tips produktif selama wfh

Agar Tetap Produktif Meski Kerja dari Rumah

Sebagai orang yang juga nyaris dua tahun merasakan pengalaman bekerja dari rumah, saya merasa butuh suntikan semangat agar tetap bisa produktif selama WFH. Apa yang saya rasakan ini dibenarkan oleh Kff.org, bahwa setelah sekian lama WFH, semangat kerja dan kesehatan mental cenderung akan menurun kualitasnya.

Tidak cuma itu, sistem kerja jarak jauh yang minim pengawasan terkadang membuat kita jadi kurang termotivasi dan enggan bekerja dengan baik.

Nah, meskipun hal-hal tersebut wajar untuk dirasakan, sebagai pekerja profesional, kamu patut menghindarinya dan berupaya untuk tetap produktif.

Jangan bingung, berikut ini beberapa tips yang kami rangkum dari berbagai sumber, agar kamu bisa tetap produktif selama WFH. Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

Ciptakan Rutinitas Pagi

Rutinitas pagi penting lantaran bisa membuat kamu berpikir seakan-akan harus pergi ke kantor.

Baca Juga: ‘Love-Hate Relationship’ dengan Pekerjaan, Haruskah Karyawan Bertahan?

Cara memulainya, kamu bisa bangun lebih pagi dan olahraga sebentar lalu sarapan.

Coba lakukan kegiatan ini dengan rutin dalam seminggu. Dijamin, semangat kerjamu dapat meningkat dan tubuh juga ikut bugar karena berolahraga pagi. Menarik bukan?

Bekerja Sambil Mendengarkan Musik Favorit

Kalau kamu mempunyai lagu atau genre musik favorit, tidak ada salahnya untuk mendengarkannya sambil bekerja. Menurut Nhs.uk, tips ini bagus agar kamu bisa tetap produktif. Pasalnya, musik dapat menutup suara yang biasanya mengganggu kamu berkonsentrasi dalam bekerja.

Namun, perlu kamu ingat, mendengarkan musik cuma efektif dilakukan saat tuntutan pekerjaanmu tak begitu berat. Sebaliknya, bila kamu sedang butuh konsentrasi, sebaiknya jangan sambil mendengarkan musik terlebih dahulu.

Membuat Urutan Kerja Penting Supaya Produktif Selama WFH

Tips yang tidak kalah penting yang bisa kamu coba supaya tetap produktif selama WFH adalah dengan membuat urutan atau jadwal kerja.

Menurut Travelers.com, strategi satu ini bisa membuat kamu bekerja dengan lebih efisien karena adanya urutan mana tugas yang perlu dikerjakan terlebih dahulu.

Baca Juga: Habis WFH Terbit ‘Workcation’, Ini Fakta-fakta yang Perlu Kamu Tahu

Tidak cuma itu, dengan membuat jadwal kerja, kamu juga tidak perlu membuang-buang waktu untuk memikirkan pekerjaan untuk esok hari.

Bekerja di Ruangan dengan Pecahayaan yang Baik

Ruangan pribadi memang dibutuhkan supaya kamu dapat bekerja dengan produktif. Namun, hal tersebut harus disertai dengan pencahayaan ruangan yang baik.

Menurut Forbes.com, ruangan dengan pencahayaan yang kurang bisa membuat pekerja mudah merasa mengantuk dan motivasi kerja jadi berkurang. Maka dari itu, pastikan kamu bekerja di ruangan yang terang. Agar lebih sehat, kamu dapat membuka jendela dan memanfaatkan sinar matahari sebagai lampu meja di siang hari.

Supaya Lebih Produktif Selama WFH, Kurangi Akses Media Sosial

Tips berikutnya supaya kamu dapat tetap produktif selama WFH adalah dengan mengurangi aktivitas di media sosial.

Untuk kamu yang belum menyadari, media sosial merupakan salah satu tantangan buat para pekerja selama WFH.

Platform tersebut memang diperlukan untuk berhubungan dengan orang lain. Namun, bila terlalu dipakai berlebihan, media sosial bisa menghilangkan fokus kerja kita dengan cepat.

Tidak cuma itu, di waktu yang tidak menentu ini, berita hoaks atau negatif di media sosial bisa memberi dampak pada kesehatan mental juga, loh.

Nah, menurut Vantagecircle.com, coba kurangi diri dengan aktivitas di media sosial selama di jam kerja.

Kamu dapat mengakses media sosial nantinya selama waktu jam istirahat kerja, atau setelah pekerjaan sudah diselesaikan.

Sediakan Waktu untuk Istirahat

Tips selanjutnya agar kamu bisa tetap produktif selama menjalankan WFH adalah dengan menyediakan waktu untuk beristirahat. Terkadang, bekerja dari rumah membuat pekerja lupa atau tidak mau mengambil waktu istirahat.

Baca Juga: ‘Burnout’ di Tempat Kerja, Ini Ciri dan Tips Mengatasinya

Hal ini agak berbahaya. Jangan sampai kesehatan mental serta fisik menurun karena terlalu sibuk bekerja. Melansir Hubspot.com, kamu dapat mengambil waktu beristirahat dengan makan siang bersama keluarga yang ada di rumah.

Selain itu, kamu dapat sediakan waktu pada sore hari untuk olahraga lari atau jalan sore di sekitar rumah. Intinya, sediakan waktu sebaik mungkin supaya kamu bisa melepaskan penat dari rutinitas pekerjaan setiap harinya.

Sediakan Ruang Kerja Pribadi Supaya Kamu Tetap Produktif Selama WFH

Tips yang tidak kalah penting, supaya kamu bisa tetap produktif selama WFH adalah dengan menyediakan ruang kerja pribadi.

Masalah kebanyakan pekerja WFH adalah perhatian kita jadi mudah teralihkan dengan suasana di rumah. Contohnya suara tv yang berisik atau percakapan menganggu.

Baca Juga: 5 Tips Sulap Cemas Jadi Produktif di Tempat Kerja

Hal ini dapat kamu hindari kalau mempunyai ruang kerja pribadi. Idealnya, ruang kerja harus mempunyai pintu, sehingga kamu dapat mempunyai tempat yang tenang untuk bekerja seharian.

Tak hanya itu, kamu perlu meletakan peralatan yang mungkin kamu butuhkan selama bekerja, misalnya laptop, kertas, printer, dan yang lainnya.

Dengan peralatan yang lengkap, kamu jadi tidak perlu keluar ruangan yang bisa membuat kamu kehilangan fokus dalam bekerja.

Itulah beberapa tips mudah yang bisa kamu ikuti supaya tetap produktif selama WFH. Semoga tips-tips tersebut dapat membantu kamu dalam menjaga semangat kerja dan kesehatan dengan baik, ya.

Read More
apa itu workcation tren kaum milenial

Habis WFH Terbit ‘Workcation’, Ini Fakta-fakta yang Perlu Kamu Tahu

Kamu merasa jenuh bekerja dan bosan dengan WFH selama pandemi corona? workcation bisa jadi solusi untuk kamu. Apa itu workcation? Workcation atau work and vacation merupakan sebuah kegiatan mengunjungi destinasi tertentu untuk berlibur mencari suana baru sekaligus bekerja. Umumnya pekerjaan tersebut bersifat fleksibel, bisa dikerjakan kapan saja, di mana saja dengan dukungan koneksi internet yang baik.

Dikutip dari BBC, workcation tersebut sedang dipertimbangkan oleh banyak pekerja AS dan kanada yang sedang WFH. Haruskah kita mengikuti tren tersebut?

Mengapa Workcation Kedepannya akan Jadi Tren?

Seperti yang disebutkan di atas, workcation dapat jadi solusi kejenuhan bekerja secara jarak jauh karena pandemi. Bekerja dengan suasana baru dianggap lebih menyenangkan dari biasanya. Itulah mengapa, kegiatan ini kemungkinan besar akan jadi sebuah tren.

Baca Juga: ‘Burnout’ di Tempat Kerja, Ini Ciri dan Tips Mengatasinya

Mengapa Tidak Langsung Cuti Saja?

Mungkin beberapa orang akan berpikir bekerja sambil liburan, bukannya malah jadi tidak fokus? Pikiran jadi terbagi antara harus menyelesaikan pekerjaan, dan sebagian lagi membayangkan kegiatan lain yang menyenangkan yang dapat dilakukan di tempat wisata.

Walau begitu, nggak berarti workcation jadi kegiatan yang buruk. Supaya kamu tetap fokus dalam menyelesaikan pekerjaan, ada beberapa syarat yang harus kamu lakukan.

Dikutip dari Themuse.com, jangan berpikir workholiday itu sama dengan liburan saja. Kamu harus melihat kegiatan ini sebagai penghilang kejenuhan.

Kamu dapat bekerja dengan ditemani pemandangan baru, tanpa menghilangkan jatah cuti tahunan kamu. Tenang saja, kamu tetap bisa merasakan liburan dan sejenak melupakan pekerjaan kantor di luar jam kerja. 

