5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema

Girlboss, gaslight, dan gatekeep. Bagi generasi milenial, kalimat itu kerap digunakan untuk perempuan di posisi strategis yang cara memimpinnya justru membawa kerugian untuk orang lain. Dari situasi itu, perkara menjadi pemimpin perempuan memang tidak ada habisnya. Jika perempuan di posisi strategis menunjukkan sifat yang lembut, maka disebut tidak cocok untuk memimpin karena terlalu emosional. Sementara jika dia menunjukkan diri sebagai tegas akan menerima cemoohan sebagai terlalu kolot. Karenanya, pemimpin perempuan pun berada di posisi double bind atau apa saja yang dilakukannya adalah salah. 

Meskipun begitu, perempuan pemimpin tidak seharusnya takut menunjukkan sifat yang dikategorikan sebagai feminin, lembut, dan berempati. Pasalnya, kepemimpinan dengan tipe feminin dinilai lebih efektif untuk mencapai kesuksesan. John Gerzema dan Michael D’Antonio dalam bukunya Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule The Future menyampaikan hal yang senada. 

Gerzema da D’Antonio menemukan fakta pemimpin yang mengutamakan nilai-nilai ‘feminin’, seperti empati, kolaborasi, dan kesabaran dapat menangani krisis dengan lebih baik. Alih-alih menganggap karakteristik tersebut sebagai kelemahan karena segala hal yang berkaitan dengan perempuan, sebaiknya dirayakan sebagai kelebihan. 

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Efektivitas gaya kepemimpinan tersebut dapat dilihat dari cara menangani kasus pandemi COVID-19 di negara yang dipimpin perempuan. Misalnya, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Kate Laurell Ardern. Dia disorot media dunia karena menangani situasi pandemi dengan cepat dan melakukan pendekatan penuh empati. Singkatnya, ia menjadi pemimpin yang diidolakan. Gaya kepemimpinan seperti itu tentunya ikut diadopsi dalam karya budaya populer. Jacqueline Carlyle dari serial The Bold Type, misalnya, seorang pemimpin redaksi majalah yang perhatian, empatik, dan siap membantu karyawan dan penulis yang dibimbingnya. 

Meskipun tipe kepemimpinan seperti itu memang sudah sangat sering diidamkan sampai diadopsi ke layar kaca, gaya kepemimpinan yang maskulin menjadi tipe yang lebih sering ‘populer’. Dalam podcast  Bye Kepemimpinan Macho! Saras Dewi, dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, minat pada gaya kepemimpinan maskulin menjadi kontras karena  sudah terbukti gagal. 

“Kepemimpinan maskulin masih dianut karena masyarakat dalam memahami ekonomi, politik, dan budaya berlomba-lomba untuk berkompetisi dan menguasai yang satu di atas lainnya. Berlomba-lomba untuk mendominasi,” ujarnya. 

Psikolog Alice H. Eagly dan Blair T. Johnson dalam beberapa penelitian mereka juga menyebutkan gaya kepemimpinan maskulin menunjukkan sikap transaksional yang autokrat atau setiap keputusan menjadi mutlak. Gaya kepemimpinan yang berbanding terbalik dengan kepemimpinan feminin yang pendekatannya lebih demokratis dan mendorong perubahan. 

Kegagalan efektivitas tipe kepemimpinan maskulin pun juga dilihat dari cara menangani situasi pandemi dengan penuh hambatan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, misalnya, media menyebutnya menggunakan gaya kepemimpinan hyper-masculine dalam menangani situasi pandemi. Karenanya, upaya mitigasi penting dalam mencegah penyebaran virus mengalami keterlambatan, seperti lockdown dan penyuluhan mengenakan masker yang tertunda. Tipe maskulin itu juga ada dalam masa kepresidenan Donald Trump yang penuh kontroversi. 

Tipe tersebut tentunya tidak melulu pada laki-laki di posisi strategis.Contoh yang paling dekat dengan tipe kepemimpinan tersebut ialah Sophia Amoruso, pionir dari istilah Girlboss itu sendiri. Walaupun digadang-gadang sebagai inovasi dari dan untuk perempuan, tetap saja pendekatannya tidak inklusif dan cenderung membawa kerugian. Pasalnya, Amoruso juga tersandung skandal karena karyawannya menuduh tidak memiliki rasa empati dan eksploitatif. 

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Di era yang sangat menjunjung tinggi political correctness dan tidak ragu menyudutkan hal-hal dinilai ‘menyimpang’, penggambaran tokoh publik atau perempuan di posisi strategis yang ‘adil’ menjadi hal yang terus diidamkan. Harapan tersebut pun kemudian diadaptasi di karya-karya sinema. Namun, tidak semua perempuan pemimpin di budaya populer memiliki kualitas tersebut. Ada kalanya perempuan pemimpin di karya sinema mengadopsi gaya kepemimpinan maskulin yang tentunya membawa mereka ke arah kegagalan, seperti:

  1. Hope Haddon (‘Sex Education’)

Kepala sekolah baru untuk Moordale Secondary dalam serial Sex Education mulanya mengemban citra sebagai karakter pemimpin perempuan yang ingin mengubah cara pandang ‘buruk’ orang lain soal sekolahnya. Selain itu, dia berjanji akan bersifat inklusif bagi semua siswa yang memiliki ekspresi gender yang beragam. Namun, itu semua semacam kedok karena Hope sebenarnya ingin mengkotakkan semua orang dalam konsep rigid dan biner dengan gaya kepemimpinannya yang kolot. Bisa dibilang dia cukup fasis. 

Hope memang ‘berjanji’ akan mendengarkan apa usulan dan saran dari siswa agar peraturan sekolah tidak timpang. Namun, itu hanya bualan semata karena ujung-ujungnya hanya pendapat darinya yang harus diaminkan. Semua hal yang diusung Hope sifatnya mutlak, tidak heran jika semua siswa jadi pemberontak. Gaya kepemimpinan Hope memang sangat maskulin, otoriter, tidak berempati, dan cenderung merugikan sesama perempuan. Hal ini pun yang membuat dia gagal menjadi kepala sekolah. 

Sumber: Netflix
  1. Dolores Umbridge (‘Harry Potter’)

Guru praktik ilmu hitam di sekolah sihir Hogwarts ini memang karakter fiksi yang dibenci sepanjang sejarah. Pasalnya, dia selalu menampilkan dirinya sebagai orang yang tidak berbahaya, terlebih lagi dengan pakaiannya yang konstan warna merah jambu. Namun, diam-diam dia rela melakukan apa saja, termasuk menyakiti siswanya secara fisik, hanya untuk mendapatkan informasi yang diinginkannya. Situasi pun semakin parah ketika Umbridge menduduki posisi kepala sekolah dan menyingkirkan Dumbledore. Dia semakin otoriter bahkan melakukan ‘penyisiran’ untuk mencari siswa yang melawan. 

Umbridge sebenarnya tidak sekadar ‘jahat’ dan licik saja, tapi juga menginternalisasi karakteristik buruk kepemimpinan maskulin, menutup telinga atas pendapat orang lain. Dia bahkan lebih buruk dari Voldemort karena keinginannya untuk kekuasan bukan yang utama, tapi membawa kekerasan untuk mereka yang ingin perubahan inklusif di dunia sihir. 

Sumber: Wikipedia.org

Baca juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia

  1. Choi Myung-hee (‘Vincenzo’)

Karakter pemimpin perempuan yang diperankan Kim Yeo-jin ini seorang mantan jaksa yang memang problematik karena sangat korup. Dia kemudian pindah ke firma hukum Wusang sebagai senior partner dan semakin berbahaya.  Dia tampak tidak memiliki hati karena tega membunuh orang tanpa ada rasa bersalah. Semua demi mencapai hal yang dia inginkan. Singkatnya Choi Myung-hee adalah orang yang ambisius tapi sangat toksik. Dalam drama Vincenzo, dia tampak sengaja dibuat maskulin dengan penampilan yang ‘jauh’ dari perempuan. Hal itu pun menambah kesan dia memang sosok yang tamak, kolot, dan fasis ketika berinteraksi dengan orang lain bahkan untuk mencapai satu tujuan. 

Sumber: TVN
  1. Cersei Lannister (‘Game of Thrones’)

Layaknya semua orang yang terlahir di klan Lannister, Cersei tentu saja memiliki sifat arogan. Sebagai pemimpin, terlebih lagi perempuan, arogansi itu tampaknya bekerja karena dia menjadi tidak tersentuh. Bahkan dengan mudahnya ia merencanakan kematian suaminya si raja Westeros , Robert Baratheon secara diam-diam. 

Dia bisa disebut sebagai karakter perempuan pemimpin yang kuat dalam serial Game of Thrones karena membuktikan dia adalah pemain gim politik kerajaan yang tidak bisa dipandang enteng. Orang-orang pun menakutinya karena itu. Namun, karena arogansi, sikapnya yang keras kepala, anti kritik, menolak nasihat orang lain, dan sangat otoriter Cersei secara tidak langsung membunuh kariernya sebagai ratu yang menguasai Kings Landing. Sifat-sifat kepemimpinan maskulin itu yang menamatkannya. 

