kehilangan motivasi kerja

Quiet Quitting: Kenapa Sedikit Kerja itu Bagus untukmu dan Bos

Belakangan di banyak perusahaan (termasuk melalui platform Zoom, Teams, dan Slack), karyawan dan manajer diam-diam membahas tentang tren “great resignation”. Istilah tersebut merujuk pada fenomena meroketnya jumlah pekerja yang mengundurkan diri setelah pandemi COVID-19 pecah.

Di Inggris, misalnya, jumlah pekerja yang mengundurkan diri melonjak tajam selama 2021. Seperlima pekerja berencana keluar dari pekerjaannya untuk mencari kondisi kerja yang lebih memuaskan dan upah yang lebih baik.

Jika kamu tidak puas dengan pekerjaanmu, tapi tidak punya pilihan untuk keluar atau mencari alternatif pekerjaan yang menarik, kamu mungkin bisa mencoba melakukan “quiet quitting”. Tren untuk sekadar bekerja sesuai ekspektasi minimum ini viral di TikTok dan menggaung di kalangan pekerja muda.

Hal ini juga membuat frustrasi para manajer. Beberapa menyampaikan kekhawatiran bahwa karyawannya akan malas-malasan.

Akan tetapi, quiet quitting bukanlah untuk menghindari pekerjaan, namun agar kita tidak lupa bahwa ada kehidupan yang bermakna di luar kantor.

Dalam dua dekade terakhir, banyak orang di seluruh dunia terjerumus dalam kultur overwork (bekerja terlalu banyak), bahkan terkadang sampai mewajarkan bekerja tanpa dibayar (unpaid labour). Setelah melewati berbagai resesi hingga pandemi, Milenial dan Generasi Z sering kali tidak mendapatkan peluang kerja dan keamanan finansial yang sama dengan orang tua mereka.

Banyak profesional muda – bahkan mereka yang sekadar ingin berkarir secara pelan tapi pasti – kini harus berkutat dengan kontrak kerja yang tak pasti, ketidakpastian kerja, dan membanting tulang untuk bisa membeli rumah yang layak. Di antara mereka, ada yang terus lembur dan bekerja habis-habisan demi mengamankan promosi dan bonus – dan itu pun tetap belum cukup.

Penelitian yang dilakukan Deloitte menunjukkan, anak muda semakin mencari fleksibilitas dan makna dari pekerjaan yang mereka jalani, serta keseimbangan dan kepuasan dalam hidup mereka – mungkin sebagai respons atas kekecewaan mereka terhadap iklim kerja saat ini. Banyak profesional muda kini menolak “hidup untuk kerja”. Mereka tetap bekerja, tapi menjaga agar pekerjaan tidak mengontrol mereka.

Bekerja dengan kapasitas minimal mungkin terkesan asing. Namun, kamu (dan bosmu) tidak perlu takut untuk melakukan quiet quitting. Bisa jadi hal ini bagus untukmu.

Baca juga: Kerja Berlebihan, Diglorifikasi Padahal Bikin Perempuan Merugi

Bekerja Lebih Sedikit Baik untuk Kesehatan Mental

Sejumlah studi menemukan, work-life balance (keseimbangan kerja dan hidup) berkaitan dengan kesehatan mental di berbagai jenis pekerjaan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh situs reviu pekerjaan Glassdoor terhadap 2.017 pekerja di Inggris pada 2021, menemukan lebih dari separuh respondennya merasa mereka memiliki work-life balance yang buruk.

Quiet quitting bisa menjadi upaya untuk mengembalikan keseimbangan ketika pekerjaan mulai merayap masuk ke waktu personalmu.

Ini juga bisa jadi cara untuk membantu kamu agar tidak lagi beranggapan, nilai dirimu sepenuhnya ditentukan oleh karier dan pekerjaan. Ketika yang kamu miliki hanya pekerjaanmu, kemungkinan kamu akan menilai dirimu hanya dari pekerjaan tersebut.

Jika kamu merasa mengalami kegagalan dalam pekerjaan, seperti tidak mendapatkan promosi atau penghargaan atas pencapaianmu, bisa jadi kamu kemudian menginternalisasi hal ini menjadi kegagalan personal. Ini dapat meningkatkan kecemasan, membuatmu terus-terusan khawatir tentang bagaimana caranya meningkatkan kinerjamu.

Seringkali, orang-orang merespons ini justru dengan melakukan lebih banyak pekerjaan. Ini semakin memperparah perilaku kerja berlebihan dan rasa rendah diri, layaknya lingkaran setan.

Baca juga:WFA dan Work-life Balance Bagi Pekerja Perempuan: Mungkinkah Terjadi?

Bahaya Burnout

Kondisi kerja yang semakin buruk bisa menyebabkan burnout.

Pada 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengakui burnout sebagai fenomena pekerjaan. Gejalanya berupa perasaan terkuras, kelelahan, bersikap sinis, secara mental absen dari kerjaan, dan kinerja yang memburuk.

Burnout merupakan risiko besar dari bekerja terlalu banyak. Hal ini juga memiliki dampak jangka panjang pada kesehatan fisik, emosional, dan mental.

Burnout merupakan hal yang merugikan bagi individu maupun pemberi kerja. Orang-orang yang mengalami burnout berujung mengambil cuti dari kantor, atau bekerja lebih sedikit dari kapasitas maksimal mereka.

Di sini, quiet quitting dapat menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal, sehingga dapat mencegah terjadinya burnout.

Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan

Hubungan yang Lebih Baik di Tempat Kerja

Penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bahagia cenderung lebih produktif dan aktif. Hal ini dapat membantu pekerja untuk fokus dan hadir sepenuhnya secara mental ketika bekerja.

Orang yang merasa bahagia cenderung lebih ramah dan terbuka. Ini dapat membangun pertemanan di tempat kerja – banyak orang beranggapan hal ini adalah faktor signifikan yang mempengaruhi apakah mereka senang bekerja di suatu tempat. Fokus quiet quitting untuk hanya melakukan pekerjaan yang menjadi tugasmu saja, juga dapat meredam perasaan untuk terus membanding-bandingkan dirimu dengan rekan kerja.

Terbangunnya pertemanan di tempat kerja menumbuhkan rasa memiliki yang bisa meningkatkan loyalitas dan kinerja. Hal ini bisa meningkatkan produktivitas, yang tentunya mendatangkan laba lebih tinggi.

Quiet quitting dapat menjadi layaknya “great liberation” (rasa merdeka yang sangat besar) untuk merespons “great resignation”.

Dengan cara ini, orang-orang menolak kerja berlebihan dan menghindarkan diri dari burnout, serta memilih keseimbangan dan kesenangan. Mereka membuat batas agar identitas dan nilai diri mereka tidak terikat pada produktivitas pekerjaan mereka.

Daripada cemas terhadap berkurangnya produktivitas, para bos harus bisa menggunakan gerakan “quiet quitting” untuk mendukung kesejahteraan karyawannya. Mendorong keseimbangan kerja dan hidup bisa menjadi cara untuk memberitahu pekerja bahwa mereka dihargai – sehingga menghasilkan keterlibatan, produktivitas, dan loyalitas.

Dengan “quiet quitting”, semua orang mendapat untung.

Nilufar Ahmed adalah Dosen Senior di Social Sciences, CPsychol, FHEA, University of Bristol.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Read More
pengertian dan contoh pekerja kreatif

Apa itu Pekerja Kreatif dan Siapa Saja Mereka?

