(Un)filter Me

Mau bentuk wajah terlihat tirus, Kulit muka terlihat glowing, bulu mata lentik, dan bibir merah merona?Sekarang hal itu bisa kita dapatkan dengan mengutak-atik filter kecantikan di kamera ponsel yang juga sering disebut beauty camera. Poof, kamu langsung bisa cantik dengan instan tanpa perlu susah-susah make up.

Eh tapi tunggu dulu,  semakin canggih  beauty camera atau filter kecantikan ini mengubah bentuk wajah hingga tubuh, hal ini ternyata berdampak sangat buruk bagi individu, apalagi perempuan yang sering menjadi target standar kecantikan yang tidak realistis.

episode terbaru FTW Media

Beauty Camera dan Dampaknya Terhadap Standar Kecantikan Masyarakat

Kalau kamu sendiri, pernah enggak mengubah bentuk wajahmu dengan  filter-filter kecantikan di beauty camera?

Pada 2019 lalu, seorang fesyen fotografer asal Inggris, John Rankin Waddell, menggelar pameran foto bertema “Selfie Harm”. Bersama dengan M&C Saatchi dan MT Art Agency,  Rankin meminta 15 orang remaja untuk mengedit swafoto atau selfie mereka hingga ke tahap yang mereka anggap “social-media friendly”.

Kebanyakan remaja mengubah wajah meniru para idola mereka. Yang diubah adalah hidung yang semakin kecil, mata yang besar, warna kulit yang lebih cerah, bibir yang lebih mungil dan bentuk muka yang semakin tirus.

Jadi penasaran, mengapa banyak orang yang sangat bergantung dengan filter kamera? Dan bagaimana filter kamera ini berdampak pada pandangan kita terhadap ide soal standar kecantikan yang ideal?

Read More

Women in Media and Why You Should Care

Dalam episode perdana FTW Media, kami mengajak kamu untuk kembali melihat bagaimana tiap-tiap media massa menggambarkan perempuan dalam produknya. Iklan bumbu dapur yang selalu memperlihatkan perempuan dalam peran-peran domestik, serial televisi yang lebih banyak menggambarkan perempuan tidak berdaya dan selalu ditindas sang suami, hingga novel-novel populer yang mengglorifikasi karakter laki-laki yang super toksik

Dengarkan podcast FTW Media di Spotify

Selain itu kami juga akan mengajakmu mengeksplorasi solusi-solusi apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah penggambaran perempuan yang lebih baik. Nah, pantengin terus setiap Selasa ya!

Read More
Tenaga Kesehatan Dokter Perawat Perempuan Tersisih

Tenaga Kesehatan Perempuan Banyak, Namun Masih Tersisihkan

Bidang kesehatan merupakan salah satu sektor pekerjaan yang identik dengan perempuan. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, menunjukkan dua per tiga sumber daya manusia di sektor kesehatan global adalah perempuan, dan 90 persennya adalah perawat.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah tenaga medis pada 2019 mencapai 1.244.162 orang, dengan persentase perempuan lebih dari 70 persen. Profesi yang didominasi oleh perempuan adalah dokter umum, ahli gizi, dokter spesialis anak, perawat, bidan, dan bantuan tenaga kesehatan lainnya.

Kendati jumlah perempuan unggul di sektor kesehatan, namun hal itu tidak diikuti dengan jumlah kenaikan pemimpin perempuan yang ada di posisi atas (top position). Sejak Indonesia merdeka misalnya, dari 20 menteri kesehatan yang pernah menjabat, hanya empat di antaranya yang merupakan perempuan. Jika melihat data dari Kementerian Kesehatan, walaupun jumlah dokter umum didominasi oleh perempuan, tapi angka dokter perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan menjadi dokter spesialis hanya 12.324. Berbeda jauh dengan laki-laki yang mencapai 17.268 orang.

Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: 30 Tahun Bekerja, Hadapi Ketakutan yang Berbeda

Di tengah pandemi saat ini, dengan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan penanganan wabah COVID-19, masih belum terlihat representasi perempuan sebagai pemimpin. Bahkan, dalam pembentukan gugus tugas tingkat nasional pada Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi tidak melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Padahal, selain perempuan merupakan pihak paling rentan karena pandemi, perawat yang bertugas menangani pasien terpapar COVID-19 juga didominasi oleh perempuan yang harus meninggalkan keluarganya.

Di ranah global, dalam laporannya WHO juga menyebutkan bahwa, tak hanya terjadi ketimpangan gender dalam persentase pemimpin perempuan di sektor kesehatan. Tenaga kesehatan perempuan  juga mendapatkan upah 28 persen lebih rendah dibanding laki-laki. Mereka lebih banyak menghadapi hambatan dan kesulitan diangkat menjadi pegawai tetap maupun naik jabatan. Hal ini menjadi bukti bahwa perempuan di bidang kesehatan masih dinomorduakan.

Dua Sisi Mata Uang Perempuan di Bidang Kesehatan

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia, Dumilah Ayuningtyas mengatakan, posisi perempuan di bidang kesehatan itu seperti dua sisi mata uang. Stereotip gender yang melihat perempuan sebagai sosok yang lebih penyayang dan memiliki empati sosial yang besar membuat mereka diarahkan untuk bekerja di bidang kesehatan. Namun di sisi lain, budaya patriarkal yang masih kuat di masyarakat juga menjadi hambatan perempuan untuk bisa naik ke posisi atas.

“Penghalang utama bagi perempuan untuk mencapai posisi penting dalam pengambilan keputusan dalam organisasi disebabkan oleh adanya stereotip gender pada sistem kesehatan.”

“Perempuan itu identik dengan caring, empati, responsiveness. Budaya di masyarakat kita juga kan kalau kerja di tambang dan perminyakan itu dianggap maskulin, jadinya diarahkan buat laki-laki. Tapi meski sudah dominan di bidang tertentu, perempuan kadang punya hambatan dari dalam, yang enggak kelihatan,” ujar Dumilah kepada Magdalene.

Senada dengan Dumilah, Ade W. Prastyani, peneliti dari Center for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada, menulis dalam artikelnya di The Conversation bahwa peran gender tradisional yang dilekatkan pada perempuan sangat berpengaruh pada karier mereka di dunia kesehatan. Menurutnya, jalur karier tenaga medis perempuan setelah pendidikan dan kewajiban dinas dipengaruhi oleh tuntutan sosial, termasuk besarnya peran gender yang mereka hadapi. Tenaga kesehatan perempuan cenderung tidak bisa begitu bebas memilih lokasi tempat kerja. Apalagi jika lokasinya terpencil dan jauh dari keluarga, tulisnya.

Hal itu cukup disayangkan karena masalah disparitas atau tidak meratanya jumlah tenaga kesehatan di Indonesia merupakan persoalan yang sudah ada sejak dulu. Pemerintah pun terus berupaya melakukan program-program pemerataan tenaga medis, dengan jalan mengirimkan mereka bertugas ke daerah terpencil.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Tenaga Kesehatan Perempuan Terhalang Peran Gender Normatif

Sejak 2015, pemerintah mengadakan program Nusantara Sehat (NS) yang telah mengirim lebih dari 700 tenaga kesehatan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia. Berbagai aspek kerja para tenaga dan alumnus di program NS itu menjadi salah satu subjek penelitian Ade. Ia menemukan bahwa peran gender merupakan salah satu faktor yang membatasi persepsi karier tenaga kesehatan perempuan di dunia profesional. Banyak di antara mereka yang memutuskan tidak melanjutkan penugasan di daerah terpencil karena alasan personal.

“Program NS ini berdurasi dua tahun. Setelahnya bisa dilanjutkan untuk penugasan secara individu. Namun dari hampir semua tenaga kesehatan NS yang kami wawancarai, faktor keluarga dan persepsi peran gender mendominasi narasi mereka akan perjalanan karier. Keputusan mengenai lokasi kerja mereka selalu diwarnai pertimbangan kuat untuk mendapatkan persetujuan keluarga,” tulis Ade.

Ketiadaan dukungan keluarga serta tuntutan peran gender normatif terhadap perempuan itu, menurut Ade, mempersulit perempuan menapaki jenjang karier yang lebih atas di bidang kesehatan. Padahal, tenaga kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, gizi, kefarmasian, dan teknisi laboratorium kesehatan yang didominasi perempuan adalah profesi kesehatan dengan disparitas distribusi yang besar di kawasan urban pedesaan/terpencil di Indonesia.  

“Salah satu perempuan alumnus program NS yang berprofesi teknisi laboratorium yang kami wawancara, misalnya, harus mengurungkan niatnya untuk bekerja lagi di bawah program NS individu karena larangan orang tuanya. Ibunya memintanya memprioritaskan menikah,” ia menambahkan.

Jika pemerintah mau melihat isu ini sebagai permasalahan serius, maka politik afirmasi yang sudah diberlakukan di bidang politik bisa jadi pertimbangan untuk diberlakukan juga di bidang kesehatan.