Sumber: gameofthrone.fandom.com
  1. Baroness Von Hellman (‘Cruella’)

Dalam film Cruella, kita tentu berpikir karakter pemimpin perempuan, Cruella De Vil adalah karakternya yang antagonis. Apalagi kita sudah mengenal Cruella yang keji karena tega membuat anjing dalmatian sebagai mantel. Namun, sekejinya Cruella, Baroness Von Hellman jauh lebih jahat. Selain sosialita dengan status bangsawan, Baroness memiliki bisnis fesyen. Selain itu, juga terkenal sebagai desainer ternama. Namun dia sangat arogan, tidak memiliki empati pada karyawannya, dan sangat anti kritik. Dia adalah mimpi buruk untuk semua orang. Sifatnya itu juga memenuhi semua kriteria gaya kepemimpinan maskulin yang membawanya pada kegagalan. 

Sumber: DinesyPlus
Read More

‘Bullying’ di Tempat Kerja: Apa Saja Bentuknya dan Bagaimana Menyikapinya?

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan pengakuan MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengalami kekerasan seksual dan perundungan (bullying) oleh sesama pegawai selama bertahun-tahun. Sejak pertama mengalaminya pada 2012, ia sudah ajek bersuara. Di 2017, ia sempat mengadukan kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan dari sana ia dirujuk melaporkan hal tersebut ke polisi. Dua tahun berselang, ketika ia melapor ke Polsek Gambir, ia disarankan menyelesaikan perundungan di tempat kerja lewat atasan dulu, alih-alih ditindaklanjuti langsung.

Merespons aduan MS, pihak atasan hanya memindahkannya ke ruangan lain yang dianggap lebih aman bagi MS. Tahun lalu, saat MS hendak melanjutkan proses hukum kasusnya, polisi kembali mengecewakannya dengan tidak menanggapi secara serius.

Ketidakadilan yang lama dialami MS ini pada akhirnya mendorong dia untuk menceritakan secara kronologis kasus penganiayaan fisik dan psikis yang didapatkannya dari sesama rekan kerja ke internet pada September 2021. Baru setelah viral, pihak-pihak terkait angkat suara: Pihak KPI pusat melakukan investigasi, polisi menerima laporan MS. Namun, perkara terus berlanjut seiring dengan niat terduga pelaku untuk menuntut MS balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. MS juga disebut-sebut memicu perundungan siber oleh warganet, yang setelah pengakuan MS tersebar, menyerang identitas pribadi serta keluarga terduga pelaku.

Baca juga: Kekerasan Seksual di KPI, Jangan Pakai Alasan Basi ‘Nama Baik Instansi’

Dampak Serius Perundungan di Tempat Kerja

Kasus seperti yang dialami MS ini tentu bukan hal langka dalam kehidupan profesional. Masalahnya, hanya sedikit saja yang buka suara tentang itu. Bahkan mungkin di antara para korban, ada yang tidak sadar dirinya telah mengalami bentuk-bentuk perundungan karena masih minimnya pengetahuan pribadi atau sosialisasi dari pihak kantor akan hal tersebut. Padahal, ini penting disadari siapa saja, bahkan anak-anak muda yang belum menginjak dunia karier, untuk menghindari terjadinya kasus pelik serupa MS di kemudian hari.

Sebagaimana diungkapkan MS dalam rilisnya, ia mengalami gangguan psikis dan fisik setelah berulang kali mengalami siksaan fisik, disuruh-suruh, dicaci maki, dan dilecehkan oleh rekan-rekan kerjanya. Stres berkepanjangan membuatnya mengalami gangguan lambung dan membuatnya mengidap post traumatic stress disorder (PTSD), sehingga dalam kesehariannya pun, MS tidak dapat berfungsi dengan baik. Ia kerap marah tiba-tiba serta menangis mengingat hal traumatis yang dialaminya dulu. 

Gangguan kesehatan yang dialami MS ini memang sering muncul pada korban perundungan di tempat kerja. Selain hal itu, dikutip dari Verywell Mind, korban perundungan juga bisa mengalami kecemasan, serangan panik, masalah tidur, dan tekanan darah tinggi. Sebuah riset yang dilakukan para peneliti di University of Copenhagen pada 2018 juga menyebutkan, korban perundungan berkemungkinan mengalami masalah jantung 59 persen lebih tinggi daripada yang tidak pernah dirundung di kantor. Di samping itu, korban perundungan juga bisa mengalami penyakit fisik lain yang dipicu perilaku koping terkait perundungan yang dia alami, misalnya dengan mengonsumsi makanan tidak sehat atau alkohol secara berlebihan.

Performa kerja korban pun terdampak seperti hilangnya konsentrasi, turunnya penilaian diri, motivasi kerja, serta produktivitas, dan kesulitan mengambil keputusan. Akibat terus terpikirkan soal perundungan yang pernah atau masih akan terjadi, korban akan menghabiskan banyak waktu, entah untuk menghindari perundung, terus termenung dan larut dalam perasaan terisolasi, memikirkan cara mempertahankan diri, atau mencari bantuan. Padahal, waktu tersebut dapat digunakan untuk bekerja dengan optimal seandainya dia tidak perlu tenggelam dalam masalah seperti ini. 

Tidak hanya berdampak buruk bagi individu korban, perusahaan pun akan merasakan kerugian akibat adanya perundungan di tempat kerja. Dalam berbagai studi ditemukan level ketidakhadiran yang lebih tinggi pada pegawai korban perundungan. Ini tentunya menghambat performa perusahaan, terlebih yang kecil dan menengah mengingat kehadiran satu orang saja berpengaruh sekali terhadap kinerja tim. Dalam sebuah riset yang dimuat di Frontiers in Psychology (2016), disebutkan perusahaan bisa mengalami kerugian lain berupa pengunduran diri karyawan. Ini merupakan biaya besar yang mesti ditanggung perusahaan karena tidak mudah untuk mencari pegawai pengganti dan melatihnya kembali supaya memiliki kemampuan sepadan dengan pegawai korban perundungan di tempat kerja yang resign.    

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Sementara, Investopedia bilang, pada sejumlah kasus, pihak perusahaan bisa berhadapan dengan tuntutan hukum bila membiarkan perundungan terjadi di tempatnya. Selain itu, korban juga bisa menuntut pembiayaan rehabilitasi fisik atau psikis yang mesti dijalaninya mengingat masalah kesehatan yang ia alami muncul dari tempat kerja. 

Lebih buruk lagi, pada era media sosial seperti sekarang, sangat mudah reputasi perusahaan hancur karena seseorang mengadukan masalah terkait tempat kerjanya. Dari kasus perundungan di KPI kemarin misalnya, makin banyak warganet yang antipati terhadap institusi tersebut, dan mengaitkan kejadian viral kemarin dengan “borok-borok” KPI terdahulu. Hilangnya legitimasi dari masyarakat bisa berdampak kemudian terhadap penjualan atau kampanye yang dilakukan suatu perusahaan.

Bentuk-bentuk ‘Bullying’ di Tempat Kerja

Setelah mengetahui betapa seriusnya dampak perundungan di tempat kerja, kita perlu menyadari hal-hal apa saja yang termasuk perundungan. Selain siksaan fisik, ada hal-hal lain dalam keseharian di kantor yang masuk perundungan dan sering dianggap wajar. Berikut beberapa di antaranya.

  1. Julukan, cacian

Sebagian orang merasa jika dirinya dipanggil dengan sebutan “Gendut”, “Jelek”, atau “Monyet” itu hal yang biasa, bahkan di beberapa kasus dianggap sebagai candaan semata. Akan tetapi, julukan-julukan tersebut telah merendahkan seseorang dan masuk dalam pelecehan verbal. Begitu pula dengan cacian menggunakan bahasa binatang atau kata-kata umpatan, baik dari sesama kolega maupun bos-bos. 

  1. Fitnah

Sering kali hal ini terjadi saat seseorang hendak melaju sendiri dengan menjatuhkan pihak kompetitornya. Tidak jarang orang yang mendapat fitnah di kantor terkendala kerjanya karena terusik pandangan miring orang sekitar hingga kepercayaan dirinya merosot. Jika kamu mengalami ini, jangan ragu bersuara karena ini juga merupakan bentuk perundungan.

  1. Pengabaian

Jika kamu berada dalam satu tim kerja dan rekan-rekan mengabaikan eksistensimu atau pendapatmu, kamu bisa saja tengah menjadi korban perundungan, apalagi bila ini terus menerus berlangsung. Kamu tidak pernah tahu letak kesalahanmu di mana, tetapi rekan kerja mendiamkanmu. Bahkan buruknya, sekalipun kamu berkontribusi dalam suatu proyek, mereka mengabaikan kontribusimu itu. Ini jelas merugikan sekali karena atasan akan menganggap kamu sekadar numpang nama di suatu proyek dan tidak memperhatikan kualitas dirimu sesungguhnya.

Baca juga: Riset di Aceh: Trauma Perundungan dari SD Terbawa hingga Dewasa

  1. Membombardir dengan pekerjaan

Seperti disebutkan MS, dirinya sempat disuruh-suruh melakukan hal yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Ibarat Nobita yang sering dijadikan kacung oleh Giant dan Suneo, ini juga situasi perundungan yang mesti kita sadari. Tak berarti senior atau atasan itu bisa sewenang-wenang membebani kita dengan pekerjaan di luar kesepakatan awal. 