Kalau kamu mau punya pekerjaan yang tidak repetitif, bebas mengeluarkan ide-ide kreatif, menjadi pekerja kreatif bisa dijadikan opsi.

Pekerja kreatif (creative worker) identik dengan pekerjaan yang selalu membutuhkan kemampuan berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Tujuannya tak lain adalah agar menghasilkan ide baru dan cemerlang.

Selain itu, yang unik dari creative worker, umumnya adalah kelonggaran jam kerja, dan kemudahan untuk menyelesaikan tugas dari mana saja. Mereka tak perlu harus macet-macetan di jala

Apakah kamu berminat menjadi creative worker? Yuk, cari tahu lebih detail mengenai pekerja kreatif di bawah ini.

Pengertian Pekerja Kreatif

Pekerja kreatif adalah pekerja yang mempunyai kreativitas tinggi, sehingga dapat membuat karya unik atau dapat menciptakan kebaruan.

Baca Juga: Bisa Kerja dari Mana Saja yang Kamu Pilih, Tertarik Jadi ‘Digital Nomad’?

Dikutip dari Lawinsider.com, creative worker di antaranya, yakni artis, desainer, content creator, atau penulis.

Di era serba digital kini, peluang menjadi seorang pekerja kreatif sangatlah terbuka. Selama kamu diberkahi bakat mendesain gambar, menjadi pengisi suara di iklan, dan suka tantangan, tak ada salahnya melakoni profesi ini.

Contoh Creative Worker

Sudah disinggung sebelumnya, creative worker bukan cuma mereka yang bekerja sebagai artis saja. Para pekerja kantoran pun ada yang bisa dikategorikan sebagai creative worker. Adapun creative worker kantoran salah satunya bekerja di digital agency.

Selain itu, siapa saja yang dapat disebut sebagai pekerja kreatif? Dikutip dari Targetcareers.co.uk, berikut ini beberapa contohnya:

  1. Content Creator

Dikutip dari Campus.quipper.com, content creator membuat berbagai materi konten, baik yang berupa tulisan, gambar, video, suara, maupun gabungan dari beberapa di antaranya. Konten-konten yang sudah berhasil dibuat ini, umumnya akan dimuat dalam berbagai platform digital, misalnya YouTube, Instagram, Facebook, dan TikTok.

Baca Juga: Afirmasi Positif dalam Pekerjaan dan Apa Pentingnya

Seiring perkembangan kebutuhan, perusahaan sudah mulai mempekerjakan content creator. Keberadaan mereka penting untuk mendukung agenda-agenda publikasi di perusahaan tersebut.

  1. Desainer

Menurut Zippia.com, desainer adalah seseorang yang yang mampu menciptakan sesuatu berdasarkan imajinasi serta kreativitas yang ia miliki. Dari rancangan baju, merek dagang, bahkan UI/UX design sekali pun.

  1. Penyiar radio

Salah satu karier yang lumayan populer di industri kreatif adalah penyiar radio. Jadi penyiar radio cukup menyenangkan karena bisa melakukan interview dengan musisi dan tokoh lain yang terkenal.

  1. Fotografer

Fotografer sudah menjadi salah satu bidang profesi yang diperlukan dalam segala jenis kegiatan usaha, apa lagi di industri kreatif. Sebagai creative worker, fotografer diminta untuk bisa melakukan sesi pemotretan produk supaya kelihatan menarik dan lebih menjual.

  1. Seniman

Pekerja kreatif ini dapat berasal dari kalangan mana saja. Seniman bisa diartikan sebagai seseorang yang berlatih maupun menunjukan seni kreatif, seperti sineas film, penari, atau aktor.

Kalau punya teman yang bisa membuat gambar ilustrasi dan sering melakukan open commission, berarti ia juga merupakan contoh creative worker.

Kurator yang membuat acara pameran bisa disebut sebagai pekerja kreatif.

  1. Arsitek

Profesi terakhir bisa masuk ke dalam industri kreatif adalah arsitek. Pasalnya, butuh kreativitas tinggi untuk membuat suatu desain rumah, menata tata letak barang, pencahayaan serta detail lainnya.

Baca Juga: 9 Pekerjaan Bergaji Tinggi yang Cocok untuk Orang Introvert

Tidak cuma kreativitas, arsitek juga harus belajar ilmu pengetahuan mendalam mengenai bidang ini, mulai dari material, pengukuran skala, dan masih banyak lagi lainnya.

Dapat kita simpulkan kalau creative worker adalah seseorang yang bekerja pada industri kreatif atau pekerjaan yang berhubungan erat dengan berpikir kreatif.

Baik yang bekerja di perusahaan, atau yang memilih solo, jangkauan pekerja kreatif sudah sangat banyak sekarang ini.

Itulah penjelasan pekerja kreatif dan beberapa contoh karier kreatif yang bisa kamu coba tekuni.

Sebelum kamu kamu memutuskan untuk menjadi creative worker, kamu juga perlu untuk mempersiapkan kemampuan yang dibutuhkan.

Dengan begitu, kamu akan jadi lebih siap dalam menjalani profesi sebagai pekerja kreatif.

Read More
membuat minutes of meeting template sederhana

‘Minutes of Meeting’, Bagaimana Cara Membuatnya?

Untuk memastikan tak ada hal penting yang terlewat didokumentasikan, setiap meeting mesti mempunyai minutes of meeting (MOM). Catatan rapat ini seyogyanya dibuat secara terstruktur, rapi, dan dikerjakan oleh satu orang. 

Jika minutes of meeting ini absen, maka sangat mungkin timbul kesalahan, bahkan berpotensi mengulang kembali perbincangan. Alhasil, momen meeting kamu jadi tak efektif dan efisien. Kamu enggak mau, kan, repot-repot mengulang meeting?

Tulisan ini membahas apa itu minutes of meeting dan bagaimana cara yang tepat dalam membuatnya? 

Apa Itu Minutes of Meeting?

Dikutip dari Indeed.com, minutes of meeting adalah catatan yang dibuat selama meeting berlangsung. Sebagai catatan tertulis resmi, itu dibuat supaya pembahasan penting dalam rapat bisa terekam dan diaplikasikan dengan baik.

Baca Juga: Apa itu ‘Zoom Fatigue’ dan Bagaimana Cara Menghadapinya?

Di setiap rapat, biasanya ada satu orang yang ditujuk untuk membuat catatan ini. Ia harus dipastikan mampu dalam mencatat hasil rapat dengan cepat, serta andal meringkas seluruh hal penting dalam rapat.

Catatan ini nantinya akan diberikan kepada semua peserta rapat, termasuk ke pemimpin perusahaan. Karena itulah minutes of meeting harus dibuat dengan benar.

Catatan ini biasa berisikan tujuan rapat, apa saja ide yang didapat, lalu kesimpulan.

Fungsi Minutes of Meeting

Jadi, apa fungsi dari MOM ini? Jawabannya sebenarnya sederhana, yaitu menjadi pengingat buat para peserta rapat.

Setelah rapat selesai dan kembali ke ruangan masing-masing, setiap peserta umumnya akan disibukan dengan pekerjaan yang lain. Itulah yang bisa menyebabkan mereka jadi lupa dengan apa yang sudah dirapatkan sebelumnya.

Baca Juga: Dear Karyawan, Kamu Layak Dapat Insentif Jika…

Jenis Minutes of Meeting

Menurut Eafinder.com, minutes of meeting yang akan kamu susun itu tergantung pada jenis meeting-nya. 