Kesempatan Naik Jabatan Lebih Besar untuk Tenaga Kesehatan Laki-Laki

Selain hambatan personal karena keluarga dan budaya, Dumilah menilai bahwa sistem birokrasi di sektor kesehatan sekarang ini masih belum melihat minimnya keterwakilan perempuan di posisi atas sebagai suatu masalah. Akibatnya, belum ada ruang yang cukup untuk mendorong agar perempuan lebih berani.

 “Banyak kasus yang kadang perempuannya itu tidak siap [untuk ditugaskan]. Padahal, mereka sama-sama kompeten dan punya kapasitas,” ujar Dumilah.

Sistem di lembaga kesehatan yang tidak begitu mendorong perempuan untuk naik ke posisi atas juga ditemukan oleh akademisi Universitas Airlangga, Nuzulul Kusuma Putri, dalam penelitiannya yang bertajuk “Gender segregation of health workforce in the community healthcare setting” (2018). Nuzulul melakukan studi kasus pada 352 pejabat publik dalam organisasi kesehatan dua provinsi. Ia menemukan bahwa walaupun pekerja perempuan memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang sama, banyak pemimpin perempuan di bidang kesehatan terhenti pada tingkat kepemimpinan setingkat kepala seksi.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Sementara pemimpin laki-laki memiliki kesempatan yang lebih besar untuk naik ke posisi jabatan lebih tinggi setingkat kepala bidang hingga kepala dinas, tulis Nuzulul.

“Penghalang utama bagi perempuan untuk mencapai posisi penting dalam pengambilan keputusan dalam organisasi disebabkan oleh adanya stereotip gender pada sistem kesehatan,” tambahnya.

Dumilah mengatakan, jika pemerintah mau melihat isu ini sebagai permasalahan serius, maka politik afirmasi yang sudah diberlakukan di bidang politik bisa jadi pertimbangan untuk diberlakukan juga di bidang kesehatan. Hal itu, terutama dalam hal pemilihan kepemimpinan, agar perempuan lebih berani maju, ujarnya.

“Harus ada political will dulu kalau pemerintah mau membenahi isu ini. Sekarang ini kan cuman istilahnya ‘dijatahkan’, kesannya itu perempuan sudah diatur porsinya, kalau enggak ada jatah ya sudah dilupakan,” kata Dumilah.

Read More

Ongkos Politik Tinggi, Proses Pemilihan Elitis Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Selain soal keterwakilan perempuan di tubuh partai politik, ongkos politik yang mahal untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat menjadi alasan lain mengapa eksistensi perempuan di panggung politik kurang.

Bupati Jember, Faida, pernah menggambarkan sulitnya mendapatkan rekomendasi partai karena sebagai perempuan dan ia menolak membayar mahar politik dengan jumlah miliaran kepada partai politik. Menurutnya, dukungan publik dan kontribusi besar untuk partai tidak serta merta memberikannya peluang untuk mencalonkan diri kembali.

“Saya pernah merasakan enggak dikasih rekomendasi oleh partai karena saya perempuan dan katanya tokoh agama enggak mau punya pemimpin perempuan. Belum lagi saya enggak mau ngasih mahar bermiliar-miliar untuk dapat rekomendasi,” ujar Faida dalam Diskusi Publik Perempuan Kepala Daerah: Pola Kepemimpinan dan Pola Kebijakan yang diselenggarakan oleh Cakra Wikara Indonesia (CWI) tahun lalu.

“Mungkin saya bisa terpilih meski enggak bayar mahar tapi itu juga jarang terjadi kepada yang lain. Sementara gaji bupati itu cuman Rp6 jutaan. Dengan puluhan miliar itu sulit jadi pemimpin yang tegak lurus. Itu cara-cara yang tidak terhormat dengan membeli suara,” ia menambahkan.

Mahar politik dengan jumlah fantastis ini sudah menjadi rahasia umum di dunia politik Indonesia. Dari banyak pengakuan para politisi yang gagal ke Senayan, ongkos kampanye bisa mencapai Rp2-3 miliar, sedangkan untuk calon kepala daerah dan bupati bisa mencapai Rp20-25 miliar.

Baca juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Padahal Undang-undang No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) hanya memperbolehkan dana kampanye dari dua sumber, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dana perseorangan untuk calon anggota legislatif adalah maksimal Rp750 juta, sedangkan sumbangan dari badan hukum dan usaha Rp1,5 miliar. Di tingkat pemilihan presiden, dana dari badan hukum maksimal Rp25 miliar serta perseorangan Rp2,5 miliar.

Tanpa Mahar Pun Biaya Politik Sudah Besar

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, tanpa adanya biaya-biaya ilegal seperti mahar dan biaya lain-lainnya pun ongkos kampanye sebetulnya sudah cukup besar. Hal ini karena populasi pemilih yang besar di Indonesia dan kondisi geografis yang luas akan menguras kantong, ujarnya.

“Mahar-mahar politik itu tentu bukan uang yang sedikit. Ditambah dengan biaya operasional kampanye, bayar saksi lah, bayar petugas, belum kalau ada serangan fajar. Meski sebetulnya itu tanda politik yang tidak sehat, namun hal-hal seperti itu sulit sekali dihilangkan,” ujar Titi kepada Magdalene

Dana-dana ilegal tersebut tentu tidak dibayar oleh partai. Semua ongkos politik yang membengkak itu sepenuhnya datang dari uang pribadi para calon kandidat, sehingga tidak heran jika banyak kandidat yang jor-joran mengeluarkan dana agar bisa berkompetisi di panggung politik, ujar Titi.

“Iklim politik yang tidak sehat sepeti ini membuat para politisi kebanyakan datang dari pengusaha atau para elite yang berduit, bukan dari orang-orang yang benar-benar punya visi untuk memajukan rakyat,” ia menambahkan.

Baca juga: Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Struktur Partai Politik Maskulin dan Elitis

Selain fakta ongkos politik yang selangit, struktur partai politik yang maskulin dan elitis membuat rekomendasi pencalonan kandidat di pemilihan umum maupun Pilkada cenderung elitis, meski sebetulnya setiap anggota memiliki hak yang sama, termasuk perempuan.

“Proses pencalonan politisi dalam partai itu sangat elitis. Rasa kepemilikan terhadap kontestan dan anggota partai itu enggak begitu kuat. Seharusnya dalam proses pencalonan itu ada unsur gotong royong, dan dilihat mana yang punya kapasitas mumpuni,” ujar Titi.

“Proses pencalonan ini menjadikan para anggota yang tidak punya kekuasaan yang kuat dan dana yang kuat cenderung mundur, apalagi kalau perempuan,” ia menambahkan.

Kesadaran politik di Indonesia yang masih rendah menjadi faktor lain sulit terwujudnya proses pemilihan yang murni mempertimbangkan visi misi kandidat. Berbeda dengan negara-negara maju yang memiliki kesadaran politik besar dan mau berkontribusi untuk perubahan. Di Amerika Serikat misalnya, kandidat yang punya misi untuk perubahan masyarakat yang lebih baik bisa maju dengan dukungan dari donasi publik. Hal ini terjadi pada mantan Presiden Barack Obama dan anggota Kongres Alexandria Ocasio Cortez.

Cortez terpilih sebagai perempuan anggota Kongres termuda mewakili New York. Ia mendapat simpati publik karena memiliki pengalaman politik di akar rumput, serta cukup vokal memperjuangkan kelompok-kelompok termarginalkan dan hak perempuan. Kultur politik yang lebih sehat seperti ini lebih membuka ruang bagi orang-orang yang secara serius ingin terjun ke dunia politik untuk perubahan.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

“Di sana politik itus udah jadi persoalan personal dan keseharian. Orang mau mendengarkan dan berkontribusi, jadi orang-orang yang bukan berasal dari elite atau pengusaha punya ruang untuk maju. Sayangnya, Indonesia belum sampai pada tahap itu,” ujar Titi.

Di Indonesia anggapan para kandidat yang maju dalam pemilihan otomatis punya uang untuk membiayai dirinya sendiri, turut melanggengkan masalah ini, tambah Titi.

Menyuburkan Politik Dinasti

Persoalan partai politik yang elitis ini juga berpotensi menyuburkan politik dinasti. Banyak pemimpin daerah perempuan terpilih karena suami ataupun keluarganya punya kekuasaan. Karenanya, tidak bisa dikatakan bahwa perempuan berhasil naik ke posisi atas di dunia politik itu murni punya kepentingan untuk membela hak perempuan. Alasan itu pula yang menjadikan perempuan semakin enggan masuk politik.

“Padahal sebetulnya kalau iklim politik lebih sehat dan partai politiknya mendukung para anggota yang punya misi besar, mungkin akan lebih banyak lagi orang-orang dari akar rumput atau perempuan yang tidak segan terjun ke politik,” ujar Titi.

