‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang

Sayaka Osakabe, 37 mengenang pengalaman pahitnya jadi korban kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Dalam wawancaranya dengan Reuters, 11 September 2014, perempuan Jepang itu mengaku mengalami keguguran tetapi terpaksa kembali bekerja sebagai tenaga kehumasan salah satu majalah dengan jam lembur tiap hari. Ia berharap atasannya meringankan beban kerjanya agar ia tidak akan keguguran lagi, tetapi si bos cuma menyarankan Osakabe untuk tidak perlu punya bayi selama dua hingga tiga tahun lagi.

Ketika akhirnya ia betulan hamil kedua kalinya dan bermaksud mengambil cuti, si bos bertandang ke rumah. Ternyata kedatangan atasannya ke rumah adalah untuk mendorong Osakabe mengundurkan diri dengan dalih ketidakhadirannya “menyebabkan masalah” di perusahaan. 

Apa yang dialami oleh Osakabe adalah fenomena gunung es dari problem diskriminasi gender dalam dunia kerja Jepang. Mengacu pada laporan Global Gender Gap 2021 yang disusun World Economic Forum, Jepang duduk di peringkat ke-120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan gender. Sejak 2006, mereka turun 40 peringkat. Di sektor swasta, jumlah manajer perempuan naik 7,8% pada 2019, tapi itu masih jauh dari target 30%, yang tenggatnya diam-diam diperpanjang pemerintah Jepang hingga 2030. Di bidang politik, jumlah anggota legislatif perempuan hanya 9,9% dari total anggota di majelis rendah Parlemen. Persentase itu menempatkan Jepang di peringkat ke-166 dari 193 negara. 

Baca juga:  Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja

Matahara, Kekerasan Perempuan Pekerja Jepang

Salah satu kegagalan pemerintah Jepang dalam menghapus diskriminasi gender tampak dari fenomena sosial matahara (マタハラ). Dikutip dari laman matahara.net, itu gabungan dari kata Bahasa Inggris “maternity” dan “harassment“. Matahara mengacu pada perlakuan tidak adil terhadap pekerja perempuan yang tengah hamil, melahirkan, dan pascamelahirkan. Penyebabnya paling sering karena ada kecemburuan dari para pekerja lain yang terpaksa menggantikan peran perempuan selama ia cuti hamil dan atau melahirkan.

Menurut hasil survei yang dirilis oleh Konfederasi Serikat Buruh Jepang pada 2015, satu dari setiap lima (20,9%) perempuan pekerja di Jepang pernah mengalami matahara. Dengan kata lain, matahara adalah kekerasan gender yang rentan dialami perempuan manapun di tempat kerja.

Matahara mewujud dalam beberapa jenis tindakan, seperti perundungan, pelecehan kuasa (power harrasment), dan merumahkan paksa. Dalam perundungan, kalimat seperti “Kamu menyebabkan banyak masalah,” “Kamu sangat beruntung bisa ambil cuti,” dan “Kamu egois,” adalah yang paling jamak digunakan.

Matahara juga dilakukan oleh atasan perempuan pekerja melalui power harassment. Dengan otoritas di kantor, para atasan merasa mereka berhak mengontrol tubuh perempuan, termasuk meminta mereka menggugurkan kandungan atau tidak memberikan kelonggaran pekerjaan. Dalihnya, setiap orang harus bekerja semaksimal mungkin untuk perusahaan, tak peduli bagaimanapun kondisinya.

Jenis matahara terakhir berupa merumahkan pekerja secara paksa tanpa persetujuan mereka. Matahara.net mencatat, dari 170 keluhan yang muncul di Jepang sepanjang  2015, mayoritas adalah jenis matahara ini. 

Baca juga:  Jepang Belum Jadi Tempat Aman untuk Perempuan

Peran Gender Tradisional Jadi Dalang

Salah satu akar masalah matahara berasal dari peran gender tradisional yang masih menghantui masyarakat Jepang. Dalam artikel akademik Japanese Gender Role Expectations and Attitudes (2019) yang ditulis Melanie Belarmino dan Melinda R.Roberts dari Universitas Bridgewater State dinyatakan, pondasi pembagian peran masyarakat Jepang didasarkan oleh ide dari ajaran konfusianisme yang menempatkan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan istri sebagai peran utama hidup mereka.

Dari sinilah kemudian muncul istilah ryousai kenbo 賢母良妻 atau istri yang baik dan ibu yang bijak. Ryousai kenbo yang diciptakan oleh Nakamura Masanao pada 1875, mewakili peran ideal perempuan yang pengaruhnya berlanjut hingga hari ini. Melalui ryousai kenbo , perempuan diharapkan menguasai keterampilan domestik, seperti menjahit, memasak, serta mengembangkan keterampilan moral dan intelektual untuk membesarkan anak-anak yang kuat dan cerdas demi bangsa.

Kumiko Fujimura-Fanselow, profesor pendidikan dan studi perempuan dari Toyo Eiwa dalam The Japanese Ideology of ‘Good Wives and Wise Mother (1991) menjelaskan, selama Perang Dunia II, ryousai kenbo diajarkan untuk mempromosikan kebijakan negara yang konservatif, nasionalistik, dan militeristik guna membantu mengembangkan ekonomi kapitalistik.

Dari akhir 1890-an hingga akhir Perang Dunia II, ryousai kenbo jadi semakin lazim ditemukan di media massa dan sekolah-sekolah putri negeri dan swasta tingkat yang lebih tinggi. Masyarakat Jepang pun hingga sekarang menginternalisasi peran gender tradisional ini dengan pusat pembagian peran domestik perempuan dan peran publik laki-laki. Artinya, begitu seorang perempuan hamil atau memiliki anak, dia diharapkan meninggalkan pekerjaannya, tinggal di rumah, dan mendahulukan keluarganya. 

Baca juga: Serba Salah Jadi Ibu Pekerja Hari Ini

Laki-laki Rentan Alami Kekerasan Serupa

Matahara sebenarnya tak hanya berdampak pada perempuan, tapi juga pada laki-laki. Adalah patahara (パタハ) atau paternity harrasement, diskriminasi atas peran domestik yang dipilih bapak pekerja saat memutuskan ambil cuti paternal.

Glen Wood, warga negara asing yang bekerja di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities dalam Tokyo Weekender misalnya, menceritakan pengalamannya mengalami patahara. Ia secara bertahap didemosi kemudian dipecat dari pekerjaannya sebagai manajer ekuitas setelah meminta cuti paternal. Dilucuti dari tanggung jawab manajerial dan dipaksa untuk melakukan tugas-tugas kasar, situasi ini pun mempengaruhi kesehatannya. Setelah mengambil cuti sakit, perusahaan menawarkan kontrak baru dengan penurunan gaji yang signifikan yang ia tolak. Setelah gajinya dihentikan, Wood berbicara kepada pers tapi justru dipecat.

Dari contoh ini, kita perlu awas bahwa hegemoni peran gender tradisional ini tak mengenal jenis kelamin, meskipun perempuan paling rentan. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan di Jepang tidak akan segan mendiskriminasi atau memecat karyawannya secara sepihak atas dalih efektivitas kinerja perusahaan.

Read More

Yang Muda Yang Menopang

Baca cerita sebelumnya di sini.

Sandwich Generation sekarang ini sudah sering di bahas
kategori traditional sandwich generation berusia 40-50 tahun
komik tentang Sandwich Generation

Sebagian dari kita mungkin banyak yang menjadi sandwich generation, atau berada dalam posisi yang harus menghidupi keluarga kecil kita dan juga menghidupi orang tua. Karena beban berlapis ini, ada beberapa hal yang akhirnya kita korbankan untuk kesenangan diri kita sendiri demi kebahagiaan keluarga dan orang tua kita.

Ketika kamu merasa lelah dengan situasi ini, tidak apa-apa loh untuk bercerita dengan pasanganmu seperti yang dilakukan oleh Indah dan pasangannya. Jangan lupa juga untuk memberikan waktu jeda untuk memikirkan dirimu sendiri dan beristirahat.

Tapi apakah kamu sudah tahu tentang sandwich generation? dikutip dari raizinvest.id sekarang istilah ini memang melekat ke kaum millennial, apa lagi mereka yang sudah menikah dan punya anak. Yuk kita coba bahas lebih mendalam, apakah kamu salah satunya?

Istilah sandwich generation pertama kali muncul pada tahun 1981 yang diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller , seorang professor di Universitas Kentucky, Amerika Serikat. Mereka yang masuk dalam generasi sandwich adalah mereka yang punya tanggung jawab untuk membiayai anak serta orang tuanya. Yang mengakibatkan, generasi ini menjadi mudah stress karena keadaan terjepit yang mereka alami, dan stress ini dapat memberikan efek buruk buat keluarga serta lingkungan sosialnya.

Ada tiga jenis sandwich generation:

Generasi sandwich tradisional


Traditional sandwich generation ada di rentang umur 40 sampai 50 tahun. Mereka ini harus masih menanggung anaknya secara finansial. Tetapi di sisi lain mereka juga harus menanggung serta mengurus orangtua mereka yang sudah lanjut usia.

Generasi club sandwich


Mereka yang termasuk generasi ini berada di umur 50 sampai dengan 60 tahun, dan mereka masih punya beban secara finansial untuk mengurus orang tua mereka yang sudah lanjut usia serta anak mereka yang sudah dewasa, bahkan sampai ke cucu.