Tips Melakukan Workcation Supaya Lebih Menyenangkan

Sekarang kita bahas beberapa tips untuk melakukan workcation. Yuk kita simak apa saja.

Cari Lokasi yang Tepat untuk Workcation

Tips pertama kamu harus tentukan lokasi workcation yang tepat. Dalam tahapan ini, kamu harus ingat, workcation boleh dijalani sambil rebahan dan minum es kelapa muda di pinggir pantai, tapi kamu harus tetap bekerja ya.

Menurut Themuse.com, kamu harus hindari tempat wisata yang banyak destinasi menarik. Sebab, kemungkinan kamu bisa kunjungi destinasi tersebut bisa batal, karena kamu harus menyelesaikan pekerjaan.

Baca Juga: ‘Love-Hate Relationship’ dengan Pekerjaan, Haruskah Karyawan Bertahan?

Sebagai saran, ini ada beberapa saran yang bisa kamu pilih:

  • Cari tempat dengan suasana yang tenang serta nyaman, dan kamu juga harus mencari tempat yang mempunyai koneksi internet bagus.
  • Main ke tempat saudara atau teman di kota lain, jadi kamu bisa sekalian mengunjungi mereka di waktu luang.
  • Cari tempat yang punya destinasi wisata yang tidak terlalu banyak namun menarik.

Intinya, cari destinasi yang cocok dengan tujuanmu, yaitu tempat untuk bekerja sambil liburan.

Atur Jadwal

Selanjutnya, kamu harus membuat jadwal yang jelas. Kamu tentukan waktu kamu harus bekerja dan waktu untuk kamu jalan-jalan. Buatlah jadwal tersebut dengan matang ya.

Walau kadang kita bisa keluar dari jadwal yang sudah ditentukan, paling tidak saat kamu sudah mempunyai jadwal akan mencegah kamu membuang waktu. Kamu pun jadi tidak merasa cuma pindah lokasi kerja, tetapi dapat memakai waktumu untuk sedikit bertualang.

Buat Persiapan Matang

Menurut Inc.com, workcation terasa lebih gampang kalau dilakukan oleh generasi Z. Pasalnya, kebanyakan dari mereka belum ada tanggungan, sehingga lebih fleksibel dan tidak perlu membuat persiapan rumit sebelum berangkat.

Walau begitu, bukan berarti kalau kamu punya anak dilarang kerja sambil liburan. Kamu cuma perlu menyiapkan workcation jadi lebih mendetail.

Kamu perlu pikirkan kira-kira siapa yang akan menjaga anak kamu saat sedang bekerja. Lalu, kapan waktu paling tepat untuk dapat berkunjung ketempat wisata. Tidak cuma untuk para ayah dan ibu, pemilik peliharaan juga perlu membuat persiapan. Pastikan ada yang menggantikanmu mengurus hewan kesayangan selama beberapa waktu.

Lakukan di Jadwal Kamu Sedang WFH

Kalau jadwal kamu harus ke kantor, kamu pastinya tidak mungkin dapat pergi ke tempat wisata dan bekerja dari sana. Jadi, lakukanlah workcation waktu kamu mendapat jadwal WFH.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

Kamu yang sekarang masih setiap harinya bekerja dari rumah atau malah bebas bekerja darimana, tentu kamu bisa mencoba workcation.

Komunikasikan dengan Rekan Kerja

Poin kelima ini penting karena kamu harus bertanggung jawab dengan pekerjaan di kantor. Sebagai pekerja yang profesional, kamu seyogyanya menginfokan ke rekan yang lain kalau kamu akan liburan nyambi bekerja beberapa hari.

Kamu dapat memperlihatkan juga jadwal yang sudah kamu buat nantinya. Tujuannya supaya mereka dapat membantu menangani tugasmu di kantor untuk beberapa waktu ke depan. Tetap jaga komunikasi dan saling perbarui kabar dengan teman demi memperlihatkan kalau kamu tetap berkontribusi.

Jaga Diri dengan Vaksin dan Patuhi Protokol Kesehatan

Status pandemi Corona belum berakhir. Jadi, demi menjaga diri serta orang di sekitar, segera vaksinasi di klinik terdekat. Jadi, kamu akan jadi lebih tenang saat menjalani workcation.

Nah, jika kamu sudah mendapatkan dosis vaksin lengkap? Tetap jangan lengah, kamu tetap harus jaga protokol kesehatan selama liburan nantinya. Sebab, sebagaimana dikutip dari Cdc.gov, kendati kamu sudah vaksin, kamu tetap bisa terkena COVID-19 dengan pelbagai gejala ringan. Bahkan kamu tetap bisa berpotensi menularkan virus Corona ke orang lain.

Read More

‘Post-Graduate Depression’: Saat Lulusan Baru Berteman dengan Depresi

“Tia” sedang termenung di sudut kedai kopi dan segera menyeka air mata, ketika barista memanggil namanya. “Caramel macchiato ya,” tutur si pembuat kopi, menyodorkan minuman pesanan perempuan itu. Dengan cepat, ia mengambil dan kembali menjauhi keramaian untuk tenggelam dalam dunianya.

Manis yang dikecap di bibir bukan berarti menghapus kekalutannya. Ia masih saja bingung mempertanyakan identitas diri dan perjalanan karier yang akan dijalani kelak. Sebagai bright A student sewaktu bersekolah, Tia merasa dirinya bukan siapa-siapa begitu menghadapi dunia nyata.

“Dulu kan gue pinter, kenapa sekarang mereka yang dinas ke luar negeri dan punya jabatan tinggi?” tanyanya dalam hati. 

Sejak fresh graduate, ia bekerja di firma hukum di Jakarta selama dua tahun, dengan penghasilan enggak seberapa jika dibandingkan teman-temannya. Saking kecil gaji yang ia terima, sang ayah kerap mendesak untuk pindah pekerjaan.

“Akhirnya aku ambil S-2 dan resign dari kantor itu,” ceritanya pada Magdalene, (9/3). Dari berbagai alasan, perempuan 25 tahun itu mengaku, salah satunya untuk memvalidasi diri sendiri agar prestasinya tidak kalah dari teman-temannya.

Baca Juga: Mereka Bilang, Jadi Orang Dewasa Melelahkan

Kondisi yang dialami Tia selama setahun merupakan post-graduation depression, yakni perasaan cemas, depresi, stuck, dan tidak nyaman setelah lulus kuliah. Menurut konselor profesional berlisensi asal AS Libby O’Brien, hal itu lantaran perubahan fase kehidupan, dan seseorang tidak mengetahui yang akan terjadi ke depannya.

Melansir WebMD, ada beberapa faktor penyebabnya. Misalnya pandemi, membuat mahasiswa kesulitan berinteraksi dengan teman-teman dan dosen, maupun kehilangan kesempatan merealisasikan rencana hidupnya. Atau adanya tekanan dari diri sendiri maupun orang-orang di sekitar, tentang apa yang selanjutnya dilakukan.

Putri, dietary aide di care center di Toronto, Kanada, mengalami post-graduation depression karena kedua hal tersebut. Menekuni pendidikan di jurusan food and nutrition management, ia berencana bekerja dua tahun lalu melanjutkan pendidikan, orang tuanya perlu memfokuskan perhatian ke adiknya yang akan kuliah.

Sayangnya, ia harus memendam mimpi karena pandemi dan keuangan keluarganya tidak stabil. Alhasil Putri semakin ragu akan perjalanan kariernya.

There’s always clear milestones on what we achieve and what’s the next step,” ujarnya. TK terus SD, SMP, SMA, kuliah. What’s out there after this?”

Mengapa Transisi Hidup Sulit Dilalui?

Mengakhiri masa-masa perkuliahan adalah salah satu tahap perubahan dalam hidup, menghadapkan seseorang terhadap ketidakpastian. Menyebabkan perasaan tidak nyaman tanpa sebab, tidak termotivasi, merasa tidak mampu dan tidak berharga, hingga kesepian tanpa kehadiran teman dan keluarga.

Baca Juga: Cara Menemukan Karier yang Tepat untuk Para Fresh Graduate

Penulis dan psikoterapi asal AS Richard Joelson menjelaskan, masa transisi sulit dilalui karena memaksa seseorang untuk meninggalkan situasi familier, untuk menghadapi masa depan dengan perasaan rentan.

Menurutnya, kita hidup dalam budaya yang mengajarkan untuk tidak nyaman dengan ketidakpastian, menimbulkan kecemasan ketika hidup merasa terganggu. Karena itu, meskipun telah menyusun rencana, sesuatu di luar ekspektasi yang terjadi menyebabkan keresahan, dan mengharuskan untuk beradaptasi. Bahkan semakin sulit dilalui.

Situasi ini juga disebut liminality, atau keterbatasan. Didefinisikan sebagai keadaan ketika seseorang belum sepenuhnya meninggalkan suatu kondisi, juga belum berpindah ke yang baru, setidaknya tidak secara mental hingga menyebabkan ketidakstabilan emosional.