Konsekuensi lainnya dari ongkos politik yang besar selain meminggirkan perempuan adalah makin suburnya benih-benih korupsi ketika kandidat terpilih. Korupsi menjadi jalan pintas untuk menutupi pengeluaran selama masa kampanye yang membengkak.

“Semuanya itu elitis, selama ikatan proses elitis dengan struktur/anggota partai itu enggak kuat dan dana operasional politik yang mahal, dunia politik akan terus menjadi arena mereka yang punya uang saja,” kata Titi.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More

Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Sumatra Barat dikenal dengan posisi perempuan yang kuat dalam masyarakatnya, karena menganut sistem matrilineal. Masyarakat suku Minangkabau percaya dengan konsep Bundo Kanduang, di mana perempuan memiliki peran sentral sebagai penerus keturunan, pewaris harta, penyimpan hasil ekonomi, pemilik rumah gadang (tempat kediaman), dan penentu keputusan.

Namun sayangnya, posisi perempuan yang kuat itu berbanding terbalik dengan keterlibatan mereka di bidang politik. Sumatra Barat adalah salah satu wilayah dengan partisipasi perempuan dalam politik yang masih rendah. Sejak 2004, hanya ada lima orang atau setara dengan 9,09 persen anggota perempuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) yang terpilih.

Kendati sempat mengalami kenaikan pada periode 2009-2014 menjadi tujuh orang (12,72 persen), namun angka itu kembali turun di periode 2014-2019 menjadi enam orang. Bahkan, di periode 2019-2024, diketahui hanya ada empat anggota DPRD perempuan di Sumatra Barat yang terpilih.

Di level pemimpin daerah pun menunjukkan angka yang sama. Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) periode 2016-2021, dari tujuh kota dan 12 kabupaten di Sumatera Barat, wali kota dan bupati terpilih seluruhnya adalah laki-laki.

Kenyataan rendahnya partisipasi perempuan di ranah politik ini cukup membuktikan bahwa budaya matrilineal kepemimpinan perempuan masyarakat Sumatera Barat hanya berlaku dari segi kultural atau adat masyarakat Minangkabau saja, sedangkan di tatanan politik yang lebih formal tidak begitu berpengaruh.

Baca juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Budaya Matrilineal Minangkabau: Pergeseran Posisi Bundo Kanduang

Akademisi Universitas Jayabaya, Jakarta, Nurwani Idris, dalam artikel jurnal berjudul “Perempuan Minangkabau dalam Politik” (2010), menyatakan bahwa budaya masyarakat Minangkabau yang egaliter dan setara, nyatanya tidak punya pengaruh signifikan dalam membangun keterwakilan perempuan dalam politik. Meskipun sudah didukung dengan politik afirmasi ketersediaan 30 persen tempat bagi perempuan.

Menurutnya, keterbatasan peran pemimpin perempuan masyarakat Minangkabau yang hanya berlaku secara kultural itu tidak terlepas dari pengaruh periode kekuasaan di Indonesia. Dalam sejarah Minangkabau, perempuan sangat berperan dalam berbagai urusan publik sebagai pengontrol kekuasaan.

Hal ini terlihat dari banyaknya tokoh perempuan pada masa lalu yang merupakan tokoh publik yang diakui dan punya pengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah. Sebut saja, Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rasuna Said, dan Rahmah El Yunusiah. Ketiganya merupakan tokoh sejarah yang diakui secara nasional punya misi sangat progresif dalam memajukan nusantara di masa lampau.

Tetapi menurut Nurwani, dalam tiga dekade terakhir ini, peran perempuan tersebut mengalami penurunan, bahkan bisa dikatakan hilang. Hal ini akibat proses pemarginalan yang sangat panjang, mulai dari masa kolonialisme Hindia Belanda, hingga Orde Baru dan sekarang. Peran mereka secara perlahan terus bergeser dan direduksi, tulisnya.

“Khususnya pada masa Orde Baru di Indonesia, pola sentralistis yang dipraktikkan sangat mereduksi peran politik perempuan Minangkabau. Belum lagi faktor sosial dan agama yang tidak mendukung perempuan dalam politik, maupun peluang mereka untuk mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin daerah,” tulis Nurwani.

Posisi perempuan yang kuat dalam sistem matrilineal sekarang ini hanya diartikan sebatas pada peran domestik perempuan dan adat belaka. Kepemimpinan mereka hanya bersifat personal (personal effort), belum sampai pada gerakan politik progresif yang dapat membawa perubahan pada posisi perempuan di ranah publik. Kekuasaan perempuan Minangkabau masih berkutat pada peran ganda sebagai seorang ibu dan pemimpin adat, terkait dengan budaya patriarkal yang membatasi ruang perempuan.

“Mereka jadinya tidak mempermasalahkan siapa pemimpin daerah yang secara formal terpilih, karena posisinya sebagai perempuan pemimpin adat dan keluarga itu akan tetap sama. Ini yang menjadi salah satu faktor kenapa kepemimpinan perempuan di Sumatera Barat masih belum sampai pada pergerakan kolektif dan kesadaran politik,” tulis Nurwani.

Minat dan motivasi politik yang rendah itu menyebabkan kesadaran terhadap pentingnya perempuan menduduki kepemimpinan politik juga rendah.

Baca juga: Masalah Perempuan Kepala Daerah dan Anggota DPR: Jumlah dan Kualitas

Konservatisme Agama Jadi Penghambat Perempuan Sumbar

Konservatisme agama di Sumatra Barat juga berperan penting dalam hal dukungan perempuan di bidang politik. Baik calon legislatif maupun calon pemimpin daerah perempuan sering kali menghadapi kampanye hitam yang menyebutkan bahwa dalam ajaran agama Islam, perempuan tidak seharusnya menjadi imam atau pemimpin.

Emma Yohana, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang mencalonkan diri menjadi Wali Kota Padang pada 2013 misalnya, merasa kampanye hitam yang membawa dalil agama itu cukup menghambat dirinya untuk maju ke Pilkada Sumatera Barat.

“Beberapa kali saya terhambat karena pemahaman soal imam itu. Padahal kita tidak dalam rangka ibadah salat, tetapi ibadah yang lain,” ujar Emma seperti yang dikutip dalam artikel Magdalene.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan isu agama dalam politik Sumatera Barat memang sudah lama terjadi, namun semakin menguat semenjak polarisasi politik setelah Pemilihan Presiden 2019 lalu, sehingga berakibat pada menurunnya jumlah perempuan yang berhasil terpilih menjadi DPD.

“Kalau kita lihat kan politiknya cenderung konservatif, apalagi setelah Pilpres 2019. Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam konteks isu agama,” ujar Titi kepada Magdalene (8/7/2020).

Baca juga: Mahalnya Ongkos Politik Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Partai yang Masih Elitis dan Peluang Perempuan Sumbar

Kampanye hitam dengan narasi agama biasanya tidak akan menjadi isu besar jika calon pemimpin daerahnya merupakan bagian dari politik kekerabatan atau sang calon punya basis massa yang besar.

“Masih sangat elitis, misalnya dia istri bupati sebelumnya dan memiliki posisi strategis di dalam partai. Atau memiliki basis massa yang besar sebagai ketua organisasi keagamaan,” ujar Titi.

Isu sistem partai politik yang elitis dan ongkos politik selangit sebetulnya bukan permasalahan baru. Keduanya akan terus menjadi batu sandungan besar bagi perempuan untuk terjun ke politik. Padahal, perempuan Sumatera Barat punya peluang yang besar untuk menjadi pemimpin.

Hasil survei Spektrum Politika pada Juli 2020, yang melibatkan 1.220 responden di 19 kabupaten kota di Sumatra Barat menunjukkan, hampir 56,9 persen responden mengatakan bahwa adat dan budaya Minangkabau mendukung perempuan beraktivitas dalam kegiatan politik. Selain itu, 60,3 persen responden setuju bahwa perempuan mampu bersaing dengan laki-laki.

Titi mengatakan bahwa peluang besar perempuan Sumatra Barat tersebut bisa dioptimalkan jika partai politik mau membenahi tata kelola internal partai yang masih mengedepankan elite sebagai penentu proses kontestasi. Selain itu, partai harus mau lebih mengedukasi perempuan-perempuan yang punya basis masa yang besar di provinsi itu

“Sistem di internal partai harus diperbaiki, termasuk perekrutan kader partai perempuan. Dan tentu edukasi politik dari parpol perlu berjalan ke masyarakat. Banyak perempuan yang memiliki basis massa besar dan sangat berpotensi tetapi mereka minim edukasi politik,” kata Titi.

Read More

Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?


Masih ingat tahun lalu saat penyanyi Mulan Jameela melenggang ke Senayan? Pemilihannya sebagai anggota DPR ramai diperbincangkan karena dianggap mengorbankan hak kandidat lain yang dipandang lebih pantas terpilih.