  1. Mengancam

Dalam beberapa kasus, ada pegawai yang diancam tidak akan naik jabatan bila tidak melayani atasannya. Ada juga yang oleh koleganya diancam akan dilaporkan perbuatan buruknya yang tidak diketahui atasan bila ia tidak mau mengikuti kemauan si kolega. Hal ini penting disadari sebagai bagian dari perundungan dan harus disikapi dengan tegas. Saat pegawai merasa tidak aman, ia akan kesulitan bekerja dengan optimal dan ujungnya ia dan perusahaanlah yang merugi. 

  1.  Prank dan plonco

Sebagian orang merasa hal ini tidak bermasalah, tetapi sebenarnya prank dan plonco, terlebih yang sudah merendahkan seperti disuruh memakan hal yang sama sekali tidak pantas adalah hal serius yang tidak bisa ditoleransi. Apa pun alasannya, entah “tradisi”, sekadar bercanda, atau bagian dari usaha membuat pegawai baru jadi tahan banting, tidak ada yang mengeluarkan tindakan ini dari kategori perundungan.   

Apa yang Bisa Kita Lakukan?  

Dalam situs Australian Human Rights Commision, disebutkan beberapa hal yang bisa kita lakukan saat menjadi korban perundungan di tempat kerja. Di antaranya adalah mengecek apakah di kantor ada kebijakan khusus terkait perundungan, mendokumentasikan tiap peristiwa perundungan yang kita alami, dan mencoba menceritakan hal tersebut kepada orang-orang di tempat kerja, entah rekan yang dipercaya atau atasan supaya ada tindakan terhadap pelaku. 

Akan tetapi, mengadukan masalah ke atasan atau rekan kerja bisa menjadi pedang bermata dua juga. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa dianggap sebagai upaya seseorang untuk menyabotase rekan kerjanya yang disebut sebagai pelaku. Seperti halnya dalam kasus kekerasan seksual, korban perundungan juga sering tidak dipercaya atau dianggap lebay, apalagi bila mereka berbicara tanpa membawa bukti. 

Jika situasinya demikian, jalan lain yang dapat ditempuh adalah mengadukan kasus ke layanan advokasi di luar perusahaan yang peduli isu kekerasan dan hak asasi manusia. Harapannya, layanan ini dapat membantu kita bila nanti kita memilih memproses secara hukum, mencari pendampingan psikologis, atau fasilitas perlindungan saksi dan korban.

Baca Juga: Stop Bullying: Langkah-langkah Cegah di Tempat Kerja

Selain mengadukan masalah ini, jalan lain yang bisa ditempuh adalah menghadapi langsung perundung. Memang tidak semua orang bisa melakukannya, tetapi hal ini perlu dilakukan supaya perundung tahu tindakannya itu salah dan merugikan kita. Ini juga kita lakukan untuk menunjukkan kita bukanlah orang pasif yang bisa selamanya ditindas sesuka hati perundung. 

Untuk yang ragu melakukan ini, ada strategi yang bisa kita lakukan. Dilansir Healthline, saat hendak mengonfrontasi perundung, kita bisa melibatkan saksi yang terpercaya seperti kolega atau supervisor. Mintalah perundung untuk berhenti menyakiti setenang mungkin, secara langsung dan sopan. Tentu kita tidak mau berlaku sama buruknya dengan perundung dengan balas mencaci maki atau melukainya secara fisik saat konfrontasi, bukan? 

Seiring dengan upaya-upaya itu, kita, dengan mengumpulkan kekuatan dukungan dari rekan-rekan kerja yang lain, juga bisa mendorong pihak perusahaan untuk membuat kebijakan atau standard operational procedure (SOP) terkait perundungan di kantor. Hal ini memuat bentuk-bentuk perundungan di tempat kerja dan sanksi apa yang menanti jika orang melakukannya. Tanpa adanya kebijakan tertulis, besar kemungkinan perundungan kembali terjadi dan dinormalisasi.

Read More
Perempuan Bekerja dalam Islam

Proper Child Care Boosts Women’s Participation in The Workforce

On March 8 each year, trade unions and women’s rights organisations mark International Women’s Day by calling for policies and legislation that better support working women. Such calls relate to wage equality, maternity leave and early child care programmes.

But these demands tend to overlook the needs of some of the most vulnerable: the millions of poor working women in cities in developing countries who are forced to take their kids with them to work or miss out on better paid opportunities because they’re caring for young children.

Some women take up work out of their homes – from stitching clothes to making snacks to sell at a market – to take care of their children. The earnings may be lower than in formal employment, but they have no other option as both decent work opportunities and quality child care services are rare in poor urban areas.

Also read: Housewives vs Working Mom: Enough with the Arguing!

Across 31 developing countries, less than one percent of women living in poverty have access to a child care service.

Low-cost and unregulated child care services may exist, but are often still too expensive for women informal workers. Public child care services may not be available in informal settlements or poor urban areas. City plans don’t set aside enough designated spaces for child care centres either near workers’ homes or their places of work.

Ultimately, women informal workers earn even less when they have young children in their care. A new report by UN Women has found that, across 89 countries, women are 22 percent more likely than men to live in extreme poverty during their prime reproductive years (ages 25 – 34). Women are also less likely to receive a pension or will have lower benefit levels than men.

Adequate and quality childcare is not just a critical need for the children involved. It also determines women’s participation in the labour force and the type of work they can take on.

A coherent policy response is needed to bring together women informal workers and their organisations with municipal authorities, urban planners, early childhood development experts and relevant national ministries. There is no doubt that quality public child care services are expensive to set up and run. Yet the returns on investment are great.

In South Africa, for instance, UN Women estimates that a gross annual investment of 3,2 percent of Gross Domestic Product into child care services would extend universal coverage to all 0-5-year olds. It would also create 2,3 million new jobs and raise female employment rates by 10 percent. These new jobs would generate new tax and social security revenue of up to USD$3,8 million. These gains offset some of the costs to the state and can reduce inequalities brought on by spatial, class, gender and racial or ethnic segregation.

Women Workers Demanding Change

Women are now calling for change. Informal workers organisations in collaboration with trade unions representing formal sector workers are organising a global campaign for quality public child care services.

Home-based workers, domestic workers, street vendors, market traders and waste pickers are engaging municipalities and governments from Lima to Bangkok, calling attention to their child care needs. They’re also organising to find their own solutions when the state does not listen.

In India the Self-Employed Women’s Association, a trade union representing close to 2 million women informal workers, runs a child care cooperative for its members in Ahmadabad. The Market Traders Association in Accra, Ghana manage a child care centre in a major market for traders, street vendors and others who have to bring their children to work.

However, all of these child care services also require support from a country’s government to be sustainable and remain accessible to the working poor.

We conducted a study on these issues for Women in Informal Employment: Globalizing and Organising (WIEGO), a global research-policy-action network focused on securing livelihoods for the working poor in the informal economy.

One Brazilian waste picker said, “Without day care, I can’t work. When there is no day care, I don’t work.”

Some child care centres in poorer areas may be affordable, but manage this only by not employing enough staff. A street vendor from South Africa told us:

The caregiver had too many children to look after…I used to receive calls notifying me that my child is sitting alone outside our home. The child had left the care facility without the caregiver’s awareness.

Also read: Can Women Have It All? Working and Mothering in Jakarta

Child Care for A Brighter Future

Of course, the provision of quality public child care services is no silver bullet. But it is urgently needed: a quarter of the world’s urban population – close to 1 billion people – lives in slums today without access to basic services and social security.

The number of urban dwellers is expected to double in South Asia and sub-Saharan Africa over the next two decades; more and more people will seek homes in slums and informal settlements. Quality public child care services guarantee a better and healthier future for children in these areas and elsewhere, and the many women who work and care for them.

One street trader we interviewed in Accra, Ghana, had managed to enrol her son in pre-school while she continued to work, secure in the knowledge that he was cared for. She knew just how valuable this was, saying, “I take my child to the school to get a bright future – I don’t want him to be like me.”

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Laura Alfers is Post-doctoral Fellow at the Neil Aggett Labour Studies Unit, Rhodes University.

Read More

Lessons Learned from Running a Media Company During the Pandemic

When Indonesia’s first COVID-19 patients came to light in March 2020, Magdalene, the independent media company that I co-founded in 2013 had just recently celebrated moving into our new office. It is a 60sqm space split into two stories in a quiet shop/office building in the middle of an apartment complex. Though centrally located in the capital, we got the rent for cheap – even after significant renovation and furnishing – as the building has seen stagnating occupancy over the past few years. 

Yet, we were excited. It was our first real office after spending a year in a high-rise co-working place in a commercial district, where we rented an 8-desk space that we soon outgrew. Our team was growing; we needed more desks, unlimited hours of meeting room, lots of cabinet for storage, and just a place that we can call our own. Plus, the rent of the co-working space was about to go up by 60 percent in the second year.

Merely two weeks into working at our new office space, however, it became clear that the world was under some sort of attack that necessitated us to work remotely, at least temporarily. It wasn’t a hard decision for both my co-founder and then Managing Editor Hera Diani and me. Still, never in my wildest imagination did I ever envision more than half of the world would be stuck at home for the next year or longer. 

The temporariness of our situation marked our first week working remotely, like those rare occasions many years back in my previous office life when we were told to work from home because Jakarta had been inundated by floods. Like those happy snow days when school got canceled back when I was living in the northern climes. 

