rasuna Said aktif dalam Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia juga menduduki kursi Dewan Perwakilan dan mewakili daerah Sumatra Barat. Rasuna kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rayat RI dan kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga ia wafat.
6. Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta
Lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872, Siti Walidah atau yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan merupakan anak dari Kyai Haji Muhammad Fadli, ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Ia bersekolah di rumah serta diajarkan beragam aspek soal Islam termasuk bahasa Arab dan Al Quran.
Ia menikah dengan Ahmad Dahlan yang juga merupakan sepupunya. Ketika itu, Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah. Namun karena beberapa pemikiran Ahmad Dahlan dianggap radikal, pasangan ini kerap mendapatkan ancaman dari kelompok Islam lain.
Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi pendidikan Sopo Tresno. Ia beserta suaminya bergantian mengajarkan membaca Al-Qur’an dan mendiskusikan maknanya. Menariknya, Nyai Ahmad Dahlan lebih berfokus pada ayat-ayat yang berhubungan dengan isu perempuan.
Sopo Tresno kemudian diresmikan dan berganti nama menjadi Aisyiyah. Melalui organisasi ini, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah perempuan, dan ia pun berkhotbah menentang kawin paksa. Nyai Ahmad Dahlan juga berpendapat bahwa istri adalah mitra suami dan menentang budaya patriarki.
Kalau kita membahas nama pahlawan perempuan di Indonesia, pasti kita langsung ingat figur Raden Ajeng Kartini. Pahlawan perempuan itu lahir di kota Jepara, pada 21 April 1879. Kartini sudah populer sebagai figur yang berdampak kepada hak perempuan dalam mendapatkan pendidikan waktu zaman penjajahan.
Selain figur Kartini yang dikenal oleh khalayak luas, masih ada sejumlah pahlawan perempuan yang kurang begitu populer di masyarakat. Misalnya saja para pahlawan perempuan yang menjadi tokoh feminisme, dan punya dampak cukup hebat untuk kemajuan perempuan di Jawa barat.
Pahlawan perempuan dari Jawa barat ini hebat karena punya peran yang tidak umum di eranya, dari perempuan pribumi pertama yang menjadi anggota parlemen kota, sampai ada yang memperkenalkan pendidikan secara door to door.
1. Biografi Singkat Dewi Sartika
Dewi Sartika yang tumbuh di daerah Cicalengka, Jawa Barat, lahir pada 4 Desember 1884. Dia merupakan anak perempuan dari seorang patih di Bandung yang bernama R. Rangga Somanegara, serta ibunya R. A. Rajapermas. Dari ia kecil, Dewi Sartika sering bermain dan bertindak layaknya seorang pendidik kepada teman sebayanya, dari itulah rasa keinginan menjadi seorang guru terbentuk.
Tepatnya pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika muda membuat sebuah Sakola Istri atau sekolah untuk perempuan di Kota Bandung. Sakola Istri sering sekali mendapatkan apresiasi dari warga pribumi. Banyak dari perempuan, khususnya di kota Bandung serta Jawa Barat, ingin bergabung serta ikut bersekolah di Sakola Istri ini. Ruangan Kepatihan Bandung yang dipakai untuk dipinjam sebagai ruangan sekolah sampai tidak bisa menampung lagi karena murid yang terus bertambah.
Akhirnya pada tahun 1910, Sakola Istri pun pindah ke area yang lebih besar, tepatnya di Jl. Ciguriang serta namanya diganti menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri. Yang diubah bukan namanya saja, akan tetapi pelajarannya pun ditambah juga.
Pada 1913, atas kemauan dari Dewi Sartika pribadi, juga didirikan sebuah organisasi untuk remaja perempuan yang diberi nama Kaoetamaan Istri di wilayah Tasik. Lembaga ini memayungi beberapa sekolah yang dibuat oleh Dewi Sartika. Sekitar tahun 1929, Belanda pun juga memberikan dukungan dengan ikut memajukan Sakola Kaoetamaan Istri dengan menyediakan bangunan baru yang lumayan luas dan memberikan akomodasi penyokong untuk sekolah ini, yang namanya diubah menjadi Sekolah Raden Dewi.
2. Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat, R.A Lasminingrat
Raden Ayu Lasminingrat adalah seorang pahlawan perempuan dari Jawa barat yang berfokus pada kemajuan kaum perempuan, khususnya di Kota Garut, Jawa Barat. Dia merupakan putri sulung dari R.A. Ria dan Raden Haji Muh. Musas, seorang penghulu dan ahli sastra yang populer dari wilayah Pasundan.