Dalam Life Is in the Transitions: Mastering Change at Any Age (2020) oeh Bruce Feiler, perubahan terjadi setiap 12 hingga 18 bulan. Dan yang berskala besar dapat terjadi sebanyak tiga hingga lima kali dalam hidup seseorang.

Pun pada masa transisi, perjuangan akan terasa lebih berat dan tidak bahagia. Seperti dirasakan Chris, seorang underwriting assistant di perusahaan asuransi. Hidupnya tidak begitu berarti karena pekerjaannya bertolak belakang dengan karier impiannya, di bidang perhotelan.

“Impossible nyari kerja di perhotelan, nggak ada yang hiring juga,” katanya. “Bikin gue desperate banget, akhirnya apply pekerjaan di semua perusahaan yang lagi buka,” sambungnya.

Selama beberapa bulan setelah lulus kuliah, laki-laki 23 tahun itu hanya menjalani hidup dari hari ke hari, tanpa melihat prospek pekerjaan di masa depan. Kini ia mulai tertarik pada bidang asuransi, karena melihat banyaknya kesempatan berkembang, dan peluang menyukai pekerjaannya.

“Mungkin gue bakal berkembang di asuransi for the rest of my life,” ucapnya.

Mengatasi Post-Graduation Depression

Dalam bukunya, Feiler menjelaskan ketika transisi itu berhasil, seseorang mampu menemukan dirinya kembali. Karena ada berbagai cara yang bisa dilakukan, untuk terlepas dari post-graduation depression.

Pertama, mengevaluasi tingkat kontrol. Biasanya, seseorang dalam keadaan ini cenderung terfokus pada permasalahan yang terjadi, tanpa mempertimbangkan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Bahkan menyalahkan orang lain.

Baca Juga: Kenapa Memulihkan Diri dari Depresi Penting

Putri menyatakan sempat berada dalam lingkaran itu. Ketika ia menyadari ingin berkarier di bidang klinis pelayanan gizi, ia menyalahkan orang tuanya yang dianggap mendorongnya berkecimpung di bidang manajemen.

“I just need someone to blame the feeling of lostness within me,” katanya.

Padahal ketika fokusnya diubah, seseorang yang mengalami post-graduation depression akan melihat kesempatan yang terbuka untuk memberdayakan diri, dan memilih bergerak membawa perubahan.

Cara kedua adalah mencari kegiatan dan berelasi dengan orang baru, karena pertemanan dapat berubah seiring perubahan jarak dan waktu. Terlebih saat memasuki masa dewasa, memiliki kesibukan masing-masing dan membuat hubungan renggang.

Selain membangun koneksi, peluang itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menjalin pertemanan, melainkan memperluas koneksi.

Ketiga, menemukan prioritas dan fokus pada diri sendiri. Masa transisi dapat digunakan untuk berefleksi dan kesempatan untuk berkembang. Pasalnya, post-graduation depression juga dikarenakan membandingkan diri sendiri dengan lingkungan sekitar, menambah tekanan akibat perbedaan progres kehidupan.

Hal ini telah dilakukan Putri, yang memilih mengambil waktu sejenak untuk menganalisis situasinya. Perempuan yang akan melanjutkan pendidikan S-1 di Jakarta itu memutuskan, untuk berhenti membandingkan pencapaiannya dengan orang lain.

“I finally see there’s so much opportunity out there,” jelasnya.

Walaupun sempat merasa dikejar usia, ia menyadari dirinyalah yang mengendalikan hidup. Dan punya banyak waktu untuk merealisasikan karier idaman sesuai passion, sekalipun ia akan menyelesaikan pendidikan S-1 di usia 28.

“I’ll take my time, because I’m in a race with myself, not with someone else.”

Read More
ciri rekan kerja yang baik

Ciri Rekan Kerja yang Baik, Apakah Kamu Salah Satunya?

rekan kerja yang baik – Idealnya, karyawan yang baik harus selalu bisa mengerjakan tugas yang diberikan atasan, bertanggung jawab, dan mampu menjaga harmoni dalam berelasi. Tak cuma ke atasan tapi juga ke sesama kolega kerja.

Kenapa, sih penting sekali membahas perihal ini? Menurut Gradjobs.co.uk, kepribadian baik karyawan di kantor merupakan salah satu faktor yang memengaruhi produktivitas kerja. Pasalnya, semangat serta kerja sama bisa turut digenjot karena hal ini. 

Baca Juga: Dipromosikan, Bagaimana Menjaga Relasi dengan Rekan Kerja?

Yuk, langsung saja kita simak ciri-ciri rekan kerja yang baik berikut ini versi Magdalene.

Menghormati Sesama

Sebagai rekan kerja yang baik, kamu harus bisa menghormati sesama. Dalam bekerja, pasti akan bertemu suatu masalah, baik problem personal atau pekerjaan. Tidak peduli seberapa kompleks masalah yang terjadi, kamu harus selalu memperlakukan semua orang dengan rasa hormat, ya.

Kamu bisa utarakan rasa tidak suka atau kurang setuju dengan perkataan sopan dan baik. Dengan begitu, masalah yang timbul dapat diselesaikan secara dewasa.

Aturan ini juga berlaku dalam situasi sehari-hari biarpun sedang tidak ada masalah. Selalu pilih kata-kata yang sopan dan perlakukan teman kerja dengan baik.

Rekan Kerja yang Baik akan Terbuka dengan Masukan

Rekan kerja yang baik bukan cuma mereka yang pintar dalam memuji tetapi juga membuat orang lain berkembang jadi lebih baik, yakni dengan memberikan kritik dan saran yang membangun. Cara paling tepat untuk mengingatkan orang lain adalah dengan membicarakannya langsung.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Namun, kamu juga harus mampu terbuka dalam menerima masukan. Menerima kritik dan saran memang tidak gampang, tetapi dampaknya bukan cuma baik untuk diri sendiri, tapi juga untuk perusahaan.

Rekan Kerja yang Baik akan Mempunyai Sifat yang Jujur

Kejujuran merupakan salah satu karakter yang penting dalam diri seseorang. Untuk dapat jadi teman kerja yang dipercaya, pastinya seseorang harus memperlihatkan kalau ia jujur dalam melaksanakan tugas.

Tak hanya itu, jujur juga berlaku waktu kamu sengaja atau tidak melakukan kesalahan. Kamu harus bisa mengakui kesalahan yang dilakukan dan belajar dari kesalahan tersebut.

Teratur

Menurut Indeed.com, teratur di sini berarti seseorang tersebut paham bagaimana menentukan jadwal serta mana yang penting untuk dikerjakan terlebih dahulu.

Kemampuan ini membuatmu dapat membereskan pekerjaan tepat waktu jadi tidak akan menyulitkan rekan kerja yang lain. Jika kamu merupakan seorang pekerja yang teratur, tentu orang yang ada dalam satu divisi dengan kamu akan cenderung menyukaimu.

Punya Dedikasi

Ciri lain dari rekan kerja yang baik adalah punya dedikasi. Kalau kamu ingin dikenal sebagai rekan kerja yang jadi panutan, sifat ini jangan sampai terlupakan.

Baca Juga: 4 Cara Hadapi ‘Mansplaining’ dan Interupsi dari Rekan Kerja

Seseorang yang berdedikasi akan bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan tanggung jawabnya. Dengan begitu, ia mampu menjadi anggota tim yang mendorong hasil-hasil positif dalam pekerjaan.

Akan tetapi, berdedikasi disini bukan berarti kamu jadi tidak punya work-life balance ya. Kamu juga harus pisahkan waktu bekerja dengan serius dan kapan waktunya untuk kamu beristirahat.

Terbuka dan Kolaboratif

Kamu pasti mengharapkan seseorang yang rela membantu orang lain, apa lagi kalau mereka mempunyai inisiatif untuk menolong tanpa diminta. rekan kerja seperti ini ingin dan bisa meringankan beban kerja kamu sambil membentuk relasi. Kamu dapat membentuk hubungan yang baik dengan mereka dan hal ini sangat berguna buat kamu berdua di nantinya.

Sebagai anggota tim yang baik, rekan kerja seperti ini pastinya dapat diandalkan untuk menyelesaikan bagian pekerjaannya dengan baik. Keterampilan ini juga diperlihatkan dengan adanya kemampuan untuk mau mendengarkan pendapat dari rekan yang lain, brainstorming tentang jalan keluar dari permasalahan yang muncul, terbuka dengan ide baru, serta dapat dipercaya.

Rekan Kerja yang Baik Dapat Diandalkan

Ciri yang tidak kalah penting dari seorang rekan kerja yang baik adalah dapat diandalkan. Menurut Jobstreet.com.sg, kolegamu di kantor harus bisa mengandalkanmu dalam membereskan tugas yang diberikan. Tidak hanya itu, kamu juga harus jadi seseorang yang bertanggung jawab. Berarti, kamu juga harus bertanggung jawab dari kesalahan yang kamu buat waktu bekerja.

Baca Juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana?