Buat yang sudah berumur 30 sampai 40 tahun juga bisa masuk ke kategori ini dan sudah menikah serta sudah punya anak, tetapi harus mengurus orangtua serta kakek-nenek mereka.

Open-faced sandwich generation


Open-faced sandwich generation adalah orang-orang yang bekerja merawat lansia. Sekarang ini diperkirakan ada 25% orang yang mengalami fase ini dalam hidupnya.

Read More
Ni Nengah Widiasih menerima mendali

Profil Ni Nengah Widiasih yang Raih Medali Pertama di Paralimpiade Tokyo 2020

Atlet Indonesia kembali berjaya di ajang olahraga tingkat internasional. Kali ini, nama Ni Nengah Widiasih, atlet disabilitas perempuan Indonesia yang berhasil menyabet medali perak di Paralimpiade Tokyo 2020, cabang olahraga Para Powerlifting kelas Women’s 41 kg dengan angkatan 98 kg pada (26/8). Angkatan terbaik itu berhasil Widi dapat pada percobaan terakhir atau ketiga, setelah berhasil menyelesaikan angkatan 96 kg pada kesempatan pertama, dan gagal menyelesaikan angkatan 98 kg pada percobaan kedua. Lewat pencapaian ini, Widi berhasil memperbaiki peringkatnya di Paralimpiade 2016 di Brazil, di mana ia berhasil meraih medali perunggu.

Ini bukan kali pertama perempuan asal Bali itu meraih prestasi gemilang dalam bidang olahraga. Banyak medali dari berbagai ajang olahraga telah berhasil diraihnya, dari medali emas di ajang Asian Para Games 2011 di Indonesia, medali emas di ASEAN Para Games 2015 di Singapura dan ASEAN Para Games 2017 di Malaysia, medali emas di World Para Powerlifting World Cup 2021 di Bangkok, dan masih banyak lagi.

Perjuangan Widi di Paralimpiade Tokyo 2020 sebenarnya tidak mulus. Pernyataan wasit yang menyebutnya gagal pada percobaan kedua dengan angkatan 98 kg nyaris bertentangan dengan kenyataan. Dia dinilai mampu mengangkat beban 98 kg-nya dengan baik, hanya saja itu tidak mulus dan membuatnya didiskualifikasi. Widi dan pelatihnya merasa tidak puas hingga sempat berniat mempertanyakan keputusan tersebut. Namun, akhirnya mereka mengurungkan niat dan baru akan protes jika angkatan ketiganya dinyatakan gagal juga.

Baca juga: Perempuan Indonesia Catat Sejarah, Emas buat Apriyani-Greysia

Setelah semua atlet menyelesaikan angkatan kedua, Widi menduduki peringkat ketiga dan hanya berpeluang meraih medali perunggu. Sementara itu, posisi kedua ditempati oleh atlet asal Venezuela, Monasterio Fuentes dengan angkatan 97 kg. Ni Nengah Widiasih tak menyerah, hingga ia berhasil menyelesaikan angkatan ketiga 98 kg dengan sempurna. Namun, tak lama setelah angkatannya selesai, wasit kembali mendiskualifikasi angkatannya karena dinilai tidak mulus. Hal itu membuat pelatih Widi langsung menghampiri wasit dan mempertanyakan keputusannya.

“Pelatih langsung meminta untuk tayangan ulang angkatan saya diputar ulang dan melihat apa kesalahan saya. Setelah melihat video review, akhirnya dewan wasit menyatakan angkatan saya mulus dan tangan saya tidak miring, sehingga dewan wasit mengesahkan angkatan saya,” ujar Widi. 

Kemudian, Fuentes yang hanya unggul satu kilogram darinya gagal melakukan angkatan ketiganya seberat 99 kg. Hala itu membuat posisi Ni Nengah Widiasih terdongkrak naik ke posisi kedua. Widi pun berhasil meraih medali perak, sementara Fuentes medali perunggu. Dari sini, jalan Widi untuk meraih medali perak terbuka lebar setelah Fuentes gagal melakukan angkatan ketiga seberat 99 kg. Hasil buruk Fuentes otomatis mendongkrak posisi Widi naik ke urutan kedua. Widi meraih perak, sedangkan Fuentes mendapatkan perunggu.

Perjalanan Widi menjadi atlet yang berhasil berkecimpung di ajang-ajang olahraga dunia tidak mudah. Pada 2012 lalu, Widi ingin bisa berlaga di Paralimpiade London. Sebagai ajang latihan, ia ingin bisa berlaga di Kejuaraan Dunia di Dubai. Namun, Widi mengalami keterbatasan dana, sehingga itu membuatnya harus bekerja ekstra keras mencari pihak sponsor yang mau mendanainya. Untunglah, tiga minggu menjelang penutupan pendaftaran, Widi dan Komite Paralimpik Nasional Indonesia (NPC Indonesia) berhasil mengumpulkan sponsor yang mau mendanainya. Tak sia-sia, usaha Widi berbuah manis. Ia berhasil membawa perunggu pada kejuaraan dunia tersebut.

Baca juga: Sepak Bola Perempuan Semakin Diminati, Namun Disparitas Tetap Ada

Ni Nengah Widiasih Sempat Mengalami Krisis Kepercayaan Diri karena Disabilitas

Widi sudah beraktivitas di kursi roda sejak usianya masih tiga tahun. Ia didiagnosis mengidap polio yang membuat ukuran kakinya kecil sehingga tak bisa berjalan atau beraktivitas normal dengan kakinya. Hal itu sempat membuat Widi kehilangan kepercayaan diri. Terlebih, sewaktu kecil, dia hanya bisa melihat teman-temannya bermain, tapi tak bisa ikut bermain. Suatu ketika, Widi kecil pulang ke rumah sambil menangis ke pelukan orang tuanya. 

“Waktu kelas satu atau dua SD, aku lupa. Saat itu pulang sekolah, aku menangis dan memeluk kedua orang tuaku. Aku tanya sama ayah, kenapa aku berbeda? Kenapa kakiku tidak bisa berfungsi selayaknya anak-anak, sih? Kenapa kakiku kecil? Kenapa aku enggak bisa jalan, enggak bisa berdiri?” ujar Widi dalam sebuah wawancara.

Hati orang tua Widi pilu. Setiap hari, keduanya selalu memberikan dukungan dan kekuatan untuk meyakinkan Widi bahwa perbedaan fisiknya bukanlah penghambat atau penentu keberhasilan.

“Ayahku pernah bilang, ‘Kamu tidak berbeda, kamu spesial. Mungkin, saat ini kamu belum mengerti dan memahami apa yang terjadi denganmu, dengan kakimu. Tapi, saat kamu dewasa, kamu akan mengerti dengan baik’,” ujarnya. 

Widi pun mulai menemukan ketertarikannya di bidang olahraga pada waktu duduk di bangku sekolah dasar (SD). Saat itu, Widi pernah iseng-iseng ikut perlombaan olahraga balap atletik. Widi lalu mulai mengikuti beberapa perlombaan seperti Pekan Olahraga Pelajar Cacat (Popcat) dan Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN). 

Baca juga: Berlapis Tekanan, Kesehatan Mental Atlet Diabaikan

Di tengah perjalanan, Ni Nengah Widiasih yang dikelilingi orang-orang yang menekuni olahraga angkat besi, terutama kakaknya, banting setir dan mulai menekuni cabang olahraga tersebut. Ketika mengikuti sebuah perlombaan, tak disangka, Widi berhasil mendapat juara, hingga meraih medali emas pertamanya di Kejuaraan Nasional tahun 2006.

Pada tahun 2007, Widi ditarik untuk mengikuti pelatnas di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia bersiap untuk mengikuti ASEAN Para Games di Thailand. Di ajang tersebut, Widi berhasil membawa pulang perunggu. 

“Tentunya, menjadi atlet angkat berat ini bukan sesuatu yang mudah. Tapi dengan menjadi atlet angkat berat ini saya menjadi perempuan yang kuat. Dulu, saya tidak mengetahui apa yang saya akan lakukan dengan kondisi saya yang saya kira mengurangi kapabilitas saya. Tapi dengan menjadi atlet, kelemahan yang dalam diri saya dapat menjadi kekuatan. Karena untuk menjadi atlet angkat berat membutuhkan energi yang luar biasa,” ujar Widi. 

Dalam pidato kemenangannya pada Paralimpiade Tokyo 2020, Widi juga menyampaikan harapan agar pemerintah tidak membedakan penghargaan bagi atlet dengan disabilitas dan atlet non-disabilitas. 

“Atlet disabilitas juga selalu bekerja keras dan berlatih dalam waktu yang sangat lama,” kata Widi.

Dalam ajang Paralimpiade Tokyo yang berlangsung sejak (22/8) sampai dengan (5/9), Indonesia mengirimkan 23 atlet dengan disabilitas. NPC Indonesia menargetkan kontingen Indonesia dapat membawa pulang satu medali emas.

Read More
Adelle Odelia Tanuri co founder rahasia gadis

Komunitas Rahasia Gadis Aktif Edukasi dan Dorong Perempuan Muda Jadi Berdaya

Freedom is the meaning of girls empowerment. Freedom from and freedom to. Perempuan bebas dari kecemasan, insecurity, dan segala bentuk perbudakan. Perempuan juga bebas untuk memimpin, menjalani, dan mencapai impian mereka,” ujar co-founder Komunitas Rahasia Gadis, Adelle Odelia Tanuri (24), dalam wawancara bersama Magdalene pada (25/8).