1. MOM untuk rapat formal

Jenis rapat yang formal misalnya rapat tahunan atau rapat umum pemegang saham, maka MOM perlu dibuat lebih dibuat dengan lebih teliti. Pun, perlu memperhatikan bahasa penulisan dan struktur dengan baik.

Namun, biasanya perusahaan sudah menyiapkan template minutes of meeting untuk rapat formal.

2. MOM untuk rapat Informal

Rapat ini yang umumnya diadakan mingguan atau bulanan dan yang sering kamu ikuti. Dalam hal ini, kamu bisa membuatnya tidak perlu menggunakan bahasa yang baku. Namun, catatan tersebut harus tetap berisi informasi yang akurat serta detail.

Cara Membuat Minutes of Meeting

Sebenarnya cara untuk membuat minutes of meeting di setiap perusahaan pasti berbeda-beda. Kamu bisa menyesuaikannya dengan kebijakan di tempat kerja kamu sekarang. Dikutip dari Thebalancecareers.com, umumnya MOM dapat dibuat dalam tiga langkah berikut ini.

1. Sebelum Rapat Dimulai

Sebelum rapat dimulai, ada beberapa hal yang perlu kamu persiapkan dan salah satunya adalah alat yang nyaman kamu pakai untuk menulis MOM.

Ada banyak opsi yang bisa kamu pilih, misalnya memakai laptop, smartphone, atau cukup menggunakan buku catatan.

Sebaiknya, kamu memilih alat yang paling nyaman kamu gunakan untuk menulis dengan cepat. Selain itu, pastikan pula gawai yang kamu pilih bisa berfungsi dengan baik.

Persiapkan juga buku catatan dan pulpen untuk cadangan, jaga-jaga apabila ada kendala pada gawai yang kamu pakai.

Baca Juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana?

Setelah menentukan alat yang akan kamu gunakan dalam membuat catatan, sebaiknya kamu membaca terlebih dahulu agenda rapat nantinya. Cari tahu apa yang akan dibahas, sehingga kamu mempunyai gambaran lebih jelas.

2. Saat Rapat Berlangsung

Waktu rapat sudah dimulai, kamu akan disibukan dengan proses mencatat. Supaya kamu bisa mencatat dengan lancar, kamu tidak perlu mencatat semua yang disampaikan oleh peserta rapat. Kamu cukup membuat semacam ringkasan dari pembahasan tersebut yang berisikan poin-poin penting.

Selain itu, pastikan juga kamu mengenal nama dari setiap peserta agar dapat mengetahui siapa yang sedang berbicara, serta menuliskan nama mereka yang memberikan ide. Hal ini pastinya akan memudahkan kamu dalam membuat catatan.

3. Setelah Rapat

Sesudah rapat, kamu perlu merapikan lagi catatan yang sudah kamu buat. Biasanya karena terlalu cepat menuliskannya biasanya akan ada salah pengetikan.

Pada hasil akhir minutes of meeting, jangan lupa menuliskan nama perusahaan, jabatan setiap peserta, jenis rapat, serta tujuan rapat. Lalu, baca kembali catatan yang sudah dibuat agar tidak ada typo.

Selain itu, kamu bisa meminta bantuan peserta yang lain untuk memeriksa apakah ada poin yang lupa kamu catat.

Terakhir, kamu bisa menyerahkan hasil minutes of meeting kepada atasan kamu atau orang yang bertanggung jawab dalam rapat tersebut.

Read More
pengertian serta manfaat sense of belonging

Apa itu ‘Sense of Belonging’ di Tempat Kerja dan Kenapa Penting

Apakah kamu pernah merasa tak cocok bekerja di kantor yang sekarang? Jika jawabanmu iya, ini mungkin karena kamu tak punya sense of belonging. Apa itu?

Sense of belonging merupakan rasa memiliki seseorang saat menjadi anggota kelompok atau organisasi. Rasa memiliki ini ternyata bisa memengaruhi kesehatan mental serta fisik kamu. Saat merasa tidak sendirian, kamu bisa menjadi lebih tangguh dan mudah mengatasi permasalahan di lingkungan kerja.

Karena itulah sense of belonging punya peran yang sangat penting untuk semua orang. Supaya bisa memahami apa itu sense of belonging, manfaat, serta cara membangunnya di tempat kerja, yuk simak rangkuman fakta yang sudah Magdalene rangkum untukmu berikut.

Pengertian Sense of Belonging

Dikutip dari Diversity.cornell.edu, sense of belonging adalah kebutuhan emosional untuk merasa diterima menjadi bagian organisasi. 

Baca Juga: 8 Cara Sederhana Memberikan Motivasi untuk Rekan Kerja

Bila tak ada rasa memiliki, akan sangat mungkin membuat orientasi kerjamu cuma soal uang, tanpa memikirkan aspek yang lain, seperti inovasi atau kemajuan perusahaan. Dengan rasa memiliki, kamu akan jadi lebih termotivasi.

Manfaat Sense of Belonging

Di bawah ini beberapa manfaat kalau kita memiliki sense of belonging.

1. Membuat Lingkungan Kerja Sehat

Bila semua orang dapat menerima satu sama lain, maka dapat tercipta suasana kerja yang ramah serta menyenangkan. Ini berbeda ketika ada satu karyawan yang merasa diasingkan atau tidak dianggap bagian tim. Hal ini dapat berujung terciptanya lingkungan kerja yang toxic kalau dibiarkan berlarut-larut.

2. Sense of Belonging Menciptakan Semangat Kerja yang Baik

Seseorang yang mempunyai rasa memiliki akan mempunyai semangat untuk mengembangkan dirinya, termasuk lebih produktif dalam bekerja. Rasa memiliki dapat menjadi pendorong buat seseorang bekerja dengan maksimal, secara kreatif, dan juga secara profesional. Karena itu, sense of belonging mempunyai manfaat untuk mengembangkan etos kerja menjadi lebih baik.

3. Terciptanya Kerja Sama Tim yang Baik

Rasa memiliki merupakan salah satu faktor penting dalam terbentuknya kerja sama tim, terutama untuk menaikkan efektivitas kolaborasi di dalam tim.

Baca Juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana?

Kamu tidak akan merasa terpaksa untuk memberikan hasil yang terbaik, kalau benar-benar merasa menjadi bagian dari suatu tim.

Bagaimana Cara Membangun Sense of Belonging?

Sense of belonging adalah sesuatu yang dapat kamu bentuk sendiri dari dalam diri, berikut ini ada beberapa cara sederhana yang bisa kamu lakukan.

1. Menerima Perbedaan

Dikutip dari Gartner.com, melatih diri agar jadi lebih open-minded membantu kamu untuk bisa menerima perbedaan. Apalagi, buat kamu yang bekerja di suatu perusahaan, pastinya akan bertemu dengan banyak orang yang berbeda latar belakang dan budaya.

Dengan menerima perbedaan, dengan tidak sadar kamu juga dapat menaikkan rasa memiliki dengan teman di kantor.

2. Mencoba Lebih Sabar

Untuk bisa menerima perbedaan, kamu perlu yang namanya kesabaran. Di sisi lain, kamu sabar juga untuk memperoleh penerimaan, kepedulian, ataupun bantuan dari rekan kerja yang lain.

3. Berbagi Hobi atau Passion

Di tempat kerja, pasti ada teman kamu yang mempunyai hobi atau passion yang sama denganmu.