Punya Sikap Positif

Optimisme juga termasuk hal yang sangat dibutuhkan di tempat kerja. Rekan kerja positif yang mempunyai optimisme di kantor bisa menjadi penopang buat teman lainnya, apalagi di waktu-waktu sulit.

Untuk bisa bersikap positif, kamu dituntut untuk melatih kecerdasan dalam mengatur emosi.

Berempati

Mempunyai rasa empati berarti kamu dapat memahami apa yang dirasakan orang lain. Dengan adanya empati, kamu dapat membuat suasana kerja yang nyaman untuk semua orang.

Pasalnya, empati punya peran yang sangat penting dalam menciptakan hubungan interpersonal dengan rekan kerja maupun atasan.

Self-starter

Sifat yang merupakan salah satu ciri-ciri rekan kerja yang baik ini lumayan mirip dengan arti kata inisiatif.

Sebagai teman sekantor yang baik, kamu harus memiliki keinginan dari dalam diri untuk mulai tanpa harus disuruh atau diperintah orang lain.

Tentunya, ini terpaut hal-hal baik di kantor, ya. Self-starter dapat berlaku untuk pekerjaan, seperti memberikan pendapat atau mendapatkan solusi dari suatu masalah.

Selain itu, self-starter juga bisa berarti punya inisiatif untuk menolong teman-teman lainnya di kantor.

Rekan Kerja yang Baik Merupakan Pendengar yang baik

Menjadi seorang pendengar yang baik juga sangat penting di tempat kerja.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

Mendengarkan orang lain tidak hanya dibutuhkan waktu mereka curhat kepadamu, tetapi juga waktu terjadi diskusi mengenai permasalahan pekerjaan.

Dengan mampu mendengarkan dengan baik, kamu bisa mencari jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang ada.

Problem-solver

Tidak semua rekan kerja yang baik pasti mempunyai sifat ini. Akan tetapi, kemampuan dalam mencari solusi akan sangat baik jika dimiliki.

Problem-solver merupakan orang yang bisa memberi ide dan saran untuk mengatasi suatu permasalahan di pekerjaan.

Jika ingin disebut problem-solver, kamu juga perlu mempunyai skill untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan.

Read More
tipe gaya kepemimpinan

7 Gaya Kepemimpinan yang Disukai Karyawan

Gaya kepemimpinan adalah daya upaya seorang untuk memengaruhi dan memberdayakan orang lain, baik dalam organisasi maupun perusahaan.

Setiap perusahaan umumnya menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi sistem perusahaan, berapa banyak karyawan, dan target yang harus dikejar.

Jika kamu punya tujuan menjadi seorang leader atau manajer di kantor sekarang kamu bekerja, kamu perlu memahami beragam gaya orang dalam memimpin. Ini juga berguna bila kamu belum menjadi seorang pemimpin, kamu jadi tahu cara yang tepat menghadapi atasan dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Baca Juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Ada beberapa gaya kepemimpinan yang dapat kamu pelajari dengan saksama. Kira-kira apa saja, ya? Berikut ini beberapa gaya kepemimpinan yang sudah dirangkum dari berbagai sumber.

1. Gaya Kepemimpinan Multikultural

Cocok dengan namanya, gaya kepemimpinan ini umumnya diterapkan pada kantor atau perusahaan yang para karyawannya memiliki latar lintas budaya.

Gaya kepemimpinan multikultural berarti atasan harus bisa menghargai dan menerima seluruh budaya yang “dibawa” oleh setiap karyawannya. Contoh yang umum, pemimpin mendukung setiap perayaan hari raya dari berbagai budaya.

Waktu menjelang hari natal, perusahaan akan membuat kegiatan tukar kado antar karyawan. Lalu, waktu bulan Ramadan, pemimpin akan mengusulkan untuk membuat acara buka puasa bersama. Hal-hal seperti ini bisa membuat karyawan jadi merasa lebih diterima dan dilibatkan, sehingga berpengaruh positif kepada pengalaman bekerjanya.

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Dikutip dari Blog.hubspot.com, gaya kepemimpinan demokratis agak mirip dengan paham politik demokrasi.

Kepemimpinan demokratis akan mempunyai pembagian kekuasaan yang setara. Berarti, tidak ada satu pihak yang lebih menguasai dari lainnya dalam proses pengambilan keputusan.

Gaya demokratis tidak memperlihatkan hierarki. Pemimpin yang menerapkan gaya ini memberikan kesempatan yang sama buat para karyawannya untuk berperan serta lebih aktif untuk mengambil keputusan.

Di sini, pendapat boleh ditukar dengan bebas tanpa dihakimi karena diskusi sangat dianjurkan. Peran pemimpin lebih membimbing memegang kendali atas jalannya musyawarah.

Nah, pemimpin juga punya tugas untuk menentukan siapa di dalam grup yang bisa berkontribusi pada keputusan yang dibuat.

Baca Juga: Tidak Bekerja sampai Bukan Pemimpin, 4 Miskonsepsi Kodrat Perempuan

Namun, ini tidak berarti kalau setiap keputusan harus selalu dibuat dalam grup. Tergantung dari peran dan tanggung jawab setiap karyawan, keputusan akhir tetap di tangan pemimpin.

Dengan menerapkan gaya kepemimpinan ini, komunikasi atasan ke bawahan dan sebaliknya dapat terjalin dengan efektif serta efisien.

3. Kepemimpinan Strategis

Seluruh bagian dari suatu perusahaan dapat ikut serta dalam memberikan kinerja terbaiknya kalau gaya kepemimpinan yang diterapkan berfokus pada strategi.

Tidak cuma yang berada di top management yang memiliki kuasa dan peranan penting, sebagai karyawan biasa, kamu yang ingin menaikkan mutu kehidupan atau perusahaan juga dapat mengambil peran.

Gaya kepemimpinan ini pasti dibutuhkan oleh tim riset dan strategi dari beragam jenis perusahaan, khususnya dalam membuat pola yang dinamis untuk mengikuti perubahan pasar atau target.

Lewat kepemimpinan strategis, seharusnya tiap pekerja yang ada di perusahaan memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan ide serta gagasannya. Apalagi kalau ada peluang baru yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar, ini akan jadi kesempatan besar suatu perusahaan meningkat.

Kolaborasi antara demokratis dan strategis akan menciptakan produk-produk andalan. Terlebih, di zaman yang serba digital seperti sekarang ini.

4. Visioner

Dikutip dari Thebalancecareers.com, gaya kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang lebih melihat tujuan ke depan dan dengan cepat mengambil tindakan untuk mewujudkannya.

Pada dasarnya, orang dengan gaya kepemimpinan ini selalu mencari peluang perusahaan atau organisasi yang tidak disadari oleh orang lain.

Lalu, ia akan mengeluarkan ide-ide brilian yang memungkinkan perusahaan bisa ikut bersaing dengan para kompetitor.

Kendati demikian, banyak berpendapat kalau gaya kepemimpinan ini kurang efektif untuk diaplikasikan ke dalam perusahaan.

Pasalnya, anggota timnya akan bingung dalam menentukan tugas mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Karena pemimpin visioner akan selalu mengeluarkan ide-ide baru.

Menurut Michiganstateuniversityonline.com, sangat penting buat para pemimpin visioner untuk membuat dirinya lebih seimbang dengan orang-orang yang ada disekelilingnya.

Bahkan, lebih bagus lagi kalau gaya kepemimpinannya tidak cuma visioner saja, akan tetapi menanamkan gaya lain yang lebih demokratis.

Baca Juga: 5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema

Pada intinya, kepemimpinan visioner akan efektif kalau ia bisa menyesuaikan dirinya dengan rekan kerja yang lain.

5. Pemimpin yang Fasilitatif

Gaya kepemimpinan ini terlihat sama dengan gaya yang sebelumnya, tetapi ada pembeda yang signifikan, khususnya dari segi penerapannya.

Pemimpin tipe ini umumnya lebih melihat ke hasil, tidak begitu memikirkan peningkatan skill karyawannya.

Selama pekerjaan tetap bisa terselesaikan, kemungkinan besar atasan tidak akan ikut campur terlalu banyak. Namun, kalau ada divisi maupun karyawan yang tidak bekerja sebagaimana mestinya, pemimpin ini tidak akan ragu untuk langsung turun langsung mengamati proses.

Hal yang positif dari pemimpin fasilitatif adalah ia tidak akan membatasi karyawan dalam membereskan pekerjaan.

Kalau karyawan memiliki cara sendiri yang dirasa lebih baik, atasan tidak akan memprotes selama pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik.

Gaya yang satu ini umumnya dipilih para pebisnis yang usahanya sudah mempunyai banyak cabang dan tidak perlu selalu dipantau setiap saat karena sudah ada standar yang perlu dipenuhi para karyawan.

6. Memimpin Sambil Mengajar

Gaya kepemimpinan tersebut sangat menguntungkan buat para pekerja. Jenis pemimpin yang satu ini mirip dengan servant leadership, yang tidak akan ragu untuk langsung membantu serta membimbing setiap pekerjanya dalam meningkatkan keterampilan dan wawasan.