Mendefinisikan diri sebagai komunitas pemberdayaan perempuan muda yang memiliki empati, mempraktikkan self-love, dan mengapresiasi keberagaman, Rahasia Gadis mengawali perjalanannya pada 2014. Mereka secara aktif membagikan tips ringan seputar kebutuhan perempuan di Instagram.

Seiring berjalannya waktu, para co-founder Rahasia Gadis, Adelle dan Dhika Himawan (25), menyadari adanya kapabilitas untuk membentuk komunitas. Hal ini berawal dari para perempuan muda yang hampir setiap hari menceritakan permasalahannya lewat “Confession Room” di situsnya.

Baca Juga: Sebuah Usaha Mendobrak Stigma, Cerita 3 Komunitas

Oleh karena itu, mereka bertekad untuk mengembangkan dan mempererat komunitas perempuan muda di Indonesia lewat Instagram @rahasiagadis.

“I think this is more than an Instagram page. Kekuatan Rahasia Gadis lebih dari itu. Kami bisa membantu perempuan muda untuk lebih teredukasi dan memahami kekuatannya, serta harga diri mereka sebagai perempuan,” kata Dhika.

Strategi Rahasia Gadis dalam Memberdayakan Perempuan Muda

Dalam mencapai kebebasan sebagaimana didefinisikan oleh Adelle, perempuan muda di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan seperti melupakan harga diri, belum mengetahui haknya sebagai perempuan, dan terfokus pada keterbatasan sehingga belum mengenal kekuatannya. Dari situ, Rahasia Gadis berusaha mendorong pemberdayaan perempuan.

Salah satu caranya, tim Rahasia Gadis membagikan cerita hidup mereka untuk menginspirasi komunitasnya, meskipun mereka masih dalam proses membuka diri.

“Awalnya saya lebih suka di balik layar, then we realized the power of storytelling, baik itu menginspirasi orang lain maupun bikin perasaan kita lega. It’s such a struggle for us to share a story,” cerita Dhika.  Ia sendiri membutuhkan waktu satu setengah tahun untuk menceritakan pengalaman panic attack-nya lewat Instagram Rahasia Gadis.

Sementara menurut Adelle, membagikan ceritanya menjadi salah satu proses healing.

“Perjuangan dan kesulitan kita itu jadi sumber kekuatan orang lain, karena mereka merasa enggak sendirian ada di posisi yang sedang dialami,” tuturnya.

Baca Juga: Solidaritas Perempuan Bentuk Ekosistem Pendukung untuk Perempuan Pengusaha

Sebagai komunitas pemberdayaan perempuan muda yang mendorong anggotanya untuk mengembangkan potensi diri, Rahasia Gadis turut mengedukasi lewat konten interaktif di Instagram. Mereka memperkenalkan isu kekerasan seksual, kepemimpinan perempuan, self-love, dan arti menjadi seorang perempuan.

Dikutip dari Kompas.com, pada Maret lalu, dalam peluncuran kampanye virtual “Stand Up Against Street Harassment”, Hollaback! Jakarta menggagaskan metode 5D untuk membantu korban pelecehan seksual, baik bagi saksi maupun korban. Metode 5D yang dimaksud terdiri dari dialihkan, dilaporkan, dokumentasikan, ditegur, dan ditenangkan

Menurut Dhika, dalam metode 5D ini terdapat substansi yang belum dijelaskan di dalamnya.

“Di metode itu udah dipaparkan secara jelas tentang langkah-langkahnya, tapi ada sesuatu yang hilang, yaitu penjelasan tentang apa itu pelecehan seksual. How can we act against something when we don’t know what sexual harassment is?” ujarnya.

Lebih lanjut Dhika memaparkan, sampai saat ini masih banyak perempuan yang belum mengenal pelecehan seksual, consent, haknya sebagai individu di masyarakat, dan perlindungan hukum untuk mereka. 

“Ada banyak media dan key opinion leader yang angkat suara tentang pemberdayaan dan mengedukasi perempuan, tapi mereka belum mendefinisikan hak kita sebagai perempuan, dan itu jauh lebih penting sebelum mengajarkan mereka cara bertindak.”

Oleh karena itu, Rahasia Gadis mengedukasi mulai dari latar belakang suatu isu dan permasalahan untuk membantu pemahaman para perempuan muda.

“Dengan mengenal dasar-dasarnya, nantinya mereka bisa bertindak sendiri tanpa kita ajarkan,” sambungnya.

“There are still needs to be a lot of education in Indonesia. Dan, tidak hanya Rahasia Gadis yang berusaha, tapi semua pihak termasuk laki-laki, media, dan pemegang kebijakan.”

Disambut Antusiasme Tinggi Perempuan Muda 

Adelle percaya, Rahasia Gadis sebagai komunitas pemberdayaan perempuan muda bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk mendorong kemajuan anggotanya. Mereka juga menekankan pentingnya para perempuan muda yang sudah teredukasi dan berdaya untuk menjadi support system di lingkungannya. Maka itu, Rahasia Gadis mengusung gagasan “Dari Gadis Ke Gadis” sebagai kampanye mereka.

Untuk melatih kepemimpinan perempuan muda, Rahasia Gadis membentuk RG Club yang mendorong anggota komunitasnya untuk menjadi pemimpin, membangun relasi, dan saling mendukung dalam mengekspresikan diri. 

Terdapat beberapa tema RG Club yang dapat diusung setiap klub, seperti women’s health, love and relationship, mental health, skincare and beauty, dan content. Para club leaders pun menerima training setiap bulan untuk membangun klubnya.

Baca Juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

Rahasia Gadis memilih sistem klub untuk membangun komunitas virtual secara luas.  “Dari sini, baik leaders maupun anggota klubnya bisa saling belajar dan mendukung satu sama lain,” jelas Adelle.

Selain itu, terdapat program “Mission Power”, yakni training virtual dengan cakupan kemampuan, pengetahuan, cara menjaga kesehatan mental, dan membentuk batasan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Program ini digelar berdasarkan cerita perempuan muda yang kurang percaya diri atau insecure, dan mendapat tekanan dari luar.

Adelle menjelaskan, ada antusiasme tinggi dari perempuan muda untuk berpartisipasi dalam Mission Power. Ini terlihat dari jumlah partisipannya yang mencapai lebih dari 1000 orang. “Ini kan artinya mereka punya kebutuhan dan ketertarikan untuk jadi pemimpin,” katanya.

Dalam menyusun program-programnya, komunitas pemberdayaan perempuan muda ini selalu membuat kegiatan berdasarkan kebutuhan para perempuan muda yang diketahui lewat survei, focus group discussion, dan obrolan dengan anggota komunitasnya.

Sampai sekarang, jumlah anggota komunitas Rahasia Gadis mencapai puluhan ribu dan tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan para perempuan muda memiliki kesadaran dan keberanian untuk keluar dari zona nyamannya, merealisasikan cita-cita mereka, sekaligus mendukung sesama perempuan.“Ada perwakilan anggota kami di setiap provinsi, bahkan sampai Papua dan Nusa Tenggara Timur. Maka itu, kami percaya pada kekuatan komunitas dan kami punya value merayakan keberagaman. Walaupun berbeda latar belakang, semua bisa bergabung,” tutup Adelle.

Read More
perempuan pekerja sektor digital

Para Perempuan yang Tergilas Teknologi Digital

Pesatnya perkembangan teknologi meninggalkan jenis-jenis pekerjaan yang tidak lagi relevan. Hal ini berdampak bagi perempuan yang hingga saat ini menghadapi kesenjangan teknologi digital.

Dalam peluncuran dan diskusi publik Jurnal Perempuan berjudul “Perempuan Pekerja di Tengah Krisis dan Perubahan Teknologi” (24/8), dunia kerja mengalami perubahan drastis sejak pandemi COVID-19 pada Maret 2020, karena pekerjaan harus bertransformasi ke digital. Maka itu, perempuan dituntut memiliki kecakapan mengakses teknologi digital yang sifatnya seperti keberlangsungan hidup.

Pada diskusi tersebut, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita, menceritakan bagaimana trainer perempuan di perusahaannya harus beradaptasi dengan teknologi.

Trainer kami berusia 71 tahun. Akibat pandemi, seluruh aktivitas training beralih ke online, tapi beliau mau belajar menggunakan teknologi, bahkan media sosial untuk hal positif dan kreatif,” katanya.

Maya melihat kemampuan adaptasi itu sebagai penerapan sifat feminin perempuan secara natural.

Namun, tidak semua perempuan dapat beradaptasi mengikuti perubahan teknologi. Ada banyak pembatasan yang dibuat oleh lingkungan sosial, hanya karena seseorang berjenis kelamin perempuan.

Misalnya di industri Science Technology Engineering Math (STEM) yang minim mempekerjakan perempuan sebagai teknisi, karena pekerja laki-laki tidak tega jika perempuan melakukan pekerjaan berbahaya seperti memanjat tower. Niat baik tersebut justru salah satu musuh terbesar kesetaraan gender, karena “menghalangi” perempuan dengan alasan keamanan.

“Padahal, kalau tidak aman untuk perempuan, artinya juga tidak aman untuk laki-laki,” ucap Maya menanggapi peristiwa tersebut.

Baca Juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital

Keterampilan Perempuan Mengakses Teknologi Digital

Di era globalisasi, penting bagi setiap orang memiliki kemampuan mengakses teknologi, terlebih di masa pandemi karena sebagian besar fasilitas dan kebutuhan dapat dijangkau secara daring, mulai dari informasi kesehatan, transaksi perbankan, pembelian makanan dan obat-obatan, hingga sertifikat vaksin.