Contohnya, jika kamu senang dengan olah raga futsal, kamu dapat mengajak rekan kerja dengan hobi yang sama untuk bermain bersama setelah pulang kerja di Jumat sore misalnya.

Dengan begitu, kedekatan yang terbentuk ini sangat dapat membantu kamu meningkatkan rasa memiliki karena kamu semakin merasa menjadi bagian dari mereka.

4. Jangan Menutup Diri

Yang perlu dihindari dalam menumbuhkan sense of belonging adalah menutup diri. Kalau kamu merasa kurang dilibatkan dalam tim, coba untuk berusaha lebih inisiatif mengatasi masalah tersebut.

Jangan sampai kamu menjauhi teman kerja yang lain, dan malah berpikiran negatif, karena pikiran-pikiran buruk akan menghambat kamu dalam bekerja.

Baca Juga: Apa itu ‘Self Acceptance’ dan Pengaruhnya di Dunia Kerja?

Kamu dapat bertanya dengan sopan ke rekan satu timmu. Apabila tidak memperoleh solusi, kamu dapat mencoba mendiskusikannya ke atasan kamu atau orang lain yang dapat kamu percayai di kantor.

5. Menemukan Tujuan di Tempat Kerja

Jika memiliki tujuan dalam bekerja, tentu semangat kamu bukan karena untuk mencari uang saja. Apalagi kalau kamu merasa perusahaan dapat membantumu mencapai tujuan tersebut. Kamu akan merasakan adanya keterikatan dengan visi dan misi perusahaan.

Ini merupakan langkah yang penting untuk dorong kamu menaikkan rasa memiliki di tempat kerja.

Dari seluruh penjelasan di atas, bisa terlihat kalau sense of belonging merupakan hal yang akan sangat bermanfaat di dunia kerja kalau berhasil kamu tumbuhkan.

Read More
pengertian retail therapy penghilang stres

Apa itu ‘Retail Therapy’: Aku Belanja maka Aku Ada

Saat pikiran sedang sumpek, beberapa orang memilih menghibur diri dengan cara belanja. Dari sana munculah istilah retail therapy. Terapi ini dipilih karena dinilai bisa mengatasi suasana hati yang buruk dengan cepat.

Magdalene merangkum fakta-fakta tentang apa itu retail therapy itu. Apa saja keuntungan serta sampai batas mana belanja bisa menjadi terapi stres.

Apa itu Retail Terapy?

Dikutip dari Webmd.com, retail therapy adalah keadaan di mana kamu memutuskan untuk berbelanja agar merasa lebih baik. Masih dari sumber yang sama, sebanyak 62 persen orang yang berbelanja bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri. Sisanya, sebanyak 28 persen pilih berbelanja untuk merayakan sesuatu.

Baca Juga: ‘Digital Fatigue’: Kelelahan Digital dan Cara Tepat Mengatasinya

Pertanyaannya, apakah benar menghabiskan uang untuk belanja bisa membantu seseorang merasa lebih baik? Dikutip dari Health.clevelandclinic.org, psikolog klinis Scott Bea sepakat. Menurutnya, menambahkan barang ke keranjang ketika belanja online atau datang langsung ke toko favorit di mal selama beberapa jam, bisa memberikan dorongan psikologis dan emosional. Dalam hematnya, belanja online bisa membuat kamu merasa jauh lebih bahagia.

Manfaat Retail Therapy

Dikutip dari Webmd.com, ada beberapa manfaat retail therapy asal dilakukan secara sewajarnya dan tidak berlebihan. Keuntungan yang dimaksud antara lain:

  1. Membantu Kamu Merasa Pegang Kendali

Kesedihan sering dihubungkan sebagai sebuah perasaan yang tidak bisa kita kontrol. Para ahli mengatakan, membeli barang-barang yang kamu senangi, bisa 40 kali lebih efektif dalam memberi rasa kendali dalam hidup dibanding tidak berbelanja sama sekali.

Baca Juga: ‘Burnout’ di Tempat Kerja, Ini Ciri dan Tips Mengatasinya

  1. Interaksi sosial

Belanja ke luar rumah seperti ke mal akan membuat kamu bertemu dengan orang lain. Momen seperti ini dapat menjadi medium kamu untuk berinteraksi sosial.

Meskipun kamu pergi sendirian, kamu akan tetap bertemu dengan orang lain di jalan atau saat mengantri di kasir. Kegiatan belanja masih dapat mempunyai sisi-sisi interaksi dengan masyarakat.

  1. Menabung Bisa Jadi Terapi

Saat kamu memilih untuk menabung untuk membeli suatu barang yang kamu idam-idamkan, ini dapat melepaskan hormon dopamin yang dapat menjadi aspek terapeutik bagi pelakunya.

  1. Mengalihkan Stres

Keluar rumah dan pergi berbelanja dapat mengalihkan pikiran kamu dari apa pun yang membuat kamu jadi stres dan sedih.

Dengan melihat-lihat barang yang dipajang dengan menarik di toko, ternyata dapat membawa kamu menjauh dari realita yang sedang dihadapi. Hal ini juga berlaku saat kamu memilih belanja secara online. Produk yang di foto sedemikian menarik di halaman penjual akan mengalihkan perhatian kamu dari rasa stres.

  1. Memberikan Rasa Bahagia

Kamu bisa memperoleh dorongan emosional dan psikologis dari mendatangi department store atau bahkan browsing toko online.

Hal tersebut punya hubungan erat dengan produksi hormon dopamin dalam otak yang akan datang waktu kamu berbelanja. Tetapi kadang-kadang tidak perlu sampai kamu harus belanja, cukup memasukan barang ke keranjang di akun e-commerce itu bisa memancing otak untuk melepaskan hormon dopamin, dan membuat kamu merasa lebih baik.

Tips Retail Therapy Supaya Tidak Kebablasan

Sekarang kamu sudah tahu apa itu retail therapy dan apa manfaatnya. Namun kamu harus tetap berhati-hati saat melakukan kegiatan ini. Jika tidak, bukannya bisa mengobati suasana hati kamu tapi malah kamu harus menghadapi permasalahan baru yaitu pengeluaran jadi tidak terkendali atau impulsive buying.

Berikut ini beberapa tips sederhana yang bisa kamu coba waktu melakukan retail therapy.

  1. Buat Catatan Barang yang Diinginkan dan Dibutuhkan

Tips pertama kamu bisa membuat catatan yang isinya barang-barang yang kamu dibutuhkan dan diinginkan. Jadi waktu kamu mulai berbelanja dalam rangka retail therapy, barang tersebut dibeli bukan karena kepingin saja. Tapi ada unsur kebutuhan juga. Dengan membuat batasan seperti ini, kamu akan terhindar dari penyesalan setelah membeli barang ujung-ujungnya tidak kamu pakai.

  1. Pikirkan dengan Matang Sebelum Akhirnya Membayar

Melakukan retail therapy bukan berarti jadi alasan buat kamu untuk bisa membeli banyak barang supaya menghilangkan stres. Coba pikirkan dengan matang, kalau kamu membeli barang ini, kamu merasa bahagia atau enggak.

Baca Juga: ‘Sunday Scaries’: Rasa Cemas Hari Minggu yang Serang Pekerja

Kalau kamu masih enggak yakin, lebih baik kamu tunggu beberapa waktu sebelum akhirnya membeli barang tersebut. mudah bukan?