Jika kamu ingin menjadi pemimpin yang bergerak sambil mau membantu setiap karyawan, dibutuhkan kerelaan untuk menyediakan waktu sebaik-baiknya. Sebab, waktumu pastinya akan terbagi, salah satunya untuk membimbing karyawanmu.

Jenis kepemimpinan ini dibutuhkan dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan secara periodik supaya kemajuan para staf juga bisa terpantau.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Selain waktu, para atasan juga akan mencurahkan motivasi kerja dan bantuan buat para karyawan yang ada di bawah pengawasannya.

Divisi HRD merupakan salah satu divisi yang harus mengaplikasikan gaya kepemimpinan ini dalam setiap kegiatannya karena tujuannya terbilang sangat relevan.

7. Gaya Kepemimpinan yang Berpusat pada Tim

Dalam hal ini, setiap karyawan harus bekerja dengan sepenuh hati. Sayangnya, sikap percaya dan saling dukung antarkaryawan jadi tidak terlalu dilihat karena fokusnya adalah mencapai visi-misi bersama. Gaya kepemimpinan ini sebenarnya cukup bagus diterapkan jika tiap pekerja tidak punya banyak kewajiban atau target pribadi.

Gaya yang berfokus pada tim juga membutuhkan visi yang jelas. Jadi, kamu lebih terarah fokus pada pekerjaan yang jadi tanggung jawabmu serta rekan kerja lainnya. Akan tetapi, apabila kualitas pemimpinnya masih belum mumpuni, maka hasil akhirnya bakal di bawah ekspektasi.

Read More
cara atasi digital fatigue

‘Digital Fatigue’: Kelelahan Digital dan Cara Tepat Mengatasinya

Matamu terasa capek, kulit kering, sampai sakit kepala karena terlalu lama berada di depan laptop? Barangkali kamu tengah mengalami digital fatigue. Gejala ini jamak terjadi, terutama kala pandemi COVID-19, di mana rata-rata para karyawan dipaksa untuk mengubah kebiasaan kerja jadi serba daring, sehingga mau tidak mau kita jadi lama berada di depan layar gawai.

Berikut tips atau cara mengatasi digital fatigue untukmu yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber.

Baca Juga: Beda ‘Passion’ dan Hobi, Mana yang Lebih Penting untuk Karier?

Ciri Kamu Terkena Digital Fatigue

Dikutip dari Hellosehat.com, tidak cuma mata menjadi lelah, kulit jadi kering, sampai sakit kepala, ada ciri lainnya yang menunjukkan kamu terkena digital fatigue:

  • Merasa sangat jenuh dengan berbagai kegiatan digital, seperti online meeting
  • Hilangnya semangat dalam melakukan pekerjaan di depan laptop
  • Motivasi kerja yang menurun
  • Nyeri di otot leher
  • Sakit dibagian pinggang karena jarang bergerak
  • Konsentrasi jadi berkurang
  • Nyeri punggung dan pinggang

Cara Mengatasi Digital Fatigue

Dari survei yang dilakukan Deloitte.com kalau satu dari tiga orang merasa kewalahan dengan teknologi di masa pandemi seperti sekarang ini.

Kalau kamu sekarang mengalaminya, jangan sampai dibiarkan terlalu lama, karena dapat berujung pada kesehatan mental dan fisik yang terganggu.

Nah, supaya kesehatan serta produktivitas kerja tidak terganggu, ini beberapa cara mengatasi digital fatigue:

Tentukan Batasan untuk Atasi Digital Fatigue

Salah satu cara atasi digital fatigue dan malah bisa mencegahnya dengan menentukan batasan waktu kerja.

Ya, kerja jarak jauh (WFH) selama pandemi ini membuat orang-orang kesulitan membagi waktu kerja dan pribadi.

Jadinya, kita bisa bekerja sampai malam atau bahkan lembur di akhir pekan Nah, dengan menentukan batasan, sangat berpotensi bisa mencegah burnout.

Bukannya menghambat, hal ini malah membuat kamu menemukan ritme yang pas dan menjaga produktivitas kerja.

Baca Juga: 7 Cara Jitu Atasi ‘Mental Fatigue’ di Tempat Kerja

Karena bila kamu bekerja terus menerus juga akan membuat kamu penat, fokus jadi menurun, dan malas melakukan apa pun. Dalam hal ini, menentukan batasan malah bisa membuat pekerjaanmu jadi selesai dengan baik.

Istirahat Tidur yang Cukup

Menurut Lixar.com, tidur yang kurang menjadi salah satu penyebab kamu mengalami digital fatigue. Karena bila kita terlalu lama melihat layar dapat menghambat pembentukan hormon tidur.

Untuk mengatasi digital fatigue, kamu dapat mengatur waktu tidur, sehingga kamu mendapatkan istirahat yang cukup.

Supaya kamu bisa tidur lebih nyenyak, pastikan untuk tidak melihat layar ponsel atau laptop satu jam sebelum tidur.

Sediakan Waktu Me-time

Sediakan waktu untuk bekerja dan bersantai. Work-life balance ini sangat membantu kamu jadi lebih tenang dan menjaga kesehatan mental.

Itu sebabnya, setelah seharian bekerja dengan fokus, kamu dapat menyediakan waktu untuk dirimu sendiri.

Berikan penghargaan buat diri sendiri yang sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik.

Mencari Posisi Duduk yang Nyaman Waktu Kerja

Digital fatigue dapat menyebabkan kamu jadi sakit pinggang, serta leher, dan bahu terasa nyeri.

Keadaan ini bisa semakin parah kalau tidak didukung dengan posisi duduk yang benar waktu kamu kerja seharian.

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Itu sebabnya, perlu dipastikan postur duduk yang tegak dan nyaman waktu sedang bekerja. Tidak disarankan bekerja sambil berbaring atau duduk di bangku tanpa ada sandaran.

Berinteraksi dengan Orang Lain

Pandemi membuat kita harus membatasi bertemu dengan orang lain. Jadi, sangat normal kalau banyak dari kita jadi merasa kesepian. Apalagi yang tinggal di kosan.

Namun, kalau memungkinkan, tetaplah melakukan interaksi dengan orang lain.

Berbincang sebentar dengan orang serumah, teman kos, atau bertemu teman dengan protokol kesehatan yang ketat dapat menjadi cara dalam mengatasi digital fatigue. Pun, kamu bisa juga berbincang dengan rekan kerja via telepon.

Sediakan Waktu Istirahat Sejenak

Selama bekerja, kamu perlu ambil waktu istirahat sejenak dari depan layar. Tidak perlu lama, kira-kira 15 menit. Kamu dapat keluar ruangan untuk sekadar melihat keadaan sekitar atau ke halaman rumah.

Pokoknya, alihkan pandanganmu sebentar dari layar laptop, ponsel, atau perangkat elektronik yang lain.

Melakukan Kegiatan Non-digital

Selama di rumah, mungkin kamu berpikir tidak banyak yang dapat dilakukan setelah selesai bekerja. Kamu cuma berbaring sambil lihat media sosial, bermain gim atau menonton film. Kegiatan seperti ini cuma akan menambah waktu kamu menatap layar.

Baca Juga: Para Perempuan yang Tergilas Teknologi Digital

Bagusnya, carilah kegiatan non-digital dan rutin dilakukan setiap hari. Contohnya kamu bisa mengajak hewan peliharaan keliling sekitaran komplek rumah, merawat tanaman, membaca buku, atau membersihkan rumah.

Detoks Digital

Dikutip dari Entrepreneur.com, rasanya memang susah untuk lepas dari akses dunia digital. Apalagi, kalau sekarang ini semua kegiatan dilakukan secara daring. Namun, kamu bisa mencoba detoks digital demi kesehatan fisik dan mental. Sebisa mungkin coba untuk mengurangi akses kamu ke internet dan elektronik.

Bila memungkinkan, kamu dapat memanfaatkan jatah cuti beberapa hari dan sama sekali hindari segala bentuk yang berbau digital. Jalan-jalan ke alam atau pergi ke rumah saudara mungkin dapat memaksimalkan momen detoks kamu.

Itulah beberapa ciri dan cara mengatasi digital fatigue. Pekerjaan dan aktivitasmu memang tidak akan mungkin lepas dari produk-produk digital.

Itu sebabnya, yang dapat kita lakukan sekarang adalah punya batasan. Bukan cuma mengatasi, ini juga dapat menjadi cara untuk mencegah digital fatigue. Kesehatan mental tidak kalah pentingnya dengan kesehatan fisik.

Read More
Perempuan Bekerja dalam Islam

How Far Your Colleagues Affect Your Home Life and Vice Versa?

There are benefits to being part of a couple in which both are in paid work. A dual income brings, if not necessarily great wealth, at least an element of greater economic freedom, while the relationship can be a source of love and support. 