Lasminingrat berupaya memajukan pendidikan dengan menggabungkan pendidikan gaya barat dengan adat Sunda agar mudah dipelajari oleh rakyat Jawa Barat, khususnya Garut. Ia menerapkan gaya pendidikan ini pada perempuan, untuk membentuk karakter perempuan Sunda yang independen dan bermartabat.
Ia juga pintar dalam berbicara bahasa Belanda ,sehingga sangat diapresiasi oleh seorang pengelola perkebunan dari Belanda yang bernama K. F. Holle, karena bisa menerjemahkan cerita-cerita Grimm bersaudara. Cerita-cerita yang sudah terkenal dari negeri barat dan cerita yang lain diterjemahkan ke bahasa Sunda.
Pada sekitar tahun 1907, Lasminingrat mendirikan Sakola Kautamaan Istri di Garut, Jawa barat. Mulanya sekolah tersebut sangat eksklusif, hanya untuk kalangan darah biru atau bangsawan pribumi saja. Kurikulumnya sebagian didapatkan dari hasil pendidikannya di negeri Belanda, berupa pelajaran membaca, menulis, serta pelajaran mengenai pemberdayaan kaum perempuan.
Lasminingrat juga giat membikin semacam karya tulis. Karya tulis Lasminingrat yang populer adalah Warnasari, cerita pendek yang tentang ambisi serta tekad perempuan dalam mengikhtiarkan haknya, termasuk juga tentang masalah percintaan serta perjodohan yang sudah jamak pada masa tersebut. Hasil tulisan Lasminingrat ini bertujuan untuk memunculkan wacana buat para pembaca remaja atau yang sudah dewasa.
3. Pahlawan Perempuan Jawa Barat, Raden Siti Jenab
Banyak sekali yang tidak mengetahui mengenai Raden Siti Jenab, yang termasuk pahlawan perempuan yang aktif pada gerakan perempuan. Ia sangat aktif mengenalkan metode pendidikan buat para perempuan di Kota Cianjur dengan cara berkeliling dari pintu ke pintu.
Perempuan yang berasal dari Kota Cianjur dan lahir pada 1890 tersebut pernah mengenyam pendidikan dari Sekolah Raden Dewi Sartika.
Pahlawan perempuan dari Jawa Barat yang punya nama lengkap Nyi Rd. Siti Djenab Djatradidjaja tersebut pernah membuat sekolah di Kota Cianjur. Sekolah tersebut berupaya untuk mengenalkan metode pendidikan yang diambil dari Sakola Istri milik Raden Dewi Sartika di Bandung, Jawa Barat. Kurikulum yang diajarkan yaitu berupa bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Belanda, Matematika dasar, edukasi tentang budi pekerti ,sampai edukasi praktis buat para perempuan, misalnya membuat batik serta merenda.
4. Pahlawan Perempuan Kota Bandung: Nyi Raden Rachmatulhadiah Poeradiredja
Nyi Raden Rachmatulhadiah Poeradiredja atau yang lebih populer dengan nama Emma Poeradiredja merupakan tokoh pahlawan perempuan yang berasal dari Kota Bandung, dan lahir pada 9 Maret 1880. Emma faktanya merupakan anggota dari Jong Java, yang didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo, sebuah kelompok pemuda yang berperan dalam memperjuangkan persatuan dari para pelajar pribumi serta memantapkan nilai pada kesenian serta pengetahuan umum buat para anggota.
Sekitar tahun 1927, Emma dengan kawan-kawannya, yaitu Artini, Sumardjo, Ayati, Emma Sumanegara, dan yang lainnya membuat Dameskring. Dameskring adalah semacam lembaga khusus pemuda serta pemudi Indonesia yang berpusat pada penggalangan nilai dari angan-angan bangsa Indonesia lewat beberapa acara, seperti membuat organisasi perempuan.
Dari personel Dameskring, Emma kemudian terjun langsung dalam Kongres Pemuda Indonesia kedua yang diselenggarakan di Jakarta, waktu itu masih Batavia, pada tahun 1928. Tak lama dari Kongres Pemuda tersebut Emma akhirnya membuat PASI atau Pasundan Istri, semacam organisasi untuk perempuan Jawa Barat untuk menggalakkan perjuangan kodrat serta kebutuhan rakyat wilayah Jawa Barat.
