standar ganda perempuan di tempat kerja

Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Secara kasat mata, mungkin kita melihat dunia profesional hari ini sudah ramah-ramah saja pada perempuan. Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan hak dan perlakuan berdasarkan jenis kelamin. Tapi kenyataannya, masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan bekerja. Ada banyak nilai-nilai seksis sebagai produk budaya patriarki yang mengakar, seperti standar ganda kepada kaum perempuan. Akibatnya, perempuan memiliki lebih banyak hambatan untuk berkarier atau naik ke posisi yang lebih tinggi ketimbang laki-laki.

Hal itu diawali dari segregasi atau pemisahan gender dalam pekerjaan, bagaimana laki-laki bertugas di ranah publik, seperti di pemerintahan, pekerja kasar, dan sebagainya. Sementara itu, perempuan bertugas di ranah privat/domestik dengan tanggung jawab utama untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, termasuk merawat anak dan keluarga. Karena yang menghasilkan uang/alat tukar lainnya adalah pekerjaan di ranah publik, maka laki-laki lagi-lagi mendapatkan lebih banyak kekuasaan dalam kehidupan sosial. Mereka bisa membeli dan membayar banyak hal untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

Hal ini mengakar pada kehidupan sosial masyarakat Yunani kuno.  Keran keterlibatan perempuan dalam urusan publik dan pembuatan keputusan tidak pernah dibuka. Peran perempuan pun semata-mata untuk fungsi reproduksi. Seorang istri harus menerima ketika suaminya memiliki selir atau perempuan lain dari “hadiah perang” dan budak yang selalu diasosiasikan untuk kegiatan seksual.

Pola pikir ini masih terpatri di benak banyak orang sampai hari ini, yang menimbulkan tantangan bagi perempuan bekerja. Akibatnya, jumlah perempuan yang memiliki pekerjaan di sektor formal rendah. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan berjudul “Women at Work” (2015), hanya 1,3 miliar perempuan di dunia yang dipekerjakan, sementara laki-laki sebanyak 2 miliar orang. Rasio perekrutan perempuan hanya mencapai sebesar 46 persen, sementara laki-laki hampir mencapai 72 persen. Belum lagi kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki yang dieprkirakan mencapai angka 23 persen. 

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Standar Ganda dalam Pekerjaan Bersifat Feminin

Tak mendapat dukungan dari suami dan keluarga adalah salah satu tantangan perempuan bekerja. Selain itu, mereka juga harus menghadapi berbagai bentuk diskriminasi di kantornya. Rania Salem dan Kathryn M. Yount dalam penelitian “Structural accommodations of patriarchy: Women and workplace gender segregation in Qatar” (2019) menyatakan, pekerja perempuan kerap ditempatkan di pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya feminin dan/atau berada di tingkatan hierarki dan jabatan yang lebih rendah dari pekerja laki-laki.

Satu alibi yang kerap dipakai perusahaan dengan kebijakan seperti ini adalah karena bobot pekerjaan rumah tangga dan merawat anak bagi perempuan lebih besar. Dalam hal ini, bias agama juga berperan memberikan sumbangan yang memvalidasi subordinasi perempuan atas laki-laki sebagai “pemimpin”.

Di negara-negara Timur Tengah, dengan pengaruh ajaran Islam yang kental, banyak sekali tantangan bagi perempuan bekerja yang sulit mendapatkan promosi di kantornya. Mereka dianggap tidak bisa berinteraksi secara fleksibel dengan kolega laki-lakinya atau pihak-pihak lain di luar kantor. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama di balik tingginya angka perempuan yang menganggur dan sulit mendapat pekerjaan.

Para perempuan pekerja juga harus menghadapi pahitnya standar ganda dan dangkal yang membayang-bayangi penilaian orang terhadap kualitas diri mereka. Misalnya standar mengenai cara bersikap. Di satu sisi, “pekerjaan laki-laki” yang sifatnya maskulin dan dianggap sulit lebih dihargai. Tapi perempuan yang memilih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ini malah menghadapi tantangan baru, yaitu standar ganda yang mengharuskan mereka kapabel dalam pekerjaan tapi juga ramah dan disukai banyak orang. Entah di dunia pekerjaan ataupun di keseharian, perempuan selalu saja dituntut untuk bersikap lemah lembut, tidak terlalu ambisius, dan tidak terlampau menunjukkan emosi agresif seperti laki-laki.