  1. Tentukan Anggaran yang Akan Kamu Gunakan untuk Retail Therapy

Jangan sampai kamu overspending bikin pengeluaranmu membengkak. Apalagi kalau kamu sampai menghabiskan limit kartu kredit. Kamu harus sesuaikan anggaran yang akan kamu pakai untuk belanja. Jangan sampai kamu jadi lebih besar pasak daripada tiang.

  1. Mencari Diskon atau Promo

Retail Therapy berbahaya kalau dilakukan tanpa perhitungan. Namun, itu sangat mungkin memberikan keuntungan lantaran membantumu jadi konsumen pintar.

Seperti situasi sekarang ini banyak toko online atau offline yang memberikan banyak diskon dan promo. Jadi kamu harus pintar-pintar memilih tempat belanja untuk retail therapy, toko mana yang lebih banyak memberikan promo. Kesehatan mental terjaga, dompet pun aman.

Read More
apa itu morning person

Menjadi Seorang ‘Morning Person’: Tips untuk Memulai Hari dengan Semangat

Pernah enggak kamu bangun tidur dengan perasaan nyaman, dan tak sabar menjalani kegiatan di hari itu? Jika iya, mungkin kamu adalah tipikal morning person. Secara umum istilah ini merepresentasikan orang-orang yang terbiasa bangun pagi dan langsung beraktivitas. Orang-orang tipe ini biasanya ajek membuat jadwal aktivitas dari pagi hari.

Ya, kita tahu, bangun di pagi hari memang terasa susah untuk beberapa orang. Belum lagi ketika ia harus menyelesaikan pekerjaannya sampai larut malam. Padahal faktanya bangun pagi punya sejumlah manfaat. Kamu jadi punya waktu yang lebih banyak untuk menyiapkan diri, sebelum akhirnya beraktivitas. Tentu ini bakal membuat badan kamu jadi lebih sehat.

Kami merangkum fakta-fakta morning person untuk kamu. Yuk, disimak.

Pengertian Morning Person

Morning person adalah istilah dari Bahasa Inggris untuk orang-orang yang terbiasa bangun dan mempunyai energi besar dan penuh di pagi hari. Morning person umumnya akan langsung bersemangat melakukan aktivitas harian seperti membalas surel kantor atau pekerjaan rumah tangga di pagi hari.

Sementara itu, kebalikan dari morning person, night owl adalah tipe orang merasa lebih semangat dan aktif pada malam hari, bahkan menjelang pagi.

Menurut Risescience.com, hal yang membuat seseorang menjadi morning person atau night owl adalah siklus alami tubuh serta genetik.

Baca Juga: Terlalu Banyak WFH, Awas Bahaya ‘Cabin Fever

Manfaat Menjadi Morning Person

Berikut manfaat menjadi morning person atau orang yang terbiasa bangun pagi.

1. Menjadi Morning Person dapat Menaikkan Daya Kritis Otak

Bangun lebih awal tidak akan membuat tubuh kamu jadi lebih sehat, tapi otak juga lebih rileks dan jadi lebih optimal dalam bekerja. Penelitian yang dikutip dari Livestrong.com membuktikan, bangun lebih pagi membuat kemampuan problem solving meningkat.

2. Meningkatkan Produktivitas Kerja

Bangun pagi bisa membantu kamu untuk mengatur jadwal dan aktivitas dengan baik. Dengan kondisi tubuh dan pikiran yang masih segar, kamu dapat memulai pekerjaan dengan fokus. Hal ini berpengaruh pada peningkatan produktivitas kerja.

Baca Juga: Agar Tetap Produktif Meski Kerja dari Rumah

3. Meningkatkan Kesehatan Fisik dan Mental

Dilansir dari Insider.com, morning person cenderung mempunyai mental serta fisik yang sehat.

Serta mengurangi risiko kamu terkena diabetes, membantu menurunkan berat badan, juga lebih sehat secara mental.

Kamu pun mempunyai jam tidur yang lebih berkualitas karena rutinitas bangun pagi dan tidur bergeser lebih awal pada malam hari.

4. Menjadi Morning Person Membuat Tidur Lebih Nyenyak

Penelitian dari Appalachian State University menunjukkan, orang yang terbiasa bangun pagi akan memiliki tingkat kelelahan yang tinggi, dibanding mereka yang bangun siang. Sehingga, kualitas tidur pun akan membaik pada malamnya.

5. Kamu Lebih Berenergi Sepanjang Hari

Menurut Lifehack.org, kalau kamu terbiasa bangun pagi, kamu juga akan merasa lebih berenergi sepanjang hari. Karena kamu jadi bisa berolahraga sebelum memulai aktivitas.

Berolahraga dapat membuat tubuh melepaskan endorfin yang memberikan dorongan besar untuk merasa lebih baik sepanjang hari.

Bagaimana Cara Menjadi Morning Person?

Melihat manfaat yang bisa diperoleh dari menjadi morning person, tidak ada salahnya kalau kamu mencoba untuk mengikutinya. Untuk menjadi seorang morning person, kamu dapat mencoba beberapa cara berikut ini:

1. Ubah Jam Tidur

Tidur malam yang nyenyak sangat penting untuk kesehatan. Sangat disarankan untuk mulai tidur dari 20 menit hingga dua jam lebih awal setiap malam. Selama beberapa waktu, pindahkan rutinitas malam hari kamu lebih awal dan usahakan untuk segera membereskannya sebelum jadwal tidur.

Baca Juga: 7 Cara Jitu Atasi ‘Mental Fatigue’ di Tempat Kerja

2. Membuat Rutinitas Pagi

Selain mengubah jam tidur, kamu juga perlu yang namanya morning routine. Kamu dapat melakukan olahraga ringan, membuat list pekerjaan, atau menyiapkan sarapan sebelum berangkat kerja.

Hal-hal ini bisa membuat kamu jadi disiplin waktu sudah bangun di pagi hari.

3. Letakkan Alarm Jauh dari Jangkauan Tangan

Untuk bisa menjadi morning person, sangat disarankan untuk menaruh alarm jauh dari jangkauan tangan. Ketika alarm berbunyi, rata-rata orang dengan otomatis menekan tombol snooze. Kebiasaan ini bisa merusak ritme tidur dan berpotensi membuat kamu terbangun dalam kondisi lelah.

Karena itu, bagusnya meletakan alarm di tempat yang mengharuskan kamu berjalan sedikit dari tempat tidur untuk mematikannya. Cara ini bisa mengundang otak untuk aktif dan mencegah kamu untuk tidur kembali.

Baca Juga: 8 Cara Sederhana Memberikan Motivasi untuk Rekan Kerja

4. Mengatur Jam Makan

Apabila kamu ingin tidur dan bangun lebih awal, kamu harus menyesuaikan jam makan agar tidak terlalu malam. Jangan mengkonsumsi kopi serta makan berlebihan sebelum tidur, karena bisa membuat kamu terjaga dan kesulitan untuk tidur.

5. Hindari Tidur Siang

Biasanya orang kalau sudah tidur di siang maka akan susah mengantuk di malam harinya.

Alhasil, sangat disarankan untuk menghindari tidur siang. Tubuh yang tidak mendapatkan istirahat di siang harinya cenderung akan lebih cepat lelah dan mengantuk di saat malam hari. Manfaatkan itu untuk tidur lebih cepat supaya bangun bisa lebih pagi.