Namun, jumlah perempuan yang mengakses internet lebih sedikit ketimbang laki-laki. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 menunjukkan sejumlah 48,57 persen perempuan menggunakan internet, sementara laki-laki mendominasi dengan 51,43 persen.

Jika melihat Pulau Jawa dan kota-kota besar lainnya, mungkin kita mempertanyakan hasil survei tersebut, tetapi kita perlu memperhatikan perempuan yang menetap di desa atau kota-kota kecil. Ada pengaruh kondisi sosial ekonomi, letak geografis, kesenjangan upah, norma sosial, dan minimnya pengetahuan yang membatasi ruang gerak perempuan dalam mengakses teknologi digital.

Dalam budaya patriarki, kebanyakan perempuan berperan dalam mengurus pekerjaan domestik, sehingga sedikit yang mampu memanfaatkan teknologi. Menurut  Maya, ini pun terjadi dalam dunia usaha, ketika teknologi menjadi hal merepotkan karena rendahnya digital fluency—kemampuan menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara efektif dan efisienpada perempuan.

Mengutip situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, I Gusti Bintang Darmawati mengatakan, perempuan dapat diberdayakan dalam kewirausahaan berperspektif gender perempuan. Dari situ, akan ada peningkatan partisipasi perempuan dalam ekonomi dan potensi kewirausahaan perempuan yang mengimbangi kemampuannya menggunakan teknologi digital.

Akan tetapi, pemanfaatan teknologi digital pun masih sebatas media sosial, merujuk pada survei APJII pada 2017 yang menunjukkan persentase pengguna media sosial sejumlah 87,13 persen. Ditambah etika warganet Indonesia yang masih kurang, melihat hasil survei Microsoft tentang tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, ketika Indonesia menduduki posisi 29 dari 32 negara yang disurvei dalam laporan Digital Civility Index (DCI).

Padahal, penting bagi perempuan untuk melek teknologi dan berwawasan luas. Dengan demikian, perempuan dapat saling memberdayakan, menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas lewat pengasuhan anak, dan turut mengedukasi keluarga serta orang-orang di lingkungannya dalam mengoptimalkan penggunaan internet.

Baca Juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Work From Home Membawa Keuntungan bagi Perempuan Pekerja

Penerapan flexible working selama pandemiatau dikenal dengan work from home (WFH), memberikan keuntungan bagi perempuan karena dapat multitasking, mengingat adanya beban ganda yang dijalani, yaitu perannya sebagai pekerja sekaligus melakukan pekerjaan domestik.

IBCWE telah menerapkan sistem ini sejak 2017, meskipun tanggapan para pengusaha nasional sangat skeptis, karena mereka menilai seseorang melaksanakan pekerjaan, ketika melihat secara langsung. 

Walaupun demikian, berdasarkan survei cepat yang dilakukan oleh IBCWE pada 2020, terkait efektivitas pelaksanaan work from home. “Sebanyak 60 persen responden perempuan menilai bekerja dari rumah lebih efektif. Ini memudahkan mereka dalam mengurus berbagai keperluan,” ujar Maya, mengingat kini perempuan juga berperan sebagai guru ketika mendampingi anak-anaknya sekolah dari rumah.

Dari survei tersebut, kita melihat bagaimana perempuan sebetulnya terbiasa membagi pikirannya dan melakukan beberapa aktivitas dalam suatu waktu, misalnya menyempatkan diri di sela-sela rapat untuk memastikan anak-anaknya sudah makan siang dan mengerjakan tugas sekolah.

Baca Juga: Herstory: 6 Perempuan Pionir dalam Teknologi Komputer dan Internet

Sayangnya, tidak semua perempuan mampu bertahan berjuang menjalani tiga peran sekaligus; pekerja, mengurus keluarga, dan melakukan pekerjaan domestik. Apabila dilihat dari perspektif dunia usaha, banyak perempuan pekerja di bidang manufaktur justru mengundurkan diri. Mereka mengalami kesulitan dalam melakukan kewajibannya.

“Hampir lima ribu pekerja perempuan di salah satu anggota kami memilih resign,” tutur Maya. Ia menceritakan salah satu keluhan mereka ialah meminta pasangannya membantu anak saat sekolah di rumah, supaya sang ibu dapat tetap bekerja.

Selain itu, menurunnya kesehatan mental akibat jam bekerja yang tidak teratur dan cenderung bekerja lebih lama turut menjadi perhatian, lantaran mengaburkan batasan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Read More

Ketika Pekerjaan yang Kita Impikan Tak Sesuai dengan Harapan

Sebagian orang punya pekerjaan impian dan ketika mendapatkannya, ia mengira hal-hal baik akan terjadi sesuai harapannya. Namun, realitasnya tidak senantiasa demikian. Banyak hal tidak terduga terjadi yang membuat mereka memikirkan ulang apakah pekerjaan impiannya itu hendak diteruskan atau tidak.

Teman, konsultan karier, dan media membanjiri kita dengan rentetan nasihat yang terus-menerus mendukung kita untuk mengejar impian, menemukan kebahagiaan atas diri kita sendiri, atau mengejar passion kita dalam kehidupan profesional yang kelak ada. Namun, saran semacam ini tidak selalu mudah diikuti.

Bahkan ketika diperhatikan, saran itu bisa datang dengan kelemahan yang mengikutinya, terutama ketika ternyata pekerjaan tersebut melibatkan tugas rutin harian yang biasanya kurang disukai orang. Singkatnya, bekerja sering kali didefinisikan sebagai bekerja keras.

Contohnya, orang-orang yang mendapatkan pekerjaan di bidang ilmu data dan kecerdasan buatan berharap dapat menciptakan algoritme brilian yang akan memecahkan masalah besar. Namun, mereka malah menemukan pekerjaan tidak sesuai harapan karena mereka hanya untuk melakukan tugas-tugas menjenuhkan seperti pengumpulan dan pembersihan data kasar. Keinginan atas pekerjaan-pekerjaan di bidang teknologi kemudian meredup oleh hadirnya pekerjaan yang sulit dan membosankan yang sering kali berada di luar bidang minat utama pekerja.

Selain itu, tidak semua orang yang dipromosikan ke tingkat manajemen lebih tinggi antusias untuk melakukan tugas manajemen, atau bahkan melihat pekerjaan itu sebagai sebuah langkah maju.

Orang-orang meromantisasi berbagai pekerjaan di media, mode, film, seni rupa dan pertunjukan, serta industri budaya lainnya, tapi pekerjaan itu sering kali berakhir lebih membosankan daripada glamor. Pekerjaan apa pun, terutama di posisi pemula, memiliki unsur pekerjaan yang membosankan.

Pekerjaan Prestisius Tidak Selamanya Menyenangkan

Kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan yang ada atas pekerjaan harian ini adalah fenomena yang kami namai dalam studi yang baru-baru ini diterbitkan

sebagai “glossy work” alias pekerjaan polesan atau berkilau yang ternyata membosankan. Dalam studi ini, kami mewawancarai pemeriksa fakta untuk sebuah majalah di industri yang glamor dan ternyata, mereka hanya menjalankan tugas mendasar setiap harinya. Mereka mengalami semacam ketidaksesuaian antara status pekerjaan mereka dan kenyataan yang ada.

Pemeriksa fakta tersebut mengatakan,

“Karena kamu berafiliasi dengan majalah, orang-orang berpikir bahwa kamu adalah seorang dengan tipe pekerjaan yang megah, tidak peduli bagaimana kamu sebenarnya berafiliasi di dalamnya.”

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Kami mempelajari bagaimana fenomena ini mempengaruhi mereka.

Bagi para karyawan, ketidaksesuaian pekerjaan berkilau dapat memacu upaya untuk mengubah pekerjaan sebenarnya, menciptakan frustrasi, serta keinginan untuk cepat keluar dari posisi tersebut. Pekerjaan polesan juga menimbulkan dilema tentang bagaimana pekerja dapat menghadirkan karya dan diri mereka kepada dunia. Bagaimana mereka menyeimbangkan kebutuhan mereka untuk meningkatkan diri, untuk sepenuhnya dipahami, dan menjadi otentik?

Memoles Pekerjaan yang Membosankan dan Biasa Saja

Kami menemukan mereka melakukan hal ini dengan membedakan deskripsi pekerjaan mereka kepada audiens yang berbeda. Ketika berbicara dengan orang asing — orang-orang di pertemuan sosial, misalnya — mereka fokus pada aspek yang lebih glamor: Bekerja di jurnalisme dan untuk majalah yang masyhur.

Untuk penulis berstatus tinggi yang berkolaborasi dengan mereka, mereka fokus pada keahlian mereka sendiri dan pada berbagai faktor yang dapat meningkatkan status mereka. Sedangkan kepada orang dalam, mereka menyajikan pandangan yang lebih lengkap tentang pekerjaan mereka.

Menampilkan diri mereka secara berbeda – tergantung pada siapa mereka berbicara, dapat memberikan artian bahwa siapa pun yang bukan orang dalam di perusahaan akan berakhir dengan pandangan parsial atau bias tentang pekerjaan tersebut. Citra asli dari pekerjaan sering disamarkan, dan itu menjadi masalah bagi mereka yang sedang mempertimbangkan diri untuk mengajukan posisi pada pekerjaan ini.