Tentu saja standar ini tidak berlaku buat para pekerja laki-laki, dan ini sangat terlihat menjadi standar ganda dalam perusahaan. Perempuan yang menunjukkan sikap-sikap agresif atau mengarah pada maskulinitas akan mendapatkan banyak kritik atau bahkan dikucilkan perusahaan. Sementara itu, menurut Gorman dalam penelitiannya “Gender Stereotypes, Same-Gender Preferences, and Organizational Variation in the Hiring of Women” (2005), semakin banyak sikap-sikap maskulin yang ditunjukkan seorang calon pekerja laki-laki, maka akan semakin besar kemungkinannya untuk diterima bekerja.

Narasi seksis lowongan pekerjaan

Standar-standar ini juga kerap membuat perusahaan menjebak perempuan melalui narasi lowongan pekerjaan untuk karyawan baru. Banyak sekali kita temui lowongan pekerjaan yang menyertakan kriteria-kriteria tak masuk akal, seperti berat badan maksimal, tinggi badan minimal, belum menikah, atau belum mempunyai anak. Mirisnya, kriteria-kriteria ini banyak diberikan pada para calon pekerja perempuan. Ini merupakan cerminan lain mengenai bagaimana perempuan selalu ada di bawah bayang-bayang standar kecantikan yang semu, bahkan di dunia profesional sekalipun yang mana dihuni oleh orang-orang mayoritas berpendidikan.

Padahal, ILO bahkan sudah menetapkan larangan bagi perusahaan untuk melakukan rekrutmen pekerja dengan melakukan diskriminasi seks. Misalnya dengan membuat spesifikasi yang mengatur tinggi dan berat badan minimal, atau status pernikahan dan kehamilan. Hal itu dituliskan dalam kajiannya yang berjudul “ABC of women workers’ rights and gender equality” (2007).

Pemahaman bahwa penampilan fisik, bentuk tubuh, maupun cara bersikap setiap manusia pasti berbeda-beda dan sama sekali tidak bisa ditakar berdasarkan satu-dua standar yang absolut, seharusnya sudah mereka miliki. Apalagi, kriteria fisik itu sama sekali tidak mempengaruhi performa dan kualitas kerja perempuan. Sedikit banyak ini juga mengindikasikan bagaimana pandangan-pandangan masyarakat kuno mengenai perempuan masih bisa ditemukan di kehidupan hari ini.  Misalnya dengan menganggap perempuan sebagai perhiasan, sehingga mereka harus selalu terlihat cantik sesuai dengan keinginan laki-laki.

Beberapa perusahaan bahkan memberlakukan standar pakaian yang lebih tidak masuk akal dan sangat seksis. Misalnya mengharuskan para pekerja perempuannya untuk mengenakan sepatu hak tinggi atau high heels untuk “menunjang” penampilan tubuh menjadi lebih tinggi, kurus, dan menonjolkan bentuk bokong. Padahal alas kaki yang tidak nyaman untuk dikenakan serta memiliki dampak buruk bagi kesehatan otot dan tulang kaki. Perusahaan seharusnya mempertimbangkan para pekerja yang harus menempuh jarak jauh antara rumah dengan kantornya, harus menaiki kendaraan umum, serta melalui medan perjalanan yang berat.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Salah satu negara yang memberlakukan peraturan ketat terkait busana para pekerja perempuannya adalah Jepang. Menurut riset the Japanese Trade Union Confederation (Rengo), lebih dari 11 persen perusahaan di Jepang memiliki aturan yang mengharuskan pegawai perempuannya untuk mengenakan high heels. Bertahun-tahun menghadapi ini, akhirnya pada tahun 2019, lebih dari 19 ribu orang di Jepang menandatangani petisi untuk menghentikan aturan perusahaan yang mengharuskan perempuan untuk mengenakan high heels di tempat kerja. Kampanye dengan tuntutan serupa juga muncul di Inggris pada tahun 2016 yang diikuti lebih dari 100 ribu orang.

Itu membuktikan bahwa tempat kerja juga belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, sama seperti tempat-tempat lain di keseharian. Mereka dituntut untuk memenuhi standar agar bisa mencapai posisi tertentu yang lebih baik, entah standar itu cocok atau tidak dengan tiap-tiap individunya. Sementara itu, mereka yang tidak bisa memenuhi standar akan dijadikan objek lelucon atau kritik yang berlebihan dan sering kali menjelma menjadi bentuk pelecehan seksual.