Of course, it didn’t take long before we realized the seriousness of the situation. The news were terrible; what we didn’t know or weren’t sure of scared us more than what we knew. Supermarket shelves were emptied of basic supplies with people hoarding like the zombie apocalypse had just arrived. For the life of me, I couldn’t find medical masks and disinfectant and had to order some from online stores (our first masks were made of a suffocating piece of unbreathable synthetic fabric that was enough to make me decide to not venture outside if I had to wear it again). 

Also read: Our Lives as Start-up Editors

Worse than the panic, though, was the sense of displacement – whether physically (like a couple of our staff who moved out of their boarding house to join their friends or relatives) or in a metaphorical sense. How did the world come to this? The things we had always taken for granted, like visiting our loved ones or sitting at a café suddenly became unattainable. 

On week two, we conducted an online townhall meeting for our then 11-strong team, checking on how everyone was doing, whether they had stocked on masks, disinfectant, food and others. I was prepared to send them the necessities while they were cooped up at home. 

We were lucky because we do not cover daily news, so none of our reporters had to go out to the field to report on the development of the pandemic. But we still had to reflect on the important issues or events of the day through a gendered lens. So, we focused on how the pandemic was impacting women, children and minority groups, and other issues that might not receive a lot of attention by the mainstream media. 

We discovered that the pandemic has affected women differently, one of them being an increased exposure to domestic violence and online gender-based violence. This led us to launch our Safe Space channel with the support of Splice Lights On from Facebook Journalism Project and Splice Media. 

Last year also marked the start of our 1.5 year-long Women Lead program, which is supported by Investing in Women, an initiative of the Australian Government. I was worried at first. To launch a program that focuses on women leadership, women workers, and workplace gender equality seemed ill-timed when most people were struggling with the effect of the pandemic, whether financially, physically, or mentally. This concern has proven to be largely unfounded, however. 

We quickly learned the long-term effect of working remotely – and particularly from home – that blurs the line separating the professional and personal parts of our life. Some of our staff were suffering from mental problems like anxiety and depression—at the least signs of burnout. 

Nor was I, myself, immune to mental issues. Like so many media companies, ours were facing cashflow problems as the economy was badly affected by the pandemic. With our planned revenue-generating projects being shelved, we hustled for business, pitching to would-be partners and clients left and right – often to no avail, adding to the stress I was increasingly feeling. All these while I was still mourning for my mom, who had passed away in July last year two months after suffering from a stroke. It was one of the hardest periods in my life. 

Towards the end of 2020 things started to look up, as our hard work began to yield results. And this continued into this year when we secured a few more contracts and grants that enabled us to grow our team even more.

The pandemic has also given me a lot of opportunities to learn, particularly as a media entrepreneur. As the pandemic moved nearly all activities online, there were several workshops and trainings offered by international organizations on various topics for leaders of media organizations and newsrooms, and I have learned a lot from them. Some of them were conducted by organizations that have supported us, such as the Media Investment Development Fund and International Media Services.

I’d like to share here the four most important things I’ve learned as a leader of a small media outfit over this past year: 

  1. Moments of crisis will make any issue, even small ones, bigger. Acting fast is a must but also use the opportunity to harvest some lessons. In March and April last year, as we were struggling with the early days of the pandemic, Magdalene came under a lot of attacks online, after our content became the center of a controversy. This eventually led to vicious attacks on our system that for days caused our website to be down for hours. We finally managed to overcome this problem, but we’ve also learned precious lessons on public messaging, online safety, and protecting the mental health of our staff. We also learned the need to develop a thick skin, because it is impossible to make everyone happy.

  2. Remote working can weaken team connection and their sense of belonging to the organization. In the long run this not only threatens team’s dynamics, but also affects their productivity and quality of work. After the COVID-19 positive cases began to go down earlier this year, we started to return to the office again, albeit in reduced number. But the emergence of the Delta variant that led to even stricter social distancing policies sent us back to remote working again a month later. In our regular meeting, it is important to check in on the team members and to motivate them from time to time to show them they are in your thoughts.

  3. As our business took a hit, we also used the opportunity to do some reflection. Last year, we did a series of internal discussions and workshops on our identity and our mission, which resulted in a “mini rebranding” of Magdalene. In a democratic process that involved everyone, we delved into how our readers perceived us and valued us to remind us again of the service we provide to our readers. This, in turn, informs our editorial, community and business strategies.

     
  4. Be quick to adapt. It’s much easier for small businesses like ours than for large ones to be adaptive and to quickly pivot when the situation calls for it. Some of our innovations over the past year were the results of this quick thinking and pivoting. We realized early on, for example, the need to balance people’s needs for important information (such as pandemic-related information) and for a sort of antidote of the “pandemic-fatigue” by offering more service articles or leisure content such as pop culture.

“Keep the people you work with as the center of your focus,” an editor-in-chief of a European media organization said in one of the media discussions I attended last year. This is central to me as a team leader and a small, independent media entrepreneur. When we started Magdalene, we made a conscious decision to have gender equality and intersectional feminist values guide all aspects of our companies, from editorial, business to operations. Taking care of our people is part and parcel of this. 

But taking care of ourselves is just as important. In our good intention to be a fair, conscientious, and compassionate leader, we may forget that we, too, are human. Too often we only realize this when we find ourselves saddled with health or personal issues after months slogging through the depth of company’s financial pressure, human resources problems, or operational challenges. 

This reminds me of a comment made by an editor-in-chief of an India-based media company that leaders need to constantly talk to each other too. Otherwise, he continued, “Who is going to console the consolers?” 

Read More
Atlet Paralimpiade

Nasib Atlet Paralimpiade Dianaktirikan oleh Publik dan Media

Leani Ratri Oktila dan Khalimatus Sadiyah, atlet paralimpiade baru saja mencetak sejarah bagi Indonesia usai memborong emas Paralimpiade Tokyo 2020. Pada laga final yang digelar di Yoyogi National Stadium, (4/9), keduanya membungkam jagoan asal Tiongkok Cheng Hefang dan Ma HuiHui dengan dua set langsung. Medali emas yang mereka dapatkan sendiri adalah kado pertama untuk Indonesia sejak Paralimpiade Arnhem 1980 di Belanda. Sebuah kemenangan yang akhirnya kita dapatkan kembali setelah puasa selama empat dekade. 

Sayangnya, di tengah gemilangnya prestasi atlet paralimpiade, apresiasi dari publik dan media masih terbilang minim. Buktinya, kemenangan atlet paralimpiade ini bahkan tidak masuk dalam jajaran atas trending Twitter di Indonesia. Berbeda ketika kemenangan Greysia dan Apriani sebelumnya, yang bertengger di trending topic dunia.

Banyak sekali para pengusaha kaya, influencer, pengurus klub, dan para pejabat ikut mengapresiasi prestasi Greysia dan Apriani. Hadiah pun meluncur untuk keduanya. Tak tanggung-tanggung, sejumlah politisi tak tahu malu juga meresponsnya dengan memasang wajah atlet perempuan itu, bersebelahan dengan potret narsis masing-masing. Sebelas dua belas, media pun juga memberitakan kemenangan kedua perempuan ini dengan luar biasa meriah. Pada (3/8) saja misalnya, koran Kompas mempersembahkan satu halaman penuh untuk foto Greysia-Apriyani dengan judul dicetak besar:  “Terima Kasih Greysia/Apriyani”. Kita tentu tak bisa menemukan itu di koran yang sama, usai kemenangan kemenangan Leani/ Khalimatus.

Dalam wawancaranya bersama Kumparan saat bersiap bertanding di 2018 Asian Para Games, Leani sendiri mengungkapkan bagaimana publikasi terhadap atlet-atlet difabel masih dirasa kurang. Leani bahkan mengatakan ada rasa iri yang timbul ketika melihat publikasi atlet normal.

“Publikasi untuk atlet Para Games, kita masih kadang merasa ngiri sama-sama atlet yang di Asian Games. Padahal kita sama”, tuturnya.

Leani menambahkan, betapa minimnya pemberitaan mengenai atlet-atlet difabel, berpengaruh pada pengakuan prestasi mereka di depan publik. Hal ini terlihat dari masih asingnya ia di mata masyarakat daerahnya sendiri, Riau. Tidak jarang bahkan ia diajak ngobrol oleh orang lain yang tidak menyadari bahwa yang ia ajak bicara adalah atlet difabel pembawa emas untuk Indonesia.

Baca juga:  Profil Ni Nengah Widiasih yang Raih Medali Pertama di Paralimpiade Tokyo 2020

Jurnalis Tak Menganggapnya Isu Seksi

Dalam sebuah penelitian An Analysis of the Dissimilar Coverage of the 2002 Olympics and Paralympics: Frenzied Pack Journalism versus the Empty Press Room (2003) yang diterbitkan oleh Disability Studies Quarterly, Anne V. Golden dari Universitas Brigham Young, disebutkan alasan minimnya pemberitaan mengenai paralimpiade. 

Selama Olimpiade ada 9.000 reporter terakreditasi yang meliput 2.399 atlet, dengan rasio 3,75 reporter untuk setiap atlet. Angka ini belum termasuk ribuan reporter yang tidak terakreditasi yang juga datang untuk meliput kompetisi Olimpiade. Selama Paralympic Games, daftar akreditasi berisi 700 nama reporter, fotografer, staf berita televisi, dan teknisi terkait dengan 421 atlet Paralimpiade dengan rasio 1,66 reporter untuk setiap atlet. Dari sedikitnya jumlah reporter yang dikerahkan inilah, Golden kemudian melakukan wawancara mendalam. Dalam wawancaranya bersama 20 reporter, beberapa memvalidasi paralimpiade sebagai kompetisi, tetapi mengaku takkan meliputnya karena faktor penonton.