Ketika mereka hanya mendengar tentang hal-hal yang megah, para calon karyawan akan berakhir dengan harapan palsu yang cenderung memicu siklus kekecewaan. 

Baca juga: Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya

Para karyawan yang berpotensi dapat menyiasati penyamaran informasi ini dengan melakukan penelitian yang lebih cermat tentang hal mendasar atas opsi pekerjaan yang sedang mereka pertimbangkan. Mereka harus mengajukan pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari dan berkonsultasi dengan berbagai orang yang saat ini memiliki pekerjaan serupa atau yang pernah memegang posisi tersebut sebelumnya.

Apa yang  Dapat Pemberi Kerja Lakukan

“Pekerjaan berkilau” juga menimbulkan kerugian bagi pemberi kerja karena mereka pun mencoba mengelola rasa frustrasi yang dialami para karyawannya dan menghadapi kasus pergantian staf. Mereka dapat menghentikan lingkaran setan ini dengan memberikan pratinjau pekerjaan yang realistis untuk menghindari karyawan berpikir mereka mendapat pekerjaan tidak sesuai harapan. Ini tidak berarti mereka dituntut untuk menunjukkan sisi negatif dari pekerjaan, tapi perlu kiranya bagi mereka untuk memberikan keseimbangan penjelasan yang jujur tentang aspek glamor dan kurang glamor dari sebuah pekerjaan.

Pemberi kerja juga bisa mempertimbangkan metode penghimpunan tugas yang dapat menjadikan pekerjaan-pekerjaan tidak-terlalu-mengenakkan bisa terbagi rata kepada seluruh karyawan dari berbagai posisi; tidak bertumpu pada posisi tertentu saja. Mereka juga mungkin bisa mempertimbangkan untuk menjadi terbuka atas usaha-usaha para karyawan untuk mengulik pekerjaannya dan menciptakan peluang baru dengan organisasinya. 

Namun, pada akhirnya, melakukan banyak tugas rutin yang biasa-biasa saja acap kali tetap menjadi kenyataan di semua pekerjaan meski ada janji bahwa kecerdasan buatan (AI) akan menghilangkan lebih banyak tugas-tugas rutin.

Lebih lanjut, manajer perekrutan harus berhati-hati saat mencantumkan narasi “passion” atau gairah sebagai persyaratan pekerjaan. Dalam analisis lebih dari 200 wawancara untuk proyek tentang perekrutan di startup, gairah telah menjadi bahan diskusi yang sudah terlalu sering digunakan. Dalam mempekerjakan manajer, memang narasi gairah perlu ada karena posisi manajer membutuhkan hal itu. Sedangkan karyawan biasa yang potensial pastilah sudah mengasaskan gairah mereka.

Namun, tidak satu pun dari manajer perekrutan yang sudah mencari gairah pada calon karyawan mereka dapat menjelaskan bagaimana mereka akan menilai gairah tersebut, atau menjelaskan seberapa penting eksistensi gairah atas pekerjaan tertentu.

Risikonya adalah mereka mempekerjakan orang-orang yang bersemangat, kemudian memberikan pekerjaan tidak sesuai harapan orang-orang tersebut sehingga gairah mereka padam, dan akhirnya menciptakan situasi bermasalah bagi pihak karyawan dan perusahaan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Lisa Cohen adalah Associate Professor bidang Administrasi Bisnis, McGill University.

Sandra E. Spataro adalah Profesor di Northern Kentucky University.

Read More
Prof. Etin Anwar

Bolehkah Perempuan Berkarier dalam Islam? Ini Kata Prof. Etin Anwar

Di tengah masyarakat patriarkal, masih relatif banyak orang yang melarang perempuan Muslim berkarier dengan dalih interpretasi agama. Apalagi sesudah menikah, masih ada perempuan yang justru dianjurkan untuk berdiam di rumah dan mengurus kerja-kerja domestik saja, alih-alih bebas memilih sendiri.

Etin Anwar, profesor dari Hobart and William Smith Colleges, New York, Amerika Serikat dan penulis buku Feminisme Islam angkat bicara soal ini dalam Webinar bertajuk “Menjadi Wanita Karier dalam Islam”, (3/7).

Berikut kutipan penjelasan Etin Anwar dalam bincang-bincang yang dipandu oleh Hera Diani dari Magdalene tersebut.

Di Indonesia, bagaimana kondisi perempuan dalam dunia karier? Sudah cukup ideal kah kondisi itu menurut Prof. Etin Anwar?

“Untuk melihat sejauh mana baik atau tidaknya, kita bisa lihat melalui gender gap Indonesia yang berada di peringkat 85 menurut World Economic Forum. Dari sini, kita bisa melihat career choice atau career orientation di Indonesia yang masih sangat rendah. Di politik, keterwakilan perempuan di jabatan kepemimpinan di pemerintahan minim. Di bidang pendidikan, jumlah dosen yang diangkat menjadi dekan atau rektor [perempuan] juga masih sangat sedikit. 

Dalam keterbatasan itu, kita harus melihat genealogi karier yang dalam buku saya. Itu dibagi dalam lima era, yaitu era emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, dan proliferasi. 

Era emansipasi ini adalah awal era promosi pendidikan di Indonesia. Perempuan mulai mengembangkan dan memperluas peran publik mereka dengan tokoh perempuan pionir di bidang pendidikan, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyyah. Dari sinilah perempuan yang tadinya tidak mengenyam pendidikan, dapat bersekolah karena dulu pendidikan hanya untuk Belanda dan kaum aristokrat saja. 

Kemudian, kita masuk ke dalam era asosiasi. Dalam era ini, terdapat ekspansi ruang publik perempuan yang cukup besar yang didorong melalui ajaran agama, seperti melalui fastabiqul khairat atau ajakan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Pada era ini, Budi Utomo dan Muhammadiyah menciptakan gerakan perempuannya sendiri, termasuk Putri Mardika dan Aisyiyah. Perempuan dalam era tersebut terlibat dalam penyebaran dakwah ajaran Islam yang penting dalam hubungannya dengan jaringan karier karena perempuan mendapatkan exposure ke pendidikan. 

Masuk ke era pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang memiliki pendidikan dan pilihan karier yang lebih beragam. Hasil era pembangunan sendiri bisa kita lihat dari banyaknya jumlah SD Inpres. Akan tetapi, meski bisa dibilang karier perempuan meningkat, pemerintah memaksakan ideologi gender atau atas nama “kodrat”. Perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen pembangunan, tapi dibatasi pada peran dalam keluarga. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan domestifikasi perempuan atau yang lebih dikenal sebagai ibuisme dalam istilah Julia Suryakusuma.

Lalu dalam era integrasi, promosi karier yang saya namakan Islamic sphere jadi area publik. Ini artinya, area publik berangsur-angsur berorientasi pada agama Islam atau Islamic oriented. Tahapan itu tidak lepas dari munculnya “hijau royo-royo”, yakni politik Pak Harto yang memiliki keberpihakan pada umat Islam. Maka kemudian muncul lah Islamic Banking, Islami Management, Islamic this, Islamic that

Era terakhir adalah proliferasi. Era ini mempromosikan pengalaman perempuan dan agensi perempuan sebagai ethical beings. Hubungan semaraknya pendidikan Islam serta integrasi kelompok sekuler dan Islam memicu kemunculan gerakan pembaharuan Islam yang dimotori tokoh-tokoh, seperti Cak Nur, Gus Dur, dan lainnya. Mereka berkontribusi pada diskusi-diskusi mengenai perempuan dan diskusi ini sangat penting karena mereka menyejajarkan perempuan sebagai ethical agent.

Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai karier itu sendiri menurut Prof. Etin Anwar? Karena banyak sekali narasi agama yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Bagaimana cara kita meng-counter narasi semacam ini?

“Nah, narasi agama seperti itu siapa yang menarasikan? Seolah-olah narasi agama itu seragam dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, padahal tidak demikian. Terus terang saja, menurut saya ini ada kaitannya dengan budaya kodrat. Dari zaman Soeharto, kita sudah dicekoki nilai-nilai keibuan dan pernikahan. Seolah-olah kalau kita tidak menjadi ibu atau menikah, ada yang kurang atau something wrong with us. 

Menurut saya, counter-nya adalah dengan memperbanyak orang yang memahami [berbagai interpretasi agama] karena saya mendukung kedewasaan orang untuk memilih dalam beragama. Kalau kita masih terus mengikuti indoktrinasi agama tertentu, enggak selesai-selesai perbincangan mengenai hak perempuan Muslim untuk bekerja. Sementara, masih banyak persoalan lain yang harus kita hadapi.

Lagipula, bagaimana pandangan Islam mengenai karier tidak semata-mata mengenai halal dan haram saja. Kita butuh lepas dari pembacaan Alquran yang bersifat hierarkis. Maksudnya, pembacaan yang cuma mengandalkan kacamata lelaki sebagai imam yang cenderung menganggap posisi mereka lebih tinggi dari perempuan.

Apa yang kita pahami mengenai pesan di dalam Alquran dan ajaran agama Islam itu sendiri adalah tentang mempertahankan relasi kuasa melalui ayat-ayat tertentu. Misalnya, [Surat] An-Nisa yang ditafsirkan banyak orang memberi pesan adanya kepemimpinan absolut laki-laki. Padahal, kita juga perlu memahami Alquran juga memberikan kesejajaran relasi gender. Misalnya, tentang keluarga sakinah mawadah wa rahmah dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, yang bisa kita lihat dalam Surat Ar-Rum ayat 21.