Bentuk yang banyak digunakan adalah lelucon seksis (sexist jokes). Lelucon ini mengakomodasi subordinasi perempuan, kerap mengandung unsur seksual non-konsensual, serta kerap kali sengaja dibuat untuk mempermalukan perempuan.  Menurut penelitian Hemmasi, Graf, dan Russ yang berjudul ‘Gender-Related Jokes in the Workplace: Sexual Humor or Sexual Harassment?’ (1994), meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kemungkinan untuk melontarkan lelucon, tapi lelucon seksual yang seksis lebih banyak dilontarkan laki-laki kepada perempuan di tempat kerja. Dibandingkan perempuan, laki-laki juga menganggap lelucon-lelucon seksis yang mendiskreditkan perempuan ini lebih lucu.

Read More
kepemimpinan perempuan islam

Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Kepemimpinan Perempuan Islam – Suatu hari di tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam diterpa musibah besar. Sultannya, Iskandar Tsani mendadak tewas, diduga karena diracun. Padahal, putra dari Sultan Pahang (salah satu wilayah di Malaysia sekarang) itu baru saja memerintah Aceh selama lima tahun, setelah menggantikan ayah mertuanya, Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh Darussalam yang membawa Aceh ke masa kejayaannya.

Sultan Iskandar Tsani tidak meninggalkan penerus takhta. Mencari kerabat laki-laki Sultan Iskandar Tsani juga tidak memungkinkan karena dia berasal dari luar daerah. Dari sinilah kemudian tercetus wacana Sri Putri Alam, putri Sultan Iskandar Muda yang juga istri Sultan Iskandar Tsani, yang harus naik takhta.

Tentu saja perdebatan mencuat dari sana-sini, yang tidak setuju bila perempuan menjadi pemimpin karena bertentangan dengan ajaran agama Islam, kata mereka. Berbagai pertentangan sampai pemberontakan pun bermunculan. Tapi, setelah dirundingkan, Sri Putri Alam diputuskan tetap akan naik takhta. Dia kemudian mendapatkan gelar Tajul Alam Safiyatuddin.

Dia harus menghadapi berbagai permasalahan dalam pemerintahannya, terutama yang disebabkan oleh menguatnya pengaruh penjajah Belanda yang saat itu telah berhasil merebut Malaka dari Portugis. Tapi, Sultanah Safiyatuddin berhasil membuktikan bahwa jenis kelamin bukanlah penentu kualitas diri juga kemampuan kepemimpinan seseorang.

Akademisi Singapura Sher Banu A. Latiff Khan, dalam penelitiannya yang berjudul ‘Rule Behind The Silk Curtain: The Sultanahs of Aceh 1641-1699’ (2009), menyebut Sultanah Safiatuddin sebagai penguasa yang kuat, dengan keterampilan yang tinggi, dan berhasil beradaptasi dengan kebijakan Belanda yang agresif. Menurutnya, Sultanah juga berhasil mengembalikan integritas dan nama besar Kesultanan Aceh yang sempat turun pasca ayahnya meninggal.

Suatu ketika, utusan Belanda datang ke kerajaan dengan membawa seperangkat perhiasan yang disebut sebagai pesanan mendiang Sutan Iskandar Thani. Belanda juga meminta Kerajaan Aceh membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Tapi Sultanah Safiatuddin menolak untuk membayar penuh dan membuat Belanda ikut membayar bagiannya. Sultanah Safiatuddin memang dikenal sangat memperhatikan dan menjaga kesehatan keuangan kerajaannya. Dia bahkan menghentikan sebuah kebijakan berbahaya yang dibuat oleh suaminya dulu untuk menerima pembayaran lada dengan permata, bukan uang real.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Sepak Terjang Kepemimpinan Perempuan Islam Di Publik

Sepeninggal Sultanah Safiatuddin, Aceh masih dipimpin oleh tiga sultanah hebat secara berturut-turut: Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699). Meski tak semua berhasil mengantarkan Aceh ke masa kejayaannya, tapi empat sultanah ini adalah bukti nyata bagaimana Serambi Mekkah itu memiliki catatan panjang sepak terjang kepemimpinan perempuan islam di ranah publik, khususnya di pemerintahan.