Pertimbangan nilai berita menurut mereka penting. Topik kemenangan atlet di Olimpiade misalnya lebih memenuhi nilai berita, utamanya di aspek kedekatan (proximity), keunggulan (prominence), dan dampak (impact). Tidak sedikit dari mereka menyatakan para atlet difabel ini “tidak menarik” untuk diliput karena tidak ada yang mengetahui mereka siapa, pun mereka bukanlah selebriti yang layak diangkat beritanya.  

Hal ini pun sejalan dengan temuan penelitian Framing the Paralympic Games: A Mixed-Methods Analysis of Spanish Media Coverage of the Beijing 2008 and London 2012 Paralympic Games (2018) oleh Josep Solves, Athanasios Pappous, Inmaculada Rius, Geoffery Zain Kohe. Penelitian mereka menemukan bagaimana proses editorial sangat berpengaruh dalam liputan berita seputar paralimpiade dengan pandangan editorial yang masih kurang inklusif. Melalui wawancara dengan 15 reporter, semua reporter menjelaskan bagaimana mereka menyarankan topik mengenai pemberitaan paralimpiade dan angle pemberitaan kepada manajer senior di pusat editorial mereka. Namun, pada akhirnya para manajer senior inilah yang memutuskan berita apa yang sebaiknya dipublikasikan.

Baca juga:  Stigma dan Fasilitas Tak Memadai Hambat Pekerja dengan Disabilitas

Kurangnya pemberitaan juga karena adanya anggapan paralimpiade bukan merupakan kompetisi sungguhan. Dua orang reporter Amerika dalam penelitian Golden misalnya mengatakan, bagaimana Olimpiade dan Paralimpiade adalah dua hal yang berbeda dengan level yang berbeda pula. Sehingga, menurut mereka sudah seharusnya Paralimpiade tidak mendapatkan porsi sama dalam pemberitaan. Beberapa reporter bahkan membandingkan Paralimpiade dengan WNBA (Women’s National Basketball Association) dan berbicara tentang keduanya sebagai olahraga yang tidak populer dan berisi pemain amatiran.

Diliput Tetapi Masih Memasang Stereotip

Dalam Paralympics and Its Athletes Through the Lens of the New York Times (2012), Tyndal  dan Gregor Wolbring mengungkapkan bagaimana pemberitaan seputar paralimpiade dan atlet difabel masih sangat lekat dengan stereotip yang sebenarnya meminggirkan mereka, yaitu superscrip.

Narasi ini membingkai atlet difabel sebagai masalah individu yang harus “diatasi” seseorang untuk mencapai kesuksesan. Atlet difabel digembar-gemborkan sebagai “pahlawan super” karena mereka mampu “mengatasi” kecacatan mereka untuk berpartisipasi dalam Paralimpiade. Media sering menggunakan kata “berpartisipasi” bukan “bersaing” ketika menggambarkan Paralimpiade.

Baca juga:Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Oleh karena itu, media seringkali menyajikan acara olahraga disabilitas sebagai cerita human-interest alih-alih kompetisi olahraga tingkat elit. Cerita human-interest menggambarkan disabilitas sebagai tragedi pribadi yang terjadi pada individu secara acak dan mengharuskan mereka untuk beradaptasi. Narasinya menekankan pada bagaimana atlet mengerahkan upaya “manusia super” untuk berhasil melampaui kekurangan dan mereka pantas mendapatkan belas kasihan kita. Selain itu narasi ini juga berkutat pada usaha mereka untuk beradaptasi di tengah keterbatasan.

Erin Pearson, mahasiswa PhD dan Laura Misener Associate Professor And Director, School of Kinesiology, Universitas Western mengungkapkan dalam artikel mereka di The Conversation, bagaimana merayakan atlet paralimpiade dengan narasi “mengatasi” kecacatan mereka untuk “berpartisipasi” dalam olahraga, daripada merayakannya sebagai atlet berkinerja tinggi sebenarnya merendahkan kinerja atletik mereka. Jenis narasi ini mengabadikan gagasan, setiap individu difabel dapat mengatasi kekurangannya jika mereka berusaha cukup keras. Hal ini tentu saja berdampak pada salah kaprah dalam penggambaran pengalaman atlet paralimpiade dan kehidupan sehari-hari orang-orang yang hidup dengan disabilitas yang sebenarnya berbeda.

Read More

Jumlah Perempuan yang Lebih Sedikit di Bidang Teknologi, Apa yang Menyebabkannya?

Sebagai ilmuwan sosial yang sudah berpengalaman menggelar riset psikologi tentang seks dan gender selama hampir 50 tahun, saya setuju bahwa bawaan biologis antar jenis kelamin mungkin merupakan sebagian alasan mengapa jumlah pekerja perempuan di bidang teknologi di Silicon Valley lebih sedikit dibanding laki-laki.

Namun, jalan yang menghubungkan bawaan biologis dan pekerjaan itu panjang dan berliku, sehingga relevansi dari penyebab non-biologis tidak bisa dikesampingkan. Berikut ini adalah apa yang diungkap oleh berbagai riset tentang ini.

Benarkah Perempuan Kurang Cocok Menggeluti Bidang Teknologi?

Tidak ada bukti sebab akibat langsung yang menunjukkan bawaan biologis menyebabkan kurangnya perempuan dalam pekerjaan teknologi. Namun banyak, bahkan sebagian besar psikolog, mempercayai gagasan umum bahwa tingkat hormon pada masa sebelum kelahiran dan awal pascakelahiran seperti testosteron dan androgen (keduanya terkait dengan jenis kelamin laki-laki) mempengaruhi psikologi manusia.

Pembatasan etis jelas menghalangi eksperimen pada janin manusia dan bayi untuk memahami efek dari paparan laki-laki yang lebih besar terhadap testosteron. Sebagai gantinya, peneliti mempelajari individu yang terpapar lingkungan hormonal yang abnormal karena kondisi genetik yang tidak biasa atau obat aktif hormonal yang diresepkan untuk perempuan hamil.

Studi-studi mengenai ini menunjukkan bahwa paparan hormon androgen di masa pembentukan memang memiliki efek maskulin terhadap preferensi dan perilaku bermain remaja putri, agresi, orientasi seksual dan identitas gender, kemungkinan juga pada kemampuan spasial serta tingkat respons terhadap informasi perilaku tertentu yang menurut budaya adalah sifat perempuan.

Studi lain menjawab pertanyaan bawaan alamiah versus pengasuhan dengan membandingkan perilaku anak laki-laki dan perempuan usia dini yang masih belum terpengaruh oleh tatanan sosial.

Tanda-tanda perbedaan berdasar jenis kelamin muncul di awal, terutama  pada dimensi temperamen. Salah satu dimensi tersebut adalah apa yang oleh psikolog disebut “surgency”. Ini lebih kelihatan di anak laki-laki dan bermanifestasi dalam aktivitas motorik, sikap impulsif, dan kecenderungan mencari kesenangan dari aktivitas dengan intensitas tinggi.

Dimensi lainnya adalah dalam apa yang kita sebut “effortful control” atau kendali penuh upaya, yang lebih tampak di anak perempuan dan muncul dalam bentuk kemampuan mengatur diri, kemampuan konsentrasi yang lebih lama, juga kemampuan untuk fokus dan bergeser fokus, serta menahan diri dari hal-hal yang merugikan diri sendiri. Aspek temperamen ini juga mencakup kepekaan dan pengalaman persepsi yang lebih baik dari melakukan aktivitas berintensitas rendah.

Penelitian tentang temperamen ini menunjukkan bahwa alam menanamkan beberapa perbedaan jenis kelamin secara psikologis. Namun, para ilmuwan tidak sepenuhnya memahami jalur dari aspek temperamen anak menuju kepribadian dan kemampuan orang dewasa.

Adakah Perbedaan Gender Terkait Sifat-sifat yang Menyangkut Teknologi?

Pendekatan lain berkait isu perempuan di bidang teknologi melibatkan perbandingan jenis kelamin dengan sifat-sifat yang dianggap paling relevan dengan partisipasi di bidang teknologi. Dalam kasus ini, tidak masalah apakah sifat-sifat ini bawaan atau terbentuk dari pengasuhan. Yang paling lazim disebut termasuk kemampuan matematis dan spasial.

Di Amerika Serikat, dahulu kemampuan matematis rata-rata anak laki-laki cenderung lebih tinggi, tapi sekarang tidak lagi. Dahulu juga jumlah anak laki-laki lebih banyak dalam hal meraih skor tertinggi di tes matematika yang sulit, tetapi jumlah ini telah menurun.

Namun, laki-laki cenderung memperoleh nilai lebih tinggi pada sebagian besar tes kemampuan spasial, terutama tes yang secara mental memutar objek tiga dimensi, dan keterampilan ini tampaknya penting di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika).

Tentu saja orang memilih pekerjaan berdasarkan minat dan kemampuan mereka. Jadi, perbedaan jenis kelamin yang besar terkait minat yang berorientasi pada orang versus berorientasi pada benda patut dipertimbangkan.