Pembentukan bangsa Indonesia tidak hanya berkat jasa-jasa pihak laki-laki saja tetapi juga perempuan dengan latar belakang yang beragam, salah satunya para pahlawan perempuan muslimah. Mereka berjuang untuk bebas dari pihak penjajah dan merdeka dari segala bentuk penindasan.
Mereka berjuang tidak hanya lewat jalur perang tetapi juga dari beragam jalur seperti pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Mereka memperlihatkan bahwa muslimah juga bisa berjuang dan menggapai cita-cita mereka. Berikut ini beberapa muslimah yang patut kamu ketahui ceritanya.
1. Sultanah Safiatuddin Berjuang dalam Melestarikan Literasi, Kebudayaan dan Pendidikan
Sultanah Safiatuddin merupakan nama pahlawan perempuan Indonesia yang paling terkenal dan termahsyur di kesultanan Aceh. Lahir pada tahun 1612 ia berhasil membawa kesultanan Aceh ke dalam masa keemasan lewat kebudayaan, literasi serta pendidikan.
Dibawah kepemimpinan Sultanah Safiatuddin ia membawa kesultanan Aceh ke masa kejayaan, dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan, kebudayaan, penyebaran agama Islam, hingga perlawanan terhadap VOC gencar ia lakukan. Ia juga membuat pasukan prajurit perempuan penjaga istana yang ikut serta bertempur dalam perang Malaka pada sekitar tahun 1639.
Di masanya juga, Sultanah Safiatuddin sangat tertarik dan mendukung kebudayaan dan literasi serta pendidikan. Ia me memberikan dukungan penuh pada para sastrawan dan kelompok intelektual untuk mengembangkan diri mereka. Ia pun juga aktif membangun pesantren-pesantren untuk rakyat belajar mengaji. Sultanah Safiatuddin lebih mengedepankan jalur diplomasi ketimbang lewat militerisme. Kemampuan literasinya yang membuat ia fasih berdiplomasi dengan beberapa pihak dan berhasil menghalau ancaman-ancaman yang datang.
2. Cut Nyak Dhien Pahlawan Perempuan dan Perang Gerilyanya
Akibat semakin kuatnya pihak Belanda dan pengaruh mereka terhadap bangsawan-bangsawan Aceh membuat Kesultanan Aceh semakin mundur dan semakin melemah. Dalam situasi ini, Cut Nyak Dien lahir dari keluarga Uleebalang di Aceh besar pada 1848. Di masa tersebut Uleebalang memiliki status setingkat Bupati dan mempunyai kemampuan militer. Cut Nyak Dhien memperoleh kemampuan militernya dengan cara belajar sendi dan tentu saja dari tarah kebangsawanannya.
Bersama dengan suaminya Teuku Cek Ibrahim Langga, yang konsisten melawan Belanda. Ketika suaminya mati dalam perang, Cut Nyak Dhien bertekad untuk membalas dendam pada pihak Belanda dan mengusir mereka dari tanah Aceh.
Dalam peperangan di Aceh hampir sama dengan perang Jawa, membuat pihak Belanda kelimpungan karena serangan dari pasukan Aceh terus menerus dan bertubi-tubi. Cut Nyak Dhien berjuang bersama dengan suami keduanya, Teuku Umar dalam peperangan ini. Namun, sangat disayangkan Teuku Umar pun gugur dalam perang ini.
Walaupun sudah semakin tua, dan mengidap penyakit encok, Cut Nyak Dhien tetap berjuang dalam peperangan. Karena merasa kasihan, salah satu bawahannya memberikan info lokasi Dhien kepada pihak Belanda, dan ia pun tertangkap oleh pihak Belanda. Hingga menghembuskan nafas terakhir, Dhien menolak untuk tunduk pada pihak Belanda, dan karena kewibawaannya Dhien tetap ditakuti serta disegani.
3. Pahlawan Perempuan Muslimah Indonesia: Yati Aruji
Sejak kecil Yati Aruji sudah akrab dengan aktivitas pergerakan. Dibesarkan oleh seorang ayah yang aktif di Sarekat Islam sebuah organisasi politik pra-perang di Hindia Belanda serta ibunya yang mengelola dap umum membuatnya ikut terjun dalam dunia pergerakan. Yati aktif di Partai syarikat Islam Indonesia. Di PSII ia aktif dan akhirnya menjadi ketua Syarikat Islam Afdeling Pandu Putri (SIAP_ yang akhirnya setelah itu menjadi anggota Kepanduan Muslimin Indonesia.