Mulan mencalonkan diri di derah pilihan Jawa Barat XI dengan perolehan suara peringkat kelima. Namun, partai pengusungnya, Gerindra, memberhentikan beberapa orang kandidat yang mengalahkan Mulan sebelumnya. Alhasil, Mulan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Banyak yang mempertanyakan alasan Gerindra melakukan keputusan sepihak tersebut. Sebagian pihak berasumsi bahwa Mulan terpilih karena sebagai penyanyi, ia lebih populer dibanding dua kandidat yang digantikannya. Belum lagi pada saat itu sedang ramai pemberitaan soal suaminya, musisi Ahmad Dhani, yang dianggap rela mendekam di penjara karena membela Prabowo Subianto, ketua partai Gerindra sekaligus calon presiden 2019-2024.

Kendati para kandidat yang dipecat secara sepihak tadi menggugat kembali keputusan Gerindra ke pengadilan, Mulan sudah kadung ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai anggota DPR 2019-2024. Ia pun kini menjadi salah satu yang disorot media dalam menjalankan kerjanya di DPR.

Selain Mulan, penyanyi perempuan di dalam politik lain yang tak kalah mendapat sorotan karena berhasil menduduki kursi DPR adalah Krisdayanti yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banyak publik meragukan kapasitas Krisdayanti di DPR karena ia tidak punya rekam jejak politik. Bahkan pada Maret lalu, Krisdayanti mendapat kritikan besar karena pergi pelesiran ke Eropa di tengah krisis pandemi COVID-19. Hal tersebut disayangkan banyak pihak, Krisdayanti sebagai wakil rakyat pun makin dipertanyakan kredibilitasnya.

Baik kasus Mulan maupun Krisdayanti merupakan contoh nyata perempuan di dalam politik yang masih dijadikan sebagai vote-getter atau figur yang diperkirakan mampu mendapatkan banyak suara lebih karena popularitasnya dibanding kemampuan mereka di dunia politik.

Dalam penelitan yang diterbitkan New Mandala bertajuk “Why does a good woman lose? Barriers to women’s political representation in Indonesia” (2019), dikatakan bahwa fenomena ini mungkin sah secara Undang-Undang, tapi realitasnya menunjukkan cara ini terlalu pragmatis dan terkesan membodohi masyarakat kita yang sering kali terlalu terlena dengan popularitas seorang calon.

Baca juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Dunia politik masih maskulin

Kendati istilah vote-getter ini bisa dilekatkan baik kepada laki-laki maupun perempuan, kenyataan bahwa dunia politik masih maskulin ditambah angka politisi perempuan yang belum pernah mencapai 30 persen di DPR membuat perempuan di dalam politik mendapat atensi lebih dari publik. Karena itu, muncul anggapan bahwa perempuan kerap hanya dipilih oleh partai untuk mendongkrak popularitasnya saat Pemilu.

Survei nasional yang juga dilakukan New Mandala mengungkapkan bahwa sikap patriarkal yang mengakar di Indonesia membuat masyarakat berasumsi bahwa laki-laki lebih mampu menjadi pemimpin politik dibanding perempuan. Sebanyak 88,2 persen responden menyatakan setuju laki-laki lebih mumpuni. Tak heran bila selebritas laki-laki yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR biasanya lebih dipandang berwibawa dan mengerti politik, serta tidak mendapat sorotan seperti politisi perempuan di DPR.

“Elemen kualitatif dari penelitian kami menemukan bahwa sistem pemilihan Indonesia, dikombinasikan dengan beberapa elemen budaya partai politik, turut menentukan tipe kandidat perempuan yang direkrut oleh partai dengan cara-cara yang problematis. Dengan mengangkat mereka yang populer, partai tidak harus bekerja ekstra untuk mengenalkan calon kandidat ke masyarakat,” tulis Sally White dan Edward Aspinall, peneliti dari Department of Political and Social Change in the Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, dalam New Mandala.

Strategi mendompleng ketenaran calon wakil rakyat digunakan terutama untuk menyasar pemilih di daerah yang kurang terjangkau selama masa kampanye. Daftar nama caleg dari puluhan partai akan membuat orang-orang bingung. Karenanya, mereka cenderung akan memilih figur-figur familier yang biasa mereka lihat di layar kaca dan mengesampingkan visi dan kemampuan figur-figur tersebut walau itu merupakan pertimbangan yang fundamental.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Dari penghibur saat kampanye sampai jadi politisi

Fenomena para selebritas berbondong-bondong masuk ke dunia politik sebetulnya bukanlah hal baru. Dalam jurnal bertajuk From Celebrity to Politician: The Indonesian Women Celebrity in House of Representative (DPR RI) 2004-2007 yang ditulis oleh Nyarwi (2011), dinyatakan bahwa tren pelibatan selebritas perempuan dalam kampanye politik sudah terjadi sejak Orde Baru.

Awalnya, pelibatan mereka hanya sebatas artis penghibur selama kampanye. Dengan memanfaatkan popularitas mereka, partai berharap dapat mengundang banyak pemilih. Peran yang terbatas sebagai penghibur tersebut tidak lepas dari iklim politik di Indonesia dikuasi satu partai yaitu Golongan Karya (Golkar). Baru pada Pemilu 2004, para selebritas ini mulai terjun ke dunia politik seiring dengan iklim politik Indonesia yang semakin terbuka.

“Salah satu tren besar pada pemilihan umum 2004 adalah komodifikasi popularitas selebritas. Pada tahun, tersebut tujuh selebritas terpilih menjadi anggota DPR, dua diantaranya adalah perempuan yaitu Nurul Arifin dan Angelina Sondakh. Meski pada saat itu partai politik hampir memberi 22-40 persen kandidat perempuan tapi para selebriti cenderung mendapat suara lebih karena popularitasnya,” tulis Nyarwi. 

Perempuan Di Dalam Bagian Politik Dinasti

Tak hanya sebatas dari kalangan dunia hiburan, istilah vote-getter ini juga bisa berasal dari orang-orang yang berafiliasi dengan menteri atau pejabat lain yang punya pengaruh besar di panggung politik. Pada Pemilu tahun lalu, misalnya, Hillary Brigitta Lasut terpilih sebagai perempuan termuda yang lolos menjadi anggota DPR 2019-2024.

Perbincangan publik seputar dirinya kerap berkisar soal penampilan fisiknya serta catatan prestasinya di umur 23 kala itu: Menjadi lulusan luar negeri dan berhasil lolos masuk DPR. Padahal, setelah ditelusuri, terpilihnya Hillary tidak lepas dari latar belakangnya sebagai anak Bupati Kepulauan Talaud Elly Engelbert Lasut (2004-2009, 2009-2012, 2019-2024). Sementara itu, Ibu Hillary, Telly Tjanggulung, adalah Bupati Minahasa Tenggara periode 2008-2013.

Baca juga: Ruang (Ny)aman: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik

Selain Hillary, ada juga Puteri Komaruddin, yang baru berusia 27 tahun dan memiliki kekayaan puluhan miliar. Puteri adalah anak politisi senior Ade Komaruddin yang sudah lima kali masa jabatan duduk di DPR.

Dalam kedua kasus itu, dapat dilihat secara gamblang bagaimana orang yang dekat dengan kekuasaan bisa melenggang ke DPR meski ia belum begitu lama terjun ke politik. Di sisi lain, politisi seumuran mereka yang tidak berafiliasi dengan kekuasaan harus mengeluarkan upaya ekstra untuk dikenal masyarakat serta mendapat suara.

Dalam rangka memenuhi kuota 30 persen dan meningkatkan perolehan suara kandidat perempuan, partai melihat calon kandidat perempuan yang memiliki kekerabatan dengan politisi laki-laki yang berkuasa di daerah pemilihan terkait berpotensi mendongkrak suara. Selain itu, calon kandidat seperti itu juga biasanya memiliki jaminan akses ke sumber dana yang memadai untuk menutup ongkos kampanye.

Para peneliti dari Pusat Studi Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menemukan 41 persen perempuan yang memenangkan kursi DPR pada 2019 terkait dinasti politik. Persentase tersebut melonjak signifikan dari 36 persen pada 2014.

White dan Aspinall mengakui bahwa sebagian perempuan yang punya koneksi dinasti merupakan politisi yang cakap dan berbakat. Tetapi, bukan hal itu yang membuat mereka menang.

“Banyak di antara mereka menang bukan karena kualitas dan kompetensi pribadi, tetapi murni karena koneksi keluarga mereka,” tulis mereka.

Read More

Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Jumlah perempuan di DPR belum mencapai kuota 30 persen, demikian juga di partai politik. Hal ini berhubungan dengan dunia politik yang masih sangat maskulin. Perempuan dalam politik baru mendapat ruang untuk diakui kehadirannya pada masa Reformasi. Adanya pembungkaman kelompok-kelompok yang berseberangan dengan penguasa dan hilangnya suara kelompok terpinggirkan selama masa otoriter Orde Baru membuat salah satu prioritas utama Reformasi dalam ranah politik adalah memperbaiki kualitas representasi politik. Sebagai kelompok yang paling terabaikan kepentingannya, perempuan masuk menjadi agenda prioritas tersebut.  