Lalu, bagaimana menurut Prof. Etin Anwar dengan dilema perempuan yang harus mempertimbangakan kariernya karena ada pemahaman agama bahwa perempuan harus patuh pada suami? Apakah perempuan tidak bisa lepas dari hegemoni pemikiran laki-laki sebagai imam?

Perempuan itu kebanyakan punya pertimbangan ya, jika ingin melanjutkan kariernya, terutama yang sudah berkeluarga. Biasanya mereka mau promosi jabatan pun harus menanyakan pendapat suami. Namun, harus diketahui Allah sangat menghendaki tiap makhluknya termasuk perempuan untuk mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Ini ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia, laki-laki, dan perempuan untuk menjadi pemimpin.”

Kesejajaran relasi di dalam Alquran juga bisa dilihat dari ayat Ati’ullaha Wa Ati’ur Rasul pada An-Nisa ayat 59 yang menegaskan bahwa ketaatan kita sebagai Muslim hanya pada Allah dan Rasul, bukan kepada laki-laki atau dalam relasi keluarga itu suami. 

Jadi, karier perlu dipahami sebagai wacana yang selalu bergerak dengan tujuan tunggal bahwa perempuan berperan di ruang publik adalah bentuk ketaatan mereka kepada Allah dan Rasulnya. Ini juga bentuk usahha dirinya menyebar kebaikan dan manfaat bagi alam semesta, sebagai bagian dari misi manusia yang telah dijelaskan di dalam kitab suci.

Pertanyaan terakhir, karier disebutkan di awal sebagai produk kapitalisme dan kolonialisme. Apakah model tersebut sudah cukup Islami, atau kita hanya melanjutkan produk kapitalis saja?

Kata Shahab Ahmed dalam bukunya What is Islam, yang memberikan kita label Islam ya kita sendiri. Misalnya, karier saya sebagai guru saya katakan Islamic karena I think so. Sama halnya dengan terorisme, apakah itu Islamic? Kalau orang itu percaya itu Islamic, ya itu Islami. Jadi menurut Ahmed, agama Islam itu individualis bergantung pada masing-masing orang secara spesifik.

Betul, karier itu produk kapitalisme dan kolonialisme tetapi cara keluar dari lingkaran itu tak cukup dengan retorika agama saja, karena Allah menginginkan orang Islam itu kuat secara ekonomi. Dalam sejarah Islam pun, Rasul hijrah ke Madinah untuk memperjuangkan Islam dalam rangka apa? Dalam rangka livelihood. Ketika Nabi menyatukan Makkah dan Madinah, apakah enggak ada konsiderasi ekonomi? Tentu ada. 

Jadi kita enggak bisa melihatnya hitam-putih, we have to make it as Islamic. Balik lagi ke tujuannya, niatnya, Rasul ketika itu juga enggak berbicara dari haram atau halal, do and don’ts. Lebih fleksibel, kalo enggak ya Islam enggak akan mudah diterima.  

Jasmine Floretta V.D. adalah pecinta kucing garis keras yang gemar menghabiskan waktunya untuk membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Read More
Kania Suciati Perempuan di Dunia STEM

Kania Suciati dan Mimpi Inklusivitas Perempuan di Dunia STEM

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menyebut, hanya ada 30 persen perempuan di bidang STEM (sains, teknologi, engineering, dan matematika) dan 29,3 persen untuk perempuan peneliti secara global. Sementara di Asia, jumlah perempuan di bidang STEM hanya mencapai 18 persen.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga mencatat peran perempuan dalam bidang STEM lebih banyak pada pekerjaan dengan tingkat keterampilan rendah, misalnya menjadi buruh pabrik yang berkutat dalam bagian pengemasan atau produksi. 

Hal itu salah satunya disebabkan oleh anggapan STEM merupakan bidang yang sangat maskulin dan hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Alhasil, tak sedikit perempuan pekerja yang tak mendapatkan kesempatan sama untuk mengembangkan diri, bahkan dibenturkan dengan narasi-narasi gender non-fleksibel yang kerap menomorsekiankan perempuan dalam bidang kerja di ranah publik.  

Menurut Kania Suciati, Food Protection Specialist di perusahaan pengolahan pengemasan makanan bernama Tetra Pak, stereotip gender yang diamini masyarakat itu secara tak langsung turut melahirkan hambatan dan tantangan bagi perempuan untuk berkarier di bidang STEM. Stereotip itu hidup dari generasi ke generasi, dan itu mempengaruhi kesulitan perempuan dalam mengejar karier di bidang apapun yang didominasi laki-laki, bukan hanya STEM, ujar Kania.

Baca juga: Panutan, Kesempatan di Tempat Kerja Dorong Lebih Banyak Perempuan dalam STEM

“Misalnya, sejak kecil, kita diajarkan untuk memahami konsep femininitas bagi perempuan dan maskulinitas bagi laki-laki. Itu melahirkan anggapan yang merugikan, seperti perempuan yang berujung hanya dianggap bisa melakukan pekerjaan yang bersifat mengasuh secara alami (nurturing), sementara laki-laki melakukan pekerjaan analitis, salah satunya di bidang STEM,” kata Kania pada Magdalene. Kania sendiri kini bertugas untuk cluster MSPI (Malaysia, Singapore, Philippines, and Indonesia).

“Kebetulan, bidang yang saya sukai ini didominasi oleh laki-laki. Tetapi saya tidak membiarkan hal ini menggoyangkan minat saya untuk menggali bidang ini lebih jauh,” tambahnya. 

Simak hasil wawancara Magdalene bersama Kania Suciati selengkapnya di bawah ini, dan bagaimana dia memandang dinamika pekerja perempuan di bidang STEM.

Magdalene: Apa yang melatarbelakangi keputusan kamu untuk berkarier di industri manufaktur?

Kania: Sejak belajar mikrobiologi di universitas, saya selalu tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang aplikasi praktisnya dalam kehidupan nyata. Rasa ingin tahu inilah yang membimbing saya untuk melihat lebih ke dalam industri manufaktur makanan. Sepanjang perjalanan, saya juga belajar lebih banyak tentang mesin, konsep teknik mesin dan listrik, yang semakin mengukuhkan minat saya dalam industri manufaktur makanan dan minuman. 

Apa latar belakang pendidikan kamu? Apakah kamu benar-benar berencana untuk belajar di bidang ini dari awal? Apa relevansinya dengan posisi Anda saat ini?

Saya belajar Mikrobiologi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang ini selalu menjadi minat saya dan ketika saya mempelajarinya, saya penasaran dengan aplikasi praktisnya dalam kehidupan nyata, yang akhirnya membawa saya untuk mengejar peluang di industri manufaktur makanan.

Baca juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Sepanjang karier kamu di bidang STEM, apa saja tantangan yang kamu hadapi? Bagaimana kamu mengatasi tantangan tersebut?

Stereotip bahwa perempuan tidak boleh bekerja dengan atau tidak akan tahu bagaimana bekerja dengan mesin besar datang dengan warisan bidang yang didominasi laki-laki seperti teknik dan manufaktur. Ketika saya pertama kali mulai bekerja di Tetra Pak, ada perasaan ragu dari beberapa rekan laki-laki saya. Untuk meyakinkan mereka dengan kemampuan saya dalam hal teknis dan memecahkan masalah, saya harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas, melakukan upaya ekstra untuk menunjukkan kepada mereka bahwa saya juga mampu. 

Saya belajar sebanyak yang saya bisa di sepanjang perjalanan dan memastikan bahwa saya sadar diri dalam apa pun yang saya lakukan guna memastikan bahwa saya terus meningkatkan keterampilan saya. Ketika saya dapat berkontribusi dan memecahkan masalah, saya dapat memperoleh pengakuan dari tim saya. 

Apa solusi atau kebijakan yang perusahaan, atau bahkan negara, harus implementasikan untuk memperbaiki situasi tersebut (kurangnya partisipasi perempuan)?

Seluruh perusahaan sebaiknya memprioritaskan keberagaman dan inklusivitas pada budaya perusahaannya, seperti menciptakan sebuah lingkungan yang adil dan tidak diskriminatif di mana proses rekrutmen didasarkan pada hasil penilaian objektif, melihat pengalaman kandidat, prestasi, dan potensi kontribusinya kepada perusahaan. 

Saya bersyukur kepada Tetra Pak sebagai perusahaan yang senantiasa memberikan saya kesempatan untuk tumbuh dan menjadi versi terbaik saya dengan menyediakan lingkungan kerja yang aman dan adil untuk kolega saya dan saya. Saya merasa sangat beruntung karena memiliki role model perempuan yang kuat untuk dicontoh, line manager saya, yang terus menginspirasi saya secara pribadi dan profesional hingga hari ini. 

Beberapa literatur menyebutkan bahwa perempuan yang bekerja di bidang maskulin cenderung menerima perlakuan diskriminatif. Apakah kamu pernah mengalami hal ini selama bekerja secara profesional? Bagaimana kamu mengatasinya?

Selama pengalaman saya bekerja di Tetra Pak, saya tidak pernah berada dalam situasi yang tidak nyaman, dimana hak hak mendasar saya terancam. 