Pada tahun 1945 Yati mendirikan LASWI, organisasi ini mengoordinasi 61 kesatuan perjuangan di seluruh Jawa Barat. Organisasi ini dilatih oleh mantan anggota PETA dan bertugas di garis depan. Anggotanya pun semua perempuan dengan beragam latar belakang, dari gadis, janda, hingga yang masih memiliki suami. Mereka bisa melakukan apa saja, mulai dari merawat prajurit yang teruka, menjadi mata-mata, mengajar kelas pemberantasan buta huruf, dan lain sebagainya.
4. Kartini Melawan dengan Pemikiran dan Surat-Suratnya
Kamu sudah pernah membaca kumpulan surat-surat Kartini dengan teman penanya Stella Zeehanderlar dan Abendanon? Surat-surat Kartini berisi tentang pemikiran-pemikirannya akan dunia yang setara dan membuat kita terinspirasi dari suratnya itu. Kartini lahir dari keluarga ningrat dan ia beruntung dapat memakan bangku sekolah walau hanya sampai di umur 12 tahun. Setelah itu ia dipingit untuk dinikahkan. Walaupun ruang geraknya dibatasi, wawasan Kartini begitu luas.
Kartini merupakan pahlawan perempuan muslimah yang menolak prinsip feodalisme dan menolak dipanggil Raden Ayu. Dalam masa pingitnya, ia banyak bersurat dan merenung soal posisi perempuan yang tidak setara dalam pernikahan. Cita-cita Kartini ingin sekali menjadi antropolog, ia bahkan sudah mengantongi beasiswa ke Belanda, namun zaman itu terlalu dini bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan setinggi itu, maka dari itu beasiswa itu pun diberikan pada Agus Salim.
5. Opu Daeng Risaju Salah Satu Anggota Sarekat Islam Paling Berpengaruh di Sulawesi Selatan
Tahukah kamu, pada masa penjajahan Belanda, semakin menguatnya kekuasaan mereka juga mengakibatkan peran gender dalam masyarakat yang semakin dibatasi antara laki-laki dan perempuan. Pergerakan pun mulai berubah dan saat itu mulai berfokus pada ide Indonesia yang merdeka.
Pada saat itu ideologi Islam yang sedang berkembang dan memberikan imajinasi tentang perlawanan terhadap kolonial serta organisasi Sarekat Islam menjadi organisasi yang paling banyak pengikutnya. Salah satu tokoh berpengaruh di Sarekat Islam di Sulawesi Selatan adalah Opu Daeng Risaju . Pahlawan perempuan indonesia ini lahir pada 1880 dan berasal dari keluarga bangsawan Luwu. Opu Daeng Risaju berkenalan dengan Partai Sarekat Islam diusianya yang ke 47 tahun. Ia bergabung dengan PSII Pare-Pare lalu kemudian mendirikan PSII cabang Palopo pada 14 Januari 1930. Berbeda dengan perjuangan lainnya, Opu melawan Belanda dengan cara memperkenalkan ide tentang kemerdekaan bangsa ini ke kerabat dan tetangga sekitarnya.
Walaupun saat itu ia ditangkap oleh pihak Belanda menangkapnya dengan tuduhan menghasut rakyat, Opu tidak gentar dan setelah penahanannya ditangguhkan salah seorang sepupunya, ia tetap menyebarkan ide-idenya itu.
6. Fatmawati Muslimah yang Menolak Dipoligami
Fatmawati faktanya merupakan ibu negara pertama yang dimiliki oleh Indonesia. Ia merupakan istri ketiga dari Soekarno setelah Soekarno menceraikan Inggit Garnasih. Fatmawati merupakan sosok yang pluralis, ia tumbuh besar sebagai perempuan cerdas, intelektual, serta aktif ikut dalam organisasi Islam Nasyiatul Aisyiah, sebuah organisasi perempuan di bahwa Muhammadiyah. Selain itu ia juga aktif mengikuti kursus-kursus yang membantunya memperluas wawasan tentang kebangsaan.
Pahlawan perempuan muslimah ini juga populer di masyarakat sebagai penjahit bendera merah putih yang dikibarkan saat proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebagai seorang ibu negara, ia membantu dalam gerakan-gerakan pemberantasan buta huruf, menentang poligami serta kegiatan ekonomi untuk memajukan kelompok perempuan. Ketika Soekarno ingin berpoligami dengan menikahi Hartini, Fatmawati menentang keras hal tersebut dan meminta cerai dari Soekarno. Walau sudah tidak lagi menjadi ibu negara, setelahnya Fatmawati tetap dianggap sebagai ibu negara dan tidak ada yang bisa menggantikan sosoknya.