Keseriusan negara dalam mendorong keterlibatan perempuan di ranah publik terlihat dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang kemudian diikuti dengan politik afirmasi dengan memperbarui aturan partai politik dan pemilihan umum (Pemilu).

Kebijakan afirmatif ini merupakan tindakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perempuan agar secara aktif terlibat dalam politik formal, termasuk jabatan-jabatan politik dan struktur politik dalam partai politik, lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif serta level kementerian.

Perwujudan kebijakan politik afirmasi ini, ditetapkan lewat Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum serta UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di mana dalam berbagai aturan perundangan itu tercantum jika partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat serta daerah.

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (Pasal 65).

Jumlah perempuan di DPR belum 30 persen sebenarnya. Angka 30 persen sendiri mengacu pada penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen adalah angka yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak signifikan pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Upaya ini merupakan bagian dari kesepakatan internasional pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, yang ditandatangani oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia.

Baca juga: Salah Paham Atas Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan

Jumlah Perempuan di DPR Serta Politik afirmasi yang masih belum efektif

Kendati sudah ada aturan tersebut, peningkatan representasi jumlah perempuan di DPR serta di ranah politik masih jauh dari harapan. Hasil penelitian dari Cakra Wikara Indonesia, organisasi yang berfokus pada kajian sosial politik berperspektif gender, yang bertajuk Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah (2018), menunjukkan, sejak diberlakukannya aturan tersebut hingga sekarang ini, angka perempuan yang berhasil duduk di legislatif belum pernah mencapai angka 30 persen.

Menurut data, pada periode 1999-2004 kursi perempuan di DPR hanya mencapai 9,09 persen, meningkat dua persen pada periode 2004-2009. Baru pada Pemilu 2009 ada kemajuan signifikan di angka 18 persen, namun kembali menurun pada Pemilu 2014 dengan angka 17,32 persen.  

“Hal itu karena saat pertama kali diadopsi pada pemilihan umum 2004, kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu masih bersifat imbauan dan tidak ada aturan sanksi jika dilanggar. Baru menjelang Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 ada penguatan aturan tersebut dengan diberlakukannya sanksi kepada partai politik jika tidak memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan,” tulis CWI.

Tak jauh berbeda dari pusat, di tingkat provinsi (DPRD) menunjukkan kecenderungan yang sama. Hasil Pemilu Legislatif 2009 memperlihatkan bahwa rata-rata perolehan kursi perempuan adalah 16 persen. Hal tersebut seolah kembali membuktikan jika pemenuhan syarat 30 persen keterwakilan tidak berbanding lurus dengan kemenangan calon wakil rakyat perempuan di ranah politik.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Artikel The Conversation bertajuk Bagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR? menganalisis bagaimana masalah UU Pemilu, sistem partai, dan sistem hukum di sebuah negara merupakan faktor sistematik. Sementara faktor terpenting yang memengaruhi perempuan secara langsung, seperti, ideologi serta aturan internal partai yang menentukan motivasi perempuan sebagai calon anggota legislatif seharusnya mendapat perhatian lebih.

Hal itu dibuktikan dari data hasil Pemilu 2009 dan 2014 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI merupakan calon yang ditempatkan di nomor urut atas, sehingga prioritas kader perempuan merupakan hal yang tak kalah krusial.

“Mayoritas caleg yang berhasil melenggang ke Senayan pada pemilu adalah mereka yang dinominasikan pada nomor urut satu,” menurut artikel tersebut.

Namun sayangnya, politik afirmasi yang bercita-cita memajukan perempuan ini belum sepenuhnya menjadi agenda sebagian besar partai politik di Indonesia. Dalam kesimpulan penelitiannya, CWI juga menggarisbawahi bahwa politik afirmasi ini cenderung sekedar menjadi pemenuhan syarat administratif mengikuti pemilu bagi partai-partai. Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

Selain itu, kebanyakan partai tidak melihat lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas yang dimiliki, dan potensi yang dihadirkan untuk bisa mencapai tujuan lebih besar yaitu melakukan transformasi kebijakan yang lebih inklusif.

Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

“Fakta memperlihatkan bahwa dalam hal pengalaman berpolitik kader dan caleg perempuan tertinggal dibanding caleg laki-laki. Partai mencalonkan perempuan, tetapi tidak secara khusus melakukan program penguatan kapasitas kader dan caleg perempuan serta tidak memberikan dukungan khusus dalam proses pencalonan dan kampanye yang dapat meningkatkan kesempatan perempuan untuk terpilih,” tulis CWI.

Kebijakan yang tak berpihak pada perempuan

Dampak dari kebijakan afirmasi yang ditempatkan hanya sebagai syarat administrasi semata tanpa memikirkan cita-cita awalnya yaitu mendorong kebijakan yang mendukung lebih banyak perempuan ini tentu punya implikasi yang sangat besar.

Menurut Ketua CWI Anna Margret, persoalan representasi perempuan di ranah institusi politik formal bukan sekedar urusan jumlah, melainkan juga substansi yang dibawa oleh para perempuan di institusi-institusi tersebut, sehingga arah kebijakan, program, bahkan anggaran yang disusun tidak abai terhadap kekhasan pengalaman dan kepentingan perempuan. Dengan demikian, politik tidak hanya menjadi urusan formal prosedural, tetapi betul-betul mampu menawarkan solusi bagi permasalahan riil dalam masyarakat, termasuk di dalamnya masalah yang dialami perempuan.

“Satu hal yang perlu kita catat juga, peraturan itu penting, kita ngomong tentang aturan-aturan formal. Tapi yang namanya aturan itu diimplementasi oleh manusia secara kolektif, entah oleh sebuah organisasi atau partai politik. Jadi ya itu balik lagi si partai politiknya ngerti enggak esensi politik afirmasi ini, sejalan enggak? Kebijakan afirmasi 30 pencalonan di legislatif ada aturannya, dijalankan enggak? Iya dijalankan. Tapi ada hasilnya? Enggak,” ujar Anna kepada Magdalene.

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Implikasi paling nyata dari permasalahan ini tercermin dari bermunculan Rancangan Undang-undang (RUU) yang justru jauh dari cita-cita politik afirmasi sendiri dan sebaliknya berusaha meminimkan gerakan perempuan, RUU Ketahanan Keluarga misalnya yang berusaha kembali menempatkan perempuan ke ranah domestik. Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang jelas menyangkut hajat hidup perempuan malah tidak diprioritaskan serta tidak dilihat sebagai masalah serius.

Anna mengatakan bahwa impian akan ada solidaritas otomatis terhadap perempuan setelah perempuan lainnya berhasil naik di pucuk kepemimpinan merupakan asumsi dan mitos. Kita harus melihat secara jeli latar belakang perempuan yang mengisi angka keterwakilan itu seperti apa, karena bisa jadi mereka ada karena pengaruh dari laki-laki atau kepentingan lain, tambahnya.

“Identitas perempuan itu beragam. Perempuan yang mana akan dukung perempuan mana? Ada sisterhood atau solidaritas itu bagus harus didukung. Kepekaan sama isu perempuan didapat dari pengalaman berjejaring dengan kelompok yang berbeda dan tersisihkan tapi kalau enggak gimana?,” ujar Anna.

“Mungkin kita punya pemimpin DPR perempuan pertama, tapi otonomi dia dalam membuat kebijakan itu ada enggak? Atau dia harus kompromi dengan struktur kuasa yang lebih luas? Kalau kebijakan dia enggak pro perempuan, kita harus lihat dia ada di institusi macem apa? Apakah institusinya udah demokratis? Dia betul punya kuasa apa enggak? Apakah dia punya kuasa secara otonom untuk mengambil kebijakan? Jangan-jangan dia hanya dijadikan sebagai sesuatu yang simbolik aja,” tambah Anna.

Read More

Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Impian untuk menciptakan tempat kerja yang beragam dan inklusif tentu tidak akan terwujud tanpa pembaruan dalam kebijakan sumber daya manusia (SDM)di perusahaan. Layaknya induk dalam perusahaan, kebijakan SDM akan melahirkan proses perekrutan yang lebih berkeadilan yang tidak mencantumkan standar ganda pada gender maupun kelompok tertentu berasal.  

Di tatanan global, jargon Keberagaman dan Inklusi sudah mulai menjadi tren dalam beberapa dekade terakhir. Buku Global Diversity and Inclusion yang dikeluarkan oleh The Economist pada 2009 menunjukkan jika tren menciptakan keberagaman dan inklusivitas akan menjadi topik yang terus dibahas di masa depan. Banyak organisasi dan perusahaan sadar akan pentingnya membangun kebijakan yang merayakan keragaman identitas, latar belakang ras, dan gender.