Baca juga: Herstory: 6 Perempuan Pionir dalam Teknologi Komputer dan Internet

Memang tentunya selalu ada tantangan-tantangan baru yang saya perlu atasi sebagai seorang perempuan di lingkungan yang didominasi oleh laki-laki, namun bukan merasa menjadi terancam, tantangan-tantangan ini hanya memotivasi dan membawa saya lebih jauh pada apa yang saya kerjakan.  

Apakah benar perempuan sulit bekerja di bidang STEM, khususnya dalam hal  menyeimbangkan antara karier dan waktu bersama keluarga?

Setiap orang memiliki kebutuhan dan prioritas yang berbeda. Kunci untuk kehidupan yang seimbang adalah bagaimana kita dapat menetapkan prioritas dan batasan yang melibatkan orang-orang di sekitar kita.

Memiliki kinerja yang baik di pekerjaan atau karier kita memang sangat penting, tetapi istirahat dan terhubung dengan orang yang kita cintai sama pentingnya. Bekerja di bidang STEM mengharuskan saya untuk mengembangkan keterampilan multitasking dan manajemen proyek yang luar biasa untuk menyelesaikan sesuatu secara bersamaan tanpa mengurangi produktivitas.

Kami berjalan seiring berjalannya waktu, jadi selama kami terus berusaha dan beradaptasi dengan dinamika dan cara kerja yang berbeda, menyeimbangkan karier dan keluarga kami, seharusnya tidak menjadi masalah, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Apa saja tips untuk memiliki work life balance sebagai seorang perempuan?

Tetapkanlah prioritas dan batasan dengan tegas. Belajarlah untuk mengatakan tidak pada hal-hal yang tidak penting atau mengesampingkan beberapa hal jika tidak mendesak atau penting untuk segera dilakukan. Selain itu, mencari pekerjaan di perusahaan yang mau memahami batasan Anda sangat penting. Budaya perusahaan harus kuat.

Baca Juga: 5 Ilmuwan Perempuan Muslim yang Sangat Berpengaruh di Dunia

Jika Anda tahu bagaimana memprioritaskan, menetapkan batasan yang jelas, dan berada di lingkungan yang mendukung, Anda akan dapat fokus pada tujuan Anda dan mencapai kehidupan yang seimbang.

Apa saja prinsip/nilai yang paling penting dalam bekerja bagi kamu? Apa saja hal-hal yang ingin dicapai sepanjang perjalanan karier kamu, baik untuk diri sendiri, orang lain, dan masyarakat di sekitar kamu?

Jadilah kuat, percaya diri, sadar diri, dan bersemangat untuk belajar. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini telah membantu saya tumbuh dan berkembang dalam karier saya saat ini di Tetra Pak dan sebagai perempuan karier pada umumnya. Saya bercita-cita untuk menginspirasi lebih banyak perempuan muda di STEM, terutama mereka yang merasa putus asa untuk mengejar impian mereka hanya karena mereka seorang perempuan.

Saya berharap, masyarakat kita akan tetap berpikiran terbuka untuk lebih banyak perempuan yang bekerja di STEM atau profesi yang didominasi laki-laki lainnya. Nilai-nilai, pola pikir, dan semangat kita akan membedakan kualitas pekerjaan yang kita berikan, bukan jenis kelamin kita.

Apa yang ingin kamu sampaikan kepada para perempuan Indonesia yang ingin membangun karier di industri manufaktur dan bidang STEM lainnya?

Dalam hal pencapaian diri, gender seharusnya tidak menjadi masalah. Kita bisa menjadi apa pun yang kita inginkan–pemimpin, insinyur, astronot, koki, atau spesialis perlindungan makanan. Yang dibutuhkan hanyalah keinginan, kemauan yang kuat, dan pola pikir untuk mencapainya.

Read More

Perempuan Dukung Perempuan di Kantor, Kenapa Ini Penting?

Meskipun sekarang peluang kerja untuk perempuan semakin terbuka, mereka kerap kali masih menghadapi aneka tantangan dalam melangkah ke jenjang karier lebih tinggi. Di sejumlah industri yang terkesan maskulin, bahkan sejak pintu masuk pun perempuan menghadapi tantangan berkali-kali lebih besar dari laki-laki.

Memilih berjalan sendiri di dunia karier bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan perempuan dalam kondisi seperti ini. Begitu pula dengan mengamini, yang terbaik adalah berkompetisi dan mengalahkan pekerja-pekerja lain. Pasalnya, riset menunjukkan, pekerja yang mengedepankan kolaborasi lebih menguntungkan perusahaan. Karena itu, perempuan memerlukan banyak dukungan sekitar, salah satunya dari sesama pekerja perempuan.  

Alasan Dukung Sesama Perempuan Penting

Dukungan dari sesama perempuan menjadi penting untuk mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan kerja. Berbagai riset telah menemukan bahwa kesetaraan gender di tempat kerja berdampak positif terhadap perusahaan. Misalnya, dari segi keterwakilan perempuan di posisi-posisi pemimpin. 

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita, perusahaan-perusahaan yang board director-nya lebih berimbang antara laki dan perempuan, lebih beragam, memiliki performa bisnis yang lebih bagus, stabil, dan secara profil lebih baik.

Dengan mendukung sesama pekerja perempuan di kantor, perasaan empati antarpekerja pun terbentuk. Saat menghadapi masalah terkait gendernya, misalnya soal pelecehan seksual atau kesenjangan upah, ia tidak akan merasa sendiri setelah berbagi dengan sesama pekerja perempuan di kantornya. Dari situ, bisa terbentuk rasa solidaritas dan upaya untuk mengidentifikasi permasalahan struktural terkait gender yang ada di perusahaan, dan kemudian bersama-sama mencari jalan keluarnya.

Baca juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Dalam studi yang dimuat di Harvard Business Review dikatakan, perempuan yang punya jejaring sesama perempuan akan mendapat keuntungan lebih dalam perjalanannya menaiki tangga karier. Keuntungan berjejaring ini ditemukan lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki. 

Di dunia kerja yang masih lebih sering memberi kesempatan pada laki-laki untuk menjadi pemimpin, lingkaran pertemanan dengan sesamanya bisa membantu seorang perempuan untuk berbagi informasi internal perusahaan serta strategi untuk menjadi pemimpin di kemudian hari.

Dalam wawancara eksklusif Magdalene dengan Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia, Risa E. Rustam beberapa waktu lalu, ia menyatakan sebagai perempuan, ada tanggung jawab moral untuk mendukung sesama, terutama bagi perempuan yang ada di posisi pemimpin atau pengambil keputusan. 

“Mereka harus lebih sensitif terhadap isu-isu gender dan harus bisa lebih melihat ketidakadilan,” ujar Risa. 

Dukung Sesama Perempuan dengan Catatan

Kendati mendukung sesama pekerja perempuan adalah hal yang positif, kita tidak boleh berkacamata kuda dalam melakukannya. Keterwakilan satu gender, yakni perempuan, adalah satu hal yang memang diperjuangkan. Akan tetapi, kita juga mesti melihat bagaimana kiprahnya sebelum dan saat menduduki jabatan tertentu. 

Kita dapat mengambil contoh dari problem pemimpin-pemimpin politik perempuan yang disoroti dalam penelitian di Indonesia. Memang sudah ada Undang-Undang yang mengatur kuota perempuan dalam partai politik dan dalam pencalonan anggota legislatif. Segelintir perempuan pun sudah berhasil menduduki bangku kepala daerah. 

Akan tetapi, keberadaan mereka tidak otomatis menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada sesama perempuan. Titi Anggraini, anggota dewan pembina Perludem menyampaikan kepada Magdalene, “Berdasarkan riset Perludem tahun 2015, tidak semua perempuan kandidat kepala daerah membuat perencanaan program tentang perempuan dan anak atau terkait isu kesetaraan dan keadilan gender.”

Kritisnya kita dalam mendukung sesama perempuan diperlukan karena tidak semua perempuan telah memiliki perspektif gender yang cukup untuk membela kepentingan sesamanya. Ditambah lagi, kuatnya budaya patriarki dan desakan berbagai pihak dalam politik atau ranah kerja lainnya membuatnya semakin jauh dari harapan untuk bisa mendukung perempuan lain yang ada di bawahnya. Jika kita tetap mendukung secara buta perempuan pemimpin yang berpikiran patriarkal, maka hal itu tidak akan membawa perubahan baik bagi individu-individu perempuan lain di tempat kerjanya, juga secara makro bagi perusahaan.   

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Cara Mendukung Sesama Pekerja Perempuan di Kantor

Berikut ini beberapa cara yang bisa kita terapkan di kantor untuk mendukung sesama pekerja perempuan.

  1. Soroti capaian sesama perempuan

Alih-alih menjadi iri atau bersemangat ingin mengalahkan teman perempuan dengan pencapaian baik, kita bisa mulai menyoroti prestasinya agar dikenali oleh para atasan dan kolega lain.

Menurut Rebecca Wiser, co-founder dan direktur Komunikasi di Womaze, sebuah aplikasi yang berfokus pada pemberdayaan diri perempuan, penting untuk memberi kredit atas kerja teman perempuan karena ini bisa berimplikasi baik juga untuk diri kita sendiri.

“Dengan melakukan ini kamu sebenarnya menunjukkan bahwa dirimu adalah pemain tim yang suportif, calon pemimpin yang menginspirasi, dan terkesan cukup percaya diri untuk bisa memuji orang lain,” kata Wiser seperti dikutip dari Forbes.  