But such couples also face particular challenges related to their domestic set up and achieving a good work-life balance. There may be greater tension over who does what at home, whether that’s household chores or childcare, and whose career takes priority when it comes to progression, development and time. 

Such conflicts might seem to be part of the familiar distinction between home life and work life. But our new research suggests the two are more closely linked than we might think.

Baca juga: Partnering up Can Help You Grow—Here’s a Psychology of a Romantic Relationship

For example, we found that someone who benefits from a positive working environment with supportive colleagues, is likely to pass on those benefits to their partner at home. In the other direction, a loving relationship at home is likely to translate into greater dedication and creativity in the work place. 

Put more simply, if you’re happy at work, you’ll be happier at home, which in turn will make you better at your job.

We discovered this by studying the everyday experiences of 260 dual income heterosexual couples in the US over a period of six weeks, to understand how their home lives and work lives affected each other. The main goal of our research was to discover where people looked for support, and whether or not they found it. 

Previous studies had suggested that someone seeking to address conflicts between their work and home lives (such as asking for more flexible hours) would typically go to a manager or supervisor for help.

But our work revealed the importance of immediate colleagues in resolving such issues by providing vital support and advice. Indeed co-workers at a similar professional level can be seen almost as “work-spouses” for emotionally challenging times. 

They are the starting point of what we call a “gain spiral”, in which the benefits of a supportive relationship with colleagues then transfers to an employee’s home life, where they are subsequently shared with a partner. 

Baca juga: Not Everyone is Male or Female—the Controversy Over Sex Designation

Taking your work home with you

Essentially this means that employees take the support they receive from co-workers home with them, and in a loving relationship, transfer this support to their partners. This might mean they encourage them to open up about stresses, seek to resolve issues, or make improvements to how they juggle work and family life arrangements.

That support in a loving relationship causes partners to feel happier, more satisfied, and more positive about their own work, where they subsequently become more engaged and productive. Our research highlights the role of these two key relational “resources”: valued colleagues and loving partners. The two appear to be clearly linked and vital elements of a healthy work-life balance.

Baca juga:  Sexual Harassment at Work Harms Employment and Economy

So perhaps it might be time to re-evaluate your relationship with your colleagues. Rather than seeing them simply as people who share your workspace, think of them as people who have a significant impact on your home life too. (And you on theirs.) This is true whether you share a tightly spaced office or engage with them mostly online. 

And while we don’t think employers should meddle with their employee’s personal lives, they may be able to contribute to the quality of relationships at home by putting policies and procedures in place to minimise work-family conflict. This may include limiting excessive working hours and reducing expectations of responding to messages outside of work. They should also be aware that if colleagues get on well, everyone benefits – at work and at home.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Yasin Rofcanin is Reader and Associate Professor of Organisational Behaviour & Human Resource Management, University of Bath.

Jakob Stollberger is Associate Professor of Organisational Behavior, Vrije Universiteit Amsterdam.

Mireia Las Heras is Professor of Managing People in Organisations, IESE Business School (Universidad de Navarra).

Read More
gaya kepemimpinan servant leadership

‘Servant Leadership’ dan Pentingnya Jadi Bos yang Membumi

Sangat beragam jenis gaya kepemimpinan yang dapat diaplikasikan dalam perusahaan. Salah satu yang relatif unik adalah servant leadership. Gaya satu ini ditandai dengan ciri khas atasan akan meninggalkan sifat otoriter dan cenderung lebih besar melayani karyawannya.

Apa yang Dimaksud dengan Servant Leadership?

Menurut Psychologytoday.com, servant leadership adalah jenis kepemimpinan yang punya pandangan kalau tujuan utama seorang pemimpin adalah untuk melayani karyawan.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

Tidak cuma itu saja, pemimpin juga harus bisa memberikan dukungan kepada karyawan dalam memajukan keterampilannya.

Jadi, yang membuat servant leadership terlihat berbeda dengan jenis kepemimpinan lainnya adalah tujuannya. Pemimpin dengan gaya ini tidak akan memperlakukan orang lain sebagai bawahan, tetapi rekan kerja.

Istilah servant leadership dikemukakan pertama kali oleh Robert K. Greenleaf dalam esainya “The Servant as Leader” pada 1970. Ia menjelaskan, sebagai pemimpin fokusnya harus digeser pada kemajuan serta kesejahteraan orang-orang atau komunitas di mana ia berada.

Investopedia.com menambahkan, tujuan servant leadership adalah untuk mengubah hubungan manajemen perusahaan dan karyawan jadi lebih sinergis.

Saat atasan menerapkan gaya kepemimpinan yang satu ini, dipercaya karyawan jadi lebih termotivasi dan produktivitas kerja bisa terus meningkat.

Karakteristik Servant Leadership

Dikutip dari Mindtools.com, ada 10 karakteristik atau prinsip dalam servant leadership. Berikut ini pejelasannya:

1. Servant Leadership akan mempunyai Empati

Pemimpin yang tidak mempunyai rasa empati pastinya akan susah dekat dengan para karyawannya. Sebaliknya, jika pemimpin dapat berempati, ia bisa jadi lebih paham dengan keinginan dan kebutuhan setiap karyawannya.

2. Kesadaran diri

Pemimpin yang menerapkan servant leadership juga harus selalu mempunyai kesadaran diri yang baik. Ia harus paham bagaimana posisi dan tanggapan karyawan kepada dirinya.

Baca Juga: Pemimpin Perempuan: Perkara Kesempatan

Kesadaran diri juga akan mendukung pemimpin mengetahui apa yang jadi kekuatan dan kelemahan yang ada di dalam dirinya. Self-awareness juga tidak cuma harus dimiliki oleh pemimpin, tapi seluruh pekerja.

3. Mendengarkan

Seorang pemimpin harus bisa jadi seorang pendengar yang baik. Hal ini sangat penting untuk para pemimpin supaya lebih mengenal orang-orang yang bekerja sama dengannya.

Servant-leader mendengarkan dengan penuh perhatian kepada setiap karyawannya, termasuk mengenali dan membantu memperjelas keinginan tim, juga mendengarkan suara hati dirinya sendiri.

4. Emotional Healing

Fokus utama dari servant leadership adalah membantu dan memberikan rasa nyaman buat karyawan untuk terus berkembang.

Nah, pada prinsip ini, pemimpin harus paham kalau tidak semua karyawan dapat dengan mudah diajak kerja sama. Karena itu, pemimpin harus mampu membuat lingkungan kerja yang bisa membuat setiap karyawan jadi merasa nyaman dan dapat jadi tempat healing terbaik untuk mereka.

5. Persuasif

Komunikasi merupakan keterampilan yang harus dipunyai oleh setiap atasan atau pemimpin.

Tidak cuma bisa berkomunikasi dengan lancar, mereka juga dituntut untuk persuasif. Idealnya pemimpin tahu bagaimana caranya membina dan membujuk para karyawannya untuk bisa jadi lebih baik.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Servant leadership lebih mengutamakan mindset yang serupa antar dirinya dan bawahannya sebelum menyelesaikan sebuah pekerjaan. Jadi, tidak akan ada keputusan cuma sepihak dari atasan.

6. Konseptualisasi

Kemampuan mengantisipasi masalah dari perspektif konseptualisasi berarti berpikir jangka panjang dalam basis yang lebih luas. Konseptualisasi juga berarti atasan diharapkan bisa membangun tim kepada kesuksesan.

Ia harus mampu menentukan setiap target yang ingin diraih dengan teliti. Lalu, membicarakan target tersebut kepada para anggota tim.

7. Komitmen untuk Pertumbuhan Karyawan

Seperti yang disebutkan di atas, tujuan dari servant leadership adalah menolong para karyawan untuk bisa berkembang dan menaikkan kemampuannya.

Dengan demikian, pemimpin diharapkan dapat melayani dan berkomitmen untuk menolong setiap karyawan untuk menaikkan kualitas skill yang dipunyai.

Contohnya, dengan memberikan training yang tepat sebelum melimpahkan tugas kepada karyawan.

8. Gaya Kepemimpinan Servant Leadership akan Melayani

Dalam gaya kepemimpinan ini, kapabilitas pemimpin dalam mengambil tugas atau tanggung jawab sangat digarisbawahi. Seorang pemimpin harus paham mengenai pentingnya tanggung jawab yang dimilikinya.

Baca Juga: Mengenal Kecerdasan Emosional yang Penting di Dunia Kerja

Dengan begitu, ia bisa menjaga dan menjunjung tinggi kepercayaan serta impian yang diberikan oleh para pekerja.

9. Melihat Jauh ke Depan

Tujuan penting dari prinsip servant leadership adalah untuk melihat bagaimana hasil kinerja tim nantinya.

Supaya mampu melakukan prediksi, maka atasan harus meninjau lagi seperti apa kinerja setiap bawahan selama ini. Informasi yang sudah ia dapat bisa digunakan untuk membuat konsep yang lebih matang di masa depan.