The Economist melakukan survei pada 500 eksekutif di perusahaan dan organisasi seluruh dunia termasuk Asia Pasifik. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 55 persen eksekutif perusahaan, termasuk kepala bagian SDM, sudah mulai menerapkan konsep keberagaman dan inklusivitas. Sedangkan 79 persen di antaranya percaya jika harus lebih banyak lagi presentasi perempuan di tempat kerja, dan 39 persen representasi ras minoritas. Dalam bukunya, The Economist juga merekomendasikan untuk memulai pengaplikasian konsep keberagaman dan inklusivitas dengan mengidentifikasi nilai keberagaman itu sendiri di tiap negara dan wilayah.

Baca juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

“Setelah kita paham isu besar apa yang dihadapi di negara kita kerja, baru kita bisa bikin kebijakan. Kita enggak mungkin menerapkan konsep keberagaman orang Amerika ke negara Asia misalnya, karena jelas punya budaya yang berbeda,” tulisnya.

Kebijakan SDM untuk mendorong keberagaman dan kesetaraan di tempat kerja juga masuk dalam rencana aksi global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sampai 2030 mendatang, sebuah agenda besar para pemimpin dunia untuk menciptakan laju perekonomian yang merata dan setara. Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga menerbitkan sebuah buku saku bertajuk Promoting Diversity And Inclusion Through Workplace Adjustments A Practical Guide yang berisi berbagai rekomendasi dan cara-cara praktis yang bisa diimplementasikan di perusahaan, agar kebijakannya bisa mendorong lebih banyak perempuan untuk tampil dan memberi ruang untuk kelompok minoritas.

Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dunia juga sudah banyak yang secara terang-terangan mendukung keberagaman dan menyampaikan keterbukaan bagi komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ). Kemajuan progresif juga ditunjukkan oleh perusahaan multinasional seperti Unilever dan Danone yang baru-baru ini mengganti logonya dengan warna pelangi, sebagai simbol dukungan terhadap kelompok LGBTQ. Bahkan Unilever membuat kebijakan tersendiri bagi pekerjanya yang sedang melakukan transisi gender.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Kebijakan SDM di Indonesia

Di Indonesia, kebijakan SDM yang ramah LGBTQ masih mendapat serangan dari banyak pihak. Tidak lama setelah Unilever mengganti logo, muncul gerakan yang memboikot produk-produk Unilever dan Danone. Pada 2018 lalu, Gojek mendapat kecaman setelah salah satu manajernya mengatakan bahwa orientasi seksual apa pun akan diterima di Gojek selama dia punya kemampuan. Tagar #UninstallGojek ramai di sosial media, sebagai bentuk boikot Gojek yang dianggap mendukung LGBTQ.

Meskipun demikian, menurut Floribertus, seorang praktisi SDM yang sudah berkecimpung di dunia SDM selama 15 tahun, Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam kebijakan SDM, termasuk perekrutan. Data diri calon pelamar, misalnya, cenderung lebih singkat dibandingkan zaman dulu yang mesti mencantumkan hal-hal bersifat pribadi seperti agama, jenis kelamin, dan surat berkelakuan baik.

“Penyederhanaan bentuk resume ini harus dilihat sebagai kemajuan karena secara perlahan, hal ini mengeliminasi kemungkinan bias penilaian terhadap hal-hal yang bersifat pribadi, alih-alih kemampuan. Beberapa perusahaan bahkan sudah mulai menerapkan aturan agar pelamar tidak memakai foto dalam resumenya, sehingga tim SDM bisa menilai kelayakan mereka mendapat kerja secara objektif tanpa mempertimbangkan ras maupun suku tertentu,” kata Floribertus, yang sudah bekerja di berbagai sektor, mulai dari otomotif, farmasi, sampai tambang dan perbankan.

Namun menciptakan sistem yang berimbang secara gender masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam bidang SDM perusahaan, ujarnya.

“Nah, di sinilah seharusnya (divisi) SDM ditantang supaya bisa melihat potensi dari perempuan kalau sudah terlalu banyak laki-laki. Sistem yang baik juga harus bisa melihat ini sebagai sebuah masalah,” kata Floribertus.

“Saat ada pekerja perempuan yang harus mengundurkan diri setelah menikah, pembuat kebijakan SDM lebih baik menawarkan alternatif posisi lain yang bisa lebih terjangkau oleh perempuan, sehingga perempuan tidak melulu harus meninggalkan karier saat terjepit keadaan dan tanggung jawabnya sebagai ibu.”

Selain itu, dorongan eksternal yang mengharuskan perusahaan membuat kebijakan SDM yang inklusif dan tidak diskriminatif juga merupakan implikasi dari masyarakat yang semakin kritis dan budaya spill up di media sosial yang bisa saja menghancurkan reputasi perusahaan secepat kilat. Di Twitter misalnya, ada akun @HRDBacot dengan 377 ribu pengikut, yang selalu menjadi tempat keluh kesah para pekerja yang merasa perusahaannya tidak adil.

“Orang sekarang semakin kritis. Apa-apa pasti dikritik, kalau salahnya besar pasti viral. Ya sebetulnya SDM juga harus hati-hati banget bikin kebijakan. Apalagi kita ada obligasi buat bikin pekerja stay, kan enggak kayak zaman dulu yang orang cenderung akan stay puluhan tahun. Sekarang bisa hengkang kapan saja,” ujar Floribertus.

Kemajuan juga masih lambat di instansi-instansi pemerintahan, misalnya, yang masih menggunakan standar-standar normatif seperti gender, umur, agama, dan orientasi seksual. Perusahaan yang punya birokrasi yang kompleks cenderung lebih sulit menerima konsep keberagaman dan inklusivitas.

“Perusahaan swasta yang multinasional sudah mulai aware sama hal-hal begini. Tapi lembaga formal yang mengikuti protokol pemerintah kan enggak gampang mengubah alur kebijakan SDM,” ujarnya.

Mendukung Fleksibilitas SDM

Selain mendukung keberagaman saat proses perekrutan, aturan fleksibilitas kerja menjadi hal yang tak kalah krusial dalam menciptakan tempat kerja yang lebih ramah terhadap perempuan. Adanya peran ganda perempuan antara bekerja dan mengurus rumah tangga menjadikan jam kerja fleksibel penting. Dalam banyak kasus, perempuan sering kali memilih keluar dari pekerjaannya karena tidak memungkinkan waktu kerja yang fleksibel.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Hasil penelitian lembaga riset AS Corporate Leadership Council pada 2014 menunjukkan, fleksibilitas kerja meningkatkan aspirasi karier perempuan hampir 30 persen, sehingga perempuan tidak harus meninggalkan atau menurunkan ambisinya di tempat kerja setelah berkeluarga. Buku saku yang ILO bertajuk Work And Family Creating a family-friendly workplace menggarisbawahi bahwa fleksibilitas kerja dan keterbukaan perusahaan menjadi kunci menciptakan tempat kerja ramah perempuan yang punya beban mengurus keluarga.

Floribertus mengatakan di saat pandemi seperti sekarang inilah kapasitas perusahaan dalam membuat keputusan yang berpihak pada pekerja perempuan diuji. Perusahaan harus melihat permasalahan bekerja dari rumah lebih sulit dilakukan oleh perempuan yang harus mengurus anak sekaligus mencari waktu untuk bekerja.

“Semuanya harus didasari komunikasi yang terbuka juga ya. Kita harus mau menanyakan dan mendengarkan keadaan pekerja. Peduli dengan support system-nya, misalnya dia harus jagain anak karena hari ini pengasuhnya sakit, kita sebisa mungkin harus kasih solusi yang terbaik,” ujar Floribertus.

“Saat ada kasus pekerja perempuan yang harus mengundurkan diri setelah menikah, pembuat kebijakan SDM lebih baik menawarkan alternatif posisi lain yang bisa lebih terjangkau oleh perempuan, sehingga perempuan tidak melulu harus meninggalkan karier saat terjepit keadaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.”

Read More

Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Guru Bahasa Jepang saya waktu SMA adalah sosok yang mengagumkan: Ia pintar mengajar, cerdas, dan tegas, disegani murid yang paling nakal sekalipun. Suatu hari, ia bercerita di depan kelas bagaimana ia pernah ditawari kuliah S2 di Jepang, namun ia menolaknya karena bagaimanapun perempuan akan kembali ke rumah mengurus keluarga.

Saya terperangah mendengar hal itu terucap dari guru yang paling saya kagumi. Saat itu saya bahkan sempat berpikir, guru saya yang sangat pintar dan terlihat fearless saja enggak mengambil S2, apalagi saya yang banyak ketakutan dan enggak pintar-pintar amat. Dan teman-teman perempuan saya yang lain juga berpikir hal yang sama.

