Kenapa Kamu Sulit Bilang ‘Tidak’ di Kantor?

people pleaser di tempat kerja

Pernah enggak sih kamu merasa terjebak harus selalu bilang “iya” di kantor? Misalnya, ketika rekan kerja minta bantuan padahal kamu lagi pusing dikejar deadline, tapi tetap kamu lakukan karena takut dibilang enggak kompak. Atau saat bos ngasih tugas tambahan yang jelas-jelas bukan tanggung jawabmu, tapi kamu terima saja karena khawatir dicap kurang kooperatif.

Kalau kondisi ini terasa familiar, besar kemungkinan kamu termasuk kategori people pleaser di tempat kerja. Menurut Verywell Mind, What It Means to Be a People Pleaser, people pleaser adalah orang yang cenderung lebih mengutamakan kebutuhan orang lain dibanding dirinya sendiri.

Fenomena people pleaser di dunia kerja ternyata bukan hal langka. Dalam lingkungan kerja yang serba kompetitif, banyak orang percaya bahwa selalu menuruti permintaan orang lain bisa membantu membangun citra positif, menjaga hubungan baik, bahkan dianggap sebagai jalan cepat untuk naik jabatan.

Padahal kenyataannya enggak semudah itu. Memang, sifat ini bikin kamu terlihat ramah dan disukai banyak orang, tapi risikonya juga besar: mulai dari stres, burnout, sampai kaburnya batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. American Psychological Association, Stress effects on the body, bahkan menegaskan bahwa tekanan yang terus-menerus bisa berdampak serius pada kesehatan fisik maupun mental.

Di Indonesia, sikap people pleaser sering makin kuat karena pengaruh norma sosial dan budaya. Sejak kecil kita diajarkan untuk selalu “nrimo,” menghargai orang lain, dan sebisa mungkin menghindari konflik. Nilai ini memang baik, tapi ketika dibawa ke dunia kerja secara berlebihan, bisa bikin kamu kehilangan kendali atas diri sendiri. Alih-alih dihormati, kamu justru bisa jadi sasaran empuk buat dimanfaatkan orang lain. Seperti yang pernah diberitakan Kompas, Fenomena People Pleaser di Dunia Kerja, Kenali Risikonya, sifat terlalu ingin menyenangkan orang lain sering berbalik jadi bumerang dalam karier.

Karena itu, penting banget buat paham apa itu people pleaser di tempat kerja dan bagaimana mengenali tanda-tandanya. Dengan lebih sadar, kamu bisa refleksi terhadap perilaku sendiri sebelum kebablasan.

Baca Juga: Mungkinkah Karyawan Tidur di Kantor? Tips Efektif Maksimalkan Istirahat

Mengapa Seseorang Bisa Jadi People Pleaser?

Fenomena people pleaser enggak muncul secara tiba-tiba. Ada banyak faktor yang membentuk seseorang jadi pribadi yang selalu ingin menyenangkan orang lain, bahkan sampai mengorbankan dirinya sendiri.

Di balik sikap yang tampak “baik hati,” biasanya ada pengalaman masa kecil, pola asuh, hingga tekanan sosial yang menanamkan keyakinan bahwa nilai diri seseorang diukur dari seberapa banyak ia bisa bikin orang lain puas. Seperti yang dijelaskan oleh Verywell Mind, perilaku ini sering berakar dari kebutuhan emosional yang enggak terpenuhi sejak dini.

  1. Faktor Psikologis

Banyak people pleaser tumbuh dengan rasa takut ditolak atau tidak diterima. Mereka percaya bahwa cara terbaik agar bisa diterima dalam kelompok adalah dengan selalu setuju, selalu membantu, dan enggak pernah menolak permintaan. Sebagian lainnya punya low self-esteem (harga diri rendah) sehingga merasa harus membuktikan keberadaan dirinya lewat upaya menyenangkan orang lain.

Selain itu, aspek kecemasan sosial juga berperan. Menurut American Psychological Association, Anxiety, orang dengan tingkat kecemasan tinggi cenderung lebih rentan menghindari konflik dan berusaha keras menjaga relasi tetap harmonis, meskipun harus menekan kebutuhan dirinya sendiri.

  1. Lingkungan Keluarga

Pola asuh di masa kecil punya dampak besar. Anak yang tumbuh dalam keluarga dengan ekspektasi tinggi sering belajar bahwa cinta dan perhatian orang tua bersifat “bersyarat.” Contohnya, anak hanya mendapat pujian ketika berhasil menuruti perintah atau bikin orang tua senang. Dari situ lahirlah pola pikir: “Kalau aku ingin dicintai, aku harus menyenangkan orang lain.”