Read More
pengertian zoom fatigue

Apa itu ‘Zoom Fatigue’ dan Bagaimana Cara Menghadapinya?

zoom fatigue – Kasus COVID-19 mulai meningkat, sehingga banyak perusahaan mengevaluasi (lagi) sistem kerja mereka. Pekerja yang dulu harus menghabiskan waktu lima hari seminggu, kini diminta bekerja dari rumah (work from home (WFH)). Tak sedikit juga perusahaan yang mengganti kebijakan menjadi WFH secara permanen. Ada juga yang memilih sistem kerja hybrid atau memadukan antara kerja dari rumah dan kantor.

Meski bisa memangkas waktu perjalanan karena tidak perlu ke kantor, WFH tak selamanya menyenangkan. Apalagi hampir semua komunikasi dan rapat dilakukan lewat zoom atau aplikasi video conference lain. Rapat lewat zoom yang dilakukan sepanjang hari juga bisa bikin sakit kepala (zoom fatigue).

Kenapa zoom fatigue bisa terjadi? Bagaimana cara tepat menangani zoom fatigue? Yuk, kita bahas selengkapnya di bawah ini!

Pengertian Zoom Fatigue dan Penyebabnya

Dikutip dari Psychology Today, zoom fatigue adalah perasaan sangat lelah karena terlalu sering memakai aplikasi meeting online atau obrolan video. Meski istilah ini memakai kata Zoom, tetapi zoom fatigue sendiri juga mencakup orang-orang yang menggunakan aplikasi video conference lain, misalnya skype, google meet, dan yang lainnya.

Baca Juga: Apa itu ‘Cultural Fit’ dan Manfaatnya untuk Para Pekerja?

Penyebab dari zoom fatigue sudah diteliti oleh Profesor Jeremy Bailenson, pendiri Stanford Virtual Human Interaction Lab (VHIL). Dari hasil penelitian yang dimuat di jurnal Technology, Mind and Behavior pada 2021. Di antaranya:

  1. Tubuh jarang bergerak

Ketika kita melakukan percakapan lewat telepon atau audio, kita masih dapat berjalan-jalan atau setidaknya kita masih bisa bergerak. Namun, saat rapat lewat video dan menyalakan kamera, maka mau tidak mau kita harus berada di posisi yang sama supaya kamera bisa menjangkau kita.

Posisi kita yang hanya duduk dan melihat layar, membuat perasaan penat dan pegal gampang muncul. Belum lagi ada adanya faktor radiasi cahaya dari layar serta pencahayaan ruangan yang memengaruhi penglihatan.

  1. Kontak mata yang terlalu lama serta jarak yang terlalu dekat dengan layar

Sudah banyak penelitian yang menyebut layar ponsel maupun komputer punya dampak yang buruk pada mata kita. Jika dalam meeting tatap muka, kita dapat mengalihkan kontak mata sebentar pada orang-orang di sekitar, hal itu tidak bisa dilakukan dalam meeting online.

Selain itu, saat tengah berperan jadi pembicara di meeting, kamu hanya bisa melihat tampilan antarmuka dalam jarak dekat. Hal itu membuat seakan-akan seluruh pandangan terarah kepada kita. Keadaan tubuh yang harus standby di depan komputer juga membuat kita seolah diawasi oleh orang lain. Inilah kenapa kamu selalu khawatir dan bisa jadi sampai stres.

  1. Terus menerus melihat diri sendiri layaknya sedang bercermin di sepanjang meeting

Dalam hasil penelitiannya, Bailenson juga menyebutkan efek dari zoom meeting yang membuat kita terus menerus melihat diri sendiri seperti sedang bercermin. Ada kecenderungan lebih khawatir tentang bagaimana diri kita dilihat dari oleh orang lain. Sementara, saat bertemu langsung, kita hanya bisa melihat orang lain.

Baca Juga: Apa itu ‘Self Acceptance’ dan Pengaruhnya di Dunia Kerja?

Ia melanjutkan bahwa kekhawatiran akan penampilan di depan orang lain itu bisa menimbulkan dampak negatif secara emosional. Apalagi jika orang tersebut sudah punya masalah kepercayaan diri. Hal ini membuat orang seringkali memaksakan diri dan berpikir keras untuk mengatur cara bergerak atau merespons. Jika harus berhadapan dengan layar komputer seharian saja sudah melelahkan, apalagi jika terus memikirkan tampilan kita di hadapan orang lain.

Cara Sederhana yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasi Lelah karena Meeting Online

Meski zoom fatigue diakibatkan berbagai macam faktor, namun’ bukan berarti tidak bisa diatasi. Berikut tips yang sudah dirangkum Magdalene.

  1. Cobalah sedikit-sedikit menggerakan tubuh saat meeting

Untuk mengatasi rasa pusing karena harus zoom meeting berjam-jam, cobalah untuk menggerakkan badan sedikit-sedikit agar tidak kaku. Kamu bisa memulai dengan berjalan di sekitar rumah atau peregangan secukupnya.

Saat sedang bergerak, ujar Professor Jeremy Bailenson, kamu dapat mematikan mode kamera sesaat. Jika kamu punya waktu banyak akan lebih baik untuk berolahraga ringan.

  1. Kurangi kontak mata dengan peserta rapat yang lain

Agar tidak terlalu stress karena terus-terusan terjadi kontak mata ketika meeting, kamu bisa mencoba untuk mengecilkan layar zoom kamu, sehingga peserta rapat jadi terlihat lebih kecil. Kamu pun jadi bisa membatasi kontak mata dan bisa mengurangi rasa terintimidasi.

  1. Kurangi durasi video conference

Supaya kamu tidak merasa lelah karena sering melakukan meeting online, kamu dapat mencoba mengurangi durasi meeting online. Caranya sebelum meeting berlangsung, kamu dapat membuat rangkuman tentang poin-poin yang akan kamu sampaikan.

Baca Juga: 8 Cara Sederhana Memberikan Motivasi untuk Rekan Kerja

Selain itu, kamu bisa mengusulkan efektivitas meeting dengan peserta meeting lebih sedikit. Sebab, terlalu banyak peserta akan membuat kewalahan dan tidak efektif. 

  1. Hindari multitasking dan pilih di tempat yang tenang

Mengerjakan pekerjaan lain saat kamu dengan melakukan video conference akan membuat pikiran terbagi. Hal itu akan berpotensi membuatmu cepat lelah. Untuk menghindarinya kamu bisa mengurangi kegiatan lain dan fokus pada hal-hal yang akan disampaikan pada saat rapat. 

Selain itu, sudah banyak penelitian yang membuktikan, multitasking justru membuat kita mudah burnout karena banyaknya pekerjaan yang dilakukan dalam satu waktu.

Read More
apa itu self acceptance dan pengaruh di dunia kerja

Apa itu ‘Self Acceptance’ dan Pengaruhnya di Dunia Kerja?

Kamu pernah merasa benci pada diri sendiri, mencela, dan meragukan kemampuan? Atau pernahkah kamu merasa belum selesai dengan diri sendiri? Jika jawabannya iya, bisa jadi kamu belum melakukan self acceptance. Ini adalah hal penting agar kamu bisa terus bertumbuh sebagai manusia, khususnya tumbuh di lingkungan kerja.

Magdalene telah merangkum fakta-fakta soal self acceptance dan apa saja pengaruhnya di dunia kerja. Yuk, simak selengkapnya!

Arti Self Acceptance

Menurut Huffpost.com, self acceptance atau penerimaan diri, baik dalam aspek positif atau negatif. Orang yang mengenal yang jadi kekurangan serta kelebihannya serta berlapang dada dan menerimanya, bisa jadi ia sudah menerapkan penerimaan diri. 

