Perkara Kesetaraan di Balik Kebijakan 4 Hari Kerja per Minggu

Pada 2019 silam, Menteri Keuangan Bayangan di parlemen Inggris, John McDonnel sempat mengingatkan, “Kita mestinya bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja”. Hal ini disampaikannya saat ia mengumumkan bahwa Partai Buruh akan mengurangi jam kerja standar dalam seminggu menjadi 32 jam, tanpa potongan gaji, dalam 10 tahun kepemimpinannya.

Janji itu menyusul sebuah laporan (ditugaskan oleh McDonnell) dari sejarawan ekonomi Robert Skidelsky tentang bagaimana mencapai jam kerja yang lebih pendek.

Skidelsky adalah anggota Majelis Tinggi Parlemen Inggris dan penulis biografi John Maynard Keynes, yang pada 1930 memperkirakan bahwa adanya kemungkinan untuk kerja selama 15 jam per minggu dalam beberapa generasi mendatang.

Laporan ini secara khusus disesuaikan dengan kondisi di Inggris, tapi juga menyajikan agenda dengan daya tarik universal.

Jam kerja yang lebih pendek digambarkan sebagai “win-win” – meningkatkan produktivitas bagi pengusaha dengan memberi karyawan apa yang mereka inginkan.

Terkait manfaat kebijakan jam kerja lebih pendek, ia mengatakan:

Orang mestinya bekerja lebih sedikit untuk mencari nafkah. Harus bekerja lebih sedikit untuk apa yang butuh dilakukan, dan lebih banyak untuk apa yang diinginkan, untuk kesejahteraan materi dan spiritual. Dengan demikian, mengurangi waktu kerja – waktu yang harus digunakan untuk menjaga ‘jiwa dan raga’ – merupakan tujuan etis yang berharga.

Argumen untuk waktu kerja yang lebih pendek biasanya berfokus pada manfaat “ekonomi”, dalam arti alokasi sumber daya yang memaksimalkan keuntungan. Namun, laporan Skidelsky mengatakan bahwa ada alasan yang lebih penting: alasan etis.

Keinginan etis bukan hanya masalah biaya dan manfaat. Ini juga masalah keadilan dan mewujudkan kebaikan bersama (kebaikan bersama yang membutuhkan pertimbangan dan tindakan kolektif).

Argumen yang Tidak Memadai

Mengurangi jam kerja hanya bisa memajukan tujuan etis jika disertai dengan perubahan sosial dan budaya yang lebih dalam.

Pada dasarnya, argumen Skidelsky tentang keinginan etis untuk mengurangi jam kerja adalah:

  • Umumnya, orang lebih bahagia ketika menghabiskan waktu untuk apa yang diinginkan, bukan pada apa yang harus mereka lakukan demi mendapatkan penghasilan
  • Lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk bekerja, dan lebih banyak waktu luang, dengan demikian akan menciptakan kebahagiaan (atau kesejahteraan)
  • Menciptakan kebahagiaan (atau kesejahteraan) adalah sesuatu yang diinginkan secara etis, sehingga diinginkan pula secara etis pengurangan jumlah jam kerja seseorang.

Variasi dari argumen ini – digunakan, misalnya, oleh lembaga riset Outonomy dalam proposal jam kerja mingguan kerja yang lebih pendek – menggantikan kebebasan dengan kebahagiaan.

Dalam pandangan ini, lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk bekerja (yang diharuskan oleh alasan eksternal – penghasilan) berarti lebih banyak waktu untuk melakukan apa yang diinginkan seseorang.

Dari sudut pandang filosofis, tidak ada argumen yang memadai. Masalahnya, mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja tidak serta-merta meningkatkan jumlah waktu yang tersedia untuk melakukan apa yang Anda inginkan.

Pekerjaan bukan satu-satunya konteks saat tindakan tunduk pada kendala eksternal. Kehidupan berkeluarga, misalnya, melibatkan banyak kegiatan yang perlu dilakukan alih-alih ingin dilakukan.

Masalah lain adalah keinginan etis bukan hanya masalah meningkatkan jumlah total kebutuhan (seperti kebahagiaan atau kebebasan). Ini juga menyangkut distribusi kebutuhan. Suatu hasil tidak hanya harus optimal, tapi juga adil.

Masalah Waktu Luang dan Kesetaraan

Ada argumen yang menarik tentang jam kerja yang lebih pendek secara etis: mereka memperbaiki ketidakadilan yang disebabkan oleh distribusi waktu luang yang tidak merata.

Beberapa penelitian, misalnya, menunjukkan bahwa waktu luang tidak terdistribusi secara merata di antara dua jenis kelamin. Laki-laki menikmati bagian lebih besar dari waktu luang yang tersedia secara sosial, sementara perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di luar pekerjaannya untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan membesarkan dan merawat anak.

Jam kerja yang lebih pendek mungkin memberi para perempuan lebih banyak waktu luang. Namun, tidak dengan sendirinya waktu tersebut terdistribusi dengan adil dan mereka menikmati manfaat kebijakan jam kerja lebih pendek. Untuk mengatasi ketidakadilan dalam pembagian waktu luang, diperlukan beberapa redistribusi.

Ini bisa saja berarti laki-laki yang diberikan lebih banyak waktu luang, akan melakukan lebih banyak kegiatan rumah tangga. Namun, itu sebuah dugaan. Jika seorang laki-laki mendapat libur pada Sabtu dan Minggu, mengapa mengharapkan sesuatu yang berbeda terjadi jika ia juga mendapat libur pada Jumat?

Ada sesuatu yang lebih mendasar daripada perubahan jumlah waktu.

Mengurangi jam kerja memiliki manfaat, tapi tidak mengatasi masalah ketimpangan yang lebih dalam dari aktivitas kerja itu sendiri. Pengurangan jam kerja tidak berpengaruh dalam menghentikan produksi hal-hal berbahaya, atau hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan bersama.

Tujuan kesetaraan yang diinginkan secara etis dan realisasi kebaikan umum membutuhkan perubahan sosial yang lebih dalam dari bagaimana dan untuk apa pekerjaan itu dilakukan. Kemajuan nyata terletak dalam terwujudnya kesetaraan dan kebaikan umum melalui pekerjaan serta memperoleh lebih banyak waktu untuk tidak bekerja.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Nicholas Smith adalah profesor Filsafat, Macquarie University.

Read More