10. Menciptakan Komunitas

Karakteristik terakhir dari servant leadership adalah mampu membangun komunitas dan lingkungan kerja yang nyaman serta selaras.

Setiap karyawan pasti ingin punya tempat kerja yang menyenangkan. Nah, di sini pemimpin punya peran sangat penting. Mereka harus bisa memastikan setiap pekerja dapat merasa nyaman waktu bekerja.

Read More
cara jitu membangun karier

‘Love-Hate Relationship’ dengan Pekerjaan, Haruskah Karyawan Bertahan?

Begitu menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah, rasanya hampir setiap orang dihadapkan dua pilihan: Bekerja sesuai passion atau mengejar gaji tinggi demi bayar tagihan. Tak sedikit yang memilih opsi kedua, katanya realistis.

Pernyataan ini juga didukung hasil survei Capital One pada 2017, sebagaimana dilansir dari Forbes. Sebanyak 60 persen responden generasi milenial nyatanya termotivasi mendapatkan pekerjaan dengan cepat karena alasan keuangan. Sehingga, mereka mengesampingkan karier yang sesuai nilai-nilai pribadi, seperti kepentingan dan keyakinan diri.

Alhasil, kerapkali pekerjaan yang dilakukan setiap hari hanya sebagai “formalitas” sambil menunggu gajian tiba setiap bulannya.

Baca Juga: Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas

Kondisi ini mengingatkan saya pada seorang teman, “Anas”, pekerja di perusahaan agensi. Ia sebenarnya ingin mengejar keinginannya bekerja sebagai jurnalis, tapi mempertimbangkan penghasilannya yang enggak seberapa, niat itu urung. Saat ia akhirnya memutuskan untuk mengejar uang di bidang kerja lain, ia sendiri mengaku tidak begitu menikmati tanggung jawabnya. Bahkan, ia ingin kembali mengembangkan kemampuannya dalam jurnalisme.

Dari kisah Anas, kita belajar, apabila pekerjaan hanya dilakukan dari hari ke hari untuk memenuhi kebutuhan finansial tanpa makna di dalamnya, pekerja cenderung tidak mencapai kebahagiaan atau karier impian.

Maka dari itu, kami merangkum empat langkah yang bisa kamu lakukan untuk membangun karier yang tidak dibenci.

1. Tentukan Tujuan Berkarier

Menduduki jabatan tinggi, berpenghasilan besar, bekerja di perusahaan ternama, punya bisnis sendiri, menjadi ahli di bidangnya, atau hidup berkecukupan serta sehat fisik dan mental. Hal-hal itu adalah beberapa contoh tujuan berkarier, yang sayangnya tidak dapat dipukul rata bagi setiap pekerja.

Semua itu dapat didasarkan pada sebuah kata tanya, “mengapa?”, yang jawabannya dapat digunakan sebagai pengambilan keputusan, dan membantu menemukan makna dalam pekerjaan.

Tentu bukan perkara mudah, untuk bertanya pada diri sendiri tentang tujuan karier. Namun, jawabannya tidak hanya memengaruhi kehidupan profesional, tetapi juga pribadi. Pasalnya, dalam kehidupan kita, keduanya saling beririsan dan berdampak satu sama lain.

Apabila kesulitan menemukan tujuan berkarier, kamu bisa memulainya dengan beberapa pertanyaan sederhana. Misalnya, siapa sosok yang menginspirasimu untuk melakoni pekerjaan ini, hal-hal yang paling berarti dalam hidup, perubahan yang ingin dicapai melalui pekerjaan, dan kapan kamu merasa paling bangga dengan diri sendiri.

Jika tujuan karier telah tergambarkan, kamu dapat membentuk langkah-langkah kecil yang membantu mencapai titik tersebut. Jangan lupa sebisa mungkin hindari situasi yang menghalangi perkembangan karier.

2. Membangun Karier dengan Perhatikan Momen Bekerja yang Menggairahkan

Merasa jenuh bekerja adalah hal wajar yang dialami seorang pekerja. Terlebih selama pandemi, sudah enggak muncul kegembiraan ketika membayangkan harus bangun pagi setiap hari dan mengulangi rutinitas yang sama.

Baca Juga: Perempuan di Simpang Jalan: Pilih Bekerja atau IRT?

Namun, ada kalanya suatu pekerjaan dirasa menyenangkan, dan tidak membutuhkan usaha ekstra untuk melakukannya.

Bagi seorang reporter media online seperti saya misalnya. Menulis topik yang berkaitan dengan tokoh idola atau dunia hiburan merupakan salah satu hal menggairahkan, membuat bekerja lebih menyenangkan dan hasilnya memuaskan.

Meskipun momen-momen itu tak melulu dapat dilakukan, sebagai pekerja kamu perlu lebih sadar tentang hal-hal dalam pekerjaan yang menggembirakan. Tujuannya sebagai salah satu petunjuk dalam membangun karier jangka panjang. Pun jika pekerjaan saat ini dianggap monoton, ingatlah ada pengalaman dan pengetahuan yang berguna di masa depan.

3. Ketahui Career Trap

Career trap merupakan perilaku yang dilakukan karena sudah familier, padahal berdampak negatif pada pekerjaan. Sering kali, hambatan ini baru disadari ketika seorang pekerja mengalami burnout, pemecatan, jatuh sakit, dan painful boredom—merasa kebosanan dan kecemasan yang menyedihkan hingga tidak dapat berkonsentrasi.

Melansir Harvard Business Review, terdapat beberapa bentuk career trap yang umumnya dialami pekerja.

Baca Juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Pertama, expectation trap. Ini terjadi ketika seseorang berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, dan enggan mengakui kesulitan baik secara mental maupun menghadapi beban kerja. Alasannya, mereka tidak ingin orang lain mengetahui dirinya tidak mampu mengatasinya.

Kedua, ambition trap pada high-achiever. Mereka terbiasa bekerja keras untuk meraih kesuksesan, dan mengkhawatirkan jika memperlambat cara kerjanya, ia akan berhenti memperoleh pencapaian.

Ketiga, translation trap. Yakni situasi ketika seseorang telah bekerja keras untuk berada di posisinya saat ini, tetapi belum merasa bahagia sebagaimana diperkirakan akan didapatkan. Pada situasi ini, ia juga merasa kesuksesannya tidak sesuai dengan tujuan, juga khawatir untuk “pindah haluan” karena merasa hanya memahami pekerjaan yang dilakukan saat ini.

Keempat, adrenalin trap, yaitu seseorang yang bekerja berlebihan tanpa memperhatikan kesehatan tubuh dan mentalnya.

Kelima, busyness trap. Umumnya seseorang yang senang pekerjaannya dijadikan sebagai bagian dari identitas diri, sehingga selalu mengutamakan pekerjaan. Alhasil, mereka mengorbankan kesehatan dan waktu untuk orang-orang di sekitarnya.

4. Membangun Karier dengan Cari Kesempatan Mengembangkan Diri

Tercapainya tujuan karier tidak lepas dengan usaha untuk mengeksplorasi kemampuan diri, baik soft skill maupun hard skill, yang sesuai dengan goals tersebut. Pengembangan ini tidak hanya berupa pelatihan yang diberikan perusahaan, kamu juga bisa proaktif mencari komunitas atau kegiatan yang dinilai mendukung dan dapat memperluas networking, atau menyesuaikan nilai-nilai diri.

Baca Juga: Apa itu ‘Life Skill’ dan Bagaimana Cara Mengembangkannya?

Misalnya mengambil kursus online bersertifikasi, menjadi volunteer, mencari mentor, atau rutin membaca untuk mengedukasi diri dan selalu bersikap ingin tahu.

Karena untuk mencapai tujuan tersebut, yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan diri, melainkan peran orang-orang di sekitar. Mereka akan membantu dalam memperluas sudut pandang dan cara berpikir, memperhatikan kesempatan untuk mengembangkan karier, serta memahami profesi yang ditekuni secara mendalam.

Read More
gaya manajemen di tempat kerja

Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana?

Sebagai seorang pemimpin perusahaan, ada tuntutan untuk terus adaptif dan bisa menghasilkan putusan bijak demi kepentingan bersama. Ini termasuk saat dihadapkan pada dilema memutuskan apakah akan tetap menerapkan kerja dari rumah (work from home), kerja hybrid, atau bekerja dari kantor tiap hari.

Tak cuma harus mempertimbangkan untung rugi buat perusahaan, pemimpin juga harus mewadahi aspirasi dari para karyawan. Apalagi karyawan yang sudah terlanjur nyaman bekerja dari rumah dan tetap produktif. Pun, karyawan yang punya kekhawatiran tinggi soal peningkatan kasus COVID-19 dengan varian-varian barunya.

Nah, di sinilah, pelaksanaan gaya manajemen kerja yang benar akan berdampak baik terhadap perusahaan. Contoh keuntungannya, yakni menggenjot produktivitas kerja dan memuaskan banyak kalangan, dari stake holders sampai karyawan grass root.