Penelitian menunjukkan bahwa, secara umum, perempuan lebih tertarik pada orang dibandingkan dengan laki-laki, yang lebih tertarik pada benda. Sepanjang pekerjaan teknologi lebih berkenaan dengan benda ketimbang orang, maka laki-laki rata-rata akan lebih tertarik kepada pekerjaan itu.

Baca juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Misalnya, posisi seperti insinyur sistem komputer dan arsitek jaringan dan basis data memerlukan pengetahuan luas tentang elektronik, matematika, prinsip perekayasaan, dan sistem telekomunikasi. Untuk berprestasi dalam pekerjaan semacam itu tidak membutuhkan kualitas seperti kepekaan sosial dan kecerdasan emosional seperti pekerjaan di, misalnya, bidang pendidikan anak usia dini dan pemasaran barang ritel.

Perempuan dan laki-laki juga cenderung berbeda dalam hal tujuan hidup. Perempuan menempatkan prioritas lebih tinggi untuk bekerja dengan dan membantu orang lain. Pekerjaan di STEM pada umumnya dipandang tidak menyediakan banyak kesempatan untuk memuaskan tujuan hidup ini.

Namun, teknologi memang menawarkan spesialisasi yang memprioritaskan tujuan sosial dan komunitas (seperti merancang sistem perawatan kesehatan) atau menghargai keterampilan sosial (misalnya, mengoptimalkan interaksi orang dengan mesin dan informasi). Posisi seperti itu mungkin rata-rata relatif menarik bagi perempuan. Secara umum, perempuan mempunyai kemampuan lebih dalam membaca, menulis, serta keterampilan sosial. Ini akan menguntungkan mereka dalam banyak pekerjaan.

Hampir semua perbedaan jenis kelamin tumpang tindih antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, meski perbedaan jenis kelamin cukup besar dalam hal tinggi badan rata-rata, beberapa perempuan lebih tinggi dari kebanyakan laki-laki dan beberapa laki-laki lebih pendek daripada kebanyakan perempuan.

Meski perbedaan psikologis berdasar jenis kelamin secara statistik lebih kecil daripada perbedaan tinggi ini, beberapa perbedaan yang paling relevan dengan teknologi cukup penting, terutama minat terhadap orang versus minat terhadap benda dan kemampuan spasial dalam hal rotasi mental.

Jika Bukan Biologi, Lalu Apa Penyebabnya?

Mengingat tidak adanya bukti yang jelas bahwa kemampuan dan minat yang berkaitan dengan teknologi terutama berasal dari biologi, ada banyak ruang untuk mempertimbangkan pola pergaulan dan stereotip gender.

Manusia dilahirkan belum berkembang, maka orang tua dan orang lain mengajarkan berbagai kode-kode sosial yang umumnya dimaksudkan untuk membentuk kepribadian dan keterampilan yang mereka pikir akan membantu keturunan mereka menjalani hidup mereka di masa depan.

Pengasuh cenderung mempromosikan kegiatan dan minat khas jenis kelamin tertentu kepada anak-anak—boneka untuk anak perempuan, truk mainan untuk anak laki-laki. Sosialisasi konvensional dapat membuat anak-anak mengambil pilihan karier konvensional.

Bahkan, anak-anak yang masih kecil pun membentuk stereotip gender karena mereka mengamati perempuan dan laki-laki yang memberlakukan pembagian kerja di masyarakat mereka. Mereka secara otomatis belajar tentang gender  dari apa yang orang dewasa lakukan di rumah dan di tempat kerja.

Baca juga: Kania Suciati dan Mimpi Inklusivitas Perempuan di Dunia STEM

Akhirnya, untuk menjelaskan perbedaan yang mereka lihat pada apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan dan bagaimana mereka melakukannya, anak-anak menarik kesimpulan bahwa jenis kelamin sampai batas tertentu memiliki sifat dasar yang berbeda. Adanya pembagian kerja mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki atribut yang berbeda.

Stereotip gender biasanya mencakup keyakinan bahwa perempuan lebih hangat dan perhatian pada orang lain, yang oleh psikolog disebut komunal. Stereotip juga menunjukkan bahwa laki-laki memiliki lebih bersifat tegas dan dominan, yang oleh psikolog disebut agen. Stereotip ini dibagi dalam budaya dan membentuk identitas gender individu serta norma masyarakat tentang perilaku perempuan dan laki-laki yang cocok.

Stereotip gender menyediakan tempat bagi prasangka dan diskriminasi yang ditujukan kepada mereka yang menyimpang dari norma gender. Jika, misalnya, orang menerima stereotip bahwa perempuan bersikap hangat dan emosional namun tidak tangguh dan rasional, perekrut karyawan dapat menutup perempuan dari banyak pekerjaan teknologi dan perekayasaan, bahkan perempuan yang tidak khas jenis kelamin mereka.

Selain itu, perempuan di bidang teknologi yang berbakat mungkin goyah jika mereka sendiri menginternalisasi stereotip masyarakat tentang inferioritas perempuan dalam atribut yang cocok untuk teknologi. Juga, kecemasan perempuan bahwa mereka mengonfirmasi stereotip negatif ini dapat menurunkan kinerja aktual mereka.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa penelitian mengungkap bukti bahwa perempuan umumnya harus memenuhi standar yang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan dan pengakuan di bidang yang berbudaya maskulin dan didominasi laki-laki. Namun, ada beberapa bukti baru-baru ini bahwa perempuan lebih berpeluang direkrut di institusi penelitian bidang STEM di Amerika Serikat.

Perempuan berkualifikasi yang melamar posisi di sana lebih berpeluang untuk diwawancarai dan menerima tawaran daripada kandidat laki-laki. Simulasi eksperimental perekrutan fakultas STEM menghasilkan temuan serupa.

Mengapa Bukan Bawaan dan Pengasuhan?

Banyak pakar membuat kesalahan dengan mengasumsikan bahwa bukti ilmiah yang mendukung penyebab sosial budaya bagi kelangkaan perempuan di bidang teknologi membuat penyebab biologis tidak valid, atau sebaliknya. Asumsi ini terlalu sederhana karena perilaku manusia yang paling kompleks mencerminkan beberapa campuran bakat bawaan dan pengasuhan.

Dan wacana tersebut selanjutnya dikompromikan karena debat menjadi lebih dipolitisasi. Berdebat untuk alasan sosiokultural tampaknya sikap yang lebih progresif dan benar secara politis saat ini. Berdebat untuk penyebab biologis tampak seperti posisi yang lebih konservatif dan reaksioner. Terlibat dalam perang ideologis malah akan mengalihkan perhatian dari memikirkan perubahan apa dalam praktik dan budaya organisasi yang akan mendorong masuknya perempuan di bidang teknologi  dan tenaga kerja ilmiah pada umumnya.

Baca juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM

Mempolitisasi perdebatan semacam itu mengancam kemajuan ilmiah dan tidak membantu mengungkap apakah sebuah organisasi adil dan beragam dan bagaimana mendorongnya agar demikian. Sayangnya, maksud baik organisasi untuk mempromosikan keragaman dan inklusi tidak efektif, sering kali karena terlalu memaksakan dan membatasi otonomi manajer.

Bagaimanapun, baik sains yang berorientasi bawaan atau pengasuhan tidak dapat sepenuhnya menjelaskan jumlah perempuan yang lebih sedikit dalam pekerjaan teknologi. Sikap yang koheren dan berpikiran terbuka bisa menerima kemungkinan baik pengaruh biologis maupun sosial terhadap minat dan kompetensi karier.

Terlepas dari apakah bakat atau pengasuhan lebih kuat untuk menjelaskan kurangnya jumlah perempuan di bidang teknologi, orang harus waspada terhadap tindakan berdasarkan asumsi biner gender. Lebih masuk akal untuk memperlakukan individu dari kedua jenis kelamin dengan memosisikan mereka pada rentang kemampuan maskulin dan feminin yang luas dan beragam.

Memperlakukan orang sebagai individu dan bukan sekadar stereotip mereka sebagai laki-laki atau perempuan itu sulit, mengingat penilaian stereotip otomatis muncul di diri kita. Tapi bekerja menuju tujuan ini akan mendorong kesetaraan dan keragaman di bidang teknologi dan sektor ekonomi lainnya.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Alice H. Eagly adalah profesor Psikologi, Faculty Fellow Institute for Policy Research dan profesor Manajemen dan Organisasi, Northwestern University.

Read More

Perempuan itu Harus…

Baca cerita sebelumnya di sini.

Ketika perempuan memilih bekerja di luar rumah
perempuan memilih bekerja dan suami dukung
perempuan memilih bekerja di kantor
seorang perempuan yang memilih bekerja

Kembali lagi dengan serial cerita Indah. Kali ini, Indah lagi kumpul keluarga. Selayaknya om dan tante yang kadang suka nyebelin nanya “kapan nikah”, “kapan lulus”, atau “kapan punya anak”, saudara-saudara Indah juga mulai nyinyir karena melihat Indah contoh perempuan yang memilih bekerja dan harus ke kantor. Sementara, suaminya di rumah menjaga anak karena bisa work from home.

Beruntungnya Indah punya suami yang suportif, sehingga ia tidak merasa keberatan saat orang memandang sebelah mata dirinya yang lebih banyak di rumah.

