Ditulis oleh: Jasmine Floretta V.D.
Pernahkah kalian mengalami ketika sedang berdiskusi di dalam rapat kantor atau di dalam perbincangan ringan sesama teman, pembicaraan kalian dipotong atau disela oleh teman laki-laki kalian? Atau melihat di acara bincang-bincang televisi, bagaimana narasumber atau pembawa acara perempuan yang sedang mengungkapkan pendapat atau pertanyaan, disela begitu saja oleh narasumber laki-laki? Tidak jarang narasumber laki-laki yang memotong pembicaraan perempuan justru lebih ngegas saat ditegur.
Untuk contoh yang lebih “gila”, kita juga bisa menengok ke belakang, saat pergelaran MTV Video Music Awards (VMA) 2009. Kehebohan terjadi karena pidato Taylor Swift saat menerima hadiah disabotase oleh rapper Kanye West, yang melompat ke panggung begitu saja, menyerobot mikrofon dari tangan Swift dan dengan sengak mengatakan bahwa Beyoncé yang lebih pantas menang.
Apa yang dilakukan oleh para kolega di kantor kita, para narasumber laki-laki di dalam acara bincang-bincang, atau West pada Swift di VMA 2009, adalah bentuk dari diskriminasi gender yang dinamakan mansplaining.
Mansplaining adalah bentuk diskriminasi gender yang sistematis dan terlembaga, yang secara implisit mematok nilai yang lebih rendah dari suara perempuan. Melalui tindakan mansplaining ini, laki-laki berbicara seolah-olah mereka tahu segalanya melebihi perempuan. Mereka akhirnya kerap memberikan komentar tanpa diminta lawan bicaranya dan meremehkan kemampuan juga pendapat perempuan.
Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier
Istilah mansplaining pertama kali digambarkan oleh penulis/aktivis Rebecca Solnit dalam esainya “Men Explain Things to Me—Facts Didn’t Get in the Way “. Solnit menganggap mansplaining sebagai kombinasi dari “kepercayaan diri berlebihan dan ketidaktahuan” karena secara kultural laki-laki selalu ditempatkan di posisi yang lebih superior. Unsur seksisme yang ada di dalam mansplaining sangatlah berbahaya bagi perempuan, karena sikap ini mengarah pada pengukuhan stereotip gender kaku sebagai dasar asumsinya. Stereotip gender kaku ini kerap melukis perempuan sebagai seseorang yang kurang kompeten, kurang cerdas, dan kurang berpendidikan dibandingkan laki-laki. Perempuan pun secara sistematis dipinggirkan dan dikecualikan di dalam proses pengambilan keputusan, tidak dianggap kontribusinya dalam melakukan sesuatu, bahkan tidak dihargai kerja keras atau pendapatnya.
Stereotip gender yang kembali dikukuhkan melalui mansplaining kemudian mengerdilkan perempuan dengan cara membungkam suaranya secara sepihak. Asumsi dasar stereotip gender bahwa perempuan tidak lebih pintar dan tidak lebih kompeten dari laki-laki dalam memahami suatu hal akan berpengaruh pada perempuan yang akan merasa diremehkan dan tidak dihargai.
Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional
Diskriminasi gender semacam ini dialami oleh Ben Barres, ahli neurobiologi dari Universitas Stanford yang juga seorang transpria. Dalam artikelnya di The Washington Post yang berjudul “Male Scientist Writes of Life as Female Scientist”, Barres menulis secara terbuka tentang pengalamannya di lapangan sebagai perempuan dan laki-laki. Sebagai mahasiswi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Barres mengatakan pernah diragukan oleh profesornya sendiri setelah memecahkan soal matematika yang sangat sulit. Profesornya menuduh Barres meminta bantuan pacar laki-lakinya untuk menyelesaikan soal yang ada, karena sang profesor beranggapan seorang Barbara tidak mungkin mampu mengerjakan soal matematika yang sulit tersebut.
Setelah dia bertransisi sebagai transpria dan menjadi Ben Barres, ia bertemu seorang ilmuwan yang tidak menyadari dirinya adalah Barbara Barres. Sang ilmuwan tersebut mengatakan bahwa Ben memberikan seminar yang bagus dan karyanya jauh lebih baik daripada saudara perempuannya, Barbara. Dari pengalamannya tersebut, Barres menyadari bahwa orang-orang yang tidak tahu dirinya transgender memperlakukan Ben dengan lebih hormat daripada ketika dia masih menjadi Barbara. Ia mengakui bahwa sebagai Ben, dia bahkan dapat mengungkapkan pendapatnya dengan bebas tanpa disela oleh laki-laki, hal yang begitu langka dialami Barbara Barres.
Unsur seksisme yang ada di dalam mansplaining sangatlah berbahaya bagi perempuan, karena sikap ini mengarah pada pengukuhan stereotip gender kaku sebagai dasar asumsinya.
Mansplaining Menghambat Karier Perempuan
Tidak hanya mengukuhkan stereotip gender kaku dan membungkam sepihak suara perempuan, mansplaining menjadi faktor penghambat karier perempuan melalui pembuatan kebijakan yang bias gender. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana masih banyak perusahaan menghapuskan hak cuti haid atau pengurangan cuti melahirkan kepada perempuan dengan alasan memaksimalkan produktivitas kerja.
Pembuat kebijakan kerap tidak mengindahkan suara perempuan melalui pengalaman ketubuhan unik mereka dan meliyankan perempuan dalam pengambilan keputusan. Untuk kasus menstruasi misalnya, tidak jarang perempuan bisa sampai demam tinggi atau bahkan pingsan. Jika perempuan dengan sangat terpaksa absen, pihak perusahaan hanya akan memberikan izin pada perempuan dengan syarat surat keterangan dokter. Peraturan ini pun sangat merugikan perempuan karena siklus menstruasi yang begitu menyakitkan dialami sejumlah perempuan setiap bulannya akan menghambat kenaikan karier mereka karena banyaknya absensi yang mereka punya. Belum lagi konsekuensi dari biaya tambahan yang harus mereka ambil ketika memeriksa keadaan mereka dan meminta surat keterangan dokter.
Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan
Mansplaining pada kenyataannya juga berimplikasi pada normalisasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Senior saya, Ani, misalnya, pernah dilecehkan oleh kolega laki-lakinya yang sudah beristri, yang memanggilnya dengan sebutan “sayang”. Ani melaporkan hal itu kepada manajernya tapi dianggap sebagai angin lalu. Ketika Ani akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantornya, sang manajer dan kolega laki-laki yang melecehkannya itu menyebutnya lebay, dan menganggap pelecehan seksual verbal yang dialaminya sebagai hal yang sepele. Pelecehan seksual seperti ini juga dialami oleh teman saya yang lain, dan saya yakin oleh banyak sekali perempuan.
Pada akhirnya, mansplaining adalah bentuk diskriminasi gender yang kerap berujung pada peminggiran eksistensi perempuan. Mansplaining adalah sebuah tindakan yang kerap melanggengkan dominasi kuasa laki-laki atas perempuan dengan mengukuhkan posisi subordinat perempuan di dalam masyarakat.
Sudah waktunya perempuan merebut kembali suaranya yang kerap dibungkam. Memang sulit, namun jangan sungkan untuk menegur kolega laki-laki yang mendominasi pembicaraan atau melecehkan. Tempat kerja serta para atasan, juga seharusnya tidak menormalisasi atau meremehkan persoalan ini, dan memberikan ruang aman dan nyaman bagi pekerja perempuan.
Jasmine Floretta V.D. adalah seorang BTS ARMY dan pencinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender UI dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu.