RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Pada awal tahun ini, tepatnya pada bulan Februari, Indonesia digemparkan oleh Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU Halu) sebagai satu produk hukum yang diusulkan oleh Fraksi Golkar, PAN, PKS dan Gerindra. RUU ketahanan keluarga ini memicu banyak perdebatan dan penolakan kuat dari berbagai lapisan masyarakat terutama para akademisi dan juga feminis.

Salah satu hal yang memicu perdebatan adalah bagaimana RUU ini kembali mengotak-kotakan peran gender kaku antara laki-laki dan perempuan. Dalam RUU ini, laki-laki secara ajek posisinya dilihat sebagai kepala keluarga, sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga.

Pematokan peran gender melalui RUU Halu ini jelas problematik karena luput mengetahui bahwa unit rumah tangga Indonesia tidak bersifat homogen. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya unit keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarganya atau ibu yang bekerja sebagai pencari nafkah utama. Perlu dicatat juga bahwa RUU ini telah gagal memenuhi hak perempuan sebagai warga negara melalui UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dengan mengesampingkan fakta bahwa perempuan yang bekerja di ruang publik tidak serta merta bekerja karena kepentingan ekonomi saja. Banyak dari mereka memaknai bekerja sebagai bagian dari eksistensi diri mereka sendiri dan pengabdian mereka terhadap masyarakat.

Jika dilihat dari iklim sosial politik Indonesia, pengusulan RUU Halu ini dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kemunduran demokrasi Indonesia yang dipicu konservatisme agama Islam. Perkembangan pesat konservatisme Islam di Indonesia memang sangat meresahkan, apalagi dengan penguasaan media daring yang dilakukan sebagian kelompok untuk menyebarkan paham yang mereka anut.

Baca juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

Penguasaan media daring oleh kelompok ini terbukti efektif menjangkau banyak individu di berbagai kelompok masyarakat atas nama penegakan ideologi politik Islam. Para penganut ideologi ini bertujuan untuk mengubah pendekatan sekuler terhadap negara dan masyarakat menjadi pendekatan di mana simbol dan identitas agama Islam mendominasi di dalam sendi-sendi masyarakatnya.

Dalam menjadikan Islam sebagai ideologi politik, kelompok-kelompok ini berfokus pada penegakkan kembali tatanan moral masyarakat dengan isu “perbaikan” status dan peran gender perempuan, baik dalam ranah privat maupun publik. Mereka berangkat dari pemahaman teks agama yang kaku. Perempuan pada akhirnya dipaksa untuk keluar dari ranah publik. Kelompok konservatif agama kembali mendorong perempuan untuk berdiam diri di rumah sebagai bentuk dari ketaatan beragama. Dengan mendorong perempuan kembali ke ranah domestiknya, paham konservatisme agama telah kembali mengukuhkan segregasi peran gender laki-laki dan perempuan yang didasarkan oleh perbedaan biologis mereka.

RUU Ketahanan Keluarga Faktanya Menghambat kepemimpinan perempuan

Pengotak-kotakan peran gender perempuan dengan mengebiri hak-hak mereka sebagai manusia berdampak langsung pada kepemimpinan perempuan di ruang publik. Melalui paham konservatisme agama, kepemimpinan perempuan yang sudah mendapatkan tempatnya di dalam masyarakat kembali dipertanyakan.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Dengan penekanan bahwa perempuan tidak sepatutnya menjadi seorang pemimpin dan bahwa fitrah mereka ada di rumah, perempuan dikecualikan dalam pertimbangan posisi kepemimpinan di suatu institusi. Perempuan-perempuan yang secara ilmu dan kemampuan lebih mampu menjadi seorang pemimpin dibandingkan kolega laki-lakinya, akan dipertanyakan lagi kredibilitasnya sehingga sulit untuk naik ke posisi pemimpin. Mereka harus rela terus berada di dalam posisi sama dalam jangka waktu yang lama atau bahkan tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk naik jabatan karena pengalaman ketubuhan mereka didiskriminasi oleh interpretasi agama tertentu.

Sulitnya perempuan mengamankan posisi kepemimpinan mereka jika dilihat dari prospek jangka panjang jelas akan berakibat fatal. Semakin sedikitnya perempuan di posisi kepemimpinan, semakin minim pembuatan kebijakan yang memihak pada perempuan. Jika posisi kepemimpinan didominasi oleh laki-laki, akan sangat mungkin bila nantinya pembuatan kebijakan publik atau rencana pembangunan jangka panjang akan bersifat bias gender atau bahkan buta gender.

Eksistensi perempuan pun kembali terpinggirkan dalam kacamata pemangku kebijakan dengan minimnya identifikasi peran gender yang perempuan ampu dan pengabaian partisipasi aktif mereka. Minimnya perempuan dalam posisi kepemimpinan pada akhirnya berujung pada suatu pengabaian terhadap penyediaan akses maupun pemenuhan hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan.

Tidak hanya itu, konservatisme agama yang sudah masuk ke dalam sendi-sendiri masyarakat juga dapat menghambat karier perempuan atau bahkan menghambat perempuan untuk memulai kariernya sendiri. Dengan pertimbangan ketaatan beragama dan glorifikasi figur perempuan muslim ideal, perempuan pada akhirnya yang harus membuang mimpinya jauh-jauh. Mereka yang telah menikah dan memiliki anak didorong untuk keluar dari kantornya, melepaskan jabatannya begitu saja yang sudah mereka bangun sekian lama karena beban tanggung jawab sebagai ibu dan istri yang baik dalam pandangan konservatisme agama.

Perempuan muda yang bahkan baru ingin memulai kariernya pun dapat menjadi ragu untuk melebarkan sayap mereka. Adanya pandangan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah mereka yang berada di rumah akan membuat perempuan-perempuan muda ini dipaksa mengubur dalam-dalam potensi mereka sebagai manusia.

Pada akhirnya, derasnya laju pemahaman konservatif agama akan menjadi batu sandungan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Baca juga: Khadijah sampai Fatima Al-Fihri: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Sejarah Islam

Membangun wacana alternatif

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengimbangi derasnya pemahaman konservatif agama di Indonesia?

Menurut Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Dr. Iklilah MD Fajriyah, penguasaan media online kelompok konservatif misalnya adalah kritik bagi para feminis muslim untuk membangun gerakan yang sama untuk mengimbangi kekuatan kelompok konservatif dengan mengemukakan wacana alternatif. Hal ini dilakukan untuk membantu anak-anak muda dan masyarakat awam dalam membangun cara berpikir kritis mereka.

Jika wacana alternatif tidak banyak ditemukan, mereka akan merefleksikan wacana yang ada, yang dikemukakan oleh kelompok konservatif, ke dalam kehidupan mereka. Hal ini sering kali menjebak anak-anak muda dan masyarakat pada satu pilihan saja yang justru mengungkung mereka, kata Iklilah. 

Dalam menyampaikan wacana alternatif sebagai tandingan narasi kelompok konservatif, para feminis muslim juga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami, bahkan kekinian.

“Teman-teman feminis muslim yang kuat pemikirannya karena bacaan mereka terhadap teks yang cukup kuat secara tidak sadar menuliskan gagasannya dengan nuansa yang terlalu akademik. Karena bernuansa terlalu akademik, hal ini tidak disukai dan sulit dipahami,” kata Iklilah.

“Strategi penyampaian yang sederhana sangat penting dilakukan para feminis muslim agar orang-orang muda dan awam yang menerima pesannya dapat merefleksikan pesan tersebut dalam kehidupannya sendiri, serta membandingkan pesan tersebut dengan pesan yang disampaikan kelompok konservatif.”

Read More
kepemimpinan perempuan islam

Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Kepemimpinan Perempuan Islam – Suatu hari di tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam diterpa musibah besar. Sultannya, Iskandar Tsani mendadak tewas, diduga karena diracun. Padahal, putra dari Sultan Pahang (salah satu wilayah di Malaysia sekarang) itu baru saja memerintah Aceh selama lima tahun, setelah menggantikan ayah mertuanya, Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh Darussalam yang membawa Aceh ke masa kejayaannya.

Sultan Iskandar Tsani tidak meninggalkan penerus takhta. Mencari kerabat laki-laki Sultan Iskandar Tsani juga tidak memungkinkan karena dia berasal dari luar daerah. Dari sinilah kemudian tercetus wacana Sri Putri Alam, putri Sultan Iskandar Muda yang juga istri Sultan Iskandar Tsani, yang harus naik takhta.

Tentu saja perdebatan mencuat dari sana-sini, yang tidak setuju bila perempuan menjadi pemimpin karena bertentangan dengan ajaran agama Islam, kata mereka. Berbagai pertentangan sampai pemberontakan pun bermunculan. Tapi, setelah dirundingkan, Sri Putri Alam diputuskan tetap akan naik takhta. Dia kemudian mendapatkan gelar Tajul Alam Safiyatuddin.