Situasi seperti Indah mungkin juga dialami oleh banyak orang di luar sana. Ketika perempuan memilih bekerja di luar rumah, ia akan diberi beragam pesan tentang bagaimana sebaiknya menjadi “perempuan yang baik”. Padahal, tidak ada yang salah jika seorang ibu ingin menjalani kariernya selama itu hal yang ia inginkan, dan dibicarakan dengan pasangan.

Read More

‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang

Sayaka Osakabe, 37 mengenang pengalaman pahitnya jadi korban kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Dalam wawancaranya dengan Reuters, 11 September 2014, perempuan Jepang itu mengaku mengalami keguguran tetapi terpaksa kembali bekerja sebagai tenaga kehumasan salah satu majalah dengan jam lembur tiap hari. Ia berharap atasannya meringankan beban kerjanya agar ia tidak akan keguguran lagi, tetapi si bos cuma menyarankan Osakabe untuk tidak perlu punya bayi selama dua hingga tiga tahun lagi.

Ketika akhirnya ia betulan hamil kedua kalinya dan bermaksud mengambil cuti, si bos bertandang ke rumah. Ternyata kedatangan atasannya ke rumah adalah untuk mendorong Osakabe mengundurkan diri dengan dalih ketidakhadirannya “menyebabkan masalah” di perusahaan. 

Apa yang dialami oleh Osakabe adalah fenomena gunung es dari problem diskriminasi gender dalam dunia kerja Jepang. Mengacu pada laporan Global Gender Gap 2021 yang disusun World Economic Forum, Jepang duduk di peringkat ke-120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan gender. Sejak 2006, mereka turun 40 peringkat. Di sektor swasta, jumlah manajer perempuan naik 7,8% pada 2019, tapi itu masih jauh dari target 30%, yang tenggatnya diam-diam diperpanjang pemerintah Jepang hingga 2030. Di bidang politik, jumlah anggota legislatif perempuan hanya 9,9% dari total anggota di majelis rendah Parlemen. Persentase itu menempatkan Jepang di peringkat ke-166 dari 193 negara. 

Baca juga:  Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja

Matahara, Kekerasan Perempuan Pekerja Jepang

Salah satu kegagalan pemerintah Jepang dalam menghapus diskriminasi gender tampak dari fenomena sosial matahara (マタハラ). Dikutip dari laman matahara.net, itu gabungan dari kata Bahasa Inggris “maternity” dan “harassment“. Matahara mengacu pada perlakuan tidak adil terhadap pekerja perempuan yang tengah hamil, melahirkan, dan pascamelahirkan. Penyebabnya paling sering karena ada kecemburuan dari para pekerja lain yang terpaksa menggantikan peran perempuan selama ia cuti hamil dan atau melahirkan.

Menurut hasil survei yang dirilis oleh Konfederasi Serikat Buruh Jepang pada 2015, satu dari setiap lima (20,9%) perempuan pekerja di Jepang pernah mengalami matahara. Dengan kata lain, matahara adalah kekerasan gender yang rentan dialami perempuan manapun di tempat kerja.

Matahara mewujud dalam beberapa jenis tindakan, seperti perundungan, pelecehan kuasa (power harrasment), dan merumahkan paksa. Dalam perundungan, kalimat seperti “Kamu menyebabkan banyak masalah,” “Kamu sangat beruntung bisa ambil cuti,” dan “Kamu egois,” adalah yang paling jamak digunakan.

Matahara juga dilakukan oleh atasan perempuan pekerja melalui power harassment. Dengan otoritas di kantor, para atasan merasa mereka berhak mengontrol tubuh perempuan, termasuk meminta mereka menggugurkan kandungan atau tidak memberikan kelonggaran pekerjaan. Dalihnya, setiap orang harus bekerja semaksimal mungkin untuk perusahaan, tak peduli bagaimanapun kondisinya.

Jenis matahara terakhir berupa merumahkan pekerja secara paksa tanpa persetujuan mereka. Matahara.net mencatat, dari 170 keluhan yang muncul di Jepang sepanjang  2015, mayoritas adalah jenis matahara ini. 

Baca juga:  Jepang Belum Jadi Tempat Aman untuk Perempuan

Peran Gender Tradisional Jadi Dalang

Salah satu akar masalah matahara berasal dari peran gender tradisional yang masih menghantui masyarakat Jepang. Dalam artikel akademik Japanese Gender Role Expectations and Attitudes (2019) yang ditulis Melanie Belarmino dan Melinda R.Roberts dari Universitas Bridgewater State dinyatakan, pondasi pembagian peran masyarakat Jepang didasarkan oleh ide dari ajaran konfusianisme yang menempatkan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan istri sebagai peran utama hidup mereka.

Dari sinilah kemudian muncul istilah ryousai kenbo 賢母良妻 atau istri yang baik dan ibu yang bijak. Ryousai kenbo yang diciptakan oleh Nakamura Masanao pada 1875, mewakili peran ideal perempuan yang pengaruhnya berlanjut hingga hari ini. Melalui ryousai kenbo , perempuan diharapkan menguasai keterampilan domestik, seperti menjahit, memasak, serta mengembangkan keterampilan moral dan intelektual untuk membesarkan anak-anak yang kuat dan cerdas demi bangsa.

Kumiko Fujimura-Fanselow, profesor pendidikan dan studi perempuan dari Toyo Eiwa dalam The Japanese Ideology of ‘Good Wives and Wise Mother (1991) menjelaskan, selama Perang Dunia II, ryousai kenbo diajarkan untuk mempromosikan kebijakan negara yang konservatif, nasionalistik, dan militeristik guna membantu mengembangkan ekonomi kapitalistik.

Dari akhir 1890-an hingga akhir Perang Dunia II, ryousai kenbo jadi semakin lazim ditemukan di media massa dan sekolah-sekolah putri negeri dan swasta tingkat yang lebih tinggi. Masyarakat Jepang pun hingga sekarang menginternalisasi peran gender tradisional ini dengan pusat pembagian peran domestik perempuan dan peran publik laki-laki. Artinya, begitu seorang perempuan hamil atau memiliki anak, dia diharapkan meninggalkan pekerjaannya, tinggal di rumah, dan mendahulukan keluarganya. 

Baca juga: Serba Salah Jadi Ibu Pekerja Hari Ini

Laki-laki Rentan Alami Kekerasan Serupa

Matahara sebenarnya tak hanya berdampak pada perempuan, tapi juga pada laki-laki. Adalah patahara (パタハ) atau paternity harrasement, diskriminasi atas peran domestik yang dipilih bapak pekerja saat memutuskan ambil cuti paternal.

Glen Wood, warga negara asing yang bekerja di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities dalam Tokyo Weekender misalnya, menceritakan pengalamannya mengalami patahara. Ia secara bertahap didemosi kemudian dipecat dari pekerjaannya sebagai manajer ekuitas setelah meminta cuti paternal. Dilucuti dari tanggung jawab manajerial dan dipaksa untuk melakukan tugas-tugas kasar, situasi ini pun mempengaruhi kesehatannya. Setelah mengambil cuti sakit, perusahaan menawarkan kontrak baru dengan penurunan gaji yang signifikan yang ia tolak. Setelah gajinya dihentikan, Wood berbicara kepada pers tapi justru dipecat.

Dari contoh ini, kita perlu awas bahwa hegemoni peran gender tradisional ini tak mengenal jenis kelamin, meskipun perempuan paling rentan. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan di Jepang tidak akan segan mendiskriminasi atau memecat karyawannya secara sepihak atas dalih efektivitas kinerja perusahaan.

Read More

Yang Muda Yang Menopang

Baca cerita sebelumnya di sini.

Sandwich Generation sekarang ini sudah sering di bahas
kategori traditional sandwich generation berusia 40-50 tahun
komik tentang Sandwich Generation

Sebagian dari kita mungkin banyak yang menjadi sandwich generation, atau berada dalam posisi yang harus menghidupi keluarga kecil kita dan juga menghidupi orang tua. Karena beban berlapis ini, ada beberapa hal yang akhirnya kita korbankan untuk kesenangan diri kita sendiri demi kebahagiaan keluarga dan orang tua kita.

Ketika kamu merasa lelah dengan situasi ini, tidak apa-apa loh untuk bercerita dengan pasanganmu seperti yang dilakukan oleh Indah dan pasangannya. Jangan lupa juga untuk memberikan waktu jeda untuk memikirkan dirimu sendiri dan beristirahat.

Tapi apakah kamu sudah tahu tentang sandwich generation? dikutip dari raizinvest.id sekarang istilah ini memang melekat ke kaum millennial, apa lagi mereka yang sudah menikah dan punya anak. Yuk kita coba bahas lebih mendalam, apakah kamu salah satunya?

Istilah sandwich generation pertama kali muncul pada tahun 1981 yang diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller , seorang professor di Universitas Kentucky, Amerika Serikat. Mereka yang masuk dalam generasi sandwich adalah mereka yang punya tanggung jawab untuk membiayai anak serta orang tuanya. Yang mengakibatkan, generasi ini menjadi mudah stress karena keadaan terjepit yang mereka alami, dan stress ini dapat memberikan efek buruk buat keluarga serta lingkungan sosialnya.

Ada tiga jenis sandwich generation:

Generasi sandwich tradisional


Traditional sandwich generation ada di rentang umur 40 sampai 50 tahun. Mereka ini harus masih menanggung anaknya secara finansial. Tetapi di sisi lain mereka juga harus menanggung serta mengurus orangtua mereka yang sudah lanjut usia.