Baca Juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Manfaat Menerima Diri Sendiri

Penerimaan diri membuat kamu lebih mengenal kelebihan serta kekurangan yang kamu miliki. 

Selain itu, kamu juga bisa lebih berdamai dengan fakta bahwa kamu tidak bisa lepas dari ketidaksempurnaan. Proses berdamai inilah yang digadang-gadang berpengaruh baik untuk kesehatan mental.

Menerima diri sendiri juga berperan penting dalam interaksi sosial. Kamu akan jauh lebih percaya diri dan gampang diterima oleh orang lain. Kamu juga sadar setiap orang memang diciptakan berbeda-beda.

Baca Juga: Beda Generasi Milenial dan Generasi Z di Dunia Kerja

Dalam kondisi ketika kamu sedang mencari pekerjaan, hal ini akan terasa berguna sekali. Sebab biasanya, kelebihan dan kekurangan diri adalah pertanyaan wajib yang dilontarkan HRD. Jika kamu sudah mengenali kelebihan dan kekurangan, bukankah ini bisa membantumu lolos dalam interview kerja, bukan?

Ada manfaat lain yang bisa didapat ketika legowo menerima diri. Salah satunya, kamu akan tampil lebih positif, yakin dengan kemampuan yang kamu miliki, dan tetap sehat mental. Interaksi kamu dengan orang lain juga bakal relatif baik, karena penerimaan diri mengerek kepercayaan serta respons saat menerima kritik.

Namun, mengakui kekurangan diri itu bukan sesuatu yang gampang. Kamu perlu belajar untuk mencapainya, mengambil setiap kesempatan, dan terus membuka diri terhadap peluang dan hal-hal baru.

Pengaruh Self Acceptance di Dunia Kerja

Selain manfaat yang sudah disampaikan di atas, ada beragam manfaat lain dari menerapkan self acceptance di tempat kerja:

  1. Bisa menerima kritik atau masukan

Di kehidupan sehari-hari, tampaknya tidak ada orang yang sepenuhnya senang mendapatkan kritik. Meski begitu, kita tetap perlu mengantisipasi ketidaknyamanan menuai kritik dalam dunia kerja.

Sebab, kritik semacam ini dapat menyakitkan hati, apalagi jika kamu merasa sudah bersusah payah melakukan sebuah pekerjaan. Kritik juga akan terasa semakin tidak menyenangkan, kalau sampai membuat kamu jadi ragu dengan kemampuan sendiri.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dengan menerapkan self acceptance, kamu kamu jadi lebih mengenal diri dengan baik. Menerima diri sendiri di sini bukan cuma menerima kekurangan, namun kamu juga mampu untuk memperbaikinya.

Menurut, Thebalancecareers.com, kritik yang diberikan oleh rekan kerja atau atasan bukan berarti mereka tidak senang denganmu secara personal, tetapi sebagai umpan agar kamu berbenah jadi lebih baik.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

Bila kamu sudah menerima diri sendiri, kritikan yang kamu dapat bisa kamu terima dengan suka cita. Tak ada emosi negatif, dan sebaliknya kamu justru punya hasrat kuat untuk memperbaiki diri.

  1. Menjadi lebih profesional 

Menerima diri sendiri membantumu dalam mengatur emosi. Kamu jadi tidak akan gampang terpengaruh oleh emosi negatif yang berasal dari luar pekerjaan. Hal ini akan membuatmu jadi lebih profesional.

  1. Membawa efek positif ke lingkungan kantor

Self acceptance tidak cuma memberikan pengaruh ke diri sendiri, namun juga orang sekitar.

Bila kamu selalu tampil positif, dan selalu yakin dengan kemampuan diri, itu tentu dapat memicu orang di sekitar untuk merasakan hal yang sama terutama, rekan kerjamu.

Read More
motivasi untuk rekan kerja di kantor

8 Cara Sederhana Memberikan Motivasi untuk Rekan Kerja

Biarpun kamu bukan manajer atau team leader, kamu tetap bisa kok, memberikan motivasi untuk rekan kerja yang lain.

Apalagi motivasi kerja ini diberikan supaya mereka dapat bekerja dengan lebih baik dan produktivitas kerja meningkat. Ditambah jika pekerjaan yang mereka lakukan berhubungan dengan orang lain. Kalau sampai tidak semangat, orang lain juga bisa kena dampaknya.

Nah, kalau sekarang kamu merasa dalam situasi seperti ini, berikut beberapa cara sederhana yang dapat dicontoh untuk memotivasi sesame rekan kerjamu.

Cara Sederhana Memotivasi Rekan Kerja

Menyemangati rekan kerja bisa kamu dilakukan kapan pun, dan tidak perlu menunggu rekan kerja curhat atau terlihat susah.

Baca Juga: Dipromosikan, Bagaimana Menjaga Relasi dengan Rekan Kerja?

Kamu dapat memberikan motivasi di bawah ini supaya mereka kembali bersemangat dan dapat menyelesaikan pekerjaannya kembali. Jangan lupa, sesama pekerja harus selalu bersolidaritas karena kekuatan para buruh ada di tangan bersama.

1. Menjadi Pendengar yang Baik

Menurut hcareers.com, tumpukan masalah bisa menyebabkan seseorang jadi lebih banyak diam dan hilangnya motivasi untuk bekerja.

Inilah kenapa waktu merasa rekan kerja mulai tidak bersemangat, kamu dapat mencoba untuk bertanya atau mendengarkan keresahan yang mereka alami.

Meski kamu tidak langsung dapat memberikan solusi, paling tidak mereka jadi tidak merasa sendirian. Kapitalisme sering bikin para buruh mengira masalah mereka adalah problem yang harus dikentaskan sendiri. Jangan lupa, kalau kamu juga dapat memberikan dukungan moral supaya mereka jadi lebih bersemangat.

2. Memahami Minat atau Hobi Rekan Kerja

Menurut The Muse, kadang-kadang seseorang jadi tidak termotivasi karena kehilangan minat atau interest. Hal ini wajar terjadi, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berdinamika. Kehilangan minat atau semangat bisa dialami siapa saja.

Salah satu cara yang bisa membuat rekan kerjamu jadi termotivasi kembali adalah dengan mengingatkannya kembali pada apa yang bikin dia senang. Contohnya dengan mengingatkan mereka pada hobinya, atau memberi semacam tantantangan/permainan yang bisa membuat motivasi kembali datang.

3. Beri Positive Reinforcement Seperti Pujian atau Bonus

Kadang, hal kecil macam pujian bisa jadi dorongan positif yang bisa membuat seseorang jadi termotivasi lagi dari keterpurukan. Sesama rekan kerja, tak ada salanhnya banyak-banyak menyemangati dan meng-acknowledge pekerjaan mereka. 

Hal ini biasa disebut sebagai positive reinforcement, atau dukungan positif yang diberikan agar rekan kerja atau bawahan semangat ketika melakukan hal positif.

Dikutip dari Bbc.com, bentuk positive reinforcement ini juga kamu lakukan dengan memberikan semacam kritik atau saran. Buat para atasan, bonus bisa jadi salah satu metode yang diberikan pada karyawan agar semangat melakukan hal-hal positif buat perusahaan.

Beri tahu apa saja kapabilitas mereka dan hal yang bisa dilakukan dengan kemampuan itu.

Baca Juga: Merasa Kehilangan Saat Teman Kerja Resign, Apa yang Bisa Dilakukan?

Dengan dorongan ini mereka dapat lebih bersemangat menjalankan apa pun. Karena ada objek yang perlu ditanggulangi yang secara tidak langsung diberikan.