Sejarah di Aceh ini sedikit banyak sudah membuktikan, bagaimana ketangguhan dan kecakapan para perempuan di masa pemerintahan Islam bisa meruntuhkan berbagai stigma dan stereotip, lalu menggantikannya dengan keberhasilan yang berperspektif kemanusiaan.

Ratusan tahun kemudian, semangat perempuan Islam Indonesia untuk menegakkan hak serta memperbaiki nasib kaumnya belum kunjung pudar. Semangat mereka diwujudkan dalam pendirian organisasi ataupun gerakan perempuan yang berfokus mengkaji serta mengadvokasi berbagai isu sosial yang menyangkut kesejahteraan perempuan, tanpa melepaskan kemudinya dari arah dan ajaran agama Islam.

Salah satu organisasi besarnya adalah Aisyiyah, yang semula berada di bawah Muhammadiyah. Berdiri pada tahun 1917, Aisyiyah mengawali perjuangannya di bidang pendidikan dengan membuka akses pembelajaran bagi para perempuan yang sempat terisolasi dari berbagai informasi dan perkembangan di sekitarnya. Menurut Lelly Qodariah dalam penelitian yang berjudul Aisyiyah Organization and Social Change for Women (2016), Aisyiyah merupakan sebuah gerakan reformis urban yang rasional, dengan kegiatan-kegiatannya yang berlandaskan pada semangat dan kepercayaan bahwa perempuan tetap bisa menjadi seorang muslimah yang baik dengan aktif menyuarakan pendapatnya. Bahkan, menurut semangat yang Aisyiyah bawa, perempuan bisa menjadi politisi tanpa harus mengorbankan integritas dan keharmonisan keluarganya.

Berangkat dari kegelisahan yang serupa dengan Aisyiyah adalah Fatayat Nahdlatul Ulama, organisasi perempuan Islam yang gencar mempromosikan kesetaraan gender, namun dengan mengadaptasi nilai-nilai Islam progresif. Dimulai dari sosialisasi dan advokasi keluarga berencana serta kesehatan ibu dan anak pada awal tahun berdirinya (1950-1970), Fatayat NU berhasil menjadi sebuah organisasi perempuan Islam yang berkembang pesat sampai mendapat rekognisi dari dunia internasional.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Pada tahun 1980-an, ketika organisasi itu mulai menunjukkan minat dalam mengembangkan diskusi mengenai isu-isu feminisme di dalam tradisi agama Islam, Fatayat NU berhasil membangun kerja sama dengan Badan PBB untuk Dana Anak-anak, UNICEF. Dari situlah Fatayat NU berhasil mendapatkan sejumlah dana untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kegiatan-kegiatannya. Satu topik yang kerap dijadikan fokus kegiatan organisasi ini adalah advokasi dan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi bagi perempuan dan keluarga, sebagai reaksi terhadap program keluarga berencana milik pemerintah Orde Baru yang tidak cukup untuk mendidik perempuan mengenai penggunaan kontrasepsi.

Pada akhir tahun 1990-an, Fatayat NU mulai secara eksplisit menggunakan pendekatan sensitif gender. Tahun 1997-2000, misalnya, mereka meluncurkan program Penguatan Hak-hak Perempuan (pendahulu program LKP2 atau Lembaga Konsultatif untuk Pemberdayaan Perempuan) yang aktif membantu perempuan korban kekerasan. Para anggota Fatayat NU sadar, banyak sekali perempuan yang menjadi korban karena hasil interpretasi nilai-nilai agama Islam yang mengandung bias gender.

Kongres Ulama Perempuan Pertama Di Dunia

Saat ini, mungkin secara kasat mata kita meyakini bahwa kita sudah jauh sekali dari narasi-narasi patriarkal yang melarang perempuan untuk bekerja atau turun beraktivitas di ranah publik. Tapi sebenarnya, masih ada kepercayaan bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Selain itu banyak sekali stigma yang pada akhirnya menghambat perempuan untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam bekerja atau meraih sebuah pencapaian.