  1. Jadi mentor untuk sesama perempuan

Ketika kita sudah memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih banyak dari teman kerja atau bawahan perempuan lainnya, tidak ada salahnya untuk menawarkan diri menjadi mentor mereka. Dengan melakukan ini, kita memberi peluang bagi mereka untuk mengembangkan diri hingga akhirnya pantas untuk menduduki posisi lebih tinggi nantinya.

Tentu saja dalam melakukan mentoring kita tidak selayaknya berlaku paling tahu segalanya karena sebanyak apa pun asam garam yang kita punya, pengalaman yang dihadapi tiap individu dalam menapaki lika-liku karier berbeda, begitu pula dengan tantangannya. Bisa saja sebagai mentor kita membagikan sejumlah strategi yang menurut kita berhasil dalam kondisi kita punya support system mumpuni di rumah. Tetapi strategi itu tidak akan berjalan bila yang melakukannya adalah teman atau bawahan kita yang misalnya serba terbatas kondisinya sebagai ibu bekerja dan tidak punya dukungan cukup di rumah. Poinnya adalah, sebagai mentor, kita perlu berbagi dengan tetap mendengarkan orang yang kita ajari dengan empati.

  1. Berani menegur bila teman kerja perempuan diinterupsi

Fenomena mansplaining dan interupsi pekerja perempuan di kantor bukan hal langka. Untuk menghadapi situasi ini, sebagai sesama perempuan kita perlu bersikap asertif dengan berani menegur kolega laki-laki yang menginterupsi omongan teman kerja perempuan.

Memang, karena dibentuk menjadi sosok pasif oleh masyarakat, kita sebagai perempuan seringkali takut atau ragu untuk melakukan hal itu. Namun, bila kita tidak pernah mulai mengoreksi perbuatan yang salah, terlebih bila kita berposisi menengah hingga tinggi di kantor, kita akan terus melanggengkan lingkungan kerja toksik yang menghindarkan perempuan dari kesuksesan di tempat kerja.

  1. Bergantian membantu 

Kita tahu bahwa perempuan pekerja masih ditempeli peran domestik yang membuat bebannya begitu berat. Menyadari hal itu, sebagai sesama perempuan kita bisa menawarkan bantuan kepada teman kerja ketika ia begitu terdesak oleh urusan rumah, meski pekerjaan yang mesti ditinggalkannya bukanlah bagian job desc kita. Selama kita masih mampu, kenapa tidak?

Hal ini akan menguatkan rasa percaya dan empati sebagai pekerja perempuan. Di waktu lain begitu kita mengalami situasi yang sama, kita bisa meminta bantuannya setelah rasa percaya itu terbangun.

  1. Kritis saat ada komentar seksis terhadap perempuan

Tidak jarang kita dengar komentar-komentar seksis terhadap kolega atau atasan perempuan saat mereka bekerja. Misalnya, bos perempuan disebut lebih cerewet, bossy, judes, atau galak saat menginstruksikan sesuatu ke bawahannya. Atau, saat ia hendak mencapai posisi tinggi dan bekerja keras, kata ambisius dilekatkan secara negatif kepadanya, baik oleh pekerja laki-laki atau sesama perempuan. Hal ini tidak dialami oleh pekerja laki-laki. 

Dikutip dari situs LeanIn, untuk menghadapi hal itu, kita bisa “menantang” orang-orang yang berkomentar demikian. Ketika ada yang menyebut seorang pekerja perempuan “bossy”, kita bisa meminta contoh tindakan dia yang mana yang memunculkan komentar tersebut, lalu bertanya kepada si pemberi komentar, “Kalau yang melakukannya laki-laki, apa reaksi kamu akan sama?”    

Read More
Fakta Kamu Budak Korporat

Fakta Budak Korporat dan Cara Mengatasinya: Solusi Efektif untuk Keseimbangan Hidup

Kamu pasti sudah sangat familier dengan istilah budak korporat. Singkatnya, budak korporat ini diasosiasikan dengan mereka yang bekerja di bawah tekanan pemimpin atau atasan. Tak hanya harus kerja, kerja, kerja, tipes, julukan budak korporat ini kerap dikaitkan dengan karyawan yang disindir atau direndahkan di depan rekan kerja yang lain. Makanya, terma budak digunakan untuk menggambarkan betapa mengerikannya kehidupan sebagai pekerja di perusahaan yang tak memanusiakan mereka.

Dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Deandels karya Pramoedya Ananta Toer, budak bukan semata-mata manusia yang tak merdeka sama sekali. Namun, karena budak yang terlibat dalam kerja paksa pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan banyak yang meninggal, istilah ini pun dipakai untuk menggambarkan penderitaan mereka di bawah pemerintah kolonial.

Baca Juga: Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Fakta-fakta Budak Korporat, Tanda Kamu Dieksploitasi Perusahaan

Berikut sejumlah indikasi bahwa kamu adalah budak korporat, dilansir dari laman kaumRebahan.id:

1. Sangat Susah Minta Cuti

Salah satu hal yang sudah sangat sering didengar dari orang-orang yang merasa jadi budak korporat adalah susahnya mendapatkan cuti. Mungkin kamu dianggap sebagai aset berharga dari perusahaan dan kinerja kamu sangat dibutuhkan oleh atasan. Sehingga, atasan tidak rela memberi waktu cuti ke kamu dengan alasan kurang profesional.

Baca Juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier

Padahal setiap karyawan itu berhak mendapatkan cuti, terlebih karyawan punya kehidupan di luar pekerjaan, berhak sehat mental dengan mengambil jeda, dan ada kejadian-kejadian tak terduga, seperti sakit, melahirkan, atau lainnya.

2. Gaji yang Tak Sesuai dengan Beban Kerja

Ini indikator paling umum yang dialami, apalagi buat kamu yang baru lulus kuliah dan baru saja diterima di suatu perusahaan. Perusahaan yang menempatkanmu sebagai “budak korporat” biasanya cenderung pelit memberi gaji. Meskipun terbilang sebagai lulusan baru, bukan berarti gaji yang kamu terima tak berbanding lurus dengan beban kerja.

3. Merasa Takut dengan Atasan

Kamu merasa atasan di kantor tak cukup demokratis dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru. Jangankan terbuka, dalam urusan berkomunikasi pun ada dinding besar yang menghalangi kamu. Namun, bukan alasan hormat, kamu melakukannya karena takut pada atasanmu.

4. Setiap Harinya Lembur di Kantor

Ciri lain dari budak korporat adalah jam kerja lembur yang tak tanggung-tanggung, bahkan hingga kamu kehilangan kehidupan sosialmu di luar. Yang lebih parah, kadang usaha lemburmu ini tak diimbangi dengan gaji tambahan yang setimpal.

Pasti kamu jadi merasa sangat kesal bukan, apalagi jika waktu lemburmu harus memakan tanggal merah.

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Agar tak jadi budak korporat, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan, sebagaimana dikutip dari Fullstopindonesia.com:

Budak Korporat Terus-terusan Mengeluh Minta Perubahan

Merasa kalau koordinasi atau sistem di perusahaan tempat kamu bekerja masih terasa tidak rapi, setiap harinya selalu lembur, atau selalu merasa pekerjaan terlalu banyak karena mendapatkan tugas yang enggak sesuai dengan deskripsi kerja? Beranikan diri untuk berbicara langsung ke atasan.

Meski kamu masih di posisi staf biasa, kamu punya hak untuk menyuarakan aspirasi. Manfaatkan setiap kesempatan yang ada. Contohnya saat rapat mingguan, evaluasi bulanan, ataupun acara perusahaan lainnya. Jangan jadi seorang pekerja yang cuma bisa mengritik sistem, tetapi enggak bisa memberikan solusi yang relevan.

Jadilah Karyawan yang Profesional

Jika kamu selalu percaya diri bisa menyelesaikan setiap pekerjaan dan selalu memenuhi target, maka kamu enggak akan merasa diperbudak perusahaan. Tunjukkan saja performa kamu memang bagus dan berguna untuk kemajuan perusahaan. Siapa tahu setelahnya kamu dianggap pantas memperoleh hak yang memang sewajarnya dapatkan, misalnya cuti, kenaikan gaji, atau dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi.

Selektif dalam Berteman dengan Rekan Kerja yang Lain

Bisa jadi, kamu dari awal memang tidak pernah merasa terbebani dengan pekerjaan, melainkan rekan kerja sekantor kamu yang sering melakukannya. Lama kelamaan, pengaruh negatif ini malah menular ke diri kamu, karena kamu setiap harinya mendengar ia selalu mengeluh, dan secara tidak sadar kamu jadi punya mindset budak korporat yang keliru ini.

Baca Juga: Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

Makanya, kamu harus bisa memilih dengan hati-hati soal pergaulan di lingkungan kerja. Jangan sampai omongan-omongan dari teman satu kantor ini membuat semangat kerja kamu jadi turun. Kalau kamu memang merasa beban kerja sangat berat, sebaiknya bicarakan juga ke atasan atau ke bagian HRD.

Selalu Punya Pikiran yang Positif

Jangan sampai kamu berfikir kalau kamu itu seorang budak korporat dengan membuat lingkungan kerja yang positif. Ini bisa kamu ciptakan dari hal-hal kecil, misalnya dengan mempraktikkan budaya work and life balance, atau membuat acara liburan dengan rekan kerja sekantor, atau merayakan waktu teman kerja ada yang ulang tahun, atau saat berhasil menyelesaikan proyek baru. Lingkungan kerja yang positif akan membuat semangat kerja yang tentunya positif juga.

Read More