Sebagai anak daerah, saya merasakan dan mengamati betul betapa rapuhnya kepercayaan diri perempuan, dan bukan karena kesalahan mereka. Sebelum masuk kuliah beberapa tahun silam, salah satu saudara saya memilih tidak kuliah karena ketiadaan biaya. Ketika saya tanya, kenapa tidak coba mendaftar beasiswa dari pemerintah, ia mengatakan kalau perempuan paling pintar di kelasnya saja tidak mendaftar, jadi ia merasa malu dan tahu diri untuk tidak mencobanya.

Sejak SD sampai universitas, teman-teman saya yang paling berprestasi selalu perempuan, tapi sedikit sekali dari mereka sekarang ini menjadi pemimpin atau ada di posisi puncak dalam pekerjaan mereka. Hal ini tercermin dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 yang menunjukkan, 30,63 persen perempuan yang menduduki jabatan manajer, sementara laki-laki mencapai lebih dari dua kali lipatnya yaitu 69,37 persen.

Jika konsep glass ceiling dan sticky floor effect membahas tentang kendala-kendala perempuan di tempat kerja, sebetulnya jauh sebelum itu sudah ada hambatan-hambatan dalam diri perempuan yang dibentuk oleh lingkungan dan budaya.

Hasil penelitian Katherine B. Coffman dari Harvard Business School, yang bertajuk How Gender Steoreotypes Kill a Woman’s Self Confidence menunjukkan bahwa stereotip perempuan bisa mematikan kepercayaan diri perempuan, yang berakibat pada kemunduran perempuan di tempat kerja. Lebih parahnya lagi, stereotip gender juga bisa membuat perempuan terus mempertanyakan kemampuannya dalam melakukan pekerjaan. Hal tersebut, terutama banyak ditemukan dalam bidang pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki seperti bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Menurut Coffman, kepercayaan diri merupakan faktor penting karena berpengaruh pada semua keputusan-keputusan besar dalam hidup. Misalnya saat kita menentukan mau masuk jurusan apa, karier semacam apa yang ingin dijalani dan apakah kita hanya ingin berkontribusi memberikan ide ketika bekerja, atau mencoba bersaing untuk mendapatkan promosi ke top posisi. Hal-hal tersebut berawal dari kepercayaan diri yang dimiliki perempuan.

Lean in dan hambatan perempuan

Istilah Lean In atau bisa diartikan secara aktif menerima tantangan untuk menaikkan karier menjadi perbincangan sejak buku laris karya Sheryl Sandberg, Lean In: Women, Work, and the Will to Lead, diluncurkan pada 2013 lalu. Buku itu didasari pada pengalaman Chief Operating Officer Facebook itu setelah bekerja di perusahaan-perusahaan besar, termasuk Google.

Buku ini pada intinya mendorong perempuan untuk lebih proaktif di tempat kerja. Disebut juga sebagai aliran feminisme pemberdayaan mandiri, Lean In bahkan kemudian menjadi fenomena budaya dan sebuah gerakan.  

Menurut Sandberg, perdebatan antara hambatan perempuan dari eksternal dan internal ini seperti perdebatan ayam dan telur, mana dulu yang harus diselesaikan masih menjadi misteri. Ia melihat jika selama ini orang selalu fokus pada hambatan-hambatan di luar diri perempuan. Padahal stereotip gender tidak hanya memengaruhi bagaimana perempuan diperlakukan di tempat kerja, tapi juga membentuk pola pikir perempuan saat ia kecil, yang berimplikasi pada aktualisasi kepercayaan diri di tempat kerja.

“Banyak pesan-pesan yang kita internalisasi, yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh terlalu tegas bersuara, agresif, atau lebih kuat dari laki-laki. Kita menjadi menurunkan ekspektasi kita terhadap sesuatu yang bisa kita capai,” tulis Sandberg.

Sebagai seorang ibu, Sandberg juga menggarisbawahi tuntutan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan atau mengurus keluarga saat menikah. Norma gender yang disematkan kepada perempuan dari kecil tersebut secara tidak langsung membuat banyak perempuan berpikir lama atau menolak saat ditawari promosi naik jabatan.

“Makanya saya katakan, don’t leave before you leave, jangan mundur sebelum kamu memang harus mundur,” kata Sandberg.

Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak

Dalam bukunya Sandberg juga menyinggung perihal self doubt dan impostor syndrome yang cenderung dimiliki serta rentan terjadi pada perempuan. Self doubt merupakan keadaan di mana kita acap kali meragukan kemampuan kita, menghakimi pemikiran-pemikiran optimistik dan secara berkala menganggap diri akan gagal melakukan segala sesuatu. Sedangkan impostor syndrome bisa diartikan sebagai sindrom penipu atau kondisi di mana kita merasa pencapaian yang telah kita raih itu tidak berimplikasi pada kapasitas diri kita dan itu terjadi hanya sebatas keberuntungan semata, lalu ada perasaan takut bahwa orang akan menemukan hal itu.

Dalam artikel yang dimuat BBC, bertajuk Why imposter syndrome hits women and women of colour harder, disebutkan bahwa sindrom ini cenderung lebih banyak menimpa perempuan, serta kelompok minoritas dan marginal lainnya. Ketiadaan panutan di tempat kerja, kurangnya representasi serta kondisi sosial yang terus menempatkan mereka menjadi kelompok nomor dua dan terpinggirkan membuat kepercayaan terhadap diri lebih sulit dibangun.

Meski begitu, Sandberg bukannya tanpa kritik. Connie Schultz dalam artikelnya di The Washington Post, mengatakan buku Sandberg penuh dengan kontradiksi karena hanya mengangkat permasalahan dari scope mereka yang bekerja di perusahaan besar. Pesan-pesan Sandberg di buku itu pun dianggap hanya berkutat agar perempuan lebih berpikir seperti stereotip laki-laki, yaitu berani mengambil keputusan, tegas dan mengesampingkan ketakutannya agar bisa naik ke posisi atas.

Dorongan untuk ‘lean in’ juga akan menjadi sulit karena lagi-lagi hanya menekankan pada tanggung jawab perempuan secara individual untuk menjadi lebih asertif. Padahal hambatan yang dialami perempuan adalah bersifat struktural.

Gerakan lean in ini praktis jatuh pada 2018, saat Facebook dilanda banyak skandal, di mana Sandberg pun bertanggung jawab di dalamnya.

Membantu perempuan untuk lebih percaya pada dirinya

Adriana Amalia, Psikolog dan co-founder Asa Berdaya, perusahaan sosial yang fokus membangun mentalitas sumber daya manusia (SDM), mengatakan, ada yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk lebih menghargai diri sendiri dan mengatasi hambatan dalam segala situasi baik internal maupun eksternal bisa dihadapi.

“Bagaimana kita mau menghadapi hambatan yang muncul dari sana sini, dari berbagai sisi kalau kita itu enggak menghargai diri sendiri, enggak menghargai apa yang sudah kita lakukan,” ujar Adriana kepada Magdalene.

Baca juga: Standar Ganda dalam Masyarakat: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

Ia mengatakan dirinya sering mengalami berbagai hal yang cukup menguji mentalnya. Saat masih duduk di bangku kuliah dulu misalnya, ia sempat menjadi ketua kepengurusan yang tergolong sukses. Setelah turun jabatan ia mendengar kabar atau berita-berita tidak enak yang menyebutnya tidak begitu meyakinkan di awal jabatan, ia kerap diremehkan.

“Memang jadi harus ada semacam pembuktian terlebih dahulu kalau perempuan itu mampu dan punya kapasitas. Tapi yang terpenting itu pembuktian buat diri sendiri sih. Keberhasilan itu bisa jadi bahan bakar buat kita ke depannya lebih percaya diri buat membuktikan kalau kita ini bisa,” ujarnya.

Di dunia profesional, situasi yang meremehkan perempuan itu terus berlangsung. Saat mendirikan perusahaannya, sebagai ketua proyek, Adriana mengatakan kerap kali diremehkan, apalagi jika harus berhadapan dengan klienlaki-laki senior. Ketika mengetahui dirinya akan pemimpin proyek, biasanya diiringi dengan gestur tidak percaya atau kaget.

“Mungkin mereka berpikir karena saya perempuan bisa gampang dinegosiasi padahal itu keliru. Hal-hal kayak begitu biasanya yang bikin enggak percaya diri. Tapi jangan diambil secara personal. Kalau sudah merasa down, sebaiknya cari bantuan atau komunitas yang bisa mendongkrakrasa percaya diri kita lagi,” kata Adriana.

Dalam hasil penelitiannya, Katherine B. Coffman dari Harvard juga menambahkan harus ada dorongan aktif yang bisa membuat perempuan mau bersuara di forum-forum kecil atau pun besar. Penting bagi mereka untuk merasa didengarkan. Selain itu, para manajer atau pemimpin tim lain dalam perusahaan sudah seharusnya sadar dengan ketimpangan kepercayaan diri karena stereotip perempuan. Adanya pengakuan dan pelibatan perempuan bisa meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk terlibat dalam pembuatan keputusan besar di perusahaan.