Dia harus menghadapi berbagai permasalahan dalam pemerintahannya, terutama yang disebabkan oleh menguatnya pengaruh penjajah Belanda yang saat itu telah berhasil merebut Malaka dari Portugis. Tapi, Sultanah Safiyatuddin berhasil membuktikan bahwa jenis kelamin bukanlah penentu kualitas diri juga kemampuan kepemimpinan seseorang.

Akademisi Singapura Sher Banu A. Latiff Khan, dalam penelitiannya yang berjudul ‘Rule Behind The Silk Curtain: The Sultanahs of Aceh 1641-1699’ (2009), menyebut Sultanah Safiatuddin sebagai penguasa yang kuat, dengan keterampilan yang tinggi, dan berhasil beradaptasi dengan kebijakan Belanda yang agresif. Menurutnya, Sultanah juga berhasil mengembalikan integritas dan nama besar Kesultanan Aceh yang sempat turun pasca ayahnya meninggal.

Suatu ketika, utusan Belanda datang ke kerajaan dengan membawa seperangkat perhiasan yang disebut sebagai pesanan mendiang Sutan Iskandar Thani. Belanda juga meminta Kerajaan Aceh membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Tapi Sultanah Safiatuddin menolak untuk membayar penuh dan membuat Belanda ikut membayar bagiannya. Sultanah Safiatuddin memang dikenal sangat memperhatikan dan menjaga kesehatan keuangan kerajaannya. Dia bahkan menghentikan sebuah kebijakan berbahaya yang dibuat oleh suaminya dulu untuk menerima pembayaran lada dengan permata, bukan uang real.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Sepak Terjang Kepemimpinan Perempuan Islam Di Publik

Sepeninggal Sultanah Safiatuddin, Aceh masih dipimpin oleh tiga sultanah hebat secara berturut-turut: Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699). Meski tak semua berhasil mengantarkan Aceh ke masa kejayaannya, tapi empat sultanah ini adalah bukti nyata bagaimana Serambi Mekkah itu memiliki catatan panjang sepak terjang kepemimpinan perempuan islam di ranah publik, khususnya di pemerintahan.

Sejarah di Aceh ini sedikit banyak sudah membuktikan, bagaimana ketangguhan dan kecakapan para perempuan di masa pemerintahan Islam bisa meruntuhkan berbagai stigma dan stereotip, lalu menggantikannya dengan keberhasilan yang berperspektif kemanusiaan.

Ratusan tahun kemudian, semangat perempuan Islam Indonesia untuk menegakkan hak serta memperbaiki nasib kaumnya belum kunjung pudar. Semangat mereka diwujudkan dalam pendirian organisasi ataupun gerakan perempuan yang berfokus mengkaji serta mengadvokasi berbagai isu sosial yang menyangkut kesejahteraan perempuan, tanpa melepaskan kemudinya dari arah dan ajaran agama Islam.

Salah satu organisasi besarnya adalah Aisyiyah, yang semula berada di bawah Muhammadiyah. Berdiri pada tahun 1917, Aisyiyah mengawali perjuangannya di bidang pendidikan dengan membuka akses pembelajaran bagi para perempuan yang sempat terisolasi dari berbagai informasi dan perkembangan di sekitarnya. Menurut Lelly Qodariah dalam penelitian yang berjudul Aisyiyah Organization and Social Change for Women (2016), Aisyiyah merupakan sebuah gerakan reformis urban yang rasional, dengan kegiatan-kegiatannya yang berlandaskan pada semangat dan kepercayaan bahwa perempuan tetap bisa menjadi seorang muslimah yang baik dengan aktif menyuarakan pendapatnya. Bahkan, menurut semangat yang Aisyiyah bawa, perempuan bisa menjadi politisi tanpa harus mengorbankan integritas dan keharmonisan keluarganya.