4. Meminta Bantuan ke Rekan Kerja yang Hilang Motivasi

Terkadang seseorang jadi hilang semangat untuk mengerjakan apa pun karena mereka kehilangan tujuan. Namun, kalau kamu mengembalikan tujuan itu, ada kemungkinan motivasinya bisa kembali dengan cepat.

Dikutip dari smallbusiness.chron.com, kamu dapat mengembalikan motivasinya dengan cara meminta pertolongan langsung pada mereka.

Jika itu berhubungan dengan pekerjaan atau keahliannya, mereka akan kembali bersemangat untuk membantu dan menjawab setiap pertanyaan.

5. Menjalin Hubungan yang Baik

Cobalah bersosialisasi dengan rekan kerja yang mulai kehilangan motivasi kerja. Menjalin relasi ini dapat dilakukan dengan mengajak mereka mengobrol di waktu istirahat dan brainstorming.

Wawasan baru yang keluar dari diskusi bisa menaikan kembali semangat dan motivasi kerja yang hilang. Kadang-kadang mendiskusikan projek yang mereka sukai akan membantu membangun kembali semangat yang sempat pudar.

6. Percaya dengan Rekan Kerja

Percaya dengan rekan kerja akan membuatnya jadi lebih termotivasi. Contohnya waktu mengerjakan sesuatu, kamu dapat memberikan mereka rasa percaya untuk membereskannya.

Jadi, mereka merasa memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.

7. Memberikan Contoh untuk Meningkatkan Motivasi Rekan Kerja

Untuk meningkatkan motivasi, kamu dapat memberikan contoh secara langsung di depan teman kantor.

Dengan memberikan contoh apa yang perlu dikerjakan agar tetap semangat atau sejenisnya. Dengan begitu, mereka seperti ada harapan untuk berubah.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Jika hanya berbentuk kata motivasi saja, terkadang agak susah untuk berharap mereka harus menerapkanya secara langsung.

8. Mengusulkan Kegiatan Outing ke Perusahaan

Menurut hrinasia.com, kegiatan outing dapat meningkatkan motivasi karyawan dan bisa menyegarkan pikiran sejenak. Selain itu, hal ini juga bisa membuat relasi di lingkungan kerja menjadi lebih erat dan menjalin kerjasama yang lebih baik.

Itulah beberapa cara memberikan motivasi ke rekan kerja. Dampak rekan kerja yang jadi lebih semangat dan produktif akan dirasakan banyak orang.

Saat semua bisa berjalan dengan baik, pekerjaan tentu dapat terselesaikan dengan cepat dan sesuai goals yang diharapkan.

Jadi, tidak ada salahnya memberikan motivasi meski cuma sekadar memberikan ucapan singkat atau mendengarkan mereka curhat masalah pekerjaan.

Read More
tanda diterima kerja setelah interview

How We Invented ‘Unemployment’ – and Why We’re Outgrowing It

When Labor leader Anthony Albanese couldn’t quote Australia’s unemployment rate in the first week of the election campaign, many said it didn’t matter: the Australian Bureau of Statistics figure was “meaningless”; “fudged”; “manipulated”; and didn’t count all those who had registered for JobSeeker.

The truth is the official measure of unemployment does what it says on the box. It counts those without any work who are available to work and looking for work.

The result of an astonishingly large survey of 26,000 households covering 50,000 people each month, there’s little reason to question its accuracy.

But there are good reasons to question why the bureau does it in the way it does.

“Unemployment” as we have come to understand it is a fairly new concept.

As I outline in my book, Inventing Unemployment, before the second world war censuses tended to divide the population differently – into breadwinners and dependants.

A breadwinner who wasn’t employed would be recorded as a breadwinner rather than unemployed (with their usual occupation noted).

That’s probably because until the 20th century, irregular work was the norm.

Late-19th-century Sydney had no extensive manufacturing. Work such as wool washing, tanning, meat preserving and loading sea cargo was seasonal and tied to rural rhythms.

Even in more stable occupations, many workers were little more than or sub-contractors or day labourers, their work intermittent.

Unemployment as We Know It

The 1947 census introduced three distinct categories: employed, “unemployed” and “not in the labour force”. To be “unemployed” you had to describe yourself as willing and able to work, but without work.

Carried into the quarterly labour force surveys which started in the 1960s and continue monthly to this day, the change enabled the creation of an unemployment rate, which is the number of unemployed divided by the total of the number of employed and unemployed, which is called the “labour force”.

The categorisation made more sense by then as work was becoming full-time and ongoing. Being “unemployed” (workless but in the workforce) had come to be seen as unusual and worthy of government support. The Curtin Labor government introduced unemployment benefits in 1945.

The changes were in line with International Labour Organisation recommendations which themselves followed changes in the United States which in 1937 had asked all non-workers who’d expressed a desire to work whether they were able to work and were actively seeking work.

The context was United States President Franklin D Roosevelt’s determination to fight unemployment through job creation schemes. The advantage of the new measures was that they gave a measure of immediate unmet demand for work.

Excluding both those who were unwilling to work at present and those who had any work at all yielded a measure of the minimum number of jobs needed. Policy drove the definition rather than the other way around.

Messy by Design

But the definitions were messy. Labour markets confound easy distinctions between working and not working, and there’s no particular degree of desire for work that clearly distinguishes the “unemployed” from “not in the labour force”.

Looking back, what was exceptional about the post-war decades is that most of the time the new definitions were easy to apply. If you were in work, the chances were you were in full-time work; if you weren’t in full-time work the chances were you weren’t working at all, and that you were either wanting work or none.

And the idea of the “labour force” summed up fairly stable social categories: men who entered at 15 years and were expected to work or look for work for 50 years, and women who also entered in their mid-teens only to permanently withdraw upon marriage or childbirth.

Not now. As social researcher Monica Threlfall points out, whereas once the labour force was an identifiable category, today it is more like an unbounded space that a variety of people of different ages enter, leave and re-enter at a variety of rates.

When the headline monthly unemployment rate changes, what has moved is often not the numerator – the number of unemployed – but the shape-shifting denominator, which depends on whether people define themselves as looking and available for paid work at the particular time they are asked.

And the main questions don’t pick up underemployment. Australia has one of the largest part-time work forces in the OECD, which is why the Bureau of Statistics also asks workers whether they would like more hours, and reports the answers alongside the unemployment rate.

It also measures “discouraged workers”, people who are available for and wanting work but have given up the search and so aren’t counted as “unemployed”.

The only way to really understand whether we are succeeding or failing in providing paid work is to take all three measures together – unemployment, underemployment and the count of discouraged workers.

Messier by the Month

What this total tells us will be quite different to the count of the number of Australians on unemployment benefits.

After tracking each other closely, the number of “unemployed” and the number on unemployment benefits has diverged over the past 25 years and that divergence became even more pronounced during COVID-19.

Australian experts Peter Whiteford and Bruce Bradbury point out most unemployed people aren’t on benefits, and increasingly unemployment benefits are available to people who are not unemployed.

These days unemployment benefits are available to people not seeking paid work but engaged in voluntary work, study, or providing home schooling.

And people who once would not have been considered unemployed – such as single parents and people with disabilities – are now put on unemployment benefits and required to search for work in order to get them.

After holding together for decades, the post-war administrative and legal construction of unemployment is failing us. We’re outgrowing it.

Anthony O’Donnell, Adjunct Senior Lecturer, School of Law, La Trobe University.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More