Masalah itu tidak luput dari perhatian para perempuan ulama di berbagai daerah di Indonesia, yang kemudian menginisiasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dilaksanakan pada tahun 2017, bertempat di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Para perempuan ulama ini memfokuskan kajiannya pada tiga bahasan utama dalam pertemuan itu, yaitu kekerasan seksual, perkawinan anak, dan kerusakan alam. KUPI bahkan mulai mengemukakan tentangan terhadap pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape, dengan menyebut bahwa kekerasan seksual dengan atau tanpa perkawinan yang sah itu haram hukumnya, dan segala elemen dalam masyarakat harus berusaha untuk mencegah dan menangani kasus tersebut. Hal ini disebutkan Umma Farida dan  Abdurrohman Kasdi dalam penelitian yang berjudul ‘The 2017 KUPI Congress and Indonesian Female Ulama’ (2018) di Journal of Indonesian Islam.

Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam

Farida dan Kasdi juga menyebut ketiga fatwa yang dijadikan bahan kajian utama itu menunjukkan sensitivitas para perempuan ulama terhadap masalah-masalah nyata yang dihadapi perempuan di tengah masyarakat hari ini. Misalnya, isu kekerasan seksual sebagai hasil anggapan perempuan merupakan kaum kelas kedua yang harus mematuhi laki-laki.

Dari KUPI ini, terkuaklah banyak nama perempuan ulama ataupun kepemimpinan perempuan Islam yang berhasil membawa komunitasnya menjadi komunitas yang humanis dan menyayangi makhluk hidup lain tanpa mengesampingkan nilai dan ajaran agama Islam.  Seperti  Teungku Hanisah (dikenal dengan Ummi Hanisah), seorang perempuan ulama asal Aceh yang aktif mengajar dan memberikan ceramah di majelis ta’lim atau pengajian terkait isu-isu kemanusiaan, juga aktif mengadvokasi para perempuan yang menjadi korban kekerasan. Hanisah menolak praktik pernikahan siri yang marak terjadi di Aceh serta memprotes rencana Bupati Aceh Barat yang melarang perempuan menggunakan celana panjang. Menurutnya, celana panjang adalah pakaian adat perempuan Aceh karena perempuan juga bekerja di ladang dan bertempur seperti laki-laki.

Ada pula Nissa Wargadipura, pemimpin perempuan Islam di pesantren ath-Thaariq di Garut, yang sukses menjadikan pesantrennya sebagai “rumah ekologi”. Berangkat dari kekhawatiran mengenai bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia, terutama banjir yang pernah menerjang Garut di tahun 2016, bersama keluarga dan murid-muridnya, Nissa menjadikan lahan seluas 8.500 meter perseginya menjadi lahan yang subur dan berupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan tanpa bergantung pada makanan-makanan yang diproduksi perusahaan besar.

Read More
kepemimpinan perempuan pada era kolonial

Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Penulis: Selma Kirana Haryadi

Buat sebagian orang, kepemimpinan perempuan era kolonial mungkin bak ide utopis tentang kesetaraan gender. Bagaimana mungkin Indonesia yang budayanya punya kecenderungan patriarkal, juga saat itu masih dijajah, memberikan ruang bagi perempuan di ruang publik? Ditambah lagi, tokoh besar pejuang kemerdekaan yang selama ini diperkenalkan berbagai instansi didominasi oleh laki-laki.

Tapi kenyataannya, selalu ada peran perempuan Indonesia dalam perjuangan ideologis, meski hampir di semua kasus keterlibatan itu harus direbut dan diperjuangkan mati-matian.

Di masa kolonialisme, perjuangan perempuan diawali di koridor pendidikan. Pada tahun  1900-an, ketika pemerintah kolonial Belanda memberlakukan politik etis sebagai wujud balas budi dan tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan bumiputra. Ada empat kebijakan yang diluncurkan, yakni irigasi (pengairan), imigrasi, dan edukasi. Salah satu perwujudan dari kebijakan edukasi itu adalah pembukaan sekolah modern bagi perempuan.

Satu karakter yang menonjol dari sekolah modern bagi perempuan ini adalah lokasinya selalu dibangun berdekatan dengan wilayah perkebunan, khususnya yang dijadikan sumber pemenuhan kebutuhan industrialisasi perkebunan kolonial. Hal ini tak lain dan tak bukan akal bulus pemerintah kolonial Belanda untuk meraih keuntungan material. Mereka membutuhkan pekerja kerani, atau juru catat, di perkebunan atau kantor usaha perkebunan untuk mendata keluar-masuk barang, serta inventaris. Sehingga, para perempuan disekolahkan untuk diajari baca tulis.