Untuk kamu yang ingin menjadi pemimpin, pastinya harus paham apa saja jenis gaya manajemen kerja yang dapat diterapkan di kantor. Dengan memahami ini, kamu dapat menciptakan strategi yang paling tepat untuk tim kamu nantinya.

Lalu, apa saja gaya manajemen kerja yang biasanya dipilih oleh para pemimpin? Yuk, kita bahas selengkapnya di bawah ini!

Apa yang Dimaksud dengan Gaya Manajemen di Tempat Kerja?

Menurut Topcareer.id, gaya manajemen adalah pedoman-pedoman yang terdiri dari metode, keahlian, dan metode yang dipakai manajer dalam menangani situasi.

Baca Juga: Tidak Bekerja sampai Bukan Pemimpin, 4 Miskonsepsi Kodrat Perempuan

Hal yang satu ini mencakup bagaimana seorang manajer waktu membuat rencana, mengatur, mengambil keputusan, melimpahkan wewenang, sampai mengatur timnya.

Seorang pemimpin yang baik akan menyesuaikan gaya manajemen kerjanya dengan berbagai faktor dan akan selalu fokus pada tujuan yang ingin dicapai.

Jenis Gaya Manajemen di Tempat Kerja

Setelah kita tahu definisinya, yuk sekarang kita pahami apa saja jenis gaya manajemen kerja yang sering dipakai oleh para pemimpin berikut ini:

1. Gaya Manajemen Persuasif

Dikutip dari Indeed.com, ketika atasan menerapkan gaya manajemen ini, ia akan memakai kemampuan persuasi untuk membuat para karyawan menjadi yakin kalau keputusan yang diambilnya untuk kebaikan tim dan perusahaan.

Dalam melaksanakan strategi ini atasan akan menjelaskan proses pengambilan keputusan. Jadi, karyawan seakan-akan ikut andil dan merasa jadi lebih dihargai pendapatnya.

Kelebihannya adalah membuat karyawan jadi lebih percaya dengan atasan. Pun, karyawan akan memberikan respon yang baik kepada keputusan atasan

Sementara, kekurangannya, karyawan masih dibatasi karena keputusan tetap dibuat oleh atasan. Selain itu, karyawan masih susah dalam mengeluarkan umpan balik pada keputusan yang dibuat

2. Delegasi

Gaya manajemen kerja yang selanjutnya ini, atasan akan datang cuma untuk memberikan tugas.

Baca Juga: Bertanya pada Bos Saat ‘Performance Review’, Kenapa Tidak?

Kemudian, karyawan diberikan tanggung jawab penuh menyelesaikan pekerjaan sesuai keinginannya.

Setelah pekerjaan sudah diselesaikan, atasan akan memeriksa pekerjaan dan cuma memberikan saran kepada karyawan.

Kelebihannya, karyawan akan jadi lebih kreatif. Selain itu, karyawan diberikan kepercayaan untuk menangani permasalahan mereka sendiri.

Adapun kekurangannya, tidak ada pengawasan langsung dari atasan, bisa menyebabkan produktivitas kerja jadi turun. Pun, jaryawan jadi merasa atasan tidak memberikan kontribusi kepadanya.

3. Transformasional

Gaya manajemen transformasional lebih terfokus pada pertumbuhan karyawan. Atasan akan memotivasi karyawan supaya dapat menciptakan pencapaian yang lebih besar.

Selain itu, manajer mau bekerja sama dengan setiap karyawan dan memberikan contoh untuk mereka bagaimana etos kerja yang baik, supaya memperoleh hasil terbaik.

Kelebihannya, karyawan akan memberikan perubahan untuk perusahaan. Karyawan juga jadi lebih kreatif sehingga bisa menciptakan solusi buat permasalahan perusahaan.

Kekurangannya, jika tidak diterapkan dengan benar, gaya manajemen ini dapat membuat karyawan kehabisan tenaga. Pun, karyawan jadi punya beban berlebih karena harus terus-menerus meraih pencapaian yang lebih baik dari sebelumnya.

4. Gaya Manajemen Kolaboratif

Dikutip dari Indeed.com, dalam gaya ini, atasan akan selalu bekerja sama dengan setiap karyawan.

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak?

Pemimpin akan rutin membuat semacam forum terbuka untuk mendiskusikan banyak hal sebelum akhirnya membuat suatu keputusan.

Kelebihannya, karyawan jadi merasa lebih dipercaya, dihargai, dan didengar gagasannya. Selain itu juga menginspirasi supaya setiap karyawan memberikan hasil kerja terbaiknya karena merasa segala gagasan akan didengar atasan.

Kekurangannya, metode seperti forum terbuka dapat menyita waktu yang lebih lama.

5. Visioner

Menurut Valamis.com, gaya manajemen visioner berpusat pada penyampaian visi perusahaan, divisi, atau proyek yang sedang dikerjakan oleh tim. Atasan juga ikut dalam mengerjakan kerjaan sehari-hari dengan detail.

Ia juga setiap waktu memberikan motivasi supaya tim bisa selalu konsisten dan bergerak ke tujuan yang sama.

Kelebihannya, atasan jadi lebih mudah memotivasi karyawan supaya dapat bekerja dengan tujuan bersama. Tak hanya itu, metode ini berpotensi mempererat tim dan meningkatkan kerja sama.

Sementara, kekurangannya, jika karyawan belum mempunyai pengalaman yang cukup, maka produktivitas bisa berkurang karena pengawasan yang sedikit. Tidak semua atasan dapat memberikan inspirasi yang dapat menaikan motivasi karyawan.

6. Partisipatif

Gaya manajemen kerja partisipatif bisa berjalan dengan baik, bila manajer atau karyawan sama-sama aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

Karyawan akan diberikan informasi yang lebih mendalam mengenai tujuan yang ingin dicapai, supaya bisa lebih inisiatif dalam memecahkan suatu permasalahan.

Kelebihannya, karyawan merasa dirinya lebih dihargai karena pendapatnya punya pengaruh pada pengambilan keputusan. Produktivitas bisa naik, sehingga inovasi jadi lebih gampang tercipta.

Kekurangannya, yakni membutuhkan waktu yang lebih lama, karena setiap karyawan harus ikut berpartisipasi. Kemudian, metode ini lumayan berisiko buat perusahaan, karena setiap karyawan punya akses untuk mendapatkan informasi tentang perusahaan.

7. Otoritatif

Gaya manajemen yang selanjutnya ini sering disebut sebagai otoriter, yang pemimpinya selalu mengatur para bawahannya.

Karyawan harus selalu mengikuti perintah dari atasan dan tidak boleh bertanya mengenai otoritas perusahaan.

Sementara itu, pemimpin setiap saat selalu memperhatikan karyawan dengan cermat dan mengatur kinerja mereka.

Kelebihannya adalah dalam pengambilan keputusan tidak membutuhkan waktu yang banyak.
Produktivitas pun diyakini jadi lebih meningkat waktu ada atasan.

Kekurangannya, karyawan jadi tidak terlibat, yang mengakibatkan turn over yang tinggi.
Proses inovasi juga jadi terhambat.

8. Konsultatif

Gaya manajemen ini dilakukan dengan atasan meminta masukan dan pemikiran dari tiap karyawan.

Pada akhirnya, keputusan yang diambil berasal dari pertimbangan semua informasi yang didapatkan dari setiap karyawan.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Kelebihannya ada beberapa, yakni hubungan akan jadi lebih baik antara karyawan dengan atasan karena saling percaya. Lalu, terciptanya banyak inovasi, karena karyawan lebih gampang mengutarakan pendapatnya.

Kekurangannya, proses mencari pendapat dari setiap karyawan membutuhkan waktu dan tenaga. Pun, bisa terlihat pilih kasih dari atasan kalau ada pendapat karyawan yang tidak di pilih.

9. Gaya Manajemen Pembinaan

Coaching managers atau manajer pembina senang mengambil peran seperti guru dan Umumnya atasan mempunyai pemahaman yang baik tentang berbagai tahap pengembangan profesional. Mereka senang membantu setiap karyawan dengan membangun hubungan pribadi yang kuat.

Baca Juga: Dipromosikan, Bagaimana Menjaga Relasi dengan Rekan Kerja?

Kelebihannya, karyawan jadi merasa dihargai, mereka tahu kalau mereka akan belajar dan bertumbuh sesuai peran mereka, dan lebih mungkin untuk dilibatkan. Atasan akan menciptakan ikatan yang kuat dengan karyawan mereka, dan nantinya diharapkan setiap karyawan akan lebih cenderung memberikan pekerjaan terbaik mereka untuk atasan mereka.

Kekurangannya, terfokus pada pengembangan jangka panjang, dan meninggalkan proyek jangka pendek tanpa dukungan yang tepat.

Sudah kita bahas beberapa jenis gaya manajemen kerja yang sering dipakai oleh banyak pemimpin.

Dengan mengetahui hal tersebut, sekarang kamu jadi punya gambaran seperti apa gaya yang cocok untuk diterapkan di perusahaanmu, kan?

Read More