Begitu juga anak yang tumbuh di keluarga penuh konflik. Demi menghindari masalah, mereka memilih jalan aman: selalu menurut agar situasi enggak makin parah. Kebiasaan ini bisa terbawa sampai dewasa, termasuk ke dunia kerja. Riset yang dimuat dalam Journal of Child and Family Studies, Parenting Styles and Their Effect on Children’s Behavior, menunjukkan bahwa pola asuh otoriter maupun penuh konflik bisa meningkatkan kecenderungan anak untuk jadi people pleaser ketika dewasa.

  1. Pengaruh Budaya dan Norma Sosial

Budaya juga punya peran penting. Di Indonesia, kita diajarkan untuk menghormati orang lain, menghindari konflik, dan enggak bikin orang tersinggung. Nilai ini memang positif, tapi kalau dijalankan tanpa batas, justru bisa menjerumuskan seseorang jadi people pleaser.

Dalam konteks kerja, budaya hierarkis bikin karyawan sering sungkan menolak permintaan atasan. Masih dari Kompas, bahkan dengan rekan sejawat pun, ada rasa takut dibilang sombong kalau berani berkata “tidak”. Norma sosial di Indonesia sering memperkuat perilaku sungkan ini, terutama di lingkungan kerja yang masih sangat menjunjung senioritas.

  1. Pengalaman Masa Lalu

Trauma atau pengalaman buruk juga bisa jadi pemicu. Misalnya, seseorang pernah kehilangan teman karena berani bersikap tegas, atau pernah dimarahi keras saat menolak permintaan. Dari situ, mereka belajar bahwa berkata “iya” selalu lebih aman. Menurut penelitian dalam Journal of Anxiety Disorders, The Role of Past Trauma in Social Avoidance and Conflict Aversion, pengalaman traumatis memang dapat memperkuat perilaku menghindari konflik sebagai bentuk mekanisme perlindungan diri.

  1. Kebutuhan Akan Validasi

Sebagian orang jadi people pleaser karena haus validasi. Mereka merasa bahagia ketika mendapat ucapan terima kasih, pujian, atau dianggap sebagai “orang baik.” Lama-kelamaan, validasi ini bisa berubah jadi candu.

Tanpa sadar, mereka menghubungkan harga diri dengan seberapa banyak orang lain merasa puas dengan dirinya. Dalam buku How to Be Yourself: Quiet Your Inner Critic and Rise Above Social Anxiety, Psikolog klinis Dr. Ellen Hendriksen menegaskan bahwa ketergantungan pada validasi eksternal sering membuat seseorang kehilangan keaslian dirinya.

Baca Juga: ‘Positive Culture’: Rahasia Budaya Kerja Sehat yang Bikin Karyawan Betah dan Produktif

Dampak Negatif People Pleaser di Tempat Kerja

Jadi orang baik hati dan suka membantu memang kesannya positif. Tapi kalau kebiasaan itu berubah jadi dorongan berlebihan untuk selalu menyenangkan orang lain, dampaknya justru bisa berbalik merugikan, baik buat dirimu sendiri maupun perusahaan. Berikut beberapa risiko yang sering dialami people pleaser di lingkungan kerja.

  1. Beban Kerja yang Berlebihan

Salah satu ciri utama people pleaser adalah selalu bilang “iya” meski sebenarnya sudah kewalahan. Akibatnya, pekerjaan jadi menumpuk dan tanggung jawab yang bukan miliknya pun ikut disanggupi.

Lama-lama, kondisi ini bisa bikin produktivitas menurun dan kualitas kerja terganggu. Menurut laporan Harvard Business Review, Stop Being So Nice at Work, karyawan yang kesulitan menolak permintaan tambahan cenderung lebih cepat mengalami penurunan kinerja dibanding mereka yang bisa mengatur prioritas.

  1. Stres dan Burnout

Ketika terlalu banyak beban, tubuh dan pikiran akhirnya enggak sanggup menyeimbangkan kebutuhan pribadi dan pekerjaan. People pleaser lebih rentan mengalami stres, sulit tidur, hingga kelelahan emosional.

Kalau dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang jadi burnout, yaitu rasa lelah total yang bikin seseorang kehilangan motivasi kerja. World Health Organization, Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases, bahkan sudah mengklasifikasikan burnout sebagai fenomena yang berkaitan langsung dengan pekerjaan.

  1. Kehilangan Identitas Diri

Karena terbiasa menyesuaikan diri dengan orang lain, people pleaser sering mengabaikan suara hatinya sendiri. Mereka takut mengutarakan pendapat karena khawatir dianggap berbeda atau enggak kompak.

Dalam jangka panjang, ini bisa bikin mereka kehilangan jati diri dan merasa bingung dengan apa yang sebenarnya diinginkan, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi.

  1. Risiko Dimanfaatkan oleh Orang Lain

Sikap “serba iya” membuat people pleaser gampang jadi sasaran orang lain yang oportunis. Rekan kerja atau bahkan atasan bisa sengaja melimpahkan tugas dengan alasan tahu kamu pasti enggak akan menolak.