Semula hanya sebagai pelengkap keterampilan di dalam urusan-urusan rumah tangga, bekal ilmu baca tulis itu justru mentransformasi para perempuan Indonesia menjadi manusia kritis. Mereka gencar melakukan perlawanan terhadap adat atau kebiasaan kelompoknya yang menindas dan menomorduakan perempuan. Perjuangan itu dimulai dari perlawanan terhadap hal-hal yang ada di sekitar, seperti praktik poligami. Dari sini kemudian lahir pergerakan-pergerakan perempuan di ranah publik.

Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial: Rasuna Sang Orator

Salah satu tokoh yang menonjol dalam kepemimpinan perempuan era kolonial adalah Rasuna Said, pemimpin perempuan Minang yang gencar menyuarakan semangat kesetaraan gender dan anti-kolonialisme. Gerakan-gerakan yang digagas dan dipimpinnya juga berhasil mengguncang “ketenangan” pemerintah kolonial. Meski tentu, bergerilya ideologi di negara yang masih dijajah dan belum terbiasa melihat geliat perempuan yang vokal dan kritis di ranah publik, melahirkan banyak tantangan bagi Rasuna. Tapi, ia membuktikan buah dan esensi penting dari semangat dan konsistensi untuk membela kemanusiaan.

 Selain aktif di berbagai organisasi dan gerakan berbasis Islam, seperti menjadi pendiri organisasi Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi, Sumatra Barat, Rasuna Said juga aktif bersuara dan bergerak di dunia jurnalisme. Lewat penelitiannya yangberjudul “The Emancipation of Information in Rasuna Said’s Struggle for Women’s Empowerment in Indonesia’ di buku In Search of Key Drivers of Indonesia Empowerment(2017)”, Andri Azis Putra menyebut bahwa Rasuna memiliki tulisan-tulisan yang tajam dan kritis dalam menyuarakan semangat anti-kolonialisme kepada kaum perempuan. Hal itu mengantarkan Rasuna menjadi pemrakarsa sekaligus pemimpin di beberapa surat kabar dan majalah, seperti menjadi pemimpin redaksi di majalah Raya pada tahun 1935, sebuah majalah radikal yang kerap dikecam oleh pemerintah kolonial, Suntiang Nagari, serta majalah mingguan Menara Poetri pada tahun 1937.

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Kepemimpinan Rasuna bukan lantas berjalan lancar tanpa guncangan dari sana-sini, terlebih saat itu perjuangannya selalu mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial. Berkali-kali Rasuna merasakan jatuh-bangun memimpin surat kabar dan majalah yang berakhir tragis karena tangan besi pemerintah kolonial. Pertama, majalah Raya yang dipimpinnya harus bubar karena disebut terlalu vokal. Padahal di bawah kepemimpinan Rasuna, majalah Raya berhasil menjadi salah satu tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Tapi polisi rahasia Belanda mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawannya.

Surat kabar Menara Poetri pimpinannya juga kritis menentang praktik penjajahan di Indonesia dan menyuarakan isu-isu kesetaraan gender serta perjuangan perempuan. Ketajaman pena Rasuna bahkan berhasil membawa Menara Poetri yang berbasis di Medan, Sumatera Utara, beredar hingga terkenal ke berbagai daerah di Indonesia sampai menembus Pulau Jawa, salah satunya di daerah Surabaya.

Kekritisan Rasuna bahkan mengantarkannya menjadi perempuan Indonesia pertama yang dipenjara atas tuduhan ujaran kebencian, karena sering berorasi untuk menentang pemerintahan dan politik praktis Belanda di Indonesia. Jurnalis Rosihan Anwar lewat bukunya Sejarah Kecil: Jilid 1 (2004) menyebut Rasuna Said sebagai perempuan yang cerdik berbicara dan mampu menguasai massa. Dua hal itulah yang menjadikan Rasuna ahli politik sekaligus orator yang kuat.