“Saya mendorong agar para pemimpin perusahaan lebih berpikir tentang masalah kepercayaan diri ini bisa berpengaruh pada perusahaannya. Kalau melihat perempuan bertalenta, pastikan mereka merasa didukung, dan diakui,” tulis Coffman.

Read More

Jejak Perempuan Pemimpin Kerajaan Nusantara

Dalam sebuah catatan Dinasti Tang dari Tiongkok pada abad ke-6 Masehi, diceritakan tentang keberadaan Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga yang berlokasi di sekitar Jepara, Jawa Tengah. Sebagai seorang pemimpin perempuan, ia dikenal tegas dan jujur. Ketegasannya itu membuat rakyatnya selalu berpaku pada kebenaran dan takut merampas hak orang lain. Tak peduli seberapa berharga suatu barang, selama bukan milik mereka, maka tidak akan diambil.

Ketegasan Ratu Shima dalam menegakkan kejujuran tersebut tersohor ke seantero negeri bahkan sampai ke negeri seberang. Ceritanya itu menarik seorang raja bernama Tha-Shih dari Tiongkok yang menguji kejujuran rakyat yang dipimpin Ratu Shima itu dengan jalan mengirimkan sekantong emas dan menggeletakkannya di jalan begitu saja. Dugaannya benar, tidak ada seorang pun yang berani mengambil kantong berisi emas tersebut, menahun dibiarkan begitu, sampai akhirnya tiba-tiba putra dari Sang Ratu, Pangeran Narayana tidak sengaja menginjak kantong itu.

Ratu Shima marah bukan kepalang mengetahui putranya menyentuh barang yang bukan miliknya. Ingin membuktikan keseriusannya dalam menegakkan kejujuran, sang ratu sampai menjatuhkan hukum mati pada anak semata wayangnya tersebut. Namun ia dicegah oleh para pejabat dan penasihat kerajaan, sehingga putranya hanya dihukum dengan memotong jari jempolnya.

Berkat ketegasan dan kepemimpinan Ratu Shima, Kerajaan Kalingga mencapai puncak periode keemasannya. Kalingga sendiri merupakan kerajaan Hindu yang jejaknya diakui terbesar di Jawa. Sayangnya, tidak banyak catatan atau peninggalan prasasti yang membahas secara rinci masa kepemimpinan Ratu Shima ini, padahal namanya banyak dicatut sebagai contoh pemimpin yang tegas dan mengedepankan kejujuran.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Selain Ratu Shima, pada masa kerajaan tradisional jejak kepemimpinan perempuan punya peran yang penting, banyak di antaranya menjadi pemimpin kerajaan besar. Menariknya, jika masyarakat Jawa pada masa sesudah kemunculan kerajaan Islam berubah menjadi sangat feodal serta patriarkal dan mendomestikasi perempuan dengan istilah kanca winking (dapur, sumur, kasur), pada masa Jawa kuno, posisi perempuan justru setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, dari mulai ekonomi, politik, hukum, sampai menjadi ratu.

Dalam bukunya Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV, arkeolog Titi Surti Nastiti menulis bahwa pada abad ke-8 hingga abad 15, perempuan memiliki peran dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Di bidang politik, jabatan pemerintahan bisa diduduki oleh laki-laki maupun perempuan, itu mulai dari raja/ratu, putra/putri mahkota, pejabat hukum, pejabat keagamaan sampai pejabat desa.

“Di istana, seorang putri mahkota atau putra mahkota itu ditunjuk karena dia lahir dari seorang raja dan permaisuri kemudian akan dilanjutkan menjadi penguasa di masa depan, entah itu laki-laki maupun perempuan, seorang istri bisa saja memiliki gelar kebangsawanan lebih tinggi daripada suaminya,” tulis Titi.

Ratu Pelindung Semua Agama

Periode keemasan kepemimpinan perempuan terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1527) di wilayah Jawa Timur. Kerajaan terbesar di Jawa ini mungkin dianggap mencapai puncak kejayaannya lewat ekspedisi Mahapatih Gadjah Mada dalam menguasai Nusantara, di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Namun selama pemerintahan Hayam Wuruk, wilayah kekuasaan Majapahit banyak dipimpin oleh perempuan.

Sebelum Hayam Wuruk naik takhta ke tapuk kepemimpinan, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh ibundanya, Tribhuwana Wijayatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1351). Ia merupakan putri dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya. Dengan bimbingan sang ibu Gayatri Rajapatni, Tribhuwani memerintah Kerajaan Majapahit selama 22 tahun. Tak hanya boleh menjadi raja, Tribhuwana juga mendapat gelar maharaja dengan nama abhiseka (pelindung semua agama). Sumber-sumber yang menceritakan tentang masa-masa kepemimpinannya banyak ditemukan dalam teks Negarakertagama (puisi Jawa Kuno)dan Pararaton (riwayat para raja).

Pada masa Jawa kuno, posisi perempuan justru setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, dari mulai ekonomi, politik, hukum, sampai menjadi ratu.

Dalam teks tersebut diceritakan bahwa meski keberhasilan ekspedisi Gajah Mada untuk melebarkan kekuasaan Majapahit, membangun sebuah kemaharajaan dan menguasai Nusantara ada pada saat kekuasaan Hayam Wuruk, namun gagasan akan kemaharajaan sebetulnya tercetus pada masa kepemimpinan Tribhuwana.

Selama kekuasaan Tribhuwana, Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di Nusantara. Ia juga dikenal karena berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta pada 1331 M. Menurut sumber prasasti yang ditemukan, Tribhuwana banyak membangun candi bagi Empu Prapanca, pujangga sastra Jawa Kuno yang menulis Negarakertagama. Ia juga membangun Candi Singhasari untuk memperingati Mahabrahman dan bekas patih Singhasasi yang gugur bersama dengan raja Kertanegara.

Walau tapuk kekuasaan kemudian jatuh ke Hayam Wuruk, kepemimpinan perempuan tetap berperan penting dalam memimpin wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Prasasti Waringin Pitu (1369) menunjukkan jika 14 dari 19 pemimpin wilayah kekuasaan kerajaan adalah perempuan, terutama daerah Lasem.

Dalam Nagarakertagama tercatat jika semua penguasa Lasem adalah perempuan. Beberapa diantaranya adalah adik Hayam Wuruk, mereka biasanya diberi gelar Bhre Lasem. Bhre Lasem I adalah adik perempuan Raja Hayam Wuruk, bernama Sri Rajasadhitendudewi, sementara Bhre Lasem II dipimpin oleh putri dari Hayam Wuruk dengan permaisurinya Paduka Sori, bernama Kusumawarddhani. Bhre Lasem III dijabat oleh Nagarwarddhani yang merupakan keponakan Hayam Wuruk.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Pemimpin Perempuan Terakhir di Kerajaan Jawa Kuno

Selan diizinkan untuk memimpin daerah, putra atau putri mahkota pun tidak selalu naik takhta, Kusumawarddhani misalnya, tidak menggantikan ayahnya menjadi ratu Majapahit ketika Hayam Wuruk turun dari tapuk kepemimpinan (1389). Kusumawarddhani memilih memberikan tapuk kepemimpinan tersebut pada suaminya Wikramawarddhana. Hal ini menyebabkan kecemburuan anak selir Hayam Wuruk, Bhre Wirabumi, yang berakibat pada perang saudara Paregreg (1404), yang dimenangkan oleh Wikramawardhana. Setelah wafat pada 1428, tampuk kepemimpinan dikembalikan pada Kusumawarddhani, ia menjadi raja perempuan kedua Majapahit, meski kepemimpinannya tergolong singkat hanya berlangsung tiga tahun saja.

Setelah Kusumawarddhani lengser, Majapahit kembali dipimpin oleh perempuan, yang tak lain adalah putrinya bernama Dyah Suhita, yang sukses memimpin Majapahit selama 18 tahun (1429-1447), dan disebut-sebut sebagai raja perempuan terakhir di Jawa Timur. Selama kepemimpinannya, Dyah Suhita berusaha menghidupkan kearifan lokal yang sempat terabaikan selama masa tegang perang Paregreg. Karena Dyah tidak memiliki keturunan, penguasa Majapahit selanjutnya adalah Kertawijaya, adik bungsu Dyah Suhita.

Tulisan Nagarakertagama maupun kitab Pararaton tidak menggambarkansecara detail bagaimana gaya kepemimpinan para perempuan di masa kerajaan. Namun menurut Titi, dalam teks Kakawin Kresnayana jelas tercatat bahwa seorang perempuan ideal dan seorang ratu tidak hanya persoalan cantik belaka, tetapi juga terpelajar dan mahir memimpin. Salah satu sebabnya adalah karena pada masa itu, pendidikan tidak terbatas pada laki-laki saja. Sehingga para pemimpin perempuan pun jelas bukan hanya karena garis keturunan, tetapi karena mereka juga memiliki kemampuan yang mumpuni.

Read More