Ini berbahaya karena bisa berujung pada eksploitasi, kebaikanmu dipakai, tapi penghargaan yang kamu terima seringkali enggak sepadan. Menurut Forbes, The Dark Side Of Being Too Nice At Work, sifat terlalu kooperatif sering bikin karyawan justru lebih sering dimanfaatkan ketimbang diapresiasi.

  1. Menurunnya Kualitas Kerja

Meskipun terlihat rajin, terlalu banyak menyanggupi tugas bikin fokus terbagi ke banyak hal. Hasilnya? Pekerjaan jadi terburu-buru, kurang teliti, atau enggak maksimal. Akhirnya, bukannya dapat apresiasi, people pleaser justru berisiko mendapat kritik dan penilaian buruk.

Studi dari Journal of Occupational Health Psychology, The impact of multitasking on job performance and stress, menunjukkan bahwa multitasking berlebihan bisa menurunkan kualitas output dan meningkatkan tingkat kesalahan kerja.

Baca Juga: Mengenal ‘Stress Crossover’ di Tempat Kerja, Dampak, dan Tips Mengatasinya

Strategi Mengatasi People Pleaser di Tempat Kerja

Mengatasi kebiasaan jadi people pleaser memang enggak gampang. Soalnya, perilaku ini sering kali terbentuk sejak lama dan kerap disalahartikan sebagai tanda “baik hati.” Padahal, tanpa batasan sehat, sifat ini bisa bikin stres, burnout, bahkan dimanfaatkan orang lain. Kabar baiknya, ada strategi praktis yang bisa kamu coba untuk keluar dari pola tersebut sekaligus menemukan keseimbangan antara membantu orang lain dan menjaga diri sendiri.

  1. Belajar BerkataTidakdengan Asertif

Mengucapkan “tidak” bukan berarti egois. Justru ini cara sehat untuk melindungi energi dan fokusmu. Menurut Coursera, Assertive Communication: Definition, Examples, and Tips, komunikasi asertif berarti menyampaikan pendapat atau batasan dengan jelas, sopan, tapi tetap tegas. Kamu bisa mulai dengan hal kecil, misalnya menolak permintaan tambahan ketika deadline-mu sudah padat: “Maaf, aku enggak bisa bantu sekarang karena masih ada target yang harus diselesaikan.”

  1. Menetapkan Batasan yang Sehat

Batasan bukan cuma soal berkata “tidak,” tapi juga tentang mengatur sejauh mana kamu terlibat dalam pekerjaan orang lain. Penelitian yang dipublikasikan di PubMed Central, A causal model on assertiveness, stress coping, and workplace environment: Factors affecting novice nurses’ burnout, menegaskan bahwa kemampuan menetapkan batasan dan coping stress punya peran penting untuk mencegah burnout di lingkungan kerja.

Misalnya, tentukan jam kerja yang jelas, jangan selalu standby di luar jam kantor, dan fokus pada tanggung jawabmu sendiri tanpa merasa bersalah.

  1. Mengelola Ekspektasi Orang Lain

People pleaser sering merasa harus memenuhi ekspektasi semua orang. Padahal, itu hampir mustahil. Harvard Business Review, The Art of Setting Expectations as a Project Manager, menekankan bahwa kunci produktivitas adalah mengelola ekspektasi dengan komunikasi terbuka dan kesepakatan realistis.

Jadi, kalau ada permintaan tambahan, jangan ragu untuk bilang apa yang bisa kamu lakukan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, atau bahkan menolak jika memang tidak realistis.

  1. Membangun Kepercayaan Diri

Rasa minder atau kurang percaya diri sering jadi akar dari perilaku people pleaser. Menurut PositivePsychology.com, How to Be More Assertive At Work: 7 Activities, salah satu cara membangun kepercayaan diri adalah dengan fokus pada pencapaian kecil dan melatih afirmasi positif sehari-hari.

Kamu bisa mulai dengan mengingat keberhasilanmu sebelumnya, lalu mengulang kalimat seperti: “Aku berhak bilang tidak tanpa merasa bersalah.”

  1. Belajar Menghadapi Konflik dengan Dewasa

People pleaser biasanya takut konflik, padahal konflik enggak selalu buruk. American Psychological Association, Coping with stress at work, menyebut bahwa salah satu strategi coping di tempat kerja adalah melihat konflik sebagai peluang untuk bertukar ide, bukan ancaman.

Kuncinya: dengarkan dulu, lalu respon dengan tenang dan asertif. Dengan begitu, kamu bisa menjaga hubungan profesional tanpa mengorbankan dirimu sendiri.

Website | + posts

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.

About Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.

View all posts by Kevin Seftian →