Soewarni, Sang “Feminis Galak”

Selain Rasuna Said, pada periode yang sama, ada pula pejuang perempuan bernama Soewarni Pringgodigdo yang beraliran sekuler. Alkisah, Kongres Perempuan Indonesia pertama yang dilaksanakan pada tahun 1928 mengecualikan isu politik dan keterlibatan perempuan di ruang publik dari pembahasan mereka. Kongres tersebut memutuskan untuk fokus membahas isu-isu sosial dan domestik. Perserikatan Perempuan Indonesia, asosiasi yang terbentuk di dalam kongres tersebut, juga kemudian mendeklarasikan dirinya netral secara politis dan religiositas. Hal ini membuat pemerintah kolonial merasa “tenang” karena konservatisme dan kenaifan perempuan bumiputera.

Tapi, pada tahun 1930, PPI yang diganti namanya menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII) mulai menjadikan penderitaan perempuan sebagai bahan kajiannya. Mereka mulai menyinggung isu eksploitasi pekerja perempuan dan perdagangan anak dan perempuan. Inilah awal mula gerakan perempuan yang bersifat politis secara eksplisit lahir. Salah satunya  dipengaruhi oleh organisasi perempuan bernama Isteri Sedar yang didirikan oleh Soewarni sendiri.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya yang berjudul Women and The Colonial State (2000) menyebutkan, berbeda dengan kebanyakan organisasi perempuan yang saat itu ada, di bawah kepemimpinan Soewarni, Isteri Sedar secara eksplisit menunjukkan ideologi organisasinya yang feminis-demokratis. Isteri Sedar menerbitkan majalah Sedar, yang memuat tulisan-tulisan mengenai kesetaraan gender, khususnya perlawanan terhadap poligami, kesetaraan peran dalam pernikahan, serta keadilan bagi perempuan di ranah publik dan domestik.

“Hanya orang-orang yang tidak modern dan tidak idealis-lah yang setuju bahwa laki-laki bisa mengikuti nafsu mereka dan mendukung poligami,” kata Soewarni dalam bukunya yang berjudul Perlindoengan dalam Perkawinan (1937).

Dalam salah satu tulisannya yang terbit tahun 1930, Istri Sedar mengkritisi pandangan arus utama mengenai pekerja perempuan, dengan mengatakan bahwa perempuan kelas-pekerja di Indonesia harus bekerja dalam jam-jam yang panjang menjadi pekerja rumah tangga di rumah-rumah untuk mendapatkan uang, dengan konsekuensi meninggalkan anaknya sendiri menderita.

Lewat bukunya yang berjudul Women and The State in Modern Indonesia (2004), Susan Blackburn menyebutkan, Istri Sedar di bawah pimpinan Soewarni juga gencar mengkritik konsepsi ibuisme di Indonesia yang hanya menekankan peran domestik ibu, tanpa banyak memperhitungkan realitas hidup perempuan kelas pekerja yang harus bekerja siang dan malam untuk menghidupi anak dan keluarganya.

Pemberian label galak dan ngegas terhadap para feminis ternyata sudah terjadi sejak zaman perjuangan Soewarni ratusan tahun silam. Seperti dikisahkan Blackburn dalam bukunya yang sama, Soewarni yang sangat membenci poligami dan sejak awal terang-terangan menyuarakannya, pernah berdebat dengan seorang delegasi Permi di dalam Kongres Perempuan Indonesia II tahun 1935. Waktu delegasi Permi itu menyampaikan pandangan setujunya terhadap poligami, Soewarni langsung menyanggahnya. Perdebatan berlangsung sampai suasana memanas dan membuat Soewarni dan delegasi Isteri Sedar lainnya nyaris meninggalkan tempat acara, yang akhirnya berhasil dihentikan panitia setelah menjanjikan bahwa isu persetujuan terhadap poligami itu tidak akan diungkit lagi di dalam kongres.

Di tengah-tengah perdebatan, Soewarni ditanyai mengenai alasan mengapa dirinya sangat menentang poligami, dan bagaimana bila suaminya sendiri memutuskan untuk menikah lagi. Dengan berapi-api, Soewarni menjawab bahwa dia akan “membunuh suaminya, lalu membunuh dirinya sendiri.” Alhasil, oleh banyak pihak, Soewarni disebut perempuan yang galak. Padahal, sikap kerasnya dalam menentang poligami dilandasi oleh keinginan untuk memiliki pernikahan yang aman dan stabil, yang diharapkannya juga bisa dimiliki oleh perempuan Indonesia lainnya.

Read More