Berangkat dari kegelisahan yang serupa dengan Aisyiyah adalah Fatayat Nahdlatul Ulama, organisasi perempuan Islam yang gencar mempromosikan kesetaraan gender, namun dengan mengadaptasi nilai-nilai Islam progresif. Dimulai dari sosialisasi dan advokasi keluarga berencana serta kesehatan ibu dan anak pada awal tahun berdirinya (1950-1970), Fatayat NU berhasil menjadi sebuah organisasi perempuan Islam yang berkembang pesat sampai mendapat rekognisi dari dunia internasional.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Pada tahun 1980-an, ketika organisasi itu mulai menunjukkan minat dalam mengembangkan diskusi mengenai isu-isu feminisme di dalam tradisi agama Islam, Fatayat NU berhasil membangun kerja sama dengan Badan PBB untuk Dana Anak-anak, UNICEF. Dari situlah Fatayat NU berhasil mendapatkan sejumlah dana untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kegiatan-kegiatannya. Satu topik yang kerap dijadikan fokus kegiatan organisasi ini adalah advokasi dan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi bagi perempuan dan keluarga, sebagai reaksi terhadap program keluarga berencana milik pemerintah Orde Baru yang tidak cukup untuk mendidik perempuan mengenai penggunaan kontrasepsi.

Pada akhir tahun 1990-an, Fatayat NU mulai secara eksplisit menggunakan pendekatan sensitif gender. Tahun 1997-2000, misalnya, mereka meluncurkan program Penguatan Hak-hak Perempuan (pendahulu program LKP2 atau Lembaga Konsultatif untuk Pemberdayaan Perempuan) yang aktif membantu perempuan korban kekerasan. Para anggota Fatayat NU sadar, banyak sekali perempuan yang menjadi korban karena hasil interpretasi nilai-nilai agama Islam yang mengandung bias gender.

Kongres Ulama Perempuan Pertama Di Dunia

Saat ini, mungkin secara kasat mata kita meyakini bahwa kita sudah jauh sekali dari narasi-narasi patriarkal yang melarang perempuan untuk bekerja atau turun beraktivitas di ranah publik. Tapi sebenarnya, masih ada kepercayaan bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Selain itu banyak sekali stigma yang pada akhirnya menghambat perempuan untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam bekerja atau meraih sebuah pencapaian.

Masalah itu tidak luput dari perhatian para perempuan ulama di berbagai daerah di Indonesia, yang kemudian menginisiasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dilaksanakan pada tahun 2017, bertempat di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Para perempuan ulama ini memfokuskan kajiannya pada tiga bahasan utama dalam pertemuan itu, yaitu kekerasan seksual, perkawinan anak, dan kerusakan alam. KUPI bahkan mulai mengemukakan tentangan terhadap pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape, dengan menyebut bahwa kekerasan seksual dengan atau tanpa perkawinan yang sah itu haram hukumnya, dan segala elemen dalam masyarakat harus berusaha untuk mencegah dan menangani kasus tersebut. Hal ini disebutkan Umma Farida dan  Abdurrohman Kasdi dalam penelitian yang berjudul ‘The 2017 KUPI Congress and Indonesian Female Ulama’ (2018) di Journal of Indonesian Islam.

Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam

Farida dan Kasdi juga menyebut ketiga fatwa yang dijadikan bahan kajian utama itu menunjukkan sensitivitas para perempuan ulama terhadap masalah-masalah nyata yang dihadapi perempuan di tengah masyarakat hari ini. Misalnya, isu kekerasan seksual sebagai hasil anggapan perempuan merupakan kaum kelas kedua yang harus mematuhi laki-laki.

Dari KUPI ini, terkuaklah banyak nama perempuan ulama ataupun kepemimpinan perempuan Islam yang berhasil membawa komunitasnya menjadi komunitas yang humanis dan menyayangi makhluk hidup lain tanpa mengesampingkan nilai dan ajaran agama Islam.  Seperti  Teungku Hanisah (dikenal dengan Ummi Hanisah), seorang perempuan ulama asal Aceh yang aktif mengajar dan memberikan ceramah di majelis ta’lim atau pengajian terkait isu-isu kemanusiaan, juga aktif mengadvokasi para perempuan yang menjadi korban kekerasan. Hanisah menolak praktik pernikahan siri yang marak terjadi di Aceh serta memprotes rencana Bupati Aceh Barat yang melarang perempuan menggunakan celana panjang. Menurutnya, celana panjang adalah pakaian adat perempuan Aceh karena perempuan juga bekerja di ladang dan bertempur seperti laki-laki.

Ada pula Nissa Wargadipura, pemimpin perempuan Islam di pesantren ath-Thaariq di Garut, yang sukses menjadikan pesantrennya sebagai “rumah ekologi”. Berangkat dari kekhawatiran mengenai bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia, terutama banjir yang pernah menerjang Garut di tahun 2016, bersama keluarga dan murid-muridnya, Nissa menjadikan lahan seluas 8.500 meter perseginya menjadi lahan yang subur dan berupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan tanpa bergantung pada makanan-makanan yang diproduksi perusahaan besar.

Read More