Generasi club sandwich


Mereka yang termasuk generasi ini berada di umur 50 sampai dengan 60 tahun, dan mereka masih punya beban secara finansial untuk mengurus orang tua mereka yang sudah lanjut usia serta anak mereka yang sudah dewasa, bahkan sampai ke cucu.

Buat yang sudah berumur 30 sampai 40 tahun juga bisa masuk ke kategori ini dan sudah menikah serta sudah punya anak, tetapi harus mengurus orangtua serta kakek-nenek mereka.

Open-faced sandwich generation


Open-faced sandwich generation adalah orang-orang yang bekerja merawat lansia. Sekarang ini diperkirakan ada 25% orang yang mengalami fase ini dalam hidupnya.

Read More
Ni Nengah Widiasih menerima mendali

Profil Ni Nengah Widiasih yang Raih Medali Pertama di Paralimpiade Tokyo 2020

Atlet Indonesia kembali berjaya di ajang olahraga tingkat internasional. Kali ini, nama Ni Nengah Widiasih, atlet disabilitas perempuan Indonesia yang berhasil menyabet medali perak di Paralimpiade Tokyo 2020, cabang olahraga Para Powerlifting kelas Women’s 41 kg dengan angkatan 98 kg pada (26/8). Angkatan terbaik itu berhasil Widi dapat pada percobaan terakhir atau ketiga, setelah berhasil menyelesaikan angkatan 96 kg pada kesempatan pertama, dan gagal menyelesaikan angkatan 98 kg pada percobaan kedua. Lewat pencapaian ini, Widi berhasil memperbaiki peringkatnya di Paralimpiade 2016 di Brazil, di mana ia berhasil meraih medali perunggu.

Ini bukan kali pertama perempuan asal Bali itu meraih prestasi gemilang dalam bidang olahraga. Banyak medali dari berbagai ajang olahraga telah berhasil diraihnya, dari medali emas di ajang Asian Para Games 2011 di Indonesia, medali emas di ASEAN Para Games 2015 di Singapura dan ASEAN Para Games 2017 di Malaysia, medali emas di World Para Powerlifting World Cup 2021 di Bangkok, dan masih banyak lagi.

Perjuangan Widi di Paralimpiade Tokyo 2020 sebenarnya tidak mulus. Pernyataan wasit yang menyebutnya gagal pada percobaan kedua dengan angkatan 98 kg nyaris bertentangan dengan kenyataan. Dia dinilai mampu mengangkat beban 98 kg-nya dengan baik, hanya saja itu tidak mulus dan membuatnya didiskualifikasi. Widi dan pelatihnya merasa tidak puas hingga sempat berniat mempertanyakan keputusan tersebut. Namun, akhirnya mereka mengurungkan niat dan baru akan protes jika angkatan ketiganya dinyatakan gagal juga.

Baca juga: Perempuan Indonesia Catat Sejarah, Emas buat Apriyani-Greysia

Setelah semua atlet menyelesaikan angkatan kedua, Widi menduduki peringkat ketiga dan hanya berpeluang meraih medali perunggu. Sementara itu, posisi kedua ditempati oleh atlet asal Venezuela, Monasterio Fuentes dengan angkatan 97 kg. Ni Nengah Widiasih tak menyerah, hingga ia berhasil menyelesaikan angkatan ketiga 98 kg dengan sempurna. Namun, tak lama setelah angkatannya selesai, wasit kembali mendiskualifikasi angkatannya karena dinilai tidak mulus. Hal itu membuat pelatih Widi langsung menghampiri wasit dan mempertanyakan keputusannya.

“Pelatih langsung meminta untuk tayangan ulang angkatan saya diputar ulang dan melihat apa kesalahan saya. Setelah melihat video review, akhirnya dewan wasit menyatakan angkatan saya mulus dan tangan saya tidak miring, sehingga dewan wasit mengesahkan angkatan saya,” ujar Widi. 

Kemudian, Fuentes yang hanya unggul satu kilogram darinya gagal melakukan angkatan ketiganya seberat 99 kg. Hala itu membuat posisi Ni Nengah Widiasih terdongkrak naik ke posisi kedua. Widi pun berhasil meraih medali perak, sementara Fuentes medali perunggu. Dari sini, jalan Widi untuk meraih medali perak terbuka lebar setelah Fuentes gagal melakukan angkatan ketiga seberat 99 kg. Hasil buruk Fuentes otomatis mendongkrak posisi Widi naik ke urutan kedua. Widi meraih perak, sedangkan Fuentes mendapatkan perunggu.

Perjalanan Widi menjadi atlet yang berhasil berkecimpung di ajang-ajang olahraga dunia tidak mudah. Pada 2012 lalu, Widi ingin bisa berlaga di Paralimpiade London. Sebagai ajang latihan, ia ingin bisa berlaga di Kejuaraan Dunia di Dubai. Namun, Widi mengalami keterbatasan dana, sehingga itu membuatnya harus bekerja ekstra keras mencari pihak sponsor yang mau mendanainya. Untunglah, tiga minggu menjelang penutupan pendaftaran, Widi dan Komite Paralimpik Nasional Indonesia (NPC Indonesia) berhasil mengumpulkan sponsor yang mau mendanainya. Tak sia-sia, usaha Widi berbuah manis. Ia berhasil membawa perunggu pada kejuaraan dunia tersebut.

Baca juga: Sepak Bola Perempuan Semakin Diminati, Namun Disparitas Tetap Ada

Ni Nengah Widiasih Sempat Mengalami Krisis Kepercayaan Diri karena Disabilitas

Widi sudah beraktivitas di kursi roda sejak usianya masih tiga tahun. Ia didiagnosis mengidap polio yang membuat ukuran kakinya kecil sehingga tak bisa berjalan atau beraktivitas normal dengan kakinya. Hal itu sempat membuat Widi kehilangan kepercayaan diri. Terlebih, sewaktu kecil, dia hanya bisa melihat teman-temannya bermain, tapi tak bisa ikut bermain. Suatu ketika, Widi kecil pulang ke rumah sambil menangis ke pelukan orang tuanya. 

“Waktu kelas satu atau dua SD, aku lupa. Saat itu pulang sekolah, aku menangis dan memeluk kedua orang tuaku. Aku tanya sama ayah, kenapa aku berbeda? Kenapa kakiku tidak bisa berfungsi selayaknya anak-anak, sih? Kenapa kakiku kecil? Kenapa aku enggak bisa jalan, enggak bisa berdiri?” ujar Widi dalam sebuah wawancara.

Hati orang tua Widi pilu. Setiap hari, keduanya selalu memberikan dukungan dan kekuatan untuk meyakinkan Widi bahwa perbedaan fisiknya bukanlah penghambat atau penentu keberhasilan.

“Ayahku pernah bilang, ‘Kamu tidak berbeda, kamu spesial. Mungkin, saat ini kamu belum mengerti dan memahami apa yang terjadi denganmu, dengan kakimu. Tapi, saat kamu dewasa, kamu akan mengerti dengan baik’,” ujarnya. 

Widi pun mulai menemukan ketertarikannya di bidang olahraga pada waktu duduk di bangku sekolah dasar (SD). Saat itu, Widi pernah iseng-iseng ikut perlombaan olahraga balap atletik. Widi lalu mulai mengikuti beberapa perlombaan seperti Pekan Olahraga Pelajar Cacat (Popcat) dan Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN). 

Baca juga: Berlapis Tekanan, Kesehatan Mental Atlet Diabaikan

Di tengah perjalanan, Ni Nengah Widiasih yang dikelilingi orang-orang yang menekuni olahraga angkat besi, terutama kakaknya, banting setir dan mulai menekuni cabang olahraga tersebut. Ketika mengikuti sebuah perlombaan, tak disangka, Widi berhasil mendapat juara, hingga meraih medali emas pertamanya di Kejuaraan Nasional tahun 2006.

Pada tahun 2007, Widi ditarik untuk mengikuti pelatnas di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia bersiap untuk mengikuti ASEAN Para Games di Thailand. Di ajang tersebut, Widi berhasil membawa pulang perunggu. 

“Tentunya, menjadi atlet angkat berat ini bukan sesuatu yang mudah. Tapi dengan menjadi atlet angkat berat ini saya menjadi perempuan yang kuat. Dulu, saya tidak mengetahui apa yang saya akan lakukan dengan kondisi saya yang saya kira mengurangi kapabilitas saya. Tapi dengan menjadi atlet, kelemahan yang dalam diri saya dapat menjadi kekuatan. Karena untuk menjadi atlet angkat berat membutuhkan energi yang luar biasa,” ujar Widi. 

Dalam pidato kemenangannya pada Paralimpiade Tokyo 2020, Widi juga menyampaikan harapan agar pemerintah tidak membedakan penghargaan bagi atlet dengan disabilitas dan atlet non-disabilitas. 

“Atlet disabilitas juga selalu bekerja keras dan berlatih dalam waktu yang sangat lama,” kata Widi.

Dalam ajang Paralimpiade Tokyo yang berlangsung sejak (22/8) sampai dengan (5/9), Indonesia mengirimkan 23 atlet dengan disabilitas. NPC Indonesia menargetkan kontingen Indonesia dapat membawa pulang satu medali emas.

Read More